Pena Wasiat (Juen Jui Pi) Jilid 05

"Pek locianpwe memiliki pengetahuan yang luas dengan jiwa yang besar, seorang yang hanya membaca sepuluh laksa kitab tak akan menangkan seorang yang telah melakukan perjalanan sejauh selaksa li. Asal dia orang tua bersedia hidup bersama kami, besar tentunya bantuan yang akan kita peroleh ."

"Aku telah kehilangan satu-satunya menantuku dan kehilangan pula satu-satunya cucu luarku" kata Pek Bwe dengan sedih, "demi satu satunya putriku, aku tak bisa melepaskan persoalan ini dengan begitu saja, apalagi mereka telah menyekapku selama beberapa hari"

Sorot matanya dialihkan ke wajah Cu Siau-hong, kemudian melanjutkan: "Bocah muda, katakanlah pendapatmu itu!"

"Setelah boanpwe pikirkan sekian lama, dapat kurasakan bahwa peristiwa ini sebenarnya adalah dua persoalan yang masing-masing berdiri sendiri yang secara kebetulan saja berlangsung pada saat yang bersamaan. "

"Ehm, suatu pendapat yang hebat!" Pek Bwe manggut manggut, "lanjutkan perkataanmu itu Siau-hong!" “Kelompok yang membakar dan membantai anggota perguruan kitalah baru merupakan kelompok yang sesungguhnya mengincar perkampungan Ing-gwat-san ceng, mungkin rencana ini sudah mereka siapkan cukup lama, hanya secara kebetulan saja mereka mendapatkan kesempatan baik ketika Liong Thian siang datang mencari gara-gara"

Pek Hong, Tang Cuan maupun Seng Tiong-gak ikut mendengarkan dengan seksama, tanpa terasa mereka manggut-manggut.

"Bagaimana selanjutnya Siau-hong?" tanya Seng Tiong gak kemudian.

"Dalam peristiwa ini, siapapun jangan terlalu menyalahkan diri, sebab andaikata kita tidak menjumpai peristiwa Liong Thian siang, kemungkinan besar mereka akan melakukan tindakan yang jauh lebih keji lagi terhadap kita semua, rencana ini pasti sudah disusun mereka cukup lama, mereka pun sudah menanti sangat lama. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa mereka adalah sekawanan manusia yang berhati busuk dan berakal panjang, meski Liong Thian siang telah membantu mereka, tapi iapun telah merusak rencana mereka!"

"Lohu pernah berpikir sampai ke situ, tapi tidak sedalam apa yang kau terangkan sekarang. luar biasa kau anak muda! Orang kuno pernah bilang, seorang siucay tanpa keluar pintupun dapat mengetahui semua persoalan di dunia, tidak sia-sia rasanya kau banyak membaca buku"

"Bila boanpwe tidak masuk ke dalam perguruan Bu khek-bun, tidak nanti akan kucapai hal seperti ini," kata Cu Siau-hong.

"Apa maksud perkataanmu itu?" "Bila aku tetap belajar dirumah, ayahku pasti akan mengawasi diriku secara ketat, apa yang dibacapun pasti seperti kitab-kitab Lun hi, cho co-an, ngo keng su siu dan sejenisnya. Tapi setibanya di Bu-khek-bun, suhu tidak terlalu membatasi bahan bacaan yang kubaca, justru karena itulah aku baru mendapat kesempatan untuk menambah pengetahuanku dalam membaca, tidak sedikit pula bahan bacaan aneka ragam yang berhasil kubaca"

"Setiap kali suhumu keluar rumah, ia pasti pulang dengan membawa sejumlah besar buku bacaan, apakah semua buku itu diberikan kepadamu untuk dibaca?" tanya Pek Hong.

"Suhu amat memperhatikan diriku, tapi yang paling membantu tecu justru adalah dua peti buku yang ditinggalkan Pek cian-pwe untukku itu.."

"Bocah muda, kau telah membaca semua kitab dalam kedua petiku itu ?" teriak Pek Bwee dengan mata melotot.

"Suhu yang memberikan kedua peti buku itu untuk ku baca, kalau tidak begini, mana boanpwe berani membongkar barang milik locianpwe..."

"Maksudku, apa kau memahami isi dari semua kitab bacaan yang kumiliki itu?"

"Walaupun jumlah kitab yang locianpwe miliki tidak terhitung banyak, tapi memang terhitung kitab-kitab yang sukar dipahami, walaupun diantaranya ada dua jilid yang isi nya betul-betul mendalam sekali hingga tecu merasa kesulitan untuk memahami isinya, tapi untunglah sebagian besar dapat kupahami, diantaranya ada sejilid yang tidak berisikan tulisan kita" "Benar! Kitab itu berisi tulisan Thian-tok, (India), aku mendapatkannya dari seseorang pendeta tua yang hampir wafat, apakah isi nya adalah sejilid kitab sembahyangan?"

Cu Siau bong segera tertawa.

"Kalau bukan kitab sembahyang, lantas apa isinya?" seru Pek Bwe setelah tertegun sejenak. "Agaknya seperti sebuah ceritera."

"Dapatkah kau menceritakan kisah dalam kitab tersebut kepadaku?"

Agak memerah wajah Cu Siau-hong karena jengah, dengan perasaan apa boleh buat katanya kemudian:

"Aku sama sekali tidak paham dengan isi tulisan itu, kemudian ketika semua kitab telah selesai kubaca dan tiada kitab lagi yang bisa kubaca, maka kitab berisi hurut Thian tok itu kubaca lagi sampai beberapa puluh kali, setelah kuduga berulang kali akhirnya bisa juga kupahami isi cerita tersebut, tentu saja ketiga gambar yang ada didalam kitab itu sangat menolong diriku, cuma locianpwe, boanpwe betul-betul tak tahu apakah rabaanku ini benar atau tidak? Aai.., jika permulaan sudah keliru maka selanjutnya pasti akan semakin keliru, karena itulah boanpwe tak berani sembarangan bicara"'

"Tidak menjadi soal katakanlah! Mungkin lo-hu bisa sedikit membantumu!"

Tiba-tiba Seng Tiong-gak menyela:

"Siau-hong, aku masih ingat pada dua tahun berselang suheng pernah memberi tahukan sepatah kata kepadaku, waktu itu aku masih kurang percaya, tapi tampaknya apa yang dikatakan suheng memang tak salah"

?oooO)d.w(Oooo? "APA yang dikatakan Leng Kang?" tanya Pek Hong.

Sepasang suami istri itu mempunyai hubungan batin yang amat erat, apalagi Tiong Leng Kang mati belum lama, Pek Hong lebih-lebih merasakan bahwa setiap ucapan yang pernah dikatakan suaminya akan mendatangkan perasaan nyaman bagi dirinya, sebab meski ucapan itu bukan diutarakan dengan suara suaminya, tapi merupakan  maksud hati dari suaminya.

"Toa suheng bilang, Siau-hong hanya menggunakan empat bagian perhatiannya untuk belajar silat dan enam bagian perhatiannya untuk membaca buku, waktu yang dibuang dalam membaca buku jauh lebih banyak dibandingkan dengan waktu belajar silat"

"Susiok, tak pernah ada kejadian begini" buru-buru Cu Siau-hong membantah, “setiap kali suhu memberi pelajaran silat, tecu pasti hadir di arena!"

"Suhumu pernah berkata demikian semasa hidupnya dulu, jadi benar atau tidak aku tak begitu tahu" Pek Bwe lantas mendehem pelan, katanya kemudian.

"Tiong-gak, kau harus pergi mencari beberapa orang untuk membebaskan reruntuhan di sini, kita masih harus membangun kembali perkampungan Ing-gwat-san-ceng"

"Siau-hong, hayo berangkat! Kita pergi mencari orang" kata Seng Tiong-gak kemudian.

"Biar Siau-hong berada disini" cepat Pek Bwe berteriak, "aku masih hendak mengajaknya untuk membicarakan tentang kitab tersebut”

Seng Tiong-gak mengiakan, diapun mengajak Tang Cuan berlalu dari tempat itu. Kini dalam ruang tengah tinggal Pek Hwe Pek Hong, Cu Siau-hong serta beberapa puluh sosok mayat yang berjajar jajar.

Dengan perasaan agak tak sabar pek Bwe segera berkata:

"Aku pernah membaca pula kitab itu, tapi sayang dasar pengetahuanku amat cetek tidak seperti kau yang banyak pengetahuan sehingga dapat menebak isi mereka, cuma ketiga lembar gambar itu selalu meninggalkan kesan yang mendalam dibenakku mungkin mengandalkan pengalamanku sendiri, lohu masih bisa memberikan sedikit bantuan kepadamu"

Cu Siau-hong termenung dan berpikir sebentar kemudian katanya:

"Kisah dalam kitab itu agaknya menceritakan seseorang yang hendak melarikan diri dari keluarga kaya dan berdiam ditengah sebuah gunung yang amat besar, orang itu lebih suka melewati penghidupan yang serba kesepian daripada kehidupan yang ramai"

"Apakah orang itu adalah seorang perempuan?" sela Pak Bwe:

"Justru pada bagian inilah aku merasa paling tidak mengerti, mungkin saja tulisan itu menceritakan dengan jelas cuma aku tidak memahaminya."

"Aku mengerti akan arti gambar tersebut, memang dalam gambar itu kelihatan agak buram, tapi aku dapat menangkap kalau bayangan itu adalah bayangan seorang perempuan justru disinilah letak keheranan lohu jika kitab tersebut adalah sejilid kitab sembahyangan, maka benda itu tentunya berasal dari kuilnya para hwesio, kenapa dalam buku itu bisa muncul seorang perempuan?" "Siapa tahu kalau hwesio itu cuma menulis pengalamannya sendiri...." tiba-tiba pemuda itu membungkam.

Dengan cepatnya ia membantah kembali pendapat tersebut, sebab kitab itu adalah sejilid kitab yang disusun secara rapi, lagi pula sudah berusia banyak waktu, tidak mirip seperti tulisan tangan dari hwesio itu sendiri.

Pek Bwe menghembuskan napas panjang, lalu berkata lebih jauh:

"Bocah muda, ketika hwesio itu menyerahkan kitab tersebut kepadaku., dia hanya mengucapkan sepatah kata, jika aku dapat menghantarkan kitab itu ke kuil Hui liong si di Cing hay, dan menyerahkan kepada seorang Taysu yang bernama Mo gak taysu, aku bisa mendapatkan tiga biji mutiara asli."

"Mutiara tiada harganya, ada yang baik ada pula yang jelek, andaikata locianpwe berangkat ke Cing hay dengan menghantarkan kitab tersebut, sekalipun mereka pegang janji dengan memberikan tiga butir mutiara kepadamu, belum tentu hal mana merupakan suatu penghargaan yang terlalu tinggi"

"Ketika itu, lohu tak sampai memikirkan tentang persoalan itu, aku hanya merasa bahwa kitab itu merupakan sejilid kitab sembahyangan, bagiku bagi dunia persilatan sama sekali tiada pengaruhnya, maka aku tidak menyanggupi permintaannya, sayang hwesio tua itupun tidak sempat berbicara lebih jauh dan keburu mati lebih dulu. Setelah kejadian tersebut, aku sering melihat kitab ini, aku hanya menduga kalau isi kitab tersebut mungkin adalah suatu cerita dalam kitab membayangkan, walaupun lohu pun gemar membaca tapi sayang tidak memiliki bakat dan kecerdasan     seperti     kau,     maka     setelah    mendengar keteranganmu sekarang, lohu baru terbuka pikirannya bahwa kitab itu mungkin bukan sejilid kitab  sembahyangan. "

"Kalau bukan kitab sembahyangan lantas kitab apa?" "Mungkin suatu catatan khusus tentang suatu kejadian" "Catatan tentang suatu peristiwa?"

"Tak bisa dikatakan demikian, mungkin saja hwesio tersebut membawa kitab itu karena hendak mencari sesuatu, tapi akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tak sanggup menyelesaikan tugas tersebut, maka ia minta kepadaku untuk menyerahkan kitab, ini kepada orang lain"

"Dan orang itu adalah Mo gak taysu?"

"Benar, Sayang aku tidak menghantar kitab itu kepadanya, kini peristiwa tersebut telah berlangsung sepuluh tahun lamanya, mungkin Mo gak taysu sudah lama meninggalkan kuil Hui liong-si"

Cu Siau-hong tertawa getir, katanya:

"Locianpwe. selamanya kita tak akan sanggup lagi untuk mengantarkan kitab itu ke kuil Hui-liong-si" Pek Bwe terbahak bahak.

"Sudah terbakar?" katanya.

"Yaa, boanpwe telah memeriksa tempat menyimpan kitab sejilidpun sudah tak ada lagi."

"Ayah!" tiba tiba Pek Hong, menyela "kau telah memeriksa lokasi tempat kejadian, sebenarnya siapakah yang telah mencelakai diri Leng Kang ?"

"Anak Hong jika aku berbicara terus terang kau pasti akan merasa sangat kecewa"

"Katakanlah ayah!" "Aku tidak berhasil menemukan apa-apa, sergapan ini benar-benar merupakan suatu sergapan yang berhasil, suatu sergapan yang sebelumnya telah dipersiapkan suatu rencana yang amat matang"

Jadi menurut pendapat ayah, selama hidup kita tak akan sanggup untuk membalas dendam lagi ?"

"Tiada bau busuk yang bisa disimpan rapat, apalagi kita tidak menjumpai mayat It-ki, jadi buat kita masih ada sedikit harapan"

"Harapan apa?"

"Mungkin It-ki belum mati, melainkan diculik oleh mereka, nah inilah satu satunya titik terang yang kita miliki"

"Aku benar-benar tidak habis mengerti, kenapa mereka menculik It-ki dalam keadaan hidup?"

"Itulah perhitungan mereka yang jitu, daripada membunuh It-ki lebih besar manfaatnya bila mereka tetap membiarkan It-ki dalam keadaan hidup!"

"Kalau dilihat dari cara kerja mereka yang kejam sehingga ayam dan anjing pun tak ada yang dibiarkan hidup, menahan It-ki dalam keadaan hidup bukankah sama artinya dengan meninggalkan jejak?"

"Bu-khek-bun adalah suatu perguruan besar, kini dalam satu malam saja bukan cuma anggota perguruannya dibantai habis, rumahpun dibakar sampai ludas, betul kalian orang orang Bu khek-bun masih tak tahu apa gerangan yang telah terjadi, tapi hal ini jangan harap bisa mengelabuhi dunia persilatan, sekalipun mereka berhasil membunuh It-ki, membunuh setiap orang sehingga seorangpun tak ada yang hidup, toh tidak sulit bagi umat persilatan untuk mencari titik terang. Lagi pula dalam hal ini kau tak usah gelisah, yang patut digelisahkan adalah mengapa mereka biarkan It-ki tetap hidup, disamping itu masih ada pula Siau-hong dan lain lainnya kenapa merekapun tidak ikut diburu?".

"Yaa, kejadian ini memang rada sedikit aneh ...." Cu Siau-hong segera menyela katanya:

"Ji suheng Long Ing dan Kiu sute Tong Thian memang sudah mencurigakan sekali, toa suheng telah mendapat perintah untuk mengawasi gerak gerik mereka sayang peristiwa ini berlangsungnya terlalu cepat sebelum kita sempat melakukan suatu tindakan mereka sudah bertindak lebih duluan..."

"Yang betul-betul mengherankan justru adalah  lenyapnya jenasah dari ngo suheng Thio Hong tiong."

"Aaai salju setebal tiga depa, tak mungkin bisa terjadi dalam sehari" kata Pek Bwe, "Leng Kang memang terlalu jujur orangnya, meski dia sudah tahu kalau Long ing si bocah keparat itu ada persoalan, kenapa ia tak mau cepat cepat bertindak atas dirinya? Paling tidak ia harus mengutus orang untuk menguntilnya dan membongkar rencana busuk orang orang itu"

"Suhu telah memperhatikan hal itu dengan serius" jawab Cu Siau-hong, "bahkan secara khusus menyerahkan tugas ini kepada toa suheng, sayang mereka terlalu cepat bertindak"

"Tak bisa menyalahkan orang lain bertindak terlalu cepat, nak, dunia persilatan hakekatnya adalah suatu tempat yang menakutkan, kalau toh persoalan ini sudah diketahui, mengapa tidak cepat-cepat dibereskan? Bocah muda, kau harus ingat baik-baik akan hal ini, justru  lantaran   gurumu   terlalu   welas   kasih,   maka   ia   musti membayar mahal atas sikapnya itu. suatu pengorbanan yang menyangkut puluhan lembar jiwa manusia"

Cu Siau-hong menghela napas panjang, katanya: "Terima kasih atas nasehat locianpwe, boanpwe pasti

akan perhatikan baik-baik"

"Nah anak muda, selanjutnya bila kau melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, pikiran dan penglihatanmu musti tajam bila menghadapi suatu persoalan diselidiki dulu sampai jelas jangan sekali kali menarik diri ditengah jalan "

Sesudah menghembuskan napas panjang lanjutnya: "Setiap persoalan ada yang berat ada pula yang enteng,

bagaimana caranya untuk menyelesaikan dulu persoalan yang berat, hal ini tergantung pada kecerdasanmu sendiri"

"Terima kasih banyak atas nasehat locian-pwe!"

Dalam saat dan keadaan seperti ini setiap ucapan, setiap tulisan yang muncul di hadapannya menimbulkan kekuatan yang jauh lebih besar dari pada dihari hari biasa.

Nasehat yang diucapkan pada saat seperti ini biasanya akan lebih cepat terukir dalam hati orang daripada nasehat sebanyak seribu kata dihari biasa.

"Hei, pada saat semacam inipun kalian masih begitu isengnya untuk membicarakan masalah itu,” tiba-tiba Pek Hong berteriak,

"Seharusnya kalian musti berusaha untuk memikirkan siapa pembunuhnya lebih dulu"

"Jika dihari-hari biasa kubicarakan tentang soal ini kepadanya, maka ia akan melupakannya kembali setelah didengar, berbeda jika kubicarakan pada saat ini, setiap patah kataku pasti akan terukir dalam-dalam di dasar hati Siau-hong, karena darah suhunya belum kering, jenasah dari suheng. sute dan pelayanpelayannya masih membujur di hadapannya, dalam keadaan demikian dia pasti akan mengingat selalu setiap perkataanku ini"

Cu Siau-hong segera menjura dalam-dalam:

"Sungguh banyak sekali yang berhasil Siau-hong dapatkan pada saat ini." katanya

Pek Bwe tertawa getir, katanya lagi:

"Tak sia-sia Ling-kang berusaha dengan sekuat tenaga untuk membujuk kakekmu dan ayahmu untuk membawa kau masuk menjadi anggauta Bu-khek-bun, dalam hal ini ia memang melihat lebih jelas daripadaku, ia memang benar benar memiliki bakat seorang ketua perguruan"

"Ayah" seru Pek Hong lagi, “apakah kita perlu memeriksa lokasi sekali lagi untuk mengumpulkan sedikit bukti?"

"Jangan kuatir nak, sekalipun aku memeriksa dua kali juga sama saja tak akan menemukan bukti apa-apa, mereka tak akan meninggalkan bukti ditempat kejadian, gerakan mereka terlampau cepat, setelah membunuh orang, masih ada cukup waktu untuk memunahkan pelbagai bukti yang ada, cuma kaupun tak perlu kuatir, dengan gerakan mereka yang berjumlah banyak, pasti akan kita temukan suatu jejak untuk diselidiki, hanya saja aku masih ada beberapa yang ingin ditanyakan dulu kepada kalian"

"Apa yang hendak ayah tanyakan?"

"Aku masih ingat kalau jumlah anggota Ing-gwat-san ceng bukan cuma sekian saja aku lihat sudah berkurang setengah lebih" "Yaa, entah mengapa agaknya Ling-kang sudah mendapat firasat jelek, pada bulan berselang, ia sudah mulai membuyarkan para centeng dan anggota perkampungannya yang sudah tua, kemudian membubarkan pula sekawanan pelayan. "

"Kenapa?"

"Aku pernah mendengar Leng Kang membicarakannya sekali, katanya dia hendak mengatur kembali anggota Ing gwat san cang dan siap melatih sejumlah centeng muda"

"Hong ji, coba pikirkan baik-baik, kenapa ia harus bertindak demikian ?" kata Pak Bwe dengan wajah serius.

Pek Hong berpikir sebentar, kemudian jawabnya: "Mungkin ia telah merasakan bahwa dalam waktu dekat

dalam dunia persilatan bakal terjadi suatu peristiwa,  karena

beranggapan bahwa setelah kedua belas muridnya meninggalkan perkampungan Ing-gwat-san-ceng nanti, jumlah isi perkampungan menjadi amat sedikit, maka dia hendak melatih enam puluh empat orang centeng lagi agar kekuatan penjaga dalam perkampungan menjadi lebih tangguh"

"Bila sudah punya rencana seharusnya segera di laksanakan, coba kalau rencana itu diwujudkan dengan cepat, mungkin keadaannya pada malam ini akan jauh berbeda"

Sementara itu Tang Cuan telah membawa banyak orang pekerja untuk membereskan puing-puing yang berserakan.

Ketika sang surya mulai terbenam di langit barat, Seng Tiong-gak telah muncul kembali sambil membawa puluhan kereta yang berisi peti-peti mati buat para korban. Tempat penyimpanan uang dalam perkampungan Ing gwat-san-ceng ternyata tidak mengalami kerusakan apa apa, bahkan masih berada dalam keadaan utuh, ini semakin membuktikan bahwa kebakaran tersebut memang diatur dengan suatu rencana yang matang.

Dari kesedihan yang mencekam seluruh perasaannya tiba-tiba saja Pek Hong merasa semangatnya bangkit kembali.

Oleh karena ketenangan yang telah diberikan oleh Pek Bwe maka untuk sementara waktu Seng-Tiong-gak maupun Tang Cuan tidak membicarakan pula soal pembalasan dendam.

Demikianlah, ditengah puing-puing yang berserakan tampak berpuluh-puluh buah peti berjajar-jajar, meski ada enam tujuh orang bekerja yang membersihkan puing-puing di sana, toh pemandangan semacam itu cukup mengharukan hati setiap orang

Kini tinggal peti mati dari Tiong Ling-kang serta ke tujuh orang muridnya yang belum dikubur, sementara mayat mayat yang lain telah dikebumikan disekitar tempat kejadian.

?oooO)d.w(Oooo?

BERITA tentang peristiwa pembantaian atas anggota Bu-khek bun dengan cepat telah tersiar dalam dunia persilatan, tentu saja kejadian tersebut amat menggetarkan hati setiap orang.

Tengah hari ketiga, ketua kantor cabang perkumpulan Kay-pang untuk kota Siang-yang. Kim-kou (si kaitan emas) Yu Lip telah muncul ditempat kejadian. Toucu perkumpulan Kay-pang yang bermata tajam dan berpendengaran tajam ini muncul diikuti empat orang muridnya.

Di bawah petunjuk Yu Lip, empat orang anggota Kay pang itu segera turun tangan membantu menyingkirkan puing-puing yang masih berserakan di sana.

Sementara Yu Lip sendiri menuju ke ruang tengah untuk menjumpai tuan rumah.

Pek Hong kenal dengan Yu Lip, sebab tiap tahun paling tidak pengemis ini pasti berkunjung sekali ke perkampungan Ing-gwat san-ceng.

Dua hari belakangan ini, Pek Hong telah berhasil pula memulihkan kembali ketenangannya, rasa sedih dan dendamnya terpendam dalam dasar hati kecilnya.

Anggota perguruan Bu khek-bun yang masih hidup tinggal seberapa, mereka harus memikul suatu tanggung jawab yang sangat berat, oleh karena itu mereka perlu tenang, perlu waspada untuk setiap saat menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan.

Bagi orang persilatan berlaku kata-kata mencabut rumput sampai keakar akarnya. Oleh karenanya, besar kemungkinannya kalau para penyerang Ing-gwat-san-ceng bakal kembali ke situ untuk melancarkan serangan berikutnya.

Untuk menghadapi hal itu, mereka perlu waspada, perlu bersikap tenang, sehingga tidak menjadi korban lagi secara mengenaskan.

Yu Lip membetulkan pakaiannya, lalu masuk ke dalam ruangan sambil memberi hormat kepada Pek Hong katanya kemudian: "Yu Lip dari kay-pang, menjumpai Tiong hujin!"

"Yu Toucu, kau tak usah banyak adat!" ucap Pek Hong sambil tertawa getir. Yu Lip menghela napas panjang, katanya kemudian:

"Sungguh tak kusangka Tiong Buncu telah dilukai orang, peristiwa ini sungguh merupakan suatu ketidak beruntungan buat umat persilatan kita, dan merupakan suatu kerugian pula bagi Kay-pang yang telah kehilangan seorang sobat karib, ketika pangcu kami mendengar berita kesedihan ini beliau pasti akan bersedih hati “

"Aaai, peristiwa ini bukan suatu kejadian biasa, duduknya perkara amat panjang, dan tak dapat diterangkan hanya dengan sepatah dua patah kata saja"

"Tiong buncu adalah seorang enghiong, atas peristiwa ini aku orang she Yu telah mengirim berita ini kepada kantor pusat, asal pangcu sudah memperoleh berita ini, beliau pasti akan menyusul ke sini."

"Aai, hanya soal demikian kenapa musti merepotkan pangcu kalian? Hal ini malah membuat hatiku menjadi tak tenang"

"Hujin jangan berkata demikian, pangcu kami selalu menaruh hormat kepada Tiong buncu, ia telah menganggap Tiong buncu sebagai sahabat karibnya"

"Yu Tongcu" kata Seng Tiong-gak "kami merasa berterima kasih sekali atas kunjunganmu pada saat ini, maaf bila kami tak sanggup memberi pelayanan yang baik kepadamu, apalagi dalam suasana begini!"

"Aah, Jiya Kenapa kau musti berkata begini!? Di-waktu waktu biasapun aku tak berani bicara apa-apa, apalagi dalam keadaan seperti ini, masa aku bakal mengutarakan ucapan yang tak senang? Cuma ada satu perkataan memang ingin kukatakan. rasanya kurang lega hatiku bila tidak diutarakan keluar"

"Persoalan apakah itu?"

"Rasa hormat dan kagum pangcu kami terhadap Tiong Buncu, benar-benar muncul dari dasar hatinya. beliau pernah berpesan kepada cayhe, jika Bu-khek-bun membutuhkan bantuan Kay-pang, maka cayhe diperintahkan untuk memberi bantuan, baik disuruh terjun ke air maupun disuruh terjun ke api, kami tak akan melakukannya dengan ragu-ragu"

"Sungguh mengharukan sekali budi kebaikan partai kalian terhadap perguruan kami."

"Jiya, semua pesan ini disampaikan sendiri oleh pangcu kepadaku, sebenarnya aku tak ingin mengutarakannya kepadamu, kali ini terpaksa kuucapkan berhubung aku orang she Yu kuatir bila Tiong hujin serta Jiya enggan menerima uluran tangan partai kami untuk membantu kalian"

Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan:

"Soal membalas dendam adalah suatu masalah besar, aku orang she Yu tak berani untuk menyinggungnya, tapi soal lainnya aku orang she Yu bersedia untuk menampilkan diri guna membantu kalian mengatasinya seperti soal pembangunan kembali perkampungan Ing-gwat-san-ceng serta masalah lain-lainnya. Jiya! Bagaimana juga, kalian toh tak bisa berdiam terus ditempat semacam ini? Aku telah suruh orang untuk menyiapkan sebuah gedung di kota Siang-yang, untuk sementara waktu harap kalian bersedia pindah dulu ke kota, bila pembangunan di sini telah selesai, Hujin sekalian baru kembali lagi kemari." "Untuk sementara waktu perkampungan Ing-gwat-san ceng tak akan dibangun kembali.." kata Pek Hong, "Aku hendak menggunakan tempat ini sebagai tempat bersemayannya jenasah suamiku beserta ke tujuh orang muridnya, menanti kami telah berhasil membalaskan dendam sakit hatinya, jenasah mereka baru akan dikebumikan dan saat itulah perkampungan Ing-gwat-san ceng baru akan dibangun kembali"

"Perkataan hujin memang benar."

Pek Hong segera berpaling sekejap ke arah Seng Tiong gak, lalu bertanya:

"Sute, menurut pendapatmu perlukah kita pindah ke kota Siang yang untuk menetap sementara waktu?"

"Hujin, Jiya, aku orang she Yu menyediakan kesemuanya ini dengan hati yang tulus" kata Yu Lip, "lagi pula beberapa hari kemudian Pangcu kami akan tiba di sini" lebih leluasa bila kalian pindah dulu ke dalam kota Siang yang"

"Anak Hong, apa yang dikatakan Yu Toucu memang benar" sela Pek Bwe, "setelah mengalami peristiwa ini, Bu khek-bun memerlukan suatu jangka waktu untuk beristirahat, lagi pula semasa masih hidupnya dulu Leng Kang memang bersahabat kental dengan Kay-pang, aku pikir maksud baik ini tak perlu ditampik lagi"

"Apakah saudara ini adalah Pek Loya-cu" sapa Yu Lip. "Betul, aku adalah Pek Bwe!"

"Sudah lama Yu Lip mendengar nama besar Pek loya-cu, sungguh beruntung kita bisa berjumpa muka pada hari ini"

"Yu Toucu tak usah terlalu sungkan. aku pernah beberapa  kali  bertemu  dengan  pang-cu  kalian,  meskipun tidak terhitung suatu sobat karib, tapi merasa cocok dalam pembicaraan. Sungguh tak terkirakan rasa terima kasih kami kepada kalian, atas bantuannya setelah Bu-khek bun mengalami musibah"

"Pek loya-cu tak usah sungkan-sungkan, tapi memang apa yang dikatakan loya-cu tepat sekali, Tiong hujin membutuhkan istirahat yang cukup setelah musibah ini, sebab itu harap loyacu segera mengambil keputusan. Tempat ini tak boleh ditinggali terlalu lama, lebih baik kita berangkat sekarang juga ke Kota Siang yang sembari menghimpun tenaga kembali"

"Yaa, memang betul juga perkataanmu itu, anak Hong!

Bagaimana pendapatmu?"

"Seng sute, bagaimana pula pendapatmu?" tanya Pek Hong.

Diam-diam Pek Bwe manggut-manggut, menyerahkan persoalan ini kepada Seng Tiong-gak berarti memaksanya untuk memikul tanggung jawab tersebut.

"Siaute merasa bahwa kita memang butuh tempat dan waktu untuk beristirahat dulu” jawab Seng Tiong-gak “bila sudah tenang nanti, kita baru mulai berpikir kembali tentang kejadian ini serta merundingkan apa yang musti kita lakukan selanjutnya."

"Betul pendapat Tiong-gak memang benar, saat ini kita butuh ketenangan dan istirahat yang cukup!"

"Enso, kita sudah memutuskan untuk tidak membangun Ing-gwat-san-ceng dalam waktu singkat, maka tempat inipun tak boleh ditempati terlalu lama lagi"

Pek Hong termenung sejenak, kemudian mengangguk. "Baiklah sute saja yang mengambil keputusan" katanya. Untuk menghormati kedudukan Tang Cuan sebagai seorang Ciangbunjin, Seng Tiong-gak merundingkan kembali persoalan ini dengan Tang Cuan.

Tentu saja Tang Cuan menyatakan persetujuannya. Ketika Yu Lip menjumpai Pek Hong maupun Seng

Tiong-gak telah setuju, ia merasa gembira sekali, katanya kemudian:

"Kalian semuapun tak usah berada di sini lagi, soal lain serahkan saja kepada kami, Bagaimana kalau hari ini juga kita berangkat ke kota Siang yang?"

Ketika menyaksikan jenasah suaminya telah dikuburkan ke dalam tempat persemayaman sementara Pek Hong menghela napas, kemudian sahutnya:

"Baiklah, malam ini juga kita berangkat"

Tempat persemayaman sementara itu dibuat dari batu bata merah serta batu putih yang membentuk sebuah gundukan besar, dibalik gundukan besar itulah peti mati Tiong Leng Kang dan ke tujuh orang murid-nya disemayamkan untuk sementara waktu.

Setelah menutup kembali gundukan batu itu dengan sebuah batu putih, Pek Hong mundur ke belakang dan jatuhkan diri berlutut.

Seng Tiong-gak, Tang Cuan, Cu Siau-hong serta Yu Lip segera ikut berlutut pula di depan gundukan tanah itu.

Pek Bwe tidak berlutut. Tapi berdiri serius di situ dengan air mata berlinang.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar seorang anggota Kay-pang sedang membentak keras. "Hei, mau apa kau?" Mendengar itu, serentak Seng Tiong-gak, Tang Cuan serta Cu Siau-hong melompat bangun dan memburu ke tempat kejadian.

Tang Cuan menggenggam sebatang senjata rahasia Thiat-lian-hoa untuk bersiap siaga.

Ketika tiba ditempat kejadian, maka tampaklah seorang gadis berbaju hijau sedang berjalan mendekat dengan wajah tercengang.

Sementara dua orang anggota Kay-pang menghalang jalan pergi gadis berbaju hijau itu.

"Siau-hong, dia adalah nona dari atas gunung" bisik Tang Cuan kemudian.

"Yaa, memang dia!" Cu Siau-hong mengangguk. "Mau apa dia datang kemari?"

"Mungkin soal lebah yang dibunuh suhu!"

Walaupun jalan perginya dihadang oleh dua orang anggota Kay-pang, ternyata gadis berbaju hijau itu tidak merasa jeri, malah sambil tertawa ia menegur:

"Hei, apa yang telah terjadi di sini?"

"Siau-hong hayo ke situ." bisik Tang Cuan, "kita tengok apa maunya kemari."

Cu Siau-hong mengangguk dan mereka bersama sama menghampiri gadis berbaju hijau itu.. Ketika melihat kedatangan Cu Siau-hong, gadis berbaju hijau itu segera berseru:

"Cu kongcu, apa yang telah terjadi di sini"

"Nona. rumah kami telah dibakar orang banyak sekali anggota perkampungan kami yang dibunuh orang" "Banyak yang dibunuh? Kenapa?" seru si nona dengan wajah tertegun.

Gadis itu masih polos dan sifat kekanak kanakannya belum hilang seakan akan ia belum tahu kalau dunia ini penuh dengan manusia-manusia berhati busuk.

Diam-diam Cu Siau-hong berpikir:

"Jika harus membicarakan masalah ini, rasanya sulit untuk diterangkan dalam waktu singkat. "

Maka setelah termenung sejenak, ia putuskan untuk memberi keterangan dengan kata-kata paling sederhana.

Berpikir demikian, iapun menjawab:

"Rumah kami telah kedatangan banyak orang jahat, mereka membunuh orang kami semau hatinya, banyak yang terbunuh oleh mereka, setelah itu rumah kamipun dibakar"

Tampaknya gadis ini sudah terbiasa hidup sederhana, sehingga pandangannya terhadap soal hidup dan matipun sangat tawar, ia manggut-manggut sejenak lalu tanya lagi.

"Bukankah empat orang yang pernah kujumpai ketika itu?"

"Benar!"

"Sekarang, aku hanya menjumpai kalian berdua, mana dua orang lainnya.”

"Sudah mati!".

Mungkin gadis baju hijau itu merasa kenal dengan Tiong Ling-kang serta Tiong It-ki, maka ketika mendengar kematian mereka, tanpa terasa ia menghela napas panjang.

"Mereka telah mati ? Aaai sungguh kasihan benar-benar amat kasihan " Setelah membereskan rambutnya yang kusut, ia bertanya kemudian:

"Lantas bagaimana sekarang baiknya?"

-oOo>d’w<oOo-

"DALAM soal apa "

"Sebenarnya aku datang untuk menanyakan soal lebah tersebut, lebah itu penting sekali artinya, bila kalian tak bisa membayar ganti rugi, aku kuatir bisa... bisa. "

"Bisa apa?" tukas Tang Cuan sambil maju ke depan.

Tampaknya gadis berbaju hijau itu tak mampu bersikap galak terhadap Cu Siau-hong apalagi pemuda itu memang tampan, halus dan terpelajar, kata-katanya halus dan penuh kesopanan, hal mana sungguh sulit baginya untuk mengumbar hawa amarah.

Berbeda dengan Tang Cuan yang serius dan kata katanya tegas dan kasar, begitu ia membentak, gadis itu segera merasa bahwa kesempatannya untuk mengumbar amarah telah tiba, Katanya kemudian dengan dingin:

"Kalian harus menggantinya, jika tak mampu, maka akan kami bunuh orang yang telah membunuh lebah-lebah kami itu!"

"Tapi suhu kami yang membunuh lebah-lebah tersebut, padahal suhu kami telah mati sekarang"

Tang Cuan segera mengerutkan dahinya ingin mengumbar amarah, tapi ketika sampai di bibir, kata-kata tersebut segera ditelan kembali. "Lebah apaan yang sedang kalian ribut kan?" tiba-tiba Pek Bwe muncul sambil menegur, "'Sesungguhnya apa yang telah terjadi..."

"Suatu hari, suhu membawa kami pergi ke belakang bukit untuk belajar melepaskan senjata rahasia, waktu itu kami pergunakan lebah sebagai sasaran, siapa tahu ternyata lebah itu adalah lebah-lebah peliharaan orang." kata Tang Cuan.

"Oh, ada peristiwa semacam ini?" seru Pek Bwe..

Tang Cuan manggut-manggut, maka secara ringkas ia menceritakan kembali kejadian tersebut. Ketika selesai mendengar cerita itu, Pek Bwee menghembuskan napas panjang, lalu ujarnya: "Siau-hong coba temui nona cilik itu dan ajaklah berbicara, tanya dulu maksud kedatangannya!"

Cu Siau-hong mengiakan, ia lantas maju ke depan dan memberi hormat, kemudian ujarnya:

"Nona, suhu kami baru saja tewas dibunuh orang, suasana kesedihan masih menyelimuti hati kami semua, apakah nona bersedia menerangkan maksud kedatanganmu hari ini?"

"Aku kuatir kalian lupa dengan persoalan ini sehingga berakibat yang fatal, maka sengaja kudatang kemari untuk mengingatkan kalian kembali, sungguh tak disangka kalian baru saja ketimpa musibah, aku masih mengira Koay pepek membohongi aku, ternyata dugaannya memang tepat!"

"Apa yang dia tebak?"

"Ia bilang kalian sedang ketimpa musibah ditempat ini" "Oooh, darimana ia bisa tahu?" "Tentang soal itu aku kurang begitu jelas, ia tinggal di luar hutan sebelah sana, sehingga tiap orang yang lewati hutan tersebut pasti akan terlihat olehnya"

Sementara itu Pek Bwe telah berjalan menghampiri gadis itu.

Sedangkan Seng Thiong gak dan Pek Hong meski tidak bergerak, namun mereka ikut mendengarkan pembicaraan itu dengan seksama.

Cu Siau-hong merasakan hatinya bergolak keras setelah mendengar perkataan itu, tapi ia berusaha mengendalikan hatinya, pelan-pelan katanya lagi:

"Nona, empek Koay tersebut adalah manusia seperti apa?"

Betul si nona berbaju hijau itu tidak berpengalaman, ternyata otaknya amat cerdas, sambil tertawa dia lantas menegur:

"Kalian curiga kepadanya?"

Pertanyaan yang diajukan secara langsung dan terbuka ini, tentu saja membuat Cu Siau-hong rada gelagapan, sesudah termenung sejenak ia baru menyahut:

"Aku bukannya curiga, hanya kami rasakan hal ini merupakan suatu keanehan, pertama ketika kami lewat hutan hari itu, tidak dijumpai orang tersebut, kedua iapun tidak kenal dengan mendiang guru kami, kenapa ia bisa tahu tentang peristiwa ini?”

"Apakah kau tidak mendengarkan dengan seksama? Ia bernama Koay pepek karena dia adalah seorang pincang, gerak geriknya sangat tidak leluasa "

"Kalau memang gerak geriknya tidak leluasa, kenapa ia tinggal didalam hutan?" "Tempat tinggalnya aneh sekali, beberapa batang pohon besar telah dijadikan satu olehnya, kemudian di atas dahan pohon itu dibangun beberapa tempat tinggal, di sana sini diapun memasang banyak sekali alat-alat rahasia sehingga siapapun yang tak tahu keadaan sebenarnya, tak nanti bisa mengetahuinya! "

Sudah jelas sekarang, orang yang disebut empek Koay  itu adalah seorang tokoh persilatan yang lihay dengan kepandaian yang luar biasa semua orang menjadi tertegun olehnya.

Gadis baju hijau itu melirik sekejap ke arah Cu Siau hong, kemudian berkata lebih jauh.

"Ia pandai melihat garis muka orang, pintar pula meramalkan nasib orang bahkan ramalannya tepat sekali cuma sayang kedua kakinya lumpuh dan tak bisa berjalan, seringkali kubantu dirinya melakukan pekerjaan, maka hubungan kami akrab sekali kecuali aku, hanya seekor monyet putih yang menemaninya selama ini"

Mencorong sinar tajam, dari balik mata Pek Bwe setelah mendengar keterangan tersebut, tapi hanya sejenak kemudian telah lenyap tak berbekas, katanya kemudian:

"Nona, apakah kau bisa membawa kami untuk bertemu dengannya?"

Gadis berbaju hijau itu gelengkan kepala nya berulang kali.

"Tidak mungkin" sahutnya, "dia tak nanti mau bertemu dengan orang luar, ia pernah beritahu kepadaku agar tidak menceritakan tentangnya kepada orang lain, hatinya pasti akan merasa sedih"

"Darimana ia bisa tahu kalau mendiang suhu kami bakal ketimpa musibah?". tanya Cu Siau-hong lagi. "Ia pernah melihat kalian lewat di hutan sana, maka sewaktu aku datang kemari tadi telah bertemu dengannya, ia bilang suhu mu telah tewas dan tidak mengijinkan aku kemari, tapi aku ingin datang kemari"

"Siau-hong," Pek Bwee segera berbisik, "cobalah minta kepada nona ini untuk menghantar kita menjumpai tokoh sakti tersebut"

Cu Siau-hong mengangguk, kepada gadis berbaju hijau itu katanya kemudian,

"Nona, aku tahu kau pasti akan merasa serba susah, cuma kami benar-benar ingin berjumpa dengannya, bersediakah kau untuk membantu kami..."

Nona berjubah hijau itu menundukkan kepalanya dan tidak menyahut, wajahnya menunjukkan serba salah.

Jelas ia dibuat kesulitan untuk menampik permintaan pemuda tersebut, sehingga untuk sesaat lamanya menjadi serba salah.

Pek Hong yang melihat kejadian itu segera berbisik: "Ayah, coba lihatlah keadaannya itu, jangan terlalu

menyusahkan orang lain"

"Ssstt, jangan kau urusi soal ini" tukas Pek bwe sambil menggelengkan kepalanya berulang kali.

Pek Hong cukup memahami watak ayahnya, ia tahu ayahnya sampai menyulitkan orang, hal ini pasti disebabkan oleh alasan tertentu maka iapun tidak berbicara lagi.

Agaknya Cu Siau-hong merasa tidak tega juga melihat kesulitan si nona itu, sambil menghela napas diapun berkata lagi: "Nona bila kau benar-benar merasa keberatan, aku tak akan memaksa dirimu!"

Pelan-pelan gadis berbaju hijau itu mendongakkan kepalanya, kemudian bertanya: "Hanya kau seorang yang hendak menjumpainya?"

"Juga lohu!" capat Pek Bwe menyambung. "Kau juga ingin ikut?"

Setelah menghela napas panjang, gadis itu berkata lagi:

"Aku telah menyaksikan semua peristiwa yang kalian alami, memang kejadian itu betul-betul mengenaskan dan memedihkan hati, kalian tentu tak punya waktu lagi untuk mencari lebah-lebah tersebut"

"Yaa, kami memang mempunyai kesulitan tersebut" "Tapi jika kalian tak dapat menyerahkan lebah-lebah itu,

jika Ouyang pepek sampai marah mungkin kesulitan lebih

besar bakal kalian jumpai untuk mengatasi persoalan ini, hanya Koay pepek yang bisa mencarikan akal untuk mengatasinya."

"Oooh..."

"Aku Sebenarnya juga ingin membawamu untuk pergi memohon bantuan kepadanya, tapi aku tak tahu apakah ia bersedia membantumu atau tidak"

"Apakah empek Koay kenal dengan Ou-yang sianseng?" tanya Cu Siau-hong kemudian.

"Semestinya kenal, cuma belum pernah kujumpai mereka berdua saling bercakap-cakap".

"Bila nona bermaksud demikian, kami semua pasti akan merasa berterima kasih sekali..." "Baiklah!" kata nona berbaju hijau itu kemudian "akan ku ajak kalian berdua untuk menjumpainya, tapi wataknya sangat buruk, setelah bertemu nanti kalian musti banyak bersabar."

"Terima kasih atas petunjuk dari nona!" Pek Bwe mendehem pelan, lalu berkata: "Hong-ji, kini pintu tempat Ling-kang bersemayam telah ditutup, kau tak usah tinggal di sini lagi, ikut saja dengan Yu Toucu kembali ke kota Siang-yang, sedang aku dan Siau-hong setelah bertemu jago lihay itu akan menyusul pula ke kota Siang-yang"

"Locianpwe, apa perlu membawa orang lebih banyak?" bisik Seng Tiong-gak lirih.

"Tidak perlu...." Ia merendahkan suaranya dan melanjutkan kembali:

“Tiong-gak, pesan kepada Yu Lip agar jangan menceritakan kejadian ini kepada siapapun, kemungkinan besar orang yang dimaksudkan nona itu adalah Koay-sian (dewa pincang) yang sudah tiga puluh tahun lamanya lenyap terutama didalam hal ilmu perbintangan dan ilmu meramal nasib, ia memiliki kemampuan yang melebihi siapapun. Empat puluh tahun berselang, lohu kesempatan untuk bertemu muka sekali dengannya atas petunjuknya pula aku berhasil menghindari suatu bencana yang amat besar"

"Boanpwe mengerti, silahkan locianpwe berangkat!"

Di bawah petunjuk dari nona berbaju hijau itu, berangkatlah Pek Bwe dan Cu Siau-hong menuju ke hutan. Ketika mereka tiba di depan hutan, gadis berbaju hijau itu kembali berkata: "Harap kalian tunggu sebentar di sini, akan kuberitahukan dulu kunjungan kalian ke pada empek Koay!"

Sehabis berkata, ia masuk ke dalam hutan

Memandang bayangan punggung si nona. hingga lenyap dari pandangan. Cu Siau-hong berkata agak kuatir:

"Locianpwe, jika ia enggan berjumpa dengan kita, apa yang musti kita lakukan?”

"Yaa, lihat saja nanti apa kita lagi mujur atau tidak! Jika ia bersikap keras tak mau berjumpa, sekali pun kita dapat berjumpa dengannya juga percuma"

"Kalau begitu, locianpwe kenal dengan orang itu?"..  "Bila  dugaanku  tidak  salah,  dia  adalah  Dewa pincang

yang amat tersohor dalam dunia persilatan dimasa lalu, tiga

empat puluh tahun berselang Pena Wasiat Cun-ciu-pit pernah menyampaikan sepatah kata sindiran atas kepandaian ilmu meramalnya, justru karena hal sindiran itu terpaksa ia musti mengundurkan diri dari keramaian dunia. tak di sangka ternyata ia berdiam dibukit Liong-tiong-san. Dulu, ketua Siau-lim pay yang lalu pernah mengajaknya berkunjung ke kuil Siau-lim-si tanpa sekehendak hatinya karena itulah meski sudah tiga bulan ia berdiam di situ tak sepatah katapun yang diucapkan"

Sementara pembicaraan masih berlangsung dengan langkah cepat gadis berbaju hijau itu telah muncul kembali:

"Cu Kongcu!" katanya, “empek Koay bersedia menjumpaimu!

"Nona cilik, apakah lohu juga disinggung”, tanya Pek Bwe..

"Yaa, kau juga disinggung .." "Lantas apa katanya?".

"Sebenarnya ia enggan bertemu denganmu, akulah yang memohon berulang kali kepadanya, sebelum ia menyanggupi juga, cuma ia minta aku untuk menyampaikan sepatah kata kepadamu..."

"Tunggu sebentar, apakah ia menanyakan bentuk wajahku?" tukas Pek Bwe.

"Benar!"

"Nah, kalau begitu teruskan!"

"Ia minta aku untuk menyampaikan kepadamu, bahwa sesudah berjumpa nanti maka kau hanya diperbolehkan mengajukan dua pertanyaan, sebab itu kau musti berpikir baik-baik sebelum berbicara"

"Baik, lohu sudah mengerti!"

Maka gadis berbaju hijau itupun membawa mereka berdua menuju ke dalam hutan.

Sepanjang jalan Cu Siau-hong memperhatikan sekeliling tempat itu dengan seksama, dia ingin tahu kenapa kedatangannya tempo hari diketahui orang tanpa ia sendiri mengetahuinya, hal mana amat tidak memuaskan hatinya selama ini.

Sebab itulah, begitu masuk ke dalam hutan, biji matanya segera berputar ke sana kemari memperhatikan dengan seksama:

Melihat itu, tersenyumlah si nona berbaju hijau.

"Kau tak akan menemukan jejaknya" ia berseru, "dia bersembunyi dibalik dedaunan yang rimbun, lagi pula seringkali berpindah tempat" "Nona!" bisik Cu Siau-hong, "jika seseorang harus bergerak ditengah dedaunan yang rimbun, apakah perbuatannya itu tak akan menimbulkan suara?"

"Tidak mungkin tubuh empek Koay kurus, kurus sekali, ditambah lagi semua peralatan yang dimilikinya sekalipun ia melompat lompat juga tak akan menimbulkan suara apa apa"

Cu Siau-hong segera menghembuskan napas panjang, "Oooh. kiranya begitu!" ia berbisik.

Dalam pembicaraan itu sampailah, mereka di bawah sebatang pohon yang sangat besar. Sambil menuding ke arah pohon besar itu nona berbaju hijau tersebut berkata:

"Tunggu saja kalian di situ!"

“Apakah ia di atas pohon besar ini?” tanya Cu siau-hong sambil mendongakkan kepalanya memperhatikan pohon besar itu.

"Benar!" gadis baju hijau itu lantas menengadah dan berteriak keras "empek Koay. kami berada di sini!"

Sreet! Sreet! diantara bunyi gemerisik, sebuah tempat duduk yang terbuat dari rotan telah dikerek turun dari atas pohon besar itu.

"Cu kongcu, silahkan duduk di sana!" ujar gadis berbaju hijau itu kemudian sambil tertawa.

"Oooh. !" Cu Siau-hong segera duduk dalam keranjang

tadi.

"Empek Koay pernah bilang, setelah duduk di atas kursi ini maka setiap orang musti memejamkan mata dengan begitu keranjang tersebut baru akan bergerak naik ke atas, ia baru boleh membuka matanya kembali bila keranjang itu telah berhenti" kata si nona. Cu Siau-hong mengerti, rupanya orang itu kuatir kalau rahasia peralatannya ketahuan orang, maka ia pun pejamkan matanya bahkan memejam rapat-rapat dengan niat sungguh-sungguh.

Pelan-pelan keranjang itu mulai bergerak naik ke atas, berputar dan dalam perasaan nya ia harus naik turun beberapa waktu lamanya sebelum benar-benar berhenti.

Menanti keranjang itu betul-betul berhenti sama sekali, Cu Siau-hong baru membuka matanya.

Ternyata ia telah berada ditengah pepohonan yang berdaun sangat lebat, sedemikian lebatnya sehingga tidak nampak pemandangan apapun juga:

Di depan sana terpentang sebuah jembatan kayu kecil, suara dingin yang nyaring berkumandang dari seberang sana:

"Jalan kemari!"

Cu Siau-hong menyeberangi jembatan kayu di ujung sana ternyata merupakan sebuah rumah kayu kecil.

Bangunan rumah kayu itu dibangun di atas dahan-dahan pohon yang besar dan kuat, dalam ruangan tersebut lima buah bangku kayu kecil yang pendek, di atas salah satu bangku pendek itu duduklah seorang kakek ceking.

Sebuah jubah panjang hampir menutupi sepasang lutut sampai kakinya, tapi wajah dan sepasang lengannya dapat terlihat dengan jelas.

Pelan-pelan kakek ceking itu mengelus jenggot panjangnya yang putih, lalu berkata dengan lirih: "Siapa namamu?"

"Boanpwe bernama Cu Siau-hong!" "Kau adalah murid Bu-khek-bun?" Dari mulut nona berbaju hijau itu, Cu Siau-hong sudah tahu kalau kakek ini tak suka banyak berbicara, maka jawaban yang ia berikan diusahakan sesingkat mungkin.

"Benar!"

"Gurumu Tiong Leng Kang sudah mati belum?"

"Sudah mati, murid Bu-khek-bun juga ada tujuh orang yang mati, tiga orang lenyap, sekarang tinggal aku dan toa suheng Tang Cuan berdua!"

Kakek ceking itu mendengus dingin.

"Hmm! Tiong Leng Kang terlalu memikirkan soal keberhasilan dan kesuksesan dia tak tahu bagaimana cara berhubungan dan membawa diri secara baik oleh karena itu sangat merugikan masa hidupnya di dunia ini!"

Sekalipun ucapannya tidak sungkan-sungkan tapi nadanya tandas dan meyakinkan.

Cu Siau-hong merasa tak sanggup untuk menjawab, karena itu ia cuma berdiam diri belaka

"Bocah kecil apakah kau merasa tidak puas dengan kritik yang lohu lontarkan ini?” tanya kakek ceking itu lagi.

"Oooh tidak boanpwe hanya merasa bahwa ucapan locianpwe mengandung arti yang amat mendalam karena itu boanpwe tak tahu bagaimana harus menjawab"

Kakek ceking itu tertawa.

"Suatu jawaban yang amat bagus!" katanya, “coba kalau Tiong Leng Kang memiliki setengah saja dari sifat lembut yang kau miliki, tak akan dia jumpai bencana besar seperti apa yang dialaminya sekarang, namun apa yang diharapkan dapat diwujudkan semua, nama besar nya menggetarkan pula seluruh dunia persilatan! sekalipun dia bisa mati dengan puas " "Mendiang guruku berjiwa terbuka, penuh welas kasih dan berhati jujur karena itulah ia terjebak oleh kemunafikan musuh terkutuk.."

"Walaupun ia mati terlampau cepat tapi meninggalkan nama harum di dunia persilatan!" tukas kakek ceking itu "soal bagaimanakah wataknya dan jasanya kita serahkan saja penilaiannya pada Pena Wasiat Cun ciu pit kita tak perlu membicarakannya lagi..."

Pokok pembicaraanpun segera dialihkan ke soal lain. kembali ia berkata lebih jauh:

"Bocah muda, coba kau perhatikan diri lohu, apakah ada sesuatu yang berbeda dengan orang lain?"

Dengan seksama Cu Siau-hong perhatikan sekejap ke wajah kakek ceking itu, kemudian sahutnya: "Boanpwe tidak berhasil mengetahuinya, maaf bila aku bermata tak berbiji hingga tidak melihat apa-apa"

"Aku membawa hawa kematian, umurpun pasti tak akan lama lagi", ucap kakek ceking itu.

Sekali lagi Cu Siau-hong perhatikan wajah orang dan berusaha mencocokkan dengan apa yang dikatakan itu, tapi kembali ia gelengkan kepalanya berulang kali.

"Boanpwe benar-benar tak dapat melihat tanda-tanda tersebut, tapi.... bukankah locianpwe masih hidup segar bugar?"

"Orang yang hampir mati biasanya akan tampak selapis hawa kematian yang menyelubungi wajahnya, tapi bila setiap orang dapat melihat tanda-tanda tersebut, lohu tak akan disebut orang sebagai Dewa pincang"

"Jadi kau adalah Dewa pincang yang sudah termasyhur sejak tiga puluh tahun berselang itu?" "Yaa, lohu memang si Dewa Pincang Ui Thong..." Setelah menghela napas panjang, katanya lebih jauh.

"Tentu budak Giok yang melukiskan wajahku dan Pek lotau-cu berhasil menebak asal usulku bukan?"

"Jika wajah locianpwe memang persis seperti dulu, kenyataannya memang demikian."

"Bocah cilik, tahukah kau kenapa lohu harus mati?" tiba tiba Ui Thong bertanya lagi.

Cu Siau-hong benar-benar dibikin tertegun oleh pertanyaan tersebut, jika seseorang harus mati dan  kematian tersebut ada alasan nya dan bisa ditebak duluan, bukankah orang itu bisa mencoba untuk menghindarkan diri dari kematian itu?

"Hei anak muda, mengapa kau tidak menjawab?" tegur Ui Thong kembali.

"Boanpwe bodoh sekali dan tak tahu bagaimanakah harus menjawab, sebab bila seseorang dapat mengetahui saat kematiannya, itu berarti dia sudah mengetahui langit, pendapat ini terlampau tinggi bagiku, boanpwe merasa tak dapat memahaminya dengan jalan pikiranku."

"Haaahhh haaahhh haaahhh.... bocah pintar memang patut dipuji, jadi kau percaya kalau takdir itu ada?"

"Sesungguhnya dalam alam semesta yang lebar ini terdapat suatu kekuatan tak berwujud yang mengatur segala sesuatunya, orang bilang siapa berbuat kebaikan dia akan menerima kebaikan siapa berbuat kejahatan dia akan menerima hukuman, itu berarti karma ada pada diri manusia, dus berarti takdir itupun ada, takdirlah yang akan menentukan garis-garis kehidupan kita selama sepanjang manusia itu hidup dialam semesta." "Kekuatan tak berwujud itulah yang mengatur kita dan menentukan takdir dari tiap-tiap insan manusia tersebut"

Sementara pembicaraan berlangsung, diam-diam Cu Siau-hong merasa heran kenapa sampai saat itu Pek Bwe belum juga sampai di situ?

Rupanya Ui Thong dapat menebak suara hatinya, sambil tertawa ia lantas berkata:

"Bocah cilik, lohu telah menggunakan sedikit alat rahasia untuk menunda kedatangannya di sini, bila pembicaraan kita telah selesai nanti, mereka pun akan tiba pula di sini"

Tertegun Cu Siau-hong setelah mendengar jawaban tersebut, segera pikirnya:

"Tak beres kalau Pena Wasiat Cun ciu pit mengeritik permainannya, yaa permainan alat rahasianya memang aneh, sakti tapi menakutkan sekali”.

Berpikir sampai di situ, diapun berkata:

"Tolong tanya apa yang hendak locianpwe bicarakan dengan diriku, harap segera dijelaskan, dengan senang hati akan boanpwe perhatikan dengan seksama, cuma jangan mengutarakannya dengan kata-kata rahasia, boanpwe tidak akan mengerti"

"Baik!" ujar Ui Thong kemudian, "mari kita bicarakan secara terbuka, ketahuilah bencana yang lohu alami akan terjadi dalam sepuluh hari mendatang, sekalipun usiaku sudah cukup tua tapi aku masih belum ingin mati, lagi pula sepanjang hidup aku selalu mempelajari rahasia langit, aku berharap dengan mengandalkan kepandaian yang kumiliki ini bencana tersebut bisa kuhindari"

"Ooh..." "Setelah lohu periksa dari segi rahasia langit, dari segi ilmu meramal dan ilmu perbintangan lainnya, kuketahui bahwa aku masih mempunyai setitik harapan untuk hidup lebih jauh, tapi membutuhkan bantuan orang untuk meloloskan diri dari bencana itu, secara kebetulan orang yang bisa membantuku itu adalah kau.."

"Aaah! Masa iya? Kau yang mengerti soal ilmu perbintangan dan ilmu meramalpun tak dapat menolong dirimu sendiri, apa yang bisa kuberikan untukmu?"

Ui Thong menghela napas panjang.

"Aaai.... Selama tiga puluh tahun lebih aku menyembunyikan diri untuk menyelamatkan diri, menggunakan kesempatan tersebut aku banyak mencari obat penolong orang dengan maksud memelihara masa kehidupanku."

"Tentu saja jika kau bersedia membantu sekarang, lohu tak akan menerima bantuanmu dengan begitu saja, suatu balas jasa pasti akan kuperuntukkan bagimu"

"Jika boanpwe dapat membantu, tanpa balas jasapun boanpwe bersedia membantu diri cianpwe!"'

“Pertama kau harus bersedia tinggal selama sepuluh hari di sini, dalam sepuluh hari tersebut, segala sesuatunya kau harus menuruti apa yang lohu pesankan"

Cu Siau-hong termenung dan berpikir sebentar, kemudian sahutnya: "Baik, boanpwe bersedia, apakah masih ada pesan lain."

"Seandainya aku tak mampu melawan takdir dan akhirnya meninggal, maka kaupun harus menuruti pesan terakhirku untuk menyelesaikan segala persoalan terakhirku" "Baik! Boanpwe turut perintah"

Ui Thong segera tertawa, tiba-tiba ia menggerakkan seutas rotan yang berada disamping bangkunya. Bergeraklah tali rotan itu ke atas dengan membawa Pek Bwe yang sedang duduk di keranjang tersebut.

Pek Bwe ternyata mengingat baik-baik pesan dari gadis berbaju hijau tersebut, setibanya dalam ruangan ia tak berbicara ataupun menyapa.

Ui Thong memandang pelan, kemudian ujarnya lebih dulu:

"Apakah budak itu berada di bawah sambil memasang mata? Apa yang hendak kalian katakan? Sekarang boleh kalian utarakan."

Pek Bwe manggut-manggut, tapi ia belum mau juga bersuara.

"Pek cianpwe!" kata Cu Siau-hong kemudian, "Ui cianpwe minta kepadaku untuk berdiam selama sepuluh hari di sini untuk membantu nya guna menyelesaikan sedikit persoalan, entah boleh tidak.!"

Pek Bwee mengalihkan sinar matanya ke wajah Cu Siau hong, kemudian tertawa dan tetap tidak berbicara. Melihat itu dengan kening berkerut Cu Siau-hong segera bertanya:

"Locianpwe, apakah kau menyetujuinya?" Pek Bwee masih juga tidak menjawab, tapi sinar matanya dialihkan kembali ke wajah Ui Thong.

Ia hanya diperbolehkan mengucapkan dua patah kata saja. itu berarti ucapan baginya sangat berharga sehingga setiap patah kata yang hendak, diajukan harus  direncanakan lebih dulu dengan matang agar bisa mendatangkan hasil yang sepadan. Cu Siau-hong masih juga tidak mengerti apa gerangan yang telah terjadi antara kedua orang itu, terpaksa katanya:

"Saudara berdua kalau ada persoalan lebih baik dikatakan sekarang juga" Ui Thong tertawa, tiba tiba katanya:

"Pek Bwee, kuijinkan kepadamu untuk berbicara dua patah kata lebih banyak lagi, nah sekarang kau buka mulutmu untuk berbicara!"

Pek Bwee menghembuskan napas panjang ia segera bertanya:

"Kau sudah tahu kalau Tiong Leng Kang bakal mati?" "Ehmm!. Aku telah melihat hawa kematian di atas

wajahnya"

"Kenapa tidak kau tolong dirinya?"

"Sebab itu sudah kehendak takdir, apakah kau menginginkan aku berbuat melawan takdir?" Pek Bwee menghela napas panjang.

"Aaai! Aku sudah menembusi soal mati hidupku sendiri maka akupun tak ingin menanyakan soal rejeki atau bencana bagi diriku lagi, aku hanya ingin bertanya kepadamu. bagaimana kah nama baik Tiong Leng Kang? Pantaskah, kalau menerima pertolonganmu?"

"Menurut perhitunganku, dengan kesaktian yang dimilikinya Tiong Leng Kang sekarang, mana mungkin ia mau percaya dengan perkataanku? Sekalipun kubocorkan rahasia langit, apa pula manfaatnya?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar