Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 37

JILID 37

Han in melihat munculnya musuh-musuh itu segera ia menyerang.

Seorang pendeta yang berada paling depan menjerit, terus tubuhnya roboh. Dia menjerit sambil mulutnya memuntahkan darah hidup. Melihat nasib kawannya, yang menyedihkan itu, beberapa pendeta lainnya lekas-lekas mundur pula. Mereka jeri. Sebaliknya pendeta gemuk yang bersenjata lonceng itu, yang lagi mendesak Giok Yauw. Dia melihat dua orang kawannya roboh secara hebat itu dan yang lain lainnya mundur sendiri, segera ia meninggalkan Nona Thio untuk meng hampiri si pendeta bercacad. Tanpa menanti sampai sudah datang dekat, dia menyerang sambil menimpukkan loncengnya itu. Han In melihat datangnya serangan hebat ia segera menggunakan kedua tangannya menolak dengan keras. Sehabisnya menolak, senjata istimewa dari musuh itu. Han in Taysu menyerukan Giok Yauw supaya si nona merintangi pendeta-pendeta lainnya. "Serahkan dia ini kepadaku" menambahkan si pendeta tua.

Giok Yauw menurut, ia melompat ke mulut lubang dimana sejumlah pendeta nampak hendak menerobos masuk. Tanpa ragu ragu pula, ia menimpukkan jarumnya.

Beberapa teriakan kesakitan terdengar diantara pendeta pendeta itu. Karena itu, mereka tak dapat melanjutkan penyerbuannya.

Pendeta yang bersenjatakan lonceng terkejut melihat lonceng kembali kepadanya, lekas lekas dia membuka kedua tangannya untuk menyambuti. Sementara itu dia heran mendapat kenyataan musuh bercacat itu demikian liehay. Diapun menjadi penasaran Maka dia mengulangi timpukannya.

Kembali Han in menolak dengan tangannya maka kembali lonceng mental kepada musuh.

Dalam penasaran si pendeta mengulangi serangannya beberapa kali, tapi saban-saban dia tidak peroleh hasli, selalu loncengnya dimentahkan kembali kepadanya. Pendopo terang benderang. Tidak semua obor dapat dipadamkanBan Liang tadi.

Ketika itu dari luar pendopo terdengar suara "Masih ada dua orang bocah wanita yang belum turun tangan. cobalah  menggempur tembok pula, buat membuat satu lubang lain, untuk menyerbu masuk dari situ, guna menyerang kedua bocah itu. Asal mereka sudah turut berkelahi, lalu merdekalah kita masuk dari lubang yang mana juga . Han In Taysu mendengar jelas kata kata itu ia kuatir. Ia tahu dengan "dua orang bocah wanita" itu tentulah dimaksudkan dua Nona Hoan. Itulah berbahaya. Nyata musuh liehay dan kejam Mana dapat si nona menangkis serbuan?

Tengah ketua Ngo Bie Pay berpikir, lonceng sudah datang pula. Kali ini ia menolak dengan tangan kirinya, dengan tangan kanannya dia membarengi menotok.

Pendeta gemuk itu sedang mengagumi pendeta lawannya ketika ia melihat kembaliknya loncengnya, dia lalu menggunakan kedua tangannya untuk menyambut senjata istimewanya itu supaya dia bisa menimpuk pula dengan kedua tangan, dengan terlebih hebat. Tapi kali ini dia terkejut. Mendadak ia merasai sebelah tangannya nyeri. Tadi dia tidak menduga apa apa, baru sekarang dia kaget. Dia tahu bahwa orang telah menotoknya. Rasa nyeri itu membuat tenaganya habis, tak sanggup dia memegang loncengnya lebih lama, lonceng mana terus meluncur kebelakangnya. Syukur dia sempat berkelit.

celaka tembok dibelakang itu, yang gempur peCah membarengi suara terhajarnya seCara hebat. Tapi bukan Cuma tembok itu yang menjadi korban-Disebelah luar itu terdapat pendeta pendeta lainnya, yang bersiap sedia membantu kawan kawan mereka, tak mereka sangka akan gempurnya tembok. akan meluncurnya lonceng, maka tanpa berdaya, terhajarlah mereka. Maka juga diantara riuhnya jeritan ketakutan dan kesakitan dari mereka, robohlah mereka semua Berhasil dengan serangan itu, Han in Taysu lalu bergerak Cepat dan meluncurkan kedua tangannya berulang ulang, untuk memadamkan sisa obor.

Ketika itu Giok Yauw dan Oey Eng masih menempur musuhnya masing masing kedua pihak agaknya sangat tangguh. Lima belas kali Giok Yauw menyerang, tapi selalu ia kena ditangkis.

Kedua pendeta dapat bertahan, tapi itu juga berarti bahwa mereka menahan penyerbuan kewan kawan mereka sendiri. sementara itu lubang tembok yang baru, yang disebabkan terhajarnya lonceng yang mental balik akibat penolakan Han in Taysu, telah menambah jalan masuk bagi kawanan pendeta. Kesempatan itu tak mereka sia-siakan. Begitulah dua orang kepala gundul tampak berlompat masuk dari lubang itu.

Penuturan kita ini agak lamban sedangkan kejadian sebenarnya berlaku cepat sekali. Selagi kedua pendeta itu berlompat masuk Han in berkata kepada Ban Liang: "Kalau jumlah musuh yang masuk bertambah, keadaan akan menjadi hebat sekali..."

"Memang," berkata sijago tua, mengangguk "Sekarang kita  sudah repot, apa pula kalau jumlah musuh meningkat... It Tie rupanya berniat keras membinasakan kita, tak nanti dia suka menyerah kalah "

"Mungkin mereka menunda penyerbuan untuk sementara saja dan akan dilanjutkan dengan yang terlebih hebat."

"Taysu benar. Apakah Taysu menerka It Tie akan merubah siasat.”

“Entahlah, yang terang dia bersedia mengorbankan pendopo besarnya ini.”

“Nampaknya demikian-"

"Mungkin mereka hendak menggunakan api" berkata Siauw Pek, yang bertindak menghampiri. Karena mundurnya musuh tadi, ia sempat kedalam dan sempat pula mendengar pembicaraan kedua jago tua itu.

"Sulit kalau mereka benar-benar menggunakan api," kata Ban Liang.

"Kalau sampai terjadi demikian, terpaksa kita  harus meninggalkan pendopo ini," kata Han In Taysu. "Kita terpaksa mesti berkelahi mati-matian.”

“sekarang baiklah menanyakan pendapat Nona Hoan," kata Siauw Pek. "Sejak pertempuran dimulai, Nona Hoan terus duduk berdiam saja," kata Ban Liang perlahan.

Siauw Pek heran, alisnya dikerutkan.

"Kenapa begitu? " tanyanya sepertipada dirisendiri.

"Nona itu telah terialu menggunakan otaknya, dia harus beristirahat," berkata Han In Taysu. "Tadi siecu melayani kawa nan pendeta itu, ilmu pedang siecu luar biasa sekali, belum pernah aku menyaksikan sebelumnya. Aku kagum sekali"

"Taysu memuji saja," kata si anak muda merendah.

"Serbuan musuh hebat sekali, apakah siecu tak merasa terdesak?

"

"Kalau pertempuran berlarut beberapa lama lagi, mungkin aku

yang muda tak akan dapat bertahan..."

Pembicaraan mereka terhenti sampai disitu karena dari luar terdengar suara keras dan mengancam^ "Diluar pendopo besar ini telah ditumpuk banyak bahan bakar kering, asal kayu disulut maka habislah ruangan ini, maka itu kau, tak peduli tubuhmu tubuh besi, kamu akan hancur lebur juga. Tapi punco masih menaruh belas kasihan, sekarang punco suka beri kesempatan kepada kamu. Akan punco bunyikan lonceng hingga sepuluh kali, selewatnya itu, kalau kamu masih tak mau keluar dari pendopo, nah, jangan kamu nanti sesalkan punco kejam dan telengas"

Begitu suara pendeta itu berhenti, begitu terdengar suara lonceng ditabuh satu kali. Ban Liang mementang matanya lebar lebar, dia mengawasi Han in Taysu.

"Kelihatannya kita terpaksa mesti keluar dari sini," katanya.

Ketua Ngo Bie Pay balik mengawasi jago tua itu, sebelum dia memberikan jawabannya. tiba tiba mereka mendengar suara yang nyaring merdu ini: "Tak usah kita bela lagi pendopo besar ini. Mari kita pergi keluar" Itulah suara Soat Kun, yang tampak mendatangi dengan tenang, sebelah tangannya tetap pada bahu adiknya.

"Nona sudah tersadar? " tanya Han in Taysu. Nona itu mengangguk.

"Tak kusangka It Tie berani membakar pendoponya," berkata si nona. "Jikalau mereka membakar dari empa tpenjuru, tak dapat kita lolos lagi. Maka itu, sebelum mereka membakar kita harus mendahuluinya meninggalkan pendopo ini."

"Tetapi, nona," berkata Han in Taysu, "barisan rahasia Lo Han Tin liehay sekali, apabila kita keluar dari sini, pasti ditengah jalan kita bakal kena terkurung tin itu..." Nona Hoan tetap bersikap tenang.

"It Tie Taysu berlaku begini kejam, terpaksa kitapun jangan berbelas kasihan lagi terhadapnya," sahutnya.

Ban Liang heran akan ketenangan si nona yang sejak tadi terus berlaku sabar sekali. Ia tidak dapat menerka apa yang dipikirkan si nona selama nona itu duduk diam saja. sekarang mendadak nona itu mengajak mereka keluar.

"Nona, apakah nona telah mendapat jalan untuk keluar dari sini? " tanyanya.

"Mulanya aku menyangsikan It Tie bersedia membakar pendoponya ini," sahutsi nona. "Nyata terkaanku itu keliru. Sekarang jalan kita cuma jalan keluar. Seperti baru saja kukatakan, kitapun jangan main kasihan lagi."

"Jikalau kita sampai terkurung didalam Lo Han Tin, sangat sedikit kesempatan buat kita lolos..." kata Han In Taysu.

"Jikalau mereka dapat menggunakan tin, kenapa kita tidak melawannya? " tanya si nona.

"Bagaimana caranya itu, nona? " Han In Taysu tanya.

"Bukankah dibelakang pendopo besar itu terdapat sebuah rimba?

" Han In danBan Liang saling mengawasi heran. Begitupun yang lainnya. Tak pernah mereka perhatikan rimba yang disebutkan si nona. Sedangkan si nona tak dapat melihat Soat Kun berkata pula: "Jikalau ingatanku tidak keliru, dibelakang pendopo besar ini mesti ada sebuah rimba, maka itu selekasnya kita meninggalkan pendopo, mesti kita langsung menuju kerimba itu untuk masuk kedalamnya.”

“Kemudian? " Han In Taysu bertanya.

"Rimba itu pasti jauh lebih luas daripada pendopo ini, dengan demikian, kalau kita melawan musuh, kita akan dapat bergerak lebih leluasa. Kita dapat maju atau mundur sekehendak kita. Dilain pihak, kita juga dapat melihat tegas kepada musuh, kepada gerak geriknya, hal mana memudahkan pertahanan kita.”

“Ada satu hal yang loolap tak dapat tak menjelaskannya...” “Apakah itu, taysu? "

"Musuh banyak, kita sedikit, tak lazimnya kita melawan musuh ditempat luas terbuka seperti itu..."

"Dengan berdiam di dalam pendopo yang terkurung rapat, kalau It Tie membakar kita bagaimana kita dapat meloloskan diri? " Han In Taysu berdiam. Lainnya pun sama.

Nona Hoan berkata pula, perlahan^ "Sekarang ini tidak ada lain jalan. Kita meninggalkan tempat kematian buat mencari jalan hidup" Ia berhenti sedetik, segera ia menambahkan^ "Sekarang ini sudah tak ada tempo berbicara lagi dan berpikir lagi, maka itu kalau taysu sekalian percaya kepadaku, marilah"

Siauw Pek tiba tiba teringat akan barisan bambu rahasia dari si nona. Maka ia segera menjawab: "Nona, perintahkanlah"

Hoan Soat Kun kemudian berkata pula, terang, jelas: "Pada saat menghadapi ancaman bahaya besar, jikalau kita ingin terhindar dari ancaman, kita harus memusatkan pikiran kita, kita harus bersatu padu. Maka itu, mulai dari bengcu sampai kepada para anggota dan tamu semua mesti bulat tekadnya, jangan ada yang sangsi atau bercuriga. Bagaimana pikiran taysu semua? Setujukah? Hanya dengan cara ini barulah kita mempunyai harapan untuk dapat lolos kejalan hidup"

Siauw Pek segera memperdengarkan suaranya pula. "Aku orang she coh bersedia sebagai orang pertama yang akan mentaati perintahmu, nona"

Melihat sikap ketuanya itu, Oey Eng, Ban Liang dan Kho Kong segera turut memberikan suara mereka. Kata mereka: "Kami juga akan mentaati titah nona Kami tak akan menyesal andaikata kami harus menghadapi kematian. Kita memang harus saling membantu"

Han in Taysu batuk batuk. kemudian ia berkata: "Loolap bukan orang Kim Too Bun Tapi Loolap telah ditolongi oleh kau, hal itu membuat loolap amat berterima kasih. Sekarang kita menghadapi bahaya bersama sama, orang luar atau bukan, bagiku sama saja. Maka itu... nona, loolap bersedia akan mendengar kata katamu. Loolap berCaCad kaki, tak dapat bergerak dengan leluasa, walaupun demikian loolap masih dapat menggunakan kedua tanganku ini. Nona, loolap sedla bertempur mati atau hidup"

"Taysu, tak usah taysu bicara begini" berkata Ban Liang, yang telah menyaksikan bagaimana kehebatan silat tangan sipendeta tua.

Han in Taysu tidak menyambut suara Seng Su Pan, sebaliknya dia berkata nyaring:

"Nona sekalian, jikalau benar kamu tidak menganggap diriku sebagai bandulan bagimu, nah marilah loolap akan maju membuka jalan." Pendeta ini berkata dan berbuat. Dengan kedua tangannya, dia menarik dan menolak roda roda keretanya, untuk maju kepintu pendopo Siauw Pek meluncurkan tangan kanannya mencegah pendeta itu.

"Jangan sembrono, taysu" katanya. "Taysu kurang leluasa bergerak. biarlah, aku yang muda jalan di muka" Dan ia mendahului maju. Han In tidak memaksa, maka ia lalu mengikuti dalam rombongan-Tiba diluar pendopo, kawan Kim Too Bun ini melihat tumpukan kayu disekitar toatian-Siauw Pek mengernyitkan alisnya. "Sungguh aku tak mengerti," pikirnya. "Kenapa seorang ketua Siauw Lim Sie dapat bertindak begini rupa? "

Sementara berpikir begitu, ia berjalan terus diikuti rombongannya.

Soat Kun tahu suasana diluar itu. Soat Gie tetap memberitahukannya segala sesuatu.

"Nona Hoan," menyapa Ban Liang perlahan-"Memutar  kebelakang pendopo" Soat Kun mendahului sijago tua. "Dengan kecepatan luar biasa menuju langsung kedalam rimba Setelah tiga tombak didalam rimba kemudian berhenti."

"Sungguh hebat" pikir Seng Su Poan-"Sungguh cepat dan manis kakak beradik ini berhubungan satu dengan lainnya "

Siauw Pek mendahului jalan mutar kebelakang pendopo.

pada saat itu, tiba-tiba Kho Kong ingat ciu ceng yang masih dibiarkan didalam pendopo.

"Nona Hoan," katanya pada Soat Kun, perlahan, "apakah ciu Tayhiap hendak diajak bersama? "

"Tak usah..." sahut sinona.

Belum habis nona itu menjawab, dari dalam toatian terdengar suara nyaring. "Mereka memutar kebelakang pendopo "

Mendengar suara itu, suara dari musuh sebagai isyarat untuk kawan-kawannya Soat Kun mengayun tangannya kebelakang, melemparkan sesuatu atas mana segera terdengar suara letusan yang dibarengi menyalanya sesuatu seperti kembang api, memencar bundar empat atau lima kaki lebar, sedangkan diantara sinar api itu tampak dua orang pendeta kelabakan sebab jubah mereka terbakar letusan benda itu

Siauw Pek dan kawan-kawan melongo, tak terkecuali Ban Liang dan Han in Taysu yang sangat banyak pengalamannya. Belum pernah mereka menyaksikan senjata rahasia berapi semacam itu, bahkan yang menggunakannya seorang nona tuna netra. Kedua pendeta repot mencoba memadamkan api pada jubah mereka itu, tetapi mereka menepuk nepuk dengan sia sia belaka, sang api tak mudah dipadamkan, bahkan setiap kali ditepuk. apinya bertambah berkobar. Maka itu habis daya, mereka menjatuhkan diri untuk bergulingan ditanah. Kemudian si nona berkata pula, sungguh sungguh: "Asal kita bisa keluar dari pendopo besar ini, It Tie tidak bakal membakarnya, hingga keselamatan ciu ceng tak usah dikhawatirkan lagi. Sekarang lekas menuju kedalam rimba "

Siauw Pek bertindak cepat. Dibelakang pendopo, ia melihat kayu kayu bakar bertumpuk tinggi setombak lebih. Ia membulang balingkan pedangnya, membabat bolak balik tumpukan kayu itu untuk membuka jalan, guna dilintasinya. Dengan begitu terbukalah sebuah jalan lima kaki lebar, yang terus dilaluinya.

"Sungguh malu" berkata sianak muda didalam hati. "Nona Hoan buta kedua matanya tetapi dia toh tahu dibelakang pendopo ini ada rimbanya"

Pemuda ini berpikir demikian karena selewatnya rintangan tumpukan kayu, matanya segera melihat sebuah rimba bagaikan menghadang perjalanan maju mereka. Tanpa ayal lagi ia lari kearah rimba itu.

Kembali terdengar suara sinona, sekarang nyaring: "Jarak pendopo besar dengan rimba, ada belasan tombak. ditengah-tengah rimba itu mungkin musuh mengatur jebakan, karena itu berhati hatilah"

Kembali Siauw Pek kagum. Jarak yang disebutkan sinona memang tepat, yaitu belasan tombak dari toatian kerimba itu. Tapi tak mau ia memikirkan itu, segera ia berkata^ "Aku akan membuka jalan. Ban Loocianpwee, tolonglah menjaga sebelah kiri Nona Thio, kau menjaga disebelah kanan Saudara-saudara Oey dan Kho, kalian berdua memotong dibelakang Han In Taysu bersama nona berdua mengambil tempat ditengah-tengah" Ban Liang dan Thio Giok Yauw menyahuti, segera keduanya memecah diri kekiri dan kanan-Oey Eng dan Kho Kong merendak sebentar, untuk memernahkan diri dibelakang.

Segera setelah mengatur itu, Siauw Pek bergerak kearah rimba.

Baru melalui kira kira setengah perjalanan Siauw Pek dan kawan kawan melihat munculnya cahaya api diempat penjuru api dari belasan batang obor. Dan diantara sinar api itu, tampak bermunculan dari empat penjuru sejumlah pendeta yang terus mengambil sikap mengurung Han In Taysu berjalan dengan kereta tak dapat dia berjalan cepat. Ini pula sebabnya kenapa Siauw Pek dan lainnya tidak bisa berlari lari. Karenanya terpaksa sianak muda menghentikan tindakannya.

Diwaktu gelap seperti itu, para pendeta tak tampak jelas, apa pula jubah mereka berwarna abu abu gelap. Tadi itu, mereka bersembunyi sambil mendekam ditanah, lalu mereka bangkit.

Melihat jumlah kawan puluhan jiwa, Han in Taysu berkata cepat, "Sebelum mereka membangun Lo Han Tin, lekas kita menyerbunya”

“Jangan bingung," berseru Soat Kun. Jangan sibuk"

"Lo Han Tin sangat liehay, nona," Han in memperingatkan, "Semenjak dahulu, belum pernah ada orang lolos dari dalam tin itu"

"Aku tahu" sahut sinona. "Andaikata mereka sempat mereka membangun Lo Han Tin, tak nanti mereka sanggup mengurung kita sedikitnya mereka harus sudah insyaf."

Han in bungkam tetapi didalam hati ia berkata^ "Tak mungkin nona." Segera juga tujuh pendeta telah menghadang.

Siauw Pek memandang tajam, hatinya berpikir keras^ "Tak dapat tidak, terpaksa aku harus memperlihatkan contoh kepada mereka ini. Atau didalam pertempuran, kedua belah pihak bakal mengalami kerusakan. Bagi kita, kerusakan itu berarti kerugian besar dan celaka..." Maka lekas lekas ia menyimpan pedangnya ke dalam sarung, kemudian tangan kanannya terus meraba goloknya. Ia segera berkata kepada pendeta itu: "Para Taysu, kamu waspadalah" Suaranya itu sangat dingin, tak sadar untuk telinga lawan Ketujuh pendeta itu heran-Memang selama pertempuran dimuka pendopo, mereka sudah menyaksikan ketangguhan anak muda ini. Sekarang mereka heran melihat sianak muda menukar pedang dengan golok mereka mengawasi mendelong. Para pendeta lainnya turut mengawasi juga dengan tajam.

Siauw Pek tidak mau memberi kesempatan kepada sekalian pendeta itu. Dengan sama dinginnya, bahkan berpengaruh sekali, ia berkata keras: "sekarang perhatikan oleh kamu bertujuh orang. Aku hendak membinasakan salah satu dari kamu orang yang ditengah "

Tak seharusnya menyerang orang, orang menyebut dahulu jelas jelas siapa yang hendak diserang itu. cara itu berarti memberi kesempatan lawan bersiaga, untuk melawan atau lari. Tapi sianak muda telah melakukan itu. Itulah perbuatan yang sangat langka. Para pendeta itu heran, hingga mereka melengak.

Tak terkecuali juga Han In Taysu. Ketua Ngo Bie Pay ini tercengang saking herannya, hingga dia mendelong mengawasi sianak muda.

Sedetik itu sunyilah keadaan dimedan pertempuran itu. Walaupun demikian, semua pendeta diempat penjuru sama waspada.

Selagi keadaan sunyi itu, Siauw Pek memperdengarkan suaranya yang keren: "Apakah kamu semua sudah siap sedia? "

Para pendeta telah bersiap, terutama yang ditengah itu, yang ditunjuk si anak muda. Dia memasang mata, dia menyiapkan goloknya didepan dada. "Pinceng sudah sedia." akhirnya dia berkata perlahan-Enam orang pendeta lainnya bersiap untuk melindungi atau membantu kawannya itu.

Siauw Pek memperlihatkan wajah dingin yang menyeramkan. Sekali lagi ia memperdengarkan suaranya yang keren: "Nah, waspadalah " Menyusul peringatannya itu, Siauw Pek menghunus goloknya dan membacok. Ia tidak menghiraukan jarak yang memisahkan ia dari sipendeta.

Secepat sinar putih dari golok berkelebat, terdengar sipendeta menjerit menyayatkan hati, tubuhnya terus roboh bermandikan darah. Tubuh itu tertabas kutung menjadi dua potong. Sia-sia belaka keenam pendeta lainnya bersiap sedia, tak sempat mereka melindungi kawannya itu. Mereka terlalu lambat untuk berkelebatnya Toan Hun It Too golok ampuh dari Siang Go. Ketika kemudian semua mata pendeta mengawasi si anak muda, dia terlihat berdiri diam dengan tenang ditempat asalnya saja. Maka kembali semua orang tercengang. Hingga sangat sunyilah suasana disekitar mereka.

Siauw Pek menanti sebentar, lalu terdengar pula suaranya yang dingin: "Sekarang aku hendak menyerang satu diantara kamu berenam, aku maksudkan yang berdiri paling kanan sana. Maka berhati hatilah kamu"

Segera setelah suaranya itu, bengcu dari Kim Too Bun mengangkat tangannya dan menyerang. Keenam pendeta itu telah siap sedia, sekarang mereka dapat menggerakkan senjata masing masing guna menangkis Hoan Uh It Too Golok Tunggal Jagat. Karena itu, berisiklah suara bentrokan pelbagai alat senjata mereka menentang golok istimewa itu.

Tapi cuma sekejap saja suara berisik itu, lalu diakhiri dengan jeritan yang menyayatkan hati seperti semula tadi. Sebab pendeta yang paling kanan itu roboh dengan tubuh menjadi dua potong seperti rekannya tadi, menggeletak ditanah dengan berlumuran darah Dan Siauw Pek. si anak muda, berdiri tegak tetap ditempatnya. Semua pendeta melengak. mata mereka berkedap kedip.

Sampai disitu, Siauw Pek lalu berseru nyaring: "Matilah dia siapa berani menentang aku" Dan ia bertindak maju untuk membuka jalan. Rombongan Kim Too Bun segera bergerak, menuju kearah rimba. Mereka berjalan tanpa rintangan, bagaikan didepan mereka tak ada satu orang musuh jua Barulah sesudah orang masuk kedalam rimba terdengar suara para pendeta itu: "Lekas Lekas pegat mereka"

Tentu saja tindakan mereka itu sudah kasip. meski benar ada enam atau tujuh pendeta yang sadar segera dan terus lari mengejar Thio Giok Yauw menoleh kebelakang, tangannya diayun. Ia menggunakan jarumnya.

Pendeta-pendeta itu kaget melihat benda halus berkeredepan, mereka memencari diri guna menolong jiwa mereka masing masing.

Siauw Pek yang jalan dimuka mendadak memutar tubuh, untuk lari kebelakang. "Nona, lekas memasuki rimba" ia berseru kepada Nona Thio.

Giok Yauw meng insaft keliehayan sianak muda, ia mendengar kata. Tapi dasar sibocah nakal, sambil berjalan pergi, ia tertawa dan berkata: "Kawan kepala gundul sangat takut kepadamu, pergi kau gertak mereka"

Siauw Pek tidak menggubris nona itu, sebaliknya ia bertindak keluar rimba. "Siapa tidak takut mampus? " bentaknya. "Mari maju"

Habis menyingkir dari jarum Giok Yauw, para pendeta sudah berkumpul pula, niatnya untuk melanjutkan pengejaran mereka kedalam rimba, siapa tahu sekarang mereka dihadang sianak muda yang ditakuti itu. Dengan serempak mereka menghentikan tindakan kaki mereka, semua mengangkat kepala, mengawasi anak muda itu.

Siauw Pek berdiri tegak dengan tangan kanan pada gagang goloknya, matanya mengawasi musuh, sedangkan semua musuh melongo mengawasinya. Ban Liang mengawasi suasana tegang dan sunyi itu, ia menghela napas. "Aku rasa tak ada jago Bu Lim lainnya seperti pemuda ini..." katanya perlahan.

"Memang" kata Han In Taysu. "sudah ilmu silatnya demikian liehay, goloknya begini ampuh. Mungkin dialah yang bakal menghindar kaum Rimba Persilatan dari bencana besar. Ketika baru saja loolap melihat cara ia menghunus golok, loolap menjadi ingat satu orang..."

"Siapakah orang itu? " Ban Liang tanya.

"Pa To Siang Go, yang kaum Rimba Persilatan menyebutnya Hoan Uh It Too."

Mendengar jawaban itu, Ban Liang tersenyum "Setelah sekarang ini, baiklah aku tak usah mendustai kau lebih lama lagi, taysu," katanya.

Han In Taysu heran, hingga dia memandang melongo. "Apakah katamu siecu? " dia menegaskan.

"Kecuali Thian Kiam Kie Tong dan Pa Too Siang Go," menyahut jago tua itu, "siapa lagi dikolong langit ini yang sanggup bertahan dari kawanan pendeta Siauw Lim Sie ini, yang cara menyerbunya bergelombang? Siapakah lagi yang didalam pertempuran dapat membinasakan lawan dengan menunjuk bakal korbannya sekali? " Han In Taysu melengak pula, dia mengawasi tajam.

"Jadi menurut kau, siecu, pemuda ini seorang diri memiliki kepandaian merangkap yang istimewa itu? " dia tanya, matanya mengimplang. Ban Liang mengangguk.

"Tidak salah Dialah ahli waris Thian Kiam dan Pa Too"

"Melihat kepandaiannya, tak mau loolap menyangka," berkata ketua Ngo Bie Pay itu, masih ragu ragu. "Tapi, menurut apa yang loolap tahu, sudah lama Thian Kiam dan Pa Too tidak pernah memperlihatkan diri lagi, bahkan semenjak mereka menyembunyikan diri diseberang Seng Su Klo, orang tak tahu lagi mereka masih hidup atau sudah mati. Mungkinkah pemuda ini berhasil melintasi jembatan maut itu hingga ia memperoleh kepandaian ini dan kemudian berhasil pula menyeberang kembali melalui jembatan itu? "

Kembali Ban Liang mengangguk. "Taysu, tahukah kau siapa pemuda kita ini? " tanyanya selang sesaat. Pendeta tua ini menggelengkan kepalanya. "Loolap tidak tahu."

"Ketika dahulu empat ketua dari empat partai besar berkumpul di Pek Ma San dimana mereka menemui ajalnya secara hebat dan menyedihkan, setelah itu ada seorang lain yang menjadi sasaran pembalawan karena kebinasaan mereka itu. Bukankah sasaran itu ialah pihak Pek Ho Bun sekeluarga atau seluruh anggota partai? "

"Memang telah loolap pikir," berkata Han In Taysu, "bahwa setelah peristiwa itu, bakal muncul ekor yang hebat, yang mendatangkan rasa penasaran sekali..."

"Benar. Dan ratusan jiwa orang Pek Ho Bun telah jadi kambing kambing kurban itu..."

"Ban Hu hoat" tiba-tiba terdengar suara Nona Hoan.

"Loohu disini, nona" sahut sijago tua, sang hu hoat, pelindung hukum.

"Mungkin hu hoat mengetahui hal rimba ini," berkata si nona. "Rimba ini tidak terlalu lebat, tapi juga didalam sini tidak ada tempat terbuka yang lebih daripada lima kaki luasnya, maka itu, walaupun Lo Han Tin Siauw Lim Sie lihay, aku percaya tak nanti It Tie mampu membangun tinnya itu disini..."

"Itulah benar, siecu" Han In Taysu mendahului sijago tua menjawab. "cuma, selagi Siauw Lim Sie tidak mampu membangun tinnya disini, kita juga tidak dapat mengatur tin sendiri Maka itu, bukankah kita sama tak berdayanya? "

"Tapi tinku lain, taysu," berkata soat Kun "Tinku justru dapat menggunakan rimba lebat ini. Selain tidak membahayakan, justru kehebatannya ini menambah kegaiban tinku." Han In Taysu melengak. Dia heran sekali.

"Ah, tin apakah ini? " ia tanya diri sendiri. "Diantara kalian, tuan tuan, mungkin ada yang kurang percaya akan kata kataku," berkata pula si nona kemudian-"Akan tetapi, asal saja kalian suka menuruti segala petunjukku, aku tanggung pastilah tidak akan salah"

Han In Taysu berpikir. "Mungkinkah nona ini cerdik luar biasa?

Baiklah aku dengar kata katanya."

Tengah ketua Ngo Bie Pay berpikir itu, telinganya mendengar bentakan dari kemurkaan: "Sambutlah golokku ini" Dan menyusul itu, menjeritlah seorang pendeta, yang tubuhnya roboh ditanah. Itulah suara keren dari Siauw Pek, yang menggunakan goloknya saking terpaksa sebab seorang pendeta merangsak kepadanya, membuatnya gusar sekali.

Lalu terdengar suara Nona Hoan: "Sekarang ini, tuan tuan, tak sempat aku menjelaskan banyak banyak. waktu sudah tidak ada. Marilah mengatur diri, untuk mendengar kata kataku."

Kembali Han In kata dalam hatinya "Inilah yang belum pernah aku alami..."

Tepat waktu itu diluar rimba terdengar puji suci yang tinggi nadanya, lalu belasan pendeta merangsak kepada Siauw Pek, agaknya mereka itu tidak kenal mati.

Sianak muda heran. Tak mengerti ia akan puji itu. Ia hanya menerka, mungkin itu tanda "berani mati" guna membangunkan semangat, buat bertempur mati atau hidup, Bukankah beberapa orang pendeta sudah mati konyol? Tak mungkinkah kawan kawannya hendak memba secara membabi buta?

Tapi dia didesak lagi. Bagi Siauw Pek tak ada pilihan lain-"Kamu terlalu, baiklah" serunya. Maka ia menyambut pendeta yang pertama.

"Aduh" teriak pendeta itu, yang terus roboh tanpa nyawa. Golok ampuh telah menabas kutung tubuhnya Menyaksikan itu, para pendeta lainnya merendak. Kembali mereka melihat hebatnya golok itu, yang tak dapat dilawan, yang tak pernah memberi keringanan Sementara itu Siauw Pek menyimpan goloknya, buat berganti menghunus pedang.

"Para suhu" ia berseru, "tak ingin aku melukai atau membunuh orang, tetapi aku terpaksa dibuatnya. Sekarang aku beritahukan kepadamu kapan kamu masih tetap mendesak padaku, pembunuhan pembunuhan lagi"

Para pendeta itu gusar beserta takut. Bukankah telah beberapa saudaranya terbinasakan? Tapi mendengar suara sianak muda, mereka dapat berpikir Memang benar pihak merekalah yang mendesak terus terusan, yang membuat orang nekad.

"Kalau dia mogok, kemana perannya jikalau dia tak pernah membunuh? " demikian mereka menimbang.

Karena ini, berhentilah puji mereka itu Siauw Pek sementara itu mengawasi musuh sambil ia berpikir.

"Didalam pendopo, walaupun kita terkurung, ada juga rintangannya, yaitu pintu dan tembok." demikian pikirny a. "Disini ditempat terbuka, kalau mereka datang dari segala arah, sulit untuk menolong mereka itu. Untuk membela diri mau tak mau, aku toh mesti mengandalkan golok."

Tepat waktu itu terdengarlah suara Soat Kun: "Jangan membunuh lebih banyak orang lagi Lekas mundur"

Mendengar itu Siauw Pek menurut. la memang mengerti keadaan dan mengenalnya juga dirinya sendiri. Semenjak tadi sudah terlalu lama ia bertempur, maka juga , perlu ia beristirahat, guna memelhara dirinya.

Selekasnya sianak muda mundur, musuh merangsak. hanya didalam rimba yang lebat itu, mereka tak dapat berombongan, mereka mesti berpencar.

Setelah mundur enam tombak. Siauw oek dapat berkumpul bersama kedua Nona Hoan-Ia melihat Ban Liang, Oey Eng, Kho Kong dan Giok Yauw bersembunyi dibelakang sebuah pohon besar, sedangkan Han In Taysu bersama keretanya menempatkan diri dibelakang sebuah pohon lainnya. Kedudukan mereka itu merupakan separuhnya sebuah bundaran-Kedua Nona Hoan berdiam ditengah tengah sekali.

Biar bagaimana, Siauw Pek tidak melihat bahwa itulah sebuah tin Ia heran-"Bengcu," terdengar suara Nona Hoan, perlahan, "silakan bersama kami berdua saudara mengambil tempat kedudukan tengah ini guna menyambut yang lainnya."

cuaca waktu itu suram. Awan tebalpun menutupi sang putri malam, yang telah mulai muncul. Tanpa terasa sang malam telah tiba.

"Bagaimana dengan kepandaian bengcu menggunakan senjata rahasia? " Soat Kun kemudian bertanya. Selalu ia bicara bagalkan berbisik.

"Buruk" sipemuda mengakui.

"Kalau begitu, coba cengcu menggeser kekiri tiga tindak." minta sinona. "Disitu ada setumpuk batu, ambillah sedikit, buat disimpan di dalam saku baju, guna dipakai merintangi musuh Mereka harus dicegah datang mendekati sambil membawa obor dengan begitu malam ini tak akan mereka menyerbu pula."

"Mereka cuma mengurung kita, mungkin mereka sedang menantikan sang siang untuk melanjutkan pengepungannya . "

"Benar. Akupun membutuhkan waktu ketenangan lagi satu atau dua jam saja."

siauw pek percaya sinona, ia tak mau bicara lagi. Ia bertindak kekiri dimana benar terdapat banyak batu kecil. Ia menjadi sangat kagum.

"Nona ini tidak dapat melihat tetapi ketelitiannya luar biasa. Dia memikir apa yang orang ia tak ingat." Demikian pikirnya.

Kemudian terdengar Soat Kun berkata pula^ "Asal Hong Thian membantu kita, asal awan tetap mendung lagi satu jam, itulah sudah cukup," Kembali siauw Pek kagum. Sinonapun tahu cuaca gelap itu dan telah mengharapi bantuan Hong Thian Tuhan Yang Maha Kuasa.

Baru saja berhenti suara sinona, tiba tiba sinar api berkelebat.

Itulah dua batang obor yang ditimpukkan masuk.

siauw Pek waspada dan sebat sekali. Segera ia menimpuk dengan kedua belah tangannya, memadamkan api obor itu. Ia bukan ahli senjata rahasia tetapi timpukannya tepat. Api padam seketika^

Segera terdengar suara sinona^ "Pada saat ini didetik ini, biar bagaimanapun, tak boleh musuh diizinkan menyerbu masuk"

"jangan khawatir, nona" Siauw Pek memberikan perkataannya.

Nona Hoan tidak mengatakan sesuatu lagi.

siauw Pek tahu, nona itu sedang mengasah otaknya dan bekerja.

Dengan dibantu adiknya si nona lalu jalan berputaran disitu.

cuaca makin gelap. angin malampun menggoyang-goyangkan cabang-cabang pohon hingga menerbitkan suara berisik halus. Sukar untuk melihat jelas keliling.

Didalam gelap dan sunyi itu, kecuali suara sang angin, mendadak terdengar dua kali suara tertahan. Itulah suara bentroknya dua buah tangan, yang mengakibatkan salah satu pihak terlukakan. Menyusul itu dari tempat terpisah beberapa tombak terdengar perintah: "Lekas nyalakan api "

siauw Pek terperanjat. Ia mengenali suara It Tie Taysu, ketua siauw Lim Sie. Maka ia lalu berpikir: "Untuk mencegah penyerangan musuh, kelihatannya perlu aku melakukan atau merobohkan pendeta ini. Tanpa dia, para pendeta pasti tak akan berlaku mati matian-.."

Selagi ketua Kim Too Bun ini berpikir itu, cahaya api telah tampak. Itulah apinya empat buah obor, yang terpencar diempat penjuru, jaraknya satu dengan lain kira2 setombak lebih Dengan adanya sinar api itu maka tampaklah Soat Kun, sambil memegangi pundak adiknya tengah berjalan berputaran sejauh dua tombak. Dengan sebat Siauw Pek menggerakkan pula kedua tangannya, melontarkan batu-batu yang digenggamnya, kearah dua buah obor Kali ini ia gagal memadamkan api itu. sebabnya ialah, dua batang golok telah dipakai menghajar, merintangi batu itu.

Terangnya api membangunkan semangat para pendeta yang berpencar diempat penjuru. Terangnya api membuat mereka dapat melihat pihak lawan, dalam hal ini, nona nona she Hoan itu. Dengan selalu berlindung diantara pepohonan, mereka itu mencoba maju, guna mendekati kedua nona.

soat Kun masih tetap jalan memutari tempat lingkungannya itu, cepat jalannya. Para pendeta heran-Biar begitu, mereka itu terus maju.

Pihaknya siauw Pek juga tak dapat menerka maksud Nona Hoan, tapi mereka juga tidak berani bertanya apa apa, mereka cuma waspada.

Han In Taysu sementara itu memperhatikan keempat buah obor, yang cahaya terangnya merugikan pihaknya dan sangat menguntungkan musuh. Ia menginsafi ancaman petaka sebab pihak Siauw Lim Sie tak dapat dipandang ringan, baik jumlah maupun kepandaiannya. Musuh makin mendekati. Itulah berbahaya. Maka pada akhirnya, ia tak dapat tahan sabar lagi.

"Api obor itu mesti dipadamkan" katanya kemudian-"Siapa yang sudi maju bersama aku untuk menerjang musuh? " sambungnya lagi.

Walaupun ia berkata demikian, Tapi mata sipendeta diarahkan kepada coh siauw Pek.

Anak muda itu juga menginsafi ancaman bencana itu. Dari pada menanti sampai kena dikurung lebih baik musuh dihadang dahulu.

"Suka ku mengikuti loocianpwee" ia menjawab Han in Taysu. "Tetapi lebih dahulu Nona Hoan harus diberitahukan"

"Ya, memang kita harus menanyakan nona itu dahulu," Han Inpun bilang. siauw Pek segera mendekati Soat Kun, dengan perlahan ia berkata: "Nona, musuh telah merangsak mendekati kita, niatnya mau mengurung, karena itu aku memikir bersama Han In Taysu untuk menyambut mereka, guna merintanginya. Bagaimana pikiran nona? "

Tidak ada jawaban dari si nona. Entah ia tidak mendengar atau sengaja ia membungkam. Ia tetap berdiam walaupun si anak muda telah mengulangi kata katanya.

Sementara itu dilain pihak, Thio Giok Yauw sudah bentrok dengan musuh. Tak dapat ia mengendalikan diri menyaksikan musuh mendesak maju, walaupun hanya setindak demi setindak. Begitulah sambil membentak. ia menimpuk dengan jarumnya, Dua orang pendeta kena terhajar senjata rahasia yang halus itu, walaupun sebenarnya mereka telah mendengar suara si nona. Inilah sebab mereka kalah sebat. Karena itu, mereka lalu mundur. Tapi, dua orang mundur, empat yang lain telah pula menggantikannya.

Han In Taysu menyakslkan kejadian itu, mendadak dengan tangan kanannya ia menepuk sebuah pohon sambil berkata keras: "Kita tak dapat menanti lagi" lalu, dengan satu gerakan keras, ia menggelindingkan keretanya maju. Luar biasa ketua Ngo Bie Pay ini. Dengan kecekatannya, ia berhasil membuat keretanya berjalan diantara pohon pohon kayu itu. Kalau perlu, dengan menyambar pohon, ia bisa membikin keretanya berhenti dengan tiba-tiba. Secara begini ia telah mendekati musuh hingga sejarak satu tombak.

Ketika ia menghentikan keretanya, tangan kirinya memegang sebuah pohon-Seorang pendeta, yang bertubuh tinggi besar, heran mengawasi pendeta yang bercacat itu. Ia tidak merasa jeri karena ia mendapat kenyataan bahwa sipendeta tua bercacat kedua kakinya, bahkan ia segera berlompat maju, untuk menyerang dengan tongkatnya. Itulah hajaran kematian, yang dari atas turun kebawah Han In Taysu berkelit dengan tangan kirinya menolak pohon yang tadi ia pegangi, di lain pihak. dengan tangan kanan, ia menyambar pohon lain disisinya, guna menahan meluncurnya keretanya Lalu, dengan sangat sebat, dengan tangan kiri, ia membalas menyerang dalam rupa bacokan tangan Hebat serangan sipendeta Siauw Lim Sie, lengannya turun mengikuti ujung tongkatnya.

Justru selagi lengannya turun tak sempat diangkat naik, tibalah bacokan tangan lawannya. Tidak ampun lagi... lengan kanan itu terhajar patah.

Tidak cukup dengan bacokan tangan itu, selagi musuh kaget dan kesakitan, Han In meluncurkan tangan kanannya, untuk menyambar dada orang. Ia meninju tepat. Musuh itu menjerit keras, tubuhnya tertolak mundur, roboh terjengkang kebelakang, terbanting di tanah, tongkatnya terlepas jatuh.

Gerakan Han In Taysu itu dilakukan dengan tubuhnya terangkat dari keretanya, maka juga , habis menyerang itu, tubuhnya terpisah dari kereta itu. Maka waktu tubuhnya turun, ia turun terus ketanah dimana ia terus duduk numprah.

Ketika itu muncul empat orang pendeta lainnya. Mereka itu melihat kawannya roboh, tanpa ayal lagi, mereka segera menyerang ketua Ngo Bie Pay itu. Mereka maju dari kiri dan kanan-Melihat datangnya musuh, dengan cepat Han In Taysu memungut tongkat lawannya tadi,

selekasnya serangan tiba, ia menggunakan tongkat itu untuk menangkis berputar, dari kiri terus kekanan.

Keempat lawan itu berlompat mundur.

Melihat musuh mundur, Han In menimpuk dengan tongkat di tangannya itu. Ia mengarah lawan yang kedua dari kiri. lawan ini tidak menyangka bakal diserang secara demikian rupa, tak sempat dia menangkis atau berkelit, tahu tahu perutnya telah ditembus ujung tongkat, hingga dua cuma bisa menjerit satu kali, terus dia roboh dan binasa.

Habis menimpuk itu, dengan kedua tangan Han In menekan tanah, sambil menekan iapun menggerakkan tubuhnya, untuk dilambungi kearah kedua musuh yang di kanan, untuk melewatinya. Ketiga pendeta itu kaget bercampur gusar, maka mereka mengepung si cacad ini. Tetapi waktu itu, Siauw Pek keburu tiba. Dan sianak muda segera menikam musuh yang kedua dikiri. Pendeta itu berani, dia menangkis dengan goloknya.

Siauw Pek menarik kembali pedangnya itu, untuk terus diluncurkan kepada musuh lainnya. Ia bergerak sebat dan lincah seperti biasa.

Ketiga musuh itu menjadi jeri. Mereka mengenali anak muda yang liehay ini.

Ketika itu tiba tiba terdengar suatu suara yang bengis. "Kamu jangan mundur. Kau lihat pemuda itu, jangan kasih dia kesempatan untuk menolong kawan kawannya. Jangan mundur walaupun kamu bakal mati"

Suara itu bengis dan dingin, bernada kejam. Tidak mungkin itu dikeluarkan oleh seorang pendeta. Tapi itulah suara It Tie Taysu, ketua Siauw Lim Sie. Mendengar perintah itu, ketiga pendeta batal mengundurkan diri, sebaliknya dengan nekad mereka merangsak Siauw Pek.

Siauw Pek melayani ketiga musuh itu, sambil berkelahi, ia melirik kearah Han In Taysu Pendeta itu sudah bertempur pula, bahkan dia dikepung oleh empat orang musuh. Karena ia tak duduk diatas keretanya, dia tetap numprak di tanah. Untuk menghalangi musuh datang dekat, saban saban dia menggunakan pukulan angin menyerang kepada musuh musuhnya itu.

"Walaupun dia liehay, tak dapat dia dikepung terus terusan," pikir ketua Kim Too Bun itu. "Lama lama dia bisa kehabisan tenaga. Dialah seorang penting bagiku, tak dapat dia dibiarkan bercelaka, aku harus membantunya"

Begitu berpikir, begitu Siauw Pek mengambil keputusan. Segera dia itu mengurung ketiga lawannya dengan sinar pedangnya, sehingga lekas sekali mata mereka itu berkunang kunang tapi mereka ini mau mentaati perintah ketua mereka, masih mereka mencoba bertahan-.. Ada kalanya mereka memejamkan mata, buat terima binasa, sebab ujung pedang mengancam hebat dan mereka tidak berdaya menghindari diri. Tetapi nyatanya mereka tidak terlukakan mereka heran-Tentu saja mereka tidak tahu bahwa memang demikianlah sifatnya Pedang Maha kasih, yang tak biasa merampas jiwa.

Selagi tetap dikepung itu, hati Siauw Pek menjadi tegang sendiri. Disamping ia menyaksikan Han In Taysu terus dikurung, sejumlah pendeta lainnya tengah menghampiri kedua Nona Hoan-itulah berbahaya Bagaimana ia harus memecah diri untuk memberikan bantuannya?

Habis juga kesabarannya pemuda ini, wajahnya berubah menjadi merah padam. Segera ia meraba gagang goloknya. Tadi ia maju bersama Han in Taysu guna memadamkan obor, siapa tahu, mereka jadi kena dikurung oleh lawan lawan yang bandel itu.

Sesudah mengurung musuh musuhnya, yang tak mau mundur, Siauw Pek mundur sendirinya tetap sambil mundur, ia berkata bengis:

"Ketiga suhu, kamu terlalu. Kenapa kamu mendesakku begini rupa? Baiklah, kamu membuat aku habis daya"

Kata kata itu ditutup dibarengi menyerang dengan hunusan golok ampuh. Maka menjeritlah pendeta yang di tengah. Kepalanya terpisah dari tubuhnya Tubuhnya dan kepalanya itu jatuh terbanting keras. Sisa kedua musuh lainnya jadi tercengang. Tidak mereka lihat bagaimana bergeraknya golok musuh. Ketika mereka menatap si anak muda, dia itu tengah berdiam, pedangnya di tangan kiri, tangan kanannya digagang golok. Mereka heran, tak tahu mereka musuh menggunakan pedang atau goloknya itu...

"Mundur" kemudian Siauw Pek berseru bengis. "celakalah siapa menentang ku" Lalu dia bertindak maju.

Tanpa merasa kedua pendeta itu membuka jalan kekiri dan kekanan, baru setelah sianak muda lewat, mereka bagaikan tersadar, segera mereka lari menyusul Rupanya mereka ingat pesan ketua guna melibat anak muda itu... Siauw Pek tahu orang menyusulnya, ia tidak ambil pusing. Ia maju terus kearah Han in taysu yang masih dikurung keempat pendeta itu, timbullah hawa amarahnya.

"Kamu terlalu..." teriaknya. "Kamu sangat menghina orang bercacad. Bagaimana hina akan mengepung cara begini kepada seorang yang tak berdaya? Nah kamu lihatlah golokku." Kali ini anak muda membuktikan kata katanya itu, tanpa memberikan ancaman pula, Ia segera menghunus goloknya. Maka robohlah Salah seorang pendeta, dengan tubuhnya terkutung dua. Ketiga pendeta lainnya kaget. Justru itu dua diantaranya memperdengarkan jeritan tertahan. Selagi mereka berdiam itu, pukulan anginnya Han In Taysu telah tiba kepada tubuh mereka hingga selain nyeri, mereka itu terpukul mundur dengan limbung.

Pendeta yang ketiga itu masih berdiri menjublak. inilah disebabkan kesangsiannya untuk mundur teratur. Ia takut kepada ancaman ketuanya, yang menugaskan mereka mengurung dan membekuk lawan-Justru ia berdiam saja, Han in Taysu sudah menyerang pula kepadanya. Tanpa ampun, ia menjerit tertahan, tubuhnya terpelanting, roboh terguling seperti kedua kawannya terdahulu Tapi dia masih sadar terus dia rebah saja. Dia tahu, maju salah, mundurpun salah, maka paling benar, jalan rebah diam saja.

Han In heran orang roboh dengan tak bergerak bangun pula. Ia tahu, serangannya barusan bukan serangan kematian. Tapi ialah seorang cerdas, segera ia menduga kepada sebabnya itu. Rupanya ketiga pendeta sengaja tidak bangkit pula, supaya mereka tak usah dimata ketua mereka.

"Mungkin mereka ini sudah mulai mencurigai ketua mereka? " ketua Ngo Bie Pay itu berpikir lebih jauh. "Kalau benar, ancaman bahaya untuk kita pastilah akan berkurang..."

Berpikir demikian, pendeta ini tersenyum, Terus ia bergerak pula. Dengan kedua tangannya dia menekan tanah, untuk melompat mengapungkan diri guna menghampiri sebuah bara api menyala yaitu obor. Hanya dengan satu kali sampok. padamlah nyala api itu. Siauw Pek dapat melihat gerak gerik pendeta tua, ia menjadi kagum. "Dasar jago asli" katanya didalam hati. "Dia cacad begini tetapi tetap liehay dan semangatnya berkobar terus. Karena itu aku coh Siauw Pek, yang mengandung dendam kesumat hebat, apakah aku harus takut mati? "

oleh karena berpikir demikian, anak muda ini segera maju kedepan. Justru itu ia mendengar suara Han In Taysu. "Pendeta pendeta Siauw Lim sie itu sudah bosan berkelahi, jangan siecu terlalu banyak membinasakannya, nanti membangkitkan kenekadan mereka hingga mereka tak segan mengadu jiwa."

Siauw Pek melengak. Kembali ia berpikir^ "Memang kalau mereka semua nekad, sulit untuk melayaninya..."

Tak sempat pemuda ini berpikir lama. Dari kiri dan kanan tiba serangan berbareng. la menangkis yang dikiri sambil berkelit dari yang dikanan, serentak dengan itu ia lompat melewati mereka. Hanya sampai disitu, kedua pendeta itu tidak menyusul lebih jauh.

Maju sedikit lebih jauh, Siauw Pek mendekati obor. Dan segera ia menyampok dengan tangannya. Tapi dalam hal tenaga dalam, ia kalah dengan Han in Taysu. obor itu tidak padam, cuma bergoyan goyang, lalu tetap menggenciang. Hanya dilain saat, api padam akibat hembusan angin-Kiranya itulah serangannya pendeta Ngo Bie Pay.

"Lekas mundur" terdengar suara sipendeta "Musuh sudah mulai bentrok dengan Ban Tayhiap sekalian."

"Masih ada sisa api," kata anak muda. Tapi mendadak obor lainnya padam juga .

“Heran," pikir si anak muda. "Bukankah Han in Taysu sudah mundur? Siapakah yang membantu kita? "

Ketika itu terdengarlah bentrokan senjata yang nyaring berisik, datangnya dari arah timur selatan-Itulah pertanda bentrokan yang keras. Mendengar itu, si anak muda percaya pasti ada orang yang membantunya. Hanya ketika itu, dengan padamnya obor, gelaplah diantara mereka. Tanpa bersangsi pula, anak muda ini mundur perlahan lahan cuma telinganya terus mendengar suara bentrokan alat alat senjata.

Dan memang juga pihak Siauw Lim Sie sudah menghampiri Ban Liang dan kawannya.

Selesai Siauw Pek mendekati, ia melihat Giok Yauw bersama Kho Kong lagi melayani empat orang pendeta yang mengepung mereka itu. Tampak Kho Kong sudah mulai terdesak. Nona Thio masih dapat bertahan-

Diantara ke empat pendeta, yang bersenjatakan tongkat, kelihatan lihay sekali, dialah yang mencoba mendesak. Dengan cepat si anak muda mengambil putusan buat membantu saudaranya itu. Akan tetapi baru ia mau maju, mendadak sipendeta yang lihay itu telah memperdengarkan seruan tertahan, terus tongkatnya terlepas, disusul dengan roboh tubuhnya.

Menyusul itu, satu tubuh tampak berlompat bagaikan burung melayang, menghampiri tiga pendeta lainnya, dua diantaranya roboh sambil berseru tertahan juga . Karena orang yang datang secara tiba-tiba itu sudah menyerang kekiri dan kekanan dengan kesebatan luar biasa Habis itu, dia berlompat pula kesebelah timur.

Sekelebatan itu, Siauw Pek telah mendapat melihat siapa orang gagah itu, maka kekagumannya menjadi berlimpah-limpah. Sebab orang itu tidak lain dari pada Han In Taysu. "Jikalau tidak ada dia, sungguh berbahaya keadaan kita," pikir si anak muda. Justru itu terdengar suara Giok Yauw. "Nona Hoan terluka..."

Siauw Pek kaget, dia melompat maju, sambil melewati pendeta yang keempat, dengan ujung pedangnya ia menepuk bahu pendeta itu.

Pendeta Siauw Lim Sie itu tengah berdiri menjublak. ia telah menyaksikan bagaimana tiga kawannya, yang menjadi kakak seperguruannya telah dirobohkan dengan saling susul. Atas tepukan pedang sianak muda itu, dia merasa nyeri, dia mundur dua tindak. terus dia memutar tubuh untuk berlalu.

Didalam rimba terdengar pula bentrokan senjata berisik sekali, maka juga Han in Taysu segera pergi kesana.

Siauw Pek berlari, sampai ia tiba ditempat Soat Kun-Nona itu memegangi bahu Soat Gie, Lengan kanannya casah dengan darah, bajunya telah robek. Ketika ia melihat sianak muda, ia segera berkata: "Tidak apa, lukaku ringan Pergi lekas lihat yang lain-lain. Jumlah kita sangat sedikit, tak boleh ada orang kita yang terluka lagi "

Berkata begitu, sinona tak berhenti berjalan. ia bersama adiknya yang membantunya, terus mengatur tin, barisan rahasianya itu.

Siauw Pek tidak dapat bicara banyak. ia mengagumi sinona yang nyalinya besar dan tabah. Hanya sebentar ia berkata: "Nona, jagalah diri baik baik" Habis itu ia lari kepada Ban Liang.

Seng Su Poan lagi bertempur melawan tiga orang pendeta, yang semuanya gagah, lebih-lebih yang satunya, yang senjatanya tongkat. Dengan tongkatnya pendeta itu merabu pulang pergi, selalu mengincar bagian anggota tubuh yang berbahaya.

Pendeta yang dikanan, yang bergolok kaytoo saban-saban menikam dan membacok. dia juga terus mengancam bagian tubuh yang lemah.

Adalah pendeta yang ditengah, yang membawa golok. sebagai gantinya senjata tajam dia mengandalkan kedua tangannya, setiap pukulannya mendatangkan hembusan angin. Nyatalah bahwa dia pandai ilmu pukulan tangan kosong, atau yang disebut "Pek Khong ciang" pukulan "Tangan Udara", sebagaimana tadi Han in Taysu menghajar ketiga pendeta lainnya.

Walaupun ia didesak dan terancam, Ban Liang tidak mau mundur. la bertahan terus. Tak kecewa ia menjadi jago tua. Sayang karena terdesak tak sempat ia menggunakan pukulan Ngo Kwie Souw Hun ciang yang lihay itu. Segera setelah ia tiba, Siauw Pek menangkis golok kaytoo dari pendeta yang disebelah kanannya Ban Liang. Rupanya sipendeta mengenali sianak muda. begitu goloknya ditangkis, begitu dia mengangkat kaki pergi meninggalkannya.

Habis itu, Siauw Pek menyampok tongkat pendeta yang kedua, setelah mana ia terus membalas menyerang. Dengan cepat ia sudah menguasai lawan-Ketika pendeta itu melihat sianak muda, seperti kawannya tadi, dia segera lompat mundur, untuk berlalu pergi Sekarang tinggal seorang pendeta lagi. Dialah yang berkelahi dengan tangan kosong.

Siauw Pek menyerang, mendesak dengan tiga tikaman saling susul. Dengan begitu ia membuat lawan terpaksa mundur. Lawan itu merasa aneh. Dia didesak tapi tidak dilukai. Tak tahu dia akan maksud anak muda ini, dari merasa aneh, dia menjadi merasa likat, malu sendirinya. Diapun melihat kawan kawannya sudah pada pergi. Maka tak ayal lagi, dia melompat mundur dan mengangkat kaki.

Dengan empat batang obor telah pada mati semuanya, rimba menjadi gelap. sukar untuk melihat walaupun sejarak lima kaki. Gelap gulita itu menguntungkan rombongan sianak muda.

Seberlalunya ketiga musuh yang terakhir itu, mendadak Ban Liang jatuh numprah ditanah.

Siauw Pek terkejut, segera ia menghampiri, untuk membangunkannya. "Apakah loocianpwee terluka? " tanyanya prihatin.

Sijago tua tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala, terus dia memejamkan mata untuk beristirahat. Sebenarnya dia telah kehabisan tenaga, saking kuat hatinya, dia masih bertahan tadi Siauw Pek berduka, nona Hoan terluka, Ban Liang kehabisan tenaga, maka itu tenaganya jadi makin berkurang. Entah dengan Oey Eng bertiga. Ingin ia melihat ketiga kawan itu tetapi ia berat meninggalkan Soat Kun bertiga. cuma ia merasa hatinya lega juga sebab disekitarnya sunyi, tak ada suara beradunya alat senjata. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar