Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 45

JILID 45

Dua orang nona kecil berseragam hitam muncul dengan membawa lentera.

Mereka diikuti oleh dua orang nona lain, yang mengapit si anggota Tiam Cong Pay yang tadi tertotok Siauw Pek. Dia diantar kedepan meja. Pendopo besar itu sunyi sekali.

Kedua nona yang membawa lentera maju pula beberapa tindak. terus mereka berdiri diam, berdiri dikiri dan kanan, lentera mereka diangkat tinggi hingga cahayanya menyinari muka Su Kay Taysu dan Coh Siauw Pek sekalian. Dengan begitu, selagi orang lain melihat tegas pada mereka, mereka sebaliknya silau melihat orang orang lainnya.

Kedua nona, yang mengapit anggota Tiam Cong Pay yang tertotok itu, satu antaranya melaporkan: "harap diketahui, orang ini berdiri diam didalam rombongannya, dia telah ditotok oleh kawannya, entah siapa."

"Ilmu totok itu ilmu golongan apa?" tanya orang yang duduk dibelakang meja itu.

"Ilmu totok biasa saja"

"Bebaskan dia dari totokan, biar dia bicara" demikian perintah orang dibelakang meja itu.

Si nona menepuk, membebaskan orang itu. Tapi setelah itu, ia menotok lagi.

Semua mata diarahkan kepada orang itu, yang tak tampak wajahnya sebab dia memakai kerudung kepala dan muka yang berwarna hitam. orang hanya menerka dengan melihat Cara berdandannya serta senjata yang dibawanya.

Su kay dilain pihak tak bisa melihat wajah orang dibelakang meja itu. Dia bertubuh kecil, dilihat dari potongan tubuhnya serta suaranya mestinya dia seorang wanita, bahkan usianya tentu belum lanjut.

Semua orang menerka orang itu ialah chee Liong Tongcu, Cuma Uh bun ceng yang tahu bahwa dia itu bukanlah pemimpin dari Ruang Naga Hijau chee Liong Tong sebab chee Liong Tongcu adalah seorang lelaki cuma, iapun tidak kenal wanita ini siapa adanya.

"Kasih tahu namamu" demikian wanita itu memerintahkan si anggota Tiam chong Pay ya baru dibebaskan dari totokan itu.

"Cie Sun dari Tiam chong Pay," sahutnya orang itu.

"Pernah apakah kau dengan cia Po Sie?" si wanita itu bertanya pula.

"Dia adalah Ciangbun suhengku."

Jadi dialah sutee, adik seperguruan, dari cia Po Sie, ketua Tiam cong Pay yang namanya disebut itu. "Kaulah murid Tiam chong Pay, kenapa kau tidak membekal pedang?"

"Selama bertempur tadi, pedangku terhajar patah oleh tongkat Su Lut Taysu."

"Tiam chong Pay jauh diwilayah Barat laut, kenapa kau datang ke wilayah Tionggoan ini dan bahkan turut didalam pertempuran?"

"Sebenarnya aku pergi ke Hie ciang mengunjungi sahabat, tiba tiba aku menerima titah ketua ku buat pergi menyambut it Tie Taysu, membantu dia meloloskan diri. It Tie Taysu, ketua Siauw Lim Pay, sudah buron dengan membawa kitab kitab pusaka partainya."

"Kemudian bagaimana ?"

Cie Sun melengak sejenak, baru dia menjawab: "Titah ketua kami itu cuma menyuruh ia menyambut it Tie Taysu."

"Takkah dia memesan buat bertindak dengan melihat selatan, supaya kalau ada kesepatan merampas kitab kitab pusaka itu?"

"Tidak."

Walaupun dia menyahut demikian maka Cie Sun toh bersemu merah.

"Tahukah kau hubungan diantara Tiam cong Pay dan Seng Kiong kami?"

Nampak Cie Sun terkejut dan kuatir, tapi dia menjawab: "Aku cuma tahu keduanya mempunyai hubungan kerja sama, entahlah jelasnya."

"Kau telah tiba disini, kenapa kau kena orang totok ?" "Aku terbokong selagi aku kurang waspada."

"Kenapakah orang totok padamu?" suara si nona menjadi perlahan.

"Mungkin karena aku membawa obat partaiku..." "Apakah itu obat Hwee Kut Tan?" "Benar."

Wanita itu tertawa dingin.

"Mungkin kau menyiapkan obatmu itu buat menjaga kalau kalau air tehku ada racun. Benar atau tidak ?"

Tampak Cie Sun takut sekali.

"Itulah ketololanku sesaat, harap Tongcu memaafkan."

Lalu si wanita berkata dingin: "Kau berani menentang perintah.

Hmm Buat apa kau dikasih hidup lebih lama pula?"

"Aku tak minum obat itu. Tongcu..." kata Cie Sun, sangat ketakutan, "Adalah pencuri itu"

"Akan Punco urus itu" berkata si wanita, tetap dingin Dia membahasakan dirinya "punco", sebutan diri atasan buat bawahannya. "Sekarang kau mundur dahulu"

Meski ia berkata demikian, kepada bawahannya dia memerintahkan: "Bereskan dia "

Seorang wanita disisi meja menggerakkan tangan kanannya, satu sinar kuning emas lantas berkeredep berkelebat. Hanya sekejap. sinar itu lenyap. Tapi menyusul itu, Cie Sun menjerit tertahan, terus kepalanya teklok sebatas lehernya, karena jiwanya telah melayang pergi.

Kematian sedetik itu membuat toatian bagaikan terlebih sunyi lagi. Semua orang heran dan terperanjat. Itulah sungguh suatu keputusan, atau tindakan, sangat getas. segera si wanita dibelakang meja memanggil. "Uh bun ceng "

"Aku yang rendah disini " sahut orang she Uh bun itu, hatinya berguncang.

Dengan suara dingin bagaikan es, wanita berkerudung muka itu berkata pula. "Apakah rombenganmu ini semua kau yang membawanya?"

"Benar aku yang muda yang mengajaknya." "Mana It Tie ?"

Suara si wanita tetap dingin-

Uh bun ceng melengak, tetapi lekas dia menjawab, "Siauw Lim Pay itu hebat sekali dan kami semua justru terkurung di dalam Lo Han Tin..."

"Hm" si nona memotong. "It Tie tidak ada, tidak apalah. Nah, mana kitab kitab pusakanya"

Uh bun ceng berpikir keras, "Dia bukannya chee Liong Tongcu, perlu aku tahu terlebih dahulu siapakah adanya dia."

Diapun berpikir cepat. Terus dia menjura Katanya perlahan: "Maafkan aku yang rendah. Aku mohon bertanya kepada siangco..."

"Siang co" itu ialah panggilan kepada atasan. Wanita itu tertawa dengan nada tawar.

"Benarkah kau begini bernyali besar?" tegurnya. "Hendak aku belajar kenal" Terus ia menoleh kepada wanita disisinya untuk memerintahkan: "coba buka perutnya, hendak aku melihat berapa besar nyalinya "

"Baik" sahut si wanita berseragam hitam.

Uh bun ceng sangat kaget. Ia melihat, sambil menyahuti itu, untuk menerima perintah, si wanita sudah lantas menggerakkan tangannya. Dalam kagetnya itu, dengan sebat ia menekuk kedua kakinya untuk berlutut, sedang mulutnya mengucapkan, "Maaf, aku yang rendah harus mati. Aku..."

Wanita itu memotong^ "Kau tahu kau harus mati, apa lagi kau hendak bilang ?"

Orang she Uh bun itu berpikir cepat. Biar bagaimana, saat seperti ini, aku harus bersabar, jikalau tidak aku pasti akan mati konyol..."

Karena ini, lekas lekas berkata dengan sikap dan nada mohon dikasihani. "Aku yang rendah bertindak tak selayaknya, aku telah menentang siangco, memang aku harus mati tak berani aku membilang apa apa lagi. Aku yang rendah cuma memohon belas kasihan supaya siangco melepas budi membebaskanku dari kematian sekali ini, pastilah aku akan sangat berterima kasih dan bersyukur."

Wanita berkerudung itu berkata dingin: "coba kau bernafas, coba salurkan itu dari peparu hoat keng hingga ke nadi jim me Lihat, ada apakah yang luar biasa?"

Uh bun ceng terperanjat. Segera ia menyalurkan nafasnya. Lantas ia menjadi kaget sekali. Ia merasakan sangat nyeri diantara dada dan perutnya, bagaikan disayat sayat. Tanpa merasa ia meintih rintih dan peluhnya membasahi seluruh tubuhnya

Menyusul perubahan Uh bun ceng itu, maka ruang pendopo itu menjadi berisik dengan rintihan Semua orang mendengar dan mengawasi gerak gerik orang she Uh itu, karena dia menyalurkan napasnya, lain lain orang tanpa merasa meniru sendirinya, siapa tahu, selekasnya mereka bernapas, nyerilah perut mereka, bahkan Su Kay Taysu dan Coh Siauw Pek tidak terkecuali.

Dengan semangatnya bagaikan terbang, Uh bun ceng lalu berkata. "Harap diketahui..." Tapi dia segera dipotong oleh kata katanya si wanita, yang berkata. "Tak usah kau banyak bicara lagi. Mengingat kaulah pengikut pribadi Sin Kun, tak aku tarik panjang pula kesalahanmu ini. Nah kau telanlah obat pemunah raCun, habis itu kau melihat kebelakang pendopo, siapa disana"

Berkata begitu, wanita itu menyentilkan sebutir tablet, yang keCil seperti kacang hijau.

Uh bun ceng menyambuti bagaikan dia menerima mustika, dengan segera dia menelannya sambil berpikir. "Mestinya chee Liong Tongcu berada dibelakang pendopo ini..." Maka juga , habis berpikir, terus dia pergi kebelakang pendopo itu.

Rata rata didalam ruang itu rombognan Uh bun ceng ini terserang rasa takut mati. Aneh racun itu. Siapa tidak menyalurkan napasnya dia tak merasakan sesuatu yang berbeda, tapi asal dia bernapas, terus dia merasa perutnya nyeri sekali. Siapapun menjadi tak tenang hati, memikirkan kapan saat ajalnya tiba...

"It Tie" tiba tiba si wanita berkata nyaring.

Semua orang segera saling melihat satu sama lain, akan tetapi tidak ada yang dapat melihat wajah muka, karena semua muka tertutup kerudung hitam. Mereka pula berdiam semua, maka juga teranglah diantara mereka tidak ada ketua Siauw Lim Sie itu...

Si wanita menanti sekian lama, karena tidak ada yang menjawab, ia berkata pula: "Para pendeta Siauw Lim Sie, semua bukalah kerudung kalian"

Suara itu dingin dan seram, bagaikan suara dari neraka. Hati orang guncang mendengarnya.

Para pendeta berbaris dikiri, mendengar suara itu, untuk sejenak mereka beragu ragu, lalu beberapa diantaranya segera membuka tutup kepalanya. Hanya sebentar, karena ada contoh itu, yang lainnya turut membuka kerudungnya itu.

Su Kay turut menyingkirkan tutup kepalanya. Ia sudah berpikir, kalau ia sendiri yang menentang perintah, ia bakal dicurigai hingga entahlah apa ekornya bantahannya itu.

Didalam sekejap maka ruang itu bagaikan tertambahkan sembilan belas orang berkepala gundul, bahkan pada batok kepala mereka bukanlah pendeta pendeta dari tingkat rendah.

"Nyalakan obor" terdengar pula suara si wanita.

Sejumlah orang yang membekal pedang segera bekerja, maka pada lain detik, belasan obor sudah menggenciang dengan apinya yang terang benderang membuat toatian itu menjadi tampak nyata tegas sekali.

Masih hati orang tak tenang, semua mengawasi si wanita, untuk mendapat tahu apa pula titahnya terlebih jauh.

"It Tie" berseru pula si wanita. Para pendeta itu terperanjat. Didalam hati, mereka menerka tentulah diantara mereka ada ketua mereka itu, yang namanya disebut berulang ulang. oleh karena itu, mereka lantas saling menoleh.

Ternyatalah It Tie Taysu tidak ada di antara mereka, yang kedapatan ialah Su Kay Taysu, salah satu tiangloo. Mereka itu menjadi kaget, siapa berada dekat tiangloo itu lantas minggir sendirinya. Bukan main takutnya mereka.

Sendirinya orang gentar terhadap Su Kay Taysu sebab kecuali menjadi tiangloo ia dikenal untuk kejujuran, ketaatannya kepada agama, hingga disamping dihormati orangpun takut terhadapnya. orang takut sendirinya karena sipendeta tak disangka sangka berada didekat mereka

Su Kay Taysu sebenarnya tidak memikir apa apa terhadap mereka itu, akan tetapi kapan ia melihat It ceng, dengan sendirinya ia bergerak. meluncurkan tangan menyambar pendeta huruf "It" itu untuk dibekuk

It ceng terkejut dan jeri, wajar saja ia lompat mencelat, menyelamatkan diri dari sambaran itu. Su Kay liehay, dia juga liehay. Hanyalah saja, untuk berlompat, dia mesti menyalurkan napasnya. Justru dia bernapas, terasalah nyeri pada perutnya, hingga geraknya menjadi ayaL. Maka kenalah dia dicekap tiangloo itu.

Didalam sekejap. kacaulah toatian itu. Kacau disebabkan ketakutan para murid Siauw Lim Sie itu. Yang memulainya ialah seorang pendeta yang mendadak melompat untuk lari keluar pendopo.

"Kau hendak lari kemana?" membentak menegur seorang berseragam hitam sambil dia menghadang dengan tikamannya .

"Aduh" menjerit si pendeta, yang dadanya kena tertikam, hingga darahnya mengucur keluar, tubuhnya menyusul roboh terkulai. Pendeta pendeta yang lainnya pada berlompat juga tetapi begitu mereka berlompat untuk kabur segera nyerilah dada dan perut mereka.

Su Kay tak menjadi kecuali ketika ia menawan It Ceng, iapun merasakan nyeri.

Si wanita berseragam hitam berlaku tenang, dengan keren dia berseru: "Kamu semua denga. Jikalau kamu tidak takut mampus, teruslah kamu berlari lari. Jikalau kamu menyayangi jiwa kamu lekas berlaku tenang untuk menantikan keputusan"

Besar pengaruh kata kata itu, didalam sekejap. berdiamlah semua orang hingga ruang menjadi sunyi dan tenang kembali. Hanyalah saja, diantara sinar obor, tampak mereka itu beroman takut. Semua mata diarahkan kepada si wanita dan Su Kay Taysu.

Wanita itu melihat suasana dia mengerti keadaan. Dengan sinar mata dingin, dia mengawasi tajam kepada tiangloo dari Siauw Lim Sie itu.

"Kau siapa kah, taysu?" demikian tegurnya, suaranya perlahan. Su Kay berlaku tenang.

"Loo lap Su Kay dari Siauw Lim Sie," sahutnya sabar. Wanita itu tertawa tawar.

"Kiranya pendeta beribadat dari huruf Su" katanya. "Maaf Maaf" Habis itu, wanita itu segera menatap It Ceng. "Siapa dia?"

tanyanya.

"Dialah murid murtad dan pemberontak partai kami, namanya It Ceng" sahut Su Kay.

"It Ceng ? Dia toh adik seperguruan It Tie ketua Siauw Lim Sie?" "Benar.. Dan kau, siapakah kau, nona?" Setelah menjawab,

pendeta ini balik bertanya.

"Akulah Chee Liong Tongcu, bawahan seng Kiong Sin Kun," sahut wanita itu. Su Kay berkata, berani. "Nona menjadi tongcu, kenapa nona tidak berani mengasih lihat wajahmu?"

Wanita itu tertawa hambar.

"Seorang pendeta adalah seorang alim, apakah pendeta juga gemar melihat roman yang cantik manis?" dia bertanya, lalu tangannya diangkat, agaknya hendak dia menyingkirkan tutup mukanya.

Suara itu bernada mengejek, Su Kay tidak puas.

"Sudah" serunya, mencegah orang memperlihatkan wajahnya. Agak sangsi sejenak ia menambahkan: "Loolap cuma ingin belajar kenal dengan wajah Siapa mau menontoni kau cantik atau tidak?"

Wanita itu masih tertawa hambar.

"Kaulah orang yang lagi menantikan kematianmu, kau tidak melihat wajah puncopun tidak apa" katanya, kembali mencemoohkan.

Su Kay berkata pula, tetap berani. "Walaupun loolap sudah terkena racun, belum tentu loolap dapat dikekang olehmu. Siapa bakal hidup dan siapa bakal mati, saat ini masih belum dapat dipastikan"

Demikian kedua orang itu mengadu lidah, selama mana Su Kay tak pernah mengendorkan pegangannya terhadap It Ceng.

Tiba tiba si wanita tertawa nyaring, terus dia berkata "it Ceng menjadi adik seperguruan dari ketua Siauw Lim Sie, kau lancang datang kemari, apakah kau hendak menolong dia dengan membawa dia lari?"

sepasang alis pendeta itu terbangun.

"Jikalau loolap memikir menolong dia untuk dibawa lari, itulah bukannya soal sulit" sahutnya, keras. Terus ia menatap It Ceng dengan bengisnya, ia bertanya. "It Ceng, apakah kau kenal loolap?" It Ceng tercengang, lalu matanya bergerak. memandang kepada si wanita yang menyebut dirinya tongcu ketua, dari Chee liong Tong, Ruang Naga Hijau.

"Kau terangkan dirimu menjawab dia" berkata wanita itu. "Tak usah kau menyembunyikan apa apa. Pendeta tua itu sudah terkena racun, dia tak akan dapat berlalu dari sini dengan hidup"

Mendengar suara si wanita, It Ceng berpaling kepada Su Kay Taysu.

"Teecu mengenali susiok." sahutnya. Dengan "teecu"

"murid" It Ceng membahasai dirinya sendiri. sedangkan "susiok" ialah "paman guru", panggilan untuk sang paman guru itu.

Dengan sinar mata tajam bagaikan kilat, Su Kay mengawasi keponakan murid itu.

"Syukur kau masih mengenali loolap" katanya, bengis. "Tahukah kau bahwa loolap. walaupun sudah terkena racun, masih dapat loolap membunuhmu?"

It Ceng tidak menjawab langsung hanya dia membalas bertanya "susiok menjadi pendeta beribadat dan luhur, mana dapat susiok dengan mudah saja melanggar pantangan membunuh?"

Su Kay gusar sekali.

"Loolap hendak tanya kau" ia membentak "Dan kau mesti menjawab dengan sebenar benarnya. Jikalau kau berdusta sepatah kata saja, akan segera loolap mengambil jiwamu" Paras It Ceng menjadi pucat sekali.

"Silahkan tanya, susiok." sahutnya, "Tidak ada yang teecu tidak akan katakan, pasti teecu tidak akan mendusta..."

su Kay segera menanya dengan suara yang keras: "Mana dia It Tie?" demikian tanyanya.

"Teecu tak tahu," menjawab It Ceng, "Tadi dimedan pertempuran kami kena dikacaukan dan terpisah satu dari yang lain, sekarang teecu tidak mengetahui kemana perginya ciang bun suheng itu...

"Ciangbun suheng" ialah kakak seperguruan yang menjadi ketua. "Dan manakah kitab kitab pusaka itu?"

"Semua itu berada ditangan ciang bun suheng."

"Hm" Su Kay bersuara dingin. Mendadak ia menotok jalan darah moa hiat dari It Ceng membuat keponakan murid itu berdiri mematung, setelah mana segera ia menggeledah tubuhnya.

Semua mata diarahkan kepada Su Kay dan it Ceng itu, tak terkecuali mata Chee liong Tongcu, hanya dia ini bersikap tawar.

Su Kay menjadi bingung sendiri. pada tubuh It Ceng tak dapat kitab kitab pusakanya itu Maka ia menarik keras tangan orang dan membentak "Hai, anak celaka, kau mau hidup atau mati?"

Kembali muka It Ceng menjadi pucat-pasi,

"Andaikata susiok membunuh teecu, itu tak menolong urusan," katanya perlahan. Su Kay sangat mendongkol.

"Kau murid Siauw Lim Sie Kenapa kau bersekongkol dengan pihak luar dan mencuri kitab pusaka partai sendiri?" tegurnya.

"dalam hal ini haruslah dipersalahkan para tiangloo, yang mau mendengar hasutan orang luar," menyahut It Ceng. "Hal itu membuat ciang bun suheng tidak dapat berdiri diam lebih lama pula didalam kuil kita. Itulah sebabnya kenapa ciang bun suheng mengambil kitab kitab pusaka dan membawanya lari, meninggalkan Siauw Lim Sie. Teecu cuma mengikuti ciang bun suheng, karena itu rasa teecu tidak berdosa"

Pandai pendeta ini berbicara, hingga dalam murkanya, Su Kay Taysu tertawa.

"Murid celaka" bentaknya. "Dahulu diatas puncak Yan in Hong kau telah berbuat gila, kamu mencelakai guru dan ketua kamu, apakah itu disebabkan kau dipaksa oleh para tiangloo? Apakah ketika itupun kau cuma menurut dan ikut ikutan saja?"

Lagi lagi pucat pasilah It Ceng.

"Itulah urusan tanpa buktinya," kata dia, berani. "Dapatkah susiok memfitnah membuat teecu berdosa?"

"Binatang" Su Kay membentak pula. "Kau dengar.. Tahukah bahwa gurumu itu, walaupun dia bercelaka, dia masih belum mati? Bahwa sekarang ia sudah lolos dari penderitaan kesengsaraan, hingga ia melihat matahari yang indah? Sekarang ini justru ketua kita itu mencari kau untuk membuat perhitungan. Binatang apakah kau masih tidur nyenyak saja?"

Tubuh it Ceng menggigil saking takutnya.

"Aku tak percaya" katanya nyaring. Tak percaya ia bahwa Su Hong Taysu, ketuanya yang terdahulu, masih hidup,

Su Kay gusar tak kepalang. ia tersinggung karena keponakan murid itu tak percaya padanya.

"Binatang" teriaknya, sengit, lalu tangannya digerakkan. "Tahan" berseru si wanita, gusar.

Tapi suara nyaring sudah terdengar tangan Su Kay sudah melayang kemuka orang hingga It Ceng roboh terguling, mulutnya mengeluarkan darah sebab giginya pada copot. Kalau tadi dia gusar, sekarang wanita itu tertawa.

"Pendeta yang bernyali besar" katanya, nyaring. " Didepan punco, bagaimana kau berani mengganas? Jikalau kau tidak dihukum, pasti akan ada contoh teladannya"

Su Kay tak takut.

"Jikalau tongcu sudi memberi pengajaran, loolap bersedia menerimanya" katanya, menyambut ancaman tongcu itu.

"Kau sudah tidak mampu bernapas, kau berani turun tangan, takkah itu lucu?" kata si wanita. Diam diam Su Kay menyalurkan napasnya Kembali ia merasa nyeri diperutnya. Diam diam ia terkejut. ia membungkam. Wanita bertopeng itu tertawa dingin.

"Racun punco racun istimewa. Apakah kau sangka sembarang obat dapat memunahkannya?" katanya.

"IHm Jangan berlagak pintar. Jangan kau kira dapat menelan obat pencegahnya Itulah artinya kau cari kesengsaraanmu sendiri. Jangan kau nanti sesalkan punco"

Mendengar kata kata orang itu, Su Kay berpikir. "Apakah dia maksudkan bahwa aku telah salah makan obat? Yaitu karena makan obat pemunah terlebih dahulu, akibatnya jadi terlebih buruk?"

"It Ceng" tiba tiba terdengar suara wanita

Justru itu It Ceng baru merayap bangun dan tengah menyusuti darah dibibirnya. ia mendengar panggilan itu.

"Ya, aku bersedia menerima perintah" sahutnya lekas. "Semenjak kapan kau masuk kedalam kalangan Istana kami?" "Sejak sebelas tahun yang lampau."

"Apakah kau pernah menghadap Sin Kun?" "Pernah."

"Kapankah itu dan dimanakah?"

"Sama sekali sudah dua kali. Pertama ketika aku mulai berguru kepada Sin Kun, dan tempatnya diluar kota Kim leng. Yang kedua kali dipuncak Yan in Hong, disaat ketua keempat partai. . . "

"Semua itu kejadian sepuluh tahun yang telah lewat," menyela si wanita, "Kalau sekarang kau bertemu dengan Sin Kun, kau masih mengenalinya atau tidak?"

Hati It Ceng terkejut, matanya mencilak. "Apakah tongcu?..." katanya, terputus suaranya bergemetar. "Punco adalah Chee liong Tongcu" berkata si nona, menyela  pula, "Walaupun Sin Kun dapat menyalin rupa seribu macam wajah, tapi belum pernah ia menyamar menjadi wanita" It Ceng melengak.

"Ketika pertama kali aku menemui Sin Kun," berkata ia, bagaikan menggumam, "tatkala itu Sin Kun berupa sebagai seorang pendeta tua berusia lebih dari pada seratus tahun yang mukanya merah marong. Danpada kedua kalinya, ia tampak sebagai seorang pemuda pelajar yang cakap ganteng."

"Sin Kun dapat menyalin diri menjadi banyak macam, cara bagaimana kau dapat mengenalinya? "

"Setiap Sin Kun mUncUl, ada pertandanya yang luar biasa. maka itu, dapat aku mengenalinya. Selama yang paling belakang ini Sin Kun senantiasa menyampaikan surat surat perintah dengan menyuruh orang, karena itu belum pernah aku menemuinya pula."

"Kau cerdas" wanita itu memuji. "Kau pula orang yang berjasa. Habis makan obat, pergilah kau keruang belakang ini, lihat disana ada siapa..."

Berkata begitu, wanita itu menyentilkan jeriji tangannya, melemparkan sebutir obat.

Su Kay melihat obat itu hijau seperti yang diberikan kepada Uh bun Ceng, ia lompat untuk menyambarnya.

It Ceng terkejut berbareng gusar, ia berlompat maju sambil menyerang, mengarah punggung paman gurunya itu.

Su Kay berlaku awas. Ia mendapat tahu It Ceng menyerangnya. Sambil dengan tangan kanan menyambuti obat, dengan tangan kiri ia menyampik, menangkis berbareng menghajar tangan keponakan muridnya itu...

Hanyalah, dengan menggunakan tenaganya, berdua mereka masing masing merasai nyeri dalam perutnya, hingga tenaga mereka berkurang, tempo lengan mereka beradu, mereka merasakan lebih nyeri pula, hingga keduanya sama sama merintih kesakitan Su Kay masih dapat menahan diri, melawan rasa sakitnya itu. Tidak demikian dengan It Ceng, dia limbung dua tindak. hampir dia roboh terguling.

Si wanita menyaksikan perebutan obat itu. Ia melihat bagaimana tangguhnya Su Kay Taysu.

"Kau telah mendapatkan obat itu, kenapa kau tidak segera menelannya?" dia tanya pendeta tiangloo dari Siauw Lim Sie itu, yang dia awasi dengan tajam.

Su Kay melengak. Ia segera melihat obat di dalam genggamannya itu. Didalam hati, ia berkata: "Aku berlima telah minum setengah cangkir air teh itu. Mana dapat aku makan obat ini untuk menolong diriku sendiri?"

Tengah tiangloo ini ragu ragu, ia mendengar suara Toan Im Jip bit dari Siauw Pek terhadapnya: "Taysu, lekas makan obat itu. Itulah penting Kalau sebentar kita mesti bertempur, dapat taysu menggunakan ilmu silat Siauw Lim Pay untuk melindungi kami, jikalau tidak. kita bakal habis semuanya"

Masih Su Kay bersangsi. Ia ingat: "Coh Siauw Pek menjadi Kim Too Bengcu, ia jauh terlebih gagah daripada aku, maka obat ini selayaknya dialah yang makan"

Selagi pendeta ini berpikir itu, ia melihat si wanita kembali menyentilkan obat kepada It Ceng.

Sambil menyentil itu, wanita itu memperdengarkan suara "Hm" yang dingin. Bukan main girangnya ia. Ia tahu betapa besar harganya apabila ia dapat tambahan obat tersebut. Maka segera berlompatlah dia sambil mengulur tangannya, guna menyambar obat itu

It Ceng melihat perbuatan sang paman guru, gusarnya bukan kepalang sambil berteriak, dia pun melompat, hendak merampas obat itu

Siwanita terkejut sekali Tidak disangkanya bahwa Su Kay kembali merebutnya. Pendeta itu berhasil karena gerakannya yang gesit laksana kilat. Untuk sedikit, It Ceng melongo karena dia gagal merampas obat, segera setelah itu, sambil membentak, dia lompat kepada sang paman guru dengan kedua tangannya dia menyerang Su Kay melihat datangnya serangan, ia berkelit.

It Ceng tahu serangannya gagal, dia menyerang pula, dia mengulangi terus terusan. Su Kay terpaksa melayani,  hingga mereka dengan cepat bergebrak sampai empat jurus.

Karena mereka bertempur hebat, orang pada mengundurkan diri.

Saking gusarnya itu, It Ceng seperti lupa sakit pada perutnya. Sebaliknya Su Kay, yang sadar, saban saban merasai rasa nyerinya itu, nyeri bukan buatan. Karena terpaksa, ia tidak merintih. Ia pula terpaksa melayani keponakan murid yang bagaikan kalap itu. Karena terpaksa, satu kali ia menyampok dengan keras sekali.

"Aduh" It Ceng menjerit keras, mulutnya menyemburkan darah hidup, menyusul mana robohlah tubuhnya, kali ini untuk tak dapat bergerak pula.

Su Kay mencoba menenangkan diri, tapi toh ia merasai kepalanya pusing, matanya kabur, rasa nyeri bertambah tambah, nyeri pula di ulu hati.

Menyusul itu, ia pula merasai tubuhnya bagaikan kaku semua. Lekas lekas ia menjatuhkan diri, untuk duduk bersila, guna bersemedhi, menyalurkan pernapasannya, menurut ilmu partainya. Ia melawan guna mencegah hatinya beku.

Siwanita tertawa dingin. Katanya: "Lihat kau berlaga gagah, maka sekarang racun sudah menyerang keulu hatimu Sekarang ini, walaupun kau memakan obatku, itu sudah sukar akan menolong jiwamu"

Su Kay mendengar ejekan orang, tetapi ia tertawa ingat dua butir pil didalam tangannya itu sambil mempertahankan diri, ia berkata di dalam hati: "Dia kata racun sudah menyerang kehatiku. Mana dia tahu bahwa latihan tenaga dalamku sudah lama lebih daripada enam puluh tahun. Jikalau obat ini memang obat tepat, mustahil dia tak mujarab? sekarang ini perlu sekali aku menolong jiwaku, baiklah aku segera makan yang sebutir, yang sebutir lagi, aku sediakan  buat Coh Siauw Pek. Buat menolongi Ban Liang, Oey Eng dan Kho Kong, nanti saja aku berusaha pula."

begitu ia berpikir, begitu Su Kay Taysu membawa sebutir pil kemulutnya.

Siauw Pek sementara itu mengawasi dengan heran kepada pendeta kawannya itu, tiba tiba timbul rasa curiganya, tak ayal pula, ia bicara dengan saluran Toan Im Jip bit. "Awas pada akal busuk. taysu, Jangan makan dulu obat itu"

Su Kay mendengar pemberian ingatan itu, ia heran, iapun curiga, tanpa merasa, ia menoleh kepada ketua Kim Too Bun itu.

Siauw Pek menyembunyikan diri diantara puluhan orang itu, ia berkata pula dengan saluran ilmunya itu: "Aku menerka bahwa sengaja ia berbuat begini guna membikin taysu minum obat itu. Aku menduga obatnya tidak tepat, kalau taysu makan itu, mungkin bahayanya jadi semakin hebat..."

Su Kay Taysu bagai disadarkan, maka timbullah juga kecUrigaannya. Maka ia jadi berpikir untuk menjaga dirinya. Batal ia memasukkan obat kedalam mulutnya. sebaliknya, ia memusatkan pikirannya kepada latihan pernapasannya guna memperkuat tenaga dalamnya. sekonyong konyong si wanita tertawa nyaring.

"oh, kiranya kau mempunyai konco"^ serunya. "Hampir punco kena dikelabuhi" Segera ia menoleh kepada Coh Siauw Pek, untuk mengawasi sejenak. "Semua membuka tutup kepala" tiba tiba dia memerintahkan.

Rombongan itu telah terpengaruh sangat oleh si wanita, perintah itu ditaati serentak. Semua orang segera membuka tutup kepalanya kecuali Siauw Pek. Ban Liang, Oey Eng dan Kho Kong. oleh karena itu baik pihak si wanita, ma upun para pendeta Siauw Lim Sie dan lainnya turut menumplakkan perhatiannya kepada rombongan Kim Too Bun itu. Sejenak itu, ruang sangat sunyi. Wanita itu tetap mengawasi keempat orang yang masih belum menyingkirkan tutup kepalanya itu, kemudian dia tertawa dingin dan berkata: "Punco telah menduga mesti ada mata mata yang menyelundup kesini, sekarang dugaanku itu tepat. Sesudah rahasia kamu pecah, apakah masih kamu tidak mau membuka tutup kepala kamu? Mustahilkah kamu menghendaki punco yang turun tangan sendiri?"

Siauw Pek berpikir cepat. "Sudah terlanjut, baiklah aku perlihatkan wajahku. Hendak aku lihat, apa yang kau dapat bikin"

Maka segera ia menyingkirkan tutup kepalanya.

Segera setelah pemuda itu memperlihatkan diri, didalam rombongan bukan pendeta ada seorang yang berlompat keluar dari dalam rombongannya. Dia nampak kaget sekali. Dialah seorang tua kurus kering dengan dua mata celong serta jubah hitam. Dia berlompat sejauh setombak lebih.

Si wanita gusar melihat gerakan orang tua itu. "Mau apakah kau?" bentaknya.

Masih si orang tua terpengaruh oleh kagetnya itu. "Maaf, tongcu," katanya mohon, "aku si tua,"

"Sebutkan she dan namamu" perintah si wanita, tawar. "Aku si orang tua Houyan Pa dari San im..."

Wanita itu memotong, "Pernah punco mendengar nama Houyan Pa dari San im Pay yang bergelar Pek Lin Cian, apakah kau adanya?"

Mengetahui bahwa orang ketahui nama dan gelarannya itu, Houyan Pa nampak puas. Tapi dia mengekang diri. Terus dia memberi hormat, merangkap kedua tangannya sambil memberi hormat.

"Memang Pek Lin Cian adalah gelaranku," sahutnya. "Hanya itu nama kosong belaka, tak berharga sekalipun untuk dibuat tertawaan saja." Wanita itu mengawasi: "Kau menyebut dirimu si orang tua, mungkin kaulah orangnya seng Kiong..."

Houyan Pa terperanjat. "Maaf, tongcu, Siok hee..." katanya "Siok hee" ialah sebutan "aku" untuk orang sebawahan

Wanita itu tertawa dingin pula. Terus dia menunjuk Siauw Pek. "Siapakah dia itu?" dia tanya Houyan Pa. "Kenapa kau sangat takut terhadapnya?"

Kulit muka Houyan Pa berubah menjadi merah. Dia malu dan jengah.

"Harap tongcu ketahui," sahutnya, "Dialah Coh Siauw Pek. bengcu dari Kim Too Bun yang belum lama muncul dalam dunia Kang ouw"

Nama Siauw Pek memang telah menggetarkan dunia Kang ouw, Sungai Telaga. atau kalangan Bu Lim, Rimba Persilatan, disebutnya nama itu oleh Houyan Pa membuat kaget para hadirin didalam ruang itu. Kiranya Coh Siauw Pek yang tersohor itu berada diantara mereka. Dengan serentak mereka pada menjauhkan diri lalu terus mereka mengawasi jago muda itu.

Wanita yang mengaku sebagai Chee Liong Tongcu itupun terkejut karena ia mendengar nama ketua Kim Too Bun itu, ia mengawasi tajam. orang telah pada menjauhkan diri dan si anak muda tanpa kerudung kepala dan muka, ia pula dapat melihat dengan tegas sekali. Tentu saja ia melihat seorang muka yang tampan dan gagah sikap duduknya. ia juga mendapat kenyataan, bersama anak muda itu ada lagi tiga orang kawannya. "Coh Siauw Pek" kemudian berkata si wanita, nyaring. Siauw Pek maju satu tindak.

"Akulah si orang she Coh" Siauw Pek menjawab sambil tertawa, tidak ada rasa takut. Kedua mata wanita itu menatap sangat tajam.

"Jadi kaulah Coh Siauw Pek yang baru muncul yang istimewa menentang Seng Kiong?" dia tanya pula. Siauw Pek heran Nada wanita itu beda dari pada semula. ia mengangguk tetapi ia tidak menjawab.

Wanita itu berkata pula, bahkan kali ini suaranya bagaikan menggetar: "Pernah apakah kau dengan Coh Kam Pek dari Pek Ho Po yang telah menutup mata?"

"Itulah almarhum ayahku," sahut Siauw Pek.

Wanita muda yang berdiri diujung meja segera membisiki wanita yang meng aku tongcu itu: "Lekaslah beri putusan kepada semua orang yang lainnya, supaya dapat dicegah kalau terjadi perubahan sesuatu"

Wanita itu melengak sejenak, lalu dia tertawa nyaring:

"Coh Siauw Pek" katanya keras. "Sin Kun justru hendak membekukmu. Kau sekarang mengantarkan diri, sungguh baik sekali"

Habis berkata begitu, wanita itu mengawasi semua orang, lalu berkata dengan tak kurang kerasnya: "Sekarang Sin Kun ada dibelakang pendopo ini, lagi menantikan datangnya kamu"

Wanita yang berdiri diujung meja itu lalu bergerak. Dia pergi kepintu yang menjurus ke belakang pendopo itu, untuk berdiri dipinggirnya sambil berkata: "Jalan berbaris kemari. Lekas"

Mendengar perintah itu, Houyan Pa yang mendahului bertindak maju. Melihat contoh itu, orang orang yang lainnya mencontohnya, semua mengambil jalan kebelakang toatian itu.

Sementara itu, bagaikan tak nampak, dimuka pintu sudah tampak empat orang wanita yang mengenakan cala yang tangannya masing masing membawa sebuah menampan merah diatas mana terdapat cawan cawan teh, yang semuanya telah ada separuh isinya.

Terdengar suara si wanita tongcu itu: "Semua minum dahulu obat pemunah, kalau sampai racun sudah bekerja, kau tak bakal menemui Sin Kun." Houyan Pa berani sekali. Dia menjemput sebuah cangkir, tanpa bersangsi lagi, dia mencegluk isinya. Ketika dia melihat kedepan, dia melihat sebuah gang atau lorong yang dikedua sisinya terdapat berdiri berbaris orang orang dengan seragam hitam, mukanya tertutup topeng hitam, senjatanya pedang semua. Diujung lorong itu ada sebuah toatian pendopo besar lainnya. Dengan membesarkan hati, Houyan Pak berjalan terus memasuki pendopo besar itu.

Dengan kepergian Houyan Pa semua, didalam pendopo tadi tinggallah Su Kay Taysu bersama rombongan Coh Siauw Pek. Pendeta dari Siauw Lim Sie itu tetap masih duduk bersila. Puluhan tahun tenaga latihannya lagi dikerahkan guna melawan racun Chee Liong Tongcu. Siauw Pek berempat berdiri mengintari si pendeta, untuk melindunginya. Semua sambil menutup mulut.

Dengan tetap duduk ditempatnya, mata si wanita memain diseluruh ruang besar itu. Beberapa kali dia mengawasi pula kepada Siauw Pek. Selama orang berjalan kebelakang, iapun suka mengawasi mereka itu. Dia mengenakan tutup muka, maka itu tak tampak wajahnya. Mestinya dia bersitegang hati karena menghadapi ketua dari Kim Too Bun itu.

juga Siauw Pek. Hatinya anak muda ini tak tenang sebagai semula, ada sesuatu yang membuat hatinya itu bekerja hingga ia menjadi tidak keruan rasanya. ia menguatkan hati agar dapat bersikap tenang. ia bagaikan mendapat firasat bakal terjadi sesuatu yang mengejutkan. . .

Hanya sebentar kira kira tiga puluh orang itu sudah lenyap  semua dari toatian-segera setelah orang yang terakhir tak tampak pula bayangannya, si wanita bangun bangkit dari tempat duduknya.

"Coh Siauw Pek" terdengar suaranya. Alis si anak muda terbangun.

"Ada perintah apa, tongcu?" tanyanya tenang.

Dengan suara rada menggetar, wanita itu berkata: "Dalam dunia Kang ouw ramai tersiar berita bahwa kaulah pewaris dari Thian Kiam dan Pa Too, kedua ilmu silat pedang golok yang istimewa itu..."

Tanpa merasa, Siauw Pek tertawa lantang. Dengan tangan kanan ia meraba pedang di punggungnya, dengan tangan kirinya ia menunjuk golok yang berada pada Ban Liang

"Dua pedang dan golok itu telah berada di sini" katanya. "Tongcu ada pengajaran apa untukku ?"

Wanita itu melengak. walaupun cuma sedetik. "Seng Kiong Sin Kun pandai mengubah wajah orang, kau Coh Siauw Pek. kau entah yang tulen atau yang palsu" katanya pula.

sebelum menjawab pertanyaan orang itu Siauw Pek berpikir cepat: "Kita semua telah terkena racun, tindakan utama kita ialah harus dapat mengekang wanita ini, atau mencekiknya guna memaksa dia memberikan obat pemunahnya", maka itu ia menjawab sabar: "Aku juga , tak tahu diriku yang tulen atau yang palsu, kalau Tongcu ingin mendapat kepastian, tak ada halangannya untuk Tongcu mencoba mencarinya"

Wanita itu melengak pula. Mendadak dia mengulapkan tangannya.

"Sam Kiamcu Cit Kiamcu" demikian suaranya memanggil "Maju "

Siauw Pek heran ia menerka nerka, siapa Kiamcu,jago pedang yang ketiga (sam) dan ketujuh (cit) itu. ia berpikir hingga alisnya berkerut.

Gesit sekali dua orang berlompat maju, bagaikan bayangan sekejap saja sudah tiba di depan anak muda. Diam diam Siauw Pek terperanjat. Itulah disebabkan karena ia melihat sinar luar biasa dari senjata Kiamcu yang disebelah kanan ia menerka kepada senjata mustika. Maka wajar saja, ia mundur setindak. Berbareg dengan itu, dengan tangan kanan ia menyambar gagang pedang orang yang kanan Sedang tangan kirinya ia menyambut pedang orang yang lainnya untuk disentil. hingga terdengarlah satu suara yang nyaring. Kiamcu itu terkejut, tak keburu ia menarik kembali senjatanya. Itulah sebabnya kenapa pedangnya kena tersentil mental kesamping

Hanyalah, karena ia menggunakan tenaganya, mendadak Siauw Pek merasa ulu hatinya nyeri, maka gerakannya menjadi ayal, hingga pedang orang itu tak dapat dirampas.

Sebat sekali kedua kiamcu itu melompat mundur, sesudah mana tanpa memberi kesempatan sianak muda, mereka maju pula dengan berbareng mereka menyerang kembali.

Siauw Pek insaf akan liehaynya racun, maka tak mau ia sembarangan bernapas. Ia segera menggunakan kelincahannya, buat selalau berkelit dari tikaman Sejenak itu ia belum mendapat pikiran tentang bagaimana caranya ia harus merampas senjata kedua orang itu. Ia berlaku sabar luar biasa.

Tengah pertempuran itu berlangsung, mendadak Su Kay Taysu berjingkrak bangun seraya dia berkata dengan suara keren: "Bengcu lekas hunus pedang, melayani musuh. Ban Huhoat. Lekas bersiap membuka jalan Lolap berdua bengcu akan merintangi musuh dibelakang "

Mendengar kata kata sipendeta, Oey Eng dan Kho Kong segera mengeluarkan senjatanya masing masing.

Seng Su Poan Ban Liang berpiklr lain Ia segera berteriak: "Bengcu, lekas mundur, untuk menyingkirkan racun dalam tubuh. Habis itu barulah kita membuat perhitungan "

Mendengar suara orang itu, Cit Kiamsu tertawa mengejek. terus dia perkeras serangannya. Dia mendesak agar lawannya tak sempat untuk berkelit.

Si wanita mengawasi tajam kepada Coh Siauw Pek, sambil mengawasi itu, dia berkata nyaring^ "Coh Siauw Pek, telah lama punco mendengar nama Thian Kiam, kalau sekarang kau tidak menghunusnya, kau akan menyesal sesudah terlambat "

Siauw Pek tertawa secara memandang enteng. Katanya^ "Seorang ketua Kim Too Bun, buat melayani musuh tak punya nama seperti mereka ini, perlukah aku menghunus pedangku? Kalau hal ini tersiar dalam dunia Kang ouw, tidakkah itu bakal mendatangkan tertawaan "

Sam Kiamcu gusar sekali. Dia merasa sangat terhina.

"Bocah tak tahu adat" teriaknya. "Lihatlah pedang kiamcumu " Lalu diapun mendesak seperti Cit Kiamsu, guna melampiaskan menendongkolannya.

Siauw Pek tidak melayani suara orang, ia hanya memasang mata untuk bersiap sedia. Ia pun tidak mau berkelit terus terusan Sambil mengumpulkan semangat ia menanti tibanya pedang lawan Baru setelah ujung pedang mengancam, ia mengegos tubuh sedikit, guna mengasih lewat ujung pedang itu, berbareng dengan mana tangan kanannya dengan kecepatan luar biasa meluncur dan dengan sebuah jeriji tangan menolek lengan penyerang itu

Dengan mendadak saja Sam Kiamcu merasai tangannya kesemutan, terus nadinya beku, walaupun ia tahu, ia toh hampir tak merasa lagi melihat bagaimana pedangnya dirampas si anak muda

Gerakan Siauw Pek luar biasa cerdas dan cepat. Kesempatan beristirahat satu hari dan satu malam membuat otaknya menjadi terang luar biasa, hingga ia ingat segala macam ilmu silat yang pernah ia pelajari terutama yang dari Kie Tong, hingga pada saat saat sangat mendesak. ia ingat pelbagai jurus atau tipu silatnya itu. Bahkan dengan lincah dan tepat sekali ia dapat menggunakannya, maka juga latihannya menjadi berarti sekali, menjadi sangat mahir. Itulah kemajuan yang diperolehnya berkat sang tempo dan pengalaman Setiap pertempuran bagaikan penerangan baginya, membuat matanya seperti terbuka dan hatinya terang bercahaya.

Selekasnya ia mencekal pedang lawan, terus saja bengcu ini menyerang Cit Kiamcu, yang ia tusuk kerongkongannya, hingga ahli pedang lawan it uterkejut, sambil lekas lekas berkelit diapun mencoba menangkis tikaman Siauw Pek menarik kembali tikamannya itu, tetapi ia tidak berhenti sampai disitu pedangnya itu ditarik kembali untuk diteruskan ditikamkan kepada sam kiamcu, pemilik pedang itu.

Tanpa pedang, sam kiamcu menjadi tidak berdaya, syukur dia masih mempunyai kesebatan, terutama dia tak menjadi bingung maka dengan gesit dia melompat mundur, guna menyelamatkan dirinya.

Ketua Kim Too Bun tak berhenti. Gagal menyerang sam kiamcu, ia meneruskan menyerang pula cit kiamcu. Kalau tadiialah yang didesak, sekarang ia yang berbalik mendesak kedua lawan itu.

Cit kiamcu tak sempat menangkis, terpaksa dia berkelit dengan melompat mundur, pedangnya dikibaskan, untuk sekalian menangkis, tapi dia menangkis tempat kosong.

Selekasnya lawan melompat, Siauw Pek berbalik menyerang pula jago pedang yang ketiga itu. Hingga terus menerus ia membuat kedua lawan itu makin mundur saja.

Didesak begitu rupa, kedua kiamcu bagaikan tak sempat bernafas. Dengan demikian buruklah keadaannya

Cara berkelahinya Siauw Pek itu membuat heran dan kagum mereka yang menonton pertempuran. Selama ini, belum pernah Siauw Pek berkisar dari tempat dimana dia berdiri.

Dia melainkan memutar tubuh apabila perlu. pula dia menggerakkan pedangnya berulang ulang itu bagaikan dia sedang bermain main, tak tampak dia menggunakan tenaga hebat.

Ruang menjadi sangat sunyi, walaupun disitu, dipihak lawan, berkumpul puluhan orang. Mereka itu menonton sambil mendelong, umpama kata, bernafaspun tak berani.

Si wanita juga menonton dengan kekaguman, baru kemudian terdengar dia berseru "Berhenti "

Kedua kiamsu lompat mundur dengan segera. Mereka memang Ciut nyaliny a. Mereka mundur tanpa menghiraukan bakal diserbu. Kenyataannya memang demikian. Selagi mereka melompat itu, bergantian lengan mereka ditepuk Siauw Pek dengan ujung pedang. Keduanya kaget, keduanya menjerit pedang mereka terlepas dan jatuh kelantai

Dengan kedua tangannya menekan meja dengan suara rada menggetar, siwanita berseru^ "Bagus Inikah ilmu pedang Tay Pie Kiam hoat yang kesohor didalam dunia?"

Siauw Pek tertawa hambar.

"Ilmu pedang Tay Pie Kiam hoat adalah ilmu pedang bukan sembarang ilmu" berkata ia "Kecuali tongcu yang turun tangan sendiri, tak dapat aku gunakan itu"

Wanita itu melengak. Lalu dia berkata agak tertahan: "Aku tahu kau siapa. Kau sebaliknya tak tahu..."

"Setahuku kaulah Chee Liong Tongcu" kata Siauw Pek.

Nyata sekali hati si wanita bersitegang sendirinya. Mendadak ia mengangkat tangan kanannya, menyingkirkan cala di mukanya, lalu bernafas sedang suaranya menggetar: "Kau lihat... Kau lihat baik baik. Sebelumnya ini pernah kah kau melihat roman punco?"

Siauw Pek mengawasi. Ia menatap. Tiba tiba ia merasa tubuhnya menggigil, saking tegang hatinya. Kedua matanya terbuka lebar. "Mustahilkah kau..." sahutnya.

Wanita itu adalah seorang nona usia muda dua puluh lebih sedikit, kulitnya putih bersih dan halus, romannya cantik. Akan tetapi, tanpa cala, terlihatlah air matanya meleleh turun kepada kedua belah pipinya.

Ban Liang heran, dia mengawasi dengan penuh kecurigaan. sekonyong konyong dia berseru: "Waspada, bengcu Seng Kiong Sin Kun sangat banyak akal muslihatnya"

"Siapa kah kau?" Kho Kong pun bertanya bengis.

"Lihat pedang" mendadak si nona berseru, lalu  dia menggerakkan tangannya kearah dada sianak muda yang bertabiat keras itu. Menyusul itu tampak suatu sinar emas berkelebat berkilauan.

Ban Liang terperanjat. Ia tahu itulah semacam senjata rahasia. Karena ia kuatir Kho Kong tidak dapat mengelakkan diri, ia segera melompat sambil mengulur tangan menyambuti senjata rahasia itu.

Diantara sinar terang cahaya api, pada badan senjata rahasia itu, yang merupakan sebuah pedang kecil, tampak ukiran empat huruf "Kiu Heng Cie Kiam" "Pedang Sakit Hati".

Kho Kong tak sabar, dia merampas senjata rahasia itu dari tangah sijago tua, selekasnya sinar matanya bentrok dengan ukiran empat huruf, dia tidak tahan sabar lagi untuk tidak berseru^ "Kiu Heng Cie Kiam" Ban Liang segera tertawa terbahak bahak.

"Kiranya Kiu Heng Cie Kiam yang menggemparkan dunia Kang ouw adalah Chee liong Tongcu" katanya. "Sungguh dunia aneh, makin lama tambah banyak segala sesuatu yang mujijat Keanehan"

Sementara itu terdengar suara Siauw Pek suara yang hampir tak tegas: "oh, kakak..."

"Ya, adik..." terdengar si nona, yang mendadak menangis keras, terus dia berlompat maju, lari kepada si anak muda, untuk menubruk dan merangkul. "Adikku"

Hanya sekejap. kedua muda mudi ini sudah saling berpelukan sambil menangis keras dan bersedu sedang Semua orang menjadi heran, hingga semuanya berdiri diam dengan tertegun saja.

Oey Eng dan kawan kawan tahu yang bengcu mereka itu mempunyai seorang enCie, kakak wanita yang bernama Bun Koan, yang hilang dimuka jembatan maut Seng Su Kio didalam medan pertempuran, katanya kakak itu tertawan musuh, yang hilang entah kemana selama itu, tidak disangka dialah pemilik dari Kiu Heng Cie Kiam. Pedang Sakit hati, dan sekarang orangnya berada disini, bahkan sebagai Chee liong Tongcu, ketua dari Ruang Naga IHijau dari Seng Kiong Sin Kun Dari heran orang menjadi terharu. Itulah karena mereka mendengar tangisan kakak beradik ini.

Bahkan sejumlah wanita berbaju hitam lainnya turut menangis juga karena merekalah pelayan pelayan Nona Bun Koan-

Baru selang sekian lama sesudah ia dapat menguasai dirinya, Nona Coh berkata. "Adik, ayah dan kakak kita mati secara sangat menyedihkan, maka itu kita harus membalaskan kepenasaranannya "

"Jangan kuatir, kakak"jawab Siauw Pek sambil menangis. "Adikmu pasti..."

Tak dapat pemuda itu melanjutkan kata katanya. Karena ia tercegah oleh kesedihannya.

Ketika itu Ban Liang bertindak maju, menghampiri kakak beradik itu, sambil mengangkat tangannya ia berkata. "Sekarang ini saatnya bekerja, bengcu, maka itu harap bengcu dapat menguatkan hati, untuk menguasai kesedihan bengcu, untuk kita mulai dengan usaha kita"

Dengan tiba tiba saja, semangat Coh Bun Koan terbangun. "Benar kata orang tua yang gagah ini " katanya nyaring. Ia terus

mencekal keras tangan adiknya, untuk berkata. "Adikku, saat ini adalah saat pembalasan kita. Kita harus bangkit sekarang, tak dapat kita mengasi lewat, mensia siakan saat yang baik ini "

Siauw Pek mengangguk. "Benar, kakak " sahutnya. "Sakit hati kita yang dalam bagaikan lautan mana adikmu berani lupakan "

si nona mengangguk. Lalu dia berpaling kepada Ban Liang. "Maaf, loocianpwee, aku masih belum ketahui she dan nama

besar loocianpwee?" katanya hormat.

Ban Liang merangkap kedua tangannya.

"Aku si tua ialah Ban Liang, huhoat dari Kim Too Bun." sahutnya sijago tua. Bun Koan mengangguk, ia mengucap terima kasih, terus ia berpaling kepada Oey Eng dan Kho Kong kedua pemuda kawan Ban Liang itu.

"Itulah kedua adik angkatku, Oey Eng dan Kho Kong." Siauw Pek lekas lekas memperkenalkan.

Kedua pemuda itu mengangguk pada sinona.

"Kami semua adalah orang orang Kim Too Bun, nona tak usah sungkan sungkan terhadap kami," katanya. Bun Koan membalas hormat.

"oh, kiranya kedua saudara Oey dan Kho" ucapnya. Kemudian setelah itu, ia merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah peles dan membuka tutupnya serta menuang keluar isinya, lima butir pil, sambil berbuat begitu, ia berkata merendah, "maafkan aku atas perbuatanku tadi. Inilah obat pemunah, silahkan telan "

Siauw Pek lekas lekas menyambut obat itu, paling dahulu ia menelan sebutir, lalu sisanya ia bagi bagikan kepada Su Kay Taysu. Ban Liang, Oey dan Kho Kong untuk mereka menelannya tanpa ditunda pula.

obat itu berwarna kuning tua dan besarnya seperti kacang kedele, beda daripada pil yang tadi diberikan kepada Uh bun Ceng dan lainnya. Karena kelainan itu, Siauw Pek heran-

"Kakak. adakah ini obat yang lainnya?" tanyanya.

Ditanya begitu, Nona Bun Koan tertawa manis, lekas lekas ia menyusut air matanya. Tapi selekasnya itu, ia berkata: "Semua orang Seng Kiong Sin Kun menjadi musuh musuh kita, mana dapat aku melepaskan mereka? Dengan banyak susah aku telah mengatur tipu memancing mereka datang kemari Untuk menghabiskan mereka itu rasanya masih kurang, karena itu mustahil aku sudi memberikan mereka obat untuk membebaskan mereka?"

Siauw Pek terkejut.

"oh," serunya. "Kalau begitu..." "Semua obat itu, bukannya obat pemunah," berkata Bun Koan, "itulah bahkan obat yang mempercepat bekerjanya racun. Syukur Su Kay Taysu tak makan, kalau tidak. oh, itulah kesalahan....

(Halaman hilang)

Paras Siauw Pek pucat saking kagetnya. "Kakak, kau..." katanya.

Alis si nona berkerut.

"Adik," katanya, "apakah kau hendak mengatakan aku telengas dan gila akan pembunuhan?"

"Mana berani aku mencela dan menyesaikan kau, kakak," berkata si anak muda. "Aku hanya merasa, makin banyak kita membinasakan orang itulah perbuatan yang menentang peri kemanusiaan, itulah. "

Baru berkata sampai disitu, mendadak si anak muda menghentikan sendiri kata katanya. Ia melihat kakaknya menangis pula, air matanya meleleh dengan tiba tiba. Hanya sejenak, ia menambahkan. "Sudah lama aku mengetahui adanya satu perkumpulan rahasia kaum Kang ouw yang menggunakan pedang kecil yang berukirkan empat huruf Kiu Heng Cie Kiam, yang usahanya melulu memusuhi orang orang dari sembilan Pay besar, empat Bun, tiga IHwee dan dua Pang kakak ada sangkut pautnya dengan perkumpulan itu atau tidak?"

Bun Koan menangis semakin sedih.

"Bukannya saja kakakmu ini ada sangkut pautnya," sahutnya, "bahkan itulah perkumpulan yang dibangun oleh kakakmu sendiri. Akulah pemimpinnya, adikku"

Siauw Pek kagum, hingga ia menatap kakaknya itu.

Su Kay Taysu berempat juga tak kurang kagumnya, hingga mereka pada menghela nafas. Tak mudah bagi seorang nona untuk berusaha demikian besar pandai, berani dan gagah

"Adik, tahukah kau apa artinya 'Kiu Heng' dari empat huruf Kiu Heng Cie Kiam itu?" tanya Bun Koan "Pastilah itu diartikan sakit hati, karena sakit hati keluarga kita besar dan dalam bagaikan lautan," sahut Siauw Pek. Nona Coh mengangguk, air matanya bercucuran deras.

"Benar..." sahutnya, "Bukankah keluarga terdiri dari seratus-jiwa lebih ? Bukankah kematian keluarga kita itu sangat menyakiti hati? Sakit hati laksana lautan itu dapatkah tak dibalas?"

"Pembalasan sudah selayaknya. Tanpa pembalasan pastilah ayah dan kakak tak tenang dialam baka..."

"Hutang darah dibayar dengan darah, itulah sudah selayaknya " kata si nona. "Maka itu, setiap jiwa keluarga kita harus dibalaskan satu demi satu. Nama Kiu Heng Cie Kiam telah menggemparkan dunia Kang ouw tetapi selama itu, aku belum membunuh seratus orang, karenanya, dapatkah dikatakan perbuatanku melewati batas atau menentang peri kemanusiaan? Habis sebutan apa hendak dikatakan buat pembunuhan terhadap seratus jiwa lebih keluarga kita itu?"

"Tidak, kakak..."

Siauw Pek kuatir kakak itu mencelanya lemah. Bun Koan tertawa sedih.

"Keluarga kita telah dicelakai orang, hingga tinggal kita berdua. Bukankah dulu itu telah kau lihat dengan matamu sendiri bagaimana hebat kebinasaan ayah dan kakak kita?"

"Kakak..." sahut Siauw Pek. yang berduka sangat. Dia jadi diingatkan pula akan peristiwa yang menyakiti hati itu. "Sebenarnya, kakak, ketika itu aku tak dapat melihat dengan mata sendiri."

"Kau tidak melihat sendiri, aku sebaliknya" berkata kakak itu, bersedih berbareng mendongkol, dan gusar. "Aku melihat ayah dan kakak mati membela diri, tubuhnya rebah ditanah dengan berlumuran darah. Tak dapat aku melupakan itu, tak seumur hidupku Sampai ini hari di ini detik, masih berbayang pemandangan pertempuran hari itu. Setiap mengingat sakit hati itu, aku bagaikan tak sudi hidup lebih lama pula didalam dunia ini, aku menyesal dan membenci."

"Ah, sudahlah kakak. sudah," Siauw Pek memotong sambil ia menangis.

"Aku sengaja mengatakan semua ini, adikku, karena aku kuatir kau melupakannya" kata kakak itu. Dia sangat gusar tetapi diapun sangat sedih. "Kita harus menuntut balas dengan menghabiskan tenaga kita agar tak jadi anak yang tak berbakti, yang tak menunaikan tugasnya sebagai anak sejati"

"Biar bagaimana, kakak, tak nanti aku melupakan sakit hati keluarga kita itu" kata Siauw Pek dengan air mata bercucuran. Bun Koan menghela napas.

"Asal kau tak melupakannya, adikku," katanya. "pastilah roh ayah dan kakak di dunia baka akan merasa terhibur."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar