Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 05

JILID 5

Tetapi Siauw pek heran.

"Jadi dari ilmu silat loopee sendiri mendapatkan cara untuk merobohkan tipu silat golok Siang Loocianpwee itu?" tanyanya.

"Bukan, anak. Mungkin seumur hidupku, tidak dapat aku memecahkannya. Hanya, dari sembilan jurus tipu silatku, aku berhasil membebaskan diri dari keinginan gilaku." Siauw Pek menepuk kepalanya.

"Akupun pusing kepala memikirkannya, loopee" katanya: "Sebenarnya apakah yang membebaskan siksaan loopee itu ?"

Mendadak Kie Tong tertawa riang dan sinar matanyapun bercahaya pula. Kembali ia pada wajahnya yang lemah lembut dan ramah.

"Sebenarnya aku tahu bahwa sembilan Jurus tipu pedangkupun ada banyak cacatnya," katanya. "Baru itu waktu aku sadar, bahwa ilmu silat di kolong langit, biar bagaimana sempurna, mesti ada juga kekurangannya. Jikalau ada ilmu silat sempurna tanpa cacat, bukankah orang itu akan menjadi jago sendiri, dan semua orang Rimba Persilatan mesti tunduk terhadapnya. Kalau itu benar terjadi maka tak usahlah adanya pelbagai partai lagi"

Siauw Pek mulai mengerti. "oh, kiranya begitu..." katanya.

"Tipu pedang ku sembilan jurus, pantas banyak cacatnya," kata Kie Tong kemudian "Tipu golok Siang Go cuma satu jurus, tak heran sedikit cacatnya. Tipu pedangku berasal dari berbagai macam tipu pedang di kolong langit yang disatukan, karena itu dalam hal pembelaan diri, biarpun dikepung oleh berpuluh orang liehay, aku tak akan kalah. Tipu golok Siang Gopun asalnya adalah dari tipu golok jago jago dunia yang disatukan Kalau tipu pedangku untuk membela diri, tipu golok Siang Go adalah untuk menerjang. Maka itu, belum pernah ada orang yang lolos dari serangan goloknya itu. Nah, anak, coba kau pikir : Kalau dengan tipu silat penyerangannya yang istimewa itu maka siang Go menyerang tipu pedangku yang mengutamakan pembelaan diri itu, bagaimanakan nanti kesudahannya ?"

"Aku tidak tahu," sahut pula Siauw Pek. Dia memang tidak mengerti.

"Itu berarti, batu kemala dan batu biasa terbakar musnah sama sama." kata Kie Tong. "Artinya, dua duanya kalah dan mendapat celaka. Aku terluka oleh bacokan Toan Hun it Too, dia roboh karena balasan serangan pedangku. Anak, semua orang tahu bahwa ilmu pedangku ialah ilmu pedang ong Too, Raja Keadilan, itulah disebabkan belum pernah aku membunuh seorang juga. Pernah aku mengalahkan orang karena desakanku, sampai musuh menyerah kalah dan mundur dengan sendirinya, lain daripada itu, sulit aku melukai membunuh lawanku. inilah yang aku sesaLkan Begitulah akan kemudian aku telah memperoleh julukan ong Kiam itu."

Siauw Pek heran, katanya didalam hati. Kau terkenal sebagai Ki Lan Un it Kiam, kau disebut juga nabi Rimba Persilatan, ilmu pedangmu menjagoi seluruh dunia, tetapianah, mana ada tipu pedang istimewa yang hanya bisa dipakai menjaga diri, tetapi tak dapat melukai musuh ?"

Kie Tong melihat anak itu berdiam, ia dapat menerka sebabnya. Maka ia tersenyum. "Anak, kau tidak percaya akan kata kataku ini, bukan?"

"Bukannya aku tidak percaya, loopee, aku hanya kurang mengerti..."

"Tentang itu, suka aku memberi penjelasan, cuma aku kuatir,  kau belum cukup pengertian untuk memperoleh keinsafan .Jikalau nanti kau telah mempelajari ilmu pedangku, kau akan mengerti jelas." Siauw Pek menatap. sedang orang tua itu mengawasi.

Selang sejenak, mendadak orang tua itu berkata: "Mulai hari ini, aku akan ajari kau ilmu kepandaianku " Siauw Pek tercengang karena heran dan girangnya.

"Terima kasih, loopee, terima kasih ujarnya cepat. "Bukan hanya aku, juga arwah ayah bundaku dialam baka pasti akan sangat bersyukur kepada loopee "

"Tetapi, anak," kata orang tua itu, "aku kuatir kau nanti tak sanggup membawa ong Kiam dan Pa Too keluar dari lembah Bu Yu Kok ini..."

Mula mula, Siauw Pek heran, tetapi kemudian dia mengerti, Maka ia berkata : "Biar rintangan berlapis lapis, loopee, tak akan kuhiraukan Aku percaya arwah ayah bundaku akan membantu sehingga aku bisa keluar dari lembah ini..."

"Ya, anak memang siapa sangat berbakti, dia akan memperoleh berkah"

Berkata begitu, Kie Tong berhenti secara tiba tiba. Ia menekuk nekuk jeriji tangannya, untuk menghitung hitung.

"Aku ingat sekarang," katanya kemudian, "tiga tahun lagi, adalah saat yang tepat untuk menyeberangi jembatan maut itu..." Ia berdiam sejenak, kemudian katanya lagi: "Mempelajari ilmu silat sampai sempurna bukannya soal mudah, akan tetapi tiga tahun juga bukan waktu yang pendek. Anak, kau berbakat baik sekali, kalau didalam waktu tiga tahun kau terus belajar dengan tekun, kau pasti akan memperoleh kemajuan Kaupun telah makan cio jie, yang berarti pertambahan untuk kekuatan tubuhmu. Aku percaya, dengan latihan tiga tahun, kau akan dapat menandingi orang yang mempunyai latihan sepuluh tahun "

"Mudah mudahan loopee," kata Siauw Pek. yang sekali lagi menghaturkan terima kasih. Ia paykuy terhadap orang tua itu.

Sejak itu, mulailah Tjoh Siauw Pek belajar dibawah pimpinan Kie Tong, yang mendidiknya lebih dahulu didalam ilmu tenaga dalam-

Bukan main sayangnya orang she Kie ini terhadap muridnya ini, hingga untuk makan pakaiannya, dia sendiri yang melayani, si murid cuma diwajibkan belajar tekun dan junun, sedangkan setiap tengah malam, dia memerlukan mengambilkan ciojie untuk diminum muridnya, supaya tubuh si murid sehat, kuat dan ulet.

Sang waktu berlalu dengan cepat. Dua tahun telah lewat. Selama itu, Siauw Pek sudah melatih baik dirinya dalam ilmu dalam Bahkan tiap tanggal lima, lima belas dan dua puluh lima selama tiga hari setiap bulan diapun disuruh melatih ilmu golok Siang Go. supaya dia mahir dalam ilmu goloknya itu. Tapi, selama dua tahun yang lalu belum pernah dapat Kie Tong mengajari dia ilmu pedang. dia cuma banyak diceritakan tentang ilmu silat bersenjata itu.

Pada suatu malam selewatnya dua tahun setengah selagi rembulan terang benderang, tiba-tiba Kie Tong mengajak muridnya pergi ke ujung bukit dimana ada banyak tumbuh pohon bunga. Dia tertawa ketika menunjukkan tempat indah itu. "Anak, kau lihat tempat ini, bagaimana perasaanmu?" tanyanya. Siauw Pek melihat keempat penjuru.

"Sungguh indah " sahutnya. "Bunga bunga bagaikan sulaman  dan bau harumnya hampir memabukkan orang" Kie Tong tertawa pula.

"Selama dua tahun lebih," katanya. "kecuali selagi berlatih silat, kau tidak pernah keluar pintu. Aku lihat walaupun kau berlelah lelah kemajuanmu adalah diluar dugaanku"

"Itulah berkat kebaikan loopee," kata anak muda. Lagi lagi guru tertawa.

"Mulai malam ini, aku akan ajari kau ilmu pedang " katanya.

Dengan tiba tiba Siauw Pek menjatuhkan diri memberi hormat kepada gurunya itu.

"Suhu, terimalah hormat murid" katanya yang kemudian merubah panggilannya dari loopee paman menjadi "suhu" guru. Ia menjura tiga kali.

Beda daripada biasanya, Kie Tong tidak mencegah. Dia terima baik pemberian hormat itu "Sekarang kita telah menjadi guru dan murid" katanya, tertawa. "Sejak malam ini, tempomu berdiam di lembah ini tinggal kira kira setengah tahun, karena itu, dibawah pimpinanku kau mesti belajar dengan sungguh sungguh. Taman bunga ini adalah taman buatanku, sengaja aku siapkan buat aku berlatih disini."

Siauw Pek bersyukur. cuma ia tidak mengerti mengapa buat belajar siat pedang guru itu memilih tempat ini, yang dia buat istimewa. Ia sangat bersyukur dan terharu, hingga air matanya meleleh keluar.

"Budi suhu ini sangat besar, entah bagaimana aku bisa membalasnya," katanya.

" Kau telah membalas budiku jikalau kau berhasil mempelajari ilmu pedangku yang terdiri dari sembilan jurus ini," kata guru itu. "Dengan begitu kau telah mewariskan ilmu kepandaianku."

"Aku akan coba, suhu. Aku akan berdaya agar suhu tidak kecewa."

"Tahukah kau, mengapa aku buat taman ini untukmu belajar silat pedang ?"

"Tidak suhu," sahut murid.

"Ilmu silat pedang ku beda daripada ilmu silat pedang lainnya," berkata guru itu. "Lebih beda lagi dengan ilmu golok Siang Go. Selama dua tahun aku menyaksikan kau melatih ilmu golok, aku melihat kau selalu dipengaruhi rasa dendam kesumatmu, sangat hebat perasaan benci dan sakit hatimu. Tidaklah demikian dengan ilmu pedangku. Ilmu pedangku sebaliknya, membutuhkan kelemah lembutan seperti angin musim semi, mesti dipenuhi pengaruh welas asih dan kesabaran Diwaktu belajar ilmu pedang, hatimu mesti riang gembira, lega terbuka bagaikan berbunga. Nah, inilah sebabnya mengapa kubuatkan kau taman ini. Keindahan tempat ini akan membantu kau menyelesaikan dan memahirkan ilmu pedangmu"

Siauw Pek sangat bersukur, ia sampai menghela napas. "Suhu baik sekali." katanya.

"Ilmu silat pedangku disebut ong Too Kiu Kiam tetapi juga dipanggil Tay Pie Kiam-hoat yaitu Ilmu Pedang Maha Kasih," berkata guru itu, memberi penjelasan. "Jurus yang pertama dinamakan Siang im Liauw Yauw, atau Mega Indah Bergulung gulung. inilah sebab, asal pedang digerakkan, geraknya mirip mega turun dari langit, segera lawan terkurung sinarnya yang tajam itu, berkilau kilauan terus membawakan sembilan perubahan, mengancam menotok sembilan jalan darah lawan itu. Itulah ancaman serangan untuk lebih menggertak mempunahkan semangat lawan kita. Ilmu pedang ini memang cuma sembilan jurus tetapi setiap sembilan jurus berkailkan sembilan, menjadi semuanya delapan puluh satu jurus pecahan yang sebaliknya dapat berubah bulak-balik hingga seluruhnya menjadi tujuh ratus dua puluh sembilan jurus. Tegasnya jurus-jurus agaknya menjadi kacau sekali karena banyaknya. Malam ini aku akan ajari kau satu jurus dan kau harus melatihnya terus selama dua malam lagi, hingga satu jurusnya mesti selesai dalam tiga hari. Itu berarti, tiga kali sembilan menjadi dua puluh tujuh hari. Aku menetapkan waktu satu bulan untuk kau selesaikan Sisanya tiga hari lagi akan digunakan sebagai latihan ulangan, supaya kau tidak salah dan agar jadi faham benar".." Habis berkata begitu, orang tua ini menghela napas.

"Tapi ingat, anak." pesannya: "Selama kau mempelajari Tay Pie Kiam-hoat, kau musti menunda latihan golok Toan Hun it Too. Kau harus ketahui, Kiu Kiam dan it Too saling berselisihan maksudnya, maka kalau kau melatihnya dengan serentak. kau akan menampak kesulitan, sebab hatimu terpecah dua. Kalau kau hendak menggunakannya, gunakanlah bergantian Demikian juga cara melatihnya." Siauw Pek mengerti.

"Pedang dan Golok berselisih, pantas suhu dan Siang Loopee saling menghormati tetapi saling menghindarkan diri..." pikirnya. Ia terus mengangguk kepada gurunya itu, kemudian ia mengawasi, untuk menantikan pelajaran "Sekarang waspada " terdengar suara siguru, "pasang matamu, perhatikan, aku hendak memulai jurus yang pertama, lihat dan ingat baik baik."

"Akan aku perhatikan, suhu," simurid memberikan janjinya.

Kie Tong bertindak ketengah taman, dengan perlahan ia mengangkat pedangnya, terus ia bersilat, dengan gerakan yang perlahan Ia menjalankan semua sembilan jurus.

Sang murid kagum. Ia menyaksikan banyak perubahan. Artinya itu ialah banyak gerakan-Hal ini membuatnya sukar, sebab sulit untuknya mengingat jelas semua perubahan itu. Sehabisnya, Kie Tong berdiri diam, pedangnya disimpan-

"Bagaimana ?" ia menanya kepada muridnya sambil tertawa. "Bagus, suhu Hanya sejurus pun aku tak ingat lagi..." Guru itu

tertawa pula.

"Kalau satu kali lihat saja kau sudah ingat apa itu masih dapat dinamakan ilmu silat istimewa ?"

"Aku tolol, suhu, aku kuatir akan menyia nyiakan pengharapanmu..." Lagi lagi sang guru tertawa.

"Hari masih panjang, anak Kalau betul kau gagal didalam tempo setengah tahun, itu waktu terpaksa kau mesti menunda sampai tiga tahun lagi " Siauw Pek terperanjat.

"Tiga tahun lagi " katanya didalam hati. Ia ingat sakit hati ayah bunda dan sekalian saudaranya. Tapi ia berikan janjinya: "Baiklah, suhu, aku akan belajar dengan sungguh sungguh" Kie Tong puas.

"sekarang, anak, mari kita mulai "

Guru itu lalu mengajari jurus yang pertama. Ia berlaku sabar dan teliti sekali. Siauw Pek cerdas, iapun sangat rajin, bisa ia menangkap ajaran gurunya.

Sang waktu berjalan dengan cepat. Segera lewatlah satu bulan. Siauw Pek dapat memenuhi janjinya. Didalam waktu satu bulan itu, ia sudah selesai mempelajari Tay Pie Kiam hoat. ilmu Pedang Maha Kasih itu. Dan selanjutnya ia tinggal melatih saja. Pada suatu hari habis berlatih, Kie Tong menunjuk bunga bunga didalam tamannya itu.

"Tahukah kau mengapa ditempat latihanmu kutanami bunga bunga ?" dia tanya muridnya sambil tertawa ramah.

Siauw Pek menggeleng. "Aku tidak tahu," sahutnya.

"Selama sebulan kau belajar disini, adakah yang luar biasa kau rasai?" Murid itu memandang kesegala arah. Kembali ia menggeleng kepala.

"Aku tidak merasakan apa-apa," sahutnya.

Guru itu tersenyum, tetapi ia tidak memberi keterangan hanya ia mengalihkan pembicaraan Katanya: "Mulai besok. aku tidak akan mengajarimu lagi, hanya setiap hari dua kali kau datang kesini, untuk berlatih, yaitu setiap jam cu-sie dan ngo-sie."

"cu-sie" ialah jam 11 malam sampai jam 1 tengah malam, dan "ngo-sie" jam 11 siang sampai jam 1 tengah hari.

"Tetapi, suhu," kata si murid, gugup, "aku belum ingat seluruhnya, perubahannya demikian banyak, bagaimana aku..."

Sang guru menyela, "Kau harus ingat, tak dapat aku senantiasa mendampingimu..." Ia berhenti sejenak. kemudian menambahkan: "Semuanya sembilan jurus, telah kau ingat dengan baik. Tentang perubahan perubahannya, kau nanti akan mengerti sendiri kalau kau sudah menghadapi lawan lawanmu, karena semua itu harus melihat suasana. Belajarlah sendiri, aku tidak ingin mengganggumu. Dengan berlatih sendiri, kau jadi merdeka. Tentang kemajuanmu nanti tak dapat aku memastikannya karena itupun harus melihat untung bagusmu. Di dalam gubuk ada simpanan barang makanan untuk tiga bulan, sedangkan cio-jie didalam sumur itu, walaupun tinggal sedikit, masih cukup untuk dimakan selama beberapa bulan"

Siauw Pek menjadi bingung. Aneh guru ini. ia menjadi curiga, hatinya menjadi tidak enak. "Sebenarnya suhu mau pergi ke mana?" akhirnya ia tanya.

Kie Tong berlaku tenang, jawabnya: "Gurumu mempunyai suatu urusan penting, karena itu aku hendak berpisah dengan kau selama tiga bulan. Berlatihlah dengan sabar dan rajin, tak usah pikirkan aku." Lalu, tanpa memberi kesempatan lagi kepada muridnya, ia lompat melesat, sekejap saja telah lenyap dari pandangan mata si murid, karena dia menyelinap di sebuah tikungan bukit.

Siauw Pek melongo mengawasi gurunya itu, ia menjadi bingung sekali. Sia sia saja ia bercuriga. Kemana gurunya mau pergi, sedang di situ, kecuali Siang Go, tidak ada orang lainnya lagi? Mengapa guru itu mau pergi selama beberapa bulan itu?

Masih sekian lama anak muda ini mendongak memandangi langit, barulah ia mulai berlatih ilmu pedangnya. Ini merupakan pertama kali ia berlatih seorang diri, dan juga mesti hidup sendiri saja. Biarpun begitu, ia tidak merubah kebiasaannya, untuk tetap bersilat dan bersemadi guna memelihara kesehatannya, untuk memperkuat tenaga dalamnya. Hanya kadang kadang saja ia melatih kara bersemadi Siang Go, untuk menjaga agar tidak lupa, supaya pelajarannya si jago golok tak tersia2kan-

Sampai sebegitu jauh, tetap Siauw Pek belum mengerti jelas perbedaan antara pelajaran Kie Tong dan pelajaran Siang Go, hanya karena telah memperoleh kemajuan, dapat juga ia merasakannya. Kalau ia melatih semadhi Kie Tong, ia merasakan seluruh tubuhnya lunak. darahnya berpencar rapi keseluruh anggotanya, terutama ke tangan dan kakinya. segalanya damai. Sebaliknya, kalau ia melatih ajaran Siang Go, dalam seketika ia menjadi tegang tenaganya bagaikan mau melesat keluar, nadinya berdenyut keras, dadanya bergolak. Perbedaan itu terasa makin lama makin jelas.

Tentu saja, walaupun ia belum mengerti, tak mau ia menyia nyiakan salah satu diantara dua pelajaran silat itu.

Hari-hari berlalu, tiga bulan dilewatkan dengan cepat. Yang paling nyata ialah perbekalannya Siauw Pek sudah habis. ia  memang mengharap harap kembalinya sang guru, tapi dari pagi sampai siang, dari siang sampai magrib, sia sia belaka harapannya. Tetap tak nampak bayangan guru itu.

Tengah malam, barulah Kie Tong kelihatan bertindak memasuki gubuknya. Dia berjalan lesu, lain daripada biasanya. Bukan main girang sang murid.

"Suhu" serunya sambil melompat maju, menyambutnya.

"Aku letih sekali," kata guru itu, tangannya diulapkan, "aku hendak beristirahat. segala sesuatunya, besok akan kita bicarakan."

Siauw Pek percaya keterangan guru itu, ia bisa melihat keletihan sang guru. Ia merasa heran-

"Kau mengapa, suhu ?" tanyanya.

Kie Tong mengulapkan pula tangannya.

"Anak. jangan ganggu aku," katanya. "Aku tidak kurang suatu apa, aku cuma ingin beristirahat."

Guru ini bertindak kepembaringannya dimana ia rebahkan diri, terus tidur.

Siauw Pek heran, hingga dia berpikir: "Tenaga dalam suhu mahir sekali," ia tidak berani menanyakannya lagi.

Malam ini putera Tjoh Kam Pek tidak tidur barang sekejab. Dia duduk bersemadhi sambil menunggui gurunya itu.

Kie Tong tidur nyenyak sekali. Sampai besok tengah hari, baru dia terbangun.

"Oh, suhu sudah bangun," kata Siauw Pek, yang menghela napas, hatinya lega.

Kie Tong memandang muridnya, yang mata sayup sayup, Ia tahu apa sebabnya. "Satu malam kau tak tidur, anak?" katanya

"Aku sehat sehat saja, tak usah suhu memikirkannya," sahut sang murid. Kie Tong berdiam sebentar, kemudian mendadak melompat bangun "Anak. bagaimana ilmu pedangmu?" tanyanya tiba tiba.

"Aku tolol, suhu, aku kuatir menyia nyiakan pengharapan suhu, "jawab murid itu.

"Mari" kata sang guru. "Ingin aku melihat kau berlatih"

Siauw Pek menurut. Ia bertindak keluar, pedangnya segera dihunus. Di depang gubuk, ia segera menjalankan ilmu silat pedang Tay Pie Kiam hoat ilmu Pedang Maha Kasih itu

Kie Tong berdiri memperhatikannya dengan penuh perhatian Ketika muridnya sudah selesai bersilat, dia mengangguk angguk.

"Sudah bagus" katanya. "Selanjutnya asal hati dan tubuhmu sudah bersatu padu, kau akan sampai pada kesempurnaannya. "

"Dalam hal itu, aku masih mengharapkan petunjuk suhu," kata si murid yang rendah hati itu, yang sangat menghormati gurunya. Kie Tong mengangkat kepala, memandang kelangit.

"Anak. bagaimana dengan pelajaran Toan Hun It Too ?" kemudian ia bertanya pula.

"Hanya aku merasa masih ada saja sesuatu yang kurang lurus dalam mempraktekkannya." Kie Tong berpikir.

"Ketika Siang Go mengajarimu ilmu golok, apakah dengan hafalannya?" ia tanya.

"Ya, suhu."

"Di saat kau melatih Tay Pie Kiam hoat itu, bagaimana perasaanmu?"

"Rasanya hati ini jadi tenang dan damai." Sekonyong konyong guru itu tertawa nyaring.

"Bagus, oh, anak yang baik" serunya, "Kau telah memiliki kemurniannya ilmu silatku"

"Ah, suhu terlalu memuji," murid itu merendah diri. Habis itu, lenyap senyuman Kie Tong. Dia jadi bersungguh sungguh.

"Anak." katanya. "malam ini diantara jam sebelas dan satu, telah aku sediakan segala apa untuk kau melintasi jembatan maut Seng Su Kio itu. Pada waktu itu kau akan sudah meninggaikan Bu Yu Kok, ini lembah tidak Bersusah hati."

Siauw Pek tercengang. ia kaget. Mereka berdua bakal berpisah sedang sudah bertahun tahun mereka hidup bersama? Ia menarik napas duka. "Apakah suhu tidak pergi bersama?" tanya dia masgul. Kie Tong menggelengkan kepala.

"Anak yang baik, tak dapat aku tinggalkan gubukku ini dimana aku sudah tinggalkan selama puluhan tahun," sahut sang guru. "Tidak tega aku meninggalkannya, memang di sini sunyi tetapi aku senang dengan penghidupan tenang. Anak. tak usah kau pikirkan aku."

"Jikalau begitu, suhu biarlah nanti apa bila aku telah berhasil menuntut balas, aku akan kembali kelembah ini untuk seterusnya menemani suhu," kata sang murid. Guru itu menganggukan tetapi dia kata:

"Tidak usah Aku rasa usiaku sudah cukup tinggi, tidak lama lagi pun akan tiba saatnya aku pulang ke rakhmattullah..."

Mendadak guru itu menutup mulutnya, dan gantinya, dia mengusap usap rambut muridnya. Dia berkata sabar. "Anak selayaknya kau pergi menjenguk Siang Go, guru ilmu golokmu itu"

"Oh ya" kata murid itu cepat. "Memang aku mesti pamit pada Siang Lootjianpwee" Tapi Kie Tong menggeleng.

"Tak usah, anak," katanya, "Siang Go aneh, tak apa kau tak menemuinya."

"Siang Lootjianpwee pun telah seperti guruku," berkata Siauw Pek. " Dengan kepergianku ini, entah kapan aku akan kembali kemari..." "Sudah, tak usah kau pergi, anak." kata pula guru itu. "Apa yang aku katakan, tak akan salah. Sekarang ini kau justru perlu beristirahat."

Siauw Pek heran, akan tetapi, tidak berani ia menanyakan gurunya itu. Terpaksa ia pergi kebiliknya, untuk duduk bersemadhi. Hanya kali ini, karena terlalu banyak berpikir, ia tak dapat menenteramkan diri.

"Anak." kata Kie Tong, "kau telah makan ciojie, hasil pangan itu dapat menambah tenagamu seperti latihan sepuluh tahun. Rupanya Thian menyediakan makanan itu untukmu. sekarang kau mau berlalu, sumur itu juga sudah hampir kosong" Siauw Pek mengangguk.

"Suhu," katanya, "budi suhu besar luar biasa. Suhu seperti telah menghidupkan pula padaku"

"Sudah, anak. jangan kau banyak pikir. Hayo bersemedi terus, aku perlu beristirahat"

"Baik,suhu,"sahut si murid itu, yang terus memejamkan matanya. Sekarang dapat ia mengendalikan hatinya, maka di lain saat, ia sudah lupa pada dirinya sendiri. Ketika kemudian ia tersadar, waktu sudah jam dua malam. Ia mendapatkan gurunya tengah berdiri disisinya, menantikannya. Tentu sekali, ia menjadi terperanjat. Segera ia melompat bangun-

"Jam berapa sekarang, suhu?" tanyanya.

"Masih siang" sahut guru itu. "Nah, bawalah pedangku dan golok Siang Go" Murid itu menurut, ia menggantung pedang dan golok itu.

Kie Tong yang terdahulu keluar dari gubuknya ini. Ia berpaling kebelakang, mengawasi gubuknya itu dimana ia telah tinggal beberapa tahun setelah itu, ia membuka tindakan lebar lebar mengikuti sang guru.

Kie Tong berjalan terus. Ia memutari sebuah tikungan Di saat lain, mereka berdua melihat sebuah lembah yang dalam di hadapannya. Tebing lembah itu hampir mirip tepian jurang. Di situ nampak sebatang rotan yang besar, dilibatkan pada batu besar.

"Anak," kata Kie Tong, "pergilah turun dengan melapai dari rotan ini."

"Baik, suhu," sahut sang murid, yang terus menghampiri rotan itu, buat memegangnya dengan kedua belah tangannya. dan bergerak turun-

Diwaktu malam seperti itu, lembah itu nampak gelap. Di situpun terdapat kabut dan hawanya dingin. Dari dalam lembah, orang tidak melihat bintang bintang di langit. Tiba di dasar lembah Siauw Pek tidak dapat melihat lima jari tangannya.

"Anak. telah sampailah kau di dasar lembah." tanya Kie Tong dari sebelah atas. "Apa kau tidak kurang suatu apa?"

"Ya, suhu " menjawab sang murid. "Aku tidak kurang suatu apa "

"Jikalau begitu, berdirilah diam, jangan bergerak Aku hendak turun " Siauw Pek menurut. Ia berdiri diam disisi tambang rotan itu. Hanya sebentar, tibalah Kie Tong di dasar lembah.

Dengan perlahan lahan, mata Siauw Pek mulai terbiasa dengan tempat gelap. Ia pun dibantu banyak tenaga dalamnya. Samar samar ia melihat kesekitarnya. Memang benar, lembah itu penuh kabut dan juga berhawa dingin...

"Sungguh satu tempat yang mengerikan," pikir anak muda ini. Ia melihat tegas tak lebih jauh daripada empat atau lima kaki.

Kie Tong mengulur sebelah tangannya, dengan perlahan ia mencekal tangan muridnya.

"Anak. percayalah kepada takdir," kata sang guru, sabar. "Lihatlah kita berdua dan Siang Go kita semua telah beruntung berhasil melintasi jembatan maut Seng Su Kio Lebih lebih aku dan Siang Go, kami telah menempuh bahaya, melawan hembusan angin puyuh yang berbahaya itu. Memang tentang pengalamannya itu, Siang Go belum pernah menceritakan kepadaku, akan tetapi aku telah menduganya. Mungkin dia telah lebih menderita daripada aku, karena dia selanjutnya berdiam didalam gua gelap gulita itu dimana tidak ada sinar matahari, bahkan tak mau dia meninggalkannya." Berkata begitu, orang tua ini menghela napas.

"Anak. tempat kita ini tenang luar biasa," ia menambahkan selang sejenak. "tetapa kesunyian semacam ini sangat membosankan, membuat orang tak senang mendiamkannya lama lama. Kau tahu, pernah beberapa kali aku mencoba menyeberangi Seng Su Kio, hanya sayang saban saban aku gagal selalu aku terpaksa mundur sendirinya, hingga akhirnya matilah niatku meninggalkan tempat ini. Harapan telah tidak ada lagi..." Siauw Pek dapat mengerti kata kata gurunya itu.

"Suhu adalah seorang lihay, suhupun tidak sanggup melintasi Seng Su Kio" kata sang murid, "apa lagi aku. Aku percaya, ketika hari itu aku dapat menyeberangi jembatan maut itu, rupanya aku dapat perlindungan arwah ayah bundaku." Kie Tong menghela napas.

"Mengenai soal menyeberangi Seng Su Kio telah lama aku memikirkannya," katanya. "Sesudah lewat waktu sekian lama, akhirnya aku toh dapat memikir satu jalannya. Kau tahu, anak. kenapa aku memisahkan diri dari kau selama tiga bulan ? Sebab aku telah pergi ke lembah berkabut dan dingin ini, disisi aku membuat penyelidikan, guna membuktikan pemikiranku itu. Tak sia sialah aku menggunakan waktu tiga bulan itu, nyata aku telah berhasil mendapatkan kebenaran pemikiran itu. Dengan begini anak. aku jadi mencarikan juga kau suatu jalan keluar, buat meninggalkan Bu Yu Kok dan Seng Su Kio..." Siauw Pek heran.

"Apakah kenyataan itu, suhu ?" ia bertanya.

"Angin puyuh dijembatan itu mempunyai tenaga kuat luar biasa," sang guru menjelaskan " akan tetapi tenaga itu pula ada suatu keanehannya.Jikalau seorang melintasi jembatan dengan pikiran kosong, lupa akan hidup dan mati angin itu meniupnya melintas, tubuh orang itu tidak merintanginya, tak bertahan akan hembusan Demikianlah kau, ketika dahulu melintasi, kau ada dalam keadaan lupa segala-galanya, karena pikiranmu dipengaruhi oleh kebinasaan hebat dan menyedihkan dari ayah bunda serta saudara saudaramu, oleh sebab itulah kau dapat melintasinya."

"Jikalau demikian adanya, suhu," kata Siauw Pek, "ingin aku mencoba melintasi jembatan itu. Aku akan lupakan segala apa dan tidak akan menggunakan tenaga menentang hembusan angin puyuh itu."

"Ayah bundamu telah mati, anak. di dalam dunia ini tak akan ada ayah bundamu yang kedua. Kau masih berduka, masih bergusar, akan tetapi tak nanti kau berduka dan bergusar seperti dahulu itu, seperti saat ayah bundamu baru dibinasakan orang Karena itu, sekarang tak dapat kau melupakan diri secara sewajar seperti dahulu itu. Selama kau masih sadar dan ingat bahwa kau masih hidup, kau tak kan dapat menghindarkan diri dari angin puyuh itu, kau pasti bakal terhembus hingga tergelincir jatuh kedalam jurang. Itulah sebabnya mengapa aku memikir dan lalu mencoba untuk membuktikan pemikiran itu. Tiga bulan lamanya aku berdiam di lembah dingin gelap berkabut ini, siang dan malam aku melakukan penelitian, aku memperhatikan hembusan angin Aku mendapat kenyataan adalah malam ini, hembusan angin itu yang paling  lemah, sebelumnya, aku juga telah membuat penyelidikan dengan seksama, aku mendapat kenyataan, setiap tiga tahun satu kali, ada dua belas jam tenaga hembusan berkurang banyak. Walaupun tenaga hembusan itu lemah, tapi itu masih tak dapat dilawan oleh tenaga manusia. Hari ini, tengah hari dan tengah malam, adalah saatnya tenaga hembusan itu berkurang, selewatnya itu, tenaga itu akan jadi kuat pula seperti biasa. Maka itu, jikalau kita lewatkan kesempatan ini, kita mesti menanti lagi sampai tiga tahun kemudian "

Siauw Pek mengangguk angguk.

"Suhu," tanyanya, "apakah suhu mau meninggalkan tempat ini bersama sama aku?" "Telah kujelaskan tenaga hembusan itu," kata si guru.  "tenaga itu tak dapat dilawan berbareng oleh dua orang. Anak. tak usah kau pusingkan lagi gurumu."

Siauw Pek merasa berat, ia hendak memeluk gurunya itu, tetapi Kie Tong sudah menariknya, buat diajak segera berjalan dan  dengan cepat cepat

Mereka menempuh kabut. Siauw Pek terus mengikuti gurunya, yang nampaknya telah hapal sekali dengan lembah itu. Ia merasa bahwa ia diajak naik, bahkan beberapa kali mereka mesti jalan merayap.

"Anak" kata Kie Tong kemudian, sesudah mereka jalan beberapa lama, mendadaklah. "Kau ikuti aku dengan merayap."

Mau tidak mau, Siauw Pek mesti menurut dan mengikuti di belakang gurunya itu. Jalanan itu makin lama makin sempit, sebab dikiri kanannya jalan dinding dinding batu gunung yang licin Bahkan akhir akhirnya, jalanan sempit itu hanya dapat dilalui seorang saja.

Lewat sekira waktu malam, telinga Siauw Pek mendengar suara yang nyaring, serentak ia pun berada ditempat terbuka, hingga mereka dapat bangun berdiri. Ia memandang ke segala arah. Nyata ia tengah berdiri dimuka sebuah gua batu yang berada diantara tembokan gunung. Ia pun mendengar hembusan angin serta suara ombak beradu adu, hingga kedua suara itu bersatu padu bagaikan sebuah irama...

Kie Tong mengulur tangannya, dia menepuk nepuk sebatang balok panjang setombak lebih, sambil berkata : "Gua batu ini tadinya sangat sempit akan tetapi dengan menggunakan waktu beberapa hari, aku telah menggempur dan membukanya hingga jadi luas begini. Jikalau dari mulut gua ini kita melompat kaluar, kita sampai didasar lembah. Air disitu bergelombang, suaranya keras, tetapi karena terintang sempitnya mulut gua ini, tenaga ombaknya menjadi sangat terbatas, tak bisa menjadi terlebih hebat lagi..." Berkata sampai disitu, guru ini hening sejenak. Ia batuk batuk perlahan.

"Sekarang ini waktunya sudah tidak banyak lagi, tidak dapat aku menjelaskan terlebih jauh," katanya, menyambungi. "Lagipula, kau tidak tahu keadaan disini terlebih baik daripada kau mengetahuinya. Lihatlah ini sepotong balok. Telah aku ikat dengan rotan yang kuat sekali. Jikalau balok ini dilempar kedasar jurang, dia akan dibawa hanyut oleh arus. Didasar itu ada banyak batu besar malang melintang, ada kemungkinan balok akan terjepit dan menyangkut diantaranya. Kau gunakan balok ini untuk berenang berhanyut arus itu seandainya aku nampak bahaya, lekas kau teriaki aku nanti aku menarikmu kembali."

Begitu habis berkata, Kie Tong mengangkat balok itu, sambil berseru nyaring, dengan sekuat tenaganya dilemparkannya balok itu kedalam jurang. Sejauh empat atau lima tombak. balok itu jatuh secara perlahan. Kie Tong memegangi rotan erat erat.

"Nah, anak. pergilah " katanya menyuruh.

Siauw Pek tahu bahwa tak ada jalan lain lagi, ia menjatuhkan diri didepan gurunya, untuk memberi hormat.

"Suhu," katanya, "jikalau aku berhasil menyeberangi arus ini dan tiba diseberang sana, aku akan ikat rotan ini pada batu besar, kemudian suhu bersama Siang Lotjianpwee dapat menggunakan buat menyeberang, untuk meninggaikan tempat ini "

"Itu soal tiga tahun kemudian," berkata sang guru. "Sekarang ini sudah tak banyak waktu lagi, lekaslah pergi " Sang murid menangis

"Budi suhu sangat besar. tak mampu aku membalasnya. Suhu, baik baiklah suhu merawat diri, muridmu mau pergi "

Habis berkata, Siauw Pek bangkit berdiri, tangannya menyambar rotan Ia menguatkan hati, tanpa ayal lagi, ia melompat keluar dari mulut gua.

Mulut gua jauh lebih tinggi dari permukaan air, waktu tubuh Siauw Pek hampir sampai di air, dia merasa ada hembusan angin yang meniupnya, begitu keras, hampir cekalannya kepada rotan terlepas. Syukur dia tabah dan cerdik, lekas lekas  dirangkulnya rotan itu hingga selanjutnya dia bisa merosot turun-

Ketika dirasanya tubuhnya dingin, tahulah Siauw Pek bahwa ia telah tercebur disolokan gunung yang lebar yang berarus dahsyat itu. Tanpa berkuasa lagi, ia terus dibawa hanyut. Ia ingat pesan Kie Tong, dipegangnya rotan erat-erat.

Satu kali Siauw Pek terkejut, ia merasa nyeri, sebab tubuhnya telah terbentur batu besar kepalanya terasa pusing, matanya gelap. Ia gelagapan hingga dua kali dia menceleguk air di luar keinginannya. Tapi ia masih sadar, ia memegang keras-keras rotannya, lekas-lekas dikeluarkannya kepalanya untuk dapat bernapas. Dengan begini ia dapat menenangkan hatinya.

Sang arus tetap membawanya hanyut. Hanya setelah lewat beberapa tombak. tiba-tiba ia merasa aliran tak sekeras semula, sedangkan kakinya lantas dapat menginjak sebuah batu besar ketika ia memandang, ternyata arus tertahan oleh sebuah batu besar sekali.

Kesempatan ini digunakan sianak muda untuk beristirahat sebentar, setelah itu, ia maju lagi. Tak lama selewatnya batu besar itu, arus mulai deras lagi. Ia kembali mencetak rotan erat erat. Kali ini dia melapai, hingga ia dapat mencekam balok yang terikat rotan itu.

"Celaka..." Siauw Pek mengluh didalam hati, hatinyapun berCekat. "Kabut begini gelap. sungai entah berapa lebar lagi, dapatkah aku mengandalkan tenagaku untuk berenang ? Bagaimana aku bisa tiba diseberang ?"

Berpikir begitu, anak muda ini terdiam. Tapi otaknya bekerja terus. Kemudian ia mendoa didalam hati : "Ayah dan ibu, harap ayah dan ibu melindungi putramu ini" Setelah itu, ia mengambil keputusan. Dengan tangan kiri, ia memeluk balok dengan tangan kanan, ia mencabut goloknya dan menabas kutung rotan yang dipakai mengikat balok itu. Setelah itu, ia memeluk balok dengan kedua tangannya.

Dengan terputusnya rotan itu, segera terbawa arus dan hanyut cepat sekali.

Tubuh Siau Pek terbawa hanyut, tak hentinya telinganya mendengar suara-suara nyaring dan berisik. Sebab baloknya itu sering membentur batu dan saban-saban teringat hanyutnya. TubuhnyapUn senantiasa terombang ambing karena damparan arus.

Didalam keadaan seperti ini, Siauw Pek tak tahu bahwa ia telah melewati waktu berapa lama. Apa yang dirasakannya ialah tenaganya hampir habis. Meski demikian, pelukannya tetap diperkeras. Yang terakhir ia merasa kaget dan merasa sangat nyeri, sebab dahinya sebelah kiri kena terbentur batu besar, hingga ia tak sadarkan diri. Ketika entah berapa lama kemudian ia tersadar dari pingsannya, ia melihat tempat disekitarnya telah berubah.

Berdiri dihadapan Siauw Pek seorang nona nelayan yang mengenakan baju hijau berkuncir panjang. sedangkan celananya komprang dan kedua kakinya telanjang. Nona itu tengah merapikan jalanya. Ia sendiri rebah diatas lantai dari suatu bahagian perahu, yang beralaskan kasur yang tebal. Ia menarik napas lega, lalu ingin menyapa nona itu, tapi sinona, yang melihatnya tersadar, berbalik menatap kepadanya, kemudian melepaskan jaringnya, sambil berseru: "Kakek Kakek.. Mari orang itu sudah sadar"

Kemudian terdengar jawaban dari seorang kakek, yang berkata: "Lekas kau panaskan sup kau itu, suguhkan kepadanya, supaya dia makan" Menyusul kemudian, terlihat datangnya orang itu. seorang tua yang bertubuh kasar, yang kepalanya ditutup dengan tudung bambu dan tubuhnya mengenakan baju kasar.

Diam-diam anak muda ini mengerahkan tenaga dalamnya. Ia merasa lega. Jalan napasnya tidak terganggu, cuma kepalanya masih nyeri sedikit demikian juga lengan dan pahanya, terasa nyeri sekali bekas terbentur bentur batu orang tua itu menghampirinya, lalu dia membungkuk sambil mengulurkan tangannya untuk meraba kepala sianak muda. Mendadak anak muda itu bergerak bangun untuk duduk. orang tua itu terkejut dan dia lalu mundur. "oh saudara kecil, kau telah sadar," katanya heran-

"Terima kasih paman," sahut Siauw Pek. "paman telah menolongku," ia bangkit, dan memberi hormat.

orang tua itu hendak mencegah, tetapi sudah tidak keburu.

"Kau bertubuh kuat, saudara kecil," katanya. "Rupanya kau pernah belajar silat."

"Maaf paman, itulah sebenarnya," Siauw Pek mengakui. Tak dapat ia berdusta. tiba tiba ia terkejut. Ia ingat pedang dan goloknya yang biasanya tergantung dipinggangnya, telah tidak ada. Ia melihat tajam kesekitarnya.

"Saudara kecil, kau mencari apa?" tanya si nelayan tua. "Aku membekal senjata, entah itu telah lenyap atau..." "Apakah itu golok dan pedang ?"

"Benar. Apakah paman telah melihatnya ?" "Barang barang itu telah kusimpan-.."

Ketika itu terdengar suara nyaring halus si nona : "Kakek. sup ikan sudah dipanasi, biarlah dia makan "

Siauw Pek menoleh. sekarang ia melihat tegas nona itu, yang usianya dikira baru lima atau enam belas tahun, matanya jeli, alisnya lentik, kulitnya putih halus. Untuk kaum nelayan, dia cantik sekali.

Meskipun dia mengatakan demikian, nona itu toh membawakan sendiri sup ikannya kepada si anak muda, sambil mengangsurkan ia berkata manis : "Sup ini masih panas, tuan Mari makan "

Siauw Pek menyambut sop itu. "Ucapannya halus dan rapi. mungkin dia pernah bersekolah," pikir Siauw Pek. yang terus mengucapkan terima kasih : "Merepotkan saja, nona "

"Maafan kami, saudara kecil," berkata si nelayan tua, ramah. "Kami berdua, kakek dan cucu, hidup sebagai nelayan sukar hidup kami, karena itu tak dapat kami mematuhi aturan adat istiadat sopan santun, yang melarang pria dan wanita berpegangan tangan-

.."

"Paman jujur dan polos, aku justru senang sekali " Orang tua itu tersenyum, ia melihat kesekitarnya.

"Hari ini hasil kami lumayan, cukup buat aku membeli arak. untuk minum sampai mabuk, sekarang, marilah kita pulang "

"Ya, kakek " kata si nona, yang terus tertawa manis. "Hari ini akupun mendapatkan dua ekor ikan yang langka, hendak aku bawa pulang untuk dipiara. Aku minta jangan kakek menjualnya, untuk ditukar dengan arak " Kakek itu tertawa.

"Ah budak. kau selalu biasa " tegurnya.

"Masih tak mau lekas lekas merapikan jala kita "

Nona manis itu tersenyum, dia keluar dari gubuk perahunya.

Senang Siauw Pek melihat lagak lagu si nona, yang wajar dan polos, yang, rupanya tahu segala sesuatu sebagai seorang anak nelayan.

"apakah paman masih mempunyai anggota keluarga lainnya ?"

Ditanya begitu, sicrang tua menghela napas

"Kami cuma berdua, kakek dan cucu," jawabnya. "Buruk nasib anak ini, dihari dia lahir, ayahnya mendapat kecelakaan, yaitu perahunya karam dan lenyap bersama-samanya, hingga sekarang tak ada kabarnya lagi..."

"Mungkin dia masih hidup, paman orang baik dilindungi Tuhan " Nelayan tua itu tersenyum sedih. "Saudara kecil, tak usah kau menghibur aku," katanya. "Sudah lima puluh tahun aku hidup sebagai nelayan, mustahil aku tak tahu sifat air? Kecelakaan itu disebabkan munculnya angin puyuh laut yang hebat sekali. Kami kaum nelayan, siapa ketemu angin itu, dia tak ampun lagi. Untuk kami, kami mengenal pepatah yang mengatakan, rejeki tak datang serentak. bencana tak jalan sendirian Setahun kemudian, ibu si anak telah menemui ajalnya. Maka selanjutnya, kami hidup berdua. Syukur kepada Tuhan, dalam usiaku begini tinggi, aku tetap sehat dan segar, maka selama tiga belas tahun, kami kakek dan cucu dapat terus hidup bersama."

"Jadi cucu paman itu tahun ini berusia tiga belas tahun ?"

"Empat belas tahun, saudara kecil. Memang nampaknya dia seperti anak umur lima atau enam belas tahun Tidak ada yang mendidiknya, maka aku kirim dia kesekolah dimana dia telah belajar selama tiga tahun Anak itu berotak terang, sayang dia wanita dan juga longgor, dalam usia sepuluh tahun, dia sudah mirip anak umur tiga atau empat belas tahun Terpaksa aku menghentikan sekolahnya, supaya dia bisa diajak menangkap ikan bersama sama. Inilah penghidupan kami."

Siauw Pek heran Bocah umur empat belas tahun sudah seperti orang dewasa. orangnya pun cerdas dan cantik. Ketika itu muncul pula si nona.

"Kakek. sudah siap " katanya. si kakek bangkit.

"Saudara kecil, kau rebahlah, biarlah aku memegang kemudi." Habis berkata, dia pergi ke luar.

Siauw Pek mengawasi kakek dan cucu itu keluar, kemudian dia duduk bersemadhi.

Kira-kira sudah lewat waktu beberapa lama, tiba-tiba terdengar suara nyaring halus dari si nona : "Tuan, sudah sampai, silahkan turun dari perahu "

Siauw Pek membuka matanya dan memandang keluar, maka ia melihat si nona di mulut gubuk perahunya itu, wajahnya manis menarik hati. Dia tidak tertawa tapi nampak bagaikan sedang tersenyum simpul. Tanpa merasa, hati pemuda ini guncang.

"Sungguh manis sekali " pikirnya. Terus ia bangkit seraya bertanya : "Mana kakekmu, nona ?"

Si nona membalas memandang, kedua matanya bermain menggiurkan-

" Kakek telah pergi membeli arak. dia mau mengundang kau minum, tuan " sahutnya.

"Aku tak biasa minum, aku kuatir nanti mengecewakan kakekmu

"

Nona itu tertawa, hingga nampak dua baris giginya yang bagus. "Kau she apa tuan ?"

"She Tjoh, namaku Siauw Pek," si anak muda memperkenalkan

diri.

"Oh, tuan Tjoh " kata si nona. "Aku Han Lian Jie. Selanjutnya panggil saja aku Lian Jie. si Lian-"

"Mana aku berani lancang, nona." Nona itu tertawa.

"Tak apa " katanya. "Bahkan kakek memanggil aku si budak Lian Semua tetanggaku memanggil aku Lian Jie, maka itu, janganlah kau segan-" Selagi bicara itu, mata si nona bermain bagus sekali, lagaknya menggiurkan-

Siauw Pek masih muda, dia jangan sendirinya, hingga tak berani dia mengawasi lama-lama.

"Mari nona " katanya, seraya berjalan keluar dari gubuk perahu. "Rumah kami sempit, maka itu kakek menyuruh aku mengajakmu

ke Heng Hoa Kie," kata si nona.

"Heng Hoa Kie" adalah sebuah rumah makan didesa itu.

Siauw Pek heran Asal sinar mata mereka berdua bertemu, terus hatinya bimbang. "Baik nona tak usah mengantarkanku," katanya kemudian, seraya matanya diarahkan kesungai. "Nona tunjukkan saja jalannya, nanti aku pergi sendiri."

"Kalau begitu, aku jadi mesti berdiam seorang diri didalam perahu. Mana bisa ?" kata si nona, menatap.

"Kalau begitu, marilah " kata Siauw Pek. yang terus turun dari perahu.

"Eh, tuan " memperingatkan si nona. "Apakah kau tidak mau bawa golok dan pedangmu?"

Siauw Pek tercengang.

"Akh, mengapa aku melupakan senjataku?" ia tegur dirinya sendiri. "Nona ini terlalu manis, tak dapat aku berdiam lama-lama disini. Sebentar setelah bertemu si orang tua, perlu aku segera mengucapkan selamat tinggal..." Ia kembali kedalam perahu, mengambil golok dan pedangnya, kemudian ia keluar pula, untuk bertindak pergi.

"Eh, eh, jangan jalan terlalu cepat, tuan " berkata si nona, yang repot menyusul. "Nanti aku tak kuat mengikuti "

Terpaksa Siauw Pek memperlambat tindakannya, hingga keduanya jalan berendeng.

"Tuan tentu pandai silat?" kata sinona sambil jalan "Aku tidak pandai, lumayan saja," sahut si anak muda. "Maukah tuan mengajari aku barang dua jurus?"

Tak dapat Siauw Pek menolak. orang telah menolong jiwanya dan pantaslah kalau ia membalas budi.

"Aku akan ajari tiga jurus," katanya. "Untuk menjaga diri saja."

Berkata begitu, anak muda ini lalu mengajari tiga jurusnya sambil ia memetakan dengan kedua tangannya.

Nona Han benar-benar cerdas, cepat sekali ia hafal tiga jurus itu. "Dia cerdas melebihi aku sepuluh kali," kata Siauw Pek didalam hati, kagum.Jikalau dia dapat guru yang pandai, pasti dia lekas maju dan mencapai kesempurnaan-"

Pasar terpisah empat atau lima lie dari tepi sungai, maka itu tanpa merasa, sepasang muda mudi itu sudah sampai disana. Ketika itu kira kira jam tiga empat lohor, pasar sudah bubar, tak banyak orang mundar mandir, tetapi, dilihat dari toko-toko atau warung dikiri kanan, rupanya itulah sebuah pasar yang ramai.

Lian Jie kenal baik pasar itu, langsung ia mengajak Siauw Pek ke Heng Hoa Kie, sebuah rumah makan yang selalu banyak langganannya. Ruang ada tiga, dua dikiri dan satu dikanan. Sejumlah tetamu sedang duduk berkumpul. Ketika sinona tiba, banyak mata diarahkan kepadanya.

Diam-diam Siauw Pek memasang mata kepada si nona. Dia ternyata berjalan langsung, tidak melirik kekiri dan kanan, sama sekali tak menghiraukan para tetamu itu. Dia membawa kawannya ini masuk keruang kedua dimana terdapat sebuah kamar.

Setelah dua orang ini mengambil tempat duduk, seorang pelayan muncul. Dia kenal si nona, sambil tertawa dia berkata : "oh kau, nona Sudah sepuluh hari aku tak melihatmu"

"Sudahlah, jangan banyak omong" nona itu menegur, "Kakekku sudah datang, atau belum?"

"Sudah, paman Han sudah datang. Dia memesan, kalau nona datang, supaya menantikannya, dia pergi sebentar saja."

Setelah berkata begitu, pelayan itu mengawasi si nona tak hentinya, matanya galak. Dia seperti kelaparan paras elok. Lian Jie mengerutkan alisnya. "Bawakan kami dua kati arak " katanya.

"Nona minum seorang diri atau berdua ?" tanya pelayan itu, mencari cari omongan Dia toh tahu orang berdua, dan akan jadi bertiga dengan si orang tua nanti.

"Memangnya kau buta?" bentak sinona. "Kau lihat sendiri berapa jumlahnya kami ?" Pelayan itu menoleh kepada Siauw Pek lalu dia tertawa dan berkata : "oh, nona sudah punyai si dia "

Tiba-tiba siauw Pek menjadi gusar. ia menekan meja, tubuhnya lalu mencelat, terus sebelah tangannya melayang kemuka orang itu sedang mulutnya mencaci : "Kau ngoceh tidak keruan, yah ?"

Tanpa disengaja, pemuda ini memperlihatkan ilmu ringan tubuhnya. Pelayan itu kaget, dia menjerit keras, tubuhnya terpelanting.

Melihat orang itu terpelanting, Siauw Pek terperanjat. Sekarang baru ia insaf. segera ia melompat pula untuk menyambar tubuh pelayan itu. ia berhasil tetapi si pelayan bagaikan setengah mati dan mulutnya berdarah. Begitupun hidungnya, sedangkan napasnya empas empis.

Segera Siauw Pek menguruti tubuh orang.

Hanya sebentar, orang itu telah membuka matanya, ia menatap si anak muda. Mendadak ia menekuk lutut dan bermohon : "Tuan, maaf, ampunilah jiwaku..." Lian Jie tercengang, ia mengawasi kawannya. Siauw Pek menatap. ia menghela napas.

"Ingat, lain kali jangan kau menghina perempuan " katanya bengis.

"Aku berjanji tuan," kata pelayan itu, yang terus ngeloyor pergi. Lian Jie sadar, ia kagum sekali.

"Liehay ilmu silatmu" Katanya pada sianak muda.

"Maaf nona, pelayan itu kurang ajar hingga aku habis sabar." si nona mengawasi.

"Aku hendak minta sesuatu, dapatkah ?"

Siauw Pek tunduk. Matanya si nona memain secara menarik hati sekali. "Kamulah penolongku, nona, asal yang aku sanggup, akan aku lakukan," ia menjawab.

Mendadak nona itu tertawa.

"Disekitar tempat ini, semua orang memuji aku cantik," katanya. "Dimana aku lewat, disitu semua mata memandangku, kau telah melihat, coba katakan, aku ini benar benar cantik atau tidak?"

siauw Pek melengak. Tidak sangka ia akan mendengar pertanyaan itu. ia menjadi tidak dapat menjawab segera. Kembali si nona tertawa. "Katakanlah " desaknya, "jangan ragu ragu"

"Kalau benar nona tanya aku, kalau jawabanku salah, harap kau jangan gusar."

"oh, tidak bicaralah"

"orang memuji nona cantik, tetapi buat aku kau lebih benar genit."

Di saat itu si nelayan tua muncul di ambang pintu.

" oh, paman " si pemuda menyambut. "Silahkan duduk "

"Tadi aku jumpa beberapa sahabat, mereka mengajakku minum," berkata si nelayan "Kau tentu telah menunggu lama, maaf"

"Paman sungkan"

Ketika itu seorang pelayan muncul dengan barang makanan, ketika dia melihat si nona, dia tersengsam, hingga hampir dia membentur meja, melihat itu, Lian Jie tertawa geli. Diam diam Siauw Pek menghela napas.

"Dia masih muda sekali, tetapi tampaknya seperti sudah dewasa." pikirnya. "Pakaiannya yang sangat ini tidak dapat menyembunyikan kecantikannya. Sayang dia genit sekali."

"Adik, mari minum " si nelayan tua mengundang selagi pemuda itu berpikir. siauw Pek mengangguk. ia menemani minum. Setelah bergaul dengan Kie Tong, ia jadi doyan arak.

Lian Jie menuangi cawan pemuda itu. "Tuan, mari minum " katanya.

" Inilah hormatku" Siauw Pek mengawasi nona itu, ia bingung. "Minumlah, adik kecil," kata Han Loo Djie.

"Anak ini, sejak kecil melihat aku doyan minum, dia meniru."

siauw Pek malu di hati ia menghabiskan isi cawan yang kedua  itu. ia memikir buat lekas lekas angkat kaki. Karena terpaksa ia melayani minum lagi. Selama itu, ia melihat si nona makin manis dan makin manis.

"Aku mesti pergi sekarang," pikirnya kemudian Maka ia bangkit, untuk menjura kepada si nelayan tua seraya berkata. "Paman kau beserta nona Han telah menolong aku, aku sangat berterima kasih, akan kuingat budi kalian berdua, sayang aku punya urusan penting hingga tidak dapat aku berdiam lama lama di sini. Aku memohon diri..." Berkata begitu, pemuda ini membalikkan tubuhnya hendak pergi.

"Tuan Tjoh, jangan pergi dulu" Itulah suaranya si nona, keras tetapi merdu.

"Ada apa, nona?" Siauw Pek berbalik. Si nona tertawa.

"Hendak aku beritahukan suatu hal kepadamu," katanya. "Beberapa hari lalu seorang tukang tenung telah meramaikan aku, katanya aku tidak selamanya menjadi seorang nelayan sewaktu waktu namaku bakal terkenal di antara orang banyak."

"Kau sudah mabuk, nona," kata Siauw Pek yang membalikkan tubuhnya pada si nelayan tua, dan meneruskan berkata: "Paman, nona Lian sudah mulai dewasa, harap kau baik baik mendidiknya . "

Sia sia saja kata kata pemuda ini. Tanpa ketahuan, Han loo djie sudah tidur pulas, kepalanya diletakkan di atas meja. "Tuan Tjoh," kata si nona, "Jikalau kau suka mengajak aku, kakek tak akan mencegah." Siauw Pek terkejut.

"Lain kali saja," katanya. "Apabila ada kesempatan, aku akan datang menjenguk nona dan kakekmu."

Begitu berkata, Siauw Pek lantas bertindak pergi dengan cepat, tetapi ia masih dengar suara si nona. "Tuan Tjoh, tukang tenung berkata bahwa tiga bulan lagi aku bukan seorang nelayan lagi "

Pemuda itu berjalan terus, pesat tindakannya. Selang sepuluh lie, barulah ia berjalan perlahan ia menyesal meninggaikan si nelayan secara terburu begitu, tetapi ia tidak bisa berbuat lain inilah perjalanannya yang pertama, tetapi ia tidak menjadi bingung. Kie Tong telah banyak sekali menuturkan ia segala hal ikhwal Kang ouw, dunia Sungai Telaga.

Ketika matahari mulai selam diarah barat, Siauw Pek menunda tindakan kakinya ia menoleh kearah dari mana ia datang, lalu ia ingat Lian Jie. Sayang anak itu cantik tetapi genit dia mendatangkan rasa suka tetapi pun rasa ngeri...

Lama juga pemuda ini berdiri diam, baru ia melanjutkan perjalanannya itu. ia menghela napas perlahan, ia berduka tetapi dadanya panas. Beberapa kali ia meraba golok dipinggangnya dan pedang dipunggungnya. Lalu dia berkata didalam hati : "Tjoh siauw Pek Tjoh Siauw Pek. Ingat... Kaulah putera ayah bundamu, kau  akhli waris Pek Ho Bun, tak dapat kau melupakan sakit hatimu yang besar sekali. Kau ingat tanggung jawabmu Kau mesti ketahui, berapa sulit perjalanan dihadapanmu. Disana terdapat musuh musuhnya ratusan jiwa anggota keluargamu. Dikolong langit ini, sebagian besar orang-orang Rimba Persilatan adalah musuh musuhmu.

-ooodwooo 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar