Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 20

JILID 20 

"Ya, benar juga," pikir Siauw pek. "Memang, kalau ayah menyebut she dan nama dia itu, tak usah kita berpusing kepala seperti sekarang ini. Su Kay Taysu bicara dengan beralasan."

Tapi Ban Liang menggeleng gelengkan kepala. "Dalam hal ini, aku si tua tak sependapat," katanya.

"Ban Tayhiap memikir apa?" tanya Su Kay. Ia sekarang mengebut "tay hiap." orang gagah, sebagai tanda menghormat.

"Mungkin sulit buat coh Kam Pek menyebut nama. Ingat saja, para pengepungnya terdiri selain orang-orang sembilan partai juga dari sembilan partai lainnya, bukankah jumlah mereka puluhan atau ratusan?"

"Pendapat Ban Tayhiap ada benarnya juga. Tapi satu hal harus diketahui. Sembilan partai besar sebenarnya tidak terlalu cocok dengan sembilan partai lainnya itu. Tak mungkin sembilan partai itu sudi diperintah-perintah oleh kesembilan partai besar. Maka loolap percaya kepada satu soal yang masih menjadi rahasia. Kemungkinannya yaitu mereka menanti atau mengharap sesuatu " Sekonyong konyong Ban Liang mencelat bangun-

"Taysu, kata katamu ini mengingat aku pada satu hal " serunya. "Apakah itu, tayhiap?"

"Itu ada hubungannya dengan partai taysu "

"Amida Buddha" Su Kay memuji. "Apakah tayhiap maksudkan perebutan kekuasaan didalam partai kami dan itu merembet rembet pada Pek Ho Bun?"

"Benar.Jikalau Su Hong Taysu tidak meninggal dunia, cara bagaimana It Tie dapat menjadi ketua sebagai penyambung atau penggantinya?" Su Kay berdiam, dia berpikir keras.

"Bukannya loolap hendak membela partai loolap." katanya kemudian "Didalam hal ini banyak sekali bagian-bagiannya yang tidak dapat diterima..." "Bagaimana pendapat yang sebenarnya dari taysu?"

"Dosa memberontak terhadap guru adalah lawan pertama untuk kalangan Rimba Persilatan Andaikata diantara murid-murid dari keempat partai ada yang memberontak, yang berniat membinasakan gurunya, soal itu sulit sekalipun untuk dibicarakan saja."

"Memang soal murid membunuh guru bukan soal kecil. Memang soal itu tidak dapat dibicarakan dengan sembarang orang."

Su Kay berkata pula: "Pada saat terjadinya peristiwa itu, keempat ketua berada bersama. Dengan kepandaian keempat ketua itu, sewajarnyalah apabila mereka dapat melakukan penyerangan membalas kepada penyerangnya, bahkan tak sembarang orang yang dapat bertahan dari balasan itu. Kesudahannya pastilah mereka mati tak berdaya. Dan lebih lagi, tubuh mereka tidak meninggalkan bekas penyerangan Atau musuhnya itu..."

Mendengar itu Siauw Pek berpikir: "Siauw Limpay ternama bersih, maka biar bagaimana Su Kay tentu tak mau membeber kekurangan atau cacad partainya. Mestinya dia diberi bukti, baru dia dapat ditundukkan-.."

Si anak muda berpikir demikian tetapi ia tak mengutarakannya.

Su Kay bicara pula, untuk menjelaskan:

"Maksudku bukan untuk menyingkirkan kecurigaan terhadap partai kami. Sebaliknya memang partai kami yang harus dicurigai. Diantara kalangan kami sedang dilakukan penyelidikan buat mencari bukti, apabila itu berhasil didapat, urusan itu akan jadi sederhana sekali."

"Taysu, kebijaksanaan partaimu itulah yang kita harapkan sekali," kata Siauw Pek memberi hormat.

Su Kay lekas lekas membalas hormat itu.

"Tak dapat loolap sudah berdaya mencari bukti itu, mencari dengan sungguh. Tadinya loolap harap dalam tempo satu tahun, atau paling banyak dua tahun, penyelidikan akan berhasil, tidak disangka telah beberapa tahun, hasilnya tak ada, bahkan nampak urusan jadi makin ruwet. Menurut penglihatanku sekarang urusan bukan mengenai Pek Ho Bun saja, tetapi ada hubungannya dengan seluruh Rimba Persilatan oleh karena itu, siecu, loolap harap sukalah kau bekerja sama denganku."

Sampai disitu, siauw Pek segara menaruh kepercayaan sepenuhnya pada pendeta dari Siauw Lim Sie itu Ia telah melihat sikap orang yang bersungguh sungguh, sedang tadi orang itu telah menolong dan dua saudaranya.

"Baiklah" sahutnya. "Segala apa yang aku tahu, akan aku beritahukan "

Dengan segera Su Kay bangkit berdiri. Katanya: "Loolap punya janji dengan dua orang sahabatku, karena itu, tak dapat loolap berdiam lama lama disini. Siecu berempat sudah muncul dalam dunia Kang ouw, selanjutnya harap kamu berhati hati dengan tindak tanduk. Lagi setengah tahun, atau sedikitnya tiga bulan ini, loolap akan menemui siecu sekalian, untuk kita saling tukar pendapat."

"Baiklah, taysu. Maaf kami tak dapat mengantarmu" Berkata begitu, Siauw Pek menjura.

Pendeta itu membalas hormat, terus ia keluar dari gua, dan dengan cepat berlalu pergi.

Seperginya siorang suci, Ban Liang tertawa dan berkata: "Pantas Siauw Lim Sie menjadi gunung Tay san atau bintang utaranya Rimba Persilatan, walaupun sekarang dia dipengaruhi orang licik, masih ada anggotanya yang jujur dan tetap menjunjung keadilan, hingga dia takjeri akan ancaman bahaya, asal dia bekerja untuk kepentingan umum" Siauw Pek menghela napas.

"Menurut Sukay Taysu, sungguh urusan keluargaku ruwet sekali," katanya.

"Memang, urusan sulit" Ban Liang membenarkan "Aku bingung dibuatnya." "Meski begitu, tidak dapat seluruhnya kita mempercayai pendeta itu," berkata Oey Eng, yang semenjak tadi berdiam saja. Siauw Pek heran-

" Kenapakah?" tanyanya.

"Jikalau aku tak salah artikan," sahut saudara yang nomor dua itu, "pendeta itu berkata urusan toako ini ada sangkut pautnya dengan suatu bencana besar yang licik, akan tetapi yang Pek Ho Po adalah delapan belas partai. Mustahilkah semua orang partai itu kena dipermainkan siorang dibelakang layar, si biang keladi ? Sungguh sukar dipercaya "

Mata siauw Pek memain, tapi mulutnya bungkam, pikirnya: " Ini pun ada benarnya. Siapakah orang yang bisa menutupi telinga dan mata semua orang Rimba Persilatan dan membuat mereka itu dapat diperintah sesukanya?"

"Benar juga," berkata Ban Liang, menghela napas. " Kenapakah keempat bun, ketiga hwee dan kedua pang dapat dipermainkan kesembilan pay? Bukankah Pek Ho Bun partai kecil malah tak memadai dengan keempat bun saja? Sungguh aku tidak mengerti."

"Akulah seorang bodoh, tak berani aku lancang," kata Oey Eng pula. "Aku cuma bisa mengutarakan apa yang ada dalam hatiku. Baiklah toako sendiri yang memikirkannya dalam dalam. Tak mungkin sipendeta tengah mencoba coba hati kita?"

"Jieko, aku tak setuju dengan pikiran jieko ini" Kho Kong campur bicara. Siauw Pek tahu saudara yang nomor tiga ini sewaktu waktu tajam pikirannya.

"shatee, apakah yang kau pikirkan?" ia bertanya.

"Tak perduli pendeta itu jujur atau palsu, yang terang dia telah menolong kita," berkata sisembrono "Itulah perbuatan yang jujur. Tentang pengalaman toako berdua Ban Loocianpwee aku tidak  tahu, tapi aku dan jieko, jikalau kami tidak ditolong pendeta itu, mungkin kami sudah terbinasa ditangan orang orang Siauw Lim pay dan Bu Tong pay itu. Mustahilkah pertolongannyaitu pertolongan palsu? "

siauw Pek berpikir. "Aku telah terluka, walaupun Ban Loocianpwee lihay sekali, tak dapat dia melawan orang-orang lihay dari keempat partai sedangkan disana ada ketua ketua partai itu. Jikalau Su Kay membantu kawannya, bukankah itu tak akan bisa lolos? Kenapa dia justru membantu kita?"

"Sudahlah saudara-saudara tak usah kau menarik urat lagi," Ban Liang datang sama tengah "Pendapat siapa benar dan salah, tak dapat kita buktikan sekarang. Disini kita tak dapat berdiam lama lama, mari kita lekas pergi"

"Loocianpwee memikir hendak pergi kemana?" Siauw Pek tanya. "Buat seorang kuncu, satu kali dia memberikan janjinya, mati

atau hidup bukan soal lagi," sahut jago tua itu. "Lohu telah berjanji akan membantu kamu berdaya mencuci bersih sakit hati Pek Ho Bun, pasti aku akan membantumu sampai berhasilnya usaha kita. Maka itu, kemana kita akan pergi, terserah kepada kamu." siauw Pek berpikir.

"Boanpwee mengharap keterangan dipuncak Ciang Gan Hong ini, siapa tahu, aku kecele," katanya. " Kemana kita pergi sekarang?"

"Jikalau kau setuju, mari kau turut aku mengunjungi satu orang," Ban Liang mengajak.

"Su Kay benar, urusan tak demikian sederhana seperti pikiranku." "Siapakah orang itu?"

"Dalam hal ini, biarlah lohu jual mahal " berkata sijago tua. "Sebelum orang itu menyatakan suka turun gunung akan membantu kita, tak dapat lohu lancang memberitahukan she dan namanya, ataupun tempat tinggalnya..."

" orang macam apakah dia itu?" tanya Kho Kong heran-Ban Liang tersenyum. "Asal kamu menemui dia, pasti kamu akan berkesan baik. Tidak tepat buat sekarang lohu segera menyebutkan namanya."

"Kenapa begitu, locianpwee?"

"Pertama tama disebabkan sudah dua puluh tahun tak pernah aku bertemu lagi dengannya, hingga aku tak tahu dia masih hidup atau sudah menutup mata. Seandainya dia sudah tiada, buat apa menyebut she dan namanya? Kalau dia masih hidup, mestinya banyak orang yang mengaguminya dan ingin menjenguknya. Dia mencari tempat tinggal yang sunyi, itulah sebab dia menghentaki ketenangan, apabila ada banyak orang yang datang berkunjung, tidakkah itu berarti gangguan untuknya? Itulah semacam penderitaan baginya Maka lohu tak mau segera menyebut nama dia."

"Sekarang dia tinggal dimana?" Siauw Pek bertanya. "Disatu tempat yang jauh, jauh sekali."

"Kita toh bakal pergi kepadanya tetapi nama tempatnya saja kau tidak mau beritahukan? Tidakkah itu terlalu?" pikir Siauw Pek. Tapi dialah seorang sabar dan panjang pikiran, dia tidak menjadi tak puas, sebaliknya, dia tertawa, dia tak menanya lebih jauh. Ban Liang mendahului keluar dari gua.

"Mari kita berangkat, katanya. Aku si tua akan jalan dimuka" dan ia membuka tindakan lebar.

Siauw Pek bersama dua saudaranya mengikuti. Mereka jalan berputaran dilembah. setengah harian kemudian, baru mereka keluar dari gunung itu.

"Eh, kenapa kamu berdiam saja?" tanya Ban Liang. ia heran ketiga saudara itu tidak bicara satu dengan lain dan juga tidak menanya atau menyebut ini dan itu dengannya.

"Apakah yang hendak kami tanyakan?" balik bertanya Kho Kong. "Kau toh menyimpan rahasia segala apa Percuma kami menanyakan sesuatu" Ban Liang tidak kecil hati, dia malah tertawa. "Dikolong langit ini, banyak urusan yang dapat diperbincangkan," katanya. Asal kalian tidak menanyakan tentang orang yang kita bakal kunjungi, apapun yang dipersoalkan, tentu sekali suka aku menemani bicara."

Siauw Pek berpikir " orang itu tentu ternama besar, atau dia banyak musuhnya, hingga dia khawatir musuh musuhnya nanti mengetahui alamatnya hingga dia dapat disatroni. Kalau dugaanku benar, memang lebih baik untuk tidak menyebut nyebut tentang dia."

Terus mereka berjalan tanpa berbicara satu dengan lain Tiba dijalan umum, disitu tampak sudah mulai banyak orang berlalu lintas.

Selagi mereka berjalan itu, dari arah depan tampak seorang penunggang kuda kabur mendatangi. Setelah penunggang kuda itu mendekati, mendadak dia mengendorkan lari kudanya itu.

Siauw Pek segera menduga kepada salah seorang keempat partai. Mereka itu lagi berkumpul di Ciong Gan Hong, mesti ada banyak orang orangnya disekitar puncak itu. Mungkin inilah orang yang ditugaskan mengawasinya. Maka ia lalu berhati hati.

Walaupun kuda itu dijalankan perlahan, karena siauw Pek berempat berjalan terus, kedua belah pihak segera saling melewati. Tapi belum lama, dibelakang rombongan si anak muda terdengar derap kaki kuda, tatkala mereka menoleh, mereka melihat penunggang kuda itulah yang lari balik, bahkan dia terus melewatinya pula. Ban Liang segera tertawa dingin.

"Cara tolol ini sungguh jarang tampak " katanya mengejek. Sengaja ia membuka suara sedikit keras, supaya orang mendengarnya. Tadinya, bersama sama Siauw Pek bertiga, iapun berdiam saja, hanya kecurigaannya yang timbul.

Si anak muda melirik. Ia lihat orang adalah seorang kacung usia empat atau lima belas tahun, yang mengenakan baju hijau, tetapi dia cakap ganteng, nampak dia mirip seorang nona remaja. Bocah itu mendapat dengar kata katanya Ban Liang, parasnya menjadi merah, akan tetapi tanpa mengatakan sesuatu, dia menarik les kudanya, sedang cambuknya dibunyikan membuat kudanya lari keras, hingga debu mengepul dibelakangnya. Ban Liang tertawa berkakak.

"Dasar bocah baru keluar dari gubuknya" katanya. Itu artinya "anak yang masih hijau".

Justru itu dari belakang mereka terdengar suara tindakan kaki yang cepat, ketika mereka berpaling, mereka melihat seorang hweesio lari mendatangi, tangannya mencekal sebatang tongkat. Lekas sekali, dia sudah melewati rombongannya si anak muda. "Mesti dia pendeta dari Siauw Lim sie," Siauw Pek menerka.

Baru berhenti suara si anak muda, tiba tiba dibelakang mereka, mereka mendengar tawa dingin yang disusul dengan kata kata ini: "oh tuan tuan baru berjalan sampai disini? Sungguh diluar sangkaan"

Itulah dua orang imam usia setengah umur yang masing masing meng gembol pedang, tapi walaupun mereka mengatakan demikian, mereka barjalan satu lewat disisinya keempat kawan itu, hingga tak dapat diketahui yang mana yang bicara itu.

Berkata Ban Liang: "Seharusnya kita memikirkan daya untuk menyamar dan berjalan mencar..."

Satu pendeta dan dua imam sementara itu terlihat berjalan dibelakang mereka, mendekati kira kira lima tombak. mendadak ketiganya mempertahankan tindakannya, hingga di lain detik kedua belah pihak berjalan dengan jarak tak dekat dan juga tak jauh dari lain-..

"Pastilah mereka orang orang Siauw Lim dan Bu Tong", kata Kho Kong. "sebelum datang kawan kawannya, baik kita habisi mereka ini"

Oey Eng tidak menjawab adik itu hanya ia tertawa dingin dan berkata pada si adik. "Adik, coba kau menoleh dan melihat" Walaupun kata kata itu diajukan kepada si saudara muda, Siauw Pek bersama Ban Liang toh berpaling bersama, melihat kebelakang. sedetik itu, mereka menjadi terjengkan.

Dibelakang mereka itu bukan cuma tampak seorang pendeta dan dua imam tak hanya sekali tak urung dari empat belas orang, danjalannya rombongan itu terpisah kira-kira enam atau tujuh tombak dari mereka berempat. Ban Liang lalu tertawa dingin.

" Untuk sementara ini kita jangan menggubris mereka itu" kata dia. "inilah jalan umum yang hidup, jikalau bukannya sangat terpaksa, mereka itu tentu tidak bakal turun tangan"

Berkata begitu, jago tua ini mempercepat langkahnya. Siauw Pek bertiga mengikuti.

Disebelah depan ada jalan cagak. segera setelah tiba disitu tiba tiba sijago tua berkata: "Kita singgah disini, dan beristirahat. Setujukah kamu"

"Baik" sahut Siauw Pek, yang terus mendahului duduk di bawah sebuah pohon ditepi jalan.

Oey Eng dan Kho Kong memilih tempat di sisi ketua itu. Dengan suara perlahan mereka berdamai bagaimana harus melawan musuh andaikata mereka diserang.

Rombongan pendeta dan imam itu juga berhenti berjalan. Agaknya mereka itu tidak memikirkan lagi jalan itu jalan umum yang hidup bahkan terlihat terang-terang sikap permusuhan dari mereka semua.

Melihat sikap mereka itu, Ban Liang berkata: "Rupanya mereka sudah menerima perintah untuk menguntit kita. Mungkin mereka juga telah menerima pesan buat kalau perlu segera turun tangan dengan kekerasan-" Kho Kong menurunkan buntalan dari punggungnya. "Mereka berterang-terang, kita juga tak usah main sembunyi sembunyi lagi" katanya. "baik kita tempur saja mereka, untuk mengambil keputusan"

"Jangan terburu" mencegah Ban Liang. "Tak jauh didepan ada sebuah tempat ramai, kita bersabar sedikit, setibanya disana, baru kita pikir pula."

"Jangan jangan kita tak akan keburu berjalan lagi," berkata Oey Eng, yang melihat gelagat.

siauw Pek melihat kebelakang, maka ia mengagetkan sipendeta dan dua imam juga sudah tidak berjalan lagi, bahkan mereka itu berdiri bagaikan menghadang ditengah jalan-

"Setan alas" seru Kho Kong gusar. "Tak dapat tidak. kita mesti turun tangan "

Ban Liang juga melihat suasana buruk. Ia segera berbisik pada sianak muda: "Kalau pihak Siauw Lim bergabung dengan pihak Bu Tong mereka sulit dilayani."

" Kenapa begitu?" Kho Kong bertanya, heran-

"Pernahkah kau mendengar tentang barisan rahasia arhat Lo Han Tin dari Siauw Lim pay dan barisan rahasia pedang Ngo Heng Kiam Tin dari Bu Tong pay ?"

"Belum. Tolong loocianpwee jelaskan-"

"Lo Han Tin dari siauw Lim Sie terkenal sebagai barisan rahasia yang aneh dari siauw Lim pay, jikalau mereka bukan menghadapi lawan yang tangguh, tidak nanti mereka gunakan barisan rahasia arhat itu bisa diperlebar dan dipersempit sesukanya."

"Barisan rahasia ya barisan rahasia, kenapa dia bisa melar dan ciut ringkas?" tanya pula Kho Kong.

Ban Liang memandang anak muda itu. Ia berkata, "Siapa pernah merantau dalam dunia Kang ouw, baik dia dari golongan hitam atau golongan Putih, mesti dia pernah mendengar tentang Lo Han Tin dari Siauw Lim pay, karena barisan itu sangat jarang digunakan, yang mengetahui jelas hanya beberapa orang, lohan ialah arhat dan tin artinya barisan rahasia, barisan itu dapat diatur dengan sembilan orang tetapi lebih banyak jumlahnya lebih tangguh lagi. Yang terbesar ialah dengan jumlah seratus delapan orang. Tentang jumlah yang terbesar itu, cuma tersiar beritanya, belum pernah orang menyaksikan digunakannya."

"Bagaimana dengan barisan rahasia pedang Ngo Heng Kiam Tin dari Bu Tong Pay?" Kho Kong tanya lebih jauh.

"Ngo Heng berarti lima baris, dan kiam tin berarti barisan pedang, maka itu dia cukup dengan memakai lima orang, walaupun demikian karena sangat banyak perubahannya, lima orang iut bisa berubah menjadi berlipat lipat tenaga pengaruhnya."

"Jadi lima orang dapat dikalikan dengan lima menjadi dua puluh lima?" tanya Siauw Pek.

" Demikianlah. Tentang tersiarnya berita, entah keluar dari mulut siapa, tetapi itu sudah tersiar umum di dalam dunia kang-ouw. Aku sendiri dahulu pernah aku melihat cara bekerja Ngo Heng kiam Tin dari Bu Tong Pay itu, benar benar hebat."

siauw Pek melirik kesekitarnya. Ia melihat para pendeta dan imam sudah bergerak mendekati mereka, mereka mengambil sikap mengurung.

Kho Kong habis kesabarannya, ia segera mengeluarkan sepasang senjatanya poan-koan-pit yang mirip alat tulis itu.

"Bagaimana dengan Lo Han Tin?" Siauw Pek tanya Ban Liang.

"Lo Han Tin lebih besar pengaruhnya daripada Ngo Heng Kiam Tin-"

"Ah, kalau begitu, kali ini sulit kita menghadapi lawan," kata sianak muda.

"Begitu kiranya, kita harus menggunakan tenaga dan juga otak." "Bagaimana pikiran loocianpwee?" tanya Oey Eng. "Barisan apa juga, keistimewaannya ialah cara bekerja samanya, lalu kegesitannya, cepatnya hubungan satu dengan lain, kalau kita bisa mencegah cara kerja itu, dapat kita mengganggunya hingga barisan itu menjadi kacau."

Oey Eng melirik pohon besar disampingnya "Apakah loocianpee berniat memakai pohon besar ini untuk mencegahnya?" tanyanya.

"Ya, pohon ini besar dan kokoh kuat, tak mudah dibabat kutung. Sambil menggunakan pohon ini sebagai penghadang atau tameng kita coba melukai beberapa anggota tin itu, supaya mereka kacau dan barisannya buyar. Atau merasa jeri, tak nanti mereka berani mendesak atau mengejar kita."

Selagi mereka bicara, diempat penjuru para pendeta dan imam sudah semakin dekat hingga segera terlihat bahwa mereka benar benar telah mengatur tinnya masing masing untuk mengurung. Si imam memecah diri ke barat, selatan dan utara, jumlah mereka masing masing berlima, senjata mereka pedang dan pihak sipendeta dua belas hweesio menjaga diarah timur barisannya panjang.

siauw Pek dengan cepat menghitung musuh mereka itu, lima belas imam dan dua belas pendeta, mungkin mereka itu akan mempunyai bala bantuan-

Hanya sebentar, para pendeta dan imam sudah mengurung sejarak tujuh atau delapan kaki.

Ban Liang memasang mata keempat penjuru, tenaganya diam diam dikerahkan ditangannya siap untuk menangkis dan menyerang.

Rupanya para pendeta dan imam itu dapat menerka lawan hendak menggunakan pohon selaku tameng, mereka tak bergerak mendekati terlebih jauh. Dengan begitu, kedua pihak jadi sama sama berdiam. Memangnya Ban Liang berempat berdiam tak bergeming.

Dijalan itu berlalu lalang beberapa orang lain tapi ketika mereka menyaksikan suasana, yaitu sikap kedua rombongan itu, mereka berjalan terus dengan mengambil lain jalanan. Mereka tak segan jalan memutar... sekian lama kedua pihak terus berdiam.

Siauw Pek merasa, tidaklah benar apabila mereka berdiam terus terusan-

"Loocianpwee, cara berdiam saja bukan cara yang sempurna," sianak muda berbisik pada Ban Liang. "Kita menjadi menyia nyiakan waktu saja."

"Toako benar" seru Kho Kong, yang habis kesabarannya. "Kalau kita mesti mati, kita harus mati secara laki laki Mari kita maju"

Berkata begitu, sisembrono ini lompat maju, untuk terus menyerang seorang imam. Ia menggunakan sepasang senjatanya.

Imam itu melindungi dadanya dengan pedangnya, kakinya menggeser kekiri.

Belum sempat Kho Kong menarik kembali senjatanya, tiba tiba dua batang pedang sudah menyerang kearahnya. Dan cepat ia menangkis. Tapi tidak menanti pedangnya bentrok, kedua imam itu sudah lekas menariknya kembali. Dilain pihak. dua pedang lainnya sudah menggantikan menikam pula

Kho Kong segera kena terdesak hingga dia masuk kedalam tin  barisan rahasia pihaknya Bu Tong Pay itu: Ngo Heng Kiam Tin Bahkan baru sepuluh jurus, ia sudah menjadi repot sekali membela dirinya. Dia kena diserang terus menerus Siauw Pek terkejut.

"Benar benar Ngo Heng Tin liehay" bisiknya pada Ban Liang. "Barisan  rahasia  Bu  Tong  Pay  ini  membutuhkan  sedikit orang

maka itu, mudah diaturnya, sedangkan perubahannya tak  sebanyak

Lo Han Tin dari Siauw Lim Pay. Memang dengan mengandalkan ilmu pedangnya, Bu Tong pay itu memperoleh nama besranya. Di dalam dunia rimba persilatan, ia dapatlah disebut sebagai yang nomor satu..." Tiba tiba Ban Liang bertiga dikejutkan jeritan "aduh" tertahan dari Kho Kong, Bahu kiri anak muda itu tergores pedang hingga darah keluar bercucuran dan segera membasahi separuh bajunya...

Dalam kagetnya, Siauw Pek melesat memasuki barisan rahasia, untuk menghampiri saudara muda itu, sambil menyerang kekiri dan kanan pedangnya itu bagaikan menjadi dua.

Hanya segerakan itu, Ngo Heng Tin bagaikan bocor disatu arah, disamping itu, Kho Kong dengan menahan rasa nyerinya juga menyerang hebat kekiri dan kanannya, memaksa dua orang musuh mundur.

"Adik, lekas keluar" Siauw Pek serukan saudaranya itu. "Akan kucoba Ngo Heng Kiam Tin yang sangat termasyhur ini"

Kho Kong tahu diri. Dengan membandel, dia akan menyulitkan kakak itu. Maka dengan segera dia lompat keluar dari dalam tin itu.

Diselatan dan utara, para imam mendesak. untuk mencegah Kho Kong. Melihat demikian Ban Liang berseru:

" Lekas mundur" Serentak dengan itu, iapun menyerang, tangan kanannya menyambar, ia memang telah bersiap sedia sejak tadi.

Justru Kho Kong hampir terkurung pula, justru sambaran "Ngo Kwie Souw Hu ciu" bekerja dengan cepat sekali. Imam kepala kelompok selatan dengan seketika telah menurunkan lengan kanannya, sebab tangan sijago tua tepat menyambarnya. Sedetik  itu juga melompatlah Kho Kong keluar tin

Sebagai sasaran "Ngo Kwie Souw Han Ciu" sambaran tangan "Lima Hantu Membetot Sukma^ lengan kanan si imam menjadi kaku mati, hingga tak berdaya dia mencegah lebih jauh mundurnya siorang she Kho.

" Lekas makan obat ini, supaya lukamu tidak membahayakan" berkata sijago tua sambil mengeluarkan sebutir pil merah yang terus diserahkan pada sianak muda. Kho Kong menyambuti, segera ia telah obat itu, setelah mana dengan saputangan ia membalut lukanya.

Didalam tin, imam-imam kelompk timur, selatan dan utara, telah mendesak. tidak demikian yang disebelah barat. Disini, barisan itu sudah pecah, maka kipalah gerakan seluruhnya. Tapi imam imam yang ditengah mencoba buat maju juga.

Ban Liang menyaksikan jalannya pertempuran itu, katanya pada Oey Eng: "Coh Pu cu lie hay sekali. Belum pernah aku siorang tua melihat ilmu pedang semacam itu. Kalau kita yang maju, baik kedalam Ngo Heng Tin maupun ke dalam Lo Han Tin, umpama kita tidak terluka kita akan mati karena keletihan sendiri. Lainlah kalau kita mengandalkan pada pohon besar itu, bahkan ada kemungkinan kita bisa melukai satu diantaranya"

Oey Eng membenarkan sijago tua. Iapun telah melihat jalannya pertempuran itu. ia pula terus menyiapkan pedangnya, untuk sewaktu-waktu dapat membantu kakaknya.

Sia sia belaka barisan utara membantu barisan barat, bahkan Siauw Pek membuat mereka terdesak pada satu pojok. Karena itu, barisan selatan maju, maksudnya untuk mengurung.

Ban Liang melihat gerak gerik lawan, ia tahu apa maksudnya itu, hatinya menjadi panas.

"Kawanan hidung kerbau tak tahu malu" dampratnya. "Kamu sudah menggunakan tin, sekarang kamu bertempur silih berganti. Jikalau perbuatanmu ini tersiar diluaran, dapatkah kamu bergerak dimuka umum? Tak malukah kamu" Kawanan imam itu tak menghiraukan dampratan, mereka bagaikan tuli pekak.

"Kita harus memperlihatkan kepada mereka" teriak Kho Kong mendongkol. "Mereka berlima belas, mereka berkelahi bergantian, biar toako tangguh, lama lama toako bakal lelah juga."

Didalam tin Siauw Pek sendiri tak menghiraukan jumlah musuh yang banyak. Tadi ia membuat bagian utara dan barat habis daya, sekarang ia menyerang yang bagian selatan itu. Hanya sebentar, ia telah memaksa para penyerangnya terdesak kepojok barat tadi.

Menyaksikan cara bersilat kawannya, kembali Ban Liang kagum dan memuji. Ia melihat tegas makin lama sianak muda menggunakan pedangnya makin lincah. Maka ia menonton terus dengan perasaan hatinya sangat tertarik.

Pihak imam yang terdesak keutaran, mulai menggeser ketimur. Dilain pihak dua belas pendeta diarah timur mulai bergerak kearah utara. Seperti kawanan imam merekapun bergerak dengan perlahan. Terang terlihat, pihak imam sudah kewalahan, maka mereka mundur mengalah terhadap siauw Lim Pay.

"Tak dapat anak muda itu dibiarkan berlarut-larut melayani lawan yang besar jumlahnya itu," pikir sijago tua kemudian " celaka dia kalau terlalu letih dan kehabisan tenaga. Baik dia ditarik mundur, supaya kita melawan dengan mengandalkan pohon besar ini..." Karena memikir begini, la segera berseru: "Saudara kecil, lekas mundur. Mereka memakai akal bergiliran untuk membuatmu letih payah" Siauw Pek memutar pedangnya.

"Tahan" tiba tiba ia berseru.

Kawanan imam dan pendeta itu, walaupun semuanya bungkam, diam diam mengagumi si anak muda. Ketika mereka mendengar seruan itu, serentak berhenti bertindak maju.

Siauw Pek menyimpan pedangnya kedalam sarungnya, ia memandang sekalian lawan itu lalu dengan dingin dia berkata: "Para taysu dan tootiang, kamu sangat mendesak kepadaku rupanya kau tak rela melepaskan aku, maka itu sekarang aku beritahu, jangan menyesal kalau aku nanti menggunakan tangan keras" Tajam kata demi kata sianak muda dan parasnya juga berubah menjadi keren-

Mendengar peringatan itu, para imam dan pendeta tersenyum tawar. Seorang pendeta, yang mengepalai rombongan itu, yang tubuhnya tinggi besar, mendadak meluncurkan tongkatnya, untuk terus diputar, dari sebelah kiri dia menyerang sianak muda. Sepasang alis Siauw Pek terangkat, tubuhnya mencelat mundur. Cara ini dipakai untuk menghunus pedang, menyusul mana, baru ia maju lagi sambil memb ulang balingkannya. Serentak dengan itu iapun meluncurkan tangan kirinya hingga ia memaksa mundur seorang imam disebelah kanannya.

Dilain pihak. tahu-tahu dari arah belakang meluncur sebatang pedang. Tak keburu siauw Pek berkelit atau menangkis, bahunya kena tergores, bajunya pecah, kulitnya terluka, maka darahnyapun mengucurlah. Ia terkejut, walaupun luka itu tidak berbahaya. Maka insyaftah ia akan lihaynya kedua tin itu, yang mestinya dilayani tanpa boleh lengah. Maka ia segera memikir, Jikalau ia tidak bersikap keras, pasti pertempuran ini tidak akan ada akhirnya, bahkan tentu ia bisa celaka.

Setelah berpikir demikian, wajah Siauw Pek menjadi bengis, kedua biji matanya berputar, sinarnya merah menyorot.

Para pendeta dan imam terkejut menyaksikan roman orang itu, yang berubah demikian cepat. Tadi tadinya sianak muda bersikap tenang dan paling-paling beroman keren.

Dibelakang siauw Pek berdiri seorang imam atau murid Bu Tong Pay. Ia melihat sianak muda berdiam diri saja, bajunya merah karena darah. Ia menyangka bahwa orang tentunya telah terluka parah. Bukannya itu kesempatan baginya untuk menyerang, supaya jasanya tak dirampas pihak Siauw Lim ? Ia kemudian melirik kepada kawan kawannya, memberi isarat untuk Ngo Heng Kiam bergerak pula.

Segera dua orang imam, yang berdiri dikiri dan kanan Siauw Pek, maju dengan berbareng menyerang secara mendadak dari kedua sisi Itulah gerakan Jie Liong cut Swie", atau "Dua naga keluar dari air".

Baik orang yang berdiri dibelakang maupun dua yang dikiri kanan itu, tidak melihat wajah sianak muda, hingga mereka jadi tidak jeri ataupun bercuriga apa apa. Maka mereka menyerang secara serempak itu. Siauw Pek gusar tapi dia waspada: matanya dibuka telinganya dipasang. Ia tahu ada pembokongan. Dalam gusarnya itu ia berseru tubuhnya berputar. Luar biasa sebat, goloknya telah terhunus, sedangkan pedangnya dipakai menangkis. Menyusul tangkisan itu,

Hoan Uh It Too digerakkan

"Aduh" menjerit seorang imam ialah murid Bu Tong Pay yang dikiri. Tak terlihat tegas bagaimana bergeraknya golok ampuh itu, tahu tahu si imam sudah roboh dengan memuncratkan darah. Yang hebat ialah tubuhnya menggeletak ditanah dengan telah menjadi dua potong kepalanya terpisah dari tubuhnya, sedangkan yang dikanan, pinggangnya tertabas kutung hingga mayatnyapun roboh dengan mandi darah Dia ini berteriak "aduh" seperti rekannya itu

Hanya sekejap itu, pecahlah Ngo Heng Kiam Tin.

Tiga imam lainnya, yang termasuk rombongan ketiga yang dibelakang itu, berdiri terpaku.

Dengan begitu, barisan rahasia Lo Han Tin juga berhenti sendirinya. Sebab semua imam dan pendeta tak ada yang berdiri tertegun saja kaget dan heran

Siauw Pek memandang kedua kurbannya, setelah itu ia mengawasi semua lawannya, terus berkata dengan dingin: "Aku hendak membuat kamu mengenal kepandaian aku siorang she Coh..." Ia diam sejenak. kemudian menambahkan, "sekarang aku hendak membinasakan itu pendeta yang bertubuh jangkung yang memimpin kelompok kiri..." Dengan perlahan ia mengangkat tangannya yang memegang golok. untuk diarahkan kepada pendeta yang ia sebutkan itu.

Tatkala itu yang kaget dan heran itu bukan cuma kawanan pendeta dan imam itu, tapi juga Ban Liang yang telah hendak turun tangan guna membantui si anak muda hingga sijago tua ini menggumam sendiri: "Sungguh liehay Itulah tentu ilmu golok Hoan uh It Too dari Tiang Go..."

Ketika itu juga pihak lawan, dari bersikap menyerang berubah menjadi bersikap menjaga untuk membela diri. Tegang hati mereka semua, apalagi mereka melihat sorot mata berapi dari si anak muda yang diarahkan kepada pendeta yang ia sebutkan barusan, biar bagaimana, mereka itu bersiap dengan senjata mereka masing masing, untuk menyerang bersama...

Dila in pihak. kedua mayat segera disingkirkan oleh orang-orang Bu Tong Pay itu.

Didalam keadaan seperti itu, sunyilah suasana diantara mereka, semua berdiam: Yang satu hatinya panas membara, yang lain gentar sekali. "Awas" sekonyong konyong terdengar seruan peringatan-Dengan tiba tiba juga, berkelebatlah sinar berkilauan dari golok.

"Aduh..." menjerit si pendeta, dengan jeritan yang separuh tertahan Karena tubuhnya yang besar roboh seketika. Dan ketika orang banyak mengawasi, ternyata dadanya telah terluka berlubang dan darahnya muncrat keluar

Ketiga kurban itu mati seketika dan dengan luka-luka berlainan Hal itu sangat mengejutkan dan mengherankan Tapi karena para pendeta dan imam telah siap sedia, dengan serentak mereka menyerang dengan masing masing tongkat dan pedangnya, hingga semua senjata melurukpada si anak muda

Justru itu, Siauw Pek berlompat mundur. Maka semua senjata jatuh ketanah tanpa mengenai sasarannya. Hal ini juga membuat para pendeta dan imam jadi saling mengawasi, saking heran dan bingung.

Sampai disitu, Leng Bu poan Ban Liang bertindak kedepan, sambil mengawasi semua lawan, dia berkata tawar: "Bagaimana sekarang, apakah kamu masih ingin melanjutkan pertempuran kita ini?"

Semua pendeta itu bungkam, mata mereka mendelong. Mereka masih terpengaruh oleh golok ampuh itu, golok pembasmi, golok yang mematikan Masih beberapa detik suasana sunyi itu, baru pada akhirnya terdengar satu suara helahan napas disusul dengan kata kata ini: "Sekarang ini biarpun kami bakal dihukum dengan aturan partai kami, tak mau kami melanjutkan pertempuran ini..." Dialah seorang pendeta, yang terus membawa tongkatnya dan ngeloyor pergi.

Melihat kawan itu mengangkat kaki, yang lain-nya lalu menyusul, tak terkecuali sisa imam imam dari Bu Tong Pay.

siauw Pek mengawasi orang berlalu. ia tidak mengatakan apapun juga. Hanya, setelah orang pergi jauh, mendadak ia melepaskan goloknya, terus ia menjatuhkan diri dan duduk numprah ditanah

Ban Liang terkejut. Dia lompat menghampiri.

"Kau kenapa, saudara kecil?" tanyanya, sangat prihatin. Siauw Pek menghela napas panjang.

"Tidak apa apa," sahutnya, setelah beristirahat sebentar, cukup sudah" Lalu ia memjamkan matanya.

Sementara itu Kho Kong sudah lama selesai membalut lukanya. Dia tak kurang suatu apa, karena lukanya luka dikulit dan tidak parah.

Ban Liang yang berpengalaman tahu Siauw Pek letih dan membutuhkan waktu yang cukup untuk beristirahat, andaikata musuh datang pula, itulah berbahaya, maka perlu mereka lekas berlalu dari situ. Maka ia berbisik pada Oey Eng: "Lekas kaupergi cari kekota, kita mesti segera mengangkat kaki dari sini."

Oey Eng tahu pentingnya kereta dan waktu maka ia segera pergi. Tidak lama ia sudah kembali bersama sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. "Eh, mana kusirnya?" tanya Ban Liang heran-

"Aku telah suruh dia pergi," sahut Oey Eng.

"Bagus" Ban Liang memuji sambil mengangguk. "Asal kita memberi uang penggantian, itu berarti kita bukan merampas keretanya ini." Lalu berdua mereka membantu Siauw Pek naik kereta. Si anak muda insaf, dia menurut diajak pergi.

"Silahkan loocianpwee juga naik," berbisik Oey Eng. "Untuk sementara, aku mewakilkan pekerjaan kusir."

Ban Liang merogoh sakunya, mengeluarkan sehelai topeng kulit. " Kau pakai ini, kau letakkan senjata mu" pesannya.

Oey Eng menurut. ia memakai kedok itu, ia pun meletakkan pedangnya. Segera setelah itu, ia menyambut membuat kudanya lari membawa kereta itu.

Ban Liang menyuruh Siauw Pek menyender. Katanya pula: "Saudara kecil, lekas kau atur pernapasanmu. "

"Tanpa sebab beralasan aku membunuh orang" kata siauw Pek perlahan ia menyesal dan menghela napas karenanya. "Tetapi merekalah yang memaksa aku turun tangan-.."

Memang, tanpa tindakan bengis itu, berempat mereka tak akan lolos dari kepungan pendeta pendeta dan imam imam itu.

Mengetahui si anak muda menyesal, Ban Liang menghibur: "Jangan kau berduka, saudara kecil. Siauw Lim dan Bu Tong ternama besar tapi mereka main keroyok, dengan begitu mereka telah kehilangan muka, tak apa apabila kau membinasakan tiga anggotanya. Itu pula suatu tanda peringatan Sekalipun di muka umum, orang tak akan menyalahkan kau."

" Walaupun demikian, kita terpaksa menanam bibit permusuhan dengan kedua partai itu," kata Siauw Pek. Sijago tua tertawa.

"Biar bagaimana, jangan kaupikirkan itu, saudara  kecil. Merekalah yang mengirim orang orangnya yang liehay mengejar dan mengepung kita, mereka agaknya tak puas sebelum mereka berhasil menawan kita, mati atau hidup, Apakah kita mesti manda ditelikung? sudah wajar kita melakukan perlawanan Didalam pertempuran, musuh mati atau kita hidup atau sebaliknya, itulah biasa. Paling benar saudara beristirahat. Mungkin didepan kita menanti lain rintangan pula, bahkan yang terlebih hebat, maka itu, perlu kita bersiap sedia menghadapinya"

Siauw Pek menghela napas. ia memejamkan matanya.

Oey Eng melarikan keretanya dijalan kecil yang tidak rata itu, hingga roda-rodanya menyebabkan ngepulnya debu. Setelah lewat belasan lie, mereka tiba disuatu jalan cagak.

la lalu menahan kudanya.

"Loocianpwee, kita menuju kemana ?" ia tanya Ban Liang. Jago tua itu menyingkap tenda kereta, untuk melihat kesekitarnya.

"Kebarat", katanya kemudian.

Oey Eng melarikan keretanya pula. Sampai magrib, kedua kuda kereta berlari perlahan-Itulah sebab keletihannya. Ban Liang melongok keluar.

"Perlu kita cari tempat singgah," katanya. "Kita perlu bersantap.

Besok baru kita melanjutkan perjalanan pula . "

Oey Eng mengawasi keempat penjuru. Disebelah barat tampak sinar api. Maka ia tujukan keretanya kesana.

Cahaya api itu nampak dekat tetapi nyatanya mereka mesti melewati dahulu perjalanan setengah jam baru bisa mereka sampai dan mendekatinya. Itulah api dari sebuah gubuk tunggal ditengah tegalan Dari dalam gubuk terdengar suara orang membaca kitab.

Kasihan sepasang kuda kereta itu, saking lelahnya keduanya roboh begitu mereka dihentikan larinya. Ban Liang melihat keluar.

"Dirumah itu tentu ada barang makanan," katanya. "Kita cari barang hidangan selama itu kuda kita dapat beristirahat dan makan rumput, setelah itu kita melanjutkan perjalanan kita."

Oey Eng mengangguk sedang hatinya berpikir: "Anak sekolah tinggal dirumah tunggal ditengah tegalan belukar seperti ini, sungguh luar biasa Dapatkah dia hidup menyepi dan menderita ? Dia melebihi sikap orang yang mengerti silat " Tatkala itu Siauw Pek sudah beristirahat cukup, ia turun dari keretanya.

Ban Liang melepaskan kedua ekor kuda, sambil bekerja, ia berkata pada Oey Eng: " Untuk tidak mencurigakan, atau membuatnya kaget, baik kau yang pergi kegubuk itu Kalau kita pergi kesana, dalam cuaca segelap ini, kita bisa menerbitkan kecurigaan orang "

Oey Eng menurut. ia segera pergi kegubuk itu dan mengetuk pintunya, dua kali, dengan perlahan-

Dari dalam rumah, suara membaca masih terdengar terus. Nadanya berirama. Rupanya seseorang tengah asyik membaca hingga ketukan pintu tak terdengar.

Oey Eng mengetuk pula, kali ini dengan lebih keras Iapun memperdengarkan suaranya: "Aku orang didalam perjalanan mohon bertanya"

Baru setelah itu, suara membaca berhenti, disusul dengan pertanyaan yang terang jelas: "Siapa?"

"Aku mohon bermalam," kata Oey Eng, "Akupun mohon barang makanan-"

Pintu segera dibuka. Diambang pintu muncul seorang muda dengan baju biru. Dia membawa lentera, yang diangkatnya tinggi, untuk menyuluhi. Setelah mengawasi tetamunya, dia berkata:

"Siauw seng tinggal seorang diri disini buat belajar ilmu surat, aku juga tidak pandai masak. maka aku makan seada-adanya saja, hingga aku tak dapat melayani hatimu.

Baiklah tuan-tuan pergi kira kira sepuluh lie, disana ada sebuah penginapan dimana tuan tuan bisa singgah untuk bersantap dan bermalam juga." Habis berkata begitu, anak muda itu menutup pintunya.

Oey Eng berdiri tercengang. Inilah penyambutan, diluar dugaannya. Ketika ia sudah sadar ia lalu menoleh kebelakang. Kiranya Ban Liang bersama Siauw Pek dan Kho Kong sudah berdiri dibelakangnya itu.

"Coba tolak pintunya," berkata Ban Liang perlahan-

Oey Eng menurut. Sambil menolak. iapun berkata nyaring: "Saudara, tolong bukakan pintu Lekas"

Tidak ada jawaban, bahkan apipun padam. Itulah tanda orang tidak mau, atau tidak berani membukakan pintu.

Si orang she Oey menjadi mendongkol. Katanya didalam hati: "Anak sekolah harus bermurah hati Siapa tahu dia justru buruk." Dalam sengitnya, dia menolak pintu dengan keras.

Tak kuat pintu itu bertahan, kedua belah daunnya segera menjeblak terbuka. Tapi ruang dalam gelap petang, tak nampak benda apa juga.

"Saudara, tolong nyalakan lilin" Oey Eng minta. "Tak dapat kami jalan sembarangan di dalam sini, nanti kami kena membikin rusak barang barang perabotan rumah tangga..."

Belum berhenti suaranya itu, orang she Oey ini tiba-tiba ingat: "Dia tinggal seorang diri ditempat belukar dan sunyi begini, dia juga membaca kitab sampai malam, mesti selalu ada kemungkinan dia nanti disatroni orang jahat. Bisakah dia hanya seorang anak sekolah

? Kenapa dia tak kenal takut ?"

Ketika Oey Eng berpikir demikian saat itulah dia mendengar suara sabar dari dalam rumah: "Tuan tuan, paling baik kamu mendengar nasehatku Sebaiknya kamu lekas lekas berlalu dari sini"

Tanpa menjawab, Ban Liang segera meng luarkan bahan apinya, segera dinyalakan hingga ia bisa melihat tegas ruang rumah itu, yang luasnya kira kira setombak persegi. Apa yang mereka lihat membuat mereka terkejut.

Ditengah ruang terletak dua buah peti mati yang diperlengkapi dengan selembar tirai putih dimana ada dilukiskan gambar seorang lelaki dengan roman gagah dan seorang nyonya usia pertengahan yang raut mukanya cantik.

Hanya sedetik siauw Pek semua terkejut, lalu mereka tenang kembali.

Ban Liang maju satu tindak, menyulut lilin diatas meja abu didepan sepasang petimati itu, hingga seluruh ruang menjadi terlebih terang.

Disatu pojok terlihat seorang muda dengan baju biru yang tangannya mencekal sejilid buku. Nampak parasnya yang murka. Ketika itu, dia berkata dengan dingin: "Tuan tuan masuk kemari dengan merusak pintu, tidak bedanya itu dengan perampok"

Oey Eng tidak puas, hendak dia menjawab keras, tetapi Siauw Pek mendahuluinya. Anak muda ini lalu memberi hormat.

"Maaf, tuan," katanya, "kami tiba disini karena diburu buru waktu, hingga kami lelah dan kuda kami letih hingga merasa lapar sekali. Disamping itu kamipun tidak tahu bahwa saudara justru tengah berkabung, karenanya jadi berbuat keliru. Harap saudara sudi memaafkan-"

Sementara itu Kho Kong berpikir.

"Besar juga keberanian anak sekolah ini Rumah ini mencil  ditanah belukar, dia mendampingi dua buah peti mati, dia pula membaca seorang diri diantara api pelita dan sunyi senyap..."

Pemuda itu bertindak mendekati meja, dia menyulut lilin yang kedua.

"Apakah yang tuan tuan hendak minta dari siauw seng?" tanyanya. "Silahkan lekas sebutkan"

Suara orang muda ini dingin tetapi ia tetap menyebut "siauw seng" sebagai gantinya "aku" dengan begitu ia telah merendahkan dirinya. Siauw seng berarti pelajar kecil (muda).

"Kami sudah lapar sekali, kami minta sedikit saja barang makanan," berkata Siauw Pek, "Tentu, sekali kami tidak akan makan cuma cuma, kami akan mengganti sejumlah uang." Pemuda itu tertawa hambar. Katanya:

"Ditempat sunyi ini dimana ada sedia barang makanan? Aku lihat, baiklah tuan tuan menahan lapar saja dan lekas pergi kesebelah depan dimana ada rumah persinggahan dan makanan-.."

Habis sabar Kho Kong, yang semenjak tadi membungkam saja. "Katamu tempat sunyi dan tak ada makanan," katanya sengit.

"Habis mungkinkah kau hanya makan angin saja?"

Siauw Pek hendak mencegah saudaranya itu tetapi ujung  bajunya secara diam diam ditarik Ban Liang, maka terpaksa ia diam saja.

Anak muda itu membuka lembaran bukunya, terus ia duduk. dan berkata: "Kaulah seorang kasar dan sembrono, siauw seng tak mau berurusan denganmu." Dan terus dia membaca dengan suara nyaring dan tinggi.

"Anak sekolahan ini sombong, tawar dan mau hidup sendiri, dia tak mirip miripnya seorang pelajar" kata Kho Kong dongkol sekali, "tak dapat tidak. dia perlu diacar adat"

"Benar juga," pikir Siauw Pek. Iapun tidak puas terhadap kelakuan tuan rumah itu. "Kenapa dia nampak sabar sekali tapi kasar..."

Anak muda itu tidak memperdulikan sikap Kho Kong, dia membaca terus, suaranya makin tinggi, makin keras. Hingga dia menyebabkan Oey Eng dan Ban Liang turut mendongkol.

Lalu si jago tua membisiki si orang she Oey : "Pergi kau rampas bukunya, supaya ia tidak dapat membaca Kita akan lihat, apakah sikapnya lebih jauh"

Oey Eng mengangguk. ia bertindak menghampiri tuan rumah yang sikapnya aneh itu. "Kau membaca buku apa, tuan?" tanyanya. "Bolehkah aku numpang melihat?" Di mulut ia berkata manis, tahu-tahu tangannya sudah menyambar, hingga buku pemuda itu sudah berpisah tangan-

Anak muda berbaju biru itu mengawasi perampas bukunya, ia duduk terus, sama sekali ia tidak gusar atau bersikap menentang.

Dengan buku ditangannya, Oey Eng memandang anak muda itu, dengan tawar ia berkata^ "Tuan membaca kitab nabi, sudah selayaknya jikalau tuan bermurah hati. Kenapa buktinya sekarang tuan begini cupat pikiran?"

Pemuda itu memperlihatkan wajah gusar, dia tidak membantah hanya dengan dingin dia berkata: "Jikalau tuan-tuan tidak segera meninggalkan tempat ini, harap jangan menyesaliku apabila aku berlaku kurang ajar terhadap kalian." Tiba-tiba Ban Liang tertawa terbahak-bahak.

"Tuan," katanya. "karena tuan berani berdiam ditempat belukar ini bersama sama dua buah peti mati dan dapat membaca buku dengan tenang, teranglah bahwa kau bukannya sembarang orang, kau bukan lagi si pelajar yang tubuhnya lemah tak berdaya..."

"Kamu mau pergi atau tidak?" bentak si anak muda. Dia gusar sekali. Dia pula tidak mau melayani bicara, dia hanya main usir

"Sungguh mulut besar" berkata Ban Liang. "Aku si tua tidak maupergi dari sini, kau dapat berbuat apakah?"

"Sudahlah" Siauw Pek datang sama tengah. "oleh karena orang tidak sudi ketumpangan kita, marilah kita pergi" Ia terus menoleh kepada Oey Eng, dan menyambungi: "Lekas kau kembalikan bukunya itu "

Oey Eng paling menghormati ketua itu, tanpa berkata apa-apa dengan kedua tangannya ia mengangsurkan, mengembalikan buku orang itu.

Si anak muda menyambuti bukunya, segera tampak hawa amarahnya berkurang. Tapi segera dia mengulapka n tangannya sambil berkata pula: "Tuan-tuan berempat, lekaslah kamu pergi. Dengan sebenar benarnya disini kami tak dapat berdiam lama lama" Siauw Pek merangkap kedua tangannya memberi hormat.

"Maaf, kami mengganggumu" katanya, terus dia mendahului memutar tubuh untuk pergi berlalu.

Ban Liang bersama sama Oey Eng dan Kho Kong lalu mengikuti ketua itu keluar dari rumah gubuk itu.

Segeralah terdengar suara daun pintu menggabruk, pertanda pintu rumah itu telah ditutup dengan dibanting

"Sungguh manusia cupat pikiran" kata Kho Kong murka.

"Mesti ada sebabnya," berkata Ban Liang. "Perlu kita mencari tahu..."

Mereka kembali ketempat mereka, untuk merapihkan kuda kereta, setelah bersama sama mereka mengumpatkan diri diantara ruyuk di dekat rumah gubuk itu.

siauw Pek tidak menentang perbuatan Ban Liang bertiga. Ia tahu perbuatan mereka ini tidak pantas sebab itu berarti tak keruan keruan mengintai orang lain akan tetapi iapun heran atas sikap orang yang sangat luar biasa itu.

Lewat beberapa saat, cahaya api lilin didalam rumah gubuk padam. Menyusul itu terdengar suara keras berulang ulang, mungkin itulah suara orang membuka atau membongkar peti mati. Itulah mengherankan. Bila tadinya mereka tidak melihat peti mati, barangkali mereka tidak menerka demikian-

Dengan sendirinya terasalah sesuatu suasana yang menyeramkan-

sebenarnya suara itu kesunyian kembali menguasai rumah gubuk serta sekitarnya. Iapun mengherankan Hati Ban Liang sangat terpengaruh.

"Siapa yang mau turut aku pergi menghampiri gubuk itu?" ia tanya kawan kawannya. "Aku?" menyahut Oey Eng dan Kho Kong berbareng. Sebab dua dua pemuda ini sangat tertarik hatinya. Ban Liang mengawasi kedua kawan itu.

"Saudara Oey, mari kau yang turut aku" katanya tertawa. Ia bangun berdiri, untuk berlompat keluar dari dalam ruyuk. untuk terus lari kearah rumah. Oey Eng segera mengikuti orang tua itu.

Ban Liang berlaku waspada, bahkan selagi mendekati gubuk ia perlahankan tindakan kakinya. Ia percaya pemuda baju biru yang aneh itu pasti mempunyai kepandaian yang istimewa. Gerak gerik orang itu sangat mencurigakan-

Tiba dijendela, dua orang itu menghentikan tindakannya. Mereka memasang telinga sambil mengawasi kedalam gubuk. Ruang gelap sekali karena adanya alingan gorden-Rumahpun sangat sunyi.

Saking penasaran, Ban Liang bertindak kepintu belakang. Disini, pintu tak ada gorden penghalangnya. Ia menajamkan sebelah matanya, untuk mengintai kedalam.

Si anak muda berbaju biru tampak duduk di depan peti mati yang kiri. Tutup peti itu sudah terbuka. Didalam peti itu kelihatan sesosok tubuh orang lagi duduk dengan sebelah tangan diulur keluar, tangan itu menampak kedua belah tangannya si anak muda. Mereka berdua bagaikan saling menolak.

Kaget orang tua ini, hingga dengan hati bercekat ia mundur dua tindak.

Sebaliknya, Oey Eng bertindak kesisi orang tua, untuk berada disebelah depannya. Ialah yang sekarang menggantikan mengintai kedalam rumah gubuk itu, hingga ia menampak pemandangan yang serupa, yang membuat hatinya gentar.

Oey Eng dapat melihat dengan terlebih tegas. Si pelajar berbaju biru bukan saja menolakkan kedua belah tangannya kepada tangan orang yang bercokol didalam peti mati itu, bahkan mulut mereka seperti menghembuskan asap putih yang bercampur jadi satu Rupanya yang satu lagi mengeluarkan tenaga dalamnya dan yang lainnya lagi menyambuti, menerimanya Oey Eng bernyali besar akan tetapi tak berani ia mengawasi terlalu lama, iapun lalu mengundurkan diri.

Dengan diam diam keduanya kembali keruyuk mereka tanpa mereka tahu, si anak muda mengetahui pengintaian mereka atau tidak. Hanya, sampai mereka berada didalam ruyuk, dari dalam gubuk tidak terlihat atau terdengar gerak gerik apapun juga.

"Apakah ada sesuatu yang bagus dilihat?" tanya Kho Kong^ "Sungguh tak sedap diminta" sahut Oey Eng menggeleng geleng

kepala.

"Apakah yang tak sedap dipandang?" tanya pula Kho Kong.

Oey Eng memberi keterangan pada saudara keduanya itu  tentang apa yang disaksikannya didalam rumah gubuk itu.

"Begitu?" kata Kho Kong terheran heran "Apakah dia hendak menghidupkan pula orang yang telah mati itu?"

"Mungkin Mungkin orang itu telah terluka parah." berkata Ban Liang.

"Jikalau itu benar, pastilah si pelajar seorang tabib luar biasa," berkata Oey Eng yang heran bercampur kagum.

"orang itu tidak bersangkut paut dengan kita," berkata Siauw Pek. "Dia tak sudi ketumpangan kita, mungkin itulah sebabnya. Tidak usah kita berkecil hati. Mari kita lekas melanjutkan perjalanan kita."

Urusan sipemuda berbaju biru membuat Ban Liang semua lupa pada perut mereka yang kosong tetapi kata kata siauw Pek ini mengingatkan mereka, maka kembali mereka merasakan keinginannya untuk makan yang sangat.

"Marilah " Kho Kong berkata sambil mendahului bangkit. "Perlu kita cari dahulu rumah makan, buat menangsal perut kita..." 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar