Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 43

JILID 43

Masih Ouw Bwee dapat tersenyum.

"Kabu benar" sahutnya. "Memang aku telah tangkap hidup Coh Bun Koan, tetapi "

"Tetapi apa?" teriak Siauw Pek. "Apakah kau telah membunuhnya?"

"Kau dengarlah" balas teriak Ouw Bwee. "Kakakmu itu tidak mati"

"Baik" seru Siauw Pek. "Kalau kau benar tidak membunuh dia, dimana dia sekarang?"

Bukan main jerinya si Tua Terbang, dengan Cepat hatinya berpikir: "Kabarnya bocah ini mewarisi kepandaian Thian Kiam Kie Tong dan Pa Too Siang Go, sudah begitu disinipun ada Su Kay Taysu dan Ban Liang. Mana dapat aku lolos dari sini? Mesti aku menggunakan akal" Dasar licik, dia segera berpura tabah.

"Tentang dimana adanya Coh Bun Koan sekarang, cuma aku sendiri yang ketahui" berkata dia sambil tertawa kering. "Jikalau kau tidak menunjukkan kepandaianmu yang membuat aku kagum dan takluk. jangan kau harap nanti mendapat tahu tentang kakakmu itu"

Si Tua Terbang berharap dengan gertakannya ini, Siauw Pek tidak akan segera membinasakannya. Dia pikir, selama dia masih hidup, dia tetap akan berdaya menolong jiwanya.

Kho Kong yang mengawasi jago tua itu, berkata nyaring: "Mata tu bangka ini memain tak hentinya, dia tidak dapat dipercaya" "Silahkan toako minggir" berkata Oey Eng. "Biar aku yang mampuskan dia untuk mengubur arwah ayah toako dialam baka"

Siauw Pek dapat menenangkan diri. Ia tahu ia memang membutuhkan keterangan musuh ini mengenai kakaknya.

"Saudara-saudara, mundur dahulu." katanya. "Biar aku yang melayani dia"

Kho Kong menghunus senjatanya. Dia berseru: "Mereka yang tak bersangkut paut, mundur lima tindak"

Ouw Bwee membesarkan nyalinya. Dia tertawa menghina.

"Coh Kam Pek menjadi musuh umum" teriaknya. "Disini tidak ada orang yang tidak bersangkut paut"

Sengaja dia berkata demikian, untuk merembet-rembet kawan kawannya itu, supaya semua kawan itu memburu. Siauw Pek dapat menebak hati orang. "Percuma kau mengharap dapat mengepung aku" katanya. "Waspadalah"

Begitu ia mengancam itu, sianak muda segera menikam. Ouw Bwee sudah siap sedia, siap menyampok dengan tamengnya.

Siauw Pek tertawa dingin, ia segera menyerang pula. Bahkan ia mengurung dengar sinar pedangnya.

Ouw Bwee repot sekali. Dia menangkis-nangkis dengan tamengnya. Dia mencoba membacok dengan golok pendek ditangannya, tetapi senjata pendek itu tak sampai kepada musuh. Maka terpaksa dia membela diri. Dia memang satu jago tua. Dia segera mengeluarkan ilmu silat "Hoan In Pat Sie" dari partainya, partai Pat Kwa Bun. Ilmu silatnya itu berarti delapan jurus "Membalik Awan". Dengan itu dia berkelahi sambil mencari jalan lolos.

Walaupun lawan mengandalkan tamengnya yang liehay, Siauw Pek dapat mengurung terus ia dapat membuat lawan repot sekali.

Didalam waktu yang singkat, Ouw Bwee telah bermandikan peluh, hingga hatinya menjadi Ciut sekali. Wajahnya juga tak dapat menyembunyikan rasa takutnya. Dla selalu melindungi tubuhnya yang katai kecil dibalik tamengnya.

Tengah Hui Siu terdesak itu, diantara rombongannya terdengar perintah segera maju empat orang yang bersenjatakan tameng dan golok pendek. Maka dapatlah diduga bahwa mereka adalah orang orang Pat Kwa Bun.

Itulah tidak salah Bahkan salah seorang adalah adik seperguruan Hui Sui. Tiga yang lainnya adalah keponakan murid.

Siauw Pek melayani keempat musuh baru itu, sehabisnya ia menangkis setiap serangan mereka, ia serentak mengurung mereka bersama-sama Ouw Bwee.

Oey Eng menonton dengan asyik. Bahkan mereka bisa saling melirik dan tertawa. Karena tahu liehaynya ketua mereka itu, yang tak takut pengepungan-

Lewat beberapa jurus, ketiga keponakan murid Ouw Bwee merasa dirinya sangat terdesak. Tetapi mereka tidak berani melompat mundur untuk keluar dari kalangan. Mereka jeri terhadap aturan keras dari Pat Kwa Bun yang melarang sembarangan orang mundur.

Sebagaimana biasanya, Siauw Pek dapat mengurung lawan lawannya, akan tetapi buat turun tangan membinasakannya, ia merasa "sulit". Ilmu pedangnya itu cuma dapat mengurung membuat orang lelah.

Dengan perantaraan Soat Gie, Soat Kun mendapat tahu jalannya pertempuran yang bertele-tele itu, segera juga ia memperdengarkan suaranya: "Mereka berlima bukan orang baik-baik, mereka juga musuh musuh yang membinasakan ayah bengcu, kenapa bengcu tidak mau segera turun tangan membinasakan mereka?"

Mendengar suara si nona, yang tahu-tahu sudah muncul dan datang menonton pertempuran ketiga keponakan murid Ouw Bwee itu menjadi kaget, mereka takut bukan main, tanpa merasa mereka menoleh kearah nona itu. Justru orang berpaling itu, justru pedang sianak muda mengancam pinggang mereka. Ujung pedang meluncur terus dengan ancamannya itu.

Ketiga orang Pat Kwa Bun itu terkejut mereka menangkis dan membacok. membela diri sambil menyerang. "Aduh" demikian satu jeritan.

Tahu-tahu ujung golok melesat dan menikam kawan sendiri. Siauw Pek sendiri sudah meneruskan serangannya kepada Ouw Bwee.

Orang yang terluka itu melemparkan tameng dan goloknya, sambil menutup lubang lukanya dengan kedua tangannya, ia menjatuhkan diri bergulingan, keluar dari kalangan pertempuran.

Ouw Bwee kaget serta takut.

"Siapa berani" teriaknya. Tetapi kata katanya itu tak dapat diteruskan, karena ia terus lompat kepada keponakan muridnya yang terluka itu, untuk mendepaknya. Sebenarnya ia berniat mengancam supaya jangan ada kawannya yang mundur.

Siauw Pek sementara itu ragu-ragu untuk membinasakan musuh, ia harus menggunakan goloknya. Dengan pedangnya saja ia tak berdaya.

Disaat itu terdengar pula suara nona Hoan: "Bengcu, Jikalau bengcu ingin mendapatkan musuh yang hidup, silahkan bengcu mundur. Biarkan Oey dan Kho Huhoat yang maju"

Suara nona itu dingin. Ia berkata itu karena ada maksudnya.

Kho Kong menerima kata-kata sinona dengan wajar. Ia berkata: "Benar Silahkan bengcu istirahat Lihat adikmu membekuk mereka ini"

Mendengar suara saudara itu, paras Siauw Pek berubah. "Lihat pedang" mendadak ia berseru. "Lihat pedang"

Menyusul seruan itu, berisiklah suara pedang beradu dengan pelbagai tameng disusul dengan suara berisiknya jatuhnya keempat tameng ketanah. Karena dengan tiba-tiba saja Ouw Bwee semua merasai tangannya nyeri, hingga tanpa merasa mereka melepaskan cekalan atas senjatanya itu masing-masing.

"Bagus" Ban Liang berseru, sedangkan mulanya dia tercengang heran-

Oey Eng dan Kho Kong turut tercengang juga , tetapi lekas juga mereka mengawasi musuh.

Ouw Bwee berempat berdiri diam ditengah medan pertempuran itu, muka mereka pucat pasi. Yang hebat ialah tangan kiri mereka memegangi tangan kanannya masing-masing. Sebabnya ialah, semua jeriji tangan kanan mereka telah terbabat kutung dan darahnya mengucur ke tanah

"Hahaha" tertawa Kho Kong selekasnya dia sadar. "Jikalau kami tidak segera menyerah manda ditelikung, sungguh kamu tak tahu mampus"

Berkata begitu, anak muda ini lari kepada Ouw Bwee, untuk menotok jago tua itu. Hui Siu berlompat mundur, berkelit dari totokan.

"Kau mengandalkan kawan, adakah kau seorang gagah?" bentaknya. Pemuda itu menjadi gusar.

"Tua bangka" bentaknya. "Kau berani mendamprat orang? Ambil senjatamU, aku akan menghajarmu"

Jago tua Pat Kwa Bun itu licik sekali. Dia tidak melayani si anak muda, hanya dia menoleh kepada Siauw Pek.

"Aku si orang she ouw menyerah" katanya. "Sekarang kau maU apa?"

Siauw Pek berdiri diam. Ia memang bagaikan mematung sehabisnya ia membabat jari tangan orang. Inilah karena ia memikirkan ilmu silatnya itu. Ia merasa, itulah bukan jurus ong Too Kiu Kiam. Ia percaya, itulah jurusnya semula sebelum ia mendapatkan pelajaran Kie Tong. Ouw Bwee melihat anak muda itu berdiam saja, ia heran Ia berpikir: "Dasar ia masih terlalu muda, dia belum pernah menang perang. sekali dia menang, dia menjadi girang begini rupa Buat

apakah aku berdiam saja? Kalau tidak sekarang aku mengangkat kaki, aku hendak tunggu apalagi?"

Maka ia segera berkata pula. "Aku si orang she ouw kalah tak penasaran GUnung hijaU tak berubah, air hijaU mengalir terus, dari itu ini hadiah tebasan pedang, lain hari pasti aku balas"

Begitu ia berkata, begitu Hui Siu menjemput golok dan pedangnya, untuk lari menyingkir.

"Berhenti" mendadak Siauw Pek berseru bengis. Ouw Bwee memutar tubuhnya.

"Apakah kau hendak menanyakan tentang Coh Bun Koan dimana adanya dia?" tanyanya. Siauw Pek tertawa dingin.

"Aku memikir mengambil jiwa anjingmu" jawabnya. Terus ia maju menyerang. Bukan kepalang takutnya Ouw Bwee.

"orang she Coh" dia berteriak. Masih dapat dia menggunakan otaknya. "Kau mengerti aturan Kang ouw atau tidak?"

Ban Liang tertawa terbahak. dia mendahului ketuanya. "oh tua bangka, kau justru bicara tentang aturan Kang ouw"

Siauw Pek tertawa dingin, dia maju kepada musuhnya itu, untuk membulang balingkan pedangnya didada orang empat kali.

Ketika itu tiga orang Pat Kwa Bun lainnya sudah menjemput juga pedang dan tameng mereka dan mereka menghampiri si jago tua pemimpinnya itu.

Siauw Pek berlaku sebal. Ia menggores dada lawannya hingga goresannya itu berupa mirip huruf "che" "Sumur". Dengan begitu maka terlukalah Ouw Bwee dan darahnya turun mengucur. Luka itu tidak dalam tetapi darahnya mendatangkan rasa seram. Justru itu, tibalah ketiga orang Pat Kwa Bun itu, yang hendak membela pemimpinnya, dengan tameng, mereka mencoba menangkis pedang sianak muda.

Melihat demikian Siauw Pek berseru: "Pedangnya bekerja, menusuk ke lengan musuh" Dengan serentak.jatuhlah tameng itu, sedangkan pemiliknya masing-masing merasai lengannya nyeri.

Sekarang ini Siauw Pek bagaikan telah berubah diri, parasnya merah padam, matanya terbuka lebar dan sorotnya bengis ia menghampiri Ouw Bwee, untuk menikamnya. Jago tua itu takut sekali.

"Tahan" serunya sambil ia mementang kedua tangannya. Siauw pek mengancam dada orang.

"Lekas bicara" bentaknya bengis. "Saat kematianmu telah tiba. Jikalau aku tidak membunuhmu, kecewa aku terhadap ayah bundaku didunia baka"

Muka Ouw Bwee pucat tak berdarah, napasnya memburu.

"Coh Bun Koan adalah saudara kandungmu, benarkah kau tak mempedulikan mati hidupnya." dia tanyanya.

Mendengar suara orang itu, Siauw Pek berpikir: "Dia sangat licik, dia harus dipaksa" Maka ia berkata dingin: "Dengan pertanyaanmu kau hendak memeras aku? Hmm,jangan kau bermimpi" Lalu ia menikam dada orang.

Ouw Bwee berteriak kesakitan, dengan kedua tangannya, ia memegang badan pedang, tangan dan tubuhnya bergemetaran darah mengucur keluar dari lukanya itu, yang tidak dalam karena sianak muda hanya mengancam. Semua kawan Ouw Bwee terkejut dan ketakutan.

Bahkan Oey Eng dan Kho Kong heran karena sikap bengcu itu, yang biasanya murah hati.

Su Kay memuji sang Buddha, terus ia menghampiri Siauw Pek. Untuk memberi hormat dan berkata: "Siecu, sabar... Mari biar loolap yang menanyainya" Siauw Pek menarik kembali pedangnya, ia mundur dua tindak. Su Kay menatap Hui Siu, agaknya ia tak tega.

"ouw Siecu," sapanya sabar. "Kaulah orang Kang ouw kenamaan, setelah keadaan begini rupa, seharusnya kau bersikap terus terang" Berkata begitu, ia menotok jalan darah orang membuat darahnya berhenti mengucur. Ouw Bwee menarik napas lega, tetapi dia tertawa tawar.

"Terima kasih, taysu" dia mengucap. "Ketua kami "

"Jangan mengucap terima kasih, Siecu." Su Kay memotong. "Loolap belum menolongmu." Paras Ouw Bwee berubah, kembali dia tertawa hambar.

"Ada pengajaran apakah, taysu?" dia tanya. Kembali sang pendeta menatap tajam.

"Hendak loolap tanya kau, Siecu sekarang ini nona Coh Bun Koan berada dimana?" demikian tanyanya.

Ouw Bwee berpikir keras, ia tahu kesempatan hidupnya sangat kecil. Siapa tahu pendeta ini dapat menolongnya? Dengan roman likat ia menjawab: "Memang benar dahulu itu didepan Seng Su Kio akulah yang menawan Coh Bun Koan hidup, hidup, akan tetapi itu waktu. Selagi kedua ekor bangau berebut kerang, sang nelayan memperoleh hasilnya: Coh Bun Koan telah dibawa lari oleh orang lain. "

Alis Su Kay berkenyit, kembali ia menatap.

"ouw Siecu" katanya nyaring. "Kau bukannya orang yang mudah diperhina atau ditipu orang, siapa kah yang demikian liehay dapat merampas orang tawananmu?"

Ouw Bwee tertawa pula. Tetap dingin tertawanya itu.

"orang itu she cee Didalam dunia Kang ouw, dia ternama besar" "orang Kang ouw ternama besar?" Su Kay mengurangi, serunya ia menengadah kelangit. "Bukannya dia Hong In Hwee Cu cee cu Ho?"

"Taysu telah menerka tepat, tak usah aku membilangi lagi" berkata si Tua Terbang dengan suara dinginnya. "Hwee cu" ialah ketua perkumpulan (hwee).

"Didalam kalangan Kong ouw tak terdengar berita tentang itu." kata Su Kay Taysu, ragu-ragu. "Apa Siecu tahu apa yang diperbuat cee cu Ho setelah dia merampas Nona Coh itu?"

"Tentang itu," sahut Ouw Bwee seenaknya "cuma cu Ho sendiri yang mengetahuinya."

Pendeta itu menoleh pada Siauw Pek, romannya berduka. Hendak ia membuka mulutnya tapi gagaL Ia ragu-ragu. Ingin ia mohon keampunan jiwa bagi Ouw Bwee tapi ia tahu baik hal kebiasaannya Coh Kee Po sedesa.... Siauw Pek dapat menerka hati pendeta itu. "Saudara Kho, tolong ringkus empat orang ini" katanya. Kho Kong menyahuti dan maju menghampiri.

Biar bagaimana, nyali Ouw Bwee sudah pecah tak berani ia lari ataupun berkelit. Hanya sedetik, ia merasai pinggangnya kaku, terus tubuhnya roboh.

Oey Eng segera maju, membantu Kho Kong menggotong orang orang tawanan itu baik keatas kereta.

Masih ada tujuh orang yang menjadi kawan Ouw Bwee itu, mereka berdiam saja sejak mereka dihadang Ban Liang. Sampai pertempuran terjadi, hingga ouw Bwee berempat kena dilawan, akan tetapi sekarang, melihat kesudahannya pertempuran itu, segera mereka memutar tubuh mereka untuk berlalu pergi.

"Para Siecu tahap dahulu" Su Kay menyerukan tujuh orang itu. "Mari, loolap ingin bicara dahulu"

Pendeta itu menggunakan ilmu "Say cu hauw atau Geram Singa" yang dikeluarkan dengan bantuan tenaga dalam. Maka itu suaranya keras bagaikan guntur. Mendengar suara itu, ketjuh orang itu kaget, serentak mereka menghentikan langkah mereka, paras mereka pucat.

Siauw Pek heran atas sikap si pendeta. Menurut ia, tujuh orang itu ia telah membebaskannya sendiri. Kenapa sekarang sipendeta menahannya?

"Maafkan mataku yang kurang awas." berkata Su Kay kepada tujuh orang itu. "Dapatkah Siecu sekalian memberitahukan loolap kalian ada dari partai apa?"

Tujuh orang itu melengak. mereka saling pandang.

"Maaf, taysu, loohu ialah Houyan Pa dari ImCiu," sahut si orang tua yang matanya celong, tubuhnya kurus sekali dan jubahnya hitam. Dia menjawab sambil memberi hormat.

"Maaf" berkata Su Kay setelah mendengar nama orang. "Kiranya Pek Lin cian Houy an Eng hiong dari im San Pay"

"Pek Lin cian" yang berarti " Panah berCahaya" adalah gelar jago tua itu.

Berkata begitu, Su Kay memandang seorang lainnya. Dia ini memiliki mata sangat tajam, usianya lebih kurang lima puluh tahun, dipunggungnya tersoren sepasang Siang piau atau ruyang.

Saat mata mereka berdua bentrok. orang tua itu mundur satu tindak. sambil mengangkat kedua tangannya, dia memperkenalkan diri: "Aku yang bodoh ialah Kiang Seng Hiap dari ceng Shia Pay. "

"Oh, kiranya It Pian Toan Liu Kiang Siecu" berkata sipendeta. "It Piau Toan Liu" berarti "Ruyung pembendung sungai."

Sekarang Su Kay memandang orang yang ketiga, yang tubuhnya tegup, dan janggutnya kaku dan mukanya merah. Diapun berusia lanjut. ia berkata: "Siecu, roman Siecu beda sekali dari lain-lain orang, apabila loolap tidak menerka salah, kaulah The Loo Enghiong dari Kun Lun Pay"

Pendeta ini menyebut sekalian gelar jago tua itu (loo Enghiong) ialah "Ay Kun Lun" atau si "Kun Lun Katai." Jago tua itu tertawa hambar, terus dia berkata: "Taysu bermata tajam sekali dan ingatan mu kuat. Dan ini...." ia menunjuk dua orang disisinya: "Inilah kedua keponakan murid The Beng."

Su Kay mengangguk. Terus ia menoleh kekirinya, kepada seorang yang mukanya berenjulan dengan daging, yang menggendol golok Kim san too dipunggungnya, seraya berkata: "Siecu ini. "

orang itu dengan berani segera mendahului: "Hoan Pa yang orang gelarkan ok Touw hu" Su Kay mengerutkan alisnya.

"Rupanya Siecu adalah seorang gagah dari Tiat Tan Hwee." "Tiat Tan Hwee," ialah perkumpulan (hwee) "Nyali Besi."

ok Touwhu berkata dingin: "Terkaan tepat"

"Heran," pikir Siauw Pek. siapa tahu didalam rombongan ini terdapat demikian banyak partai yang berlainan.

Su Kay sementara itu menyapa orang yang ketujuh. Katanya: "Siecu juga pastilah seorang gagah kaum Kang ouw?"

Orang yang ketujuh itu, atau yang terakhir. Yang baru setengah tua, mukanya putih dan kumisan, tetapi wajahnya suram. Mendengar pertanyaan sipendeta, segera tertawa kering. Menyahutlah ia: "Aku yang rendah bernama Uh bun ceng. Tak sanggup aku menerima panggilan orang gagah. Sebab akulah bu beng Siauw cut"

"Artinya "bu beng Siauw cut" ialah serdadu kecil yang tak ternama."

Nama orang itu membuat Su Kay berpikir: "Satu nama yang asing sekali bagiku, belum pernah aku dengar."

Maka ia lalu menanya: "Uh bun Siecu, adakah kau orang gagah dari sembilan partai besar, dari empat bun, tiga hwee atau dua pang?" Uh bun ceng menggeleng kepala.

"Akulah asal orang tapi aku tak termasuk partai mana juga." sahutnya. Su Kay tersenyum tawar, kembali ia menatap tujuh orang itu, ia bertanya: "Para Siecu, maafkan loolap kalau dianggap loolap banyak bertanya. Apakah para Siecu berkawan ini hendak menuju ke Siong san?"

Siong San ialah gunung Siong San Pus at Siauw Lim Sie atau Siauw Lim Pay. Ditanya demikian, ketujuh orang itu berdiam, cuma paras mereka tampak berubah. Sang pendeta mengerutkan alis.

"Diantara Siecu sekalian, siapa kah yang menjadi pemimpin?" ia tanya pula.

orang-orang itu saling memandang, mata mereka bersinar. lalu Uh bun ceng tertawa nyaring. Dia menjawab: "Kebetulan saja kami bertemu satu dengan lain dan terus berjalan bersama. Tidak ada pemimpinnya diantara kami"

"Jikalau begitu hendak loolap tanya Uh bun Siecu: "Apakah Siecu mau pergi ke Siauw Lim Sie?"

orang she Uh bun itu berdiam, tetapi sejenak kemudian dia menjawab keras: "Aku yang rendah, bukan mau pergi kekuil kalian"

"Bagaimana dengan The Siecu?" Su Kay tanya The Beng.

Jago Kun Lun Pay itu agak tercengang, tetapi dia menjawab lekas: "The Beng cuma mengagumi Siauw Lim Sie tetapi tidak bergaul satu dengan lain Kedudukanku tidak seimbang, karenanya buat apa aku pergi kesana?"

Kho Kong heran, pikirnya: "Kenapa pendeta ini menjadi aneh sikapnya? Buat apa dia rewel menanya orang secara melit begini? Pada saat ini dia tampaknya tak pantas menjadi seorang pendeta tua dan beriman"

Tapi Su Kay masih melanjutkan pertanyaannya. "Dan orang gagah ini" ia tanya Hoan Pa. "Aku merasa pasti Hoan Siecu tentu mau pergi ke Siauw Lim Sie"

Hoan Pa bertebiat berangasan tetapi karena dia jeri terhadap nama besarnya Su Kay serta juga Siauw Pek yang gagah sekali, dia membatasi diri, akan tetapi setelah menyaksikan kemelitan sipendeta. Dia menjadi kurang senang. Maka itu, setelah ditanya, dia gusar, dia menyahut kasar. "Pendeta tua, buat apa mengucapkan banyak kata-kata tak ada gunanya?"

Su Kay tidak meladeni sikap kasar itu, bahkan sebaliknya, mendadak dia menanya bengis: "Loolap tanya Siecu, Siecu mau pergi ke Siauw Lim Sie atau bukan?"

Ok Touwhu tertawa dingin.

"Jikalau benar Siecu tak sudi menjawab pertanyaanku" berkata Su Kay, yang menjadi mengotot, loolap persilahkan Siecu kembali, tak dapat Siecu melanjutkan perjalananmu ini"

Ok Touwhu tertawa berkakak.

"Aku tadinya mengira dikolong langit ini cuma aku ok Touwhu yang biasa berlaku garang dan galak, tak tahunya juga pendeta dari Siauw Lim Sie sangat tidak tahu aturan"

Su Kay menjawab: "Seumurku, loolap belum bersikap begini, baru sekali ini saja. Inilah karena loolap sangat terpaksa"

"Siapakah yang memaksa kau?" tanya ok Touwhu dingin. "Tempat ini toh terpisah dari Siauw Lim Sie sejauh seratus lie inilah jalan besar umum yang setiap orang dapat melewatinya Kau

memegat, kau menanya melit, kau memaksa bertanya orang, apakah pantas perbuatanmu ini?"

Muka Su Kay menjadi merah. Ia segera berpikir: "Memang aku yang bersalah. Tapi mereka berombongan, mereka mau pergi ke Siauw Lim Sie. Apakah maksud mereka? Tak bolehkah aku mencampur? Ah, kalau Nona Hoan "

Pendeta itu tak sempat berpikir, ia diganggu Uh bun ceng. orang yang mengaku tak berpartai itu bertanya bengis: "Taysu hendak mengganggu kami, sebenar taysu mendapat perintah Kim Too Bun atau dari ketua Siauw Lim Sie?" Su Kay melengak. pertanyaan itu sukar dijawab. maka ia lalu berpaling kepada Siauw Pek.

Ketika itu sekonyong-konyong terdengar suara Soat Kun.

"Taysu, apa kah taysu, apa kah taysu mengalami sesuatu kesulitan?"

"Benar, Siecu" ia menjawab. "Mereka ini datang dalam satu rombongan, mereka tentu mengandung suatu maksud"

"Benar" si nona menjawab. "Pastilah berita tersiarnya peristiwa dalam Siauw Lim Sie sudah menjalar cepat sekali maka mereka ini datang untuk merampok selagi orang repot di ganggu bahaya kebakaran. Mereka ingin mendapatkan pusaka dari Siauw Lim Sie"

"Anehnya kenapa berita tersiar begitu cepat?" kata Su Kay.

"Tak aneh, taysu. Ada pepatah yang membilang. "Kabar angin bagaikan angin, kabur tanpa kakinya." Tempo satu atau dua haripun sudah cukup banyak"

Su Kay masih memikir, ia melengak.

"Mungkin Siecu tidak tahu" katanya pula. "Beberapa kakak seperguruanku itu berangkat Siang dan malam menyusul It Tie. Beritahukan ditutup rapat Kenapa kah rahasia toh bocor juga?"

Soat Kun tersenyum.

"Kalau demikian anggapan taysu. Baiklah, tak usah aku banyak bicara lagi" katanya.

"Tapi loolap. "

Mendadak pendeta ini tak meneruskan kata-katanya itu. Hanya selang sejenak. baru ia menambahkan: "Siecu, Siecu sangat cerdas, loolap mengaku kalah. "

"Taysu terlalu memuji," kata si nona.

Su Kay lalu berpaling kepada Siauw Pek, mengawasi ketua Kim Too Bun itu. Nampaknya dia likat sendirinya. "Maaf, bengcu." katanya kemudian "Loolap menerima perintah suhengku buat berjalan bersama-sama rombongan bengcu, sebenarnya kami mempunyai pikiran kami sendiri. "

Siauw Pek heran, sampai ia tercengang.

"Taysu menjadi pendeta beribadat" katanya kemudian " Walaupun taysu mempunyai pikiran lain Pastilah itu tidak akan mengganggu kami."

"Bengcu, sungguh kau berbudi luhur "

Ban Liang melihat pendeta itu bersangsi, ia campur bicara. "Taysu" katanya. "Kalau taysu memikir sesuatu, katakanlah itu

kepada kami, mungkin dapat melenyapkan keragu-raguan kami. "

Su Kay menghela napas.

"Hal sebenarnya begini, bengcu" katanya akhirnya: "Saudara saudaraku sedang mengejar It Tie, mereka itu khawatir Siecu beramai nanti mencampuri urusan partai kami ini, maka itu loolap ditugaskan memasuki kalangan Kim Too Bun untuk melakukan pengawasan "

Hoat Soat Kun tertawa.

"Jelaskan Su Khong Taysu beramai mencurigai kami, mereka kuatir selagi kebakaran terbit, kami nanti menggunakan kesempatan merampas kitab-kitab pusakanya itu Benar bukan?"

"Jangan kata sampai kena dirampas, Siecu." berkata Su Kay, jengah. "Sekalipun Siecu beramai dapat membekuk It Tie, asal Siecu sekalian dapat mengambil kitab-kitab pusaka kami itu, kami dari Siauw Lim Sie, kami sudah bukan main malunya, kami bukan main menyesalnya......oh, Siecu, Siecu sangat cerdas, rahasiaku ini menghamba kepada Kim Too Bun mana dapat ditutup dari mata Siecu?"

Soat Kun tertawa.

"Itulah tak mungkin, taysu. " Su Kay tertawa menyeringai, ia jengah.

"Loolap bekerja saking terpaksa, Siecu" ia mengaku terus terang. "sesungguhnya hati loolap sangat tidak tenang. Dan mengenai mereka itu."

Pendeta ini memandang pada ok Touwhu semua.

"Tak usah taysu menjelaskan lagi." kata Soat Kun menyela kata kata orang. "Aku juga telah merasa tibanya mereka itu sangat kebetulan, maka itu mesti ada sebabnya "

"Maksud Siecu. "

Berkata begitu, mendadak pendeta ini terbangun semangatnya. "Kalau ada perintah, Siecu titahkanlah," pintanya kemudian-

Nona Hoan berkata: "Dalam peristiwa Pek Ho Bun yang menyedihkan itu, semua empat bun, tiga hwee dan dua pang ada sangkut pautnya dengan sembilan partai besar, maka itu terhadap mereka itu, Kim Too Bun tak usah berlaku sungkan lagi. "

"Jadi Siecu "

"Maksudku, lebih dahulU tawan mereka, baru kita mengurusnya kemudian"

Mendengar kata-kata si nona, ketujuh orang Kang ouw itu terkejut. Sedang sedari tadi mereka berdiri diam saja, hati mereka penuh keragu-raguan Mereka jeri terhadap Siauw Pek dan Su Kay Taysu. Tiba-tiba Uh bun ceng memutar tubuhnya, buat terus pergi berlari.

Enam orang yang lainnya terperanjat melihat tindakan orang she Uh Bun itu. Memang, semenjak tadi mereka sudah memikir buar lari kabur. Maka itu, segera merekapun memutar tubuh dan lari.

Su Kay Taysu tercengang, tetapi hanya sedetik, segera ia lari, untuk mengejar. "Tahan, taysu" Soat Kun mencegah.

"Nona. " sahut pendeta itu. Nona Hoan berpaling kearah timur, ia memasang telinganya. "coba dengar, taysu. Suara apa kah itu?" ia tanya sipendeta.

Bukan hanya Su Kay Taysu, Siauw Pek dan yang lainnyapun segera memasang kuping.

Didalam rombongan Siauw Pek ini, bicara perihal tenaga dalam Su Kay Taysu adalah yang paling sempurna mahir, maka juga dialah yang pertama merasa bahwa suara itu luar biasa. Mirip suara guntur tetapi samar-samar sekali. Mungkin itu suara sepasukan tentara yang besar sekali, yang tengah mendatangi. Siauw Pek pun mengenal suara itu seperti suara derap banyak kuda.

"Mungkin itu suara kuda diatas seratus ekor" kata Su Kay Taysu kemudian-

"Siapa kah yang tahu ditimur itu tempat apa?" tanya Soat Kun. "Bagaimanakah letaknya itu? Itulah tanah pegunungan," sahut

Su Kay.

"Apakah ada jalanannya?"

"orang dapat memaksakan jalan disana, kereta tidak. "

"Kata adikku ini, disebelah kanan itu, ditanjakan yang nomor dua, ada jalan yang dapat lewat disana "

"Mari kita pergi kesana, untuk melihat" Siauw Pek mengajak.

Soat Kun segera mengajak adiknya naik kereta, maka Oey Eng dan Kho Kong turut naik juga , buat melarikan kereta itu. Mereka menggunakan cambuknya. Memang, disebelah kiri itu, tak ada jalan-

Dengan lekas kereta sudah menanjak naik, akan tetapi, tak dapat orang tiba dipuncak tanjakan itu diatas bukit.

"Nona, terpaksa kita mesti jalan kaki......" Oey Eng berkata pada Nona Hoan Tapi belum berhenti suaranya itu, Soat Kun dan  adiknya sudah melompat turun dari kereta dan bersama-sama mereka lari mendaki. Giok Yauw bersama Han In Taysupun berlari-lari naik.

Ketika itu suara dikejauhan itu masih samar-samar, rupanya terpisahnya dari mereka ini masih jauh. Maka itu, orang mendaki terus. Segera setelah berada dipuncak tanjakan, orang terkejut.

Dibelakang bukit itu tampak sebuah tanah datar yang luas tetapi seluruhnya penuh dengan rumput tebal dan tinggi melewati betis. Tak tampak orang atau asap dari rumah-rumah penduduk desa. Dalam pihak. suasana sunyi dan selam.....

Adalah diarah timur selatan tegalan terbuka itu terlihat debu mengepul naik, suara kuda atau suara pertempuran berisik sekali. Itulah suara yang mereka dapat dengar semenjak tadi. Kemudian lagi mereka menyaksikan kabur mendatangnya sebarisan penunggang kuda, arahnya ialah barat utara, barat laut.

Bukit kiri itu tidak terlalu tinggi, akan tetapi dibandingkan dengan tegalan sebelah selatan, tampak tinggi sekali. Dari atas bukit itu orang bisa melihat jauh kedepan, kesegala arah. Maka tampaklah barisan yang tengah mendatangi itu, walaupun belum jelas.

Su Kay sangat mengagumi Nona Hoan. Karena ia tahu si nona tak dapat melihat, ia terus menuturkan kepada nona itu apa yang ia lihat.

"Tegalan ini luas luar biasa" berkata Ban Liang kagum. "Tegalan ini bisa jadi medan laga dari ratusan ribu jiwa tentara "

"Ban Huhoat benar" berkata Kho Kong yang mendapat serupa anggapan.

"coba bilangi aku," berkata Nona Hoan yang memikir sesuatu, "apakah ditimur selatan itu terdapat tanah pegunungan belaka"

"Betul" Ban Liang menjawab. "Baik-baiknya tidak tinggi tetapi nampaknya seperti garis-garis pembalasan, bersama bukit kita ini seperti juga bukit bukit mengurung tegalan. "

"coba lihat, Ban Huhoat" kata pula si nona, "Apakah bukit dikiri itu adalah yang paling tinggi." "Benar, nona. Bagaimana nona ketahui itu?"

"Inilah medan laga pada jaman dahulu" sahut si nona. "Ya, jaman diakhirnya kerajaan Han Timur. "

Tiba-tiba terdengar suara Siauw Pek. "Lihat Lihat dandanan pasukan berkuda itu"

"Ada apakah yang aneh" tanya Soat Kun cepat.

"Semua penunggang kuda mengenakan bungkus kepala hitam" Siauw Pek terangkan. "Yang tampak melainkan sinar mata mereka"

Ban Liang semua mengawasi, kata-kata sianak muda benar. Jumlah penunggang kuda itu lebih dari pada seratus jiwa. Sekonyong-konyong Su Kay berseru: "Rombongan bertutup muka itu ialah rombongan murid murid murtad dari Siauw Lim Sie"

Pendeta beribadat itu terperanjat sekali. "Bagaimana taysu mengenalinya?"

"sebab diantara mereka kebanyakan yang memakai jubah suci abu-abu" jawabnya.

Tenaga dalam mahir dari pendeta ini membuatnya bisa melihat jauh melebihi lain orang. Lekas juga ia menambahkan "Silahkan lihat, bengcu Lihat senjata mereka yang panjang-panjang, bukankah itu sianthung dan hongpiansan?" sambung pendeta yang bermata tajam.

Sianthung ialah tongkat panjang mirip toya yang biasa digunakan para pendeta. sedangkan hongpiansan ialah senjata istimewa lainnya yang mirip garu atau sekop bergagang panjang.

"Taysu benar" kata Siauw Pek kemudian, sesudah ia mengawasi beberapa lama. "Hanya yang lain lainnya, warna pakaiannya serta macamnya, tak serupa, mereka tak mirip pendeta."

Su Kay berdiam, dia terlihat masgul. "Entahlah, It Tie berada diantaranya atau tidak." katanya menyesal. Biar bagaimana pendeta ini agak bingung, hatinya tidak tenang.

Rombongan berkuda itu masih juga belum tampak jelas. Tujuan mereka ialah barat laut. Mereka terpisah masih sangatjauh, sudah lari kudanya pesat, debupun mengepul bagaikan menutupi langit.

Ban Liang masih belum dapat melihat jelas, lebih-lebih Oey Eng, Kho Kong dan Giok Yauw.

Lewat lagi sesaat, tiba-tiba Soat Kun bertanya: "Apakah pasukan pengejarnya masih belum tampak?"

"Belum." menjawab sipendeta Siauw Lim Sie.

Oey Eng heran sekali. "Nona" tanyanya. Jarak kita masih sangatjauh, mengapa kita. "

Nona yang ditanya itu tertawa^

"Kita tak dapat berpeluk dagu saja" katanya.. "sekarang kita jadi dahulu penonton. Tempat ini tinggi, dapat kita melihat dengan terang dan jelas" "Lihat, pihak pengejarnya sudah muncul" mendadak terdengar suara Siauw Pek.

Mendengar itu, semua orang memasang mata. Kearah timur selatan Disana tampak segumpalan yang bergerak-gerak mirip bayangan manusia. Jumlah mereka lebih dari tiga puluh orang." berkata Ban Liang.

"Taysu" tanya Soat Kun kepada Su Kay. "Apakah taysu masih belum melihat It Tie?"

"Belum Siecu," sahut sipendeta.

"It Tie menjadi pemimpin." Kata pula sinona. "Kalau dia tidak berada dimuka. Pasti dia mengambil tempat paling belakang. coba taysu mengawasi pula dengan teliti"

su Kay Taysu memandang kedepan. "Jaraknya masih terlalu jauh, Siecu" katanya kemudian "Debupun mengepul naik dan tebal muka para penunggang kuda itu masih belum tampak tegas."

Dan rombongan itu mengenakan tutup kepalanya hitam, mereka juga pada mendekam diatas kuda mereka, andaikata mereka sudah datang terlebih dekat, masih sulit buat melihat tegas wajah mereka itu. Karena itu, didalam tegang hati. Su Kay ingin kabur turun gunung, guna menghadang ditengah jalan Tapi ia ingat, ia sekarang telah menjadi orang Kim Too bun, tanpa perkenan, atau perintah dari Siauw Pek. tidak dapat ia berlaku lancang.

Tiba-tiba terdengar suara Han in Taysu. "Ah Lihat, lihat... Para pengejar juga mengenakan tutup kepala hitam"

Semua orang heran, semua segera mengawasi. Benarkah para pengejar itu, jumlahnya puluhan orang, juga masing-masing bertutup kepala. Su Kay mengernyitkan alisnya.

"Heran" katanya. "Menutupi kepala berarti takut orang mengenalinya. ini. "

"Mungkin mereka bukan rombongan pengejar" berkata Nona Hoan-

Hati Su Kay terkejut. Segera dia mengawasi tajam. Semakin dekat rombongan itu datang, semakin tegas tampaknya. Nyata pakaian mereka itu tidak seragam. Terang mereka bukanlah pendeta-pendeta dari Siauw Lim Sie.

"Nona Hoan" katanya, bertambah heran "Mereka bukan orang orang Siauw Lim Sie."

Pendeta ini heran karena bingung, bukan heran karena kaget. "Berapa jauhkah terpisahnya rombongan pertama dari

rombongan yang kedua?"

"Mungkin satu lie, nona." "oleh karena mereka sama-sama menutup kepala mereka, mungkin merekalah kawan satu dengan lain-" Siauw Pek pun berkata.

"Ah sungguh heran" berkata Su Kay Taysu. "Kenapa It Tie dapat berkawan dengan demikian banyak orang Kang ouw?"

Berkata begitu ia mengawasi kearah timur selatan Terus ia menyambung. "Mestinya pihak pengejar sudah muncul."

Soat Kun yang berdiam sekian lama, mendadak tertawa perlahan.

"Taysu," tanyanya. "Apakah taysu berniat memegat seratus lebih penunggang kuda itu?"

"Benar" menyahut Su Kay cepat. "Loolap menjadi orang Siauw Lim Sie, sekarang loolap melihat simurid murtad lewat dihadapanku dapat loolap membiarkannya tanpa dihadang? Lagi pula "

saking bernafsu, pendeta ini sempat tak dapat melanjutkan kata katanya itu.

Tak tega Siauw Pek melihat keadaan pendeta itu. "Taysu, taysu merdeka." katanya. "silahkan taysu pergi, kami menantikan disini."

Mendengar suara ketua Kim Too Bun itu, bukan main bersyukurnya sang pendeta.

"Bengcu, terima kasih" dia mengucap. "Loolap cuma mau menghadang saja, asal pihak pengejar tiba, tak usah dikuatirkan yang it Tie nanti dapat lolos"

"Rombongan itu lari keras sekali, taysu" berkata Nona Hoan "Mereka mirip dengan gempuran gelombang, taysu seorang diri saja. Mana dapat taysu menghadangnya."

Paras Su Kay menjadi merah Perkataan si nona besar. "Loolap akan berbuat sebisaku" sahutnya. "Walaupun loolap mesti mengorbankan diriku, mesti loolap mencegah dan menghadang mereka itu" "Bagaimanakah letak tempat dibarat daya?" tanya Soat Kun-

"Tegalan belukar belaka, penuh dengan rumput" sahut Su Kay menerangkan.

Diam-diam pendeta ini mendapat harapan ia telah mengenal baik kepandaian sinona. Mungkin sinona itu mempunyai sesuatu pikiran-

"Sekarang yang bertiup ialah angin barat." kata Nona Hoan pula. "Maka itu, baiklah taysu pergi kebarat laut itu, untuk melepas api disana.Jikalau mereka itu dapat dirintangi oleh api, mungkin pihak pengejar akan keburu tiba"

Girang sekali Su Kay mendengar petunjuk si nona

"Terima kasih, nona" serunya, dan segera ia berlompat, untuk  lari kearah barat laut itu.

Siauw Pek beramai menyaksikan bagaimana pesat larinya pendeta itu, yang didalam waktu yang pendek sudah bagaikan lenyap diantara tegalan rumput yang tinggi dan lebat itu.

Tatkala itu, rombongan pertama sudah berada diutara.

Sementara itu, dengan tiba-tiba saja, diarah barat laut itu tampak asap mengepul, menyusul api menyala berkobar.

"Ha, sungguh sebat Su Kay Taysu itu" Ban Liang memuji.

"Tak aneh Su Kay Taysu bertindak mati-matian." berkata Siauw Pek. "inilah saat mati hidupnya Siauw Lim Pay."

Selama Siauw Pek dan Ban Liang bicara itu asap sudah mengepul dilima tempat. Itulah bukti yang Su Kay Taysu telah membakar rumput bukan disatu tempat saja.

Dengan cepat, api menjadi berkobar besar. Dari semacam tabunan berubah menjadi kebakaran, hingga sekarang terdengar juga suara meretek dari terbakarnya rumput.

Seratus lebih penunggang kuda itu agaknya terkejut melihat api berkobar-kobar disebelah depan mereka, serentak mereka memutar haluan kearah selatan Rupanya mereka itujeri sendirinya. Mungkin mereka menerka api dilepas oleh musuh. Sementara itu, apipun muncul diarah selatan itu.

Kembali rombongan itu terkejut lantas saja mereka mengambil arah timur selatan-Karena ini, mereka mengambil jalan mendaki tanjakan dimana kumpul rombongan Kim Too Bun-

Sekarang kawanan itu tampak lebih tegas. Benar saja diantara mereka lebih banyak yang memakai jubah suci, pakaian para pendeta. Selain yang memegang senjata panjang, ada juga yang membekal golok kayloo dan ruyung. Yang sisanya, pakaiannya campur aduk. ada yang singsat ada yang berjubah panjang seperti dandanan pelajar. yang seragam ialah bungkusan kepala dan muka mereka.

Dan rombongan itu bagaikan dikejar api, dari itu mereka lari terus kekaki tanjakan, atau kekaki bukit itu.

Siauw Pek semua mengawasi tajam. Tak dapat mereka mengenali It Tie. Tiba-tiba Han In menunjuk kearah timur. "Lihat disana Itulah pasukan pengejar"

Semua orang berpaling ketimur. Disana, ditanah datar, terlihat mendatangi sepuluh rombongan kecil. Tengah orang mengawasi itu, mendadak tibalah Su Kay Taysu, yang bermandikan peluh, dan napasnya memburu, sedangkan ujung bajunya hangus terbakar.

"Lihat disana, taysu" berkata Siauw Pek, tangannya menunjuk kearah timur. "Itulah pasukan pengejar"

Su Kay Taysu memalingkan kepalanya, terus ia mengangguk angguk, kemudian ia menoleh kearah Soat Kun-

"Nona, terima kasih banyak buat bantuanmu" katanya. "Siauw Lim Sie tak akan melupakan budi ini" Soat Kun tertawa perlahan.

"Harap taysu ketahui." sahutnya. "Aku berbuat ini karena melihat taysu, aku bukan membantu Siauw Lim Pay." "Loolap akan ingat budi ini buat selama-lamanya" kata sipendeta mengangguk.

"Hai lihat" tiba-tiba Giok Yauw berseru. "Lihat"

Semua orang lalu menoleh. Dikaki bukit itu terlihat munculnya beberapa orang, yang juga membungkus kepala dan mukanya. Mereka lari kepada rombongan dari beberapa puluh orang itu, agaknya untuk mempersatukan diri. Soat Kun tidak bisa melihat tetapi Soat Gie telah memberitahukannya.

Su Kay khawatir Nona tidak tahu, ia memberikan keterangannya tentang beberapa orang yang baru muncul itu.

"Jumlah mereka bertujuh?" tanya Nona Hoan "Benar, tujuh" sahut Kho Kong.

"Rupanya mereka rombongan ok Touwhu" kata Oey Eng.

Su Kay Taysu mengawasi. Iapun melihat mereka itu mirip rombongannya Hoan Pa. Siauw Pek heran hingga ia mengerutkan alisnya.

"Kenapa mereka pada membungkus kepala dan mukanya? Mungkinkah mereka sudah berjaga dahulu atau karena kebetulan saja?" katanya.

"Tak mungkin kebetulan" berkata Ban Liang. Su Kay Taysu juga mengerutkan alis.

"Kalau bukannya kebetulan, mereka mesti ada yang mengaturnya.." bilangnya.

"Kho Huhoat" Soat Kun memanggil. "Ya" menyahut Kho Kong.

"Lekas bawa Hui Siu Ouw Bwee kemari" perintah sinona. "Baik" sahut si orang she Kho, yang berlari pergi.

Api dari arah barat laut itu sudah merembet sampai ketengah tegalan Rumput kering dan basah menyala dengan cepat. Bagian tegalan yang dilanda api itu menjadi hangus hitam dan apinyapun padam.

Beberapa puluh orang bertopeng itu berkumpul disatu bagian tegalan disebelah utara. tanah disitu gundul. Terang mereka mau kebarat.

Rombongan lainnya, yang terdiri dari seratus orang lebih itu masih berlari berputaran, baru kemudian merekapun menuju kesebelah utara itu.

Sekarang ini disebelah timur, ditegalan rumput juga , sudah tampak tegas itu belasan pasukan kecil pendeta-pendeta Siauw Lim Sie. Setiap pasukan terdiri dari dua atau tiga puluh jiwa, dan setiap pimpinan rombongan ialah seorang pendeta yang telah berlanjut usianya. cepat majunya mereka. Pasukan yang pertama segera mendekati pasukan berkuda itu tetapi...bagaikan tak melihat mereka maju terus kearah barat itu mungkin mereka berniat mengambil sikap mengurung.....

Pasukan dari seratus orang lebih itu rupanya insyaf akan ancaman lawan, mereka tidak berdiam saja mereka justru maju, untuk menyerang terlebih dahulu. Maka itu, bentroklah kedua belah pihak itu.

Dengan begitu ramailah tegalan belukar itu yang berubah menjadi medan pertempuran-Berisik dengan suara bentroknya macam-macam senjata. Riuh dengan pekik dan ringkik kuda, juga seruan-seruan mereka sendiri.

Selagi pasukan yang pertama bentrok. Pasukan lain pihak Siauw Lim Sie itu bergerak terus.

Sebenarnya semua ada delapan belas pasukan. cepat sekali mereka sudah membentuk barisan rahasia To Han Tin dengan apa mereka mengurung musuh. Kali ini yang dibilang musuh ialah rombongan dari tiga puluh orang lebih itu serta yang seratus orang lebih. Karena desakan api serta letak tempat, kedua rombongan jadi berkumpul disatu tempat. Demikianlah mereka menjadi terkurung bersama. Rombongan Siauw Pek diatas bukit dapat melihat jalannya pertempuran itu. Mereka mengagumi liehaynya pasukan Lu Han Tin dari pihak Siauw Lim itu.

Mendadak ada serombongan musuh yang lolos dari kurungan, mereka menyerbu ketimur, hingga mereka bentrok dengan dua rombongan Siauw Lim Sie lainnya.

Tepat waktu itu, Kho Kong telah kembali bersama Ouw Bwee.  Dia melempar dan menggabruki orang tawanan itu ketanah. "Nona Hoan, inilah Ouw Bwee" sihuhoat memberitahukan.

"Geledah tubuhnya" Soat Kun memberi perintah.

Kho Kong segera bekerja, ia mendapatkan segumpal kain hitam, ketika ia membuka dan membebernya, ternyata itulah bungkusan kepala dan muka yang sama benar dengan yang dikenakan pasukan-pasukan "musuh" itu. Nona Hoan tersenyum.

"Ban Loo huhoat, tolong periksa orang ini" sinona meminta bantuan Ban Liang. "Dia harus dipaksa mengakui segala-galanya"

Ban Liang tertawa dingin-

"Aku si tua tahu bagaimana harus bertindak" katanya. Lantas ia maju menghampiri ouw Bwee, akan menjambak leher bajunya, buat mengangkat tubuh orang Ouw Bwee sadar, mukanya pucat-pasi.

"Tak usah mencapikkan hati." kata dia. "Aku si orang she ouw telah terjatuh ketangan kamu tanyalah segala apa, aku akan jawab"

Soat Kun memperdengarkan suara dingin. "Dari mana kau dapat bungkusan kepala hitam ini?"

"Itulah pemberian ciangbunjin-" sahut Ouw Bwee. "ciangbunjin ialah ketua partai."

"Ngaco" bentak Ban Liang bengis, yang terus menotok pinggang orang.

ouw Bwee tertawa geli, tetapi mukanya pucat tanda nyeri, dengan gugup dia berkata: "seorang laki-laki dapat dibunuh, tetapi tidak dapat dihina. Aku omong dari hal yang benar. Jangan kamu menggunakan cara-cara kejam"

Siauw Pek mengulapkan tangan mencegah si jago tua. "Dimana sekarang adanya ciangbunjin kau itu?" tanyanya.

"Di Pat kwa peng." sahut orang tawanan itu. Yang mengerti salatan dan tak sudi dikompes. "Tadi malam aku dan para adik seperguruanku berada di Lamyang. Tiba-tiba kami menerima surat perintah dari ciangbunjin kami. Aku diperintah mengajak sutee dan kedua sutee lekas pergi ke daerah Hie ciang untuk memapak It Tie Taysu, ciangbunjin dari Siauw Lim Sie."

"Siapakah yang diperintah membawa surat perintah itu?"

"Dialah pelayan ciangbunjin kami, yang sekalian membawa bungkusan kepala hitam itu."

"Pat kwa peng berada jauh di Seecuan Barat." menyela Ban Liang. "Sedangkan peristiwa Siauw Lim Sie baru terjadi satu dua hari. Apakah ciangbunjin kamu itu pandai ilmu meramalkan?"

"Itulah keajaiban partai kami, tak dapat aku menjelaskannya. Mungkin orang-orang kedua partai Kun Lun dan ceng shia Pay juga telah menerima perintah dari ciangbunjin kami itu."

Ban Liang tertawa dingin pula, katanya: "ok Touwhu Hoan pa dan Uh bun ceng tak punya ketua. Habis mereka menerima perintah siapa kah?"

"Hal mereka itu, aku si tua tak tahu."

"Apakah hubungannya ciangbunjin kamu dengan Seng Kiong Sin Kun?" Siauw Pek tanya. Ouw Bwee melengak.

"Seng Kiong Sin Kun?" ia mengulangi. "Pernah aku mendengarnya. Tak tahu aku ada hubungan apa diantara dia dan ciangbunjin kami itu."

"Hmmm, kau main tak tahu saja" bentak Ban Liang. "Rupanya kau mesti dikasih rasa" Berkata begitu, jeriji tangan si jago tua segera meluncur. Itulah Ngo Hun Souw hiat, totokan "Lima Sukma."

Tak ampun lagi, Ouw Bwee merasai seluruh tubuhnya geli dan nyeri, peluhnya mengucur membasahi kepalanya. Dialah seorang jago tetapi tak sanggup dia menderita, saking gusar dia mencaci kalang kabutan.

"Hai Ban Liang, tua bangka. Kau menggunakan siksaan, adalah kau seorang gagah?"

"Aku tanya kau" bentak sijago tua. "Kau konco Seng Kiong Sin Kun atau bukan?"

Masih Ouw Bwee gusar.

"Seng Kiong Sin Kun itu manusia macam apa?" bentaknya. "Aku sih orang she ouw adalah anggota Pat Kwa Bun"

"Hei kelinci licik" bentak Ban Liang, "Lihatlah bagaimana aku situa dengan perlahan-lahan membereskanmu"

Walaupun ia mengatakan demikian, Seng Su Poan toh menotok membebaskan orang tawanan itu dari siksaan totokan "Lima Sukma", maka itu segera saja si orang tawanan menarik napas melegakan diri.

"Kamu orang-orang yang memuja prikeadilan, begini kejam perbuatan kamu" kata dia mendongkol. "Kenapa hatimu lain dan mulutmu lain? Apakah kamu tak takut mati ditertawai orang dikolong langit?"

"cis" Ban Liang membentak. "Terhadap kamu bangsa busuk, siksaan sepuluh lipat dari inipun masih tak apa" Lalu ia menoleh kepada ketuanya dan berkata: "Tua bangka ini ada hubungannya dengan Seng Kiong Sin Kun tetapi dia membela menyangkal, karena itu aku lihat, baik dia dihabiskan saja"

"Biarkan dahulu dia hidup sementara waktu lagi." sahut Siauw Pek. Ban Liang cuma menggertak. maka juga setelah memperoleh jawaban ketuanya itu, dia jambak ouw Bwee, untuk dibawa pergi.

"Ban Liang huhoat" tiba-tiba Soat Kun memanggil. "Tolong ambilkan bungkusan hitam dari tiga orang lainnya itu"

"Baik, nona" menjawab sijago tua, yang terus lari. Dilain saat ia sudah kembali bersama tiga bungkusan kepala yang diminta itu, sedangkan ouw Bwee telah dikembalikan kedalam kereta.

Dimedan pertempuran, kebakaran rumput sudah padam seluruhnya, tetapi pertempuran masih beriangsung. Pihak musuh masih terkurung oleh beberapa ratus pendeta Siauw Lim Sie itu, yang merupakan pasukan istimewa Lo Han Tin Nampak diantara mereka yang terkurung itu ada yang mengerti Lo Han Tin, buktinya sejumlah penunggang kuda dapat menerjang sana menerobos sini walaupun mereka belum berhasil menyerbu keluar.

Pertempuran berlangsung hebat tetapi tidaklah kacau, karena dia pihak mudah dikenali. Pihak yang satu berbungkus kepala hitam, yang lain berseragam hijau.

"Taysu," tiba-tiba nona Hoan tanya Su Kay. "Apakah taysu masih belum mengerti It Tie?"

"Loolap telah memperhatikan tetapi belum tampak orang yang mirip."

"Apakah kesembilan tiangloo hadir semuanya?" Su Kay menggeleng kepala.

"Tidak. nona .Jangan tampak cuma Su Seng sutee seorang.

Dialah yang mengepalai tin itu."

"jikalau begitu, mungkin It Tie tidak ada dalam rombongan itu." Su Kay bagaikan tersadar.

"Demikianpun dugaanku, cuma loolap tidak berani memastikan. Ada kemungkinan It Tie sengaja menyembunyikan diri, untuk pada saatnya lolos kabur."

"Bagus tipu menggunakan bungkus kepala itu" Siauw Pek puji. "coba bilang, taysu, apakah rombongan itu dapat lolos dari kurungan tin?" Nona Hoan tanya kemudian-

"Disiang hari, tidak. entahlah kalau sudah malam." "Sekarang jam berapa?"

Su Kay melihat langit dan sekitarnya, ia nampak masgul. "Lekas juga gelap gulita akan datang," sahutnya. Sekonyong-konyong Siauw Pek menunjuk kearah barat laut. "Lihat disana, ada orang mendatangi" katanya. Semua orang menoleh dengan cepat.

Benarlah disana lagi mendatangi beberapa bayangan orang, setelah datang lebih dekat ternyata mereka itu berjumlah belasan. Mereka berlari-lari kearah medan perang. Su Kay Taysu nampak tenang, dia mengawasi tajam.

Hanya sebentar, rombongan itu sudah datang lebih dekat hingga jumlah mereka dapat dihitung tepat, empat belas orang pendeta dan semua mengenakan bungkus kepala hitam. Bahkan setelah mereka muncul lagi empat bayangan lain, yang datangnya pesat sekali.

Dalam ketegangan hatinya, Su Kay Taysu berkata seorang diri: "Empat orang yang belakangan itu, yang lagi mengejar, adalah Suheng Su Khong. Su It dan sutee Su Lut dan Sie wi"

"Kalau sampai Su Khong Taysu yang mengejar sendiri," berkata Siauw Pek, "Diantara empat belas orang itu tentu ada It Tie."

Sementara empat belas orang itu sudah mendekati tegalan bekas terbakar itu, terpisahnya dari Lo Han Tin tinggal delapan atau sembilan tombak. tapi mendadak mereka memutar haluan lari kebarat selatan, barat daya. Paras Su Kay berubah.

"Jikalau mereka berhasil melintas bukit, mereka bakal dapat lolos" katanya. "Jikalau taysu ingin memegat mereka, silahkan" Siauw Pek memberi perkenan. Nampaknya pendeta Siauw Lim Sie itu sangat bersyukur. "Bengcu, loolap." katanya yang terhenti dengan tiba-tiba. inilah sebab ia melihat dikiri tanjakan muncul sepuluh orang, delapan diantaranya berkerudung hitam, hingga ia mengawasi dengan perhatian. Segera ia mengenali tiga orang yang paling belakang, yang lagi mengejar tujuh yang didepannya. Mereka bertiga itu ialah Su ci, Su ceng dan Su Beng.

Delapan orang itu mulanya menuju keutara. Lalu belok kearah tempat berkumpulnya rombongan Siauw Pek. Maka itu Su Kay segera maju memapak kedepan sambil menegur: "Siapa kah kamu? Disini Su Kay"

Delapan orang itu nampak kaget. Mereka itu sudah datang dekat sekali. orang yang terdepan terpaksa menggunakan golok kaytoo membacok pendeta yang memapaknya itu.

Su Kay gusar, sambil membentak ia menangkis. Maka bentroklah tongkat dengan golok, lalu apinya meletik munCrat.

Pendeta berkerudung itu menjerit kesakitan goloknya terlepas dan jatuh, sebab telapakan tangannya luka mereka mengucurkan darah.

Ketika itu tibalah Su cu, Su ceng dan Su Beng mereka mengenali Su Kay, ketiganya lantas berseru: "Suheng, pegatlah mereka ini. Jangan kasih lolos"

Oleh karena peristiwa yang hebat itu, walaupun dia berbudi luhur. Su Kay tak dapat menguasai diri lagi, habis berkata itu, dengan hebat ia serang kedelapan murid Siauw Lim Sie itu. ia sampai lupa akan orang sendiri

Serangan hebat itu mengasih dengar suara bentrokan senjata hebat juga , dua pendeta terlepas genggamannya dan tubuhnya terguling kebawah tanjakan, maka Su Kay tinggal melayani enam yang lainnya.

Ada rombongan baru yang berlari-lari mendaki, mereka itu segera dipegat Su cu, Su ceng, Su Beng begitu bergerak. mereka bertiga tahu bahwa lawan-lawannya itu adalah pendeta-pendeta dari huruf "It."

Sementara itu Su Kay tengah melayani seorang lawan yang tangguh, hingga ia menyangka iawan itu It Tie adanya. Demikian ia berseru: "It Tie, mUrid mUrtad, apakah kaU masih tidak mau mempertihatkan wajahmu?" berbareng dengan itu, ia putar tongkatnya, mengelakkan satu serang berbahaya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar