Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 26

JILID 26

Tapi orang itu saling mengawasi, lalu mereka mengeluarkan senjata mereka, yang sama seperti pakaian mereka. Itulah Kwie tauw loo golok berkepala hantu.

"Tuan tuan, kamu majulah berbareng" berkata si anak muda yang ditengah.

Musuh itu menangkis, atas mana dua orang kawannya maju membacok, Suara beradunya senjata lalu terdengar berisik. Setelah pedangnya ditangkis, Siauw pek meneruskan menangkis kekiri dan kanan. Dengan begitu, mereka segera mulai bertarung. Kali ini si anak muda sedang bersemangat, maka juga dengan segera sinar pedangnya mengurung ketiga lawannya. Mereka itu menjadi repot menangkis, hingga mereka tak sanggup membalas menyerang. Ujung pedang tak hentinya bergantian mengancam tubuh dan lengan mereka, sendirinya mereka menjadi kaget dan berkhawatir.

Ban Liang dan Oey Eng menonton, mereka bersiap sedia untuk membantu, akan tetapi menyaksikan demikian, mereka menonton terus.

Lewat sesaat, mendadak tiga orang berpakaian hitam itu lompat mundur dan kabur. Mereka heran berbareng jeri. Sebab beberapa kali telah terjadi, selagi mereka terancam tikaman, tahu tahu sianak muda tidak melukainya. Siauw Pek membatalkan serangan mautnya itu Maka mereka jadi insaf dan mundur teratur. Oey Eng heran. "MUsuh banyak dan kita sedikit, kenapa toako tak mau merobohkan musuh? Kenapa musuh dibiarkan mengangkat kaki? Perlukah diwaktu begitu kita main belas kasihan?" demikian katanya.

Ban Liang mengerti, dia tidak merasa heran seperti kawannya yang muda itu. "Inilah dia arti dari ilmu pedang Kie Tong," katanya, "pertempuran, Thian kiam belum pernah melukai orang, kecuali karena sangat terpaksa. Didalam beberapa jurus saja, lawan biasanya mundur sendirinya. Saudara Siauw Pek telah menerima warisan ilmu kepandaian jago tua itu, pasti iapun meneladan gurunya itu."

Oey Eng tetap heran, katanya: "Kalau musuh Thian kiam tidak melukai orang, bukankah orang jahat tak usah menjadi takut?"

"Sebaliknya, karena orang insyaf, orangpun tak ada yang berani ngotot berkelahi terus."

"Inilah justru yang membuatku tidak mengerti..."

"Memang demikian. Kalau orang mengerti Thian kiam tidak lagi dipanggil Thian kiam."

"Bagaimana sebenarnya, loocianpwee?"

"Dahulu itu, ketika Kie Tong masih hidup dalam penjelajahan, ada lima orang kosen yang ingin mendapatkan ilmu pedangnya itu," sijago tua bercerita. "Untuk itu, mereka menggunakan tipu daya, yang mereka anggap sempurna sekali. Selama tiga tahun mereka menanti dalam kesabaran. Satu kali, tibalah saat yang mereka cari itu. Kau tahu, apakah yang mereka perbuat? Yang dua menyerang Kie Tong, yang tiga menonton sambil bersembunyi. Yang dua itu berkelahi dengan bergantian. hingga mereka bisa bertempur lama. Walaupun demikian, yang tiga itu tidak dapat menangkap jurus jurusnya Thian kiam, hingga akhirnya mereka berlima  ngeloyor pergi dengan masgul dan lesu."

"Benar-benar luar biasa"

"Ya Tak seorangpun yang dapat menyangkok ilmu pedang itu..." Pembicaraan mereka terputus dengan munculnya empat orang berseragam hitam, yang bertopeng hitam juga. Mereka datang dengan membawa obor. Merekapun tak membekal senjata.

"Apakah maunya mereka itu?" tanya Oey Eng heran.

"Mungkin mereka hendak mengajukan jagonya untuk menempur saudara Coh..." Ban Liang mengutarakan dugaannya. Lalu terdengar suara nyaring dari seorang berpakaian hitam itu: "Kami datang atas perintah untuk menyampaikan berita pertempuran."

"Nah, benarlah terkaanku," kata Ban Liang.

Segera muncul empat orang lain. Mereka ini berseragam merah dan senjatanya masing masing berlainan. Mereka juga mengenakan topeng, hingga hanya tampak mata dan mulut mereka Saja.

"Terang perbedaan tingkat mereka berada pada warna pakaian mereka," berkata Ban Liang. "Baik kita memperhatikannya."

"Mungkin warna merah berarti orang orang kosen mereka," Oey Eng menerka. Ban Liang mengangguk,

"Coba teliti, adakah sesuatu yang beda diantara mereka itu?" "Aku tidak melihatnya," sahut Oey Eng menggeleng kepala

setelah dia mengawasi sekian lama kepada empat orang itu.

"Coba perhatikan sulaman pada dadanya" Si anak muda mengawasi pula Sekarang ia melihat sulaman bunga, yang merah seperti bajunya, setiap orang mempunyai setangkai bunga itu, semuanya sama jumlah lembarannya. Yang beda ialah warnanya, merah dan merah muda. 

"Dasar orang tua" ia memuji jago tua itu. Sementara itu keempat orang berseragam merah itu sudah mendekati Siauw pek,

"Loocianpwee, kalau mereka itu mengepung, kita bantu toako atau Jangan?" Oey Eng tanya.

"Tak usah," sahut sijago tua. "Puluhan tahun Kie Tong malang melintang dalam dunia Kang Ouw, belum pernah ia menemui lawan yang sanggup mengalahkannya. Pernah satu kali ia dikepung delapan belas jago, tetapi belum sampai lima puluh jurus, satu per satu musuh musuhnya itu mundur sendirinya. Satu lawan satu, dikeroyok ilmu pedang Kie Tong sama saja."

Kata kata jago tua itu diputuskan oleh satu pertanyaan nyaring kepada Siauw Pek: "Tuan apakah ilmupedangmu warisan dari Thian kiam kie tong?"

"Kalau benar, bagaimana?" Siauw pek balik bertanya. Dia tertawa hambar.

"Ilmu pedang Kie Tong tak takut dikepung," berkata si baju merah yang berdiri

disebelah kiri. "Kalau benar aku mewarisi Kie Tong, kami berempat maju berbareng. Kalau tidak, lain soalnya "

Siauw pek mengawasi orang yang disebelah kiri itu, yang ia terka sebagai pemimpin Pedang dia itu pedang biasa, cuma sedikit lebih panjang. Yang kedua menggunakan-poan koan pit, senjata mirip alat tulis (pit), hanya milik dia itu berkilau merah emas dan panjangnya dua kali daripada yang lazim. Yang ketiga memegang gaetan gouwkouw kiam, yang ujung tajamnya berwarna biru, pertanda bahwa senjata itu telah direndamkan bisa. Orang keempat bersenjatakan sepasang gaetan jit-goat-siang-kauw.

o&DOoio

Empat orang menggunakan empat macam senjata tetapi mereka mau berkelahi dengan main mengepung, itulah tanda bahwa mereka telah melatih diri. Siauw Pek tidak takut hanya dia menegaskan : "Jadi kamu mau maju berbareng ?"

"Bagaimana? Benarkah ilmu pedangmu ilmu pedang Kie Tong?" lawan itu membaliki. "Tak ingin aku menjawab pertanyaanmu ini"

"Sungguh sombong " berkata orang yang bersenjatakan sepasang gae tan jit goat siang-kauw itu sambil maju untuk turun tangan terlebih dahulu. Kedua gaetannya itu, dari kiri dan kanan nergerak bagaikan "dua ekor naga keluar dari dalam air" {Jie Liong Cut Swie).

Siauw Pek menyampok kekiri dan kekanan menahan lajunya gaetan itu.

"Ilmu pedang yang bagus" memuji orang yang bersenjatakan pedang, yang terus membacok,

"Dia bertenaga besar," pikir Siauw Pek, yang mendengar suara anginnya pedang. Ia menangkis membuat senjata lawan mental ke samping.

Sekarang majulah lawan yang bergegaman poau-koau-pit. Dia menotok dada. Sama seperti melayani musuh yang menggunakan jit-goat siang kauw, si anak mudapun memegat senjatanya lawan ini, hanya kali ini, ia dibarengi diserang juga oleh musuh yang memegang gaetan gouw kauw kiam, yang menikam perut. Kembali Siauw pek menangkis. Sekarang ia tahu, semua lawan tak boleh dipandang enteng.

Oey Eng bingung, "Loocianpwee, apakah kita maju sekarang ?" dia tanya kawannya.

"Tak usah saudara kecil," sahut orang yang ditanya. "Kau lihat, saudara Coh sedang berkelahi dengan bersemangat sekali,jangan kita ganggu dia. Pertempuran baru saja dimulai, Tak mudah saudara Coh terkalahkan. Misalkan kita membantu, faedahnya tidak ada..."

"Tapi tak dapat kita menonton saja " kata Oey Eng, tetap berkuatir.

"Sabar saudaraku. Aku percaya tak sampai sepuluh jurus, perubahan bakal terjadi. Lekas juga saudara COh akan mulai dengan serangan balasannya untuk memecah kurungan..."

Oey Eng menatap kemedan laga. Lekas juga hatinya menjadi lega. Benar kata Seng Su poan sijago tua yang banyak pengalamannya itu. Lagi beberapa jurus, Siauw Pek sudah lolos dari kurungan Dan Ban Liang tersenyum. "Bagaimana?" tanya pada kawannya.

"Benar dugaan loocianpwee" Oey Eng mengakui.

Diantara cahaya obor, sinar pedang Siauw Pek tampak berkilauan tak hentinya. sinar itu berputaran terus hingga perlahan lahan keempat lawannya kena terkurung.

"Sungguh luar biasa" Oey Eng memuji saking kagumnya. Baru sekarang ia melihat tegas kepandaian ketuanya itu.

Ban Liang berkata keras. "Empat orang itu berkelahi karena perintah mestinya mereka nekad," katanya. "Kalau saudara Coh melayani mereka terus secara begini, aku khawatir ia nanti keburu letih sendirinya..."

Jago tua ini tahu saudara itu masih terlalu muda dan juga kurang pengalaman.

"Habis bagaimana ?" Oey Eng bertanya.

"Seharusnya dia berlaku keras, sedikitnya dengan melukai empat musuhnya itu."

"Sebenarnya tak ada halangannya untuk membunuh sekalipun terhadap mereka " kata Oey Eng pula. "Sudah terang merekalah orang-orang jahat"

"Untuk melukai mereka, memang lebih cepat lebih baik..."

"Nanti aku peringatkan toako..." kata Oey Eng yang terus berkaok : "Toako,jangan melayani lama lama mereka itu. Mereka bukan orang orang baik-baik. Baiknya toako bunuh saja mereka itu"

Siauw Pek sendiri sudah merasa, bertempur lama lama bukanlah cara yang sempuna. Ia tahu pula, walaupun ia telah berhasil mengurung, keempat musuh bukan musuh sembarangan. Maka itu, mendengar suara adiknya, segera ia memperkeras desakannya.

Hanya dalam dua gebrakan, keempat musuh terpaksa mundur.Justru itu, si anak mudapun menggeser pedangnya ketangan kiri, sedang tangan kanannya meraba goloknya. Ia mengawasi tajam kepada semua musuhnya, terus ia berkata dingin: "Tuan tuan, kamu berempat telah melayani Thian kiam, pedang ini, apakah kamu ingin juga merasakan Pa Too golokku?"

Empat orang itu mengawasi tanpa bergerak, Rupanya mereka telah insyaf akan liehaynya pedang penakluk itu. Tapi tak dapat mereka berdiam lama-lama. Yang bersenjatakan gaetan gouwkauw kiam lalu berkata kepada kawan kawannya; "Anak ini masih muda, dia berhasil mempelajari Thian kiam dan juga Pa Too, karena usianya itu, mungkinkah ilmu goloknya sama liehaynya dengan ilmu pedangnya?"

"Juga, tak mungkin dia memiliki keuletan," berkata orang yang menggunakan tan koan pit. "Sebaiknya kita menCoba Coba..."

"Ketiga hu-hoat," berkata orang yang menggunakan gaetanjie goat siang kauw, "tolong lindungi aku, aku yang akan menCoba dia" setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, dia berlompat maju.

Siauw pek sudah bersiap sedia, menyakskan majunya orang itu, ia memasang mata terlebih tajam. Diam-diam dia menghafali kata kata ilmu golok Siang Go. Kata kata si sepasang gaetan itu jumawa, akan tetapi, selagi majunya mendekati, dia berhati hati, tindakannya perlahan. Sementara itu ketiga kawannya mengawasi tangan lawan yang berada diatas gagang golok, Mereka ingin melihat bagaimana golok itu digerakkan.

"Benar benarkah kau hendak menCoba?" Siauw pek bertanya.

Sang lawan maju terus. Dia membungkam.

"Tuan aku telah beriperingatan kepadamu.Jangan kau salahkan aku" Masih lawan itu bertindak maju.

"Kau bandel, tuan Jangan kau sesalkan aku Aku terpaksa "

Si baju merah berlagak tuli, dia maju terus. Siauw pek melihat lawan terpisah darinya tinggal tigakaki lagi, sambil berseru: "Terimalah bagianmu" ia menghunus goloknya untuk terus menyerang. "Aduh" demikian jeritan si baju merah, yang darahnya terus muncrat.

"Benar benar golok Pa Too dari Siang Go" berseru si baju merah yang bersenjatakan poan koan-pit. Dia kaget tetapi dia masih dapat mengeluarkan seruannya itu.

"Padamkan api" teriak si baju merah yang memegang gaetan gauwkauw-kiam.

Hanya sedetik, padamlah semua obor. Maka gelaplah disekitar mereka semua.

"Toako" terdengar suaranya Oey Eng. "Kau telah melukai satu orang itu berarti permusuhan makin hebat. Baik toako jangan beri ampun tiga musuh lainnya itu"

"Ya, saudara kecil" Ban Liang turut berkata. "Rahasia tentang dirimu sudah pecah, tak dapat kau main kasihan lagi" Siauw Pek memang lagi mendongkol, mendengar lanjutan kedua kawannya itu, ia menggerakkan pula goloknya.

"Aduh" demikian satu teriakan lainnya.

Kali ini yang roboh binasa adalah sibaju merah dengan-poan koan pit ditangannya.

Menyusul itu, riuhlah suara derap kaki orang, sebab didalam kegelapan itu, dua orang berbaju merah lainnya segera lari sipat kuping dan perbuatannya itu ditiru oleh empat orang berbaju hitam, yang tadi membawa obor Siauw pek mengawasi sebentar kepada mayat mayat kurbannya, ia menghela napas, kemudian ia memutar tubuh untuk kembali kedalam rumah.

"Sungguh golok tunggal jagat" Ban Liang mengutarakan rasa kagumnya.

"Terlalu hebat, terlalu telengas..." berkata Siauw Pek, "Asal golok dihunus, orang tak punya pilihan lagi..."

"Apa katamu, saudara kecil" Ban Liang bertanya. "Aku bilang, asal golok dihunus, tak ada pilihan lagi..." sahut si anak muda. Ia menghela napas pula.

"Ada orang-orang berdosa tetapi bukan dosa mati." berkata pula si anak muda, "cukup kalau dia hilang sebuah tangan atau sebelah kakinya, akan tetapi, asal aku menghunus golokku, aku tidak dapat memilih tangan atau kaki..." Mendengar itu Ban Liang terbahak.

"Jikalau kau dapat memilih, lain orangpun dapat berkelit" katanya. "Kalau sampai terjadi begitu, Hoan Uh It Too bukan lagi golok tunggal jagat"

Siauw Pek tertegun. "Mungkin kau benar, loocianpwee..."

"Toako, gerakan golokmu sangat cepat, tak sempat orang melihatnya," kata Oey Eng.

"Ya, begitu cepat hingga lawan tak berdaya sama sekali," Ban Liang menimpali. Siauw pek berdiam.

Ban Liang menepak bahu kawan itu, ia berkata: "Saudara kecil, Thian Kiam alat pembela diri dan Pa Too senjata menyerang, kau telah memiliki dua-duanya, sekarang aku mohon bertanya, dapatkah kau membedakan keduanya: yang mana yang lebih sempurna?"

Si anak muda menggeleng kepala.

"Sukar, loocianpwee. Tidak ada waktu buat kedua senjata itu saling bentrok."

"Ya, memang Kie Tong dan Siang Go belum pernah bertempur satu dengan lain, hingga orang tidak tahu bedakepandaian mereka berdua."

"Tapi itu ada baiknya," berkata Oey Eng. "Mereka dapat hidup berdampingan dengan damai..."

"Dan yang menarik hati," Ban Liang menambahkan, "sekarang Thian Kiam dan Pa Too keluar dua-duanya dan disatu tangan... Dahulu itu orang mengatakan Kie Tong dan Siang Go sengaja pergi melintasi Seng Su Kio untuk bertarung mati-hidup disana..." "Itulah tak lebih tak kurang terkaan rendah saja" Siauw Pek berkata. "Yang benar, kedua loocianpwee itu hidup dengan damai."

"Kasihan mereka, orang orang yang gagal menyeberangi jembatan maut itu..." mengeluh Ban Liang.

"Memang seharusnya, Seng su kio sukar dilalui," Siauw pek beritahu. "Aku sendiri melintasinya tanpa merasa..."

"Itulah untung bagusmu, saudara kecil. Tidak demikian, mana Thian Kiam dan Pa Too muncul pula?"

"walaupun demikian, aku tak tenang hati. Aku kuatir, aku tidak dapat memenuhi pengharapan kedua loocianpwee itu, untuk membuat pamornya tetap bercahaya..."

Tengah mereka bicara itu, tampak sinar api dipuncak gunung. Melihat itu, tiba-tiba Ban Liang ingat sesuatu, maka ia segera menarik tangan kedua anak muda disisinya. "Mungkin itulah api yang dinyalakan kedua nona" berkata ia, "Coba perhatikan, mungkin api itu merupakan suatu pertanda."

Siauw Pek kedua Oey Eng segera mengawasi. Api itu terpecah menjadi dua gumpalan asap dan mumbul naik.

"Apakah artinya itu, loocianpwee?" tanya Oey Eng  tidak mengerti. Ban Liang menggeleng kepala. "Didetik ini, akupun tidak mengerti," sahutnya. Oey Eng heran. Kalau begitu, kenapa jago tua ini menerka api itu dilepas oleh kedua nona Hoan? Iaheran tapi matanya mengawasi terus.

Api itu lalu menunjukkan keanehan lainnya. Dari dua, gumpalan berubah menjadi empat, lalu dari empat, berubah pula menjadi delapan

"Apakah artinya itu?" tanya Siauw pek yang heran seperti Oey Eng.

"Mungkin..." berkata Ban Liang, yang ragu ragu juga. Kembali perubahan pada api itu. Dari delapan gumpalan, muncul pula dua gumpalan kecil yang terus naik keatas. "Benar-benar pertanda ..." berkata sijago tua. Tapi perkataannya terputus karena segera mereka melihat beberapa sosok tubuh muncul dari tempat gelap, bertindak perlahan kearah mereka, kearah rumah. Diantaranya orang yang berjalan dimuka mengenakan pakaian putih mulus.

"Pek Liong Tongcu muncul sendiri" berkata sijago tua kepada kedua kawannya, "Saudara Coh, dialah pemimpin lawan pada malam ini, jikalau dia dapat dibekuk, tak sukar buat kita lolos dari ancaman petaka ini..."

"Lihat Lihat api itu" Oey Eng berseru.

Siauw Pek dan Ban. Liang mengawasi kepada api, yang kembali berubah, hanya kali ini gumpalan-gumpalan itu, walaupun samar samar, merupakan hurup "siu". "jaga". Itu berarti. orang harus berjaga, mempertahankan diri. Si serba putih berjalan terus, terpisah lima atau enam kaki dari pintu, baru ia menghentikan tindakan kakinya.

"Coh Siauw Pek silakan keluar untuk bicara" katanya tawar. Si anak muda tercengang.

"Eh, kenapa dia mengetahui namaku?" pikirnya. Tapi ia bertindak menghampiri, kemudian terus bertanya: "Kau siapakah, tuan?" Tiba tiba cahaya api berkelebat, maka tampak teranglah diantara mereka. Dua orang di kiri kanan sibaju putih telah menyulut lentera angin ditangan mereka masing-masing,

lentera mana terus diangkat tinggi tinggi. Orang baju putih itu mengenakan topeng.

"Kau Coh Siauw pek?" dia tanya pula habis dia mengimplang. Tak mau dia menjawab pertanyaan si anak muda.

"Ya, itulah aku," sahut Siauw Pek, sabar.

"Jadi kaulah orang yang dapat menyeberangijembatan Seng Su kio, yang berhasil memperoleh warisan Thian Kiam kie tong dan Pa Too siang Go?" dia bertanya pula. melit.

"Tidak salah Habis bagaimana?" "Apakah kau yang tadi membinasakan dua Ang ie hu hoat dari pihak kami?" masih siserba putih itu mengajukan pertanyaannya. "Ang ie hu hoat" ialah "pelindung undang undang berseragam merah."

"Jikalau kau artikan orang orang yang menyerang aku dan kita jadi bertempur karenanya, ya"

"Oh, hebat ilmu silatmu" mendadak siserba putih berseru, dia memuji sambil membentak terus dia tertawa dingin.

"Kau cuma memuji" kata Siauw pek tenang.

"Eh Coh Siauw pek, maukah kau turut punco menjenguk leng tong?" kembali si serba putih menanya. Dia membahasakan dirinya punco, makajelaslah bahwa dia menjadi tongcu, kepala, dari Pek Liong Tong, bahagian "Naga Putih" dari perkumpulannya itu. Dia pula menyebut "leng tong" yang berarti "ibumu yang terhormat" sebagai pertanda bahwa dia masih menghormati sianak muda. Siauw pek terkejut.

Ia merasa seperti juga dadanya tertentu hebat. Ia kaget bahkan heran toh hatinya terpengaruh juga.

"Ibuku telah mati dalam pertempuran didepan Seng Su kio," katanya. Si serba putih tertawa dingin bagai semula.

"Yang mati itulah yang palsu. Ibumu yang melahirkan tuan masih hidup"

"Aku tak percaya" berseru sianak muda.

"Jikalau tuan tak percaya, mari bersamaku melihatnya, nanti kau memperoleh kepastian"

Tiba tiba Siauw Pek menghunus pedangnya.

"Aku ingin mencoba dahulu ilmu silatmu tuan" ia menantang.

Siserba putih itu melengak. Ia rupanya tak menyangka akan tantangan itu. Setelah sadar dia tidak menjawab, hanya dia berkata, tetap dengan nada dingin: "Tuan jikalau hari ini kau tidak pergi menemui ibumu aku kuatir lain kali bakal tidak ada kesempatan lagi!"

Siauw Pek berdiam. Ragu ragu.

Mendadak Ban Liang menyela: "Saudara Coh. Jangan beri dirimu dipedayakan"

"Jangan khawatir..." berkata si anak muda yang terus menatap tajam siserba putih, untuk berkata: "Tuan, jikalau kau tak tega menghunus senjatamu, maaf aku hendak turun tangan"

Masih siserba putih berlaku tenang. Katanya dingin: "Jikalau kau tidak percaya perkataan punco ini, kelak di belakang hari punco khawatir kau bakal menjadi sangat menyesal"

Tapi sekarang dia tidak hanya berbicara saja mendadak tangan kanannya bergerak, maka di lain detik, ditangannya itu telah tercekal sehelai joan pian, cambuk lunak mirip tubuh ular habis itu dia menambahkan:

"Andaikata tuan benar mewarisi Thian kiam dan Pa Too, punco tak takut padamu" Siauw pek sudah mengangkat tangannya, untuk menyerang, tapi tiba-tiba ia membatalkan.

"Dimanakah ibuku sekarang?" ia tanya.

"Tak jauh dari sini, dirumah seorang petani" sahut siserba putih. "Saudara COh" Ban Liang berkata keras "Jangan kau lupakan

ilmu tabib liehay dari Ceng gie loojin yang pandai merubah wajah

orang".

Siserba putih berkata "Ilmu tabib yang lihay memang dapat merubah wajah orang tetapi tidak ingatannya, sifat diantara ibu dan anaknya"

Ban Liang berlompat keluar. "Saudara Coh, jangan kena tertipu" ia berseru.

Siserba putih mengawasi tajam sijago tua, "Kau siapakah?" dia bertanya bengis. "Seng sultan Ban Liang" siorang tua menjawab.

"Ha ha ha" orang itu tertawa lama. "Aku siapa, kiranya kau Kau berumur panjang juga"

"Mendengar kata katamu tuan, rupanya kau kenal aku?" kata sijago tua.

"Pernah kita bertemu beberapa kali." "Kau siapa, tuan?"

Orang itu tertawa dingin.

"Jikalau kau ingin ketahui namaku, tunggulah lain waktu" sahutnya.

"Kapankah"

"Sedetik dimuka kematianmu" Sekarang Ban Liang yang tertawa.

"Masih ada satu waktu lainnya" berkata ia menimpali lagak orang. "Rupanya tuan melupakan waktu itu"

Si serba putih agak heran. "Kapankah waktu itu?" dia tanya.

Ban Liang tertawa pula. "Sesudah kau mati, tuan. Ketika itu maka banyaklah waktu luang untuk aku mengenali wajahmu"

Orang tua ini segera berpaling kepada kawannya. "Saudara COh, jikalau kau dengarkan kata kata dusta manis madu dari orang ini, bukankah kau jadinya kena terpedayakan?"

"Jikalau dia bicara benar?" Siauw Pek balik bertanya. "Jika kata katanya benar, maka dia haruslah ditawan. Mustahil kau tak akan bertemu dengan lengtong?"

Siauw pek berdiam sejenak. "Loocianpwee benar" katanya.

Kemudian dia maju untuk menikam. Si serba putih berkelit.

"Jikalau kau dengar siorang she Ban, kamu bakal menyesalpada akhirnya" berkata dia. Siauw pek tidak meladeni kata kata orang itu, ia mengulangi serangannya. Tak dapat si serba putih tak melayani kecuali dia mau dapat celaka, maka dia lalu berkelit, untuk balas menerjang. Pandai dia menggunakan senjatanya, cambuk yang lunak itu. Diapun lincah sekali Tapi Siauw Pek bukan berkelahi secara biasaia bukan diserang lebih dulu, ia hanya menyerang, maka ia segera mendesak.

Ia perlihatkan Tay Pie Kiam hoat, Ilmu Pedang Mahakasih.

Baru lima jurus, cambuk lunak mirip ular dari siserba putih sudah kena terkekang, tak peduli tongcu itu sebenarnya gesit dan lihay.

"Saudara Coh" Ban Liang berseru. "Jangan kau binasakan dia, dia harus ditangkap hidup"

Itulah kata kata biasa akan tetapi buat si serba putih, itulah hebat. Dia justru kena terpengaruhkan, karena waktu itu dia telah insaf bahwa dirinya terancam bahaya, karena dengan joan pian dia tidak bisa berbuat banyak dia terlalu repot membela diri.

Siauw pek benar benar memperhebat serangannya, hingga orang cuma bisa berkelit berulang ulang. Sayang orang itu memakai topeng, jikalau tidak, pasti akan terlihat wajahnya yang menunjukkan dia sangat bingun dan khawatir. Yang jelas ialah gerakan gerakan kakinya mulai tak teratur.

Setelah sepuluh jurus tak dapat si serba putih bertahan lagi, maka tiba tiba dia mencelat keluar dari gelanggang.

Siauw Pek tertawa dingin. Dia memasukkan pedangnya kedalam sarungnya, dan sebagai gantinya terus ia meraba gagang goloknya. Ia menghadapi lawan dan bertanya: "Tuan, kau sudah belajar kenal dengan Thian Kiam Apakah sekarang aku juga mau menCoba Pa Too?"

Si serba putih tidak menjawab, hanya mendadak dia menepuk tangan tiga kali. Lalu datang sambutan yang berupa siulan panjang disusul dengan nyalanya api ditempat gelap sejauh sepuluh tombak, maka segera tampaklah empat batang obor. Itulah empat orang berseragam hitam, yang terus bertindak menghampiri. Dibelakang tiap orang itu mengikut masing masing empat orang lainnya yang berseragam merah, yang semuanya bersenjatakan Kwie tauw too golok Kepala Setan yang tebal dan mantap. Cepat datangnya keempat obor itu sebentar saja mereka sudah berada disisi si serba putih.

Baru sekarang si serba putih berbicara. Katanya: "Thian kiam kie tong dengan sebatang pedangnya sudah malang melintang dalam dunia Kang Ouw puluhan tahun tanpa lawan, maka itu kalau tuan telah menjadi ahli warisnya, beranikah kau menCoba Cap jie Lian hoan Too Tin?"

"Cap jie Too tin" ialah barisan teristimewa yang bersenjatakan golok berantai (too lian hoan) yang terdiri dari dua belas orang "capjie" Selagi dia bicara itu, dengan sendirinyalah orang orang dari barisan istimewanya itu sudah segera mengambil sikap mengurung sianak muda.

Ban Liang yang pengalaman memasang mata yang setajamnya. "Saudara   Coh,"   dia   memperingatkan.   "mereka   ini   hendak

mengepung kau, maka  tak  usahlah kau  main  belas  kasihan  lagi,

sebelum mereka rampung mengatur barisannya, baik kau mendahului menghajar mereka untuk merobohkan beberapa diantaranya"

Jago tua ini menjadi ingat "Lo Han Tin", barisan istimewa hehat dari partai Siauw Limpay. Maka tidak mau ia kawannya nanti bahaya. Ia tahu, kalau sebuah tin mau dihancurkan, cukup dengan merobohkan satu atau dua anggotanya. Ia juga heran ada tin terdiri dari dua belas orang, sedangkan yang biasa hanya lima atau delapan orang saja.

Luar biasa cepatnya, pasukan istimewa lawan sudah teratur sempurna.

Siauw pek batal menghunus goloknya, ia mencabut pula pedangnya. Ia menoleh kepada Ban Liang seraya berkata: "Loocianpwee, silakan mundur kedalam rumah" Jago tua itu tahu bahwa dia tidak bisa membantu, terpaksa dia mengundurkan diri. Si serba putih tertawa selekasnya melihat barisannya sudah teratur rapih.

"Barisanku ini istimewa untuk menghadapi Thian kiam dari Kie Tong" katanya tawar.

"Jikalau aku tak dapat lolos dari tin ini, aku akan menggunakan golokku untuk kau rasakan" berkata si anak muda, sabar tetapi hambar nadanya. Orang itu tertawa dingin.

"Sekalipun Kie Tong hidup pula, kukira dia pun tak akan mampu keluar dari barisanku ini" katanya jumawa. Dia merasa pasti dan bangga sekali.

"Kau ngaco belo" bentak Siauw pek gusar. "Siapa bilang Kie Loocianpwee sudah menutup mata? Ia masih sehat walaflat sampai detik ini"

Saking murkanya, anak muda ini segera menyerang kesebelah timur dimana ada salah seorang musuh yang berdiri paling dekat dengannya. Musuh itu menangkis dibantu seorang kawannya, hingga kedua batang golok bentrok dengan pedang, hingga terdengarlah suaranya yang nyaring.

Segera setelah yang ditimur itu bergerak, bergerak jugalah anggota anggota lainnya, maka serentak bergeraklah seluruh barisan istimewa itu, hingga dari segala penjuru datang ancaman golok tebal dari mereka.

Siauwpek tidak takut, ia memutar pedang serta tubuhnya, guna menghalau setiap serangan, walaupun masih mengurung, ia toh masih sempat membalas menyerang karena ia dapat bergerak dengan lincah. Si serba putih, yang berada diluar medan pertempuran, terdengar tertawa dingin.

Terus dia berkata keras, tetap dingin: "Empat puluh delapan jago telah bersatu, berdasarkan pengalaman mereka bertempur dengan Thian kiam kie tong, mereka memahamkan gerak gerik Thian kiam, kesudahannya ialah mereka telah menciptakan ini pasukan istimewa Cap jie Lian hoan Too Tin. Dua belas orang anak muda telah dipilih, dilatih merupakan barisan golok ini. Maka itu, sekalipun Kie Tong sendiri yang bertempur disini,jangan dia harap mampu meloloskan diri, apalagi kau, Coh Siauw Pek Si anak muda"

mendengar kata kata itu, yang bernada ejekan, ia tak menghiraukan. Ia hanya berseru, lalu menabas beruntun tiga kali.

Cap jie Lianhoan Too Tin benar istimewa sanggup dia mengurung terus. Setiap anggotanya dapat menangkis serangan lawan yang dikurungnya itu. Maka itu untuk sementara, kedua belah pihak nampak sama unggulnya.

Ban Liang mengundurkan diri tetapi dia tidak bersembunyi. Dia menonton. Maka dia melihat bahwa benar benar tim musuh itu berbahaya. Dia menjadi heran dan kagum Dia tidak menyangka saking liehaynya Kie Tong, ada orang orang yang bersatu hati, berkumpul bersama-sama memahami ilmu pedangnya itu untuk membangun sebuah ilmu penantangnya. Sekarang tin itu telah berhasil diciptakan, bahkan sekarang tengah dicoba Liehay adalah orang yang mendapat pikiran mengumpulkan orang buat memahami Thian Kiam. Siapakah dia? Kenapa dia dapat memikir dari jauh jauh hari itu? Ia mengasah otaknya tapi sukar mengingat ingat keempat puluh delapan orang Rimba Persilatan yang liehay siapa siapakah mereka itu?

Pertempuran berjalan terus, Siauw Pek tidak terancam bahaya tetapi ia masih tidak bisa memecahkan barisan istimewa itu hingga ia belum meloloskan dirinya. Nampak kedua pihak sama kuatnya.

Si serba putih terus menonton. Dia rupanya sangat memperhatikan jalannya pengurungan. setelah sekian lama itu, tiba tiba dia berseru. "Perkecil barisan" Itulah aba-aba.

Perintah itu diturut segera. 12 pemuda itu lalu merangsak  dengan penyerangannya yang teratur. Bergeraklah golok mereka juga menjadi lebih cepat, hingga cahayanya makin berkilauan.

Ban Liang mendengar dan melihat, ia tercengang. Ia kagum berbareng khawatir. Hebat desakan tin itu. Nampaknya sangat membahayakan. Kalau sebatang golok menyerang maka dua batang yang lain mencobanya mengekang terlebih dahulu kepada pedang, supaya pedang itu sukar bergerak ataupun digerakkan. Tidaklah heran kalau sekarang suara beradunya senjata bertambah hebat, bertambah nyaring dan berisik.

Oey Eng pun berkhawatir seperti jago tua bahkan dia berlebih lebih.

"Kelihatannya pedang toako kena dikekang musuh." berkata ia kepada sijago tua.

"Kalau pertempuran in berlangsung terlalu lama, itulah berbahaya. Bagaimana kalau kita maju untuk membantu?"

"Jangan" berkata Ban Liang. "Kalau kita maju, mungkin kita sukar berbuat banyak, sebab ada kemungkinan si serba putih nanti mengambil tindakan lain, bagaimana kalau dia perkuat kurungannya?"

"Toh tidak dapat kita menonton saja ?"

"Baik kita menanti sebentar lagi," sahut Ban Liang, "Memang saudara Coh telah kena dikurung, tetapi belum ada tanda-tandanya dia terdesak atau kewalahan."

Oey Eng berdiam dengan hati yang tetap tegang. Ia menonton dengan perhatian penuh.

Dan serangan anggota anggota tin makin seru, kalangannya makin kecil. Nampaknya siauwpek diserang hebat sekali. Walaupun demikian, si anak muda masih bertahan, dia tak mejadi repot.

Ban Liang heran, dari heran, dia tak tenang hati sendirinya. Dia berpikir, "Saudara Coh telah kena dikurung. ia terkekang, kenapa ia tidak juga mencoba membalas kepungan?" Dia juga menjadi tegang seperti Oey Eng. pada akhirnya dia berseru tanpa merasa:

"Saudara Coh, kau telah terkekang, mengapa kau tidak mau menggunakan golokmu?" Siauw Pek mendengar suara itu. Tiba-tiba ia menjadi penasaran. Memang ia telah terkurung rapat, sukar baginya untuk memecahkan kurungan itu. Ilmu pedangnya cuma bisa dipakai membela diri, buat melayani lawan, tetapi sulit dipakai membebaskan diri. Tin itu sangat gesit dan rapat.

"Ya, buat apa aku menanti sampai aku terancam bahaya?" pikirnya. Segera ia mengambil keputusan. Dengan sebat ia pindahkan pedangnya ke tangan kiri, dan dengan tangan kanan itu ia menghunus goloknya. "Awas kamu" ia membentak. "Aduh" demikian suara sambutannya. "Aduh" begitu satu suara susulan lainnya.

Dan dua orang anggota Capjie Lian hoan Too Tin roboh bermandikan darah.

"Saudara Coh" Ban Liang berseru melihat kesudahan bekerjanya Hoan Uh It Too yang ampuh itu, "Saudara, permusuhan telah ditanam, kau telah membinasakan dua orang, kau binasakanlah semua Apa bedanya satu dua jiwa dengan sepuluh jiwa ?" Tapi habis menyerang Siauw Pek segera menyimpan goloknya yang hebat itu, untuk menukar dengan pedang pula. Karena dengan robohnya satu dua anggota saja, tin itu menjadi hilang  kekuatannya, dari mengurung, mereka berbalik terkurung sinar pedang.

Si serba putih melihat kesudahan itu, diam diam menarik napas dan berkata seorang diri "benar benarlah, Thian kun It kiam  Hoan uh It Too Pedang Tunggal Dunia, Golok Tunggal Jagat. Seorang memiliki dua orang ilmu silat itu, ah, jangan-jangan akan sia sia saja usaha Kun Cu..."

Suara orang itu berat tetapi peralahan. Ban Liang tidak mendengar tegas, samar samar ia mendengar sebutannya, "KunCu" itu. Ia menjadi heran. Siapakah orang Kang Ouw yang mendapat sebutan itu? "Kun Cu" berarti "raja". Dengan robohnya dua kawannya anggota anggota tin itu tidak berani bertempur lebih jauh, sedang Siauw Pekpun menghentikan perlawanannya. Sibaju putih menghela napas, lalu dia mengibaskan cambuk lunaknya. " Kamu pulanglah," perintahnya. Semua orang itu yang tinggal sepuluh lalu mengundurkan diri danpergi. "Thian kiam dan Pa too benar benar bukan nama kosong belaka," berkata siserba putih kemudian. "Malam ini mata punco telah terbuka" Lalu ia memutar tubuhnya, buat ngeloyor pergi.

"Berhenti" membentak Siauw pek, suaranya dingin Ia menyimpan pedangnya, untuk sebaliknya meraba goloknya. Orang itu berpaling.

"Tuan hendak bicara apa?" dia tanya.

"Apakah kau ingin mencoba golokku?" tanya si anak muda. "Mataku telah melihat, tak usah aku mencoba lagi," sahut si

serba putih licik,

"Jikalau kau ingin bebas dari Cobaan golok, cuma ada satu syaratnya"

"Tolong tuan sebutkan syarat itu"

"Kau bebaskan saudaraku, saudara she Kho itu" Orang itu tertawa dingin.

"Kau menggertak aku?"

"Kau mau bebaskan atau tidak?" Siauw pek tegaskan. Ia memegang gagang goloknya. Tanpa siuran angin, tutup muka si serba putih bergerak gerak, Itulah bukti dari tegangnya hati dia. Sekian lama ia berdiri diam, suatu tanda dia bingung sekali. Kemudian:

"Lepaskan si orang she Kho" ia berteriak, memberi perintah kepada pihaknya.

Suara mengiakan terdengar dari tempat beberapa tombak jauhnya, tampak lentera dinyalakan terus terlihatlah dua orang berseragam hitam berjalan mendatangi. Mereka itu membekal golok, Mereka pula mengiringi Kho kong.

Ketika itu pakaian si polos pecah tidak keruan, wajahnya sangat lesu dan suram. Rupanya dia telah menderita selama ditawan itu.

"Ah, saudara menderita..." kata Siauw Pek berduka. "Masih sanggup aku bertahan," berkata saudara itu, sebelumnya, ia berpaling dahulu kepada kedua pengiringnya. Siauw pek masih meraba goloknya, dengan mata tajam mengawasi si serba putih, ia kata bengis; "Kau boleh pergi, tuan Semoga mulai hari ini kita tidak bertemu pula"

Si serba putih tak suka mengalah, katanya: "sungguh tak pernah punco menyangka bahwa Thian Kiam dan Pa Too berada didalam satu tangan. Penghinaan malam ini akan punco ingat buat selama lamanya" Habis mengucap begitu, dengan segera dia memutar tubuhnya dan berseru. "Jalan" Lantas dia mendahului pergi.

Kedua orang yang membawa lentera berjalan dibelakang pemimpinnya itu, mereka berjalan cepat sekali, lewat sepuluh tombak, tapi mereka padamkan, lalu mereka tak tampak lagi.

Sementara itu Ban Liang telah keluar menyambut Kho kong. "Apakah kau terluka?" tanyanya.

"Cuma dikulit, tidak berarti," sahut pemuda itu. Ban liang mendongak, ia menghela napas.

"Tadi kedua nona memberi isyarat dengan api," kata ia, "lalu api itu padam entah telah terjadi apa disana. Harap saja mereka tak kurang suatu apa..."

Baru saja suara itu berhenti, tiba tiba dari tempat jauhnya beberapa tombak terdengar suara yang halus dan merdu, "Terima kasih, loocianpwee, syukur kami sehat-sehat saja"

Itulah suara Soat Kun, yang segera muncul dari tempat gelap, berjalan berpegang tangan dengan Soat Gie, adiknya. Rambut mereka yang panjang itu lepas terurai. Mereka berjalan cepat. Lekas juga mereka tiba didepan rumah. Soat Gie memandang keempat tetamunya, ia tersenyum, setelah mana Soat Kun berkata:

"Syukur loocianpwee semua tidak kurang suatu apa, jikalau tidak, pastilah itu karena kesalahan kami meninggalkan pesan tidak sempurna..." " Walaupun kami rugi, tidak nanti kami sesalkan nona," kata Siauw Pek,

Si nona menghela napas perlahan. "Musuh tangguh sekali, inilah diluar terkaanku," ia mengakui. Ban Liang tertawa lebar katanya;

"Meski musuh tangguh, kitalah yang menang. Benar musuh tidak musnah tetapi mereka toh kabur sipat kuping"

"Adikku memberitahukan kepada bahwa golok Coh siangkong bagaikan kilat, asal bergerak tentu ada musuh yang roboh" berkata si nona tuna netra.

"Apakah kakakku belum penah memberitahukan kamu, nona nona?" tanya Ban Liang,

"Itulah golok tunggal yang telah malang-melintang didalam dunia Kang Ouw, yang semenjak munculnya belum pernah ada orang yang sanggup melayani dalam satu jurus sekalipun. Hingga golok itu menjadi tanpa lawan"

"Jadi itulah Toan Hun It Too yang termasyhur?" si nona tanya.

"Benar, nona Bukankah kakak Hoan pernah menuturkannya?" "Semasa hidupnya, suhu pernah membicarakan tentang ahli ahli

silat dijamannya dan ia telah berceritera tentang Kie Tong dan Siang Go."

"Kakak Hoan cerdas luar biasa, luas pengetahuannya," berkata Ban Liang, "entah apa katanya mengenai Thian kiam dan Pa Too itu?"

"Suhu bilang, walaupun Thian kiam liehay, masih ada lowongan untuk dilawan," sahut si nona, "Orang mesti pandai silat dan cerdas luar biasa untuk mengetahui kekurangan itu, untuk memahamkan suatu ilmu untuk menentangnya. Tidak demikian dengan golok Siang Go, yang sempurna tanpa cacat bagaimana kecil juga"

"Jadinya Thian kiam terbatas dan Pa Too tidak?" "Bukan begitu seluruhnya, loocianpwee, yang benar, masing masing ada keistimewaannya. Aku sendiri, aku asing dengan dua duanya, karena aku tidak pandai silat."

"Nona, apakah sudah lama kamu sampai disini?" kemudianBan Liang tanya pula.

"Benar. Sengaja kami melepas api diatas gunung dan membuat api banyak api pecahannya guna diam diam kami berjalan pulang."

"Oh, begitu? Tadinya kami menyangka itulah semacam isyarat..." Si nona tersenyum.

"Mari kita bicara didalam," ajaknya. Dengan bergandeng seperti biasanya, kedua nona itu bertindak dapat melihat, dengan bantuan adiknya, dia bisa berjalan dengan leluasa seperti juga dia tidak bercacat panca inderanya.

Soat Gie menjemput selembar sumbu diatas meja untuk menyalakannya, kemudian dipasangnya lilin, setelah mana ia menyeret kursi buat kakaknya duduk, ia sendiri terus berdiri di sisinya.

Soat Kun berdiam sebentar, lalu ia berkata "Sebenarnya kami merencanakan berdiam tiga hari dikuburan suhu, untuk menemani, buat sekalian memikirkan rencana kita terlebih jauh. Sekarang telah terjadi peristiwa diluar dugaan ini, terpaksa kami mengambil keputusan lain. Sulit buat kita tinggal lebih lama pula disini, bahkan kita mesti berangkat sekarang juga."

"Kakak Hoan pandai luar biasa, sayang semasa hidupnya ia tidak mengusahakan sesuatu" berkata Ban Liang "Tapi ia telah mewariskan kepandaiannya kepada nona berdua, tentulah menjadi harapannya yang nona nona akan meneruskan cita citanya, karena itu kamipun mengharap nona nona sudi menunjukkan kepandaianmu guna mengamankan dunia Kang Ouw, supaya hawa jahat dapat ditumpas, agar matahari dapat memperlihatkan pula cahayanya yang terang gemilang Dengan berbuat demikian, nona, kami tidak menyia-nyiakan pengharapan kakak Hoan dan juga kepandaian kami sendiri " Soat Kun menghela napas. "Loocianpvee menaruh kepercayaan begini besar kepada kami, sungguh kami merasa malu sendiri," katanya. "Sayang kami bercacat, hingga walaupun kami memperoleh bantuan suhu yang pandai, bakat kami berbatas, kami khawatir nanti menyia-nyiakan pengharapan loocianpwee sekalian..." Ban Liang tertawa.

"Lain orang lain bicara, tetapi aku, aku tahu baik sekali kepandaian kakak Hoan," ia berkata. "Nona berdua telah dapat mewarisi kepandaian kakakku itu, sekarang nona-nona dibantu saudara Siauw Pek dengan pedang dan goloknya yang istimewa, aku percaya kamu akan sanggup berbuat banyak guna kesejahteraan umum"

"Harap loocianpwee jangan terlalu memuji. Aku hanya dapat berjanji bahwa kami akan lakukan apa yang kami sanggup." Ia berdiam sejenak, dan segera meneruskan: "Seperti kukatakan tadi, tempat ini tidak dapat kita diami lebih lama pula, maka itu, marl kita berangkat sekarang"

Ban Liang berempat mengangguk.

"Nah silahkan nona-nona berkemas kami menantikan diluar," kata sijago tua.

Siauw pek mendahului bertindak keluar, diikuti kawan-kawannya.

Oey Eng berbisik pada Ban Liang: "Kedua nona tidak dapat berjalan dengan leluasa, harus kita mendayakan alat untuk membantunya..."

"Benar, akupun telah memikirkannya."

"Sulit buat mereka turut kita, bukankah baik kita menyediakan kereta berkuda?"

Ketika itu kedua nona sudah muncul. Mereka cuma membawa sebuah bungkusan. Mereka berjalan berendeng, tangan kanan sikakak dibahu adiknya. "Nona, loohu ingin bicara, harap kamu tidak berkecil hati," berkata Ban Liang perlahan.

"Apakah itu, loocianpwee? Silahkan" "Untuk peejalanan kita ini, nona hendak menggunakan cara apa?" Ban Liang tanya. Soat Kun menghela napas.

"Sudah biasa semenjak kecil kami berjalan kaki saja" sahutnya. "Peejalanan kita jauh tujuannya," berkata Oey Eng, "entah buat

berapa bulan dan tahun tak tahu dimana kita bakal berhenti, karena itu, baiklah nonai menggunakan kendaraan..."

Soat Kun berpikir sejenak, lalu dia menjawab: "Baiklah kalau begitu. Kami menyusahkan saja. Terima kasih"

"Sekarang kita menuju kebarat," kata Ban Liang "Dua puluh lie disana ada sebuah kota, disana saja kita cari kereta kuda."

"Baiklah, loocianpwee," kata sinona.

"hanya..." ia berhenti sesaat, lalu ia melanjutkan: "Kami baru mulai memasuki dunia Kang Ouw, pengalaman kami tidak ada, kamipun bercacat, karena itu, hati kami kurang tenang. Sementara itu aku menerka mesti ada musuh-musuh kita yang bakal merintangi kita. dalam hal ini meskipun benar ada adikku, yang akan memberitahukan sesuatu kepadaku, aku khawatir dia masih kurang sempurna, karenanya aku harap loocianpwee membantuku memberitahu setiap gerak gerik musuh, agar kita dapat bersiap sedia menghadapinya..."

"Itulah pasti, nona." Ban Liang memberikan janjinya. Sementara itu Oey Eng berpaling kepada Kho kong.

"Saudara dapatkah kau berjalan?" tanyanya. "Dapat" sahut sang adik, "Lukaku cuma luka dikulit"

"Bagus Nah mari kita berangkat" mengajak Oey Eng. Kho kong segera berjalan dimuka.

Oey Eng maju, akan mendampingi adik yang polos itu.

Mereka berjalan belum satujam, tiba sudah mereka ditempat yang dituju. Ditengah jalan mereka tidak menampak rintangan apa apa. Langsung mereka pergi kerumah penginapan, untuk bersantap dan beristirahat. Ban Liang menyuruh tuan rumah menolong membeli sebuah kereta dan dua ekor kudanya yang terpilih. Maka itu, dengan kedua nona duduk dikereta, mereka melanjutkan perjalanan,

Tatkala itu matahari sudah mulai Condong kebarat. Dengan memegang cambuk. Ban Liang sendiri yang mengendarai kereta itu.

"Locianpwee, kita menuju kemana?" tanya Siauw Pek, Mereka memang harus menentukan arah.

"Ke Siauw Lim Sie" sahut sijago tua. "Untuk apa loocianpwee ?"

Orang yang ditanya tertawa. "Saudara kecil. namamu sudah dikenal umum," katanya.

"Itu artinya, kau telah muncul didalam dunia Kang Ouw. Mungkin sekarang ini namamu sudah menimbulkan kegemparan, bukankah kau tak perlu menyembunyikan diri lagi?"

"Lalu disana kita meminta penjelasan mengenai peristiwa keluargamu."

"Maukah It Tie taysu menemui aku? Ciang bunjin dari Siauw lim sie itu pernah beradu tanganku ketika kami bertemu dipuncak Ciong Gan Hong digunung Heng San" "Ciangbunjin" ialah ketua partai persilatan

Ban Liang tersenyum.

"Jikalau dia tak sudi menemui secara baik-baik, tak dapatkah kita memaksa?" sahutnya. Ia berdongak, untuk melepaskan napas melegakan hati, "Dunia Kang Ouw sangat kacau, banyak partai, banyak maunya, beraneka macam sepak terjangnya. Dan musuh dari Pek Ho Po adalah delapan belas partai. Dapatkah kau memusuhi semua anggota mereka itu?"

"Aku cuma mau membalas kepada mereka yang menjadi kepala atau biang keladi, supaya arwah ayah bundaku merasa puas. Tidak ada niatku akan memusuhi semua orang Rimba Persilatan." "Itulah benar. Nah, siapa sikepala atau biang keladi itu?" Siauw Pek terdiam.

"Jumlahnya mungkin. banyak..." sahutnya bingung. "Kau mencurigai pihak Siauw lim sie atau tidak?"

"Ketika itu dipuncak Ciong Gan HOng hadir ketua dari keempatpartai besar, semua mereka harus dicurigai."

"Apakah lima pay lainnya, berikut empat bun, tiga hwee, dan dua pang tak dapat dicurigai juga ?"

"Ah, Mereka juga sukar tak bersangkut paut."

"Jadi dalam Rimba Persilatan, kebanyakan ada musuh-musuh mu, habis kepada siapakah kau hendak menuntut balas? Kepihak Siauw lim sie, bukan? Pihak itu paling mencurigakan, kita menuju kesana lebih dahulu. Kita berlaku terus terang menanyakan soal peristiwa pek ho po, mungkin kita akan memperoleh penjelasan, lain dari itu masih ada satu soal lagi..."

"Soal apakah itu ?"

Aku anggap perlu kita menemukan Su kay Taysu. Dialah seorang loocianpwee yang harus dihargai..."

"Akupun berkesan demikian terhadap dia. Tegakah bicara itu," tiba-tiba Soat Kun dari dalam kereta menyela: "Siapa yang dituding oleh seribu orang masih belum tentu dialah yang harus dibunuh."

Ban Liang menepuk batok kepalanya. "Ah Di dalam kereta ada Khong beng wanita tetapi kita tidak menanyakannya" katanya.

"Locianpwee memuji saja," berkata sinona. "Jikalau aku ketahui duduknya hal, mungkin aku dapat membantu memikirkannya..." Suara itu merendah akan tetapi nadanya tetap pasti.

"Kami menempuh perjalanan ribuan lie justru untuk kamu berdua, nona nona," berkata Ban Liang. "Mustahil kami tak mau bicara terus terang kepada kamu ?" Lalu jago tua ini menuturkan peristiwa hebat dan menyedihkan dipek ho po itu dimana seratus atau dua ratus lebih orang terbinasakan bagaimana Coh Siauw pek bersama ayah bunda dan kedua kakaknya dikejar kejar, sampai akhirnya mereka terbinasakan dimuka jembatan maut seng su kio, cuma Siauw pek seorang yang selamat sebab dia keburu menyeberangi jembatan maut itu hingga dia berhasil mewarisi Thian Kiam dan Pa Too, sedangkan didalam kuburan Ceng Gie Loojin sianak muda beruntung mendapatkan Ceng Gie Cie Too, Golok Keadilan dari Ceng Gie Loojin siorang tua yang liehay itu, juga perempuan malam itu diceritakan dengan jelas sekali.

Selama penuturannya sijago tua, Siauw pek menambahkan dimana yangperlu, karena itu Soat Kun jadi mengetahui denganjelas seluruh peristiwa itu. Tak lupa diterangkan peristiwa di Cong Gan Hong dimana Siauw pek dijebak sampai dia bertemu dengan Su Kay Taysu. 

Begitupun keterangan hal kakak wanitanya yang katanya masih hidup.

Selama mendengarkan, Soat Kun berdiam saja, hanya kadang kadang ia memahamkan keterangan caranya dengan menggoyangkan tangan memberi isyarat, untuk kedua penutur itu berhenti sejenak, setelah mana ia memberi tanda agar orang melanjutkan terus. Halus gerak gerik si nona, yang beberapa kali tersenyum manis, tetapi beberapa kali ia mengerutkan alisnya yang lentik,

"Sayang, sayang..." Ban Liang berulang kali mengatakan didalam hatinya Kenapa nona itu cacat matanya? Coba dia tidak buta, entah berapa hebat sepak terjangnya kelak...

Satu jam lebih sijago tua memberikan penuturannya, sampai hari sudah lewat lohor.

Karena sepi-sunyi setelah sijago tua berhenti menutur, melainkan roda-roda kereta yang memperdengarkan suaranya yang berirama, bernada itu itu juga. kapan sang magrib tiba dan samar-samar tampak bintang bintang di langit. barulah terdengar si nona tuna netra menghela dan berkata. "Sungguh peristiwa ruwet, bertautan dan bergelombang. Itu menandakan wajah manusia manusia busuk..."

"Ya, nona, sulit untuk mencari sipemimpin atau biang keladi peristiwa itu," kata Ban Liang.

"Aneh pula sikap empat ketua partai di Ciong Gan Hong itu," Siauw pek turut mengutarakan herannya. "Agaknya mereka sengaja mengatur perangkap untukku..."

"Yang dinantikan bukannya kau, kebetulan saja kau yang datang," berkata si nona.

"Bukan aku? tanya si anak muda. "Habis siapakah ?" "Kamu toh ada menyebut-nyebut hek ie kiam su, bukan ?" "Benar, benar, ada kemungkinan juga," berkata Ban Liang "Hek ie Kiamsu" ialah orang orang yang serba hitam itu.

"Sekarang ini masih banyak hal-hal yang berupa tanda tanya," berkata lagi si nona,

"semua meminta perpahaman perlahan lahan, satu demi satu." "Itulah yang menyulitkan kami" Ban Liang berkata, "sekarang

loohu mengajak kamu pergi ke Siauw lim sie, nona, tolong kau berikan petunjuk kepadaku, tindakanku ini benar atau tidak?"

"Inilah bukan tindakan sempurna, tetapi ini terpaksa. Kita pergi kesana, lalu kita nanti melihat keselatan," Ban Liang tertawa. Puas dia

"Syukur pikiranku tidak salah," katanya.

"Loocianpwee tolong jelaskan pikiranmu," si nona meminta. Jago tua itu kembali tertawa. "Keponakanku yang cerdik,janganlah kau mengangkat angkat aku" katanya. Ia sekarang memanggil keponakan. "lebih baik kaulah yang mengutarakan pendapatmu"

Hoan Soat Kun tersenyum. "Menurut aku, daripada kita pergi langsung ke Siauw Lim sie, lebih baik kita menggunakan akal..."

"Apakah itu, keponakanku?"

"Kita menyebar berita mau pergi ke Siauw Lim sie, untuk menanyakan peristiwa Pek Ho po, akan tetapi kereta kita, kita tujukan keBu TOng San..."

"Bagus" memuji sijago tua. "Ini dia yang dibilang, sumbar ditimur menyerang kebarat"

"Lalu setelah mendekati Bu Tong San, kita kembali ke Siauw Lim Sie."

"Eh, kenapa begitu?" tanya Ban Liang heran ia menerka keliru siasat itu.

"Untuk membuat mereka bingung, agar mereka tak dapat menerka maksud hati kita"

"Kemudian, keponakanku ?" Mau tidak mau sijago tua jadi banyak bertanya.

"Kita lihat suasana selanjutnya. Tak dapat aku mengambil kepastian sekarang. Pihak lawan banyak yang gagah dan cerdik."

"Baiklah, nona."

Jago ini menerka sinona tak mau membocorkan rencananya.

Oey Eng dan Kho kong menganggap pikiran sinona benar, hanya mereka tidak tahu jelas maksud orang, Oey Eng memikir sesuatu tetapi ia tak berani mengutarakan itu. Kho kong sebaliknya.

"Bagus" serunya.

"Apakah yang bagus, saudara Kho?" Ban Liang tanya. "Entahlah, loocianpwee. Aku cuma merasa bagus, lainnya aku tidak tahu..."

"Oh, begitu..." kata sijago tua itu, yang mendongak melihat langit. Bulan sisir sudah mulai mengintai.

Ia bertanya, "Keponakanku apakah kita jalan terus malam malam?"

Sinona mengangguk. "Jikalau terkaanku tak keliru, sekarang ini kita sudah berada dibawah pengawasan orang" katanya dengan suaranya yang pasti. Kho kong heran. Dia melihat kesekelilingnya, yang diselubungi kegelapan. Pikirnya:

"Dalam hal hal ini, aku tidak puas terhadap nona ini. Kalau ada musuh, mustahil tak tampak tanda tandanya?..." Ban Lian melirik Siauw Pek,

"Apakah kita jalan terus, keponakanku?" ia mengulangi pertanyaannya.

"Jam berapa sekarang ini?" si nona tanya. "Sudah mendekati jam permulaan-..."

"Baiklah sebelum jam kedua kita cari tempat singgah," berkata si nona. "Kita cari tegalan yang terbuka, supaya kalau perlu kita dapat berbareng menyerang..."

"Baik"jawab Ban Liang yang segera membunyikan cambuknya, membuat kudanya lari cepat. Bertiga Siauw pek, Oey Eng dan Kho kong berlari lari dikedua sisi kereta.

Karena dilarikan keras, roda roda kereta bersuara berisik sekali. Sebagai seorang yang berpengalaman, sambil memegang kendali. Ban Liang senantiasa melihat kekiri dan kanan, kadang kadang juga kebelakang.

Kho kong lari mendampingi Oey Eng. Dia bertanya: "Kakak, malam begini, selagi rembulan terang, didepan tidak ada musuh yang memegat, dibelakang tidak ada lwan yang mengejar, buat apa kita kabur secara begini?..." Belum habis kata kata si anak muda, dari belakang mereka, ia mendengar derap kuda. Segera ia berpaling. Ia jadi melengak Ia melihat empat penunggang kuda kabur mendatangi.

"Ah, benar benar ada musuh" serunya.

"Apakah ada orang menyusul kita?" pertanyaan keluar dari dalam kereta. Itulah suara merdu dari Soat Kun.

"Ya, empat orang penunggang kuda," Siauw pek menjawab. "Baik, Pertahankan kereta kita," si nona minta.

Ban Liang menurut. Segera setelah memainkan les kudanya, roda roda keretanya menggelinding dengan lambat.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar