Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 16

JILID 16

"Bagaimana dengan lukanya toako?" Oey Eng bertanya.

" Hebat ilmu pengobatan si pendeta tua itu" berkata Kho Kong dengan penuh kekaguman-"Toako telah sembuh seluruhnya. Sekarang toako tengah duduk bersemadi. Jieko, kenapa baru sekarang kau meninggalkan kuil? Membuat toako berkuatir saja."

"Ada sebabnya kelambatanku ini, dik. Aku mengalami sesuatu yang aneh, yang mirip bagai mimpi. Toako baru sembuh, mari kita lekas pergi kepadanya, supaya dia jangan mengharap harap kita. Sebentar aku akan tuturkan kepadamu." Kho Kong setuju. Maka berdua mereka berlari lari.

Kho Kong lari didepan Ia ajak saudaranya memasuki rimba lebat. Di dalam situ tampak Siauw pek sedang duduk beristirahat.

Ketua itu rupanya mendengar suara tindakan kaki, ia membuka matanya. Maka ia segera melihat kedua saudara itu. "Saudaraku tak ada kesulitan apa apa bukan?" tanyanya.

"Ada yang mengagetkan tapi tidak berbahaya..." sahut Oey Eng, yang tanpa menanti sampai ditanya lagi, sudah menuturkan pengalamannya semenjak dia menghambat Thio Giok Yauw, hingga sinona menotoknya, sampai akhirnya si nelayan tua datang menolongnya serta mengajari ilmu silat kepadanya. Senang hatinya Siauw Pek, ia tersenyum.

"Di dalam dunia Kang ouw memang banyak orang bertabiat aneh," katanya. "Aku percaya ilmu silat orang berbaju hitam itu bukan sembarangan ilmu silat."

"Memang," kata Oey Eng. "Sayang aku bebal, tak ingat aku seluruhnya sembilan jurus itu..."

"Habis berapa jurus yang kau ingat?" tanya Kho Kong. "cuma empat"

"Tentunya kau belum beristirahat, mengasolah disini," kata Siauw Pek kemudian, "nanti malam kita lanjutkan perjalanan kita."

"Jika luka toako belum sembuh seluruhnya dapat kita singgah disini satu atau dua hari," kata Oey Eng. Siauw Pek tersenyum.

"Jangan kuatir, aku sudah sembuh seluruhnya sediakala," katanya. Sekonyong konyong Kho Kong berjingkrak.

"Mari lekas kita pergi" serunya tiba tiba.

Siauw Pek dan Oey Eng heran, hingga keduanya tercengang. "Ada apa, adikku?" tanya Oey Eng.

"cie-yam-hoa" berseru Kho Kong. "Cie yam hoa".

Tak tahu Siauw Pek apa itu cie yam hoa. Oey Eng tahu tetapi ia tidak kesusu seperti si saudara muda.

Setelah tenang, Kho Kong berkata: " Karena Cie yam hoa dapat mengusir racun, mari kita ambil lebihan, kalau nanti kita ketemu orang yang memerlukan dapat kita menolong dia. Tentang Ikan emasnya, kita boleh ambil sembarangan saja."

"Mana dapat kita pakai Ikan emas sembarangan saja?" kata Oey Eng. "Tentang cie yam hoa, itu memang bunga manjur, bolehlah kita petik lebihan-"

"Apakah itu cie yam hoa?" tanya Siauw Pek, yang masih belum mengerti.

"Itulah semacam bunga ungu tua," berkata Kho Kong, yang segera memberikan keterangannya secara panjang lebar.

"Kalau begitu, benar itulah obat yang berharga," kata Siauw Pek setelah ia mengerti duduk persoalannya.

"Mari kita pergi mengambilnya." Tapi Oey Eng tertawa.

"Buat apa terburu buru?" katanya. "Kita tunggu sampai toako beristirahat cukup,"

Siauw Pek dan Kho Kong menurut, maka mereka duduk beristirahat pula beberapa lama, baru mereka pergi kerimba dimana tumbuh pohon cie yam hoa itu.

Setelah mereka tiba ditempat tujuan, Kho Kong lalu berjingkrak. matanya melotot, wajahnya merah, agaknya dia gusar sekali^

" Kurang ajar " dampratnya. Dia terlalu Dia mengambil dengan sekalian mencabut juga akarnya

Itulah sebab pohon cie yam hoa sudah tidak ada dan tanahnya terbongkar.

"Hei, kau mencaci siapa?" tanya Oey Eng.

"Aku mencaci orang yang mencabut pohon cie yam hoa ini." "Sudah, jangan kau memaki pula. Mungkin dialah Kouw Heng

Taysu."

"Benda aneh tidak dapat diambil sembarangan orang," berkata Siauw Pek, "kita sudah ketinggalan, sudahlah." Oey Eng beranggapan demikian. "Sekarang tinggal soal Kiu Heng Cie Kiam itu," kata dia, kembali kepada soal pedang maut itu. "Nampak orang sudah mencurigai kita, karena itu kita harus berhati hati."

"Ya, itulah soal sulit," kata Siauw Pek setelah berpikir sejenak. "Tak dapatkah kita menyamar, untuk mengelabui mata orang?"

Kho Kong usulkan-

"Menyamar memang baik, cuma bagaimanakah caranya?" kata Siauw Pek.

"Kalau segalanya sulit, memang sukar kita berjalan walaupun hanya satu tindak..." kata Kho Kong, si tidak sabaran.

"Kau benar, sha tee," berkata Oey Eng. "Tanpa sebab musabab orang menuduh kita, itulah terlalu Dengan begitu maka semua orang Kang ouw memandang kita sebagai musuh musuhnya oleh karena mereka agaknya tidak lagi mengenal perikemanusiaan, aku pikir, baiklah kita juga jangan memikir lagi tentang welas asih. Ah, sungguh, didalam dunia ini ternyata ada lebih banyak orang busuk daripada orang baik baik "

Siauw Pek bagaikan terpengaruh oleh kata kata kedua saudara itu, ia berjalan mondar mandiri matanya bersinar tajam.

Oey Eng mengawasi ketua itu. samar samar ia melihat sinar kekerasan pada wajah sang ketua, sedangkan matanya mengeluarkan sorot kebencian. Diam diam ia heran, pikirnya: "oh, kalau saja saudaraku ini mengambil tindakan telengas, tentulah bakal terjadi petaka pembunuhan yang hebat sekali. Karena ini ia menjadi menyesal telah mengeluarkan kata katanya tadi. Kata katanya itu bagaikan membangunkan darah si pemuda.

Setelah mondar mandir itu, Siauw Pek menghentikan tindakannya. Sekarang ia menengadah kelangit. Berselang sesaat, ia menghela napas perlahan Hampir serentak dengan itu, lenyap sorot matanya yang bengis itu. " Keluarga ku telah kehilangan seratus jiwa lebih," katanya kemudian, "mengenai itu musuh musuhku ialah orang orang dari sembilan partai besar serta sembilan partai lainnya, jadi dapat dianggap. semua orang Rimba Persilatan... Mustahilkah satu Coh Siauw Pek membinasakan semua orang Rimba Persilatan itu?"

Berpikir demikian, anak muda ini mengawasi kedua saudara angkatnya. Lalu ia menyambungi: "Jangan kira aku tidak mempunyai kemampuan itu, andaikata aku sanggup, tidak nanti akupun jadi begitu sembrono melakukannya"

"Toako benar," berkata Oey Eng, sungguh sungguh. "Kita cuma mempunyai musuh musuh langsung, tak dapat kita menyerambetkan semua orang Rimba Persilatan-"

Siauw Pek mengulapkan tangannya, mencegah adiknya bicara terus. Walaupun demikian, ia tidak membuka mulutnya, hanya dia berdiri diam, matanya mendelong kesatu arah. Teranglah bahwa ia sedang berpikir keras.

Kho Kong heran menyaksikan gerak gerik kakak itu, ingin ia menegur, untuk menanya, tapi mendadak ia dikagetkan oleh bentakan si kakak. "Siapa di situ ?"

Dari belakang sebuah pohon besar terdengar tawa yang dingin, disusul dengan jawabannya ini:

"Aku" Menyusul itu muncullah seorang nona dengan baju hijau. "Thio Giok Yauw" seru Oey Eng, terkejut.

"Engkau benar " berkata nona itu. "Kau telah terbebas dari totokanku. Kau membebaskannya sendiri atau ada lain orang yang menolongmu ?"

Oey Eng mengawasi. Ia melihat orang bersikap sungguh sungguh. Segera ia ingat kata kata si tua berbaju hitam. orang tua itu mengajari ilmu silat istimewa untuk melayani nona ini, untuk menggaploknya " orang tua itu telah mengajari aku silat, dapatkah aku tidak mendengar kata katanya?" pikirnya lebih jauh. "Jikalau aku tidak bertemu pula dengan nona ini, tidak apa, siapa tahu, sekarang dia muncul disini... Bukankah itu berarti dia mengantarkan dirinya sendiri ?"

Meskipun demikian, pemuda ini ragu ragu, tak dapat dia mengambil keputusan.

Nona Thio berdiam beberapa lama, ia menantikan jawaban pemuda itu, tetapi karena orang membungkam, hatinya menjadi panas, timbullah kegusarannya.

"Hai, anak muda" tegurnya: "Diluar kau nampak jujur, didalam hatimu, sebenarnya kau licik. Tak dapat tidak. aku harus menghajar adat kepadamu"

Kata kata ini disusul dengan tindakannya. Si nona berlompat maju. Karena Oey Eng berada dibelakang Kho Kong, ia melewati si pemuda sembrono, tiba disisi dia itu, segera tangan kanannya melayang

Tapi Siauw Pek yang celi matanya, sebab gerakannya. Dia meluncurkan sebuah tangannya memapaki tangan si nona sambil menanya: "Nona, sudah lama kau kau datang kemari?"

Si nona tidak menjawab hanya dia membentak: "Minggir kau" inilah sebab dia mendongkol ada orang yang merintangi sepak terjangnya, hingga gagal maksud hatinya menghajar Oey Eng. Dan dalam mendongkolnya itu, terus ia menerjang Siauw Pek, beruntun

sampai tiga kali, berbareng dengan pukulan yang terakhir, tangan kanannya juga menotok kearah Oey Eng

Pemuda itu menyedot napasnya, ia mundur setindak. Karena didesak itu, ia jadi berpikir: "Tidak dapat tidak. mesti aku tempur dia. Tanpa menempur, mana dapat aku menggaploknya "

Siauw Pek sementara itu heran menyaksikan si nona gesit sekali. "Dia liehay, tidak dapat aku memandangnya rendah," pikirnya. Dan, ia tak bersedia diserang terus terusan, segera ia membalas menyerang.

Thio Giok Ya uw tidak pandang mata pada anak muda itu, ia cuma hendak memukul orang mundur, supaya ia bisa langsung menyerang Oey Eng, siapa tahu, ia justru diserang. Ia pun terperanjat. Diluar dugaannya, pemuda ini lihay. sampai ia terdesak mundur. Saking herannya menatap wajah anak muda itu.

"Ilmu silatmu tak dapat dicela" katanya hambar. Siauw Pek membalas menatap. tetapi ia tenang tenang saja.

"Sudah lamakah nona datang?" ia mengulangi pertanyaannya. "Ya, aku telah lama datang," sahut sinona akhirnya. "Memang

kenapa?"

Sejenak Siauw Pek berpikir keras. Tak ingin ia bermusuhan dengan nona itu. Karena tak ada sebabnya. Ia tak mau menambah musuh tidak karuan, apa pula musuh yang tangguh. Jika toh ia mesti turun tangan nona ini mesti dibunuh, guna mengurangi musuh musuhnya. 

Si nona berpikir seperti si pemuda. Hanya dia memikirkan hal lain Dia menerka nerka, diantara bertiga pemuda ini, dia inilah yang rupanya terliehaynya.

"Maka itu, perlu aku menaklukkan dia dahulu dua yang lainnya mudah," demikian pikirnya terlebih jauh. "Setelah merobohkan mereka, baru aku mengorek keterangan dari mulut mereka kemana atau dimana adanya Kouw Heng Taysu..." Dia hanya tahu, ketuanya liehay, akan mudah saja si ketua merobohkan si nona hingga tak usahlah ia turun tangan untuk memberi bantuannya. Maka ia berdiam saja, menonton-..

oleh karena kedua pihak sama sama menggunakan otaknya, untuk sejenak itu, mereka sama sama bungkam. Adalah si nona, yang lebih lekas tersadar. Dia bahkan segera menyerang Siauw Pek. Dia menggunakan tipu silat "Angin putuh meniup pohon yang liu yang lemah".

Siauw Pek mengeluarkan tangan kirinya, menolak serangan itu. Ia menggunakan tipu silat "Menggaris bumi membuat batas". Dengan begitu gagallah serangan si nona. Menyusul itu, ia menyambar tangan nona itu. Selagi bergerak itu, ia ragu ragu, ia harus menurunkan tangan jahat atau tidak...

Nona Thio memutar tangan kanannya, untuk membebaskan diri. Selagi berputar itu, ia meneruskan menotok nadi si pemuda. Itulah serangan sebat dan diluar dugaan. Siauw Pek terkejut.

" Inilah Tan Cie Sin Kang yang liehay " serunya. "Tan Cie Sin Kang" ialah ilmu totok "sebuah jari tangan Ia tahu dan kenal ilmu itu sebab selama dididik Cie Tong, guru itu telah menceritakan padanya banyak tentang pelbagai ilmu silat. Sambil mengelit tangan kanannya itu, untuk membuat lawan repot.

Kembali gagal serangan sinona. Ketika tangannya tersentuh tangan si anak muda, ia terkejut, ia heran-

"Dia ini liehay, liehay juga tenaga dalamnya," pikirnya. Karena memikir demikian, ia lalu berwaspada. Ia mencoba merangsak.

Tanpa bersangsi pula, Siauw Pek melayani nona itu, dengan cepat lawan cepat.

Beberapa jurus dilewatkan tanpa ada kesudahannya, suatu saat mendadak si nona melompat mundur, kemudian menghunus pedangnya yang tergembok di punggungnya.

" Dengan tangan kosong saja kita tidak memperoleh keputusan," katanya, dingin. "Mungkin, sekalipun sampai seratus jurus, akan tetapi tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Sedangkan aku tidak mempunyai banyak waktu luang, maka marilah kita mengambil keputusan dengan ilmu pedang Setujukah kau?"

"Ah, kau cari susahmu sendiri, nona," kata Siauw Pek didalam hatinya. Ia lalu menjawab: "Bersedia aku menemani kau main main, nona" lalu ia pun menarik keluar pedangnya. Thio Giok Yauw memberi isyarat, kemudian ia menikam. Ia sombong, hingga ia menggunakan tindakan yang diluar batas. Ia mengangkat kaki bergerak dengan apa yang dinamakan "Menginjak Garis Istana Tengah."

"Sungguh dia takabur" pikir Siauw Pek. "Jikalau dia tidak diberi pelajaran, sukar untuk menundukkan kesombongannya Pula, dengan melayaninya dengan wajar, entah berapa banyak waktu mesti aku gunakan-.."

Karena itu, begitu berkelit kesamping, segera ia membalas menikam. Ia menerka nona itu bakal berkelit. Tapi dugaannya ini melesat. Sebaliknya, Giok Yauw memutar pedangnya demikian rupa, untuk dipakai menangkis tikaman itu. Maka beradulah kedua pedang, dengan keras sekali, hingga selagi suara nyaring mendengung, tangan mereka masing masing bergetar keras. Maka sama sama terkejutlah mereka.

"Hm" Siauw Pek memperdengarkan suara dingin. "Sungguh satu cara yang kasar "

Mengetahui si nona berbaju hijau itu liehay, tidak ayal lagi, Siauw Pek Kiam hoat, ilmu pedang maha kasih. Ia melakukan pula penyerangan-

Si nona panas hati. Katanya menantang: "Kalau cara keras, habis bagaimana ?" Kata kata itu diikuti dengan tangkisannyadan penyerangnya membalas yang hebat.

Oey Eng dan Kho Kong menjadi kagum berbareng khawatir, mereka menonton dengan separuh mendelong. Pertarungan itu menjadi seru sekali.

Sambil bertempur, Siauw Pek heran. Ia tidak kenal ilmu pedang si nona. Bagaimana keras juga orang menyerang, dapat ia melayani dengan seksama. Ia selalu bersikap tenang.

Thio Giok Yauw menjadi pihak menyerang dan mendesak. Dengan cepat ia sudah menikam dan menebas tiga puluh enam kali, tapi semua itu tidak ada hasilnya. Lawan dapat menangkis atau mengelit. Agaknya mudah saja lawan itu membebaskan dirinya.

Dari kagum, Thio Giok Yauw menjadi terkejut. Inilah karena si anak muda mulai melakukan penyerangan membalas, bahkan luar biasa cepat ia telah kena terkurung sinar pedang pemuda itu. Sia sia belaka ia mencoba meloloskan diri. Ia hanya bisa menangkis dan berkelit, lain tidak. Dari kaget ia menjadi bingung, dari bingung ia menjadi khawatir. Ia mendongkol dan berduka sebab tetap ia tidak bisa membebaskan dirinya.

Saking khawatir dan bingung, tanpa terasa air matanya meleleh keluar.

Siauw Pek bermata jeli, ia melihat lawannya menangis, ia menjadi heran, hingga lekas lekas ia menghentikan penyerangannya.

"Eh, nona, kenapa kau menangis?" tanyanya. "Aku benci kepadamu" bentak si nona gusar.

"Apakah itu disebabkan ilmu pedangku lebih liehay daripada ilmu pedangmu, nona?" menegaskan si anak muda.

"Biarnya kau lebih liehay, tak lebih tak kurang, kau cuma melukai aku" kata nona itu, "Aku tidak takut mati"

Siauw Pek bertambah heran. "Habis, kenapakah kau menangis?" "Aku mendongkol karena kau, memang tak mau menangkan"

teriak si nona. "Kau sengaja mempermainkan aku Siapakah yang sudi menerima belas kasihan darimu?"

Siauw Pek heran. ia menyerang dengan menuruti jalannya ilmu silatnya. Tak pernah ia memikir hendak mempermainkan lawannya itu. "Aku tidak berniat mempermainkan kau, nona." katanya.

"Beberapa kali kau memperoleh kesempatan tetapi saban saban kau mengegoskan pedangmu," berkata si nona "Apakah namanya itu kalau bukan sengaja?" Mendengar kata kata itu, Kho Kong yang semenjak tadi menonton saja, menyela: "Toako kami seorang gagah perkasa, seorang yang berhati mulia mana mau dia memikir melukai kamu bangsa perempuan? Hmm Apakah tak tepat untuknya jikalau ia menaruh belas kasihan atas dirimu? oh, sungguh orang tak tahu diri "

Gusar Thio Giok Yauw mendengar kata kata orang itu. Mendadak ia melompat mencelat kepada pemuda itu sambil meluncurkan tangan kirinya cepat sekali.

Kho Kong melihat serangan datang, ia tidak berkelit, cuma ia mengangkat tangan kanannya, untuk menangkis.

Diluar sangkaan, Giok Yauw memutar tangan kirinya itu, meloloskannya dari tangkisan si anak muda, lalu sambil memutar ia melanjutkan pula. Maka: "Plok" demikian terdengar. Maka gelagapanlah anak muda itu, sebab pipi kirinya telah kena tergaplok keras sekali, rasanya nyeri

Setelah menyerang dengan berhasil itu, Giok Yauw melompat mundur pula, kalau tadi dia menangis dan air matanyapun belum lenyap dari pipinya, mendadak dia tertawa geli " Hi hi hi!! Inilah ajaran untukmu, buat ngaco belomu "

Bukan kepalang murkanya Kho Kong, sembari berteriak. ia lompat menerjang.

"Budak bau Akan aku adu jiwa denganmu " teriaknya.

Melihat saudara itu maju, Siauw Pek lompat menghadang. Saudara bukannya lawan nona yang jauh lebih liehay dan agaknyapun telengas

"Sha tee, jangan sembrono" katanya. "Nanti aku yang membalaskan sakit hatimu"

Saudara ini tahu diri, ia mundur.

Dengan pedangnya, Siauw Pek menuding si nona. "Nona, kau terlalu" katanya. " Kenapa kau lancang menghajar orang? Jikalau kau tidak memberikan keadilanmu, jangan harap kau nanti dapat berlalu dari sini "

Kedua mata jeli si nona berputar.

"Dengan bertangan kosong, kita seri " berkata dia. "Hanya dengan pedang, aku kalah setingkat. Bagaimana kalau sekarang kita mencoba dengan senjata rahasia ?"

Bingung juga Siauw Pek. Pikirnya: "Aku belajar silat tetapi tidak pernah mempelajari senjata rahasia, kalau aku menolak nona ini, itu seperti menunjukkan kelemahanku, sebaliknya apabila aku menerima baik, tak ada peganganku... Bagaimana?" Si nona mengawasi tajam. Dia menerka hati lawan-

"Takutkah kau?" tanyanya, tertawa dingin. Alis pemuda itu terbangun-

"Bagaimana caranya kita mengadu kepandaian?"

"Ah, mengadu senjata rahasia saja kau tidak tahu" nona itu mengejek. "Sungguh tolol bagaimana jikalau kita bertanding bunpie, yaitu secara lunak?"

"Secara lunak bagaimanakah?" Siauw Pek tegaskan. "Pertandingan bunpie sangat sederhana " berkata nona itu.

"Begini. Kita berdua berdiri berhadapan, terpisahnya satu dengan lain satu tombak lima kaki. Kalau yang satu menyerang dengan senjata rahasianya, yang lain berkelit. Kita membatasi menyerang sampai sepuluh kali. Siapa yang kena diserang, dialah yang kalah. Umpamakan kita menggunakan bu-pie, yaitu cara keras, lain lagi. dengan Bu pie tidak mengenal batas, siapa terhajar dahulu, dia yang kalah Jikalau kau jeri, sudahlah, tak usah kita mengadu senjata rahasia "

"Walaupun aku belum pernah mempelajari senjata rahasia, bersedia aku menemaki kau, nona," kata Siauw Pek. "Cuma..."

"Cuma apakah ?" si nona memotong. "Aku tidak membekal senjata rahasia. Lalu bagaimanakah ?" Thio Giok Yauw tertawa manis.

"Tidak apa" katanya. " Dapat aku meminjamkan kau "

Kemudian nona aneh itu merogoh sakunya, mengeluarkan segenggam gin lian cie, yaitu senjata rahasia yang mirip biji teratai. ia menghitung sepuluh biji, terus ia lemparkan pada si anak muda.

"Sambut ini" katanya. "inilah gin lian cie, semacam senjata rahasia yang termudah asal kau bertenanga dan dapat menimpuk dengan jitu, cukup sudah "

Siauw Pek menyambut senjata rahasia itu "biji teratai perak" demikian artinya gin lian cie, tetapi sebenarnya terbuat dari besi. Didalam hatinya dia berkata: "inilah cara bertanding yang aneh. Masa senjata rahasia dipinjamkan orang?" Diam diam ia tertawa dalam hati.

Segera terdengar suaranya si nona. "Oleh karena kau tidak pernah mempelajari senjata rahasia seperti katamu, silahkan kau yang mulai."

"Akulah laki laki sejati " kata Siauw Pek "Tak pantas aku menyerang lebih dulu" Nona itu tertawa.

"Jikalau aku yang menyerang lebih dulu maka kau akan kehilangan kesempatanmu " katanya.

Si anak muda menggelengkan kepala.

"Sekalipun aku terlukakan, tak nanti aku mengalahkanmu " katanya.

"Baiklah kalau begitu" kata sinona. "Karena kau berkeras tidak mau mengalah dari aku, mari kita menggunakan cara cangkriman: siapa yang menerka jitu, dia yang turun tangan lebih dahulu "

"Nah, begitu baru adil Bagaimanakah caranya?" Bagaimana, aku yang menyarahkan atau kau?"

"Kau saja, nona," kata Siauw Pek setelah berpikir sejenak. "Dapat aku yang menyarankan tetapi tak dapat kau tentang" kata nona itu, yang aneh dan nakal tabiatnya.

"Apa saja yang aku sebutkan itulah dia caranya" Siauw Pek mengernyitkan keningnya.

"Baiklah, terserah kepadamu, nona" katanya akhirnya.

Thio Giok Yauw menyingkap memebereskan rambutnya dikedua belah pipinya. Kembali ia tertawa manis.

"Nah, tebaklah, berapa usiaku?" demikian tanyanya. Siauw Pek tercengang.

"Inilah cara yang aneh," pikirnya. "Secara begini tentu sekali dialah yang menang" Tapi ia tak dapat menentang. Maka ia lalu menatap nona itu, akan menerka nerka usia gadis itu.

"Menurut penglihatanku, nona, kau baru berusia delapan belas tahun," katanya. Giok Yauw tertawa manis sekali. Dia melirik secara menggiurkan-

"Hayo tebaklah, kau menerka tepat atau tidak" katanya. Siauw Pek heran Gadis ini jail sekali.

"Tentulah terkaanku tidak tepat," sahutnya. "Umpamakan aku menebak jitu, jikalau nona tidak sudi mengaku, sia-sia saja terkaanku itu..." Nona itu tersenyum.

"Terkaanmu tak salah sedikit juga" katanya. "Nah, kau menyeranglah lebih dahulu" Berkata begitu, dia bertindak mundur sampai setombak lebih untuk berdiri tegak. "Hayo, sekarang kau boleh mulai menyerang aku"

Siauw Pek memegang dua biji gian lian cie ditangan kanannya "Hati-hati nona" katanya seraya terus menyerang, hingga kedua

biji teratai besi itu memperdengarkan suara angin bersuing. ia belum pernah mempelajari ilmu menggunakan senjata rahasia tetapi karena mahir tenaga dalamnya, serangannya itu pesat dan tepat. Ia mengincar jalan arah ceng hiat didua bahu sinona. Baru saja anak muda ini menggerakkan tangannya, si nona sudah berkelit. Dia mengegos tubuh dengan tenang. Dia seperti juga sudah tahu inceran lawan-Siauw Pek mengerutkan alisnya. Kembali ia menyerang dengan dua biji teratai.

"Cara timpukanmu tidak tepat" berkata sinona nyaring sambil dia berkelit pula. Diapun tertawa.

Tiba tiba hati sipemuda tergerak. Segera ia menyiapkan tiga biji. Ia menggunakan tangan kanannya. Mulanya ia menyerang dengan dua biji, ketika ia melihat tubuh sinona bergerak ia menyusuli dengan biji yang ketiga.

Beruntun dua kali. Nona Thio mengelitkan dirinya. Serangan luput mengenai sasarannya.

"Kali ini kau memperoleh kemajuan" kata nona itu memuji, "kau harus berhati-hati, kau sudah menggunakan tujuh biji, hingga tinggal lagi tiga buah gin liancie. Asal kau gagal lagi maka kaulah yang terhitung kalah"

Siauw Pek berpikir: "Setiap kali aku menyerang, dia mendahului berkelit, dia seperti sudah menerka sasaranku, kalau begini, teranglah bahwa aku bakal kalah." Nona itu mendadak tertawa.

"Apakah kau sudi aku mengajari kau bagaimana caranya menyerang ?" dia tanya. Kembali Siauw Pek heran, aneh nona ini Tapi dia beradat tinggi.

"Tak usah kau mengajari aku, nona," katanya tawar. "Andaikan aku tidak dapat menyerang jitu terhadapmu, kau sendiri belum tentu akan berhasil menyerangku"

Membarengi kata-katanya itu, Siauw Pek menyerang pula dengan sisa semua biji teratai besinya itu.

Thio Giok Yauw mendongak. menekuk tubuhnya kebelakang, membiarkan lewat ketiga senjata gelap itu.

Siauw Pek kecewa melihat semua serangannya gagal. Tapi dengan begini dia menjadi insaf betapa pentingnya senjata rahasia, hingga ia memikir, perlu ia mempelajarinya apabila telah datang kesempatannya. Giok Yauw berdiri pula dengan tegak. Dia tertawa. "Berhati hatilah kau!! Sekarang giliranku."

Siauw Pek menanti, bersiap sedia. "Silahkan, nona" katanya. Kedua mata si nona memain, dia mengawasi, otaknya bekerja. "Tentang kepandaianku menggunakan senjata rahasia, tak berani

aku menyebutnya menjagoi dunia Rimba Persilatan," katanya sebelum mulai menyerang, "akan tetapi mereka yang dapat menandingi aku, jumlahnya tidak banyak. maka itu andaikata kau kena terhajar, dan menjadi kalah karenanya, itulah tidak aneh."

"Dia banyak bicara, dia mau mengacaukan pemusatan pikiranku," kata Siauw Pek didalam hati. Lalu ia berkata: "Tidak apa nona, kau mulailah "

"Awas " berseru nona itu seraya dia mengayun tangannya. Maka dua sinar berkilauan meluncur pesat kearah sianak muda.

" Inilah serangan tidak aneh," pikir Siauw Pek yang melihat tegas melesatnya gin lian cie. Ia mengegos tubuhnya kesamping.

"Serangan pertama ini dinamakan Dua Dewa Membuka Jalan, inilah yang paling mudah dikelit," berkata si nona. "Yang akan menyusul ialah tipu Lulus Ujian, inilah rada sulit, hati hatilah."

Berbareng dengan peringatan itu, tiga biji senjata rahasia menyambar Siauw Pek. Ketiga gin lian cie itu bersikap mengurung, sukar buat mengegos tubuh, terpaksa si anak muda berkelit dengan berlompat nyamping. Tapi, baru saja ia berhenti berkelit, lain senjata sudah datang pula, suara anginnya terdengar nyata. Ia kaget lekas lekas ia menggeser tubuh kekiri. Akan tetapi, baru ia mengegos, lain serangan tiba pula. Hebatnya serangan paling susul itu, repot si anak muda meng elitnya.

Segera terdengar tawa sinona, nyaring dan riang, disusul dengan kata-katanya: "inilah tiga biji yang terakhir, yang paling sukar dihindari jikalau kau berhasil meloloskan diri dari serangan ini, kita jadi seri, tidak ada yang menang, tidak ada yang kalah "

"Mudah mudahan saja" kata Siauw Pek di dalam hati. Ia tidak menjawab nona itu.

Thio Giok Yauw menggerakkan tangannya dengan perlahan. Rupanya sengaja ia memperlihatkan serangannya itu. Siauw Pek melihat ia tertawa didalam hati. Ia percaya mudah akan ia membebaskan diri. Tapi justru ia berpikir begitu, terjadilah hal diluar dugaannya 

Saling susul meluncurlah ketiga gin liancie, tetapi yang terbelakang demikian pesat hingga dia menyusul yang didepannya, melanggarnya mental. Masih dia meluncur terus, untuk membentur yang terdepan. Kali ini, ketiga biji teratai besi itu meluncur berbareng sama pesatnya terbagi dalam tiga jurusan-

Menyaksikan itu, hati Siauw Pek terperanjat. Nyatalah terkaannya meleset jauh, iapun menjadi repot. Lekas ia berkelit kekanan, tetapi tidak urung sebiji teratai mengenai bahunya

Nona Thio bertindak maju dengan tindakan perlahan, wajahnya tersungging senyuman, dengan manis ia berkata: "Mencoba ilmu silat bertangan kosong, kita tidak kalah dan tidak menang, mengadu pedang aku kalah satu tingkat, tetapi dalam halnya senjata rahasia, kaulah yang kalah. Maka itu diakhirinya, kita membagi rata, kita seri "

Siauw Pek merasai bahunya sedikit nyeri, tetapi ia tidak menghiraukan, ia hanya mengkhawatirkan orang nanti ketahui tentang dirinya. Tiga belas tahun ia hidup terlunta lunta, setiap tahun tambah pengalaman dan pengetahuannya. Sekarang ia memunculkan diri buat sementara, tak ingin ia dikenal umum. Inilah untuk mencegah musuhnya meluruk mengepungnya.Jikalau itu sampai terjadi, sulit bagi dia untuk menyelidiki siapa musuh yang sebenarnya. Karena itu, bagaimana ia harus bersikap terhadap nona ini? Apakah ia mesti membinasakannya, guna menyumbat mulutnya

? Selagai sinona mendatangi, anak muda ini mengawasi tajam.

"Nona," sapany, "aku ingin mengajukan satu pertanyaan kepada kau tetapi aku mengharap kau suka menjawab dengan sejujurnya."

Sinona bertindak dengan sikap sungguh sungguh, ditanya begitu rupa, dia heran dan tercengang. Dia balik menatap. "Apakah itu ?" tanyanya.

"Apakah nona ketahui she dan namaku ?" Nona itu menggeleng kepala.

"Aku tidak tahu, sebenarnya siapakah kau?" Sianak muda bernapas lega.

"Syukur," katanya. "Nona, silahkan-"

Giok Yauw heran Pikirnya: " orang ini aneh. Kadang-kadang sikapnya tegang kadang-kadang biasa, mesti ada sebab musababnya. Hm Mungkinkah dia hendak menggertak aku ? Kalau begitu, akupun menggertaknya."

Sejak masih kecil nona ini biasa dimanjkana sesudah besar, dia bisa membawa kehendak

(hal.38-39 tidak ada)"

Berjalan didepan, Siauw Pek mendahului masuk kedalam kuil itu Itulah rumah suci dengan hanya dua kamarnya. Mereka menuju kedepan meja pujaan, untuk duduk disitu.

Oey Eng teliti, begitu masuk ia segera keluar lagi, untuk melihat sekitarnya, terutama untuk mengawasi kearah dari mana tadi mereka datang. Ia kuaitr nanti ada orang yang menyusulnya. Baru setelah itu, ia kembali kedalam.

"Agaknya kota Gak yang kacau sekali," katanya perlahan. "Kiu Heng cie Kiam bergerak seperti apa yang dikatakan naga sakti yang terlihat kepalanya tapi tidak ekornya. Dia pula bersikap sangat keras, dia menemui siapa, dia membunuh siapa. Terang itulah akibatnya saling balas membalas. Mungkin dia memusuhi seluruh Rimba Persilatan-"

"Kau benar, jieko," berkata Kho Kong. "Mungkin dialah seorang yang baru keluar dari rumah perguruan, yang hendak membuat nama. Dengan Kiu IHeng cie Kiam dia mengagetkan dan menggemparkan dunia Kang ouw."

"Kalau dia hanya hendak mengangkat nama kenapa dia mengambil jalan yang begitu?" kata Oey Eng. " Dengan cara ini, dia mendatangkan banyak musuh."

siauw Pek berbangkit, ia berjalan mondar mandir. Seorang diri ia menggumam: "Mungkinkah didalam dunia ini masih ada satu orang lain yang pengalamannya pahit getir sama dengan pengalamanku, ialah dia bertanggung jawab untuk hutang darah yang melumurkan seluruh tubuh ?"

Didalam kegelapan dan kesunyian sang malam itu, tiba tiba mereka mendengar derap kaki kuda yang sedang mendatangi.

"Ada orang " kata si anak muda.

Oey Eng getap sekali, dia berlompat bangun lari keluar pintu. Dia menerka nerka, apa Thio Giok Yauw yang datang...

Diarah selatan mulai tampak sesosok tubuh hitam gelap. pesat datangnya. Nampak orang lagi menuju kekuil itu.

Bertepatan dengan itu, datang pulalah suara derap kuda dari arah timur dan utara. Menerka dari suaranya, sedikitnya mereka itu lima orang penunggang kuda. Lekas lekas Oey Eng kembali kedalam untuk memberitahukan Siauw Pek dan Kho Kong.

"Bisajadi... itulah si budak perempuan she Thio yang penasaran karena dikalahkan oleh toako," kata Kho Kong. "Jika tidak mau melayani dia, mari kita sembunyi" "Takkan keburu" kata Oey Eng. Benar orang itu telah ada dimuka kuil. "Kita sembunyi di kolong meja", berkata Siauw Pek. Bertiga mereka menghampiri meja, akan mendekam di kolongnya.

Baru mereka bersembunyi, dua orang telah masuk kependopo.

Mereka berbaju hitam dan jalannya berendeng.

"Cap it long, apakah kau telah periksa sekitar sini?" tanya orang sebelah kiri.

"Sudah Telah satu hari aku menggunakan waktu." menjawablah orang yang ditanya itu, yang mengaku adik itu. "Kuil ini terpencil di tempat belukar, empat lima mil di sekitarnya tak ada rumah orang."

"bagus Mari kita bersihkan dahulu kuil ini"

" Tidak usah kau capai capai diri, kiu ko, telah aku bersihkan." kata cap itu long anggota yang kesebelas. Sedangkan kawannya itu, yang ia panggil kiu ko, adalah kakaknya yang kesembilan Lalu dia menyalakan api, untuk menyulut lilin di atas meja, sehingga seluruh pendopo menjadi terang.

Diatas meja itu terdapat empat buah lilin sebesar lengan Tadi Siauw Pek bertiga tidak memperhatikannya. Bertiga mereka mendekam terus, syukur meja itu besar, cukup tempat itu luang buat mereka bersembunyi.

"Sepak terjang kita menarik perhatiannya kaum Rimba Persilatan," berkata cap it long tertawa. "Telah ada gerakannya keempat bun, tiga hwee dan dua pang, demikian juga sembilan pay besar, dan mereka kabarnya sudah mengirim orang orang mereka datang kemari."

"Ya, hal kabarnya sudah ada, tinggal kenyataannya nanti," kata si kiu ko. "Malam ini Kiam cu memanggil kita berkumpul disini, mungkin ada urusan besar dan penting..."

Belum sirap suara orang ini, dua orang lain tampak memasuki kuil. Berpakaian sama hitam serupa, di punggung mereka tergendol pedang dan di pinggang kirinya tergantung sebuah kantung rumput yang besar, entah apa isinya. "Su ko Ngo ko " memanggil cap it long setelah dia menoleh. Su ko ialah kakak keempat dan ngoko kakak kelima.

Kedua orang berbaju hitam tertawa. Yang satunya berkata: "Selama hari hari yang belakangan ini saudara cap it long  senantiasa mendampingi Kiam cu, tahukah kau apa maksudnya kali ini Kiam cu memanggil kita berkumpul ? Apakah ada suatu urusan besar?" cap it long tertawa.

"Bukankah saudara saudara sudah ketahui tabiat Kiam cu ?" dia membaliki. "Kendati ada urusan bagaimana besar juga, tidak nanti Kiam cu memberitahukan kepadaku."

Ketika itu terdengar pula derap kuda, lalu muncullah empat orang lainnya. Mereka itu pun berdandan serba hitam.

siauw Pek berpikir: "Mereka semua berseragam serupa, gerak gerik mereka berahasia. Mereka pula agaknya berkepandaian tinggi. Entah apa maksud mereka berkumpul disini. Siapakah itu yang dipanggil Kiam cu? Tentulah Kiam cu tua n pedang dimaksudkan ketua mereka..."

Selagi si anak muda berpikir, lagi lagi terdengar derap kuda. Seorang muda, yang juga berbaju hitam, masuk secara terburu buru terus ia berkata dengan suara dalam : "Saudara saudara, mari menyambut kiam-cu telah tiba"

siauw Pek mengawasi pemuda itu. Ia melihat jumlah mereka sekarang menjadi sembilan orang. Mereka itu segera mengatur diri, berbaris rapi dalam satu barisan, tangan mereka diangkat tinggi keatas kepala mereka, semua bersikap tegak dan hormat. Segera terdengar suara mereka: "Kami menyambut Kiamcu yang maha agung"

siauw Pek memandang kearah pintu, maka ia segera melihat orang yang dipanggil Kiam cu itu, yang telah lantas muncul. Dialah seorang nona dengan pakaian serba hitam dan pinggangnya terlibatkan sehelai angkin, atau ikat pinggang warna merah. Dia bertindak dengan perlahan Wajahnya tidak terlihat tegas, karena mukanya tertutup sebuah topeng yang aneh berntuknya. Nona berbaju hitam itu diiring dua orang budak perempuan yang masing masing usianya tujuh atau delapan belas tahun, semua mengenakan pakaian warna hijau dengan pedang pedang tergemblok dipinggang mereka. Mereka semua cantik manis.

Si nona berbaju hitam mengulapkan tangannya, yang terselubungkan sarung tangan warna hitam juga. Katanya: "Tak usah banyak adat peradatan" Suaranya halus dan merdu.

Barisan penyambut itu menyahut, segera mereka menurunkan tangan mereka, terus mereka memecah diri dalam dua barisan campak mereka hormat dan jeri...

Si nona berbaju hitam itu, yang disebut kiamcu, bertindak menghampiri meja. Disitu ia memutar tubuhnya, memandang kesembilan orangnya.

Segera siauw Pek mendengar pula suara yang merdu: "Toa-long, jie-long dan sam long masih belum tiba, mungkin mereka menghadapi sesuatu rintangan-.."

Nona itu mengawasi juga si pemuda berbaju hitam, dia menambahkan : "ca jie long, apakah kau telah memberi kabar kepada mereka itu?"

"Sudah" sahut si pemuda berseragam hitam itu.

"Mereka itu tak menepati waktu, tak usah kita menantikannya." berkata si kiamcu, kali ini suaranya dingin.

Sembilan orang itu lalu merangkapkan tangan mereka, tanda menghunjukkan hormat pula. Lalu satu diantaranya, yang pertama dibarisan kiri, berkata:

"Su long melapor Didalam waktu lima hari murid sudah menggunakan tiga batang Kiu Heng cie Kiam membinasakan tiga orang Rimba Persilatan "

Dengan " murid", su long membahasakan dirinya sendiri. "Su long" ialah anggota yang keempat. Dialah yang dipanggil si suko tadi. "Tahukah kau tentang diri mereka itu?" tanya Hek Ie Kiam cu, si kiamcu berbaju hitam itu.

"Yang satu yaitu murid Siauw Lim Sie bukan pendeta, dan yang dua ialah orang orang dari Hok siu Po."

"Apakah mereka mati seketika ditempat?"

" Kecuali murid Siauw Lim Sie itu, yang dua mati ditempat." "Bagus" berkata si kiamcu seraya mengulapkan tangannya.

"G.Ing Kun, catat jasa s u long "

Nona baju hijau yang dikiri budak pengiring itu mengyahuti, terus dia mengluarkan sejilid buku hitam, untuk menggores satu kali, mencatat jasa su long itu.

"Ngo long melapor " terdengar satu suara lain. "Didalam waktu lima hari murid telah menggunakan sebatang Kiu Heng Cie Kiam membinasakan tongcu dari Cit Seng Hwee."

"kau tak berjasa dan tak bersalah," kata si kiamcu.

Menyusul itu datang laporan liong long, cit long dan pat long, anggota anggota keenam ketujuh dan kedelapan Mereka juga tidak berjasa tidak berdosa.

Lalu datang giliran laporan kiu long, anggota kesembilan Didalam waktu lima hari dia telah membinasakan tujuh orang liehay kaum Rimba Persilatan, maka dia berjasa dan memperoleh tiga goresan-

Cap it long dan capji long, yang bertugas menyampaikan pengumuman rapat itu, tidak berjasa dan juga tidak bersalah.

Kini tinggal seorang anggota lagi. Dialah sip long, anggota yang kesepuluh. Dia berdiri diam dengan kepala tunduk, tak bergerak.

"Eh sip long, kenapa kau berdiam saja...?" tegur si kiamcu, perlahan-Anggota yang ditegur itu memberi hormat. "Selama lima hari, murid tak berhasil membinasakan seorang juga, maka itu murid tidak dapat memberi laporan," sahutnya, suaranya dalam.

"Kalau begitu tahukah kau telah melakukan pelanggaran apa?" "Murid tahu. Terserah Kiamcu menegurnya"

"Kau harus dikutungi sebuah jari tanganmu" kata si kiamcu. "Tapi inilah kesalahanmu yang pertama kali, kau dapat diberi ampun, hanya lain kali kau mesti berbuat jasa untuk menebusnya"

"Terima kasih, kiamcu. Murid sangat bersyukur sekali "

Tepat waktu itu dari luar terdengar tindakan kaki berat tetapi cepat.

Kedua budak berbaju hijau itu getap sekali. Hampir berbareng mereka itu mengibaskan tangan kiri mereka, memadamkan api lilin kemudian tangan kanan mereka menghunus pedangnya masing masing.

Kesembilan pria berseragam hitam pula segera berpencar, melakukan persiapan pertarungan-

Didalam gelap itu, Siauw Pek memasang mata dan telinga. Ia tahu, si kiamcu tak bergerak.

Dilain pihak. dari luar segera tampak berkelebat sesosok bayangan hitam.

Pat long dan kiu long bersembunyi dibelakang pintu, merekalah yang paling terdahulu menyambut dengan serangan mereka, dengan tikaman Pedang mereka berkilauan-

orang yang menerobos masuk itu liehay. Dia melihat cahaya dan dengar siuran anginnya pedang, dengan cepat dia menangkis, hingga ketiga batang pedang beradu satu dengan lain dan menerbitkan suara nyaring.

"Tahan terdengar seruan si Kiamcu. " Orang sendiri" Ketika itu, yang lain lain pun segera mendapat tahu bahwa orang itu adalah kawan sendiri, maka semua segera menyimpan senjatanya masing masing. "Shako" menyapa cap it long.

"Benar aku Apakah Kiamcu telah datang?" jawab orang itu seraya balik bertanya.

"Punco disini" si kiamcu mendahului menjawab. Dia membahasakan dirinya punco. Orang yang baru datang itu menyimpan pedangnya.

"Sam long melapor..." katanya.

"Kenapa kau tidak menepati panggilan berapat?" si kiamcu memotong.

"Murid berangkat tepat untuk berapat akan tetapi ditengah jalan murid mendengar berita yang penting," sahut anggota itu, "karena itu murid datang terlambat. Mohon dimaafkan-.."

"Apakah berita penting itu?" si kiamcu menegasi.

"Sebenarnya murid mengintai beberapa jago Rimba Persilatan, niat murid untuk turun tangan pada waktunya, tetapi justru dari mulut mereka itu murid mendengar berita bahwa ketua siauw Lim Pay sudah datang ke Lam Gak secara diam diam..." Lam Gak ialah gunung Heng San di ouwlam.

Agaknya hati si kiamcu tergerak, hingga terdengar dia berseru tertahan "oh ..."

Lalu dia bertanya: "Masih ada siapakah lagi?"

"Berbareng juga ketua ketua dari Bu Tong pay, Ngo Bie pay dan Khong Tong Pay telah berangkat ke lam Gak. melakukan pertemuan dengan ketua siauw Lim Pay itu, hanya entah untuk urusan apa..." Kiamcu itu tertawa hambar.

"Katanya saja mereka ketua ketua partai partai besar yang lurus tetapi perbuatan mereka sebenarnya tak dapat dilihat diterang matahari" katanya. "Manakah toa-long dan jie-long?" "Kedua saudara itu dengan menyamar sudah berangkat ke Lam Gak." menjawab sam long. "Murid sengaja pulang untuk memberi laporan sekalian minta petunjuk." Hek-ie kiamcu berdiam sejenak.

"Bagus" katanya kemudian "Jikalau kita bisa membinasakan satu saja diantara ketua ketua keempat partai besar itu, perbuatan kita pasti menggemparkan dunia Kang ouw Dengan begitu, hasil kita jauh lebih menang daripada kita membunuh sepuluh atau seratus murid mereka Sekarang segera kamu menyalin pakaian dan berangkat ke Lam Gak buat sementara di sepanjang jalan jangan kamu menggunakan Kiu Heng Cie Kiam, supaya kita jangan seperti menggeprak rumput membuat ular kaget dan kabur, agar mereka itu tidak curiga."

Anggota-anggota yang berbaris dikir dan kanan itu serempak menjawab, serempak juga mereka memberi hormat, terus mereka lari keluar, maka sesaat kemudian terdengarlah suara derap kuda mereka.

Dalam sekejap. pendopo kuil kembali pada ketenangannnya. Di situ tinggal hek ie kiamcu bersama dua orang budaknya.

Sejenak kemudian terdengar pula suara halus dari kiamcu itu: "Ging CUn, coba kau pergi keluar Lihat mereka sudah pergi atau belum"

suara itu beda jauh sekali dengan suaranya yang tawar tapi keren tadi.

Budak yang dikiri menyahut, terus dia lari keluar. Dia kembali beberapa saat kemudian dan melaporkan bahwa semmua kiam su, ialah orang orang berseragam hitam itu, sudah tak nampak sekalipun bayangannya. Kiamcu itu menghela napas.

"Bagus" katanya, kembali perlahan. "Mari kita berangkat"

"Budak hendak melapor," berkata Ging Kun, "Toa kong dan kiu long sudah berjasa besar, lagi hanya satu jasa lainnya, maka mereka akan sudah memenuhi syarat nona yang menjanjikan hadiah kepada mereka itu. Kata kata nona menjadi peraturan dan kedua belas kiam supun telah mendengarnya, maka itu apabila telah tiba saatnya hadiah belum diberikan, budak kuatir mereka kecewa dan mungkin sulit untuk memuat mereka mentaati perintah..."

Siauw Pek mendengar kata kata itu. Ia heran. Apakah ada soal lainnya? Kenapa budak ini memperingatkan ketuanya itu secera demikian rupa? Aturan keras kalau hadiah telah dijanjikan, sudah selayaknya hadiah itu diberikan. Pelanggaran toh menerima hukuman.

"Apakah cuma toa long dan kiu long berdua yang telah berbuat sembilan jasa?" terdengar si ketua menanya budaknya.

"Benar mereka berdua," sahut Ging Cun, "Di belakang mereka jie long dan sam long lagi menyusul dengan pesat. Mereka ini masing masing sudah membuat delapan jasa." Kiamcu itu menghela napas perlahan-

"Harap saja didalam perjalanan ke Heng san ini dua toa long dan kiu long menemui ajalnya ditangannya ketua empat partai itu," katanya, masgul.

"Dengan demikian maka akan bebaslah aku dari kesulitan-"

"Toa long dan kiu long liehay.Jie long dan sam long hanya setingkat dibawah mereka itu," berkata Ging Cun, "kalau keempat mereka mengalami sesuatu, sukar kita mencari ganti untuk mereka."

"Pandangan budak beda daripada pandangan kakak Ging Kun," berkata budak disebelah kanan Baru sekarang dia membuka mulutnya. "Budak mau bicara mengenai si long. Dia pendiam  sekali, kenyataannya dia ketinggalan oleh lain-lain kiamsu. Tapi menurut penglihatanku, dia mempunyai ilmu silat yang mahir sekali. Sekarang ini dia cuma terhalang pelbagai aturan Diantara dua belas kiamsu, dialah yang terlihay."

"Sip long itu," berkata Ging Cun, "semenjak dia turut  nona, belum pernah membuat jasa apa juga, bahkan sebaliknya, pernah dua kali membuat pelanggaran Coba nona tidak berbelas kasihan, yang telah memberikan keampunan kepadanya, mungkin dia telah kehilangan beberapa buah jeriji tangannya .Jikalau dia benar mempunyai kepandaian tinggi, apakah dia tidak meyayangi jari tangannya itu?" Nona yang dikanan itu tertawa.

"Kata kata kakak beralasan juga," katanya, "cuma pandangan kakak dapat ditunjukkan melulu kepada orang yang kebanyakan, tidak untuk menilai sip long. Sip long tidak dapat dilihat semudah yang lain lainnya."

"Gim ciU" si kiamcu menyela. "Kita bertiga namanya saja majikan dan budak-budak, sebenarnya kita melebihkan saudara kandung sendiri. Sekarang aku hendak bertanya kepada kau: Kau bilang sip long pendiam dan liehay, apakah itu cuma perasaan saja atau karena kenyataan, ada buktinya?"

"Tanpa bukti tidak nanti budak sembarangan bicara," sahut budak yang dipanggil Gim ciu itu.

"Kalau benar katamu itu, bicaralah" siketua menganjurkan, mari kita lihat dan pahamkan bersama.

"Dua hari yang lalu budak menerima perintah pergi ke Hok Siu Po untuk melihat gerak g erik disana," berkata Gim ciu. "Budak pergi ke sana bersama sip long. Nona toh ingat ini?"

"Ya aku menyuruh kau pergi dengan menyamar, supaya kau dapat menyelundup masuk dan bercampur dengan orang orang Hok Siu Po."

"Disana budak berhasil mencuri seperangkat pakaian bujang, maka budak lalu menyamar." Gim Ciu bercerita lebih jauh. Dengan begitu budak menjadi bebas untuk masuk keruang dalam. Budak mau membuat penyelidikan sambil memikirkan daya mengacau, untuk mengalutkan mereka."

Kiamcu memotong: "Adakah ini hubungannya dengan sip long?" "Ya. Sip-long pun berhasil mencuri seperangkat pakaian  pegawai

Hok Siu Po, maka bersama sama kami menyelundup masuk. sip long memesan budak. katanya, apabila kita kepergok dan kena terkurung, budak harus lari menyingkir kearah barat laut."

"Itu toh tidak luar biasa?" G.Ing CUn menyela.

"Sabar kakak. aku belum bicara habis," berkata Gim Ciu. "Nona telah mengajari ilmu menyamar menyalin kulit muka, ilmu itu sungguh yang nomor satu didalam dunia Rimba Persilatan dijaman kita ini, akan tetapi di Hok Siu Po, penyamaran saja belum cukup walaupun aku sangat berhati-hati. Kedua karena Hok Siu Po licin luar biasa, mereka sangat teliti. Nyatanya disana budak-budak dan pegawai, semua ada tanda rahasianya. Begitu budak masuk  keruang dalam, segera budak kena dipergoki seorang perempuan."

"Seorang dengan kepandaian sebagai kau, adikku, bukankah sangat mudah untuk merobohkan seorang wanita?" tanya Ging Cun "Kenapa kau tidak segera membunuhnya?"

"Kakak. jikalau kau tidak memandang musuh terlalu rendah, tentu kau telah menaksir aku terlalu tinggi," kata Gim Ciu. "Setelah aku tahu rahasiaku telah terbuka, aku segera turun tangan menyerangnya. Aku mengharap dengan satu gebrak saja dia roboh, tapi diluar dugaanku, budak itu ternyata liehay. Tak berhasil aku menjatuhkannya. Aku telah menimpa dia dengan jarum beracun cui tok Hui ciam, terus aku menerjang, tapi dia bisa menyelamatkan diri, dia bisa menangkis aku. Maka kita bergebrak sampai lima jurus tanpa aku berhasil merebut kemenangan. Rupanya budak itu tidak ungkulan dapat menjatuhkana dia berlaku cerdik, lalu dia berteriak teriak, hingga seisi rumah menjadi terkejut, dan segera belasan orang menyerbu kedalam. Mereka semua bersenjata tetapi nampaknya mereka ingin menangkap aku hidup hidup,..

"Apakah sip long datang menolongmu?" kiam cu bertanya. "Benar aku terancam bahaya itu, tiba-tiba sip long muncul. Entah

dia bergerak cara bagaimana, didalam sekejap. separuh pengurungku telah roboh. Maka dengan mudah dia dapat mengajakku menerobos kepungan dan kabur."

"Begitu?" kiam cu heran "Sip long sudah menyamar tapi budak mengenalinya."

"Apakah kemudian kau pernah menanyakan hal itu kepadanya?" tanya Ging Kun-

"Ya, akan tetapi dia menyangkal."

"Aneh" Kata Kiamcu. "Kalau benar dia sip long, kenapa dia tak mengakui?"

"Walaupun dia menyangkal. budak percaya betul itulah dia. Begitulah, dua kali budak pernah menegaskan kepadanya. Yang pertama kali, dia tetap menyangkal. Yang kedua kali dia tidak menjawab akan tetapi dia tertawa"

"Jikalau begitu, dia mencurigai" kata kiamcu itu sungguh sungguh.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar