Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 24

JILID 24

"Ya, Nona Coh telah menuturkan segala sesuatu kepada kami. Suhu juga menanyakan beberapa hal, yang ia anggap mencurigakan." Mendengar itu. Siauw Pek berpikir. Memang didalam peristiwa Pek Ho bun itu mesti ada sesuatu yang tersembunyi. Entah apa saja yang kakakku ceritakan. Dapatkah aku tanyakan itu kepada nona ini?" Hanya sejenak si anak muda merasa ragu, segera ia bertanya; "Nona, apa saja kata kakakku itu ?"

"Dari pertanyaan-pertanyaan suhu, sebagian besar nona Coh tidak dapat jawab," menerangkan nona Hoan.

"Seperginya kakakku itu, apa saja kata Hoan Loocianpwee kepada nona?"

"Suhu pernah memberitahukan aku bahwa peristiwa Pek Ho bun itu merupakan pengorbanan dari suatu rencana besar, bahwa sembilan pay besar beserta empat bun, tiga hwee dan dua pang, semuanya telah dipermainkan hingga mereka sudah melakukan kecerobohan, tapi seratus lebih jiwa orang Pek Ho bun itu bukan kurban kurban percuma cuma..."

"Apakah artinya kata kata itu,nona?" menegasi Siauw Pek, heran.

"Suhu mengatakan bahwa peristiwa Pek Ho bun akan membuat orang Kang Ouw tersadar, bahwa didalam dunia Kang Ouw secara diam diam tengah berlangsung suatu perubahan besar yang hebat."

Mendengar itu, si anak muda berpikir. "Kalau begini, biar Hoan Loocianpwee mempunyai pandangan yang luas, pandangannya itu CoCok dengan pandangan Su kay taysu. Nona itu pasti mengetahi lebih banyak lagi." Maka ia lalu menanya lagi". Bagaimana bisa terjadi demikian, nona?"

"Suhu mengatakan pada kami bahwa orang yang menulis surat buat si nona adalah seorang gagah yang berhati tawar, yang tidak suka memperhatikan urusan Rimba Persilatan, kalau toh ia telah menulis surat untuk nona itu adalah diluar kebiasaannya, bahwa itu disebabkan akhirnya dia masih tertarik urusan Rimba Persilatan itu" Siauw pek mengangguk.

"Oh, kiranya begitu," katanya. "Suhu juga mengatakan bahwa orang yang menulis surat itu berkepandaian silat sangat tinggi," si nona melanjutkan keterangannya, "bahwa dia termasuk orang nomor satu dalam dunia Rimba Persilatan. Kata suhu, dengan menolak si nona, maka orang itu pasti akan menerimanya dan akan mengajarnya ilmu silat, bahwa meskipun suhu menolak, nona itu tidak bakal terlantar hidupnya."

"Dengan begitu, nona, segala sesuatu telah berada didalam terkaan Hoan Loocianpwee?" Hoan Soat Kun mengangguk,

"Begitulah kiranya, katanya. "Suhu pula telah memberitahukan kami bahwa kelak dibelakang hari kami harus membantu sungguh sungguh kepada kamu untuk membalaskan dendam kesumat keluargamu." Siauw pek merangkap kedua tangannya, memberi hormat.

"Nona, dengan ini terlebih dahulu aku menghaturkan banyak terima kasih," katanya.

Nona itu tersenyum, akan tetapi pada wajahnya nampak kedukaan. "Hanya," katanya agak masgul. "selama belasan tahun dari hidup kami, kami berdua bersaudara, kecuali dengan suhu, belum pernah kami berurusan dengan lain orang siapa juga, sedangkan ilmu silat kami sangat tidak berarti, karena itu aku tidak tahu dengan cara bagaimana kami dapat membantu pada kau kongcu." Nona itu membahasakan, kongcu kepada si anak muda. Itulah kata kata tuan muda yang terhormat, yang mirip dengan anda.

"Itulah bukannya soal, nona? Ban Liang campur bicara. "Memang kakak Hoan tidak lihay ilmu silatnya akan tetapi kepintarannya luar biasa, dia pandai ilmu pedang, dia juga berpandangan luas, dia dapat menerka nerka melebihi lain lain orang. Sekarang ini urusan Rimba Persilatan sangat rumit, urusan tidak dapat dibereskan melulu dengan mengandalkan ilmu silat saja..."

soat Kun menghela napas perlahan.

"Semasa hidupnya suhu, sering suhu menganjurkan, membesarkan hati kami," katanya.

"Pernah suhu berkata, kalau setelah enam tahun suhu kemari, maka bencana dunia Kang Ouw akan sudah menjadi kenyataan. Maka setelah itu, walaupun Cukat Kong beng hidup pula, atau Thio Liang bangkit kembali, bencana itu sudah tidak terhindarkan lagi..."

"Sekarang ini, nona" bertanya Seng supoan yang sangat tertarik perhatiannya. "batas waktu enam tahun itu sudah lewat atau belum?"

"Belum. Sejak suhu meninggal dunia, tiga tahun baru berlalu. Maka itu kedatangan Coh kongcu sekarang ini belumlah terlambat."

Jago tua itu bernapas lega. Dia agaknya menaruh kepercaaan sangat besar kepada Hoan Tiong beng, sahabat karibnya itu. Lalu ia memandang anak muda.

"Saudara Coh, katanya.jikalau pertemuan kita terlambat tiga tahun, jikalau bukannya peristiwa Pek Ho bun telah membangkitkan rasa tidak puasku, bukan bencana besar kaum Kang Ouw itu telah berwujud rupa dlkarenakan kita?"

Siauw pek dan dua saudaranya kagum mendengar kata kata sijago tua itu. Nyata dia sangat memperhatikan dunia Kang Ouw, atau Rimba Persilatan,jelas hatinya sangat mulia.

"Semasa Coh kongcu belum datang, sebenarnya kami telah mengharap harapkannya," berkata pula Soat kun, yang bicara dengan sejujurnya. "Suhu telah memesan, selewatnya enam tahun, kalau kongcu tidak datang, kami harus pergi kesebuah gunung yang sunyi, untuk kami tinggal dengan aman dan damai, agar tak usah kami mencampuri lagi dunia Rimba Persilatan. Akan tetapi sekarang, setelah kau datang, loocianpwee sekalian, hati kami justru menjadi tidak tenang..."

Siauw pek heran. "Kenapa begitu, nona?" tanya dia.

"Banyak untuk dikatakan, kongcu," sahut si nona itu. "Kami satu tak dapat melihat, satu pula tak dapat bicara, sudah bercacad, tubuh kamipun lemah, karena itu, apakah yang dapat kami perbuat untuk membantu kongcu?" Ia menghela napas akan tetapi ia lalu menambahkan: "Tapi suhu telah memesan, tak dapat pesan itu ditentang. maka itu terpaksa kami si orang orang bercacad mesti turut kongcu sekalian untuk memasuki dunia Kang Ouw..."

"Keluarganya kamu, nona nona, adalah pengharapan kami," berkata Ban Liang, "Sekarang ini keadaan sangat genting. Ceng Gie Loejin telah menutup mata. Ong kiam dan Pa Too sudah sembunyi, sebaliknya Siang ok muncul Dilain pihak delapan belas partai persilatan sejak mereka menyerbu Pek I to-pi", sifatnya telah berubah menuju keburukan. Yang lebih hebat lagi, sekarangpun muncul seorang dengan kepandaian sebagai Ceng Gie Loejin itu, yang pandai ilmu pengobatan, yang menempatkan diri ditanah belukar, agaknya dia mempunyai suatu rencana besar Nampaknya tak salah penglihatan kakak Hoan bahwa dunia Kang Ouw bakal mengalami perubahan, atau kejadian yang maha besar, maha dahsyat. Nampaknya rencana besar itu sedang berlangsung..."

"Loocianpwee, tahukah kau siapa biang keladi bahaya dan dimana mulai munculnya?" si nona tanya.

"Sulit untuk menjelaskan, nona. Orang tuanya dapat merasakan tapi tak dapat meraba. Inilah mungkin sebabnya kenapa kakak Hoan menghendaki kamu memunculkan diri," nona Hoan Soat Kun berpikir sejenak, segera ia berkata:

"Baiklah Sekarang silahkan loocianpwee sekalian berdiam dirumahku ini barang tiga hari itu, kita akan berangkat bersama"

Ban Liang heran tak dapat segera berangkat.

"Nona nona masih mempunyai urusan apakah?" tanyanya. "Bersama adikku ini, hendak aku pergi ke kuburan suhu."

menjawab si nona. "Disana kami hendak berdiam selama tiga hari..." Ia berhenti sedikit, baru ia meneruskan;

"Selama tiga hari itu saudara Kho dapat sekalian beristirahat memelihara lukanya."

"Nona, lukaku telah sembuh," berkata si polos "Aku rasa, obatpun tak usah aku makan lagi." "Tak dapat, saudara," mencegah si nona. "Tanpa makan obat, racun di dalam tubuhmu tidak bakal lenyap seluruhnya, selang sepuluh atau dua puluh tahun nanti lukamu kan kambuh"

Kho kong terkejut, terus ia membungkam. soat Kun menghela napas.

"Siapa suka menolong aku mencatat resep?" tanyanya. "Silahkan sebut nona" menjawab Siauw pek

Nona itu menyebutkan nama nama obat berikut timbangan berat entengnya, dan sianak muda mencatat semuanya. Setelah itu, si nona memegang dan melepaskan tangan kanan Soat Gie, sang adik itu lalu pergi kedalam, untuk kembali didalam tempo pendek dengan membawa satu bungkusan kecil. Dia terus menghampiri kakaknya.

Sekembali adik itu, Soat kun berkata pula; "Jikalau aku tak keliru, setelah kami berdua meninggalkan rumah ini, mesti ada orang orang Rimba Persilatan yang datang menyerang pula kemari. oleh karena itu baik baiklah tuan tuan melayani mereka itu."

"Tentang ini jangan nona pikirkan," kata Ban Liang.

"Di dalam telah tersedia pembaringan berikut segala perlengkapannya," berkata pula si nona. "juga sudah disiapkan barang makanan untuk tiga hari. Selama tiga hari itu, baik baiklah loocianpwee sekalian berjaga-jaga. Nah kami pergi."

"Perlukah kami mengantar kau?" tanya Ban Liang.

"Tak usah. Terima kasih " Berkata begitu, si nona lalu menarik tangan adiknya diajak pergi. Oey Eng mengawasi mereka keluar, baru ia pergi mengambil pedang Siauw pek, setelah kembali pada kawannya, ia berbisik pada Ban Liang, "Loocianpwee, ada satu hal yang membuatku merasa sulit..."

"Apakah itu?" tanya sijago tua, heran.

"Tentang nona nona Hoan itu. Nona yang bisu masih tidak apa, tetapi bagaimana dengan yang tak dapat melihat itu, sedangkan ilmu silatnya lumayan saja ?Jikalau kita mengajak mereka berdua merantau bersama, bukankah itu berarti kita mesti berbareng menjagai mereka ? Tidakkah itu menyulitkan ?"

"Kau benar, adik, Akan tetapi aku percaya hal itu telah dipikirkan oleh almarhum kakak Hoan."

Oey Eng berdiam. Ia melihat Ban Liang mempunyai kepercayaan penuh. Meski demikian, dihatinya ia berpikir. "Nona tuna netra itu benar pintar tapi ilmu silatnya belum cukup untuk membela diri. Dan bagaimana dengan si nona bisu? Entahlah... Sungguh suatu pemikiran akan mengajak ajak kedua nona itu merantau tak ketentuan... Mereka cantik luar biasa, tapi mereka juga bercacat masing-masing, tidakkah itu membahayakan mereka ? bagaimana kita harus memecah diri untuk melindungi mereka itu?"

Siauw Pek berpendapat serupa dengan Oey Eng, ia kawatir dan bingung memikirkan keselamatan nona nona itu, tapiBan Liang berketetapan hati, maka iapun mesti percaya jago tua itu. Meski begitu, toh ia masih berpikir juga. "Selanjutnya kita akan berada bersama-sama kedua nona itu, itu artinya kita semua setiap hari bakal berada diantara gelombang dayshat. Bagaimana andaikata nona nona itu tidak dapat melindungi dirinya? Bukankah itu berarti salah perhitungan."

Karena masing-masing berpikir, ruang rumah itu menjadi sunyi sekali. Barulah lewat sesaat Ban Liang yang memecah kesunyian. Katanya "Menurut dugaanku, malam ini pastilah ada musuh yang datang menyerbu. Kita berempat namun harus dihitung tiga. Suadara Kho mesti beristirahat..."

"Syukur kedua nona sudah pindah dari sini, kalau tidak, salah satu dari kita mesti istimewa melindungi dirinya." Ban Liang mengangguk,

"Satu hal kita harus pikirkan." katanya

"Musuh telah mengalami kekalahan,jikalau mereka datang pula. mesti mereka telah mengatur suatu rencana..."

"Benar begitu. Habis loocianpwee memikir daya apa ?" "Dayanya telah kupikir hanya masih belum sempurna." sahut si orang tua.

Siauw pek yang berdiam sejak tadi, mendadak turut bicara. Katanya, "Satu kesukaran lagi ialah kita terang mereka gelap. Maka itu, tak selayaknya kita mengandalkan daya keras lawan keras saja. Menurut aku, baiklah kita lawan mereka dengan cara terbuka Yaitu kita berkumpul ditepi pengempang sana."

Si orang tua tersenyum. "Saudara Coh, kita telah menyaksikan ilmu pedang dan ilmu golokmu," katanya. "maka kita percaya kau telah mewariskan kesempurnaan kepandaian Thian Kiam dan Pa Too, hingga selajutnya, kita sangat mengandalkan kepandaianmu itu. Hanya mengenai keadaan kita sekarang, aku masih tetap percaya juga pada almarhum sahabat karibku itu. Aku percaya dia telah mewariskan suatu daya upaya, dan nona nona itu pasti akan berhasil membantumu menghindari bencana Rimba Persilatan sekalian membereskan sakit hati keluargamu. Sekarang, saudara, kau perlu berlaku sabar"

Oey Eng tidak dapat menenangkan diri seluruhnya. Dia berkata: "Nona nona itu muda dan belum berpengalaman, mereka juga bercacat, maka itu, sekalipun benar mereka sudah berhasil mewariskan kepandaian guru mereka, mereka tak dapat dibandingkan dengan Hoan loocianpwee sendiri."

Ban Liang mengelak sejenak. "Tunggu," katanya kemudian. "Aku akan ke dalam, untuk melihat kedua nona sudah mengatur sesuatu atau belum..."

Oey Eng melengak. Dia heran. "Tak mungkin..." katanya, tertawa hambar. Ban Liang tidak berkata apa apa lagi, ia masuk kedalam. Tidak lama ia sudah keluar pula, Kalau tadi wajahnya suram, sekarang terang benderang, ramai. "Benar dugaanku" serunya. "Kedua nona sudah menalangi kita mengatur daya untuk menghadapi lawan"

Siorang she Oey tercengang. "Benarkah?" dia menegaskan. "Kapan loohu pernah mendusta, saudara kecil" Masih sianak muda ragu ragu. "Bagaimanakah cara bertahan itu?" tanya dia.

Ban Liang merogoh sakunya, mengeluarkan sepucuk surat. "Caranya bertahan ada didalam surat ini" Siorang tua meletakkan sampulnya, dan Oey Eng mendekati, melihatnya. "Tiga jalan untuk menangkis serangan," demikian tertulis tegas diatas sampul itu, dan tulisannya halus dan bagus.

Ban Liang membuka sampul, mengeluarkan isinya, lalu membebernya. Diatas itu terbaca tulisan ini:

"Kami berdua saudara menduga bahwa malam ini bakal ada musuh datang menyerbu. Tuan tuan berempat berkepandaian tinggi akan tetapi menurut hemat kami tak usah tuan tuan menggunakan kekerasan menentangnya Disini ada tiga jalan untuk menghadapi mereka, silakan pilih satu diantaranya..."

Oey Eng kagum dan heran. Ia menghela nafas. "Seorang muda yang belum pernah menjelajahi dunia Kang Ouw dapat mengetahui kebusukan kaum Kang Ouw, sungguh luar biasa Benarkah kepandaian itu didapan hanya dalam kitab kitab saja?" katanya. Ban Liang tertawa.

"Inilah keanehan dunia" ujarnya. "Ada orang pandai tapi cuma pandai surat dan bicara kalau menghadapi kenyataan, dia tidak berdaya. Dilain pihak ada orang orang lemah sebagai nona nona ini. Aku ingat pernah kakak Hoan mengatakan kepadaku, bahwa orang terpelajar tanpa kenyataan lebih baik menjadi orang tani saja*

"Itulah benar. Ban Loocianpwee," Siauw Pek turut bicara.

"Kakak Hoan itu bukan hanya pandai surat tapi juga pandai bekeeja," berkata siorang tua "Kalau dia bekerja dengan negara, dia bisa menjadi panglima perang atau perdana menteri yang akan membuat negaraaman sentosa dan rakyat hidup makmur dan beruntung."

Ia menengadah kelangit. lalu ia menambahkan, "Kalau dia diberi kesempatan mengepalai dunia Rimba Persilatan, pasti lenyaplah segala kejahatan dan kebusukan, maka itu sayang sekali, diatas dia tidak dikenal kepala pemerintah, di bawah dia tidak ditunjang kaum Rimba persilatan, hingga sia-sia belaka semua kepintaran dan kepandaiannya itu." Siauw Pek kagum mend engar kata-kata kawannya ini, sendirinya ia mengagumi pula Tiong Beng.

Ban Liang memandang ketiga kawannya itu.

"Semoga kita dapat mengharapkan sepenuhnya bantuan nona nona itu" katanya. "Hasilnya nona-nona itu akan memuaskan arwah kakak Hoan didunia baka." Oey Eng melongok keluar, melihat  cuaca.

"Loocianpwee, bagaimana tentang ilmu pengobatan Hoan Loocianpwee itu?" ia tanya.

"Yang nomor satu diseluruh negara."

"Kalau begitu, dapatkah Hoan loocianpwee mengetahui sebab musabab dari gagu dan butanya kedua nona-nona itu? Menurut penglihatanku, kedua nona itu tidak ada tanda-tandanya menjadi bercacat..."

"Kau benar, saudara kecil. Tak selayaknya kakak beradik itu bercacat. Kalau mereka mulus, semua wanita cantk dikolong Langit ini akan memandang suram kepada mereka..."

Siauw Pek ngelamun maka juga ia berkata: "Mungkinkah disebabkan nona-nona itu terlalu cantik maka mereka menjadi bercacat ?"

"Itulah tak mungkin" kata Kho Kong, "Tak adil kalau begitu " Dan si orang tua tersenyum.

"Ingatlah ada waktu terang jernih. ada saatnya mendung guram Bukan bulan biasa bundar dan bersisir? Dimana ada kecantikan yang sempurna?"

"Sudahlah" Oey Eng menyela. "Hari sudah tidak siang lagi, mari kita memilih siasat. Ban Liang menurut, maka ia membeber pula kertasnya, utuk membaca : "Tipu daya yang kesatu : Aturlah jebakan. Kalau malam ini musuh datang, pasti mereka datang dengan tenaga penuh. Meskipun kalian berempat gagah perkasa, akan tetapi tak usah kalian mengadu kekuaran baiklah kamu mementang pintu lebar lebar dan menyalakan lilin terang2 untuk menggertak mereka agar hatinya gentar, agar mereka ragu2. Disamping itu, diatas gunung, siapkanlah banyak batu, letakkan dan tumpuk secara kacau. Selama itu tuan tuan boleh beristirahat disuatu tempat yang sunyi. Akupun telah mengatur perangkap didalam kamar,jikalau musuh merusak kamarku itu, mereka bakal mendapat bagiannya."

"Bagus" kata Kho kong tertawa. Tapi mendadak dia melihat sekitarnya dengan mata membelalak, "Eh, dimana dipasangnya perangkap itu?"

"Mari kita lihat tipu daya yang kedua," berkata Oey Eng. Mereka lalu melihat bersama: "Tipu daya yang kedua: Tolak musuh dengan api. Didalam laci mejaku ada tersimpan obat peledak buatan suhu, ambillah itu untuk dipendam dibeberapa pojok di dalam kamar, juga diluar diantara gombolan rumput dan dibawah pohon ditepi empang. Sembunyikanlah sumbuya didalam tanah, siap untuk disulut."

"Tipu ini baik hanya sayang, rumah ini bakal musnah." kata Oey Eng.

"Mari kita lihat dahulu yang nomor tiga" berkata Ban Liang.

Mereka melihat pula :

"Tipu daya yang ketiga: Memasang jaring menangkap burung gereja."

"Namanya saja sudah luar biasa" kata Ban Liang. "Sungguh Hoan loocianpwee liehay sekali" memuji Siauw pek, "Lebih lebih karena ia berhasil mewariskan kepandaiannya itu kepada kedua muridnya yang bercacat ini."

Ban Liang senang mendengar sahabatnya dipuji, ia tertawa. "Nah, sekarang tahulah kamu bahwa aku si tua tidak mendusta" katanya. "Kecantikan kedua nona saja telah membuktikan kecerdasannya"

Kho Kong turut berkata. "Mari kita lihat bagaimana caranya jaring diatur"

Ban Liang tertawa pula. Kembali mereka membaca.

"Keadaan tubuh suhu berbatas, tak dapat ia meyakinkan ilmu silat hingga mahir, maka itu ia menukar haluan, ia mempelajari ilmu surat dan lainnya, seperti melukis dan mengukir. Pernah suhu mengukir dua potong batu kemala menjadi dua boneka cantik, yang dalamnya kosong, lalu didalamnya disembunyikan semacam obat, asal disulut, obat itu merupakan asap yang bisa nyelusup masuk kedalam telinga. Asap itu demikian halus, hingga sulit untuk dilihat dengan mata. Yang jelas ialah tersiarnya baunya yang harum. Untuk mengelabuhi orang, baiklah cari setabung bunga yang harum ditaruh didalam kamar. Asap itu mengandung racun yang keras, siapa terkena, meskipun sedikit, akan roboh pingsan. Selama itu tuan tuan boleh menyembunyikan diri didalam kamar, dikolong meja dan lainnya, baik untuk turun tangan atau menonton saja. Didalam sepuluh musuh, tujuh atau delapan pasti akan roboh sendirinya. Cuma, mengandal asap ini, terserah kepada tuan tuan, apakah tuan2 sudi..."

"Bagaimana, eh?" tanya Kho kong. "Jika kita bersembunyi di dalam kamar, bukankah kita sendiri yang paling dahulu akan terkena racun dan pingsan? Bukankah justru kita yang ditawan musuh?"

"Sabar saudara. Terus baca dahulu..." Kho kong menurut, ia membaca pula:

"Patung kemala itu disimpan didalam sebuah kotak. Suhu menyimpan itu didalam dinding belakang tempat abunya. Didalam kotak itu terdapat juga sebutir pil.Jikalau tuan tuan menelan obat itu, kalian akan bebas dari serangan asap yang beracun itu."

Habis membaca. Ban Liang mengawasi Siauw Pek. "Nah, yang mana yang kau pilih?" tanyanya. Jikalau akupilih yang terakhir," Oey Eng menjawab lebih dulu, "dengan menawan mereka hidup2, bisa kita mengorek keterangan dari mulut mereka tentang diri mereka itu. Kitapun dapat melindungi keutuhan rumah ini."

"Akupun setuju, walaupun cara ini kurang bersifat laki laki," kata Siauw Pek, Mengandaikan obat, bukan tenaga, bukanlah cara laki laki sejati, demikian anggapan bangsa kungfu atau engchiong budiman dan orang gagah.

"Bagaimana andaikata obat itu sudah hilang tenaga kekuatannya sebab telah tersimpan lama?" Kho kong memperingatkan. "Apakah itu bukan berarti kegagalan?"

"Aku percaya surat ini bukan ditulis sejak lama, bahkan si nona pasti sudah memeriksa obat biusnya itu," berkata Siauw Pek,

"Mari kita lihat dahulu boneka kemala itu," Oey Eng menyarankan.

"Benar" Ban Liang akur. "Mari" Iapun bertindak cepat kemeja abu. Ketika ia menggeser hio-louw, tempat abu, dibelakangnya ada semacam knop kecil, Ia memegang knop itu, terus memutarnya kekanan dua kali. Mendadak terbukalah sebuah lubang pada dinding. Didalam situ tampak sebuah kotak,

Dengan berhati hati. Ban Liang menarik keluar kotak itu. Ia tutup pula pintu rahasia dan mengembalikan hiolouw pada tempatnya, baru ia membuka tutup kotaknya.

Melihat isi kotak, keempat orang itu kagum sekali. Disitu tampak sepasang boneka kemala, yang indah, yang mirip dengan orang hidup. Setelah diteliti, kedua boneka mirip dengan Soat Kun dan Soat Gie. Ban Liang mengangkat satu boneka, untuk diputar balik satu kali, benarlah perut boneka itu kosong dan dari situ molos keluar sesuatu yang mirip hio, yang panjangnya kira kira tiga dim, yang besarnya seperti kelingking.

"Inilah pasti obat bius itu," kata Oey Eng. "Tidak salah," Ban Liang membenarkan. Ia berdiam sedetik, lalu ia menambahkan: "Melihat boneka ini, yang begini indah buatannya aku jadi ingat kepada sahabatku itu. Aku khawatir..."

"Apakah yang dikhawatirkan itu, loocianpwee?" tanya Siauw Pek. "Boneka ini bukan saja indah," menjawab Ban Liang. "Siapa

memegang kemala ini, dia merasai hawa hanga.t Inilah bukti bahwa kemala bukan sembarang kemala. Sahabatku itu sangat menyayangi waktu, tak mau ia menyia nyiakannya, maka itu, boneka ini tentunya ia buat semenjak lama. Aku percaya, boneka dibuat bukan melulu guna memuaskan mata, sekarang kemala ini dikeluarkan, guna melawan musuh, kalau sampai pecah, apakah tak sayang?"

"Jangan khawatir, loocianpwee," kata Kho kong. "Kita taruh ditempat yang tinggi..."

"Tapi musuh pasti bukan sembarang musuh, sedangkan rumah ini tingginya cuma setombak lebih..."

"Habis, bagaimana pikiran loocianpwee?" tanya Siauw Pek, "Aku masih bersangsi..."

"Kalau begitu, kita berhati-hati saja/" berkata Oey Eng.

"Mungkin kedua nona telah memikir juga," kata Ban Liang kemudian.

Mereka mengambil keputusan memakai tipu yang nomor tiga itu. Selagi bersiap, sijago tua memesan agar kawan-kawannya berhati hati menyentuh segala sesuatu dirumah itu. Soat Kun telah mengatakan bahwa dia telah memasang perangkap.

Sekarang ini semua orang menaruh kepercayaan besar kepada kedua nona itu, maka itu, pesan sijago tua pun segera diperhatikan. Mereka lalu mengatur. Ketika mereka selesai, matahari sudah turun dibarat.

Siauw Pek akan bersembunyi dikolong meja dengan dihalingi dua tumpuk kayu bakar. Kho Kong diminta bersembunyi diatas penglari dimana ada tempat buat satu orang. Dari atas pun orang mudah melihat keseluruh ruang. Hanya saudara itu dipesan mesti berhati hati, jangan berkelisik,jangan membuka suara.

"Cuma dari atas penglari agak sukar turun tangan," pikir Oey Eng. Ia justru diminta bersembunyi didalam kamar, maka itu ia  terus masuk kedalam, untuk memeriksa, memilih tempat sembunyinya.

"Sambil menanti waktu, mari kita beristirahat," mengajak Ban Liang habis dia mengatur diri itu.

Siauw Pek semua menurut. Maka berdiamlah mereka semua, hingga rumah menjadi sunyi sekali. Malam tiba dengan cepat, dan kini keadaan menjadi gelap gulita. suara yang terdengar cuma hembusan angin malam kepada rumah atap itu.

Ban Liang menyulut lilin. Habis menutup jendela, dia masuk kedalam kamar, untuk duduk bersila diatas pembaringan, guna beristirahat sambil menanti musuh. Malam yang gelap dan sunyi kemudian terganggu oleh satu bentakan keras dari luar rumah: "Jikalau ada manusia hidup didalam rumah ini lekas keluar"

Siauw Pek semua menutup mulut. "Awas kamu" terdengar pula suara diluar itu. "Kalau tuan besarmu gusar, akan aku bakar gubuk kamu ini"

Tetap tidak ada jawaban.

Agaknya orang diluar itu habis sabar. Tidak lama, segera terdengar suara menjeblaknya pintu, yang telah orang tendang terpentang. Dengan terbukanya pintu, angin menghembus masuk. juga sesosok tubuh orang, yang digantung dipintu bergoyang goyang Ban Liang menaruh api ditempat yang tak tersampaikan angin, maka apinya itu tidak padam, hingga seluruh ruang takmpak nyata. Siauw pek dikolong meja sebaliknya bisa melihat tegas kearah pintu. Diambang pintu tampak berdiri seorang laki-laki lebih kurang empatpuluh tahun. Dia bertubuh besar, dandanannya singsat, tangannya mencekal sebatang golok. Dia berdiri diam mengawasi tubuh yang tergantung itu, rupanya dia sangat terpengaruh. "Yang tergantung itu, orang mati atau orang hidup?" terdengar pertanyaan dari luar, dari orang lain.

Orang yang berdiri diambang pintu itu menjawab, "Dialah salah satu saudara yang kemarin terluka parah disini "

"Dia sudah mati atau masih hidup?" tanya pula suara itu.

Agaknya dia aseran.

"Nampaknya dia sudah mati..."

"Kalau dia sudah mati, lemparlah mayatnya. Buat apa diawasi saja*

Orang itu menurut. Dengan goloknya, dia membabat tali pengikat tubuh mayat, dan dengan yang lain, dia menyambut mayat itu, untuk segera dilemparkan kesamping

Tapi itulah bukan mayat, itulah salah satu musuh yang tertotok Siauw Pek, hanya karena tertotok, dia tak dapat bicara, tak dapat bergerak. karena dia dilemparkan hingga terbanting keras, dia justru jadi putus jiwa

"Hmm, dua orang budak busuk" mengejek orang bertubuh besar itu. "Dengan menggantungkan satu mayat, apakah kamu kira dapat menghalang halangi kami menyerbu masuk?" Lalu, dengan melindungi diri dengan goloknya, dia bertindak maju. Siauw Pek memasang mata keluar. Samar samar ia melihat gerak geriknya kira kira sepuluh orang lebih.

Tiba didalam rumah, orang tadi menyalakan sebuah bambu yang ia bekal. dengan begitu, dengan adanya api lilin didalam, kamar jadi terlebih terang, segala apa apa nampak semakin nyata.

Dari luar terdengar pertanyaan keras dan berat. Apakah ada sesuatu yang mencurigakan? "Tidak ada..." sahut yang baru masuk itu, matanya celingukan. Segera ia melihat sepasang boneka kemala diatas meja abunya Hoan Tiong beng. Maka ia lalu menambahkan. "Di atas meja abu ada dua boneka kemala. Mungkin kedua budak itu sudah lari kabur..." Kamar itu memang telah dirapikan Ban liang berempat hingga tak nampak sesuatu bekas yang bisa mendatangkan kecurigaan.

Lalu terdengar tindakan beberapa pasang kaki. Maka muncullah diambang pintu empat orang muda berseragam hitam yang memegang pedang mengiringi seorang yang memakai pakaian kuning seluruhnya, yang mukanya ditutup dengan topeng. Orang itu terus masuk, Dibelakang si serba kuning ini terlihat orang lain lagi, seorang muda dengan dandanan perlente, yang lengan kirinya terbalut kain putih.

Dengan mata tajam, si serba kuning menanya anak muda dibelakangnya itu: "Apakah kau melihat tegas sekali"

Nampak pemuda itu sangat menghormati si serba kuning itu, katanya sambil membungkuk

"Tidak salah Dialah orang itu yang di Jiesiewan mencoba merampas barang titipan pada Lauw Haycu."

"Hm" si serba kuning mendumal. "Mungkinkah dia benar-benar turunan si orang she Coh itu yang berhasil menyeberangi jembatan maut Seng Su Kio?"

"Itulah hamba tidak tahu, tidaklah berani hamba memastika " berkata pemuda yang lengannya dibalut itu.

"Thian kiam Kie Tong dan Pa Too Siang Go adalah orang orang yang lihay sekali," berkata pula si serba kuning. "sejak mereka melintasi Seng Su Kio, selama beberapa puluh tahun, tak terdengar beritanya apa benar bocah itu dapat kembali dari Seng Su Kio ? Mungkinkah ?"

Orang berkata kata seorang diri, tiada kawannya yang berani campur bicara. Maka ia mengocah pula : "Yang aneh Kenapa mereka itu dapat berhubungan dengan dua orang murid Hoan Tiong Beng?"

Mendadak si anak muda perlente berkata: "Siapa tahu kalau kedua budak itu masih bersembunyi didalam rumahnya ini?" Mendengar begitu, mendadak orang itu bungkam. Tapi matanya mengawasi tajam kepada kedua boneka kemala. Lalu ia menghampiri meja. Dia terus mengulur tangannya untuk  menjemput boneka itu. Baru tangannya itu mau menyentuh, sekonyong konyong dia menarik kembali, batal memegangnya. Lalu ia mengawasi keseluruh ruang.

"Nona nona" dia berkata nyaring; "Nona nona, sekarang ini kamu sudah terkurung rapat. Jikalau kamu tidak mau keluar untuk menemuiku, jangan kamu sesalkan aku keterlaluan. Jangan kamu menyesal"

Siauw Pek dikolong meja heran mendengar suara orang itu. Katanya didalam hati. "Suara dia begini luar biasa, mungkin dia berkepandaian tinggi sekali..."

Si serba kuning tidak memperoleh jawaban, dia gusar. "Masuk" perintahnya. "Geledah"

"Baik" menjawab dua orang berseragam hitam, yang terus bertindak masuk kedalam. Tapi mereka bagaikan orang yang melempat diri kelautan besar, begitu masuk, mereka tak terdengar suaranya lagi, tak nampak muncul pula.

"Budak-budak tolol dan buta" berteriak siserba kuning. "Kemana kamu pergi?..." Mendadak dia menutup mulutnya, terus dia menoleh kepada sipemuda perlente, lalu, mendadak juga dia lari keluar, Dan si anak muda, diapun turut memutaK tubuh untuk lari.

Menampak demikian, Siauw Pek keluar dari tempat sembunyinya, ia berlompat untuk menghadang, dan segera menyerang. Tangan kirinya menyambar siperlente, dan dua jeriji tangan kanannya menotok si serba kuning.

Si serba kuning menangkis totokan itu.

Siauw Pek terkejut. Pikirnya: "Tenaga dalam dia ini tangguh Benarkah obat bius dari dalam boneka kemala itu tak mempan terhadapnya?" Sementara itu sipemuda perlente, yang juga menangkis serangan, setelah menangkis itu, terhuyung sendirinya, tubuhnya roboh, barulah menyusul dia, si serba kuning juga ter-huyung2.

"Dasar kuat tenaga dalamnya dia dapat bertahan," pikir Siauw Pek, Maka tidak ayal lagi ia lompat maju, akan mengulangi serangannya, barulah kali ini, lawan itu roboh terguling.

Ketika itu Kho Kong juga lompat turun dari atas penglari, untuk menyerang dua orang yang berseragam hitam. Mereka ini menangkis, akan tetapi mereka roboh seketika, sebab saat itu,pengaruh obat bius sudah bekerja diantara rombongan penyerbu itu.

Ban Liang muncul ketika dia mendengar suara berisik. "Berhasil?" tanyanya.

"Semua telah terbekuk " sahut si polos.

"Dialah pemimpinnya," Siauw Pek tanya sambil menunjuk si serba kuning. "Dengan beradanya dia disini, pasti kawan kawannya tidak akan berani bertindak sembrono." Ban Liang menghampiri si serba kuning, ia hendak menjambak, buat mengangkat tubuh orang itu, tapi mendadak ada anak panah bersuara melesat kearahnya.

"Awas locianpwee" berseru Siauw Pek memperingatkannya. Anak panah itu melesat ketangan sijagotua. Dan sijago tua itu menarik tangannya sambil mundur dua tindak, maka Anak panah itu nancap dipintu.

"Padamkan api" Ban Liang berseru.

"Mari kita bicara dengan mereka itu" Siauw Pek menyahuti, tangannya dikibaskan memadamkan lilin.

Ban Liang pergi kebelakang pintu, lalu berkata dengan tawar: "Pemimpin kamu telah kami tawan. Asal kamu masih menggunakanpanah gelap, akan aku bunuh dia serta juga semua kawanmu ini" Dari luar segera terdengar suara yang keras. "Kamu juga telah kami kurung, Kalau kita sama-sama bertahan, salah satu mesti roboh"

"Kamu boleh kurung kami tidak takut" sahutBan Liang. "Kami mempunyai persediaan pangan buat beberapa bulan boleh kamu coba mengurung buat tiga bulan lamanya."

Suara nyaring itu terdengar pula: "Habis tuan hendak mengatur bagaimana untuk menyelesaikan urusan kita itu?" suara itu nyaring tetapi nadanya lunak.

"Si kuning ini agaknya sangat berharga, hanya entah dia pemimpin utama atau bukan." sijago tua berbisik. "Nanti aku dengar lebih jauh suara mereka..."

maka ia berkata pula. "Pemimpin kamu telah kami bekuk, kamulah kawanan naga tanpa kepala, Masih ada mukakah kamu untuk mengadakan pembicaraan? Untuk kamu tinggal satu jalan: Letakkan senjata kamu, buat manda diringkus, lalu menantikan keputusan kami"

"Jangan banyak tingkah, tuan" berkata suara nyaring diluar itu. "Jikalau kamu keterlaluan, hingga kamu memaksa kami turun tangan, jangan nanti kamu menyesal sesudah terlambat"

Licik orang itu. Dia tak mau menyebut nama si serba kuning sebenarnya orang apa, pemimpin mereka atau bukan...

Siauw pek mengawasi keluar. Dan samar samar ia menampak seorang yang bertubuh tinggi besar sedang berdiri seorang diri sejarak tiga tombak dari pintu. Mungkin kawan-kawan dia itu mengatur diri dikedua sisinya. Dialah orang yang bicara dengan sijago tua. Ban Liang tertawa dan berkata: "Jikalau kau mau main gila denganku, itulah sia sia belaka. Jikalau aku tidak mau melepaskan dia serba kuning ini, apa yang bisa kamu perbuat? Beranikah kamu lancang turun tangan?" Tanpa menanti jawaban, ia menambahkan, suara sengaja ditinggikan. "Saudara Kho, Coba kau kasih rasa sedikit kepada bocah itu" Jago tua ini cuma main-main, untuk menggertak lawan, akan tetapi Kho Kong berlaku sungguh-sungguh. Ia menghampiri si serba kuning untuk menjambaknya, setelah mana, tanpa mengawasi lagi muka orang, dia menampar dua kali.

Si serba kuning itu terkena obat bius, ia juga habis ditotok, walaupun demikian ia sadar, maka itu, gaplokan si anak muda membuatnya merasa sangat nyeri. Kendati demikian, ia tak bisa berbuat apa-apa, ia cuma bisa gusar dan mendongkol, buat membuka suara dia tak mampu

Diluar terdengar suara yang gusar sekali. Dia rupanya  mendengar suara tamparan yang nyaring itu. Maka ia segera berkata dengan bengis. "Kamu berlaku ganas, tuan Awas nanti kami bakar gubuk kamu ini"

"Jikalau kamu masih saja berkepala batu, aku akan hajar lagi dia ini" kata sijago tua.

Kali ini suara diluar itu bungkam. Maka sepilah didalam maupun diluar rumah.

Siauw pek sementara itu heran. Orang diluar tadi tak nampak pula, karenanya ia berpikir: "Mungkin dia tak sudi berbicara lagi Mungkin dia mau turun tangan." maka ia terus berkata pada Ban Liang: "Rupanya musuh tidak mau berbicara lagi Mungkin dia mau melakukan sesuatu Kita harus waspada"

"Tidak salah" berkata Ban Liang. "Lekas bawa siserba kuning dan kawan-kawannya kedepan, kita pakai mereka sebagai tameng" Berkata begitu, jago tua ini memperkeras suaranya, supaya musuh diluar dapat mendengar.

"Betul" berseru Kho Kong. Dan dia gusur si serba kuning kedepan. Diluar, suasana tetap sunyi, tidak ada serbuan, sedangkan tadinya mereka agaknya galak sekali, kesunyian berlangsung menit demi menit.

"Saudara, bagaimana kalau kita pergi melihat keluar?" berbisik Kho Kong pada Oey Eng, kawannya yang diam saja sejak tadi. "Jangan sembrono," Ban Liang mewakilkan Oey Eng menjawab, "siapa tahu jikalau mereka itu tengah mengatur kurungan."

"Lalu apakah kita mau main diam diam saja," tanya si-polos. "Sekarang gelap petang, kita tunggu datangnya sang siang, baru

kita lihat." berkata sijago tua.

Kho kong berbicara wajar saja, tapi Ban Liang dengan ada maksudnya, maka suaranya diperkeras.

Benarlah, diluar terdengar suara perlahan dari tindakan banyak kaki Rupanya suara si jago tua membuat mereka merubah siasat.

"Waspada" Ban Liang memperingatkan. "Mungkin mereka mau turun tangan sekarang." Lalu Siauw Pek diminta menjaga dikanan dan Oey Eng dikiri.

Diluar, benar-benar orang sudah mulai bekeeja, Dua orang mendekati pintu.

Oey Eng menarik tangan Siauw Pek, untuk memberi isyarat. Maka keduanya bersiap sedia. Ban Liang dan Kho Kong belum tahu ada gerakan musuh dikir dan kanan, berdua mereka memasang mata kedepan saja. Setelah datang dekat pada pintu, kedua orang diluar itu berhenti bertindak,

Oey Eng menjadi curiga. Inilah sebabnya ia tidak bisa melihat tegas. Maka ia segera berkata nyaring: "Toako, lekas turun tangan" bersamaan dengan itu, iapun menyerang dengan tangan kanannya.

Siauw Pek menyerang segera setelah ia mendengar suara kawannya itu. Kedua orang diluar itu tidak menyangka akan diserang, mereka menangkis dengan gugup.

Yang dikanan, yang menyambut serangan Siauw Pek, tertolak mundur lima tindak, Lawan Oey Eng terhuyung dua tindak, sebab serang si orang she Oey tidak sekeras ketuanya.

"Sungguh manusia tolol tak berguna" terdengar dampratan diluar. "Lekas pergi" Dua orang yang terpukul mundur itu agak ketakutan, dengan segera mereka mengundurkan diri, lenyap didalam kegelapan. Siauw pek mengenali suara yang ternyata bukan orang yang tadi bicara dengan Ban Liang. Ia heran, kenapa dengan cepat sekali orang sudah menukar pemimpin? Mungkinkah musuh telah mendatangkan bala bantuan? Karenanya ia mengawasi tajam kearah suara orang itu.

Didalam gelap, hanya tampak sesosok tubuh bergelempang, tapi tak terlihat jelas mukanya.

"Toako melihat apa?" Oey Eng berbisik.

"Aku tidak melihat apa-apa," sahut sianak muda.

"Aku mengira mungkin mereka itu menggunakan sesuatu guna menutupi tubuh mereka."

"Jikalau tidak salah, toako, musuh telah mendatangkan banyak bala bantuan," Oey Eng mengutarakan dugaannya.

"Benar, akupun menduga demikian," sahut Siauw pek,

"Sang pagi akan segera tiba," kata Oey Eng pula. "setelah terang tanah, toako hendak bertindak bagaimana?"

"Biarlah Ban Loocianpwee yang mengambil keputusan." sahut sianak muda, "kita baik-baik berunding dengan..."

Selagi ia berkata begitu, Siauw pek melihat sesosok tubuh bergerak keatas rumah. Perlahan sekali bergeraknya orang itu. Oey Eng mengeluarkan sebatang sumbu.

"Awas, toako" katanya perlahan Terus ia pergi kebelakang pintu. Disitu, begitu ia mengibaskan tangannya, sumbunya itu menyala mengeluarkan api. Menyusul itu, dua batang Anak panah menyambar tangan yang memegang sumbu itu, serangan datangnya dari luar. Dua dua panah tidak mengenai sasarannya Oey Eng berlaku sebat, begitu mengibas dia melemparkan sumbunya keluar,jatuh ditangah sejauh satu tombak lebih, Dengan adanya sumbu itu, segala apa tampak nyata diluar itu. Orang yang tadi mendatangi itu, yang merayap mendekam ditanah, tak berkutik. Siauw Pek melihat tajam.

"Mereka menyamar" ia berteriak. Ia melihat hanya kain hitam. Suara si anak muda putus dengan mendadak. Ini disebabkan sebatang panah api

menyambar kearahnya, nancap ditiang pintu. Apinya itu menyala terus.

"Lekas padamkan" Ban Liang berseru, ia menguatirkan terbakarnya rumah itu. Iapun menyaksikan si serba kuning. Apakah dia bukan sipemimpin? Mungkinkah masih ada pemimpin atasnya? Kalau tidak, kenapa musuh menggunakan api?

Menurut kaum Rimba Persilatan, kalau seorang pemimpin tertawan dan dikuasai lawan, kawan kawannya tidak boleh menggunakan api, sebab itu berarti ancaman bahaya kematian bagi sipemimpin yang tak berdaya ditangan lawan. Andaikata sipemimpin tidak terancam serangan api membuat lawan bertambah gusar. Dengan dilepaskannya panah api itu, teranglah bahwa si serba kuning tidak dihargai sama sekali.

Siauw Pek menghunus pedangnya, ia membabat kearah api.Justru itu, menyambar pula dua batang panah api lainnya. Ia menyampok yang satu, yang lainnya ia sambut dan dicekal, kemudian ia lemparkan kearah tubuh yang mendekam tadi. Setelah itu, sianak muda lompat mundur kebelakang pintu.

"Bagus" Kho kong memuji ketuanya. "Melihat kepandaian toako, pasti musuh terbuka matanya"

Tapi Ban Liang berkata sungguh-sungguh: "Siserba kuning bukanlah pemimpin mereka yang utama. Kita salah menawan orang. Lihat saja, mereka tak pedulikan lagi siserba kuning hidup atau mati Kita...:

Suara sijago tua terputus. Mendadak sosok tubuh yang mendekam itu bergerak bangun dan lari, Dia terkena panah api yang dilemparkan Siauw Pek, rupanya dia takut atau tak tahan, dia kaget dan kabur. "Kelihatan benar mereka mendapat bala bantuan," Ban Liang berkata pula, "Kita mesti merubah siasat. Mari kita bersiap" Siauw pek pun merasa musuh tak dapat dipandang ringan. Sipemuda perlente berkedudukan tinggi, dia kalah dari siserba kuning tapi sekarang ternyata, diluar itu ada orang yang lebih tinggi kedudukannya daripada siserba kuning itu.

Perubahan lainnya segera menyusul. Hal itu mengherankan Ban Liang semua. Itulah karena musuh diluar itu sirap, malam menjadi sunyi kembali, sampai sekian lama tak terdengar suara apa apa.

"Bagaimana ini, loocianpwee?" Oey Eng berbisik kepada sijago tua. "Entahlah Rupanya musuh diluar liehay sekali. Kita harus waspada."

"Entah bagaimana dengan itu nona nona kakak beradik?" Oey Eng tanya pula. Ia menguatirkan dua saudara bercacat itu.

"Mari kita keluar untuk melihat," berkata Kho Kong, sipolos. "Barang kali musuh sudah pergi semua."

"Jangan sembrono." Ban Liang mencegah. "Jikalau aku tidak keliru menerka, sekarang ini justru musuh sudah mengurung kita berlapis lapis. jikalau kita lalai, kita bisa mendapat rugi..."

"Kalau begitu, loocianpwee," tanya Kho kong "apakah kita harus main menjaga saja?" Ban Liang tersenyum.

"Kita tunggu sampai terang tanah" sahutnya.

"Sebentar kita melihat keadaan, baru kita pikirkan tindakan kita selanjutnya"

Ketika itu angin bertiup-tiup, rumah atap turut tertiup pula. Dengan lewatnya sang waktu diufuk timur tampak cahaya putih samar samar Dengan perlahan, segala sesuatu diluar terlihat makinjelas dan terang.

Siauw pek mengintai. Segalanya terang di luar: rumput hijau, air pengempang bergoyang perlahan. Tak ada bayangan seorang juga. "Apakah masih ada musuh?" tanya Ban Liang dari belakang pintu.

"Tidak," sahut Siauw pek, "Tidak ada pertanda apa apa."

"Nanti aku lihat" berkata Kho Kong sambil bergerak. Ban liang hendak menjaga, tapi ia terlambat.

Anak muda itu lari keluar. Ia memandang ke sekitarnya, Tak tampak musuh. Suasana tenang sekali. Lalu ia berpikir: "Ban locianpwe terlalu teliti, da bercuriga tanpa alasan. Musuh toh sudah pergi..." karenanya, ia bertindak lebih jauh dari muka rumah.

"Saudara Kho,jangan sembrono" Ban Liang berteriak, "Lekas balik"

"Jangan kuatir, loocianpwee" sahut si anak muda. "Musuh sudah pergi semua"

Ia berjalan terus kebelakang rumah, sijago tua khawatir, hingga dia menghela napas. "Saudara Kho sembrono sekali, aku khawatir."

Siauw pek dan Oey Eng kurang berpengalaman, mereka sama berpikir, walaupun Kho kong sembrono tetapi dia bisa melihat, mustahil dia tidak tahu kalau ada musuh?" Oleh karena ini, mereka tidak berpikir seperti sijago tua.

Tapi Kho kong pergi, sampai lama belum kembali, Kedua anak muda saling melirik.

"Aneh," berbisik Siauw pek, Jangan-jangan benar shatee mendapat celaka..."

"Nanti aku lihat " berkata Oey Eng sambil bergerak untuk pergi keluar.

"Tak usah " mencegah sijago tua keras. Sipemuda heran, "Kenapa loocianpwee."

"Musuh sudah memasang perangkap disekitar rumah ini. asal kau keluar, kita bakal kehilangan lagi satu tenaga." "walaupun ada gunung golok dan kwali minyak panas, mesti aku lihat saudara Kho " berkata Oey Eng.

"Ingatlah, tak sabaran dengan urusan kecil dapat menggagalkan rencana besar..." si jago tua memperingatkan. Tapi Siauw pek sependapat dengan Oey Eng Kata dia : "Siapa bersaudara, mereka mesti mati atau hidup bersama. siapa yang tidak jujur, dia dikutuk Thian Menyesal, loocianpwee aku mesti sia-siakan kebalkan hatimu"

Berkata begitu, anak muda ini menghunus pedangnya dan berlompat keluar. Sijago tua menarik napas.

"Kalau diluar ada musuh, kau sendiri dapat melayani mereka," katanya.

"Hanya..." Siauw pek merandek. "Hanya apa, loocianpwee?"

"Menurut apa yang aku duga, saudara Kho tertawan musuh tanpa dia berkesempatan lagi melakukan perlawanan." menerangkan sijago tua. "Dia kena tertangkap hidup-hidup."

"Bagaimana pendapatmu ini, loocianpwee "

"Kho kong sembrono tetapi kadang kadang dia teliti." berkata sijago tua, "dia tak akan pergi terlalujauh dari sekitar rumah ini, dan kalau dia bertempur dengan musuh pasti kita mendengar suara bentrokan senjatanya. Atau kalau tidak dengar suara senjata beradu, pasti terdengar juga terlak-teriakannya..."

Siauw pek mengangguk, "Loocianpwee benar juga." katanya. "Musuh banyak, kita sedikit, buat dapat kemenangan, kita harus

sabar." berkata pula sijago tua "begini dalam pertempuran kita ini"

"Habis bagaimana, loocianpwee ?" Oey Eng tanya.

"Kita lihat kelebihan kita untuk menghadapi kekurangan lawan..." "Maukah loocianpwee menjelaskan lebih jauh?" "Disamping jumlahnya yang besar, musuh sudah mengatur perangkap disekitar rumah kira ini, asal kita keluar, berarti kita menyerahkan diri masuk kedalam perangkapnya itu. Sekarang ini kita menanti saja serangan mereka*

"Jikalau mereka tidak menyerbut, apakah kita harus menanti terus, biarpun sampai satu tahun?" Oey Eng menegaskan.

"Menurut terkaanku, musuh tak akan lewat kau hari ini. Kalau mereka tidak menyerbu di waktu sore, pasti sebentar malam. Mungkin secara besar besaran..." mendadak si orang tua itu memperlahan suaranya. "Nampaknya si serba kuning ini, benar orang penting dari rombongan itu. Mereka tidak berani meneruskan melepas api membakar kita, tentu inilah sebabnya. Yang dicurigai mereka tentulah kenapa enam orangnya yang menyerbu dapat kita tawan dengan mudah. Pasti mereka menduga rumah kita ini rumah perangkap karena mana mereka tidak berani lancang menyerbunya..."

Kembali sijago tua berpikir, maka ia berhenti sebentar, baru ia melanjutkan "Hanya orang yang mengepalai rombongan itu sekarang ini teranglah orang yang lihay, yang sabar luar biasa, maka juga dia dapat mengatur perangkap diluar, tak mau dia sembarang menyerbu."

Oey Eng menghela napas, ia berduka. "Kalau kita sampai mag rib, bukankah sekalipun ada seratus saudara Kho juga akan keburu dibinasakan semuanya?..." katanya, masgul.

"Pikiranmu beda daripada pikiran kau, saudara kecil," berkata Ban Liang, tetap sabar. "benar mereka telah menawan saudara Kho tetapi kitapun telah membekuk orangnya dan si serba kuning ini orang penting dari mereka itu. Mungkin dia bukan kepalanya tapi dia toh salah satu orang pentingnya mana mereka berani mereka menurunkan tangan jahat atas diri saudara Kho."

Ban Liang melihat keluar rumah. Dengan perlahan ia menambahkan. "Aku masih memikirkan sesuatu yang luar biasa. Mungkin rombongan musuh kita ini ialah rombongan yang disebut Su Kay Taysu, mungkin dialah sipengacau dibelakang tirai kaum Kang Ouw..."

Siauw Pek terperanjat. Segera dia ingat sesuatu. Maka dia bangkit, terus dia menggusur si serba kuning kemuka pintu, segera dia meloloskan topeng orang itu.

Enam mata dari si anak muda dan Ban Liang segera diarahkan kemuka si serba kuning itu, semua merasa heran, hingga mereka menatap terus : Itulah sebuah wajah yang cantik sebagai wajah seorang wanita, alisnya lentik, matanya jeli, kulit mukanya halus dan dadu.

"Mukanyapun berbau pupur, bukan seperti muka pria." kata Oey Eng.

wajah Ban Liang nampak sungguh-sungguh. Kata dia perlahan. "Mungkin itu rencana besar dari beberapa puluh tahun, sekarang ini mulai meletus dan kitalah yang pertama kali menemuinya..."

"Loocianpwee, kata-kata loocianpwee kurang jelas," berkata Oey Eng. "Selama beberapa puluh tahun aku tinggal menyendiri didalam lembah yang sunyi sambil mempelajari ilmu Ngo Kwie souw Hun Ciu, kesabaranku bertambah, demikian juga pengalamanku," berkata siorang tua, "setiap kali aku memikir sesuatu hal, dapat aku memikirkannya dengan tenang dan merdeka, demikian kali ini, aku telah memikirkan sesuatu."

"Apakah itu, loocianpwee?"

"Coba kau terka, berapa usianya siserba kuning ini?"

"Jikalau dia benar seorang wanita, mengingat tenaga dalamnya yang mahir, dia paling sedikit diatas tiga puluhan."

"Sekarang coba kau gunakan pedang menyontek bajunya itu,jikalau dia benar seorang wanita, pasti kita akan menemukan sesuatu." Oey Eng heran, hatinya jadi tertarik, Tanpa ayal lagi, dengan ujung pedangnya ia menyontek baju orang tawanannya itu. Maka terbukalah baju orang itu, hingga terlihatlah dua buah susunya. Ban Liang mengibas tangannya, akan lekas-lekas menutup rapat baju itu, kemudian ia menghela napas.

"Orang ini mungkinkah dia..." katanya.

"Siapakah dia loocianpwee?" tanya Oey Eng. Ban Liang hendak menjawab ketika dia melihat Siauw pek tengah mengawasi mendelong kepada si serba kuning itu. Ia membatalkan niatnya, bahkan ia menoleh kepada Oey Eng. Sianak muda mengawasi ketuanya Iaheran ketua itu nampaknya teng ah berpikir keras.

"Saudara; apa kah kau kenal wanita ini?" Ban Liang bertanya perlahan.

Siauw pek bagaikan tersadar. Dia menghela napas. "Aku sendiri mengenal baik padanya," sahutnya, ragu-ragu. "Kau berpengetahuan luas, loocianpwee, apa kah kau kenal kepadanya ?"

"Tidak," sahut Ban Liang.

"Rasanya aku pernah lihat dia entah dimana..." kata Siauw pek, "Kita pikir saja perlahan-lahan," kata sijago tua. "Kita mempunyai

cukup waktu akan mengingat-ingat..."

"Sekarang ini aku ragu-ragu, rasanya aku pernah menemui dia, rasanya tidak, toh rasanya pasti aku mengenalnya baik sekali," kata pula sianak muda "Ah dasar benak hatiku, rasanya dia telah ada lukisannya"

"Kenyataan apa kah itu, saudara kecil ?" ^

"Kenyataan bahwa didalam dunia ini ada seorang seperti dia..." "Kalau begitu saudara, coba kau ingat baik-baik. Adakah seorang

diantara keluarga Pek Ho Bun kamu yang mirip dengan wanita ini?"

"Tidak, aku telah mengingat ingat tetapi aku tidak ingat kepadanya."

"Aneh" Oey Eng turut bicara, "kau tidak ingat dia, kau belum pernah melihatnya, tapi kenapa kau rasanya mengenalnya dan dia terlukis dalam benak hatimu ?" "Inilah yang membuatku bingung..."

Kembali sianak muda menatap siserba kuning itu.

"Loocianpwee, bagaimanakah ini?" Oey Eng berbisik pada Ban Liang. Jago tua itu menggeleng kepala.

"Ya, aneh Kalau begini kita harus menanti kembalinya nona Hoan..."

Oey Eng menghela napas. "Benar-benar dunia Kang Ouw aneh" katanya.

Dan Ban Liang berpikir keras. "Banyak pengalamanku tetapi yang seperti ini, inilah yang pertama kali," katanya.

Kedua orang berbicara dengan sangat perlahan. Siauw Pek seperti mendengarnya. Sebab dia lagi berpikir keras sekali, pikirnya itu lagi terbenam. Justru itulah mereka mendengar satu suara nyaring: "Aku hendak bicara dengan kamu,tuan-tuan" Suara itu keras bagaikan guntur. Semua orang lalu menoleh, maka didepan pintu terlihatlah seorang bertubuh besar dengan warna pakaian hitam seluruhnya. Dia bertangan kosong pula.Jarak antara pintu dan dia kira-kira dua tombak lebih. Habis berkata begitu, dia diam menanti.

"Ada pengajaran apakah dari kau, tuan?" Ban Liang bertanya. "Aku  mendapat  tugas  berbicara  dengan  kamu  tuan  tuan," ia

mengangkat  tangannya  dan  menggoyang  goyangkannya,  "Tuan-

tuan lihat, aku tidak membekal senjata." Ban Liang tertawa dingin.

"Bawa senjata atau tidak, sama saja" kata jago tua ini. "Asal kau berani main gila. jangan nanti kau sesalkan aku siorang tua paling dahulu aku akan habiskanjiwa orang berpakaian kuning ini"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar