Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 46

JILID 46

Su Kay Taysu kagum terhadap si nona. Diam diam ia mengawasinya.

"Dia sangat bersakit hati, hingga perbuatannya jadi begini telengas," pikirnya. "cara bagaimana aku harus membujuknya, membuatnya mengerti, supaya dia mencari musuh musuh besarnya yang langsung, supaya dia tak melakukan terlalu banyak pembunuhan semacam ini?"

Ketika itu, hati Nona Coh sudah menjadi tenang, maka ia berpaling kepada sekalian pengikutnya, habis mengawasi mereka itu, ia berkata. "Inilah Coh Siauw Pek, adik kandung dari punco.  Mari kalian mengenalnya." Berkata begitu, nona itu menunjuk adiknya itu. Beberapa puluh orang itu dengan segera berpaling kepada Siauw Pek, dengan serempak mereka memberi hormat sambil membungkuk, dan dengan serempak mereka memanggil, "Coh Tayhiap"

"Hiap" ialah orang gagah, dan "tay" yang besar.

Siauw Pek merangkap kedua tangannya membalas hormat, sambil merendah dia berkata. "Aku masih berusia muda, aku mengharap petunjuk dari kalian."

Segera terdengar pula suara Bun Koan, nyaring. "Saudaraku ini adalah Kim Too BengCu. Kalian telah menyaksikan kegagahannya, karena itu, tak usah punco menyebutnya lebih banyak pula."

Semua orang itu mengangguk tanpa mengatakan sesuatu. Siauw Pek terlihat tegas bagaimana kewibawaan kakaknya itu terhadap orang orang bawahannya.

Sementara itu hati suci dan pemurah dari Su Kay Taysu tak tenang disebabkan ia memikirkan it ceng semua yang terdiri dari beberapa puluh jiwa, maka itu, selagi semua diam, ia merangkap kedua tangannya terhadap si nona dan bertanya, "Nona Coh, orang tadi yang berjumlah tiga puluh lebih, telah matikah mereka semua karena bekerjanya racun ?"

Sepasang alis lentik si nona bergerak. matanyapun bersinar. "Loosiansu" ia berkata tanpa menyangkal atau mengiakan

pertanyaan si pendeta, "agaknya loosiansu sangat memperhatikan nasib mereka itu. Apakah loosiansu menghendaki hidupnya mereka atau kematiannya ?"

Hati Siauw Pek tidak tenang. Sikap kakaknya itu sikap keras. Tak ingin ia ada perselisihan diantara kakak itu dan Su Kay. Karena itu sebelum sipendeta menjawab, ia mendahului datang sama tengah.

"Siauw Lim Pay telah kehilangan kitab kitab pusakanya," demikian ia berkata kepada kakaknya itu, "dan semua orang itu ada sangkutpautnya dengan pusaka tersebut, karenanya losiansu sangat menguatirkan kalau kalau mereka mati semuanya hingga tak ada lagi jalan mencari tahu tentang kitab pusaka itu."

"Pada saat ini mereka masih belum mati" sahut Bun Koan, dingin. Mendengar kata kata kakaknya itu, sedikit itu legalah hati Siauw

Pek. Ia segera memutar haluan.

"Kakak," katanya "kaulah pemilik Kiu IHeng Cie Kiam, tetapi kenapa kaupun menjadi tongcu dari chee liong Tong dari Seng Kiong Sin Kun?"

Kakak itu tertawa hambar.

"Kedudukan tongcu dariku ini adalah kedudukan sementara waktu, karena terpaksa oleh suasana," sahutnya. "Aku menggunakan tubuh lain orang..."

Ia mengernyitkan alisnya, terus ia menghela napas perlahan Hanya sedetik ia melanjutkan kata katanya. "Guna membalas sakit hati besar dari Pek Ho Bun, kakakmu ini perlu mengumpulkan tenaga yang besar, sambil berbareng melakukan pembalasan terhadap setiap musuh kita. Telah aku berpikir keras, telah aku menggunakan banyak daya, masih belum berhasil aku mencari musuh musuh besar kita, si biang keladi. Barulah yang paling belakang ini, aku berhasil mendapat tahu tentang suatu rahasia besar..."

Siauw Pek heran, hatinya tertarik. "Rahasia apakah itu, kakak?" tanyanya.

Sinar mata si nona bermain main Disitu tampak cahaya kesedihan dan kegusaran Ia masih muda tetapi telah banyak pengalamannya, penderitaannya membuat hatinya jadi membaja. Maka juga, walaupun ia sangat berduka, sanggup ia mempertahankan melelehnya air mata.

"Rahasia itu menyangkut nama baik keluarga kita," sahutnya, dingin. "Rahasia itu panjang untuk dituturkan. Lain kali saja akan aku ceritakan kepadamu..." Siauw Pek mengerti. Disitu banyak orang luar sedang ceritera si kakak mengenai keluarganya. Tetapi ia berduka. Iapun malu kalau ia ingat, ia adalah seorang pria tetapi usahanya masih kalah dari usaha kakaknya itu. Tanpa merasa, air matanya menetes turun...

Bun Koan bagaikan hendak meredakan kesedihan adiknya itu, ia barkata: "Aku mengetahui rahasia ini sesudah aku masuk didalam rombongan Seng Kiong Sin Kun. Itulah mengenai si biang jahat. Karena itu aku segera berusaha keras untuk mencari tahu sarangnya. Baru beberapa hari yang lalu, dengan kebetulan saja aku dapat membekuk mulutnya aku mendapat tahu tentang pendurhakaan dan penghinaan pendeta pendeta dari Siauw Lim Sie itu"

"Siapakah itu Khouw Hong Tie?" tanya Siauw Pek. Ia tak kenal nama itu.

Ban Liang menyela. "Dia adalah ketua dari Tiat ciang Bun. salah satu dari keempat Bun."

Bun Koan mengangguk.

"Ban Loo Enghiong benar," bilangnya. "Memang Khouw Hong Tie itu ketua Tiat ciang Bun. Aku kaget sekali waktu aku bertemu dengannya"

Siauw Pek heran. "Kenapakah, kakak?" tanyanya.

"Duduknya begini," sang kakak menerangkan "pada setengah bulan terdahulu, selagi aku berada diwilayah KangCiu tengah menyelidiki letak Seng Kiong, disana seCara kebetulan aku bertemu dengan Khouw Hong Tie. Dia justru tengah menyelidiki tentang pemilik pedang Kiu Heng Cie Kiam. Kami berdua bentrok. kami berkelahi, Khouw Hong Tie kalah, dia mati ditanganku, dibawah pedang emasku."

"Pedang emas" ialah "kim kiam" (Kim emas, Kiam pedang).

Si nona berfikir sedetik, lalu sambungnya. "Ketika itu telah aku ketahui bahwa ayah dan kakak kita telah terbinasa ditangan orang orang dari sembilan pay besar, empat bun, tiga hwee dan dua pang, bahwa orang yang dibelakang layar ialah Seng Kiong Sin Kun, akan tetapi supaya mudah pembalasanku, guna memperkurang perintangku, habis membinasakan Khouw Hong Tie, diam diam aku mengubur mayatnya. Perbuatanku itu tersimpan bagaikan rahasia, bahkan orang orang Tiat ciang Bun juga tak ada yang tahu bahwa ketuanya telah terbinasa ditanganku. Siapa tahu, selewatnya setelah bulan itu, mendadak aku bertemu pula dengan Khouw Hong Tie yang masih hidup,.."

Siauw Pek mengerutkan alisnya.

"Seng Kiong sin Kun, pandai dalam ilmu merubah wajah muka orang," berkata dia "Dia pandai membuat satu orang mirip dengan orang lainnya hingga mereka berdua itu menjadi kembar, sulit dibedakan mana yang tulen dan mana yang palsu. Khouw Hong Tie itu pastilah karya dia "

"Ketika itu aku heran bukan main," Bun Koan meneruskan Ceriteranya. "Aku menyembunyikan diri, seCara diam diam aku awasi gerak gerik Khouw Hong Tie. Begitulah aku mendapat tahu dia memerintahkan orang orang Tiat ciang Bun mengenakan tutup kepala dan muka warna hitam, mereka itu diperintahkan lekas pergi ke gunung Siong San untuk menyambut it Tie, pendeta Siauw Lim Sie yang berkhianat dan memberontak itu."

Siauw Pek terperanjat.

"Teranglah bahwa kaum Kang ouw atau Bu Lim telah terpedayakan Seng Kiong Sin Kun" katanya. "Dia Cerdik dan licik, dia pandai mempermainkan orang tanpa orang sadar bahwa dirinya dijadikan boneka, tanpa orang insyaf bahwa dia telah diperintah melakukan segala sesuatu yang tak wajar..."

"Tapi itu tak selamanya benar," berkata sang kakak, tawar.

Siauw Pek heran.

"Bagaimana itu?" tanyanya.

"Dari sembilan pay besar, empat bun tiga hwee dan duapang, telah ada banyak orang pentingnya yang sudah menakluk kepada Seng Kiong Sin Kun It Tie dari Siauw Lim Sie ialah salah satu contoh. Yang lainnya lagi seperti Gouw In cu dari Bu Tong Pay, Hoat ceng dari Ngo Bie Pay dan Shie Siang Hin dari Khong Tong Pay. Mereka itu bertakluk kepada sin Kun semenjak sepuluh tahun yang lampau"

"Itulah kejadian yang sungguh diluar dugaan orang" berkata Siauw Pek masgul, hingga kembali ia mengerutkan dahinya. "Mereka toh ketua ketua dari keempat partai besar yang kedudukannya tinggi dan mulia? Kenapa mereka justru tunduk terhadap orang yang mencelakai guru mereka masing masing ?"

"Peristiwa di Yan In Hong itu terjadi menurut rencana Seng Kiong Sin Kun," Bun Koan menerangkan terlebih jauh. "Dia bekerja dibelakang layar. Yang turun tangan ialah It Tie berempat itu. Dengan lebih tegas, mereka menjadi mata mata Sin Kun, mereka berkhianat terhadap partai sendiri. mereka merampas kedudukan ketua partainya masing masing dengan bantuan Sin Kun itu.  Dengan begitu juga Sin Kun jadi mengumpul tenaga bantuan untuk dirinya sendiri, guna Cita cita yang besar. Dia hendak merajaiBu Lim dunia Rimba Persilatan."

su Kay kaget hingga mukanya menjadi pucat.

"Nona," tanyanya. "Dari manakah nona ketahui semua ini ?" Nona Coh tertawa dingin.

"Apakah taysu tidak percaya?" dia balik bertanya.

"Loolap percaya, nona," sahut Su Kay tetap. "Hanya saja urusan ini sangat mengejutkan. saking anehnya hingga sulit orang mempercayainya."

Bun Koan tetap tertawa dingin.

"Ketua kalian, It Tie telah kabur dengan membawa kitab kitab pusaka partai kalian, dia berkhianat dan memberontak^ tidakkah itu sangat mengejutkan ?" tanyanya. "Toh kejadiannya benar benar dan terbeber dihadapan mata kita, mau atau tidak. orang mesti mempercayainya " Tajam dan keras suara si nona. Siauw Pek kuatir su Kay nanti tersinggung, maka ia mengawasi kakaknya itu dan berkata: "Apakah dari partai partai lainnyapun ada lagi yang berkhianat dan memberontak itu ?"

"Tentang itu, aku masih belum memperoleh keterangan," sahut sang kakak, yang merandak sejenak. "Hanya saja, terhadap yang dia belum pengaruhi, Seng Kiong Sin Kun menggunakan siasat lainnya, yaitU ia menyamarkan ketua ketua partai yang bersangkutan itu, ia memalsukan segala titah partai, supaya orang orang partai yang belum ditaklukkan itu dapat diperintah sesukanya olehnya. Ini juga merupakan suatu siasat yang lihay sekali."

Tiba tiba : "Coh Bun Koan, rahasia yang kau ketahui tak sedikit jumlahnya" demikian terdengar satu suara mengalun yang memasuki pendopo besar itu.

Hanya sejenak itu, tubuh Siauw Pek sudah bergerak. untuk melesat keluar toatian guna mencari orang yang berbicara itu. Tapi sama sebatnya, Bun Koan telah menyambar dan menarik lengan adiknya itu, mencegahnya melompat keluar.

"Siapa disana?" tanya Nona Coh sambil mencegah saudaranya itu.

Suara tadi yang datangnya bagaikan dari atas udara, terdengar pula: "Kalian kakak beradik, bukankah kalian berniat untuk membalaskan sakit hati ayah dan kakakmu ?"

Bun Koan tidak menjawab, hanya dia bertanya dingin: "Kaukah Seng Kiong sin Kun?"

"Tak salah Itulah punco" sahut suara itu.

Darah Siauw Pek bergolak mendengar mengetahui orang itu ialah musuh besarnya. Kembali ia hendak melompat keluar pendopo, untuk mencarinya. Tapi Bun Koan mencekal keras tangan adiknya itu.

"Jikalau benar kau sendirilah yang hadir, Sin Kun," kata si Nona. "mengapa kau tak sudi menampakkan diri ?" Suara itu menjawab pula, sama sabarnya seperti barusan: "Punco masih mempunyai urusan, buat sementara ini belum dapat punco menemui kalian kakak beradik sekarang ini baiklah kamu rajin rajin melatih ilmu silat kamu, untuk menanti hari pertemuan kita "

Mata Siauw Pek merah membara. "Kakak, lepaskan tanganku" katanya.

sebelum Bun Koan menjawab adiknya, terdengar pula suara tadi.

"Walaupun ilmu silatmu sempurna, kau masih bukan tandinganku" demikian katanya, mencemooh. "Dibelakang hari kita akan bertemu pula, maka sekarang janganlah kau bergusar tak karuan "

makin lama suara itu terdengar makin jauh, sampai pada kata kata "tak karuan", suara tinggal bagaikan nyamuk. Maka teranglah bahwa orang telah pergi jauh. Siauw Pek gusar hingga tubuhnya menggigil sendirinya, hingga ia mengucurkan air mata

Untuk sejenak. Bun Koan berdiam ia agaknya sangat bersusah hati, ia merasa kasihan terhadap adiknya itu, tetapi dilain saat muncul pula sikap dingin dan agungnya. "Mungkin dia itu memang jauh lebih lihay dari pada kita," katanya tawar.

"Sekalipun kita tak dapat melawan dia, tak dapat kita membiarkannya berlalu sesukanya" berkata sang adik, yang hatinya masih panas.

"Saat ini bukan saatnya menggunakan kekerasan," kata Bun Koan sabar, tetapi nada suaranya sangat dingin. "Buat apa kita mengumbar hawa amarah kita jikalau itu toh tak ada faedahnya ?"

Su Kay Taysu, yang sejak tadi berdiam saja, menghela napas.

Iapun mengagumi ketenangan nona itu.

"Loolap pun tadi berniat menyusul keluar pendopo, loolap ingin memaksa dia memperlihatkan diri Sayang loolap tak tahu dia sebenarnya berada dimana..." "Adik, sabar," berkata Bun Koan kemudian "Buat menuntut balas, memang mesti kita cari dia " Ia memutar tubuh kebelakang, untuk memerintahkan seorang berseragam hitam dibelakangnya itu: "coba pergi lihat di pendopo belakang, Uh bun ceng masih ada atau tidak."

"Baik, nona" berkata pengikut itu, yang terus lari ke belakang.

Menyaksikan gerak gerik si nona, Ban Liang berkata didalam hatinya: "Nona ini cerdas Sekali, dia pula teliti, memang pantas dia menjadi pemimpin..."

Tidak lama, pengikut tadi sudah kembali dengan lari lari terengah engah, agaknya dia heran dan kaget, hingga ketika dia memberikan laporannya, suaranya bergemetar. "Nona, orang orang tawanan kita telah mati semuanya "

Menyusul pengikut itu, muncul empat orang berseragam hitam yang bertubuh besar. Mereka segera berlutut didepan si nona, paras mereka pucat sekali, suatu tanda mereka heran, kaget dan takut.

Bun Koan menatap bengis kepada keempat orang itu, yang tak dapat segera berkata kata. "Kamu toh yang bertugas menjaga pendopo belakang?" tanyanya, keren.

Dengan muka pucat, dengan roman ketakutan, empat orang itu mengangguk. "Benar..." sahutnya, susah.

Siauw Pek mengawasi kakaknya. Ia mendapat kenyataan kakak itu gusar sekali, hingga ada kemungkinan dia akan menjatuhkan hukuman mati kepada empat pengikutnya itu. Maka lekas lekas ia campur bicara.

"Apakah mereka semua mati disebabkan bekerjanya racun?" ia mendahului menanya mereka itu.

Bun Koan mendahului orang orangnya itu menjawab adiknya. "Tak  mungkin  mereka  itu  terbinasa  karena  bekerjanya racun"

ujarnya. "Pasti kematian itu hasil perbuatan seng Kiong Sin Kun Dia tidak dapat menolong, dia juga tak menyukai orang terjatuh kedalam tanganku, karena itu, dia membinasakan mereka semua "

Keempat orang itu takut bukan main-

Hati Su Kay pun berdenyutan, hingga berulang kali ia memuji Sang Buddha. ia takut Nona Coh kembali membunuh orang. Lekas  ia berkata, "Seng Kiong Sin Kun hebat luar biasa sekalipun kita, tidak dapat kita mencegahnya berlalu dari sini, apa pula ini empat orang petugas..."

"Bagaimana dengan Uh bun ceng dan Khouw Hong Tie?" si nona tanya pula, dingin.

"Telah hamba memeriksanya, semua tiga puluh sembilan tawanan lengkap mayatnya, satu pun tidak kurang," menjawab si pengikut wanita.

"Amidha Buddha " Su Kay memuji, "orang itu sangat kejam, dia gemar sekali membinasakan orang, tak dapat dia dikasih hidup didalam dunia"

Saking gusarnya, pendeta ini menjadi hilang sabar.

Bun Koan menatap pendeta itu, dari roman mukanya, ia hendak mencemooh, tapi lantas diulapkannya tangannya kepada empat orang petugasnya itu.

Bukan main girangnya keempat orang itu, lekas lekas mereka menghaturkan terima kasih sesudah itu, lekas lekas juga mereka mengundurkan diri.

Seberlalunya empat orang pengikut itu, Bun Koan berkata: "Apa yang aku lakukan sebegitu jauh adalah apa yang dinamakan pembunuh pembunuh gelap. Aku pula tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, karena itu, aku singgah dimana aku suka..." ia menoleh kepada Ban Liang, dan memanggil: "Ban Loo Enghiong"

"Ada apa, nona?" menjawab sijago tua, sambil merangkap kedua tangannya. "Baru saja Seng Kiong Sin Kun mengatakan dia mempunyai urusan, dapatkah loo Enghiong menerka urusan itu urusan apa?" sinona bertanya.

Seng su Poan berpikir cepat.

"Mungkin itu mengenai It Tie," sahutnya.

"Dugaanku sama dengan dugaan loo Enghiong," sinona berkata. "Rupa rupanya Seng Kiong sin Kun masih belum berhasil mendapatkan kitab kitab pusaka Siauw Lim Sie itu."

"Siauw Lim Pay mengerahkan tenaganya secara besar besaran," Siauw Pek turut bicara, "dengan begitu It Tie menjadi terdesak sampai dia kehabisan jalan lolos, kelangit tak dapat naik, kebumi tak dapat masuk. karena itu, pastilah tak mudah seandainya Seng Kiong Sin Kun menghendaki kitab kitab pusaka itu..." sekonyong konyong alis sinona terbangun.

"Ada pepatah yang mengatakan, Kerajaan cin kehilangan menjangannya, dunia sama memburu mengejarnya," katanya. "Demikian dengan halnya barang pusaka Siauw Lim Pay itu, karena sekarang pusaka itu tak ada pemiliknya lagi, sudah selayaknya saja jikalau kita bekerja keras untuk mencoba merampasnya"

Su Kay Taysu jengah sendirinya mendengar kata kata polos dari sinona, yang bicara tanpa tedeng aling aling lagi sekalipun dihadapannya ada pendeta dari Siauw Lim Sie. Orang Siauw Lim Pay yang masih mempunyai hak atas kitab kitab pusaka itu. Bahkan Siauw Pek sendiri turut jengah juga .

Bun Koan melihat semua orang bungkam, ia tertawa tawar. "Adik" katanya.

"Ada apa kakak?" tanya si anak muda.

Nona Coh mengawasi saudara mudanya itu, tanyanya: "Diantara musuh keluarga Coh yang dahulu mengejar ngejar kita, ada juga pendeta pendeta dari Siauw Lim Pay, kau tahu atau tidak" Siauw Pek menghela napas ia dapat menerka hati kakak itu. Sang anak tengah bergusar.

"Itulah perbuatan It Tie satu orang" sahutnya perlahan "It Tie telah menjadi murid murtad dan durhaka, penghianat dari kuil dan partainya, maka itu janganlah kita karena kita membenti It Tie satu orang, menyama ratakan semua orang Siauw Lim Sie."

Bun Koan tetap tertawa dingin. Katanya bengis: "It Tie menjadi musuh besar kita, dia juga murid murtad dan durhaka dari Siauw Lim Sie .Jikalau kita Cari dan bekuk dia, kita toh tidak bersalah, bukan ?"

"Memang, kakak..."

Nona itu tertawa, bengis nadanya. Segera ia memberikan perintahnya, ia memeCah orang orangnya buat pergi turun gunung, untuk nanti berkumpul dikaki gunung Siong San, pusat Siauw Lim Sie.

Perintah itu ditaati, dengan Cepat semua kiamsu serba hitam itu memeCah diri dalam tujuh pasukan keCil dan segera berangkat turun gunung, menuju ketempat yang ditunjuk itu.

Tatkala waktu fajar yang Cerah, Bun Koan juga lalu berangkat bersama empat pelayan kepercayaannya, Siauw Pek turun bersama Ban Liang, Oey Eng dan Kho Kong dan Su Kay Taysu. Pendeta ini likat atau tidak, terpaksa harus turun bersama. ia dapat memahami jalan pikiran Nona Coh. Ia insyaf kekeliruan pihaknya, walaupun semua itu disebabkan pengkhianatan It Tie seorang.

Pikiran Su Kay Taysu sama dengan pikiran Siauw Pek. Untuk membekuk It Tie, mereka berdua sependapat. Untuk merampas kitab kitab pusaka Siauw Lim Sie, itulah urusan lain-Itu pula pekerjaan tak mudah. Maka juga mereka terserah pada sang waktu nanti...

Rombongan Siauw Pek, bahkan Siauw Pek sendiri, jeri terhadap kewibawaan Nona Coh. Nona itu gagah, keras hati dan pandai mengambil keputusan Cepat. orang boleh tak takut tetapi orang harus menghormati atau mengaguminya...

Sambil berjalan itu, Bun Koan mengambil kesempatan berbicara banyak dengan adiknya yang dia tanyakan pengalamannya semenjak mereka terpaksa berpisah di muka jembatan maut seng Su Kio -Jembatan Hidup atau Mati.

Siauw Pek menuturkan segala pengalaman bagaimana ia berhasil melintasi jembatan itu hingga bertemu dengan Kie Tong dan Siang Go hingga memperoleh pelajaran ilmu pedang dan ilmu golok kedua jago itu, bagaimana dalam perjalanan mengembara ia bertemu Oey Eng dan Kho Kong dan Ban Liang sijago tua, bagaimanakah ia mendapat warisan golok ceng Go Loojin sehingga ia membangun Kim Too Bun, partainya itu. ia menceritakan perjalanannya mengunjungi Hoan Tiong Beng sehingga ia bertemu dengan kedua Nona Hoan, yang membantunya melawan musuh musuhnya sampai mereka berhasil menolong ketua dari Ngo Bie Pay, sampai paling belakang itu mereka menempur orang orang Seng Kiong Sin Kun.

"Dengan kedua saudara Hoan itu, pernah satu kali aku bertemu muka," berkata sang kakak. yang menghela napas. "Mereka itu Cerdas sekali dan Cantik, sayang Thian yang berkuasa tak memberkahi mereka..."

"Mungkin kamu belum jelas, kakak," kata Siauw Pek. "Walaupun mereka itu bercacat, mereka bukan main cerdik dan pandainya, mereka melebihi kebanyakan orang."

"Syukurlah kalau begitu"

Nona Coh mengangguk. lalu ia menambahkan^ "Di bawah perintahku ada tujuh orang kiamsu. Kepada mereka itu aku telah menjanjikan diriku, yaitu aku akan menikah dengan satu diantaranya yang paling gagah dan lihay maka juga mereka itu selalu bekerja mati matian membantu aku. Mereka berebut membuat pahala supaya dapat mendahului memilikiku."

Mendengar keterangan itu, Siauw Pek melengak. Tidak tahu ia harus berkata apa. Hati Su Kay Taysu berdebar sendirinya. Pikirnya: "Aneh Nona ini. Saking kerasnya keinginan menuntut balas, ia sampai bertindak tanpa pikir panjang lagi, hingga tubuhnya sendiri dijadikan taruhan hadiah"

Siauw Pek sebaliknya terharu sekali, ia berduka.

"Kakak..." katanya, air matanya mengucur turun. Ia menangis sesegukan. "Putusanku telah tetap adikku," berkata Bun Koan-

Jikalau dapat, kakak, baik kakak batalkan janjimu itu," berkata sang adik. "Tanggung jawab menuntut balas sakit hati kita serahkan kepadaku saja, aku tak akan mundur sekalian pun aku mesti kehilangan kepalaku" Bun Koan tertawa.

"Tak usah kau pikirkan aku," katanya. "Mulanya aku bersendirian, aku kekurangan tenaga, aku bertindak saking terpaksa. Sekarang ini lain-.."

Tengah mereka bicara itu, tampak kiamsu,jago pedang, lari mendatangi Cepat sekali. Alis Bun Koan terbangun. Darijauh jauh ia sudah mengenali jagonya itu.

"Ngo kiamsu, ada apakah?" tanyanya.

"Ngo kiamsu" ialah jago yang nomor lima (ngo).

Kiamsu itu berumur kira kira empat puluh tahun, mahir ilmunya, ringan tubuhnya, setelah datang dekat, dia memberi hormat seraya memberikan laporannya. "Baru Siok hee menerima laporan bahwa pihak Siauw Lim Sie telah memperoleh bala bantuan maka juga mereka bisa lolos dan lari menuju ketimur."

"Apakah ada berita mengenai It Tie?" tanya Bun Koan-

"Belum." sahut ngo kiamsu. Dia agak bersangsi sejenak baru dia menambahkan. "Pagi ini ada serombongan besar orang orang berkerudung kepala tiba disini, mereka itu segera bentrok dengan pihak Siauw Lim Sie, tapi anehnya, mereka bertempur sambil berlari lari. Rupanya mereka itu sama sama mencari It Tie." Nona Coh berpikir Cepat, maka Cepat juga ia memberikan perintahnya. "Perintahkan semua orang mengenakan kerudung kepala Kalau terjadi sesuatu lekas memberikan laporan"

"Baik" menjawab ngo kiamsu, yang terus memberi hormat dan pergi. Siauw Pek memandang kakaknya itu. "Apakah kakak berniat menyusul ke timur?" ia tanya. Bun Koan menggeleng kepala. "Kita harus pergi dahulu ke Siong San."

Sang adik heran-

"Untuk apakah?" tanyanya.

"Tentu saja untuk selagi api bekobar kita membarengi merampok" sahut kakak itu terus terang. "Kita harus berdaya merampas kitab kitab pusaka itu" sambung Bun Koan-

Mau atau tidak. Coh Siauw Pek tersenyum.

"Pihak Siauw Lim Sie telah meluruk keluar, maksudnya yang utama ialah mencari It Tie" berkata ia, "Maksud mereka itu ialah untuk mendapat kembali kitab kitab pusaka mereka. Kenapa sekarang kakak mau pergi ke Siong San. Bagaimanakah pendapat kakak?" tanya si adik.

Bun Koan bersikap dingin ketika menjawab adiknya itu. "Sampai didetik ini tidak seorang pun jua yang berhasil menemukan It Tie. Bahkan Seng Kiong Sin Kun sudah berhasil memiliki kitab kitab itu, pasti dia dapat seCara langsung menghadapi pihak Siauw Lim Sie tak usah dia kelabakan seperti ini." Si anak muda terCengang.

"Kalau begitu" katanya ragu ragu "jadi kakak maksudkan It Tie..."

"Itu Tie belum meninggalkan Siong San"

Su Kay yang berdiri dibelakang kakak beradik itu dia heran sekali hingga dia terkejut.

"Nona, apakah yang dijadikan dasar pendapatmu ini?" tanyanya "Kenapa nona percaya It Tie belum meninggalkan gunung kami?" Bun Koan bersikap tawar seperti biasa.

"Berdasarkan pengalamanku hidup menderita delapan atau sembilan tahun," sahutnya.

Su Kay berdiri tertegun, Nada suara si nona tetap bernada bermusuhan Terang si nona sangat sakit hati. Karena ini, sulit buat ia membuka mulut guna menjelaskan sesuatu.

"Kakak" Siauw Pek berkata pula. "Kakak berpendapat begini, mesti ada sebabnya, sayang aku bodoh, tak dapat aku menerkanya. Maukah kakak menjelaskannya?" tanya Siauw Pek.

Selama berbicara itu, mereka masih berlari lari. Bahkan Bun Koan lari cepat dengan menggunakan ilmu ringan tubuh. Sambil lari itu, dengan suara sabar, ia menjawab. "it Tie cerdik dan licik, dia berontak. dia pasti telah memikirkannya masak masak. Dia telah menjadi ketua partai, pasti dia tahu jelas keadaan partainya itu, terutama tentang kekuasaan partai. Dia tentu tahu baik sekali bahwa dalam ilmu silat dia tak dapat melayani kesembilan tiangloo, dan juga dia mengerti bahwa sulit baginya menyingkir lolos dari tangan para tiangloo itu."

"Jadi kakak maksudkan, untuk dapat lolos, It Tie perlu gunakan tipu daya yang licik itu."

"Memang" sahut Bun Koan "Tapi akal itu banyak macamnya. Akal apakah harus digunakan? Dia memikir tipu daya tonggeret melepaskan kerangkanya. Begitulah dia sendiri, dia tetap berdiam di dekat Siong San Dia menanti sampai orang orang turun gunung semua baru ia melihat selatan, akan menggunakan akal lainnya buat pergi lolos." Siauw Pek berpikir.

"Itu benar juga ," katanya. "Andaikata para pengejarnya pergi keselatan, dia dapat menyamar dan kabur keutara, dengan begitu dia tentu tak nanti kena tersusul dan tertawan."

Hati Su Kay terasa dingin mendengar pembicaraan kakak beradik itu, Sinona menerka benar. Karena itu, ia segera campur bicara. "Sudah lama It Tie takluk kepada Seng Kiong sin Kun," demikian katany, "Maka itu selolosnya dari Siauw Lim Sie, dia tentu pergi ke Seng Kiong, untuk memohon perlindungan"

"Itu belum tentu," kata si nona. "Ketika ia menakluk kepada Seng Kiong sin Kun, itulah kejadian pada banyak tahun yang lalu, akan tetapi didalam Siauw Lim Sie, dia telah berkuasa selama sembilan tahun, dia pegang kekuasaan besar, ada kemungkinan, karena kedudukannya yang tinggi itu, dia sudah memikir lain yaitu dia jadi sungkan berada dibawah perintah orang."

Pengalaman membuat sinona dapat berpikir luas, maka juga dalam urusan It Tie ini, beda pendapatnya dari Siauw Pek atau Su Kay Taysu Siauw Pek heran hingga ia berdiam.

"Jadi kakak." tanyanya kemudian, "kau berpendapat bahwa It Tie akan atau sudah memberontak terhadap Seng Kiong Sin Kun?"

"Demikianlah perkiraanku" jawab sang kakak. "Kekuasaan adalah unsur yang aneh. orang dapat ketagihan terhadapnya. Demikianpun aku sendiri. pada waktu pertama kali aku membangun Kiu Heng Cie Kiaw maksud utama dari aku ialah menyelesaikan sakit hati pribadi, tetapi sesudah lewat sekian lama, setelah aku berhasil seperti sekarang, cita citaku melampaui itu. Tak mudah buatku melepaskan kekuasaanku ini. Tanpa kekuasaan, aku akan merasa kesepian dan kehilangan..."

"Aku berpikir sebaliknya, kakak," berkata Siauw Pek. "Aku justru merasa hidup merdeka dan sebatang kara. Itulah bebas sekali, itulah jauh lebih menyenangkan daripada kita menjelajah kesana kemari, hingga kita bagaikan terikat..." Bun Koan tertawa.

"Berapakah jumlah orang orang mu, adikku?" tanyanya, dingin. "Semua cuma terdiri dari enam atau tujuh orang," sahut Siauw

Pek tersenyum. "Mereka itu bukanlah orang orangku hanya saudara saudari saja." "Karena itu,jadinya, kau tak pernah merasa memegang kekuasaan?" kata sang kakak. "Kau tak pernah menikmati itu" Sang adik menggeleng kepala.

"Aku tak tahu apakah kenikmatan kekuasaan-" sahutnya.

Bun Koan memandang adiknya. Katanya: "Seandainya ada banyak sekali orang yang hidup matinya, kemuliaan dan kehilangannya, kesenangan dan kesedihannya, semua berada dalam genggamanmu, semua mengandal kepadamu seorang diri, untukmu mereka bersedia menyerbu api, mengurbankan jiwa Bukankah dengan begitu kau bakal merasakan dirimu luar biasa sekali? Bukankah kau jadi bertanggung jawab? Bagaimana perasaanmu andaikata kau dapat memanggil, lalu ratusan orang menyahuti, yah kalau kau suka, dapat kau menyuruh mereka hidup. Jikalau kau membenci, dapat kau membinasakan mereka itu. Ada kau menggedrukkan kakimu, lantas langit dan bumi guncang? Bukankah itu akan membuatmu merasa dirimu besar sekali?"

Mendengar kata kata kakaknya itu, Siauw Pek berpikir: "Dilihat dari sikap kakak sekarang, pastilah sudah bahwa selama hidupnya ia telah menderita sangat. Kalau tidak, mengapa ia jadi gemar akan kekuasaan besar serta pimpinan?"

Bun Koan menghela napas. Adiknya itu tidak menjawab. ia berkata pula. "Sekarang ini keluarga Coh mempunyai kau satu satunya putra, maka itu tak lama lagi aku akan serahkan semua pengikutku kepada Kim Too Bun, untuk dengan Sepenuh tenagaku aku menunjang kepadamu supaya kau berhasil menjadi seorang besar kaum Bu Lim, supaya dengan demikian cepat kau menghadapi Seng Kiong Sin Kun"

Siauw Pek agak tak sepaham dengan kakaknya itu.

"Tujuanku hanya untuk membalaskan sakit hati, yang lainnya ialah urusan belakangan," katanya.

Tapi dengan tawar Bun Koan berkata: "Kau harus ketahui bahwa kaki tangan Seng Kiong sin Kun tersebar diseluruh negeri Sin Kun dapat memerintah atas demikian banyak pengikutnya, mestinya dia berkepandaian tinggi luar biasa Kau bersendirian saja, mana dapat kau menuntut balas?"

Siauw Pek tertawa.

"Menurut terkaan kau kakak It Tie jadinya ada didekat dekat sekitar gunung Siong San?" tanya ia, menyimpangi pembicaraan-

"Aku hanyalah menerka," sahut kakak itu. "Mungkin aku keliru. It Tie kabur dengan menggondol kitab kitab pusaka yang sangat berharga, mungkin karena kitab kitab itu, timbullah ketamakannya. Maka juga dia telah mendurhakai terhadap Seng Kiong Sin Kun-.."

Sampai disitu, Su Kay Taysu campur bicara

"Jikalau It Tie berhianat terhadap Seng Kiong sin Kun, apakah itu bukan berarti dia menanam dua permusuhan, hingga didepan dan dibelakangnya dia ada seterunya?" tanya pendeta beribadat itu. "Dengan demikian, walaupun dunia ada besar lebar sebagaimana adanya ini tapi tak ada tempat lagi dimana dia dapat berdiam diri."

"Hm" sinona memperdengarkan suara tawarnya. "Dunia begini luas dimana saja orang dapat menyembunyikan dirinya. Umpamakata aku menjadi dia, akan aku pilih sebuah kota besar dan ramai dimana akan aku tempatkan diriku. Akan aku salin rupa dan wajahku, untuk aku hidup menyendiri, guna meyakinkan pelajaran pelajaran istimewa dari kitab kitab pusaka itu. Aku percaya tanpa tiga atau lima tahun aku akan sudah berhasil memahami semuanya dengan sempurna, hingga selanjutnya aku dapat pulang ke Siong San guna merampas kembali kekuasaan ketua partai, guna bangun mengangkat diri, untuk menghadapi Seng Kiong Sin Kun, buat merampas pengaruh si Raja Sakti itu, supaya aku menjadi jago tunggal didalam dunia ini. Bukankah itu mudah?"

Siauw Pek kagum berbareng heran buat pikiran kakaknya itu. "Pernah aku menempur sembilan tiangloo," berkata ia mencari

penjelasan, "mereka itu mempunyai masing masing kepandaian yang istimewa maka itu buat It Tie merampas kekuasaan partai, buat ia menaklukkan kesembilan tiangloo, itulah sulit sekali." "Seorang diri adikku menempur sembilan tiangloo, bagaimanakah kesudahannya?" Bun Koan tanya.

"Kesembilan tiangloo belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya, dan Su Kay Taysu senantiasa mengalah, karena itu kesudahannya aku beruntung keluar sebagai pemenang," sahut Siauw Pek terus terang. Ia tidak menyebutkan bahwa ia tidak menggunakan goloknya, belum sampai ia memakai golok yang ampuh itu. Bun Koan tertawa dingin-

"Mana mungkin orang menempur tetapi bermain mengalah?" katanya. "Pastilah itu disebabkan mereka tak berdaya untuk mengalahkan kau maka mereka mengambil sikap menolak perahu menuruti aliran air, hingga nampaknya mereka mengalah"

Berkata begitu, Nona Coh segera berpaling kepada Su Kay Taysu. "Apakah kitab kitab pusaka yang dibawa kabur itu memuat ilmu

ilmu luhur yang istimewa?" ia tanya pendeta itu.

"Itulah tujuh puluh dua ilmu silat istimewa dari Siauw Lim Pay," sang pendeta rada likat.

"Dan taysu, berapa macamkah diantara ilmu ilmu silat itu yang taysu dapat menguasai?" si nona tanya pula tanpa sungkan sungkan.

"Ilmu silatku sangat terbatas," jawab Su Kay. Dia bersangsi sejenak. lalu dia menambahkan. "Yang dibawa buron It Tie sama sekali sembilan belas jilid, diantara sembilan belas macam itu, loolap baru mempelajari tiga rupa, walaupun demikian, loolap masih belum mencapai kesempurnaan."

"Telah lama aku dengar ilmu silat Siauw Lim Sie banyak rupa dan perubahannya," berkata pula si nona, "dengan berpangkal kepada kepandaian taysu, maka tak sukarlah akan menerka kepandaian tiangloo tiangloo yang lainnya. Hanyalah, tak tahu bagaimana dengan bakat It Tie?"

"Dia berbakat baik sekali," su Kay akui. Jikalau tidak, tidak nanti suheng Su Hong sangat menyayanginya." "Kalau begitu, untuk mempelajari belasan kitab itu, dia cuma membutuhkan tempo beberapa tahun saja" berkata si nona. "Selewatnya beberapa tahun, pastilah dia mampu untuk mengalahkah kesembilan tiangloo..."

Paras si pendeta menjadi pucat. "Nona benar," ia mengakui. "Nona cerdas sekali." Bun Koan tertawa tawar.

"Jikalau It Tie dapat mengalahkan kesembilan tiangloo," katanya, "dia pasti segera merampas kembali kekuasaannya. Siauw Lim Pay mempunyai demikian banyak murid, tak usah dijerikan lagi untuk menghadapi Seng Kiong sin Kun. Bukankah berkuasa sendiri jauh terlebih baik daripada It Tie berlindung kepada seng Kiong Sin Kun dan buat selama lamanya hidup dibawah perintah orang ?"

Su Kay berdiam, akan tetapi otaknya bekerja. Makin lama makin ia menghargai si nona, yang berpikir tajam dan luas, yang berpandangan jauh. Benarlah apa yang dibilang nona itu.

"Nona ini cerdas tak dibawahnya Nona Hoan," pikirnya. "Dia pula sangat teliti. Dengan dia pandai silat, dia sungguh liehay..."

Karena ini, sendirinya hati Su Kay menjadi tidak tenang. Sungguh celaka kalau It Tie dapat dibiarkan hidup merdeka selama beberapa tahun hingga dia memperoleh kesempatan mempelajari isi semua sembilan belas kitab pusaka itu.

Sementara itu perjalanan dilanjutkan terus, pada suatu hari tibalah mereka di kaki gunung Siong san yang tersohor itu, gunung yang menjadi pusat partai Siauw Lim Pay atau kuil Siauw Lim Sie

Gunung Siong San terpecah dua, ialah Thay Sit San disebelah timur dan Siauw Sit San di sebelah barat. Thay Sit San disebut juga Gwa Hong. Gunung itu letaknya disebelah utara kecamatan Teng Hong, propinsi Holam (Honan).

Tatkala itu sudah tengah malam, jagat sunyi dan gelap. Dikaki bukit itu ketujuh kiamsu sudah siap menanti perintah pemimpinnya.

Bun Koan melihat letak gunung, setelah itu ia memberikan perintahnya buat orang orangnya membagi diri, buat mendaki dengan berbareng, guna mencari It Tie Taysu, si ketua murtad dan durhaka dari Siauw Lim Sie atau Siauw Lim Pay. Biar bagaimana, Su Kay Taysu toh bersangsi bahwa It Tie masih ada digunung itu.

"Nona," tanyanya, tertawa hambar, "apakah nona benar benar merasa pasti bahwa It Tie masih belum meninggalkan gunung Siong San?"

"Keadaan kita sekarang ini bagaikan permainan catur, sulit untuk menerka pasti," sahut Bun Koan "Aku juga hendak bekerja sekuat tenagaku, guna mengadu untung"

"Gunung Siong San atau Siauw Sit San ini, luas seratus lie lebih," berkata pula sang pendeta. "Dan tempatnya yang lebat dimana orang dapat menyembunyikan diri sangat banyak jumlahnya. Umpama benar It Tie berada di sini, tanpa petunjuk jalan, mana bisa kita mencarinya? Seharusnya kita mencari orang yang kenal baik keadaan disini..."

"Yang mengenal baik tempat ini hanyalah taysu sendiri" berkata sinona terus terang.

Su Kay terkejut, cepat sekali ia berkata di dalam hati: "Aku menjadi murid Siauw Lim Sie, mana dapat aku membantu orang lain merampas kitab pusaka partaiku..." karena ini ia berdiam, matanya mengawasi tanah.

Siauw Pek tidak menghendaki adanya bentrokan diantara kakaknya dan pendeta itu. ia menghela nafas, lalu ia berkata^ "Kakak... baiklah kakak ketahui, kitab pusaka itu adalah milik Siauw Lim Pay."

"Aku tahu itu" sang kakak memotong, "memang itulah kitab kitab tanpa pemilik"

"Siauw Lim Pay bekerja sama dengan kita dia kawan serikat kita..." kata Siauw Pek.

"Memang sekarang kitalah sahabat sahabat" Nona Coh memotong pula. "Tetapi dahulu, ketika orang menyerbu dan membasmi Pek Ho Po, diantara para penyerbu itu ada orang orang Siauw Lim Sie"

"Itulah perbuatan It Tie seorang," berkata sang adik, "kita harus mencari It Tie untuk berhitungan dengannya, tak usahlah kita mencari kitab kitab milik Siauw Lim Pay itu..."

"Kau belum tahu" berkata sang kakak, "kitab kitab pusaka itu amat berbahaya bagi kita. Jika kitab dimiliki It Tie, kelak di belakang hari, dia dapat pakai kepandaiannya itu untuk menentang kita Sebaliknya, kalau kita yang mendapati, buat kita besar faedahnya dalam usaha kita mencari balas"

Siauw Pek dapat mengakui kebenaran pendapat kakak itu, tetapi ia toh berkata: "kakak aku berhasil memiliki rangkap dua dua kepandaian Thian kiam dan Pa Too, bahkan paling belakang ini  telah aku insyaft kemurniannya, karena itu, didapatnya kitab kitab Siauw Lim Pay itu bagiku tak ada gunanya"

"Hmmm" Bun Koan memperdengarkan suaranya yang dingin, "kau masih sangat muda, apa yang kau pikirpun terlalu sederhana"

Siauw Pek bingung dan masgul sekali. Tahulah ia bahwa kesan kakaknya terhadap Su Kay Taysu buruk sekali, sudah mendalam, dan itu bahaya kalau kesan itu tidak lekas lekas disingkirkan,  bahkan itu akan menambah buruk...

"Kakak." katanya kemudian, sabar sekali, "kakak mempunyai rencana atau pikiran apa yang sempurna? coba tolong kakak tuturkan untuk membuka hatiku yang cupat..." Kakak itu tertawa tawar.

"Tidak ada rencana atau pikiranku yang sempurna" sahutnya. "Aku ingin mendapatkan kitab kitab pusaka Siauw Lim Sie itu guna memakainya mengekang murid murid Siauw Lim Pay, guna memerintahkan mereka itu maju di depan, supaya pertempuran mereka melawan Seng Kiong Sin Kun membuat Sin Kun lemah, dan untuk akhirnya kitalah yang menempurnya secara memutuskan, guna menunaikan pembalasan kita " Siauw Pek semua mengawasi nona itu, yang pikirannya sempurna dan tak ada bagiannya yang dapat dicela itu.

Adalah Su Kay Taysu, yang kagum berbareng mendongkol. ia tertawa dingin dan berkata: "Nona, pikiranmu ini sempurna sekali "

"Dendam kesumat besarku ini membuat kami tak dapat bersama sama musuh hidup dikolong langit," berkata si nona, "karena itu, saking terpaksa, aku harus mengambil segala macam daya upaya yang muncul dalam benak pikiranku"

Dengan sungguh sungguh, pendeta itu berkata pula. "Walaupun terpaksa, cara yang digunakan harus cara yang berterus terang..."

Dengan tawar Bun Koan kata, "Ketika dahulu hari orang menyerang Pek Ho Po, kami dikepung dan dibUnuh bUnuhi bukan oleh orang orang yang berlaku terus terang, bukan oleh bangsa laki laki sejati. Apa yang kami akan lakukan sekarang ini ialah kami cuma menelad contoh orang orang busuk dan jahat itu " Su Kay Taysu bungkam.

"Luar biasa keras hatinya nona ini hingga keputusannya sukar diubah," katanya didalam hati. "Tak dapat ia diajak bicara..."

Tepat tengah si pendeta berpikir itu, telinga mereka mendengar suara tindakan kaki dari beberapa orang. Walaupun suara itu sangat perlahan tetapi Siauw Pek dan Su Kay Taysu tahu baik, itulah suara serombongan orang orang yang biasa keluar malam, yang tengah mendatangi.

Siauw Pek lalu mengulapkan tangannya.

"St, perlahan" katanya hampir berbisik. "Ada serombongan orang tengah mendatangi kemari, entah apa maksudnya, maka itu mari kita bersembunyi dahulu, sesudah kita melihat jelas, baru kita memikir buat bertindak."

Semua orang setuju, semua segera lari menyembunyikan diri diantara semak semak rumput ditepi jalan. Siauw Pek bersama kakaknya bersembunyi dibelakang sebuah pohon besar.

Didalam tempo yang pendek tampak tibanya beberapa puluh orang, yang semua berhenti dikaki gunung Siong San itu. Paling belakang terdapat sebuah joli yang digotong dua orang wanita dengan kaki kaki yang besar dan tubuhnya kekar. Malam sunyi sekali. semua orang itu berdiri diam.

Seorang yang bertubuh jangkung kurus, mendekati joli dengan tirainya yang hijau. Dia menjura kea rah joli itu seraya berkata: "Lapor kepada Hoa Siang Sudah sampai dikaki gunung Siong San"

Bun Koan terperanjat mendengar disebutnya nama Hoa Siang itu, tanpa merasa tubuhnya menggigil sejenak. Siauw Pek sebaliknya melengak.

"Nama Seng Keng Hoa Siang pernah kudengar," bilangnya.

Bun Koan berbisik: "Seng Kiong Hoa Siang bukanlah hanya satu orang"

Dari dalam joli terdengar satu suara wanita yang halus tetapi nyaring: "Sin Kun telah membilang pasti, It Tie masih belum meninggalkan gunung Siong San, maka itu mengertilah kamu, sejak saat ini, jikalau sampai It Tie dikejar lolos, kamu semua adalah bagian mati"

Mendengar suara Hoa Siang itu, Siauw Pek berpikir: "Nyatalah pikiran Sin Kun sama dengan terkaan kakakku "

Tengah berpikir begitu, tiba tiba ia melihat tubuh kakaknya itu bergemetar, maka ia menjadi heran-

Bun Koan merasa bahwa adik itu mengetahui ia terkejut, segera ia menggenggam tangan sang adik sambil ia berbisik: "Perhatikan musuh. Jangan bicara "

Siauw Pek mengangguk. Ia heran pula sebab ia merasa tangan kakaknya itu dingin. "Kakak gagah dan pintar, apa benar dia begini jeri terhadap Hoa Siang ?"pikirnya. Sementara itu tampak sijangkung kurus mengulapkan tangannya, atas mana beberapa puluh orangnya Hoa Siang itu segera pergi dengan memencar diri, mencari pelbagai jalan naik, untuk terus mendaki.

Kembali pemuda ini heran Ia mendapat kenyataan puluhan orang itu mempunyai masing masing ilmu ringan tubuh yang mahir, maka itu nyatalah mereka bukannya sembarangan orang

Bun Koan juga rupanya merasa seperti Siauw Pek mengenai kepandaian orang orang Hoa Siang itu, bahkan diluar dugaan sang adik, sekonyong konyong ia memperdengarkan bentakannya: "Berhenti"

Didalam kegelapan dan kesunyian, bentakan itu terdengar nyata diseluruh kaki gunung itu, bahkan semua orang Seng Kiong Hoa Siang terkejut, hingga serempak mereka itu menghentikan lari mereka. Semua menoleh mengawasi kearah dari mana bentakan itu datang.

Selagi Siauw Pek keheran heranan, juga wanita didalam joli itu tak kurang terkejutnya, dengan satu singkapan tangannya, dia mementang tenda jolinya, hingga tubuhnya segera tampak. Hingga terlihat dialah seorang wanita setengah umur.

"Siapa disana ?" terdengar dia membentak menanya.

Dengan pedang ditangan, Bun Koan keluar dari tempatnya bersembunyi, dengan nyaring ia menjawab memperkenalkan dirinya terus terang. "Kamilah Coh Bun Koan dan Coh Siauw Pek. kakak beradik dari Pek Ho Po"

Wanita itu menjejakkan kakinya, lalu kedua wanita yang menggotong joli menurunkan jolinya itu, setelah mana dengan  pesat dia melompat turun, untuk berdiri ditengah jalan tanjakan. Dia melihat kelilingan.

"Mana Coh Siauw Pek?" dia tanya. Didalam gelap. dia tak dapat melihat tegas kepada pemuda she Coh itu. Siauw Pek maju kedepan, untuk berdiri berendeng dengan kakaknya itu.

"Disinilah dua saudara Coh" ia menjawab sabar.

Dengan mata bersinar, wanita itu mengawasi si anak muda. "Apakah benar kau Coh Siauw Pek ketua dari Kim Too Bun yang

baru dibangun itu?" dia tanya menegasi.

Siauw Pek mengangguk. "Benar" sahutnya. "Anda siapakah?" "seng Kiong Hoa siang" sahut si wanita itu singkat dan tawar. "She nama anda?" Siauw Pek tegaskan, dingin-

Dengan sikap tawar, wanita itu menjawab. " orang Seng Kiong biasanya tak memberitahukan she dan namanya " Berkata begitu, dia memandang kesekitarnya, terus dia berkata pula. "Diantara kalian masih ada beberapa sahabat lagi, kenapa mereka itu tak sekalian memperlihatkan diri?"

Ban Liang segera keluar dari tempat sembunyinya. ia diturut oleh Su Kay Taysu, Oey Eng dan Kho Kong serta keempat pengikut Bun Koan-

Seng Kiong Hoa siang mengawasi dengan tajam. Dia seperti menimbang nimbang berapa tinggi, atau berapa liehay, ilmu silat rombongan Siauw Pek itu. Kemudian dengan dingin juga, dia berkata. "Taysu itu tampak bukan seperti sembarang orang, rupanya taysu adalah dari pihak Siauw Lim Sie dan ternama besar"

Mulanya Su Kay melengak. tetapi lekas dia menjawab. "Loolap.

Su Kay"

"Nah, benar juga pendeta luhur dari huruf Su" berkata wanita itu. "Maaf aku kurang hormat "

Bibir su Kay bergerak, akan tetapi dia batal membuka mulutnya.

Hoa Siang sementara itu segera mengulapkan tangannya seraya berkata, "Pat siang Sie turut aku menyambut musuh. Yang lainnya semua tetap mencari It Tie. Jikalau ada orang yang merintangi, bunuh saja "

Menyusul suara itu, muncullah delapan orang yang bergerak sebat bagaikan bayangan, yang memernahkan diri dikedua sisi wanita itu, sedangkan semua orang yang lainnya bergerak untuk melanjutkan mendaki gunung.

Delapan orang itu ialah yang disebut "pat sia ngSie", yaitu delapan (pat) pengiring atau pengikut (siang-Sie) .

Bun Koang tertawa dingin melihat aksi si wanita.

"Apakah kau sangka, dengan mengandalkan delapan orang mu itu, keselamatanmu akan terjamin?" tanyanya.

Seng Kiong Hoa siang tertawa terbahak bahak.

"Telah punco dengar halnya Kiu Heng Cie Kiam adalah ilmu yang luar biasa sekali, sekarang kebetulan kita bertemu disini, ingin aku belajar kenal dengannya" katanya jumawa.

Paras Bun Koan nampak berubah, sambil menghUnus pedangnya, ia bertindak majU, untuk menghampiri lawan itu.

"Kakak, tunggu" Siauw Pek mencegahnya. "Berilah pembukaan ini pada adikmu"

Bun Koan berkata perlahan: "Hendak aku melihat dahulu kepandaian dia ini..." Lalu ia memperCepat langkahnya.

Hoa Siang tertawa pula.

"Punco cuma mau melihat Kiu Heng Cie Kiam" kata dia. "Jikalau bicara dari hal kepandaian, tak usahlah punco yang turun tangan sendiri"

Bun Koan tidak menghiraukan orang mengejeknya.

"Aku kuatir kau tak dapat berpikir banyak lagi" katanya seraya terus menikam dada lawan-

Hoa siang tertawa tawar, terus sebelah tangannya diulapkan. Atas itu majulah seorang dengan pa kaian hijau, menyambut Nona Coh.

Bun Koan melihat orang majU tanpa senjata, ia tidak mempedulikan, terus ia memutar pedangnya, untuk membabat.

orang berbaju hijau itu melompat mundur, akan berkelit, habis itu, dia maju pula seraya menyerang. Dia mengarah lengan kanan Bun Koan Itulah serangan pembalasan yang lihay.

Dengan Cepat Bun Koan berpikir: "Pantas dia cuma meninggalkan delapan orang pengiringnya, kiranya mereka ini liehay semuanya" Berpikir demikian, habis mengelit tangannya itu, iapun mengulangi serangannya. Menikam lawan

orang itu berkelit. seperti tadi, habis berkelit dia membalas menyerang pula. Kali ini, dia menukar tangannya. Tak tampak pertanda bahwa dia suka mengalah. Dengan begitu bertempurlah mereka berdua. Dengan cepat, lima jurus telah lewat

Mendadak dari kiri gunung terdengar suara bentrokan senjata yang nyaring, dibarengi dengan bentakan bentakan. Dibawa sang angin suara itu terdengar jelas sekali

Mendengar suara itu, Siauw Pek menghunus pedangnya sambil berseru: "Kakak. silahkan mundur Serahkan mereka ini kepadaku"

sepasang alis kakak itu terbangun, nampak dia menjadi sangat bengis.

"Siauw Pek. dengar" katanya nyaring. Dia pun tak menyebut "adik" lagi, langsung namanya saja, "lebih dahulu kau bekuk seng Kiong Hoa Siang ini Dia sangat bersangkut paut dengan sakit hati ayah kita. Biar bagaimana, jangan biarkan dia lolos"

Siauw Pek melengak. Dia berpikir: "Pantaslah selekasnya melihat Hoa Siang, sifat kakak jadi bengis luar biasa Kiranya dia ini bersangkut paut dengan kematian ayahku" Tapi tak lama ia berpikir, mendadak saja darahnya menjadi bergelora. Maka sambil berseru seraya melompat pada wanita setengah umur itu ^

Justru sianak muda maju, dua orang berbaju hijaupun berseru berlompat menghadang

orang yang disebelah kiri adalah siorang jangkung kurus. Dialah pemimpin dari Pat siangSie. Dia bersenjatakan thie cio, besi cagak tiga dengan ujung tajam, hitam berkilau.

Siauw Pek bagaikan telah dipalu kakaknya rasa sakit hatinya membuatnya panas sekali, maka kali ini, ia menjadi beda dari pada biasanya. Dengan hati panas, lenyaplah sabar "Mundur" ia membentak bengis seraya ia menyerbu kedua orang berbaju hijau itu

Kedua orang itu terkejut, apalagi yang di sebelah kanan, di dalam segebrakan saja segera memperdengarkan jeritan kesakitan. itulah sebab pedang Thian Kiam telah mengenai lengannya, hingga senjatanya jatuh seketika.

Lawan yang dikiri terkejut, tetapi dia gesit dia lekas menarik kembali lengannya, maka selamatlah lengannya itu. Dia pula tabah dan berani, selekasnya bebas dari ujung pedang dia menyerang pula. Dia tak menghiraukan bahwa kawannya sudah terluka.

Siauw Pek terkejut juga . Diluar dugaannya orang ini demikian berani dan gesit. Segera dia berkelit.

Menyaksikan pertempuran itu Ban Liang berseru, "Mari" Ia pula mendahului berlompat maju. ia segera diturut Oey Eng dan Kho Kong serta empat pengikutnya Bun Koan-

Melihat majunya semua orang Kim Too Bun itu, Su Kay Taysupun tidak tinggal diam, ia segera turun tangan, maka didalam tempo sekejap ramailah pertempuran di kaki gunung itu. Masing masing orang mencari lawannya sendiri.

Seng Kiong Hoa Siang masih belum turun tangan, dia menonton dengan sangat, perhatian penuh. Hati pemimpin wanita ini guncang juga mendapat kenyataan semua musuh liehay sekali. sedangkan dipihaknya jumlahnya cuma delapan orang. Hingga mereka itu segera terdesak.

Selagi bertempur itu, kembali terdengar suara nyaring dari nona Coh. "Malam yang panjang banyak impiannya, tak dapat kita ayal ayalan Adikku, lekas kau maju membekuk Hoa Siang"

Tapi seruan Bun Koan itu disambut tawa Hoa Siang, yang terus berkata keras. "oh Coh Bun Koan yang baik. Alasan apakah kau punyai maka kau menuduh punco bersangkut paut dengan sakit hati ayah kamu?"

"Berdasarkan suara bicaramu"

Hoa Siang nampak terkejut, hingga dia tercengang. cuma sekejap. dia tertawa nyaring. "Punco tidak mengerti..." dia berseru.

Suara itu diputuskan bentakan Siauw Pek. Pemuda itu yang menjadi garang luar biasa, telah membuat kutung lengan kanannya salah seorang pengiring Hoa Siang Hoa siang kaget sekali, mukanya jadi pucat.

"Dengar" teriaknya segera "Tong Tiat Jie Nio, maju..Bereskan bocah itu"

"Tong Tiat Jie Nio" berarti "dua wanita Djie nio) kuningan (tong) dan besi (tiat)". Nyatalah mereka adalah kedua wanita tukang gotong joli itu. Karena perintah itu, keduanya lantas mencabut dua palang gotongan joli, dan dengan bersenjatakan itu mereka maju kepada Siauw Pek. jadi merekalah yang bernama Tong Nio dan Tiat Nio.

Melihat majunya dua orang itu, Siauw Pek berpikir "Mungkinkah mereka ini jauh terlebih liehay daripada para siangSie?" Tapi selagi berpikir itu, ia menyambut dan menyerang terlebih dahulu

Kali ini Tay Pie Kiam Hoat tak lagi digunakan seperti biasanya yaitu ayal ayalan-sebaliknya kali ini pedang itu menjadi gesit luar biasa. Didalam satu atau dua gebrakan, Tong Tiat Jie Nio hendak segera dikurung, tak peduli mereka berdUa liehay sekali. Kedua wanita itu bermuka kuning dan hitam itulah rupanya yang membuat mereka memperoleh nama atau sebutannya itu. Mereka bisa bekerja dengan rapih, ialah satu menjaga, lainnya menyerang, atau sebaliknya. Mereka mencoba mendesak.

Selagi pertempuran itu berjalan mendadak terdengar Bun Koan berseru. Nyatalah sinona telah berhasil menikam lawannya. Tapi, diluar dugaannya, lengan kirinya juga tergores ujung thie cio lawannya, yang tak kalah liehaynya.

Tanpa menghiraukan lukanya, Bun Koan menendang roboh lawannya itu.

"Kakak, lekas mundur dan beristirahat" Siauw Pek berseru. "Serahkan mereka kepadaku"

Tapi sang kakak membentak: "Jangan banyak omong Lekas bertempur dan meneruskannya." Dan habis membentak itu, ia lompat ke arah Hoa siang Wanita setengah umur itu tertawa lebar, suaranya tawar.

"Kau cari mampus sendiri. Jangan kau sesalkan punco" serunya.

Dan dia menyambut Nona Coh dengan tusukan jari tangannya
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar