Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 14

JILID 14

Tetap kelima orang itu terkurung sinar pedang. Diantara mereka, Siang Put Tong yang paling bingung. Dia maju dengan maksud untuk menonjolkan kepandaiannya, sebaliknya dia gagal dan kecele, bahkan dia segera dia menjadi kuatir sekali. Buat membalas menyerang, dia tidak memperoleh kesempatan Seperti empat kawannya, dia cuma mampu menangkis dan berkelit, terus dia dibuat repot oleh lawannya.

"Saudara ouw, bagaimana kau lihat ilmu pedang bocah ini?" kemudian Put Tong mengambil kesempatan menanya ouw Bwee siTua Terbang. Dia menggunakan ilmu saluran suara "Toan Im Jip bit." sama dengan "Toan Im cie sut". Mulutnya berkelemik tetapi tanpa suaranya, sebab suara itu cuma dapat didengar oleh orang yang diajak bicara, orang yang mengerti ilmu saluran itu. "Inilah ilmu pedang yang luar biasa, yang aku tidak tahu apa namanya. Seumurku belum pernah aku melihatnya," sahut ouw Bwee.

orang she ouw ini dapat berbicara, walaupun dia repot dan agaknya terancam ujung pedang Siauw Pek. Sebab, meskipun serangan si anak muda senantiasa mengancam tetapi belum pernah diteruskan menikam lawan hingga terluka.

"Secara begini, kita akan menghadapi bahaya?" kata Put Tong pula. "Kenapa kita tidak mau menerjang bahaya guna meloloskan diri kita?"

"Kalau saudara Siang mau mencoba, mari kita bekerja sama." "Baiklah saudara Ouw. Dengan perisaimu, kau kekang

pedangnya, nanti aku hajar dia dengan lm Hong Touw Put ciang, untuk melukai dia."

"Im Hong Touw Put ciang" ialah pukulan tangan kosong, dengan angin tinjunya. Nama tipu silat itu berarti "Angin jahat menembuskan tulang".

ouw Bwee menyetujui ajakan itu sebab ia ingat Siauw Pek tentunya sangat membencinya dan menghendaki jiwanya, dari itu, baik ia mencoba menempuh bahaya, siapa tahu ia bisa meloloskan diri dari ancaman maut.

Segera juga orang nekad ini menggerakkan perisainya untuk memecah kurungan sinat pedang, guna membuka jalan-

Siang Put Tong sudah bersiap sedia. Pedangnya dari tangan kanan segera dipindahkan ke tangan kiri. Lalu ia mengerahkan tenaga dalam menyalurkan ketangan kanan itu.

Untuk sejenak. Siauw Pek merasa pedangnya tertahan, tetapi dilain detik, la sudah dapat menguasai pula. Ia mendesak. memaksa semua lawan tak dapat merangsek. ouw Bwee kaget. Baru saja dia berhasil mendesak. tapi dia segera terkekang kembali, sinar pedang berkelebatan didepan matanya, mengecilkan hatinya.

"celaka" dia berseru tertahan Ujung pedang meluncur ketangan kirinya, lolos dari tangkisan perisai. Guna menolong diri, dia mundur sambil melepaskan perisainya, hingga tiatpay itu jatuh kelantai

Sedang siauw Pek hampir melukai lengan lawan itu, tapi tiba-tiba ujung pedangnya langsung mengancam Siang Put Tong. Ketua Thay Im Bun terkejut. Dia telah bersiap sedia tetapi diapun gugup, Dalam gugupnya dia menerjang dengan im Hong Touw Kut ciang.

Tanpa dapat dicegah lagi, ujung pedang berkenalan denganjari tangan Kalahkah sang jeriji-jeriji manis yang terkutung seketika dan darahnya lalu mengucur keluar. Kaget dan nyeri, Siang Put Tong berlompat mundur.

Tapi juga Siauw Pek terganggu serangan tinju angin dari lawannya yang liehay itu, siuran angin membuat tubuhnya menggigil hingga dengan begitu gerakan pedangnya sedikit ayal.

Kim ciong Toojin bersama ouw Bwee dan dua saudara Mamelihat kelambatan sianak muda serentak mereka lompat mundur, keluar dari medan laga itu.

siauw Pek melihat orang mundur, ia tidak mengejar. Diam-diam ia mengerahkan tenaga dalamnya, pedangnyapun sudah ditarik kembali. Ia berkata dingin: "Seratus lebih jiwa Pek Ho Po telah terbinasa, buat itu aku siorang she coh akan membayar hutang darah dengan darah. Akan tetapi, aku tidak mau sembrono membunuh, lebih dahulu aku hendak mengadakan penyelidikan yang seksama. Aku hanya hendak menghabiskan jiwa mereka yang menjadi kepala atau biang keladi, satu demi satu. Malam ini aku cuma mau memperlihatkan kepandaianku, aku hendak meminjam mulut kamu untuk memperkenalkan namaku "

Sudah terlanjut, anak muda ini tidak mau menyembunyikan diri lagi. Habis berkata, iapun memasukkan pedangnya kedalam sarungnya, segera ia memutar tubuh, buat mengeloyor pergi. Tidak ada orang yang berani untuk menghalang-halangi pemuda itu.

siang Put Tong mengerahkan tenaga dalamnya, guna menghentikan keluarnya darah, dengan mendelong ia mengawasi belakang sianak muda, mulutnya berkata seorang diri:

"Jikalau bocah ini tidak dimampuskan maka pastilah pula Sungai Telaga akan menjadi tidak aman-"

Ma Goan Hok sebaliknya menghela napas panjang dan berkata: "Aku telah berpengalaman puluhan tahun tetapi belum pernah aku mengalami kekecewaan sebagai hari ini. Kita beramai tetapi kita tidak mampu menahan seorang bocah. Jikalau peristiwa ini sampai tersiar luas, masihkah kita mempunyai muka menaruh kaki didalam Rimba Persilatan ?"

ouw Bwee dengan lesu menjemput tamengnya katanya masgul : "Didalam pertempuran ini, semua kita tidak berhasil merebut kemenangan sekalipun setengah jurus, apa bila kejadian ini sampai tersiar, memang nama baik kita bakal rusak sendirinya..."

Mendadak si Tua Terbang menutup mulutnya tak disengaja ia melihat si nona berbaju hijau.

oleh karena IHui Siu merandak bicara dan menatap kesuatu arah, dengan sendirinya mata lain-lain hadirin menjurus kearah yang serupa semua bersatu hati, mungkin si nonalah yang bakal menebus kekalahan mereka ini. Ma Goan Hok menghela napas perlahan.

"Saudara Siang, bagaimana lukamu ?" tanyanya.

siang Put Tong bertindak untuk memungut jari manisnya yang menggeletak dilantai, untuk dimasukkan kedalam sakunya.

"cuma terkutung sebuah jari tangannya, tidak apa," sahutnya.

Kim ciong Toojin merobek ujung jubahnya, dengan itu dia membalut luka ditangannya. Dia menghibur diri dengan berkata: "Kalah atau menang adalah hal lumrah, tuan-tuan baik jangan berduka karena kesudahan pertempuran ini..." ouw Bwee mengalihkan pandangannya. Ia mengawasi muka cio Tiat Eng.

"Aku dengar bahwa cit Seng Hwee paling pandai menyimpan rahasia," katanya, "cit Seng Hwee yang menjadi nomor satu diantara tiga Hwee, maka aku tidak sangka sama sekali bahwa seorang musuh diakui sebagai anggotanya, bahkan dia diajak masuk kedalam Hok Siu Po ini, terang sudah bahwa cerita diluar itu tak dapat dipercaya."

Jago ini mendongkol karena kelalaiannya, maka ia melampiaskan itu kepada cio Tiat Eng, sengaja dia menghina cit Seng Hwee.

Belum lagi Tiat Eng menunjukkan sesuatu sikap. ruangan telah tertawa nyaring halus dari sinona berbaju hijau, tiba tiba dia menjadi mendongkol. Ejekan ouwBwee memang membuatnya terasa tertikam. Maka sekarang dia alihkan perasaan tak senangnya terhadap sinona.

"Apakah yang kau tertawakan ?" dia menegur.

Nona itu berhenti tertawa. Dia tidak tersenyum lagi. Bahkan cepat sekali. Wajahnya menjadi dingin bagaikan es.

"Kau orang cit Seng Hwee apakah jabatanmu ?" ia menegur. "Akulah Heng Tong Tong cu," Tiat Eng jawab.

Mengetahui orang menjadi hengtong tong-cu kepala penegak hukum nona itu berkata dengan keren : " Dengan memandang kepada Thei bin Losat dan cit Seng Sin Kiam, aku beri ampun kepadamu dari kematian, maka ayolah kau gaplok mukamu dua kali Dengan itu kau menebus dosa kepadaku buat kata-katamu tadi "

cit Seng Sin-kiam, Pedang Sakti TUjuh Bintang, yang disebutkan sinona adalah ketua dari cit Seng Hwee, perkumpulan Tujuh Bintang itu. Dia membangun perkumpulan itu dengan mengandalkan senjatanya, yang berupa pedang. Dan Thie-bin Lo-sat, si Raksasa Bermuka Besi, adalah isterinya ketua cit Seng Hwee itu. Ilmu silat si nyonya lebih unggul dari pada ilmu silat suaminya. Dia berwajah dingin berhati es, berhati keras bagaikan batu dan besi. Karenanya dia memperoleh julukannya itu. Dia ditakuti dan dihormati anggota anggotanya melebihi ketuanya. Tiat Eng heran ia melengak.

"Kau kenal ketua kami?" dia bertanya.

Nona itu tidak menjawab hanya berkata: "Jikalau aku tidak pandang suami isteri itu, sekalipun kau tidak mampus, akan aku beset kulitmu " suaranya dingin dan bengis sekali. Tiat Eng panas hati. Ia merasa terhina. Mereka toh berada diantara banyak orang.

"Ketua kami suami istri sangat terkenal, di kolong langit ini, tidak ada yang tidak mengetahuinya " katanya keras, suaranya dingin. "Sekalipun kau dapat menyebut nama ketua kami itu, belum tentu kau kenal mereka pribadi " Sinona tertawa dingin pula. Ia tidak mau melayani bicara.

"Jikalau kau tidak hendak menampar muka sendiri, aku yang akan lakukan " katanya mengancam.

Semua hadirin melongo. orang tidak kenal nona itu. orang heran atas kesombongan dan kegarangannya itu.

Karena pedagak hukum cit Seng Hwee itu terdiam, sinona segera tertawa pula: "Aku hendak menambah hukumanmu menjadi dua lipat dua tamparan menjadi empat tamparan"

Serentak dengan ucapan itu, sekonyong-konyong tubuh sinona mencelat maju kepada Tiat Eng, kedua tangannyapun dipentang, sebelum hengtong tong cu tahu apa-apa, terdengar sudah suara kelepak kelepok yang nyaring

Tiat Eng gelagapan, hendak dia menangkis sudah terlambat.

Tentu saja, tak mampu dia balas menyerang.

Semua mata diarahkan kepada penegak hukum cit Seng Hwee itu, yang mukanya kontan menjadi merah bengap. sedangkan dari mulutnya mengalir darah segar. Semua orang terperanjat dan heran-

"Saudara Siang, kenalkah kau siapa wanita ini ?" Ma Goan Hok berbisik pada Put Tong. "Tidak," sahut orang yang ditanya.

"Bukankah dia datang bersama-sama saudara?" Put Tong menyeringai likat.

"Kami bertemu ditengah jalan, maka itu kami berjalan bersama sama..."

Si nona memandang semua orang, habis itu dia berkata, tetap dengan dingin: "sebatang Kiu Heng cie Kiam telah menggemparkan dunia Kang ouw, membuat hantu-hantu tidak tenang hatinya. Kamu semua menjelajahi ke timur dan kebarat, keselatan dan keutara untuk mencari pedang itu. sayang sedang dia berada di antara kamu, kamu tidak tahu..." Tiba-tiba ouw Bwee menepuk pahanya.

"Nona benar" katanya. "Pemilik Kiu Heng cie Kiam itu pastilah sibocah coh Siauw Pek tadi"

"Kau menerka dia?" tanya sinona. "Apakah buktinya ?"

"Dahulu," ouw Bwee menerangkan, " empat hwee, tiga bun, dua pang bersama-sama sembilan partai besar sudah bergabung menyerbu Pek Ho Po dan telah membinasakan orang orang keluarga coh seratus jiwa lebih, tentu sekali bagi keluarga itu, itulah sakit hati yang besar sekali, dendam yang tak dapat dilupakannya. Sekarang coh Siauw Pek muncul, dia menggunakan Kiu Heng cie Kiam dia main melakukan pembunuhan tidakkah terkaanku ini tepat?"

Beda dari tadi-tadinya, si nona berbaju hijau itu tertawa.

"Jadi menurut kau, tepat orang menggunakan ciu Heng cie Kiam itu?" tanya.

"Tepat jikalau sipemilik pedang benar coh Siauw Pek adanya."

Selama itu Tiat Eng berdiam saja, ia gusar tetapi ia tidak berani bertindak sembrono, ia cuma meraba-raba kedua belah  pipinya yang bengkak dan masih meninggalkan rasa nyeri. Ia tidak tahu siapa nona itu.

Segera terdengar pula suaranya sinona: "Tuan tuan, kamu percaya turunan keluarga coh masih hidup dan juga telah memakai pedang maut itu membuat dunia Rimba Persilatan menjadi tidak tenang tentram, sampai orang ketakutan setiap saat, kenapa kamu tidak dari dulu berdaya untuk menghadapinya?"^

"Kau benar, nona," berkata ouw Bwee "Memang setelah kita ketahui siapa pemilik pedang maut itu, sudah selayaknya kita berdaya untuk menentangnya."

"coh Siauw Pek lihay, kita bukanlah lawannya," Kim ciong Toojin turut bicara, "maka itu pintoo pikir baiklah lekas-lekas memberi kabar kepada semua partai, untuk mengundang mereka berkumpul, buat kita bekerja sama menentang musuh. Seharusnya kita dapat dengan satu gerak saja membinasakannya, guna melenyapkan ancaman petaka dibelakang hari..."

"Air yang jatuh tidak dapat menghilangkan dahaga yang sedang diderita," berkata Ma Goan Hok. "Lagi juga coh Siauw Pek berada disini, sembarang waktu dia dapat datang pula, jikalau kita menanti datangnya kawan kawan, kita membutuhkan waktu sedikitnya tiga bulan selama itu, mungkin dia sudah pergi jauh, atau kita keburu mati ditangan Kiu Heng cie Kiam."

Siang Put Tong berpikir. "Aku ada akal," katanya.

"Apakah itu ?" tanya Ma Goan Hok bernapsu. Tuan rumah ini sangat menghawatirkan coh siauw Pek nanti keburu datang lagi hingga Hok Siu Po bisa dihancurkan dia itu.

"Siauw Pek lihay, akan tetapi menurut penglihatanku, dia kurang pengalaman, maka itu kita mengirim kepelbagai tempat, untuk menghadapi rumah-rumah penginapan, asal ketahuan dia singgah disuatu penginapan atau bersantap kita dapat meracuni dia," demikian Put Tong mengutarakan pikirannya .

"Akal yang bagus, saudara Siang Dasar seorang ketua partai " Goan Hok memuji.

"Bagaimana jikalau dia tidak singgah dipenginapan tapi dia mondok ditempat terbuka atau didalam rumah suci ?" tanya sinona.

"Ya, benar juga" kata Goan Hok. "Bagaimana sekarang?"

"Mungkin dia tidak bermalam tetapi apakah dia tidak bersantap?"

"ini benar juga," kata Goan Hok. yang cuma bisa nimbrung. "Memang dia mesti makan dan minum. Soalnya sekarang cara bagaimana kita bisa mendekati dia..." ouw Bwee batuk-batuk.

"Aku ada mempunyai satu pendapat, entah dapat dipakai atau tidak." ujarnya.

"Silakan jelaskan, saudara Ouw," Goan Hok menganjurkan "Siapa cepat pandangan, dia bukan seorang kuncu," kata ouw

Bwee. "Siapa tidak kejam dia bukan seorang laki laki sejati, jikalau coh Siauw Pek tidak disingkirkan dalam dunia ini kaum Kang ouw tidak bakal merasai hari hari yang aman, bahkan Hok Siu Po kamu ini, saudara Ma, bakal jadi sasaran yang pertama " Hati Goan Hok berCekat. Dia terkejut.

"Itu aku tahu," katanya "Memang siang-siang aku telah menerkanya. Nah, saudara ouw, silahkan kau utarakan tipu dayamu itu"

"Pikiranku ini adalah sebagai tambahan pikiran saudara Siang," ouw Bwee menjelaskan-"Sebaiknya Hok siu Po memilih sejumlah orangnya, pria dan wanita, yang cerdik dan pandai bekerja, guna mengintai coh Siauw Pek dan menyelidiki dimana dia mondok, tetapi kita harus jaga jangan sampai menimbulkan kecurigaannya. Setelah itu kita kirim seorang yang gagah, untuk pergi berkenalan dengannya dan berusaha mendapatkan kepercayaannya. Tentu saja orang kita itu mesti menyamar, umpama sebagai seorang yang bercacat..." Selagi berkata kata itu, ouw Bwee melihat kesekitarnya. Tiba tiba ia berhenti bicara.

" Kemudian?" Goan Hok tanya. ouw Bee mengawasi tuan rumah. "Saudara Mamari, aku bisiki," katanya.

Majikan dari Hok Siu Po menghampiri, untuk mendekatkan telinganya. Begitu si Tua Terbang sudah berbisik, dia mengangguk angguk. "Bagus, saudara ouw Aku akan segera perintahkan orangku," katanya.

"Pek Ho Po telah muncul ahli warisnya, bahkan sangat gagah," berkata Kim ciong Toojin, "karena itu perlu aku lekas pulang guna memberitahukan kepada ketua . Nah, disini aku memohon diri "

Imam ini segera merangkap kedua belah tangannya didepan dadanya, memberi hormat pada para hadirin, setelah itu, tanpa menanti kata kata siapapun, dia memutar tubuh berangkat pergi.

"Baik baik dijalan, tootiang" kata Ma Goan Hok seraya membalas hormat. "Maaf kami tak dapat mengantar "

"Tak berani pintoo memberabekan poCu " kata si imam yang sudah sampai diluar ruang. Si nona baju hijau mengawasi lenyapnya si imam, terus dia menghela nafas.

" Wajah imam itu sangat suram, kalau dia tidak mampus, sedikitnya selapis kulitnya bakal copot..." katanya.

Ma Goan Hok tidak menghiraukan kata kata si nona, dia memandang Siang Put Tong, terus kepada Nyonya Uh. Kemudan berkata "Sebenarnya aku hendak mengurus para kurban ini, siapa tahu, mendadak telah terjadi peristiwa ini, terpaksa aku harus merubah rencanaku..."

" Itu sudah selayaknya, saudara Ma," berkata ouw Bwee. "Memang sekarang ini tindakan yang pertama ialah mencari tahu tentang coh Siauw Pek." ia menoleh mengawasi kedua peti mati dan mayat mayat, lalu ia menyambungi : "Semua jenazah itu baiklah dipindahkan dulu..."

Ma Goan Hok mengangguk, ia menggapai, maka salah seorang datang menghampiri. ia berbisik pada orang itu, yang terus mengangguk angguk dan mengundurkan diri.

Tidak lama muncullah beberapa puluh orang yang terus bekerja mengangkut pergi semua mayat berikut kedua peti mati, hingga ruang itu menjadi lega. ouw Bwee melihat kesekitarnya, lalu tiba-tiba dia terperanjat dan berseru: "Eh, manakah sinona berbaju hijau?" Semua orang kaget, mereka menjadi heran-Memang nona tadi sudah lenyap dari ruangan.

"Disini terdapat banyak orang tetapi dia bisa pergi tanpa ketahuan..." kata siang Put Tong yang juga turut merasa sedih.

Kata kata itu terputuskan oleh satu suara keras dari robohnya satu manusia, hingga orang menjadi terperanjat dan heran, lebih lebih ketika semua hadirin sudah melihat bahwa yang roboh itu ialah Nio cupeng,hu hoat, pelindung undang undang, dari cit Seng Hwee.

cio Tiat Eng kaget dan mendongkol. Dia menghampirkan cu Heng, yang dia sambar lengan kanannya dan menegur: "Kau tahu..." Tapi baru dia berkata sampai disitu, mendadak dia melepaskan cekalannya, mukanya menjadi pucat, separuh mencelat, dia mundur tiga langkah. Dia mendelong mengawasi tubuh orang.

Hadirin lainnya pun segera menjadi heran dan kaget sebagai tongcu itu. Karena mereka segera melihat bahwa didada cu Peng nancap sebatang pedang bahkan itulah Kiu Heng cie Kiam pedang sakit hati

Ketika itu napas cu Peng sudah berhenti berjalan.

Hati semua hadirin terguncang keras, juga saling mengawasi... "Teranglah sipenjahat ciu Heng cie Kiam berada diantara kita "

kata Ma Goan Hok kemudian-

"Dia demikian liehay, terang kita bukanlah lawannya," berkata ouw Bwee. "Dia berada di sini, dan turun tangan, lalu dia berlalu, semua itu diluar tahu kita bersama Sanggupkah kita mendandingi dia?" Siang Put Tong menoleh kepada Tiat Eng.

"Saudara, tahukah kau sudah berapa lama matinya bawahanmu ini ?" tanyanya.

"Sungguh memalukan-.." sahut orang yang ditanya, menggeleng kepala, "aku tidak tahu..." "Bagus kalau begitu " kata Put Tong kemudian "Didalam waktu yang pendek akan kita ketahui siapa Kiu Heng cie Kiam itu "

"Siapakah dia ?" tanya Goan Hok heran-

"Mudah untuk mengetahuinya" menjawab ketua Thay Im Bun itu. "Kita disini terdiri dari tiga rombongan. Yang pertama coh Siauw Pek serta dua orang kawannya. Dua yang lainnya ialah Kim ciong Toojin dan si nona berbaju hijau yang tidak dikenal itu. Diantara mereka bertiga pasti ada salah satu si pemilik pedang maut "

"Kalau Kim ciong Toojin, tak mungkin," berkata ouw Bwee "Dialah kenalanku sejak beberapa puluh tahun dan tadi pun dia telah menempur coh Siauw Pek. coh Siauw Pek bertiga sudah pergi sekian lama. Menurut aku, baik Siauw Pek dan Kim ciong Toojin tidak dapat dicurigai. Sekarang tinggallah si nona baju hijau seorang."

"Selama disini nona itu tidak pernah mendekat cupeng..." berkata Goan ciu.

Tiat Eng berpikir sejenak. dia berkata: "Itulah betul. Seingatku, nona itu selalu berada dekatku sejarak satu tombak. Mungkinkah dia dapat menyerang dari jarak jauh? Mustahil dia demikian liehay. Tapi biar bagaimana, aku percaya pembunuh itu pasti yang berada didalam ruang ini."

"Kalau coh Siauw Pek bukan dan si nona juga bukan," berkata Siang Put Tong, "kecurigaan jadi jatuh atas diri Kim ciong Toojin-.."

"Tuan-tuan, kata kata kalian semua beralasan," berkata Ma Goan Hok. "tapa akupun mempunyai suatu pikiran Rasanya si pembunuh masih ada didalam ruang ini..."

Kembali semua hadirin terperanjat. Segera mereka masing masing saling melirik dan hati mereka semua berdenyut karena kekhawatiran Semua takut menjadi sasaran pedang maut itu. Ruang besar itu menjadi sunyi sekali.

"Terkaan saudara Ma beralasan," berkata Siang Put Tong, "Kiu Heng cie Kiam turun tangan didepan mata kita, tikamannya telak sekali. Kalau dia tidak berada dekat Nlo cu Peng, mana bisa dia menyerang demikian rupa? Tapi coh Siauw Pek dan si nona berbaju hijau tidak dapat dituduh. Habis, siapakah Bukankah yang paling dapat dicurigai hanya Kim ciong Toojin? Atau kalau semua hadirin disangsikan, yang terutama ialah cio Tiat Eng..."

"Aku?" tanya Tiat Eng terkejut.

"Benar Kau berada paling dekat dengan cu Peng, kalau kau turun tangan, lain orang tak akan dapat lihat..."

" omong kosong" bentak tongcu itu. Dia tertawa hambar. "Jangan salah mengerti, saudara cio," kata Put Tong. "Aku cuma

mengatakan orang yang dapat dicurigai, bukan aku menuduh kau

sebagai si pembunuh." Tiat Eng masih tidak puas.

"Bagaimana jikalau aku menuduh kau, Siang ciang bun?" dia tanya. "Boleh saja Memang akupun termasuk salah seorang yang harus dicurigai "

Menjawab begitu, ketua Thay Im Bun itu segera berpaling kepada nyonya Uh. Dia hanya bersangsi sejenak. lalu dia melanjutkan: "Melihat keadaan maka Nyonya Uh adalah orang kedua yang harus turut dicurigai..."

Nyonya yang tengah mengenakan pakaian berkabung itu memandang ketua Thay Im Bun itu. Ia heran dan mendongkol. Tapi ia masih dapat mengendalikan diri.

"Apa katamu?" tanyanya, menegaskan-

"Aku cuma tengah memahami si pemilik pedang maut," sahut Put Tong.

"Lalu apakah sangkut pautnya dia dengan aku?" suara si nyonya tawar sekali.

"Nlo cu Peng terbinasakan didalam ruang ini, dihadapan kita, karena itu, siapapun disini dapat dicurigai," Put Tong menjelaskan "Sudahlah," ouw Bwe menyela. "Sekarang ini tindakan kita yang paling utama ialah membicarakan soal untuk menghadapi coh Siauw Pek dan kedua mencari pembunuhnya Nlo cu Peng..."

"Bukankah aku justru tengah memikirkannya" balik bertanya Put Tong.

"Aku hanya tidak mengerti cara kerjamu, Siang ciangbun," kata ouw Bwee.

"Emas tulen pastilah tidak takut api, saudara ouw, berkata siang Put Tong terus terang, kau juga terhitung orang yang dapat dicurigai."

"Aku?" kata si Tua Terbang, mengejek. "Tak pernah aku berkisar dari tempatku berdiri ini dan aku juga orang yang pertama menempur coh Siauw Pek."

"Soalnya segalanya masih gelap..." Put Tong membela terhadap anggapannya sendiri. ia terus mengawasi dua saudara Madan menyambung i: "Kamu juga dapat giliran, saudara saudara."

Ma Goan Hok tertawa terbahak.

"Mungkinkah kami bersaudara sudi mencari kesulitan kami sendiri?" kata dia.

"Siapa juga dapat dicurigai, karenanya kamu pun tak terkecuali. Put Tong berkata pula. Sudah tentu diantara kamu berdua, sang adik yang harus lebih dicurigakan-.."

"Jadi akulah yang paling dicurigai?" Ma Goan Siu tegaskan Dia gusar. Siang Put Tong tertawa.

" Itulah karena kau berdiri disitu dan kau lebih mudah bergerak dibanding dengan kakimu," Put Tong menjelaskan-

"Saudara Siang, harap kau jangan sembarang membuka mulut ini bukan sebuah lelucon Kalau hal ini tersiar luas, bagaimana harus mencegahnya ?"

Put Tong tertawa pula. "Inilah pendapat kakakmu sendiri, saudara. Dia  yang mengatakan bahwa semua hadirin di sini bisa dicurigai si pemilik pedang maut "

"Kiranya, saudara, kau menyangka kami " kata GOan Siu. "Tentang kata kataku ini benar atau salah, tinggal harus

dipikirkan saja. Menurut aku, rasanya tak sulit buat mencari sipenjahat..."

"oh ya, akupun mendapat suatu pikiran-.." berkata ouw Bwee tiba tiba.

"Apakah itu, saudara ouw?" tanya Put Tong. "Tolong kau jelaskan."

"Belum pernah kau kekantor cabang cit Seng Hwee," si Tua Terbang menjelaskan, "tetapi aku merasa, penjagaan disana tentunya keras sekali..."

"Benar," menyela nyonya Uh. "sepuluh lie disekitar markas ada dipasang penjagaan yang dirahasiakan, seandainya ada orang memasuki wilayah kami itu, segera gerak gerikn dapat diketahui."

"Kalau begitu, nyatalah pemikiranku bertambah kemungkinan kebenarannya..."

"Saudara, lekas sedikit memberikan penjelasanmu," Ma  Goan Hok mendesak.

"Coh Siauw Pek dan si nona baju hijau dapat dicurigai," kata ouw Bwee, "demikian juga kita. Karena itu, mengapakah Nio Cu Peng tidak dapat menjadi pembunuh dirinya sendiri."

"Kau maksudkan dia membunuh diri?" tanya Goan Hok.

"Benar Mungkin dia telah kena dibeli dan berkhianat terhadap partainya..."

" Habis kenapakah dia bunuh diri?" tanya Put Tong. "Mungkin dia takut rahasianya terbuka. Atau mungkin Kiu Heng Cie Kiam sudah mempunyai seorang pengganti didalam cit Seng Hwee."

"Saudara ouw, hati-hati kalau bicara" tegur Tiat Eng, " kata kata mu ini mengenai nama baik partai kami, ini tak patut kami terima "

Mendengar semua pembicaraan itu, Ma Goan Hok menghela napas berduka.

" Kelihatannya tetap kita tak akan berhasil mencari si penjahat," katanya, "sikap saling curiga-mencurigai bukanlah suatu cara yang baik untuk menyelesaikan soal ini."

" Kakakku telah menyiapkan meja santapan diruang barat, tuan tuan mari kita makan dulu," berkata Ma Goan Siu, menyela. "Bagaimana kalau kita berbicara sembar bersantap?"

"Begitupun baik" kata Put Tong. Terima kasih.

Ma Goan Hok lalu mengundang para tetamunya itu. Ia berjalan didepan, diikuti ouw Bewe Goan Siu dan Tiat Eng beserta lainnya. Put Tong jalan paling belakang.

Ruang barat itu adalah sebuah halaman yang ditanami banyak pohon bunga, temboknya biru. Ruang itu terpisah dari bangunan lainnya.

"Nah, tuan-tuan disini kita dapat berbicara dengan bebas," kata Goan Hok setelah dia mempersilahkan para tetamunya mengambil tempat duduk. Put Tong merasa heran.

"Kenapa dilain tempat kita tidak bisa bicara tetapi disini dapat dengan leluasa ?" tanyanya.

"Karena tempat ini dikurung dengan pesawat pesawat rahasia," Goan Hok menjelaskan "orang luar tidak dapat mendekati kita hingga semua pembicaraan tidak akan bocor."

Mulai minum, Put Tong mengeringkan tiga buah cawan Mulanya dia diam saja, setelah menegak air kata kata itu, baru dia berkata. "Coh Siauw Pek sebagai turunan keluarga Coh sudah tidak dapat disangkal lagi, sebab dia telah mengaku sendirinya. Tentang kegagahannya, kita juga telah menyaksikan sendiri. Dia pula tidak dapat dituduh sebagai pemilik pedang maut itu. Maka sekarang kita harus menyelidiki lain orang.. ^" Ia menatap wajah semua tetamu, setelah itu baru ia meneruskan: "pemilik pedang maut itu luar biasa.

Dia menamakan pedangnya secara aneh dan gerak geriknyapun sangat rahasia. Melihat dari kurban kurbannya, terang dia tidak memilih partai, dia bagaikan memusuhi semua pay, bun, hwee dan pang Sekarang, saudara saudara, coba pikirkan, kecuali Pek Ho bun, apakah ada pernah ada sebuah partai lain yang telah dibasmi oleh kaum Rimba Persilatan kita ?"

"Aku ingat sesuatu. Mungkin ada hubungannya dengan soal kita ini " Itulah kata kata Hui Siu ouw Bwee si tua terbang.

"Tolong jelaskan, saudara ouw," Ma Goan Hok minta-

"Apakah saudara-saudara pernah dengar nama Thian San Sam Cian?" bertanya ouw Bwee.

"Thian San Sam Cian artinya si Tiga Cacat dari (gunung) Thian San"

"Pernah aku mendengarnya. Dahulu merekalah jago jago rimba persilatan yang kenamaan untuk wilayah Tiong goan-"

"Betul " ouw Bwee membenarkan. " Ketika aku sedang menuju kemari, aku dengar kabar halnya Thian San Sam Cian sudah memasuki Tiong goan dan maksud kedatangannya guna melakukan pembalasan sakit hati sebab dahulu orang telah mengusirnya dari Tiong goan-" Semua orang terkejut, paras mereka berubah.

"Saudara, darimana kau peroleh berita itu?" tanya Goan Hok. wajahnya pucat.

"Aku mendengarnya sewaktu aku berada di lauwteng Hong Ho Lauw. Ketika itu aku tidak menaruh perhatian Baru sekarang, setelah saudara siang menyebutnya, aku jadi ingat kembali." Suasana diruang perjamuan itu menjadi tegang. Ruang sunyi tetapi setiap orang berpikir keras, lebih lebih Ma Goan Hok.

Kini, baiklah kita mengikuti dahulu coh Siauw Pek bertiga. Pemuda itu meninggalkan Hok Siu po sebab dia terlukakan pukulan angin Im Hong Touw Kut ciang. Ia tahu tak dapat ia berkelahi terlalu lama, maka ia mengajak kedua saudaranya mengangkat kaki. Sambil berlari lari, ia mempertahankan diri dengan mengerahkan tenaga dalamnya untuk mencegah lukanya menjalar. Ia lari cepat sekali sampai oey Eng dan Kho Kong hampir tidak dapat mengejarnya, hingga mereka ini heran menyaksikan ia dapat lari begitu keras. Lewat kira kira dua puluh lie, mendadak tubuh Siauw Pek limbung.

Kho Kong terkejut, segera dia lompat guna menyambut. Tapi dia gagal, ketuanya itu telah roboh terguling. Dia lalu berjongkok sambil mencekal tangan Siauw Pek. Tetapi tiba tiba dia menjadi kaget pula. Tangan ketua itu dingin seperti es. oey Eng pun memburu.

"Bagaimana, adik?" ia tanya Kho Kong.

"Berat lukanya," Kho Kong menjawab. "Tangannya dingin sekali."

oey Eng berkuatir tetapi ia tak sebingung kawannya. Ia mengangkat tubuh siauw Pek sambil berkata: "Jangan bingung, orang baik diberkahi Tuhan Mari kita cari pondokan dahulu, baru kita berusaha mengobatinya. Kelihatannya pengaruh Hok Siu po di daerah ini besar sekali, kita harus menyingkir dari mereka."

Kho Kong setujui kakak ini. "Mari " katanya.

Berdua mereka berlari lari, menuju kearah barat dimana nampak sebuah rimba. Mereka tiba disana selang setengah jam. Itulah sebuah rimba besar dan lebat, yang berada dibelakang sebuah gunung.

"Inilah tempat baik untuk kita berlindung," kata oey Eng setelah memasuki rimba dan melihat kesekitarnya. Tak mudah orang melihat mereka. "Tapi luka toako mungkin perlu pertolongan tabib," kata Kho Kong. oey Eng mengangguk. "Mari kita cari dahulu tempat beristirahat," katanya seraya terus bertindak maju.

Lewat sepuluh tombak, mereka sukar maju lebih jauh, karena lebatnya pohon dan tebalnya rumput.

"Mari aku membuka jalan " kata Kho Kong. Mereka perlu maju lebih jauh.

oey Eng mengangguk.

Kho Kong menghunus pedang Siauw Pek.

"Jangan " oey Eng mencegah. "Dengan membabat pepohonan, memang kita mudah masuk lebih jauh, tetapi itu akan memudahkan orang lain pula untuk mengetahui jejak kita."

"Habis bagaimana, kakak ?"

"Lebih baik gunakan saja kedua tanganmu."

Kho Kong menurut, ia berjalan dimuka, saban saban ia mementang tangannya kekiri dan kekanan, membuka jalan Lagi tujuh atau delapan tombak. mereka sampai dibawah sebuah pohon jie yang besar dan banyak cabangnya serta daunnya lebat. Dibawahnya tumbuh rumput rumput tebal. Maka setelah meratakan rumput itu, segera tubuh Siauw Pek diturunkan, untuk ditidurkan-

"Kita beristirahat disini saja," berkata oey Eng. Kho Kong mengangguk, ia mengangkat kepalanya.

"Lihat cabang lebat itu," katanya. "Disana kita dapat berdiam..."

oey Eng berdongak. Benar, ia melihat banyak cabang besar malang melintang hingga berupa balai balai.

"Kalau perlu, dapat kita berdiam diatas," katanya.

"Bagaimana dengan luka toako?" Kho Kong tanya kemudian "Aku tidak mengerti tentang obat obatan, terserah kepada kau saja, jieko."

"Jieko" ialah kakak yang nomor dua. "Jangan kuatir. Tenaga dalam toako mahir sekali, luka ini tidak akan membahayakannya. Toako pingsan disebabkan terlalu letih."

Berkata begitu, oey Eng meraba nadi kiri ketuanya. Tiba-tiba ia terkejut. Kalau tadi ia nampak tenang, sekarang wajahnya tegang. Kho Kong dapat melihat perubahan mukanya.

"Bagaimana, berbahayakah, Jieko?" tanyanya buru-buru. "Denyutan nadinya lemah. Tak sanggup aku meringankannya..." "Habis bagaimana jieko pikir?"

"Kau tunggu disini, aku mau pergi ke desa yang terdekat, buat mencari tabib."

"Kalau begitu, pergilah cepatan " oey Eng mengangguk. "Mari kita pindahkan dahulu toako keatas pohon."

Kho Kong setuju. Dia mendahului memanjat keatas untuk mengatur tempat. Beberapa potong batang dipotongi, diseling dan diikat. Tak lama kemudian, diatas pohon itu sudah terdapat semacam balai balai. Tabuh Siauw Pek segera diikat dengan sabuk, separuh ditarik dan didorong, ia dibawa naik keatas, direbahkan diatas balai balai istimewa itu.

"Sekarang jagalah toako baik baik, aku hendak pergi," pesan oey Eng, yang terus melompat turun, akan keluar dari rimba, buat menuju ke dusun yang paling dekat.

Kho Kong mendampingi ketuanya dengan bajuhnya, ia kerobongi tubuh ketua itu, yang masih belum sadarkan diri juga. ia sangat bingung. Maka ia duduk termenung saja. Setelah lewat beberapa lama, mendadak terdengar suara yang nyaring.

Kho Kong heran, ia menoleh. Maka ia melihat seekor burung, yang tidak dikenalnya, terbang melintasi cabang cabang dan berhenti di bawah pohon jie itu. Bulu burung itu berwarna dan mengkilat, dia menghampiri sebuah pohon dengan bunga warna ungu, dipatuknya dua tangkai bunga, terus dia terbang pergi pula. "Entah pohon kembang apa itu?" si anak muda berpikir. "Mengapa burung itu mencarinya dari jauh dan ditempat hebat begini?"

Saking herannya, Kho Kong berlompat turun Dipetiknya satu tangkai, lalu diciumnya. Ia tidak membaui apa apa. Kemudian timbul keinginannya untuk menggigit, buat merasai sarinya. Tetapi belum sampai kemulutnya, tiba tiba ia ingat: "Kalau bunga ini beracun, bukankah aku akan mati konyol? Buatku tidak apa tetapi bagaimana dengan toako, siapa akan menungguinya?" Karenanya, ia batal menggigit kembang itu, dan ia terus memasukkannya ke dalam sakunya.

Dilain detik, timbul pula herannya anak muda ini. ia bertanya tanya, apa perlunya burung itu memetik hanya bunga itu saja? Kenapa tidak lain bunga? Karena ini, ia petik pula beberapa tangkai, lalu dimasukkannya kesakunya, baru ia melompat lagi naik keatas pohon.

Mengawasi ketuanya, Kho Kong menjadi semakin bingung, Maka ketua itu menjadi semakin pucat, tangan dan kakinya dingin. juga nafasnya, jalannya semakin perlahan-

Ketika itu, tak diketahui anak muda ini sudah jam berapa. Dahan dahan menutupi cahaya matahari. Apa yang ia tahu ialah cuaca makin guram. Sangat ia mengharapkan kembalinya oey Eng. Sulit untuknya menenangkan hati. ia merasakan lama seperti sudah berhari hari dan bulanan...

Akhirnya Kho Kong mendengar suara tindakan kaki orang berlari lari, segera ia menoleh dan memasang mata. ia melihat seorang dengan dandanan sebagai petani sedang lari mendatang. Petani itu menggendong seorang lain dipunggungnya. ia terkejut dan heran Segera ia bertanya tanya sendiri, apa perlunya orang itu lari kedalam rimba? Sangat pesat lagi seorang itu, selagi ia masih menerka nerka, orang telah tiba dibawah pohon-

"Adikku, bagaimana sakitnya toako?" demikian ia mendengar orang itu menanya. Hanya sedetik, hilanglah keheranannya Kho Kong. Ia mengenali suara oey Eng. Dengan hati lega, ia melompat turun Dilihatnya orang yang digendong itu, ternyata adalah seorang tua. Walaupun digendong, dia rupanya capai sekali, hingga napasnya memburu.

"Nampak keadaan toako makin parah," sahutnya kemudian, "Aku justru lagi bingung. Syukur kau kembali" oey Eng membuka tudungnya.

"Lekas kau naik dan menurunkan sabuk. mari kita ke atas." Kho Kong menurut, ia lari berlompat naik.

Sesaat kemudian, orang tua itu sudah berada diatas pohon, duduk disisi Siauw Pek. masih saja ia tersengal sengal. Baru  sesudah hilang letihnya, ia meraba nadi si anak muda. Lalu ia menggeleng geleng kepala. Katanya, "keadaannya terlalu parah, tidak dapat aku menolongnya..."

Kho Kong terkejut, hatinya sedih sekali dan bingung^

"Apakah katamu?" tanyanya, keras. "Kakakku tak dapat ditolong lagi?"

"Aku tidak berkata dia tak dapat ditolong, tetapi akulah yang tidak sanggup," sahut orang tua itu.

"Jangan takut, tuan," kata oey Eng. "Kau coba saja. Kalau kau gagal, kami tidak akan minta ganti jiwa dari kau..."

"Aku percaya kamu tidak akan menyesali atau menggusari aku, hanya..."

"Biar bagaimana, tuan, cobalah," oey Eng meminta, "katanya kau tabib pandai sekali. Percayalah, jikalau kau berhasil, kami akan memberi hadiah besar kepadamu "

"Aku tidak mengharapkan hadiah," kata tabib itu. "Baiklah akan kucoba, tetapi tak dapat aku memastikannya." Kho Kong tidak sabar. "Luka begini saja kau tidak mampu obati, buat apa kau menjadi tabib ?" tegurnya. Tabib itu terkejut, dia jeri hingga tubuhnya bergentar.

"Akan aku coba..." katanya pula.

"Mustahil kau tidak tahu dia terluka karena apa?" tanya Kho Kong. "Mungkin dia terkena angin jahat."

"Omong kosng Tenaga dalam kakakku mahir, mana mungkin dia dapat terlukakan angin." Tabib itu melengak.

"Sudah, adikku," menyela oey Eng, menghela napas "jangan bikin dia takut. Bagaimana dia bisa mengobati?"

Tabib itu mulai memeriksa nadi Siauw Pek.

"Nampaknya dia benar terkena angin," katanya kemudian "Mungkin ada hawa jahat di dalam perutnya..."

"Dapatakah tuan menolongnya?" oey Eng tanya.

"Sebaiknya dia harus mengeluarkan banyak peluh, supaya hawa jahat diperutnya itu turut keluar, sesudah itu baru dia makan obat kuat."

"Bukankah itu berarti memakan banyak waktu ?" tanya Kho Kong.

"Menurut pengalamanku, demikianlah. Dia perlu waktu satu hari satu malam, setelah itu dengan melihat keadaannya, kita berikan obat. Aku tidak mengetahui ilmu silat, maka itu aku bicara menurut ilmu pengobatan belaka."

oey Eng percaya orang bicara dengan sejujurnya.

"TUan," tanyanya, "tahukah kau kalau disekitar tempat ini ada lain tabib yang pandai? Aku maksud tabib yang mengerti ilmu luka terpukul?" orang tua itu berpikir.

"Tabib tidak ada, tetapi ada seorang pendeta yang mengerti ilmu obat obatan yang mungkin melebihi aku," sahutnya. "Dia tinggal dari sini jauhnya tiga puluh lie lebih." "Jangan bicara soal kemungkinan" kata Kho Kong. "Katakan saja, dia sanggup atau tidak."

"Sebenarnya aku mengetahui tentang dia pada belasan tahun yang lampau," kata tabib itu. " Waktu itu aku diundang mengobati seseorang yang mendapat sakit mendadak. Kami telah melewati rumah penginapan, sudah begitu, kebetulan turun hujan besar. Kami mampir dikuil yang terletak disebuah tegalan-.."

Tabib ini batuk batuk. baru ia melanjutkan kata katanya: "Kuil itu sudah tua dan rusak disana sini, penghuninya juga cuma seorang pendeta yang sudah berusia lanjut sekali. Dia memberi kami kamar ditempat sebelah barat."

Kho Kong tidak sabaran mendengar orang bercerita lambat sekali, mau dia menegur, baiknya oey Eng dapat mencegahnya. Terpaksa dia menahan diri.

Tabib itu melirik sianak muda, dia melanjutkan "Kira kira jam tiga lewat, hujan turun semakin besar, angin menderu deru, dan guntur berbunyi tak hentinya, diseling halilintar saling menyambar berkedapan orang yang menjemput aku sudah tidur nyenyak. Gangguan guntur membuatku sukar memejamkan mata. Aku pergi kejendela, untuk melongok sebentar.Justru itu, aku melihat sesuatu yang luar biasa."

"Apakah itu?" tanya Kho Kong. "Lekas jelaskan. Kau mengulur waktu ya?"

"oh, tidak..." sahut tabib itu. Dia menyusut peluh didahinya "Selagi aku melongok itu, kilat berkelebat, maka aku melihat seseorang yang (tidak jelas). Ditangannya memegang senjata tajam. Hujan lebat sekali, aku tidak dapat melihat tegas. Akupun kaget. Tapi si orang perempuan mengenakan pakaian putih, bajunya yang penuh darah membuatnya terlihat lebih nyata..."

"Apa? seorang perempuan?" oey Eng memotong.

"Merekalah seorang pria dan seorang wanita. Wanita itu riap riapan rambutnya, nampaknya menakutkan Si pria memondong wanita itu tetapi kelihatannya lukanya jauh lebih parah. Menurut penglihatanku waktu itu, mereka itu perlu segera dibalut, supaya darahnya dapat dicegah keluarnya. Maka aku memikir buat membukakan mereka pintu, untuk mengajak masuk.Justru itu aku segera melihat sipendeta tua, yang matanya picak sebelah, sudah berdiri menantikan ditangga didepan pendopo..."

"Jadi pendeta itulah yang telah menolong mengobati kedua  orang itu?"

Ketika itu aku mendengar wanita itu berkata, "Loo siansu, tolonglah..." lalu dia bersama si pria roboh ditangga itu. Pendeta itu menghela napas, dia mengangkat pria dan wanita itu untuk dibawa masuk."

"Loo siansu" adalah panggilan untuk seorang pendeta tua yang dianggap suci dan berilmu.

"Kemudian?"

"Selanjutnya aku tidak tahu, sebab aku tidak melihat mereka lagi."

" Kau tidak melihat, kenapa kau tahu pendeta itu telah menyembuhkan kedua orang itu?" tanya Kho Kong.

"Aku hanya menerka. Peristiwa itu mengagetkan aku. Malam itu aku tidak dapat tidur pulas. Besoknya, setelah terang tanah dan hujan angin berhenti, aku lalu pamitan pulang. Selama itu tidak ada sesuatu yang terlihat dan mencurigakan atau luar biasa, semuanya tenang tenang saja."

"Apakah alasan dari terkaanmu itu?"

"Aku memikir si pendeta orang yang baik hati, jikalau dua orang itu tidak tertolong dan mati, pastilah si pendeta akan mengurus dan mengubur mayat mereka itu. Tapi ketika itu di luar dan sekitarnya, aku tidak melihat kuburan atau tanah yang bekas digali dan ditumpuk lagi."

"Tahukah kau, apa namanya kuil itu?" tanya oey Eng. "Mulanya aku tidak memperhatikan, satu kali aku menoleh kebelakang, baru aku melihat namanya, yaitu Siauw Thian ong sie."

"Siauw Thian ong sie..." oey Eng mengulang perlahan Lalu dia menegaskan: "Apakah kau tidak salah ingat?"

"Tidak."

"Kira kira apakah si pendeta masih berada dikullnya itu atau tidak?"

"Ini aku tidak tahu pasti. Peristiwa telah berselang sepuluh tahun Kuil itupun berada ditempat sepi dan sudah tua sekali. juga si pendeta telah berusia lanjut."

oey Eng masih menanya dimana letak kuil itu, setelah itu dia mendukung si tabib untuk dibawa turun Segera ia memesan "Tuan, jikalau kau ingin selamat berumah tangga, aku minta janganlah kau menyebut nyebut halnya kami telah mengundang kau datang kemari untuk mengobati orang " Kata kata itu berupa peringatan keras.

"Aku tahu," sahut si tabib.

"Baiklah Sekarang sudah tidak ada apa apa lagi, mari aku antar kau keluar dari rimba ini."

Kho Kong heran saudaranya begitu mempercayai si tabib. Ia anggap itulah tindakan gegabah. Tapi ia tidak berkata apa apa. Hanya setelah saudara itu sudah kembali, ia memperlihatkan rupa tidak puas. Katanya: "Kalau terjadi sesuatu atas diri toako, aku akan adujiwaku, akan aku bakar Hok Siu Po "

oey Eng tahu kawannya gelisah, ia tidak mempedulikan, ia hanya meraba dada Siauw Pek. Ketia itu masih tak sadarkan dirinya, tetapi jantungnya masih berdenyutan-

"Sabar, saudaraku," katanya kemudian "Percuma kau bingung tidak keruan..."

"Kau benar, tetapi aku bingung sebab memikirkan bagaimana kita harus menolong toako. Baru saja kau biarkan tabib itu pergi..." "Tabib itu tabib umum, bukan tabib luka, dia tak dapat menolong kita."

"Kalau begitu, bagaimana sekarang? Apakah kita membiarkan saja toako menderita?"

"Kita pergi ke Siauw Thian ong Sie "

"Sudah lewat sepuluh tahun, apakah si pendeta masih ada?" "Kita  coba  saja.  Mungkin  pendeta  itu  seorang  jago  Rimba

Persilatan yang sudah mengundurkan diri, maka dia tinggal menyepi

di sana."

"Kalau begitu, mari kita pergi sekarang. Kita tak boleh menyia nyiakan waktu."

"Kita tak dapat pergi sekarang. Ada kemungkinan pihak Hok Siu Po lagi mencari kita..."

"Habis bagaimana?"

"Kita tunggu sampai nanti malam. Semoha Thian melindungi kita"

Mau tidak mau, terpaksa Kho Kong menurut kata oey Eng. "Sekalipun kita jalan diwaktu malam, siapa tahu kalau kita bertemu dengan orang Hok Siu Po..." Kho Kong berpikir, kata kata kakak itu benar, terus ia duduk bersemedi.

oey Eng pun beristirahat, walaupun pikirannya tidak tenang.

Berat rasanya akan menantikan datangnya sang sore.

Bagaikan merayap. sang cuaca mulai guram dan gelap.

Dengan menyabarkan diri, oey Eng menantikan sang waktu. Akhirnya, ia memondong tubuh Siauw Pek, dibawa berlompat turun Kho Kong turut turun juga.

"Saudaraku, kau ikatkan tubuh toako pada punggungku," kata kakak yang nomor dua itu. Kho Kong menurut, ia bekerja cepat.

"Mari" mengajak Oey Eng. ia melihat arah, lalu ia mulai berjalan, untuk menuju kekuil Thian ong sie, kepada Kho Kong ia berpesan: "Jikalau kita bertemu orang Hok Siu po, kita memisah diri, lalu kita bertemu di Siauw Thian ong Sie. Andaikata di dalam waktu satu hari aku tidak tiba disana, tak sudah kau cari aku..."

" Kenapa, kakak?" tanya Kho Kong heran.

"Itu berarti aku menghadapi bahaya. Selanjutnya, adikku berusahalah sendiri..."

"Tidak" kata Kho Kong, tapi dia bingung.

"Kita sudah sehidup semati, bila kakak berdua mendapat bahaya, tidak dapat aku hidup sendiri..."

oey Eng tahu tabiat adik itu, ia tidak mau bicara lagi. "sudahlah" katanya.

Kho Kong maju kedepan, melewati saudaranya. ia menyiapkan sepasang pitanya.

Meskipun hari telah malam, tetapi demi keamanan, dua orang ini mengambil jalan kecil, karena ini, mereka jadi memakan waktu lebih lama. Selang dua jam, baru mereka sampai di kuil yang dituju itu, yang mudah dicari sebab letaknya mencil di tengah tegalan sepi.

Di depan pintu peka rangan tumbuh dua buah pohon pek yang besar. Kho Kong mau segera mengtuk pintu, tapi kakaknya mencegah.

"Kita masuk dengan melompati tembok," bisik saudara ini. Bahkan ia mendahului, melompat naik, untuk terus lompat turun kesebelah dalam. Kho Kong menyusul.

"Jika si pendeta benar liehay, bukankah perbuatan kita ini tidak pantas sekali?" katanya.

"Jika dia tidak sudi menemui orang, bukankah percuma kita datang kemari?" oey Eng menjawab. "Kita berbuat begini karena terpaksa."

Kuil itu dinamakan Siauw thian ong Sie. "Siauw" berarti kecil, tetapi kuilnya cukup besar. Dilihat dari luar, di dalamnya mungkin ada belasan kamarnya. Bagaimana kita cari pendeta picak itu?" tanya Kho Kong.

"Datangi saja setiap kamar," sahut oey Eng.

Tiba tiba keduanya mendengar satu suara yang berat: "Amidabuddha Siecu berdua berkenan mengunjungi kuil kami, ada apakah pengajaran siecu?"

oey Eng dan saudaranya terkejut. Serentak mereka berpaling. Sejarak beberapa belas tombak mereka melihat sesosok tubuh manusia. Kho Kong maju mendekati, ketika ia melihat mata orang buta sebelah, tiba tiba dia tertawa.

"Nampaknya kau girang sekali, siecu Apakah yang kau tertawakan?" tanya sosok tubuh itu, setelah dia menghela napas perlahan-

"Itulah karena boanpwee girang dapat bertemu dengan loocianpwee," menjawab Kho Kong "karena dengan begini menjadi terbukti kami tak sia sia belaka datang kemari."

Si sembrono ini masih ingat akan bicara dengan memakai aturan, menyebut dirinya "boanpwee", tingkat muda, dan memanggil si pendeta "loocianpwee", tingkat tua. ini disebabkan setelah dapat melihat lebih nyata, ia mendapatkan imam picak itu berwajah tenang dan agung.

oey Eng cepat menghampiri, sambil memberi hormat, ia berkata: "Loosiansu, kami memohon pertolonganmu. . . " Pendeta itu mengawasi.

"Apakah dia sakit parah?" tanyanya. Dia melihat Siauw Pek. "Kakakku ini mahir tenaga dalamya, tak mudah dia sakit,"

berkata Kho Kong. "Dia sebenarnya mendapat luka didalam..."

Agaknya si pendeta heran. Bergantian dia menatap kedua tamunya.

"Kita tidak kenal satu sama lain, kenapa siecu berdua dapat mencariku disini?" tanyanya kemudian "Kami mendapat petunjuk seorang loocianpwee," menjawab oey Eng. "Karena itu dengan lancang kami datang berkunjung. Kami mohon dengan sangat supaya loosiansu sudi menolong saudara kami ini."

"Tahukah kamu siapa loo ceng ini?" tanya si pendeta. Dia menyebut dirinya "loo-ceng", si pendeta tua. inilah karena dia telah berusia lanjut. Umumnya seorang pendeta membahasakan dirinya "pin-ceng". si pendeta miskin.

"Kami belum tahu nama atau gelaran loosiansu." "Kamu belum tahu atau tak mau menyebutnya?"

"Sebenarnya belum tahu. Ketika loocianpwee yang memberitahu kami menyuruh kami datang kemari, dia tidak menyebut nama loosiansu."

Pendeta bermata satu itu mengangkat kepalanya, memandang langit yang gelap. sambil mendongak dia berkata seorang diri: "Kamu telah datang, tak dapat loo ceng merusak nama Sang Budha dengan menolak kamu."

"Terima kasih, loosiansu," kata oey Eng. Ia menjura pula. "Kami sangat bersyukur."

"Jikalau loosiansu dapat menolong kakakku ini, bersedia aku menjadi muridmu," kata si sembrono tanpa pikir masak masak lagi. Pendeta itu tertawa.

"Loo ceng sudah tua, sudah lama aku tidak menerima murid lagi," katanya. ia menoleh pada oey Eng sambil menambahkan. "Mari masuk kedalam "

oey Eng mengikut, Kho Kong menyusul.

Mereka melewati toa-tian, pendopo besar, memasuki sebuah kamar.

Pendopo itu diterangi oleh sebuah pelita. Maka terlihatlah sebuah kamar yang sangat sederhana. DiSitu hanya terdapat sebuah pembaringan kayu, sebuah poutoan, dan buku (Poutoan ialah alasan se-orang pendeta berlutut atau duduk be(halaman ini hilang separo)"

"Memang saudaraku habis berkelahi, sesudah lewat lama, baru lukanya bekerja."

"Dia muda tetapi tenaga dalamnya mahir begini, sungguh langka." kata si pendeta kagum. " Itulah sebabnya kenapa dia dapat bertahan lama, coba dia keburu menjalankan pernapasannya, mungkin dia tak sehebat ini..."

Mendengar itu, Oey Eng dan Kho Kong terkejut, bahkan sampai membuat pelita ditangan Kho Kong terlepas jatuh, tapi dia masih sempat berkata: "Kalau loosiansu tidak dapat menolong dalam dunia tidak ada orang lainnya."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar