Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 01

JILID 1

LAWAN-LAWAN GANAS

Ketika itu cuaca guram bercampur hujan rintik rintik,Justru itu lima ekor kuda tunggang tengah beriari lari dengan kencang dijalan yang berlumpur, tanpa menghiraukan turunnya air langit itu. Anginpun turut bertiup tiup.

Kuda yang lari terdepan dikendalikan oleh seorang anak muda usia empat atau lima belas tahun Dia berpakaian biru singsat, sepatunya sepatu ringan, dan pada pelananya tergangung sebuah pedang.

Penunggang kuda yang kedua adalah seorang nona berumur delapan atau semblan belas tahun parasnya cantik. Hanya ketika  itu, wajahnya muram duka dan letih, seperti juga rambutnya yang kusut. Pakaiannya berlepotan lumpur. Sedangkan lengannya yang kiri dibalut dengan sapu tangan putih yang tembus oleh darah merah

Penunggang kuda yang ketiga tak dapat dijelaskan warna pakaiannya, sebab dia bagaikan habis mandi lumpur, hanya usianya diduga dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun Dia adalah seorang pemuda.

Sebagai penunggang kuda yang keempat adalah seorang nyonya setengah baya, yang sepasang alisnya hampir menempel satu dengan lain Wajahnya sangat muram karena kedukaan Ia membalut lehernya dengan saputangan yang juga ditembus oleh darah merah. Ia seperti baru terkena luka.

Penunggang kuda yang kelima, yang terakhir adalah seorang pria umur lima puluh tahun lebih. Dia ini berdandan singkat dan membekal sebatang golok. Dia memelihara janggut yang panjang dan telah ubanan. Dia bermata tajam akan tetapi disaat ini, kedua belah matanya seperti digenangi air, sedangkan mukanya bergoreskan empat lintang luka luka golok. yang dua di antaranya masih baru. Dipandang dari seluruhnya, teranglah bahwa kelima penunggang kuda ini tengah melarikan diri atau menyingkir dari sesuatu. semua kuda mereka nampak sudah letih sekali.

Cuaca sementara itu makin muram dan hujan dengan perlahan lahan mulai tambah deras turunnya...

Si orang tua berjanggut putih itu memandang kesekitarnya. Tiba tiba dia mengeduttali kudanya, membuat kudanya itu terkejut lalu berjingkrak untuk terus berlompat lari, hingga sesaat kemudian dia telah dapat menyusul sinyonya setengah tua.

"Marilah kita beristirahat sebentar" katanya sambil menghela napas panjang. "segera kita akan melanjutkan perjalanan kita ini. Bagaimana dengan lukamu itu? Parah juga, bukan?

Berkata demikian, tanpa merasa, orang tua ini melelehkan air matanya. Nampaknya dia sangat berduka. Air matanya jatuh berderai.

Si nyonya yang diajak bicara, yang tadinya berwajah duka, tersenyum.

"Tak apa apa" sahutnya tenang, sedang sebenarnya, dia terpaksa mesti menguatkan hatinya melawan rasa dukanya. "Inilah luka ringan yang aku masih dapat mengatasinya. Hanya... ah aku menguatirkan anak Koan-.. dia..."

Si nona, yang menjadi penunggang kuda yang kedua, tiba tiba berpaling.

"Ibu, aku tak kurang suatu apa" ucapannya. Tapi, walaupun dia tersenyum, dua tetes air matanya masih jatuh berderai.

"Anak Koan, jangan kau mendustai ayahmu..." kata si pria tua. "Ayah, aku memang tak kurang suatu apa" kata si nona cepat.

Diam   diam   dia   menggertakkan   giginya.  Dia   pun mengangkat

sebelah lengannya. "Ayah lihat, lenganku tak sakit lagi"

Akan tetapi, dengan mengangkat dan menggerakkan tangan itu, timbul rasa nyerinya yang hebat, hingga nona itu mengeluarkan peluh dingin Lekas lekas dia menyampingkan mukanya, untuk tak memperlihatkan wajahnya kepada kedua orang tuanya itu. Terus dia menjepit perut kudanya, membuat binatang tunggangannya itu berlari kencang.

orang tua itu bermata jeli, ia bagaikan dapat melihat luka lengan puterinya itu. ia mengerti, tanpa perawatan yang cepat, lengan itu bisa bercacat, saking berduka, ia berdongak. mengawasi langit.

"Aku Tjoh Kam Pek..." keluhnya, "melihat keatas aku tak malu kepada langit, melihat ke bawah, aku tak malu kepada bumi, karenanya mengapa kami sampai menjadi begini? Kenapa aku mesti membuat isteri dan anak anakku tersangkut paut hingga mereka mesti mengikutiku sengsara merantau menyingkirkan diri?..."

si nyonya melarikan kudanya, menyusul si orang tua, suaminya. setelah datang dekat, ia mengulurkan lengan kanannya, untuk menyeka tangan kiri si suami.

"Janganlah kau berduka suamiku," katanya, halus. "Manusia baik akan memperoleh berkah Tuhan yang Maha Kuasa... salah paham ini penasaran kita ini akhir akhirnya akan dapat dibikin jelas juga. Kapan telah tiba saatnya maka orang orang Rimba Persilatan itu pasti bakal menjadi malu sendirinya..."

orang tua itu, yang menyebut dirinya Tjoh Kam Pek. menggelengkan kepala.

"sudah delapan tahun..." sahutnya, sedih bercampur murka. "Kita telah melintasi air air yang hitam dan gunung gunung yang putih, kita telah menjelajah padang pasir dan tegalan belukar, akan tetapi, dimanakah tempat kita mendiamkan diri? Ah... sudah delapan tahun, belum pernah kita dapat beristirahat tenang barang tiga hari, kita terus mesti berlari lari... sakit hati ini, yang dalam bagaikan lautan. tak ada harinya untuk dilampiaskan.... Terang sudah bahwa orang orang Rimba Persilatan, semuanya menghendaki dapat membekuk kita sekeluarga, baru mereka akan merasa puas walaupun aku memiliki lidah tajam seperti souw Tjin, sulit bagiku untuk memberikan penjelasan..." "Jangan bersusah hati, suamiku, berkata si nyonya, "sang waktu masih panjang, siang hari masih banyak. tak usahlah kita terburu napsu..."

Kam Pek mengawasi isterinya. Ia melihat sapu tangan putih yang melilit leher isterinya yang telah menjadi merah seluruhnya. Itulah bukti bahwa darah segar masih mengalir keluar. sejenak, ia merasa malu pada dirinya sendiri, karena tidak mampu membelai melindungi isteri itu

"Kita telah berlari lari satu malam dan setengah hari," katanya kemudian. "Jikalau aku tidak salah hitung, seng su Kio pasti tak ada seperjalanan seratus mil lagi, karena itu, marilah kita beristirahat sebentar." Dengan perlahan lahan sinyonya mengangguk

"Baiklah" sahutnya. "Kitapun perlu memeriksa lukanya anak anak... Ah kasihan anak-anak yang tidak berdosa ini, mereka mesti mengikuti kita untuk menderita kesengsaraan selama delapan tahun, belum pernah ada satu haripun dimana kita dapat berdiam dengan tenang." Bukan kepalang berdukanya Kam Pek.

"Aku adalah seorang laki-laki sejati," katanya "akan tetapi aku tidak sanggup melindungi istri dan anak-anakku. sungguh memalukan" suara orang tua ini menggetar.

"Jangan kau sesalkan dirimu, suamiku," berkata sang istri.

"Biar bagaimana sebab musabab dari ini semua adalah aku sendiri, istrimu." Kam Pek mengangkat kepalanya, dia menghela napas.

"Bukankah didepan sana itu ada sebuah rumah suci?" katanya. "Mari kita pergi kesana, untuk melindungi diri dari hujan dan angin."

Begitu habis mengucapkan kata katanya itu orang tua ini segera menarik tali kudanya, untuk melarikan binatang itu ke arah kuil yang disebutnya. Nyonya Kam menyusul suaminya diikuti oleh anak-anak mereka. Tujuan mereka adalah arah barat utara, barat laut.

sang hujan, dari gerimis telah semakin keras, semakin lebat. Cuaca juga menjadi bertambah guramJauh disebelah depan, sebuah gunung bagaikan diliputi uap-uap yang seperti menyambungkan bumi dengan langit.

Perjalanan itu tak jauh lagi, akan tetapi karena semuanya dikaburkan keras, kelima kuda Kam Pek berlima menjadi sangat letih, tapi syukurlah mereka segera juga tiba ditempat tujuan.

Itulah san sin Bio sebuah kuil malaikat gunung. saking kecilnya, ruang melainkan satu. Walaupun kecil, tembok seluruhnya putih bersih, gentingnya baru, dan pintunya baru juga. semua itu menandakan bahwa kuil ini baru diperbaharuhi.

Paling dulu Kam Pek lompat turun dari kudanya. Ketika ia membentangkan kedua belah tangan untuk menyambut istrinya, dan membantuinya turun dari kudanya, istri itu sebaliknya mendahului lompat turun dari atas kuda tunggangannya.

"Tak usah melayani aku," kata sinyonya perlahan "Lekas lihat si Koan, anak kita..."

sementara itu sinona, yang disebut anak Koan telah lompat turun dari kudanya menyusul turun ayah bundanya. setelah itu ia langsung menghampiri anak laki-laki usia empat atau lima belas tahun itu.

"Adik, mari turun", kata lembut, "Kita beristirahat disini."

Bocah itu ketika menghentikan kudanya tidak segera lompat turun. ia hanya mengangkat mukanya, sedangkan sepasang alisnya berkerut, seolah sedang memikirkan sesuatu yang tak ringan ini adalah karena, berlari larian selama delapan tahun telah membuat  ia dalam penghidupannya matang terlalu siang. Didalam usia empat tahun atau lima belas tahun itu, telah lenyap masa kegembiraan yang wajar, hingga ia tak lagi mirip dengan seorang anak yang baru mulai besar...

sinona mengulurkan tangannya, dengan sabar mencekal lengan kanan bocah itu.

"siauw Pek. kau memikirkan apa?" suaranya halus. Bocah itu, yang dipanggil siauw Pek. nampak terkejut, tetapi hanya sekilas saja. segera ia lompat turun dari kudanya, bahkan ia tersenyum.

"Aku tidak memikirkan apa apa, kakak," sahutnya "Apakah kita hendak beristirahat?" si nona tertawa sedih.

"Ya," sahutnya. "Kita sudah berlari lari selama satu malam setengah hari... Kuda kita pun telah lelah, hingga tak dapat lari terlebih jauh lagi..."

Habis berkata, si nona memandangi adiknya itu. Ia mengira ngira tinggi tubuhnya si adik, Tiba tiba air matanya turun menetes. Ia ingat, ketika mereka lari meninggalkan rumah mereka, adik ini masih seorang bocah cilik yang belum tahu apa apa, akan tetapi sekarang, dia telah menjadi besar mirip dengan seorang pemuda. si adik diajak lari menyingkir didalam usia enam atau tujuh tahun siauw Pek pun mengawasi kakaknya itu sang enci atau kakak wanita.

"Kakak. tubuhku lebih tinggi daripada tubuhmu" ujarnya.

Kakaknya tertawa tawa.

"Ya, kau lebih tinggi" katanya. "Kau telah jadi besar"

Delapan tahun lamanya. Keluarga Coh ini hidup didalam perantauan merantau sambil berlari lari bersembunyi dari pengejaran musuh musuh mereka selama itu mereka sering kehujanan, kelaparan, dan kehausan. selama itu juga, merekapun telah mengenal banyak, belajar bukan sedikit. Hingga masing mereka tak ingin membuat mereka satu pada lain menjadi berduka. Bersama sama mereka saling menguatkan hati, saling mencoba untuk menderita sendiri sendiri

Disaat itu datanglah sianak muda, mendekati si bocah. Dia  adalah seorang yang berusia dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun. Dengan tiba tiba saja dia mengulurkan tangannya menyabuti tali kuda adiknya. "Pergilah kamu bersama sama ayah dan ibu masuk kedalam kuil untuk beristirahat" katanya, sambil tertawa.

" Kakak, kau justru yang paling lelah," kata si nona pada pemuda itu. Ia bicara dengan suara sangat perlahan dan halus.

Pemuda dengan pakaian bermandikan lumpur itu tertawa hambar. Dia tidak menjawab, hanya terus menuntun kelima ekor kuda mereka menuju sisi kuil dimana ada sebuah pekarangan yang ditumbuhi rumput. Disitu kelima ekor kuda itu lantas makan rumput dengan lahapnya karena mereka sudah sangat lapar. Kam Pek menggebriki air hujan pada bajunya.

"Ki Pek, tinggalkan kuda itu", katanya pada putera sulungnya. "Kau juga harus turut beristirahat".

"sebentar, ayah." sahut si pemuda. "sekarang ini baiklah ayah periksa dahulu luka ibu dan adik Koan."

Kam Pek mengangguk, ia melurut jenggotnya yang panjang, terus melangkah kedalam kuil, menyusul isteri dan kedua anaknya.

Memang biasanya, setiap ada waktu untuk istirahat, Ki Pek selalu mengurus dahulu kelima ekor kuda mereka, supaya semua binatang tunggangan itu dapat makan dan mengaso cukup. Ia mengerti pentingnya hal itu. selama delapan tahun, belum pernah ia lalui walau sehari juapun.

Didalam ruang kuil yang kecil itu, Kam Pek duduk berempat bersama isteri dan dua anaknya. Ia meloloskan kantung kain minyak yang diikat pada pinggangnya, untuk membuka kantung itu, ia mengeluarkan isinya, ialah bekal santapan kering.

"Anak mari makan" katanya. "Ini mungkin perjalanan kita yang terakhir, setelah ini, bisa jadi tidak akan ada orang lagi yang menyusul dan mengejar ngejar kita..."

sembari berkata-kata, Kam Pek membuka tutup sebuah botol yang terbuat dari batu kemala putih. setelah itu ia memandang isterinya, sambil tertawa sedih. "Ini juga botol kita yang terakhir..." katanya, pelan. Terus ia menoleh kepada anak gadisnya, dan selanjutnya berkata : "Anak Koan mari, aku hendak lihat lukamu."

" Luka ku tak parah, ayah," kata sinona. "Baiklah ayah periksa dahulu lukanya ibu."

si nyonya, atau sang ibu tertawa tawar.

"lbumu telah berusia lanjut, luka ini baginya tidak ada artinya," katanya. "Luka dileher ini, andaikata tidak diobati, paling juga akan menimbulkan satu cacad. Tidak demikian dengan kau, anak. Kau masih muda, jika tanganmu cacad, kau bakal menyesal seumur hidupmu..."

"Tapi obat ini cukup untukmu berdua", Kam Pek menyela.

Berkata begitu, suami ini lantas membuka balutan pada leher isterinya, hingga ia melihat bekas suatu bacokan yang dalam sekira satu dim, luka mana hampir mengelilingi seluruh leher, Luka itu masih mengeluarkan darah. Maka ia menjadi terkejut sekali.

"Hebat juga golok ini" katanya didalam hati. "syukur lukanya tidak sampai mengenai otot besar..."

Tidak ayal lagi Kam Pek memakaikan obat pada luka istrinya, ialah obat bubuk warna putih, cepat-cepat ia membalutnya. "sekarang giliranmu, anak Koan" katanya kemudian-

sembari membuka balutan pada lengannya Bun Koan, demikian nama anak dara itu menghampiri ayahnya lantas melonjorkan tangannya.

Luka itu diperolehnya beberapa hari yang lalu karena kurang terawat, dan terkena angin dan air hujan, tampak mulai bernanah.

Ayah itu mengerutkan alisnya. "Anakku, katanya, menghela napas, kalau terlambat dua hari lagi, akan hebatlah kesudahannya luka ini, yaitu lengan kirimu ini bakal bercacad..."

Habis berkata, Kam Pek menuang sisa isi botolnya, lalu botol itu dilempar dan kemudian dibalutnya pula luka puterinya. "Mudah mudahan inilah perjalanan kita yang terakhir. tak usah kita tercandak dan terkepung lagi oleh musuh kita yang tangguh..." katanya perlahan, dengan wajah yang suram.

"Ayah", tiba-tiba siauw Pek. sianak tanggung berkata, "ada suatu hal yang aku tidak mengerti, aku tidak tahu, aku dapat bertanya atau tidak..."

Kam Pek tercengang. segera ia mengawasi putera bungsunya itu. Ia melihat wajah si putera muram, bagaikan orang yang gusar. Tiba tiba ia menghela napas panjang.

"Kau tanyalah, anak" serunya kemudian. "sebenarnya, sekalipun kamu tidak menanyakannya, aku toh bakal memberi penjelasan kepada kamu"

"Aku ingat," berkata sianak. "di itu hari yang aku ingat dan mengerti, itulah saatnya kita serumah tangga sedang berada didalam pelarian"

"oh, anakku." berkata si nyonya usia pertengahan, yang tak dapat menahan turun air matanya, " ketika pada tahun itu kita mulai meninggalkan rumah kita untuk meying kirkan diri, usiamu belum lewat tujuh tahun..."

"sekarang ini, berapa tahun usiaku?" si anak bertanya. "Lima belas", jawab sang ayah.

"Aku turut berlari dalam usia tujuh tahun." berkata lagi si anak, "sekarang umurku lima belas tahun. itu berarti aku telah turut merantau selama delapan tahun. selama itu aku ingat aku turut melintasi gunung, menyeberangi sungai, menjelajah keselatan dan keutara, ke perbatasan, kedaerah es dan salju, menginjak tanah padang pasir dimana angin keras menderu deru selama itu kita sekeluarga belum pernah mempunyai tempat dimana kita bisa menginjakkan kaki kita sampai lama, dimana mana selalu ada saja musuh-musuh yang menyandak kita oh, ayah, sebenarnya perbuatan salah apakah yang pernah ayah lakukan hingga menyebabkan semua orang rimba persilatan didalam dunia ini serempak memusuhimu,"

Muda usia si anak akan tetapi sudah sejak beberapa tahun ia memikirkan soal ini yang membuatnya tak mengerti dan heran, hingga ia menerka-nerka didalam masgul dan bingungnya. Baru hari ini ia dapat kesempatan mengajukan pertanyaannya ini.

Belum lagi ayahnya memberikan jawaban dengan suaranya yang keras, Siauw Pek sudah berkata pula : "setiap kali muncul orang orang menempur ayah, ibu, kakak dan enci, setiap kalinya mereka itu adalah orang orang yang berlainan. Mungkinkah mereka itu mempunyai dendam kesumat yang hebat sekali terhadap ayah ? Mungkinkah mereka orang-orang jahat semua."

"Tutup mulut " mendadak berseru sang ibu "Bagaimana kau berani bicara begini rupa terhadap ayahmu? Apakah kamu tidak tahu aturan".

Mendengar teguran ibunya, bocah itu nampak sabar, akan tetapi ia masih menatap ayahnya dan sembari menangis, ia berkata : "Maaf ayah, aku bersalah " segera ia menjatuhkan diri, berlutut dihadapan ayahnya itu. Kam Pek menoleh kepada isterinya.

"Jangan tegur dia," katanya sabar. ia menghela napas. "Dengar aku si orang she Coh yang tak punya guna," tambahnya. "Aku telah membuat isteri dan anak anakku turut merantau sengsara selama bertahun tahun..." ia mengangkat tangannya mengusap usap kepala anak bungsunya itu, lalu dengan suara parau, ia berkata pula : "Anak. kau tidak salah. Ayahmu tidak berdaya mencuci salah paham dan dendam penasaran ini, hingga kamu semua, anak anakku, terpaksa mendapat nama yang tidak bersih" siauw Pek mengangkat kepalanya, ia mengawasi ayahnya.

"Ayah Dendam penasaran ini dapatkan ayah menjelaskannya kepadaku?" ia bertanya. Ayahnya tertawa sedih, seraya mengangguk.

"Tentu dapat aku menjelaskan kepadamu, anak-anakku". jawabnya. "saat ini justeru saat yang terakhir. Memang, walaupun kau tidak menanyakan, ayahmu hendak menggunakan kesempatan ini buat cerita kepada kamu, supaya kamu semua tahu duduknya persoalan."

Coh Bun Koan, siputeri, yang sejak tadi diam saja mengawasi ayahnya, tiba-tiba menyela.

"Ayah, sabar", katanya "Kita sudah bisa menyingkir selama delapan tahun, belum pernah musuh-musuh kita berhasil memuaskan hati mereka karena itu, kenapa kita tidak dapat memikir terlebih jauh ? Ilmu silat kakak bertambah maju setiap hari, aku sendiri merasakan diriku memperoleh kemajuan juga, maka itu, baiklah kita tunggu sampai luka lenganku ini sudah sembuh, nanti kita mencoba melawan pula musuh musuh kita itu. Kali ini, kita akan melawan secara mati matian Hanya ada satu hal yang tidak aku mengeri. Kenapa ayah rela menerima luka-luka serangan dari musuh musuh kita tetapi ayah sendiri tak sudi membalasnya dengan serangan balasan yang mematikan mereka ?"

Wajah Kam Pek bersedih dan muram, akan tetapi mendengar pertanyaan puterinya itu, ia tersenyum. Dengan suara yang bernada menghibur, ia menjawab. "Tak dapat ayahmu melakukan kesalahan lagi sesudah terlebih dahulu d la membuat suatu kekeliruan. sekarang ini ayahmu sudah berusia lebih daripada setengah abad, kalau aku mesti mati, aku rela, tak usah jadi penjelasan. Mungkinkah aku membuat permusuhan lebih hebat yang akibatnya bakal diderita oleh kamu semua ? Tidak. aku tak dapat menanam bibit permusuhan semacam itu"

"Ayah sangat bermurah hati," berkata sinona, berduka. "Tetapi disamping itu, ayah, musuh-musuh kita yang mengejar kita tak henti hentinya itu sama sekali tak sudi memberi ampun kepada kita. selama beberapa tahun, ayah dan ibu telah menghadapi ratusan kali pertarungan, sempat ayah dan ibu mendapat luka ringan dan berat toh semua itu tak dapat merobah hati musuh-musuh ganas itu. Tetap mereka masih mengejarnya untuk membasmi kita Kenapa semangat ayah bagaikan telah runtuh ?" Tjoh Kam Pek menggelengkan kepala.  "Bukan, anak. semangan ayahmu belum runtuh " katanya. "Aku menjadi seperti tak berdaya karena paksaan suasana. sebab aku insaf tak dapat kita menghindarkan diri dari ancaman marabahaya melainkan dengan kita bekerja sama dan berkelahi mati matian. Musuh-musuh kita itu, sembilan partai yang telah mengirim pemberitahuan kepada seluruh dunia Rimba Persilatan menganjurkan orang-orang Rimba Persilatan yang mana saja untuk membekuk ayahmu ini. Mereka itu telah dijanjikan, siapa saja yang berhasil menawan hidup hidup diriku, dia akan diberi hak memulih dan mendapatkan tiga macam ilmu silat yang istimewa dari kesembilan partai persilatan yang besar itu, sedangkan siapa yang bisa menangkapku dalam keadaan mati ia akan memperoleh satu macam ilmu kepandaian istimewa. Itulah hadiah yang luar biasa, yang belum pernah ada sejak dahulu kala. Itulah hadiah yang paling berharga hingga orang tertarik. siapa tidak tahu bahwa setiap partai itu memiliki masing masing tiga macam ilmu kepandaian yang istimewa Bukanlah sembilan partai itu menjadi dua puluh tujuh ilmu silat yang mahir sekali? siapa mempunyai ilmu silat itu, pasti dia bakal menjagoi dunia sungai Telaga, dunia Persilatan"

"sekarang aku telah mengerti," kata Nona Bun Koan. "Rupa rupanya musuh kita itu, yaitu disebabkan mereka ingin memperoleh ilmu silat yang istimewa itu, mereka memusuhi kita walaupun kedua belah pihak tak ada pemusuhan yang besar."

"Ya, begitulah duduknya hal sebenarnya," sahut Kam Pek, memastikan " Karena itu, semua orang di Rimba Persilatan telah menjadi musuh musuh kita sekeluarga. Coba pikir dapatkah kita menentangnya?" Ia menarik napasnya panjang panjang, terus menambahkan :

"oleh karena itu, bagi kita semua, tidak ada menyingkirkan diri Aku tidak percaya bahwa didalam dunia yang begini luas bakal tidak ada satu tempat dimana kita bisa berlindung yang tenang dan aman. Memang sudah delapan tahun kita berlarian dan masih belum menemukan tempat itu, akan tetapi, kita tak berputus asa. Kita harus mencari kehidupan dalam kematian. Kita harus mencoba mencari jalan hidup" Bun Koan masih hendak menanyakan lebih jauh, tapi siauw pek, adiknya, menyela.

"sebenarnya, ayah," tanya si anak bungsu. "urusan apakah yang menyebabkan kesembilan partai besar itu memusuhi ayah sampai mereka mengumumkan berita menjanjikan hadiah ilmu silat yang istimewa?".

sebelum menjawab Kam Pek menoleh pada isterinya, lalu ia tertawa sedih.

"Kali ini, apakah mati atau hidup, sulit untuk dapat dipastikan. oleh karena itu, jika sekarang kita tidak memberi penjelasan pada anak anak kita ini, mungkin sudah tidak ada temponya yang lain lagi..."

sang nyonya istri itu menyahut sabar: "Kalau begitu, terserahmu suamiku".

segera Kam Pek mengangkat palanya. Dan ia menghela napas, melegakan hatinya.

"Anak inilah satu soal yang sulit sekali, suatu salah paham yang sukar untuk dijelaskan". Katanya kemudian. "Bicara sebenarnya, sampai disaat ini, ayahmu masih belum dapat menerka tepat, apakah itu fitnah atau suatu kebetulan saja. Coba kesembilan partai itu tidak terus terusan mengejar padaku, mungkin selama delapan tahun aku telah berhasil membekuk si pelaku utamanya yang bersalah."

Tiba tiba sang ayah itu menghentikan kata katanya. Mungkin kuatir, anak anaknya tidak akan mempercayainya.

"sakit hati apakah itu ayah?", tanya siauw Pek. " Kenapa ayah tak bicara terus?"

"Jikalau aku bicara terus", kata sang ayah ragu, "Aku kuatir kau sukar mempercayai..." Ia diam sejenak. tiba tiba berkata keras : "Kie Pek. mari ayah ingin bicara kepadamu semua". Putera sulung itu, yang masih berada diluar kuil, menyahut panggilan ayahnya terus lari masuk.

"Ada apakah ayah?", tanyanya sambil menggibriki air hujan pada bajunya. Ayahnya bangkit dengan perlahan lahan.

"Tahukah kami sebabnya kesembilan partai besar mengirimkan pemberitahuannya itu? Kenapa mereka bersatu padu hendak memusnahkan kita sekeluarga?" Demikian pertanyaan ayah itu akhirnya. Kam Pek menghela napas perlahan-

"Aku hanya ketahui ayah mempunyai dendam penasaran yang hebat sekali," sahutnya.

"Tahukah sebabnya?"

"sebegitu jauh yang aku tahu itu disebabkan empat ketua dari kesembilan partai besar itu telah dibunuh secara diam diam," sahut sang anak. "Dan didalam hal itu kesembilan partai besar telah mencurigai dan menuduh ayah yang melakukan pembunuhan gelap itu, lalu membabi buta tanpa memberi penjelasan, mereka menitahkan murid murid mereka mencari dan menyerang ayah. Demikianlah sudah terjadi, para murid kesembilan partai besar itu telah menyerbu Pek Ho Po yang mana dilakukan diwaktu malam gelap gulita, mereka membasminya sampai kita terpaksa mengangkat kaki dari rumah kita itu..."

Rumahnya keluarga Tjoh itu dinamakan "Pek Ho Po", yang berarti "dusun burung Jenjang putih". sebagai umumnya, dusun itu merupakan perkampungan orang orang she Tjoh berikut para pegawainya.

Tiba tiba siauw Pek memandang kakaknya dan bertanya: " Kakak, kenapa mereka itu menyangka ayah?" Ditanya begitu, Kie Pek melengak.

"Entahlah," sahutnya sejenak kemudian-"Aku tak jelas..." Habis menjawab adiknya, kakak itu berpaling kepada ayahnya. "Rupa rupanya," ia meneruskan setelah hening sejenak. "justru di saat ketua-ketua dari keempat partai besar itu, yaitu siauw Limpay, Bu Tong Pay, Ngo Bie Pay dan Khong Tong Pay, telah dibinasakan orang, justru ayah tiba dipuncak Yan-le Hong di bukit Pek Man itu"

Pek Ma san, atau bukit "Kuda Putih", adalah bukit di mana terjadi bencana atas diri ketua keempat partai itu, dan tempat terjadinya ialah diatas Yan-le Hong, puncak "Asap dan Hujan".

Jawaban Kie Pek ini ditujukan kepada siauw Pek. adiknya, akan tetapi tak langsung tertuju juga kepada ayahnya. Biar bagaimana, iapun merasa heran, hingga ia meragu ragukan keterangan ayahnya itu.

Kam Pek mengusut janggutnya yang panjang. Ia tertawa menyeringai, terus memandang istrinya.

"Tidak heran jikalau kesembilan partai besar mengirim pemberitahuan kepada kau Dunia sungai Telaga untuk menjanjikan hadiah guna membinasakan kita," katanya perlahan, "kau lihat sendiri, sekalipun anak anak kita, mereka juga menyaksikan ayah sendiri." Kaum sungai Telaga, Yang ouw, adalah sama dengan kaum Rimba Persilatan, Bu Lim.

Mendengar kata kata ayah itu, mendadak siauw Pek  menjatuhkan dirinya berlutut dihadapan orang tuanya, sembari menangis, ia berkata. "Sama sekali bukan aku mencurigai ayah, melainkan mengharap ayah sudi memberikan keterangan yang jelas supaya kelak dikemudian hari aku dapat melakukan penyelidikan guna mencuci bersih penasaran ayah ini."

Wajahnya Kam Pek tiba tiba menjadi pucat tubuhnyapun bergemetar. Teranglah bahwa hatinya telah terguncang keras. Karena ini, buat sekian lama, tak dapat ia mengucapkan sesuatu.

Tiba tiba Nonya Tjoh berkata. "suamiku kau beritahukanlah kepada mereka Ah, sampai disaat ini, tak usah kau menolongku melindungi muka terangku..." Kam Pek menarik napas perlahan. ia memandang anak anaknya. "Tahukah kamu tempat tujuan kita?" tanyanya.

Bun Koan, yang sekian lama itu berdiam saja, menyahut dengan tiba tiba. "Itulah seng su Kio "

Siauw Pek heran, Seng Su Kio adalah nama jembatan, dan artinya "Peng Lu" itu ialah " Hidup mati". sebenarnya ia hendak meminta keterangan akan tetapi melihat muka ibunya, yang mengucurkan air mata deras, ia menahan kehendaknya. Kam Pek memandang anak anaknya satu persatu.

"Tahukah kamu, kenapa tempat itu diberi nama seng Lu Kio?" ia bertanya.

"Aku tidak tahu", jawab Bun Koan sang puteri.

"Itu adalah sebuah tempat yang keadaannya sangat berbahaya", mengerangkan sang ayah. "Di dalam kalangan Rimba Persilatan, nama tempat itu tak pernah lenyap dari benak pikiran. Apakah sebabnya itu? sebenarnya, aku sendiri tidak mengetahuinya jelas, cuma aku dengar telah pernah ada ratusan, ya ribuan orang orang Rimba Persilatan yang telah membuang jiwa raganya di situ"

"Jikalau tempat itu sedemikian berbahaya, buat apakah kita pergi kesana?" tanya Bun Koan

"Mustahilkah di dalam dunia yang begini lebar ini tidak ada satu tempat juga dimana dapat kita menaungkan diri?"

"Tidak, tidak ada lagi" sahut sang ayah.

"Di gunung yang lebat, disungai yang luas, juga dipadang pasir dan tanah belukar, ditempat mana saja kemana kita dapat pergi, kesana mereka akan dapat menyusul dan menyandak, kecuali seng su Kio. Di sana, sebaliknya, walaupun tempat sangat berbahaya, kita masih dapat mencari suatu jalan hidup,.."

"Maafkan anakmu, ayah," tanya Nona Bun " Kenapa tempat itu diberi nama seng su Kio jembatan Hidup Mati yang demikian seram?" "Menurut cerita," menjawab Kam Pek. yang memberikan keterangannya, "tempat itu sebenarnya adalah sebuah jembatan batu, yang sepanjang tahun gelap tertutup kabut hitam dan tebal, dan siapa menginjak dan jalan di atas jembatan itu maka dalam hal hidup atau mati, dia sudah tidak berkuasa lagi atas dirinya. Begitu jauh, selama beberapa puluh tahun, cuma ada dua orang yang berhasil menyeberang melintas ijembatan maut itu, akan tetapi tentang mereka, tak ada yang tahu mati atau hidup, semenjak berhasilnya dua orang itu, belakangan lantas ada orang orang Rimba Persilatan yang mencoba mengikuti jejak mereka, hanya, tak ada di antara mereka yang mencapai maksud hatinya."

"Jikalau begitu, ayah, dapatkah kita menyeberangi?" tanya sang puteri. Ayah itu tertawa, dia menggelengkan kepalanya.

"Aku juga tak tahu," sahutnya. " Karena kedua tjianpwee itu telah mendahului kita dan telah berhasil, kita juga dapat mencobanya. siapa tahu jika di dalam kematian ada kehidupan? Kita pun terpaksa, bukan? Terpaksa ayahmu mengajak kamu, untuk mencoba coba..."

Kam Pek menghargai ke dua yang telah berhasil melintasi seng su Kio itu maka juga ia menyebut mereka dengan panggilan "tjianpwee" yang berarti "orang yang terdahulu yang terlebih tua, yang dihormati."

Mendadak wajah ayah ini berubah menjadi keren. ia bicara terus, perlahan tetapi tetap. Katanya : "Asal diantara kamu ada satu orang saja yang berhasil tiba disebrang, dilain tepi dijembatan itu, maka berarti bahwa Keluarga Coh tak akan putus, akan ada anggotanya yang dapat menyambungnya hidup terus. Bagiku itu sudah cukup."

Baru saja berhenti suaranya Kam Pek, maka terdengarlah suara gemuruh ringkiknya kuda, yang datang dari tempat yang jauh. Kam Pek kaget sehingga mukanya menjadi pucat.

" Kembali ada musuh menyusul kita" katanya Dengan lincah si nyonya lompat bangun, untuk lari keluar kuil.

"Aku mau mengambil kuda kita" katanya. "Tak usah ibu susah susah" kata Kie Pek. Putera ini mau lompat keluar tetapi ayahnya mencegahnya.

"Biarkan ibumu yang pergi" kata orang tua itu, yang suaranya berubah sangar. lalu dengan dingin, dia menambahkan: "Jikalau kita semua membuang jiwa kita dibawah jembatan maut itu, ya, sudah saja, itulah nasib kita, walaupun demikian, aku mengharap, semoga kita memperoleh berkah Tuhan Yang Kuasa, supaya di antara kamu anak anakku ada seorang satu yang dapat melindungi jiwanya. Jika harapanku ini terkabul, siapapun diantara kami yang hidup, kau harus segera pergi keJie-wan disebelah selatan kota Gak yang. Disana kamu cari seorang tuna netra yang disebut LaUw Hay-cu atau Lauw si Buta. Kepadanya kamu tanyakan apa dia masih menyimpan atau tidak barang titipan sahabat kekalnya dari kaum Pek Kun yaitu Partai putih. Umpama kata dia balik bertanya : "sekarang ini waktu apa?" kaujawablah : sekarang waktu lohor sedang matahari merah marong". Apabila dia berkata pula : Dijalan ketanah baka tidak ada tempat mondok bermalam, maka tak salah, dialah benar orang yang kau cari. setelah itu kau timpali kata katanya itu dengan kata kata ini: "Tetamu datang dari Tanah Barat tempat Buddha." Dengan begitu dapatlah kau minta barang titipan ayahmu itu..."

Bicara sampai disitu, kata kata Kam Pek berhenti pula secara tiba tiba. Kali ini karena ia mendengar suara bentakan yang datang dari luar kuil malaikat gunung itu. Tanpa ragu ragu ia lompat keluar.

Menyaksikan gerak gerik ayahnya, Kie Pek menyambar lengan kanan siauw Pek, adiknya, dengan suara dalam, ia berkata : "Selama delapan tahun ini belum pernah kau mendapat luka, karena itu selagi sekarang kita sudah berada dekat dengan seng su Kio, kau harus terus dapat melindungi keutuhan tubuhmu ini. ini sangat perlu, sebab kaulah yang harus mencuci bersih penasaran ayah bunda kita. Kau dengar kakakmu, adikku, segeralah naik keatas kudamu dan pergi kabur "

Begitu habis dia menutup mulutnya, Kie Pek segera berjalan didepan adiknya, untuk keluar dari san sin Lio. Bun Koan juga lompat keluar dengan gerakan lincah. Kurung walet menembusi kerai, ia melintas disisinya Siauw Pek. untuk mendahului Kie Pek.

Diluar kuil, didalam pekarangan, telah nampak Nyonya Kam Pek sedang menempur seorang pendeta yang tubuhnya besar. senjata pendeta itu ialah sebatang sekop "goal gee hong piansan" yang besar. itulah senjata istimewa untuk para pendeta, atau hweeshio. Berkilauan senjata istimewa itu dan anginnya bersiur siur keras, dan dengan itu si nyonya bagaikan kena terkurung.

Kam Pek. yang telah tiba diluar, lantas menghunus senjatanya, golok Kimpwee Kay san toe, sedangkan tangan kirinya merogoh kesakunya, mengeluarkan sebilah pisau belati yang panjang kira kira satu kaki, yang kedua belah tajamnya bersinar mencorong. Begitu lekas ia datang dekat, ia lompat kepada si pendeta, untuk menangkis turunnya senjata pendeta itu, hingga kedua senjata mereka bentrok keras dan nyaring suaranya. selagi hong pian san kena tertangkis itu, si penangkis meneruskan menikam dengan tangan kirinya, dengan tipu silat "Merogo saku pengambil mutiara."

Pendeta itu terkejut, terpaksa ia mundur setindak.

Justru itu Coh Siauw Pek menghunus pedangnya, segera maju.

" Kakak. minggir" teriaknya. "Mereka sangat kejam, mereka tidak sudi memberi kesempatan mereka telah mengejar kita sampai tak ada tempat sembunyi untuk kita, karenanya daripada kita mesti merantau terus tak berketentuan, marilah kita adu jiwa kita"

Menyusul itu terdengarlah teriakan Bun Koan "Kakak Adik.. Lekas naik kudamu melanjutkan perjalanan kami. Aku akan bantu ayah dan ibu melawan musuh musuh ganas kita ini "

Berbareng dengan itu, tampak muncullah pula belasan musuh lainnya, yang langsung mengepung Kam Pek dan istrinya. Maka orang she Coh itu dengan pedang ditangan kanan dan pisau belati ditangan kiri, terus membuat perlawanan Di dalam pertempuran ini, ia terus mendampingi istrinya. Karena Nyonya Coh tidak dapat, tidak sudi, menyingkirkan diri Untuk sejenak itu, musuh itu tak dapat berbuat apa apa.

Erat hubungannya suami istri itu, rapi cara pembalasan dirinya. inilah akibat pengalaman mereka selama delapan tahun, selama mana hampir tak hentinya mereka menentang musuh musuh yang mengejar, menyerbu dan mengeroyoknya. Hingga pertempuran itu berupa sebagai latihan silat bagi mereka berdua. Hingga dengan sendirinya kepandaian mereka jadi bertambah maju.

Coh Kie Pek tidak pergi menyingkir walaupun adiknya Bun Koan, telah menyuruhnya. Sebaliknya, dia segera meraba kepinggangnya, untuk meloloskan sepotong joan pian, yaitu cambuk lemas yang menjadi senjatanya, sedangkan tangan kirinya mencabut dari sela sela kaos kakinya sebatang kim kiam, pedang emas, panjang satu kaki.

"Adik Koan,jangan maju" ia berseru ketika melihat Bun Koan menggerakkan tubuhnya untuk menghampiri ayah bunda mereka.

Nona Coh sudah melepaskan tali kudanya dan telah menghunus pedangnya, ia melengak mendengar suara Kie Pek, sang kakak. Lekas ia menoleh.

"Mau apa, kak?" tanyanya. Belum pernah ia mendengar suara sebengis itu dari kakaknya.

Kedua matanya Kie Pek terbuka lebar, bundarnya berputar tajam dia mengawasi adik perempuan itu.

"sebagai kakak. belum pernah aku bicara keras terhadapmu" kata kakak ini "sekarang ini lain sekarang, siapa tidak mendengar kata kataku, dia tak akan diakui lagi sebagai saudaraku..." Ia berhenti sejenak, lalu sambungnya. "sekarang pergi kamu naik kuda, kau ajak adik Siauw meneruskan perjalanan " Air mata Bun Koan turun deras. tetapi ia tertawa sedih.

"Kau keliru, kak." katanya. "Adalah kau, kakak. dan adik Siauw, yang berat tanggung jawabnya. Kamulah yang harus mencuci bersih sakit hati ayah dan ibu Aku seorang wanita, taruh kata aku dapat hidup terus, mana ada faedahnya untukku? Apa yang aku dapat perbuat? Karena itu, kakak. maafkan adikmu ini. Lebih baik kaulah yang mengajak adik"

"Adik Koan, tutup mulutmu" bentak kakak itu gusar. "Apakah kau percaya ilmu silatmu lebih lihay daripada ilmu silat kakakmu ini?"

"Aku tahu, memang aku kalah," sahut adik perempuan itu. "Jikalau  begitu,  kau  mengerti  sudah."  kata  si  kakak.  "Kali ini

musuh  yang  menyandak  kita  ini  pasti  adalah  jago  jago  dari

kesembilan partai besar itu dengan begitu, walaupun kau telah berkeputusan untuk membuat tubuhmu hancur lebur, tak nanti dapat kau membantu dan menolong ayah dan ibu Maka itu, kau dengar aku, pergi kau ajak adik Siauw, kamu berdua lebih dahulu berangkat pergi"

Keras kata kata yang terakhir itu, tetapi suara itu rada menggetar, sedang matanya si pemuda telah mengucurkan air. Bun Koan menangis.

"Kakak. tak dapat kau..." katanya terputus...

"Diam" bentak sang kakak. "Aku larang kau bicra Kau dengar kata kataku atau tidak ?"

Adik itu melihat biji mata merah dari kakaknya, tapi ia juga melihat air mata orang, lemahlah hatinya, maka perlahan lahan ia menurunkan tangannya yang menghunus pedang. "Baik... baik... kakak," katanya. "Akan aku dengar kata katamu." Jawaban ini lantas tercampur dengan tangisan terisak isak...

Kie Pek tersenyum sedih.

"Nah, beginilah baru adikku Adikku yang baik," katanya. "Sekarang pergilah kau. Baik baik melindungi adik kita, tak usah menunggu lagi ayah bunda dan aku. Lekas kamu naik ke kudamu. semoga Tuhan Yang Maha Kuasa mengasihani kamu berdua, supaya kamu berhasil menyeberangi jembatan seng su Kio..." Berkata demikian, Kie Pek menghampiri Siauw Pek. untuk mengambil alih pedangnya adik itu, di lain pihak. la menyerahkan kim kiam pada si adik sembari berkata : "Adikku, kau peganglah pedang ini pedang pusaka dari kaum Kim Kiam Bun kita. Dahulu kala, kakek luar kita dengan mengandalkan pedang ini untuk membikin cemerlang Kek Ho Kun kita sayang, di saat kita sedang membangun terus, timbullah peristiwa ini, yang membuat sembilan partai memusuhi kita, dalam hal mana mereka telah dibantu oleh empat rombongan Bun dua Hwee dan tiga Pang lainnya. sehingga kejadian malam itu, hampir seratus jago-jago Rimba Persilatan dari delapan belas rombongan persilatan itu, telah mengepung kita, hingga dalam satu malam ini, musnah ludaslah Pek Ho Sun kita yang telah dibangun dengan susah payah syukur untuk kita, berkat kegagahan ayah dan kecerdasan ibu kita, kita dapat dilindungi, diajak meloloskan diri dari mara bahaya. Hingga kejadianlah selama delapan tahun, kita hidup terlunta lunta didalam perantauan diselatan dan utara sungai Besar, di padang pasir, di hutan belukar, hingga sering kita mesti melakukan pertempuran mati hidup, Ayah telah mewariskan pedang emas ini kepadaku, tetapi sekarang aku menyerahkannya kepadamu, aku minta sukalah kau menyimpannya baik-baik, supaya kelak di belakang hari kau dapat membangun pula Pek Ho BUn "

Siauw Pek menyambut pedang emas itu. "Kakak..." katanya, "aku..."

Kie Pek memotong dengan mengibaskan tangannya.

"Lekas naik kudamu dan pergi " titahnya. "Percayalah, ayah adalah seorang lelaki sejati, tak mungkin dia mencelakakan empat ketua dari keempat partai besar itu. Dalam perkara ini mesti ada rahasia yang masih gelap"

Tepat waktu itu terdengarlah suara nyaring dan keren dari Coh Kam Pek : "Kamu kawanmu manusia ganas, kamu keterlaluan Lihatlah, hari ini coh Kam Pek akan membuka suatu pembunuhan besar besaran " Boleh dibilang belum berhenti mendengungnya suara keren itu, disana sudah terdengar satu jeritan keras yang menyayatkan hati. Itulah jeritan kematian dari salah seorang musuh yang roboh sebagai korban golok Kimpwee to dari jago she Coh itu.

Akibat robohnya musuh itu hebat sekali. segera terdengar bentakan galak dan bengis, tanda kemurkaan musuh disebabkan salah seorang kawannya terbiasakan Menyusul kejadian itu berkilau kilaulah cahaya dari pelbagai macam alat senjata yang melurruk ke arah Kam Pek suami istri.

Terang sudah, Kam Pek mesti melayani kemurkaan lawan sebanyak itu. Melihat semua itu tiba-tiba Kie Pek memeluk tubuh adiknya, untuk dipondong naik ke atas punggung kudanya, di lain pihak. dengan roman garang ia berkata keras pada Bun Koan : "Lekas kau ajak adik Siauw menyingkir "

Nona Bun mengangkat tangan bajunya, untuk menepas air matanya, terus ia mengayun tangannya itu, guna menepuk punggung kuda Siauw Pek hingga kuda itu kaget dan kesakitan dan segera berjingkrak untuk kemudian lompat lari sambil mendengarkan ringkik yang keras dan panjang. setelah itu, enci ini pun menggeprak kudanya sendiri, menyusul pergi guna melindungi adiknya itu.

Kie Pek mengawasi sampai kedua adik itu sudah pergi belasan tombak jauhnya, baru ia mengeluarkan seruan nyaring, baru ia berkata nyaring kepada ibunya " ibu silahkan beristirahat, nanti aku yang menentang mereka itu" Dan kata katanya ini disusul dengan majunya ia sendiri ke arah musuh.

Bun Koan dan siauw Pek sementara itu telah terus melarikan kuda mereka, sampai belasan li, sesudah mana tiba-tiba kuda mereka itu memperdengarkan ringkikan keras, dan seketika itu pula keduanya roboh sendirinya, rebah di tengah jalan

Itu adalah karena sangat letihnya kedua binatang itu walaupun keduanya adalah kuda kuda pilihan telah terlatih baik, hanya kali ini keduanya telah mesti berlari lari teralu lama, sedang saat mengasonya terlalu sedikit, atau mereka sudah mesti larat pula, tak heran mereka kehabisan tenaga.

Bun Koan siauw Pek masing-masing lompat turun dari kuda mereka.

"Apakah kau terluka, adikku?" tanya sang kakak. menghampiri saudaranya.

"Tidak" sahut sang adik,

Nona Bun mengangkat kepala, memandang ke depan, jauh kira2 satu li lebih, ia melihat sebuah gunung. segera ia mengerti, walaupun kuda mereka tangguh, mereka tak akan sanggup mendaki lewat bukit itu. Diam diam ia menghela nafas. Tanpa mengatakan apa apa, ia melepas pelana kudanya, lalu sambil menepuk-nepuk kedua binatang itu, ia berkata :

"Kudaku pergilah kamu, kamu sudah merdeka" Kemudian, segera ia memegang tangan siauw Pek, untuk diajak lari ke arah bukit di sebelah depan itu.

Tiba-tiba Siauw Pek merandak. menghela napas.

"Kakak." tanyanya, "Kau lihat ayah dan ibu, sanggupkah mereka mengundurkan musuh?"

"Musuh berjumlah besar," sahut sang kakak. "Mereka juga nampaknya kosen semua, mungkin sulit untuk mengusir mereka, akan tetapi ayah kita gagah sekali dan ilmu pedang ibu telah mencapai kesempurnaannya, sedang kakak Kie selama ini memperoleh kemajuan pesat. Maka aku percaya, ayah bertiga tidaklah sukar untuk meloloskan diri dari kepungan. Kau jangan kuatir adik."

Di mulut Bun Koan mengatakan demikian dalam hati ia kuatir bukan main. Musuh berjumlah besar dan ayah mereka bertiga  sudah terluka dan letih, Terpaksa saja ia mesti menghibur adiknya ini. Siauw Pek memandang mega yang tebal bagaikan memenuhi langit, lalu seorang diri berkata-kata: "Ayah bagaikan mempunyai kesulitan yang tak dapat ia utarakan dengan kata-katanya... Ah Terang ayah dapat memberitahukan kita kenapa ia mesti diuber uber musuh toh ia masih tak sudi menjelaskannya kepada kita..."

sehabis itu, adik ini menoleh kepada kakaknya. Ia merasa pasti saudari ini tahu segala apa lebih banyak daripada apa yang diketahuinya sendiri. Bun Koan dapat menerka hati adiknya itu. Ia mengegosi soal itu.

"Lihat disana, adik," katanya. setelah melintasi bukit itu, kita akan segera tiba di seng su Kio. Menurut ayah, itulah sebuah jembatan yang menyeramkan, selama beberapa puluh tahun, entah berapa ratus jiwa jago jago Rimba Persilatan yang telah tersia siakan disana, akan tetapi kita semoga Tuhan Yang Maha Kuaa memberkahimu, agar kau dapat tak kurang suatu apa menyeberanginya."

Kakak ini juga berkata kata sambil memandang ke lain arah, supaya sinar matanya tak bentrok dengan sinar matanya saudara itu

sekonyong-konyong Siauw Pek menggentak tangan kanannya yang dipegangi Bun Koan, untuk melepaskan diri.

"Jangan kau mendustai aku, kakak" katanya keras. " Kenapa kah aku tidak diberitahukan duduk persoalannya? sebenarnya ayah telah melakukan kesalahan apakah? Kesembilan partai besar ternama baik, kenapa mereka justru memusuhi kita kaum Pek Ho Bun begini hebat?" Ia berhenti sejenak. dan menarik napas panjang.

" Kakak." tanya pula kemudian, "aku tahu kau mengetahui duduk perkaranya, mengapa kau tidak suka menceritakan padaku? Kakak jika kau tidak suka bicara, aku tak sudi mengakui lagi kau sebagai kakakku"

Hebat suara adik ini lain dari biasanya. Biasanya, ia sangat sayang dan menghormati kakaknya itu. Tadi tadinya belum pernah Bun Koan menyaksikan adiknya ini bersikap demikian keras. Ia menjadi bingung dan berduka, tak merasa air matanya keluar bercucuran-

Tiba-tiba siauw Pek mendongak dan tertawa keras Lalu, tiba-tiba dia mengangkat kakinya, untuk lari kedepan

Anak muda ini panas hatinya, tak dapat ia lampiaskan itu, tak dapat lagi ia mengendalikan diri, maka itu ia bagaikan kalap. Ia lari sekeras-kerasnya menuju kebukit didepan itu.

Bukan main kagetnya Bun Koan, sang kakak.

"Adik" ia berseru seraya lari menyusul. Ia kuatir juga jalanan sukar dan licin bekas habis hujan, "Adik tunggu. Lekas berhenti Aku akan beritahukan padamu"

siauw Pek dapat mendengar suara kakaknya itu. tiba tiba hatinya reda, seketika itu juga ia berhenti lari.

Bun Koan lompat, menyambar lengan adiknya itu. Ia memegang erat erat.

"Adikku" katanya terharu, "kau sabarlah. Di antara kita bersaudara, kaulah yang berbakat paling baik. Ayah telah mengatakan, untuk mencuci bersih sakit hati keluarga Coh ini. Tanggung jawabnya ada pada kau, kenapa kau menganggap dirimu begini ringan."

siauw Pek menangis. Ia menepis air matanya.

"Kakak", katanya. "Jikalau benar ayah telah melakukan suatu kesalahan besar, kita anak anaknya, harus menebus dosa itu, itulah kewajiban kita sebagai anaknya yangb berbakti. Jikalau ayah tidak melakukan sesuatu yang buruk. kenapa ayah tidak mau menceritakan jelas jelas kepada kita?"

"Ayah jujur dan gagah, mana mungkin dia melakukan sesuatu kejahatan?" kata Bun Koan. "Jangan kau menerka yang tidak tidak dik. Maukah kau memfitnah ayahmu?" siauw Pek menggeleng.

"Habis kenapa ayah tak sudi menuturkannya?" tanyanya. "Ayah mempunyai kesulitan Mana mungkin kita sebagai anak memaksanya?"

Adik itu mendongak. Ia berpikir.

"Mungkinkah itu mengenai ibu ?" tanyanya pula kemudian-

"Aku tidak tahu..." jawab sang kakak menggelengkan kepalanya. "Kau tentu tahu kakak. cuma kau tidak suka bicara" kata siauw

Pek. yang mengawasi tajam Ia berhenti sejenak. ketika ia bicara pula, sikap dan suaranya keras, " Kakak, kaulah putera ayah dan ibu Kakak apakah aku bukan puteranya ayah dan ibu juga? Kakak Kie dan kau sendiri mengetahuinya tapi mengapa kau tidak sudi memberi keterangan padaku?"

Nona Bun merasa bersusah hati. Ia sulit sekali. Ia menggenggam tangan adiknya itu tetapi Ia tidak dapat membuka mulutnya. Cuma air matanya yang turun meleleh dikedua belah pipinya.

siauw Pek makin heran, kecurigaannya jadi bertambah-tambah. "Tak dapat tidak. mesti aku paksa dia", pikirnya. Lantas, ia

berontak melepaskan tangannya dari genggaman kakaknya. Ia berkata keras : "Kakak. jikalau benar ayah bersalah, kita harus menanggung dosanya, pantas kita menyerahkan batang leher kita untuk ditabas musuh musuh kita. Didalam hal itu, kita mati tak usah menyesal. kalau musuh2 hanya memfitnah kita pertahankan hidup kita ini, hidup yang berharga, guna mencuci penasaran itu" Bun Koan menangis.

"Kau benar, adikku," katanya. "Kau memang harus menjaga dirimu baik baik..."

"Tetapi, kakakku," bentak si adik, "jikalau kau tidak suka bercerita padaku, baiklah aku akan mati sekarang, supaya kau melihatnya" Berkata begitu, ia melompat keluar ke batu besar didepan, untuk lari kejurang DI depan itu banyak batu besar bermunculan, berlumut dan licin bekas kehujanan, sulit untuk dijalani. siapa tergelincir disitu, celakalah dia siauw Pek justeru lari kesana, untuk merayap naik.

Bun Koan kaget tak kepalang, segera ia lompat menyusul. "Adik" teriaknya. "Adik, lekas turun Mari aku kasih tahu padamu"

Siauw Pek mendengar suara itu, dia melompat turun. Dia menaruh kakinya diatas sebuah batu.

Di antara saudara saudarinya, siauw Pek adalah yang ilmu silatnya terlemah, tetapi mengenai bakat, dialah yang terbaik. Hanya saja Kam Pek tidak mau memberikan segera dia pelajaran silat guna menjaga, melindungi bakatnya itu. Dia terlebih dahulu diajari duduk bersemedi, untuk memperkokoh tenaga dalamnya. Dia diajari lweekang-laykang ilmu tenaga dalam itu. Disamping itu, dia dibekali beberapa jurus tipu silat pedang, untuk membela diri Di dalam hal keng kang tee ciong (ilmu ringan tubuh dan berlompat mencelat) dia belum diwarisi sama sekali. Kalau tadi dia dapat melompat pesat dan indah, itu disebabkan semangatnya yang dibantu dari hasil latihan tenaga dalamnya itu. Tapi dia belum terlatih sempurna. Dia dapat menaruh kakinya tapi tubuhnya limbung, kaki tidak terletakkan tepat, sedang batu itu berlumut dan licin. Maka tak ampun lagi, dia tergelincir roboh

" Celaka" teriak Bun Koan-

Tetapi si kakak sebat, dia sadar, maka dia sambar kaki kanan adiknya itu, untuk dicekal dan ditarik. sayang, dia tergesa gesa, kudanya kurang teguh, sedangkan tubuhnya condong kedepan, maka itu dia dapat tertarik adiknya dan gemburlah kuda kuda itu, tubuhnya kena terbetot. " Celaka" dia berseru di dalam hati, cemas.

Tapi nona ini tidak menjadi gugup, dengan sebet dia menyambar dengan kakinya pada cabang cabang pohon cemara di dekatnya, guna memancangkan kakinya itu, maka dia berhasil mempertahankan diri, Hingga dia berhasil menyelamatkan adiknya. Walaupun telah selamat, tapi muka si nona menjadi pucat pasi, kagetnya tadi. Tubuhnya juga mengeluarkan peluh dingin Tetapi dia tetap memegangi tangan adiknya erat erat. yang dia pandang dengan mata melongo sebab mulutnya tak dapat berkata kata jua.

siauw Pek sendiri tak kaget, dia dapat menenangkan dirinya. Dia balik mengawasi diri kakaknya itu.

"sekarang kakak. kau mau bicara atau tidak?" tanyanya keras, walau ia tahu kagetnya sang kakak itu belum hilang seluruhnya. Bun Koan menyeka peluh di dahinya.

"Aku akan bicara," sahutnya. "tetapi harus kau ketahui, apa yang aku tahu ada batasnya, sebab ini juga keterangan tidak lengkap dari ayah sendiri.."

"Berapa banyak yang kau ketahui, berapa banyak yang kau beritahu padaku" kata sang adik,

"Peristiwa itu mengenai nama baik ibu," kata si kakak. "Itu sebabnya kenapa ayah segan membicarakannya pada kita..."

Paras siauw Pek berubah pucat, kedua matanya dipentang lebar. "Apa...? Mengenai nama ibu? Kenapakah? Lekas kau bicara" kata sang adik,

"sabar, dik Berikanlah kesempatan padaku untuk bicara dengan tenang." siauw Pek terus mengawasi kakaknya.

"Rupanya ibu telah menerima sebuah surat rahasia habis itu ibu pergi diam diam." Bun Koan mulai bercerita. "Ketika ayah mengetahui kepergian ibu ayah langsung pergi menyusul. Untuk itu ayah telah mendaki puncak Yap Ie Hong di gunung Pek Na san itu. Justru itu, disana telah terjadi kejadian hebat, bahwa ketua ketua dari keempat partai besar itu sudah dibinasakan orang, hingga seterusnya terjadilah ini, peristiwa penasaran yang hebat sekali."

siauw Pek menghela napas, untuk melegakan hatinya. "Kemudian?" tanyanya. "Ayah kita telah menerima budi besar dari kakek luar." Bun Koan melanjutkan "ia telah dipelihara dan dididik, tidak saja kakek telah mewariskan ilmu silatnya, ia juga dihadiahkan anak perempuannya, yaitu ibu kita bahkan yang terakhir ayah diwariskan juga partai Pek Ho Bun, hingga ia melanjutkan jabatan kakek luar sebagai ketua partai itu..."

"Memang, ayah sangat bersyukur kepada kakek luar," kata siauw Pek. "Sudah tentu ayah tak sudi melukai hati ibu, Didalam hal ini apabila benar kehormatan ibu tersangkut paut pasti ayah akan melindunginya."

Bun Koan mengangguk, tapi terus menggelengkan kepala.

"Tak mungkin kehormatan ibu tersangkut paut," katanya. "Ayah dan ibu sangat saling menyinta, seingatku belum pernah menemui ayah dan ibu berselisih satu dengan lain Tapi aneh sikapnya ibu. Hari itu ibu meninggalkan sepucuk suratnya, terus ia pergi. Aku percaya hal itu disebabkan oleh suatu kesulitan-.."

"Kenapa ibu meninggalkan suratnya kemudian pergi?" tanya siauw Pek. "sebelum itu apakah tak ada tanda sesuatu?"

"Ketika kejadian, usiaku masih kecil. aku baru saja mengerti urusan," jawab Bun Koan "Menurut apa yang aku ingat, hari hari sebelumnya itu aku tak melihat sesuatu yang luar biasa. Pernah secara diam diam aku menanyakan kakak Kie kalau dia ingat sesuatu yang menyangkut kepergian ibu, mungkin yang mencurigainya." Tiba tiba saja, si nona memutuskan kata katanya itu.

"Nah, habis apa kata kakak Kie?" tanyanya.

"Kakak bilang..." sahut Bun Koan, ragu ragu, "Bahwa ia melihat seorang pria berbaju kuning datang kepada budak pelayan itu, setelah mana, ya, malamnya, ibu meninggalkan surat itu dan lalu pergi."

siauw Pek mendongak. la menarik napas panjang, lalu ia berdiam. "Adik, jangan kau mencurigai ayah dan ibu," kata Bun Koan "Ayah adalah seorang laki laki sejati, tak mungkin dia mencelakakan keempat ketua partai besar itu, dan lagi mereka itu adalah ketua partai yang gagah perkasa, jago jagonya rimba Persilatan yang kenamaan Ayah seorang diri, mana mungkin membinasakan mereka berempat itu?" siauw Pek memandang tajam kearah wajah kakaknya, ia masih berdiam saja. Bun Koan menarik napas perlahan, agaknya ia sangat duka.

"lbu adalah seorang wanita bijaksana, orangnya lemah lembut dan terhadap ayah ia sangat cinta." kata Bun Koan pula. "Aku tidak percaya ibu dapat melakukan sesuatu yang bisa melukai hati ayah atau mencemarkan namanya."

"Kalau begitu, jadinya semua itu ialah salahnya keempat ketua partai itu?" tanya siauw Pek setelah berdiam beberapa lama.

"oleh karena urusan masih gelap. aku tidak berani mengatakan apa apa," jawab Bun Koan "Ayah telah memberi petunjuk kepada kita, maka kelak di belakang hari, perlahan lahan saja kita membuat penyelidikan, aku percaya tak akan terlalu sulit buat kita mengetahui duduknya hal yang sebenarnya..."

"Tentang ibu," siauw Pek masih penasaran " Kenapa ibu meninggalkan surat dan pergi? Kenapa ibu pergi dengan meninggalkan surat itu?"

Bun Koan agak gugup.

"Jangan semberono, adikku" cegah Bun Koan "Ayah tidak mau memberi keterangan kepada kita, mungkin ada sesuatu yang memberatkannya. Ah, sekarang ini Yang paling penting sekarang ialah kau harus menjaga dirimu baik baik, adikku. Ayah dan ibu mengandel kepada kau yang dijadikan harapannya Cuma kau yang nanti bisa mencuci bersih nama ayah dan ibu" Dengan muka pucat, siauw Pek tertawa.

"semua orang Rimba Persilatan menjadi musuh musuh kita," ia bertanya, "bagaimana caranya kita melakukan pembalasan terhadap mereka itu?" "Tetapi ingat, adik," kata Bun Koan dengan roman sungguh sungguh. "siapa menjadi anak. tak boleh menghina ayah dan ibunya"

"Aku tahu," kata adik itu. "Di dalam dunia tidak ada ayah bunda yang tak benar." Bergolak darahnya anak tanggung itu, tiba tiba saja dia menangis.

"Adik," berkata sang kakak, sabar, "aku lebih tua beberapa tahun dari padamu, dan pengalamanku selama delapan tahun membuat aku mengetahui banyak sekali. Ayah gagah dan jujur, ibu berbudi pekerti halus, tak mungkin mereka curang terhadap lain orang..."

suaranya Nona Tjoh berhenti dengan tiba tiba. Dari kejauhan ia mendengar satu suara keras, yang menyapanya: "Adik Koan disana? Kenapa kau tidak ajak adik siauw pergi? Buat apa kau berdiam disana?" Bun Koan mengenali suara kakaknya, Kie Pek.

"Adik, mari kita lekas pergi" ia mengajak adiknya, suaranya perlahan Dan terus ia pegang tangan siauw Pek. buat ditarik diajak pergi. sekarang ini kakak beradik ini mulai berjalan nanjak.

sesudah berjalan sekian lama, tiba tiba siauw Pek berkata pada kakaknya : "Kakak, mari kita berhenti dulu sebentar baru kita berjalan pula"

Bun Koan dapat menerka hati adiknya ini. Dia itu ingat ayah bundanya, dan kakaknya, Ki Pek. Pasti sekali, ia pun ingat orang tua dan saudaranya itu. Tapi ia ingat akan tugasnya membawa adiknya ini ke tempat yang aman ia adalah tugas sangat berat. Maka ia mengendalikan dirinya. Toh, tak urung, ia menghentikan tindakannya, seperti si adik telah diam berdiri la menoleh ke belakang, ke arah dari mana mereka datang tadi.

Air langit masih terus turun, angin masih bertiup. Diantara hujan angin itu, tampak sinar berkelebat dari pelbagai senjata tajam. Di sana juga terlihat tubuh-tubuh yang berderak gesit dan lincah.

samar-samar tampak Coh Kam Pek didampingi isterinya disebelah kanan, puteranya di sebelah kiri tampak juga bekerja golok emas, pedang panjang dan cambuk lunak. yang bergerak bersatu padu. Ayah bunda dan kakak tengah berkelahi melayani para pengepung mereka, mereka mengadu jiwa sambil main mundur.

sekarang ini musuh tak lagi berjumlah belasan, malahan puluhan, mereka semua mendesak dengan hebat. Terlihat yang terdepan seorang pendeta dengan tubuh tinggi besar, yang bersenjatakan goat gee san, dialah yang mendesak dengan hebat sekali.

Disebelah kiri si pendeta terdapat seorang yang bertubuh kecil dan kate, tangan kirinya mencekal selembar tameng besi, tangan kanannya menggenggam sebatang golok pendek. Dia seorang yang gerak geriknya gesit sekali, dan terlihat dia sering berloncatan ke kiri dan ke kanan, untuk menerjang dan berkelit. Nyata dia sangat licik.

Di sebelah kanan si pendeta terdapat seorang toosu, atau imam, penganut agama Too Kauw, usianya pertengahan Dia bersenjatakan sebatang pedang panjang. tampangnya bengis.

Mereka bertigalah yang mengepalai rombongan untuk mengepung dan mendesak Kam Pek suami isteri dan ketiga putera mereka.

"Kakak", tanya siauw Pek, "apakah pendeta itu pendeta murid dari siauw Lim sie?"

-000d0w00-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar