Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 39

JILID 39

Seorang pendeta setengah tua melompat maju, untuk menghadang dengan tubuhnya didepan ketuanya. Dia tahu dia tak dapat menangkis, dengan berani dia pasang tubuhnya sebagai ganti sasaran Tepat dan telah serangan sianak muda mengenai dada pendeta itu, maka tak ampun lagi, dia mengeluarkan jeritan tertahan, terus dia jongkok dengan kedUa tangannya diperutnya

"oh, para suhu, kamU semUa memikir keliru" berkata Soat Kun. Ia buta tapi ia seperti dapat melihat. "Asal kamU bergerak tanpa menyalurkan napas, masih ada harapan racun didalam tubuhmu tak berdaya. Demikian tentu anggapan kamu itu, Itulah keliru Sebenarnya, asal tubuh kamu digerakkan, tentu kamu menderita"

"Para suhu" Siauw Pek berkata nyaring. Ia tidak menghiraukan suara Nona Hoan-"Para suhu, jikalau kamu tetap tidak mau menyingkir terpaksa aku hendak menurunkan tangan kejam. Jangan kalian menyesal atau mengatakan aku telengas"

It Tie melihat suasana buruk itu, yang tak dapat dihindarkan lagi. "Kamu semua minggir" akhirnya ia memerintahkan. Semua pendeta itu menyahuti, semua mundur dengan serentak.

"Kini bagaimana? " kemudian It Tie bertanya kepada Siauw Pek. "Nona Hoan menghendaki taysu ikut pada kami pergi kedalam

rimba," sahut sianak muda

"Jikalau punco tidak turut pergi? " "Tak bisa lain, taysu harus merasai sedapnya racun" It Tie berbangkit ayal ayalan.

"Lekas minta pulang senjatamu" Soat Kun berkata kepada Siauw Pek.

Siauw Pek ingat pedang dan goloknya itu. Didalam keadaan seperti sekarang, senjata tak dibutuhkan, tetapi lain waktu. ia pula tak bisa kehilangan kedua senjatanya itu. Maka ia terus berkata kepada sipendeta

"It Tie, kau perintahkah orang mengembalikan pedang dan golokku"

"Itulah bukan urusanku" kata It Tie ketus.

"Biar bukan urusanmu, kau toh harus mengurusnya juga. Lekas perintah orang antarkan kemari, atau akan aku totok jalan darahmu yang disebut Ngo-im ciat hiat, supaya kau rasakan bagaimana sedapnya darah berjalan berputar arah serta juga bekerjanya racun." gertaknya.

Paras It Tie tetap tenang akan tetapi hatinya guncang hebat sebab takutnya. Maka ia menoleh kepada orang orangnya dan mengatakan sesuatu kepada satu diantaranya para pendeta.

Hanya sebentar muncullah seorang kacung pendeta yang membawa pedang Thian Kiam dan golok Pa Too, dilihat dari tindakannya yang gesit terang kacung itu tidak terkena racun.

"It Tie licin, perlu aku bersiaga," pikir si anak muda. Segera si kacung tiba didepan Siauw Pek.

"Apakah ini pedang dan golok siecu? " tanyanya sambil dia mengangsurkan kedua senjata itu, sikapnya hormat.

"Benar," jawab Siauw Pek mengangguk.

"silakan siecu periksa, supaya jangan salah." Siauw Pek menghunus goloknya. "Golok ini tak salah," katanya sambil goloknya itu dimasukkannya kedalam sarungnya. "Apakah pedangnyapun perlu diperiksa? "

"Tak usahlah," jawab Siauw Pek percaya. Kacung itu menjura terus dia mundur.

Dengan pedang dan goloknya telah kembali, legalah hati sianak muda.

"Apakah kita membawa dia pergi? " Siauw Pek bertanya kepada Soat KUn.

"Ya. Dia seorang saja sudah cukup," sahut si nona.

Siauw Pek menoleh pada It Tie "Taysu mari berangkat. Apakah mesti kami mendesak? " It Tie menoleh kepada semua orangnya:

"Apakah nona menghendaki pinceng turut kamu? " dia bertanya. "Kemanakah? "

"Kedalam rimba," sahut Soat Kun. "Kami tak ingin melukai banyak orang, dari itu kami membutuhkan taysu, supaya kami tak usah sampai diserbu para pendeta." It Tie memandang Nona Hoan itu.

"Nona, pinceng kagum atas kepandaianmu menggunakan racun," katanya, "cuma...”

“cuma apakah, taysu? " tanyanya.

"Sejak memasuki kuil kami selalu nona mengenakan Cala, apakah maksudnya itu? ”

“Apakah itu mengganggumu, taysu? "

"Siang hari terang benderang toh ada bintang muncul..." katanya seorang diri.

Siauw Pek heran, hingga ia mengangkat kepalanya. Hanya langit biru, bintang tidak ada sama sekali.

"Ah, apakah pendeta ini sudah edan? " pikirnya. "Apakah taysu ingin melihat bintang disiang hari begini? " Soat Kun bertanya.

“Heran " pikir Siauw Pek. "Mengapa Nona Hoanpun bicara begini rupa? "

"Apakah kata nona? " It Tie tanya, alisnya berkerenyit. "Apakah taysu tidak mengerti? " sinona membaliki. "Ya, benar punco tidak mengerti," jawab pendeta itu.

"Matahari dan rembulan berputaran tak hentinya," berkata sinona. "Begitu juga pemandangan alam bisa berubah-ubah. Sekalipun urusan didalam dunia, urusan apakah yang bakal tak berubah juga? ”

“Maksud siecu, apakah..."

"Aku maksudkan soal-soal manusia, yang biasa muncul yang barunya, lalu semuanya berubah mengikuti sang waktu..."

It Tie menoleh kepada Siauw Pek. "Bagaimana siecu? " tanyanya.

Soat Kun menyela "Sang hari masih banyak taysu, jangan terburu-buru" Siauw Pek makin tidak mengerti.

"Apakah yang mereka bicarakan? " ia tanya dirinya sendiri. "Yang satu bicara soal bintang yang lain tentang manusia. Itu sama artinya dengan bertanya kepada kerbau dengan mulut kuda..."

Saking bingung, ingin sianak muda menanyakan kepada soat Kun. Tapi ia mendengar si nona sudah berkata pula: "Mari lekas kita memasuki rimba. Jangan membiarkan mereka menanti terlalu lama "

Dan sinona mempercepat langkahnya, mendahului yang lainnya.

It Tie turut bertindak cepat juga , untuk menyusul sinona, dia berjalan dibelakang nona itu.

Hanya sebentar, tiba sudah mereka didalam rimba dimanaBan Liang dan yang lainnya justru hendak keluar untuk menyusul mereka. Mereka ini berlega hati berbareng heran, sebab tampak It Tie diantara nona-nona dan ketuanya itu.

Segera setelah mendekati Siauw Pek, separuh berbisik, sijago tua bertanya kepada anak muda itu: "Ketua Siauw Lim Sie mestinya dilindungi berlapis lapis pembelanya, kenapa dia sekarang dapat dibawa kemari secara mudah begini? "

"Nona Hoan telah menggunakan kepandaiannya," sahut Siauw Pek. "Semua pendeta lainnya dapat dipengaruhi maka juga pendeta ini dapat dipaksa datang kesini."

soat Kun berdua mengajak It Tie sampai di bawah sebuah pohon besar, disitu si pendeta lalu duduk bersila. Kedua belah pihak lalu berbicara perlahan suaranya. Karena terpisahnya jauh, Siauw Pek tidak dapat mendengarnya. Hanya selang sesaat, sinona tampak bertindak ke arahnya.

Ketika itu Giok Yauw dan Oey Eng tetap melakukan penjagaan dibatas tin, mereka memasang mata keempat penjuru sambil bersiap sedia untuk memberi laporan atau isyarat apa ada perlunya.

Selama tadi itu, karena pihak Siauw Lim Sie terus berdiam, Ban Liang sekalian dapat kesempatan berjaga jaga sambil beristirahat.

Nona Hoan menghampiri Ban Liang. Katanya^ "Kita telah mempunyai orang tanggungan tak usah kita khawatir pihak Siauw Lim Sie nanti menyerbu kita. Baiklah minta semua kawan agar beristirahat."

Ban Liang menerima baik anjuran itu dan menyampaikannya pada Giok Yauw semua.

Siauw Pek diam diam memperhatikan It Tie Taysu. Sipendeta duduk diam seorang diri saja. Mau atau tidak^ ia heran dan khawatir.

"Tak mudah sipendeta dibawa kemari," pikirnya. "Mana dapat dia dibiarkan terus berdiam seorang diri saja? Jika dia merat, bukankah itu akan mendatangkan kepusingan? Bagaimana andaikata dia datang menyerang bersama semua muridnya? Bukankah itu berbahaya?" Tak dapat pemuda ini menguasai dirinya, maka ia menghampiri Soat Kun dan bertanya, "Nona membiarkan sipendeta berdiam seorang diri, apakah kau tidak takut kabur? "

"Jangan khawatir, tak apa apa," sahut nona. "Dia tengah memikirkan sesuatu, sebelum dia dapatkan pemecahannya, tak nanti dia kabur"

"Masih ada satu soal lagi, nona" "Apakah itu, bengcu? silahkan perintah"

"Tadi... di tengah jalan, apakah yang nona bicarakan dengan it Tie Taysu? ”

“oh, kau dengar itu? Kau merasa anehkan? ” “Tak cuma heran, bahkan bingung"

"Itulah suatu rentetan kata kata rahasia, yang aku sendiri masih belum mengerti..."

"sebenarnya, apakah yang nona bicarakan dengannya? "

"Aku ingin memancing dia memecahkan kata kata rahasianya itu serta hubungannya...”

“Kalau nona sendiri tak mengerti, mungkinkah dia? " Siauw Pek bertanya pula.

soat Kun tak menjawab. Dia memakai cala, tidak tampak airmukanya. Hanyalah Soat Gie yang tertawa, Malam dan siang, setiap detik, adik ini selalu mendampingi kakaknya, dia mirip bayangan si nona cerdik pandai itu. Apa segala yang ia lihat dan dengar, semuanya itu diberitahukannya kepada kakaknya. Dilain pihak, ia bersikap seperti juga ia tak memperhatikan segala sesuatu Sebab tak peduli ada kejadian apa menggembirakan ataU berbahaya, air mukanya tidak berubah. Dia selalu tenang tenang saja. Hingga kemudian, seperti melupakannya. Tapi kali ini, diluar kebiasaannya, dia tertawa. maka juga dia menarik perhatian Siauw Pek semua. Siauw Pek berpaling. Melihat wajah orang, ia menjadi kesengsam. Kecuali tawanya itu merdu, kecantikan Soat Gie sangat menakjubkan "Jikalau dia dapat bicara, sungguh dialah nona paling istimewa..." pikir ketua ini...

Perhatian si anak muda terhadap soat Gie berhenti sampai disitu, sebab ia telah mendengar suaranya soat Kun. Kata nona penasehat itu "sebegitu jauh aku berbicara dengannya, aku masih belum melihat pemecahannya...”

“Agaknya dia mulai bercuriga," Siauw Pek menyatakan "Dia hanya merasa aneh, maka juga dia menggunakan otaknya untuk memikirkannya."

"Sekarang kita sudah menawan ketua Siauw Lim Sie dan mengekangnya, bagaimana tindakan kita selanjutnya? ”

“Bagaimana pikiran bengcu sendiri? "

"Menuruti suara hatiku, ingin aku segera membalaskan dendam kesumatku," sahut si anak muda, ragu ragu, "akan tetapi sekarang, aku mendapat serupa perasaan lain..."

"Apakah itu, bengcu? Apakah kelainan itu? "

"Sekarang aku merasa bahwa dendam keluargaku seperti telah menjadi satu dengan suasana dunia Sungai Telaga seluruhnya, maka juga sekarang aku tak kesusu dengan niatan pembalasanku itu..."

"Bagus, bengcu Bagus kau telah memperoleh pengertian itu"

"Maka itu, nona, bagaimana sekarang kita harus bertindak? " "Yang paling utama ialah kita berbicara dengan para tiang loo

Siauw Lim Sie itu."

Waktu mereka berdua bicara sampai disitu, tampak Ban Liang datang bersama Giok Yauw dan yang lainnya. "Banyak capai, Nona Thio" Soat Kun mendahului menyapa. Ia tidak melihat tetapi kisikan tangan Soat Gie memberitahukan ia siapa siapa yang menghampirinya.

"Terima kasih, Nona Hoan" Giok Yauw membalas.

Soat Kun segera berkata kepada Ban Liang. "Ban Huhoat, aku mohon bertanya sesuatu.”

“Oh, nona" berkata sijago tua. "Nona titahkan saja"

"Peperangan tak mengenal kelicikan atau kepalsuan, bukan? " berkata si nona, "Dengan satu pada lain menjadi musuh, bukankah kita dapat menggunakan segala macam siasat atau akal? "

"Benar Didalam dunia Sungai Telaga, keadaanpun mirip seperti itu. Terhadap musuh tidak soal jujur atau adil lagi"

"Kalau begitu, baiklah" berkata nona Hoan "Sebentar aku hendak mohon Ban Huhoat bekerja"

"Kerjaan apakah itu, nona? "

"Untuk menotok jalan darah It Tie Taysu"

"Apakah nona maksudkan aku menotok secara membokong? " Ban Liang tegaskan-

"Benar Kita telah menculik ketua Siauw Lim Sie, walaupun para tiangloo tidak puas pada ketuanya itu, biar bagaimana, mungkin mereka itu akan berdaya menolongi ketuanya..."

Nona Hoan berhenti sejenak. untuk menarik napas lega.

"Selama ini kita memang telah bertempur dengan jago-jago Siauw Lim Sie, akan tetapi, mereka itu baru termasuk jago jago kelas dua atau tiga," Nona Hoan melanjutkan "Tidak demikian para tiangloo itu. Karena ada kemungkinan kita nanti bentrok dengan mereka itu, sekarang haruslah kita beristirahat."

Kata-kata si nona benar, maka Ban Liang semua menurut. Lalu semua beristirahat. Siauw Pek tidak dapat beristirahat sepenuhnya. Ia tetap bercuriga dan khawatir It Tie kabur, maka itu, senantiasa ia melirik kepada pendeta itu.

Di luar kecurigaan si anak muda, It Tie bersikap sangat tenang. Dia seperti tak menghiraukan bahwa orang mengawasinya. Dia duduk tenang sekali, bahkan dia seperti sedang berdiam didalam rimba ini Selewatnya beberapa waktu, didalam rimba itu tampak muncul dua orang pendeta. Mereka itu bergerak kearah ketua Siauw Lim Sie. Teranglah mereka itu datang dengan niat menolong ketua mereka.

Siauw Pek memasang mata, ia meliaht datangnya kedua pendeta itu. Segera ia melompat bangun dan menghunus pedangnya. Ia hendak mencegah

Tiba-tiba terdengar suara perlahan dari Soat Kun disisinya: "Lekas duduk kembali. Tenang tenang saja mengawasinya."

"Mereka itu mau menolong It Tie..." kata si anak muda.

"Jikalau It Tie mau kabur, sekarang sudah terlambat, tak akan keburu kau mencegahnya." kata pula sinona.

Sianak muda melengak. "Nona Hoan benar..." pikirnya.

Maka itu lalu duduk pula, matanya mengawasi si pendeta itu serta kedua pendeta yang datang hendak menolongnya.

It Tie mengawasi kedua pendeta itu, bibirnya bergerak gerak. Kemudian kedua pendeta lalu menjura, setelah mana, keduanya terus mengundukan diri, berlalu dari tempat itu. Teranglah ketua Siauw Lim Sie itu menampik pertolongan orang orangnya.

Diam diam Siauw Pek berpikir "Luar biasa Bukankah It Tie mempunyai kesempatan untuk meloloskan diri? Disekitar kita ada banyak pendeta lainnya, asal dia kabur, pasti mereka itu akan menghalang halangi pihakku yang akan mengejarnya Kenapa dia tak mau pergi? " Dengan perlahan pemuda ini berpaling kepada soat Kun, sambil mengawasi sinona, ia berkata didalam hati^ "Tak tahu dengan cara apa nona ini dapat membuat It Tie suka tunduk terhadapnya. Sungguh aneh..."

Tiba-tiba sianak muda mendengar pertanyaan nona itu. "Apakah kau merasa aneh? "

"Benar," jawab sianak muda terus terang. "Makin lama aku makin bingung."

"Semasa hidupnya guruku," sinona memberi keterangan, "ia sering mengajari aku perihal sifat manusia, tentang pelbagai perasaannya, terutama mengenai kelemahannya. sifat itu terbagi tiga macam. Gutuku berkata, makin seorang jahat dan kejam, makin dia takut mati..."

Sinona menghela napas, setelah itu ia melanjutkan^ "it Tie adalah tergolong lemah hatinya Dia cerdas dan licik, dia kejam sekali, tetapi diapUn. takut mati. Maka itu, asal kelemahannya itu dapat dikuasai, dia dapat dipengaruhi"

"Oh begitu, nona? " kata sianak muda, heran dan kagum. "Jadi dia takut mati disebabkan dia khawatir racun didalam tubuhnya nanti bekerja membetot nyawanya? Dia takut nanti tak tertolong maka juga tak berani dia buron"

"Terkaan kau benar sebagian saja, bengcu," berkata Soat Kun. "Siauw Lim Sie mempunyai macam obat juga obat pemunah racun, kalau It Tie dapat pulang, dia bisa menolong diri dengan memakai obatnya itu. Itulah berarti sebagian harapan hidupnya. Kenapa dia tak mau mencobanya? "

"Inipun benar," Siauw Pek mengakui didalam hati. Tapi toh ia bertanya: "Habis, kenapa It Tie tetap tidak mau lari? "

soat Kun menjawab, perlahan^ "Dia bersangsi, dia mencurigai aku adalah konconya. Dia menyangka aku sedang menjalankan tugas di dalam kuil Siauw Lim Sie, kedudukan it Tie sangat tinggi dan mulia, akan tetapi dimana Seng Kiong Sin Kun, dia tak lebih tak kurang daripada seorang prajurit pesuruh. Maka itu dia sangat menghormati orang orang dari Seng Kiong."

"Apakah sebabnya itu, nona? "

Sianak muda tetap belum mengerti jelas.

"Sebabnya ialah, Sebelumnya It Tie menjadi ketua partainya dia sangat menginginkan dan mengharap harap kedudukan ketua partai itu. Lalu datang orang orang Seng Kiong, yang membantu dia memperolehnya. Dengan begitu mungkinkah orang seng Kiong memperkenankan dia melakukan apa yang dia suka? Pastilah kemerdekaannya dikekang dengan pelbagai cara"

"Siauw Lim Sie besar dan kuat, tak dapatkah Siauw Lim Sie memberontak dan melawan Seng Kiong? "

"Nah, disini kita kembali kepada sifat manusia, kepada kelemahannya, ia cacatnya" berkata sinona. "Sebenarnya, didalam hatinya, tak nanti It Tie tunduk dengan sesungguh sungguh hatinya, tetapi suasana, atau keadaan, memaksanya tunduk. Yang paling diakui olah It Tie bukanlah soal Seng Kiong nanti mengirim orangnya yang liehay untuk datang ke Siauw Lim Sie merampas jiwanya. Sebagai ketua Siauw Lim Sie, dia dapat mengatur penjagaan kuat guna melindungi keselamatannya. Seng Kiong boleh mempunyai banyak orang kosen tetapi tak usah It Tie khawatir. Yang dia takuti yaitu takut nanti Seng Kiong membeber rahasia kejahatannya. Kalau rahasianya dibeber, dia bukan saja bakal tak menjadi ketua Siauw Lim Sie lagi, bahkan sebaliknya, dia akan menjadi simurid murtad, murid pendurhaka secara demikian didalam waktu sekejap saja dia bukan ketua Siauw Lim Sie yang diagungkan dan dimalui"

“Habis nona, bagaimana nona dapat membuatnya menuruti segala kehendakmu, buat duduk berdiam saja tanpa bergerak bergeming? "

"Itulah sebabnya pertama-tama dia takut racun nanti bekerja, dan kedua dia mencurigai akulah orang Seng Kiong, karena itu, tak berani dia menantang aku." "Jikalau demikian adanya, habis kenapa nona tak menginginkanBan Huhoat menotok jalan darah pendeta itu? "

"Tepat pertanyaan ini, bengcu Tidak saja bengcu gagah perkasa tapi juga kau cerdas sekali, kau telah maju pesat sekali. Bilang terus terang, kecerdasan orang tampak dari kecerdikannya, dari cara pemikirannya yang lengkap sempurna, yang nyalinya besar dan teliti. Di dalam ilmusilat itu berarti pandai mencari bagian bagian tubuh yang lemah dan berbahaya untuk dijadikan sasaran penyerangan-.."

Nona Hoan berhenti sejenak, baru ia menambahkan^ "Sekarang ini It Tie tengah mencurigai aku sebagai utusan Seng Kiong, tetapi nanti kalau kita berbicara dengan para tiangloo, pasti kecurigaannya itu bakal segera lenyap sendirinya, lalu dia telah merasa merdeka seluruhnya..."

Selagi mereka bicara itu, tiba tiba tampak satu bayangan orang melesat datang. Kiranya itulah Han In Taysu, yang datang untuk menyampaikan laporan. Sambil berdiam dekat muda mudi itu, pendeta itu berkata, "Nona Hoan suasana rupanya."

"Apakah itu? " tanya si nona.

"Baru saja loolap turun dari atas pohon," menjawab sang pendeta tua. "Selagi memasang mata keempat penjuru, loolap melihat muncul tak kurang dari pada lima ratus jiwa pendeta Siauw Lim Sie yang tengah mendatangi kearah sini... Mungkin mereka hendak mengurung kita..."

"Apakah sekarang sudah tiba waktunya para tiangloo muncul? " tanya si nona. Han in menengadah kelangit.

"Mungkin belum waktunya..."

"Kalau begitu, perintahkanlah semua orang bersiap ditempatnya, tetapi dengan sedikit perketat diri" Nona Hoan menitahkan.

"Nona," berkata Han in heran, "kalangan Ngo Heng Tin sudah tak luas, kalau itu diperkecil pula. bukankah kita jadi berada ditempat kecil? " "Inilah terpaksa, taysu," berkata Soat Kun.

Ketika itu Ban Liang bersama Oey Eng, Kho Kong dan Giok Yauw telah datang berkumpul. Bertambah kuat kepercayaan dia itu terhadap Nona Hoan sejak si nona menawan it Tie taysu.

Segera nona itu memesan: "Kecuali sangat terpaksa, jangan huhoat sekalian turun tangan Ban huhoat tolong perhatikan, begitu lekas para tiangloo muncul, segera kau totok It Tie beberapa kali, jangan terlalu keras dan juga jangan terlalu ringan, cukup asal dia tak dapat bicara dan bergerak. Ingat, jaga jangan sampai dia roboh “

“Baik, nona," Ban Liang memberikan janji.

Nona itu menghela nafas. Ia berkata pula. "Inilah saat penting terakhir, harap kalian waspada, tak dapat kita membuat para tiangloo gusar, atau misaikan kita bisa taklukkan it Tie, itu tak ada gunanya. Yang penting ialah membuat semua pendeta Siauw Lim Sie tunduk dengan hati ikhlas"

"Apakah nona telah memperoleh kepastian? " tanya Ban Liang. "Aku masih ragu ragu tapi aku mengharap sangat bisa

menaklukkan pihak Siauw Lim Sie."

"Bagaimana cara nona hendak berbicara dengan para tiangloo itu? " tanya pula Ban Liang. Dia berduka hingga dia menarik nafas. Dia ragu-ragu.

"Aku akan menunjukkan kenyataan kepada mereka. Yang kukuatirkan ialah mereka memberati muka mereka hingga mereka tak sudi menggubris hal yang sebenarnya. Apabila itu terjadi, pertumpahan arah tak dapat dihindarkan lagi."

"Apakah rencana nona andaikata kita mesti bertempur? " Ban Liang masih menanya.

"Tak dapat kita mengandaikan tenaga kekuatan saja” “Bicara buruknya, nona, bagaimanakah sikapmu? " "Jikalau terpaksa, mesti kita tumpas Siauw Lim Sie hingga dia tak akan dapat bangkit pula "

"Sungguh hebat," pikir sijago tua. "Sudah berabad-abad Siauw Lim Sie berkenamaan, sungguh sayang kalau dia runtuh ditangan seorang wanita..." Karena berpikir begitu, ia segera berkata perlahan: "Kalau bisa, nona, janganlah kita menanami permusuhan hebat dengan pihak Siauw Lim sie..."

"Itu juga maksudku, Ban Huhoat. Harap kau melegakan hati, Kecuali sangat terpaksa, tak nanti aku mengambil jalan terakhir.  Kita cuma ingin lolos dan selamat, bukan? "

Mendengar pembicaraan itu, Giok Yauw dan lainnya berpikir masing masing. siauw Pek percaya penuh kepada kemampuan si nona. Buktinya It Tie dapat ditawan secara mudah sekali.

Giok Yauw baragu ragu.

Oey Eng dan Kho Khong kurang percaya, sebab setahu mereka, Siauw Lim sie sesungguhnya sangat kuat.

Han In Taysupun bersangsi, ia separuh percaya separuh tidak.

Karena pikiran mereka itu berbeda, semua menjadi berdiam saja.

soat Kun dapat menerka hati sekalian kawan itu, maka ia segera menambahkan. "Memang sulit kita mengandal kepada kekuatan tenaga saja, walaupun demikian, mesti ada jalan pemecahannya. "

Pembicaran mereka terputus oleh kata kata Han In Taysu "Ada orang lagi mendatangi. Mungkin ditawannya It Tie ada yang melaporkan, maka juga para tiangloo muncul siang siang."

Siauw Pek segera berpaling. Iamelihat datangnya seorang pendeta tua dengan jubah putih, yang jalannya perlahan, pertanda dari kesabaran dan ketenangan-Dia datang seorang diri tanpa membekal senjata. Mestinya dia datang bukan untuk bertempur.

Selekasnya dia datang dekat, pendeta itu menghentikan tindakannya. Dia tidak menanti sampai ditegur atau disapa. Segera dia mengangkat tangannya memberi hormat seraya berkata: "Loolap ialah su Kay. Diantara Siecu sekalian, siapakah yang memegang tampuk pimpinan? "

"Ada pengajaran apakah, taysu? " tanya Soat Kun.

"Para tiangloo kami mendengar halnya diantara siecu sekalian dengan pihak Siauw Lim Sie telah terjadi salah paham benarkah itu? "

"Itulah benar. Apakah pendapat taysu? "

Mata Su Kay menatap It Tie "Loolap diutus datang kemari untuk mengundang satu atau dua siecu datang ke kuil kami untuk menemui para tianglo. Entah siecu dapat menerima undangan ini atau tidak? "

"Baik, taysu, kami bersedia," sahut Soat Kun "Tetapi, kami minta supaya ketua kamu ditinggal disini sebagai orang tanggungan."

Berkata begitu, si nona segera mengangkat naik tangannya merapikan rambutnya, yang turun dikedua pipinya. Dia membawa sikap yang wajar sekali, sedang Soat Gie tersenyum.

Ban Liang telah dipesan si nona, melihat gerak-gerik si nona itu, mengertilah ia akan tugasnya. Ia segera bertindak kepada It Tie untuk menotok pendeta itu.

It Tie tidak berdaya, mudah saja ia kena ditotok. Ia tidak memperlihatkan reaksi. Tetapi Su Kay Taysu yang liehay melihat perbuatan Ban Liang, ia dapat menerka maksudnya itu, ia menjadi kurang puas.

"Siecu sikapmu ini kurang tepat " katanya. "Apakah itu, taysu? " si nona berpura2 pilon.

"Semenjak berdirinya, pihak siauw Lim Sie belum pernah dipaksa orang" jawab Su Kay. "Nona telah menculik ketua kami, itulah satu soal, tetapi sekarang, tengah kita berbicara, kenapa ketua kami itu ditotok jalan darahnya? " "Selama kami menawan ketua kalian, taysu, tak pernah kami menotok dia." berkata Nona Hoan, menerangkan "tetapi sekarang karena taysu datang mengundang kami untuk menemui para tiangloo, terpaksa kami membuat penjagaan."

"Kalau ketua kami tak ditotok," berkata pula Su Kay dingin, "kenapa sejak tadi-tadi walaupun dia melihat loolap, dia bersikap tak tahu menahu. Tak peduli? ”

“Dia tengah berpikir banyak hal, dari itu dia tak melihat taysu."

Su Kay sangat sabar, bisa ia menguasai diri "Diantara siecu, siapa kah yang akan pergi? "

"Itulah bengcu serta kami berdua saudara, bertiga orang. Jumlah ini terlalu banyak atau tidak? "

"Yang mana bengcu siecu itu? Dapatkah loolap menemuinya? " tanya Su Kay itu. Siauw Pek maju dua tindak.

"Itulah aku yang rendah," sahutnya. Ia memperkenalkan diri tanpa menanti isyarat dari Soat Kun lagi.

Su Kay menatap tajam anak muda itu, sinar matanya dingin. "Sungguh siecu sangat muda," katanya sabar.

"Taysu cuma memuji" berkata sianak muda.

Masih Su Kay mengawasi ketika ia berkata "Menurut aktanya murid murid Siauw Lim sie, siecu mahir sekali menggunakan golok dan pedang, apabila ada kesempatannya, pastilah loolap sudi menerima pengajaran dari kau, siecu..."

"Jikalau taysu sudi memberi pengajaran kepadaku, rela aku menemaninya." sahut Siauw Pek.

Mendengar suara orang yang polos dan merendah itu, Su Kay Taysu tertawa bergelak. "Sungguh seorang muda yang gagah" pujinya.

"Para tianglo pastilah tengah menantikan kita," Soat Kun menyela, "karena itu, taysu, mengingat usiamu yang tinggi, aku percaya, tidakkah karena kata kata taysu ini, taysu akan menghambat urusan besar kita..." Su Kay merasai teguran halus itu. Ia mengangguk.

"Benar," katanya. "Baiklah, nanti saja habis pertemuan dengan para tiangloo, baru loolap belajar kenal dengan kepandaian bengcu. Masih belum terlambat, bukan? Nah, dapatkah kita berangkat sekarang? "

"Sembarang waktu, taysu"

"Mari loolap yang mengantarkan" berkata pula si pendeta, yang terus memutar tubuh dan membuka langkahnya. Soat Kun berpaling kepada Han In Taysu. "Segala apa disini aku serahkan kepada taysu," pesannya.

Pendeta tua itu mengangguk. "Akan loolap coba," sahutnya. sekarang   si   nona   menoleh   kepada   Siauw   Pek.   "Mari kita

berangkat"  katanya.  Ia  merapihkan  calanya.  Demikian  mereka

berangkat dengan Su Kay Taysu berjalan dimuka.

Nona Hoan dapat berjalan dengan leluasa, walaupun sebelah tangannya terus berada pada bahu Soat Gie. Siapa yang tidak tahu pasti tak akan menyangka bahwa ia bercacat kedua matanya.

Siauw Pek berjalan didepan kakak beradik itu, sejarak dua tindak.

Sesudah melintasi beberapa halaman, tibalah rombongan ini disebuah halaman dimana tertanam segundukan pohon bambu hijau. Disitu terdapat banyak sekali pendeta, yang semua mempersenjatai diri, yang mengawasi para tetamunya dengan sinar mata tajam akan tetapi tak seorang punjua yang mengganggu.

Tiba dimuka pintu, Su Kay Taysu menghentikan tindakannya. "sudah sampai" katanya, memeritahu "Silahkan masuk "

Pendeta ini masih saja panas hatinya tetapi ia tetap menguasai diri, untuk terus berlaku tenang dan hormat. Siauw Pek mengangkat kepalanya, untuk melihat papan dimuka pintu itu. Ia membaca tigahuruf "Tay Pie Ih" Jadi itulah halaman maha kasih, yang tertuliskan huruf huruf air emas.

"Silahkan, taysu" berkata Soat Kun, yang telah memperoleh kisikan Soat Gie,

"Maaf," berkata Su Kay, yang kemudian memimpin masuk.

Dengan sabar Siauw Pek bertiga mengikuti pendeta itu, masuk kedalam halaman. Didalam sini banyak pohon bunga, yang mengitari sebUah pavilyUn, yang seluruhnya diberi berwarna kuning. Undakan tangannya berjumlah tujuh tingkat.

Su Kay Taysu bertindak naik pada tangga itu, untuk masuk kedalam pavilyun.

Siauw Pek mengikuti bertindak masuk. Karena ia tahu ia berada ditempat berbahaya,

kedua tangannya meraba gagang golok dan pedangnya. Ia bersikap tenang tapi waspada.

Didalam pavilyun, asal wangi mengepul bergulung gulung, menyerang hidung mendatangkan rasa nyaman-Diantara kepulan asap itu tampak sembilan orang pendeta tua tengah duduk bersila. Jubah mereka berwarna abu abu. Diantara mereka itu terdapat juga su Lut, sedangkan Su Kay bersila dipaling ujung.

Sembilan pendeta duduk sambil meluruskan tangan kehadapannya, tangan kanan berada atas tangan kirinya.

Menyaksikan sikap para pendeta itu, rasa hormat Siauw Pek datang sendirinya.

"Para taysu, terimalah hormatnya coh siauw Pek yang bertingkat lebih muda," katanya sambil memberi hormat.

Pendeta yang duduk paling tengah, yang usianya paling tua membuka matanya. Dia mengawasi si anak mdua. "Silahkan duduk. siecu," katanya, perlahan-Suara pendeta itupenuh dengan kewibawaan. siauw Pek mengambil tempat duduknya. soat Gie mengajak kakaknya duduk disamping ketuanya itu. untuk mereka telah tersedia pou toan, tempat duduk istimewa untuk kaum pendeta.

Pendeta yang ditengah itu mengangguk kepada Soat Kun berdua, dengan hormat ia menanyakan she dan nona nona itu.

Soat Kun yang menjawab, menyebut namanya sendiri serta nama adiknya itu. Pendeta tua itu berkata pula, perlahan lahan: "Kalian bertiga datang ke siauw Lim Sie ini dan telah melakukan kekerasan hingga bagaikan langit terbalik dan bumi ambruk. juga kalian telah menurunkan tangan jahat membinasakan dan melukai banyak murid Siauw Lim Sie kami, apakah maksud kalian? "

Nona Hoan yang mananggapi pertanyaan pendeta itu. Ia berkata: "Partai taysu dipandang umum sebagai gunung Tay San atau bintang Pak Tauw dari kaum Rimba Persilatan, semua orang Rimba Persilatan menghormatinya. Partai taysu kecuali ilmu silatnya sangat tersohor juga jumlah anggotanya banyak sekali, tenaganya besar bukan main. Masih ada lagi, yaitu partai taysu sejak beberapa ratus tahun biasa mengutamakan kebenaran dan keadilan, setiap terdapat bencana dunia Sungai Telaga, orang orang partai taysu tak mau berpeluk tangan saja, selalu suka membantu menghindarkannya. Maka juga dimata kami, penghormatan kaum Rimba Persilatan terhadap partai taysu adalah karena kebenaran dan keadilan yang dijunjung itu."

"Siecu cuma memuji" berkata sipendeta. "Tapi loolap ingin lekas lekas mengetahui duduk kejadian yang sebenarnya, maka itu tolong siecu terangkan apa maksudnya maka siecu sekalian telah menyerbu masuk ke dalam kuil ini hingga terjadinya peristiwa itu yang menyedihkan. . . "

"Maksud kedatangan kami sebenarnya untuk mencari kebenaran, untuk menyelesaikannya," sahut Soat Kun, "akan tetapi diluar dugaan kami ketua kalian sudah mengandalkan kekuatan untuk menindas si lemah, dia telah memerintahkan para muridnya mengurung dan menyerang kami. Demikianlah, karena terpaksa, kami sudah melakukan usaha membela diri kami" "oleh karena itu lalu siecu menggunakan tangan jahat siecu itu membunuh dan melukai beberapa murid kami? " tanya sipendeta itu.

"Pada saat membela diri mati matian, itulah sesuatu yang terpaksa," kata Nona Hoan-"Dalam hal ini kami mohon maaf!!"

Pendeta itu berdiri sejenak. baru dia berkata pula^ "Tak peduli apa maksud kedatangan siecu sekalian, akan tetapi kalian telah melukai banyak murid siauw Lim Sie, hal itu sungguh tidka tepat Loolap menjadi ketua dari Tiang Loo Hwee, mana dapat loolap bertopang dagu tak mengurusnya..."

"Tiang Loo Hwee" ialah musawarah para tiangloo, pendeta pendeta tua dan Agung.

Berkata begitu pendeta tua mengangkat mukanya. Ia menghela napas.

"Sudah beberapa ratus tahun Siauw Lim Sie berkenamaan, dapatkah itu dibiarkan saja? "

"Dengan demikian, taysu," berkata soat Kun "karena cuma membela nama besar dari Siauw Lim Sie lalu kebenaran dan keadilan hendak diambaikan."

Pendeta itu menoleh kepada delapan pendeta lainnya, "Nah, sutee sekalian," katanya "Kalian telah dengar kata kata siecu ini, bukan? " Dengan serempak. kedelapan pendeta itu menjawab mengiakan.

"Sekarang sutee sekalian," kata sipendeta tua pula, "bagaimanakah pandangan kalian? Silakan utarakan itu dengan terus terang." Su Kay Taysu yang mulai bicara.

"siauwtee mempunyai satu pemandangan yang cupat," katanya. "Siauwtee" ialah "adik kecil" untuk membahasakan dirinya sendiri

sebagai adik. "Pandanganku benar atau keliru tolong suheng dan sute sekalian menimbangnya."

"Bicaralah, sutee." "Mereka demikian bernyali besar telah mendatangi dan menyerbu kuil kita ini, itu tentu ada maksudnya, karena itu, siauwtee minta suheng dan sutee sekalian mencari tahu sebab yang sebenarnya itu." kata Su Kay.

Seorang pendeta, yang duduk dikiri ketua itu, lalu berkata. "Siauwtee tak berani menyetujui pikiran Su Kay sutee." Dialah Su Ie.

Sipendeta tua mengernyitkan alisnya. "Apakah pendapatmu, sutee? " tanyanya.

"Walaupun perkataan Su Kay sutee mempunyai alasan tetapi urusan dalam kita tak dapat dibeberkan dihadapan orang luar" kata pendeta itu

“Habis, begaimana pendapat suheng? " langsung Su Kay tanya kakak seperguruan itu.

"Menurut pikiranku," Su Ie menyatakan terus terang. "paling dahulu kita tangkap hidup semua orang Kim Too Bun yang menyerbu kuil kita ini, terus kita hukum mati sesudah itu baru kita urus urusan dalam kita sendiri."

su kay Taysu menghela napas perlahan-"Sungguh kukagum buat kesetiaan Su Ie suheng yang hendak membela nama baik kita, kaum Siauw Lim Pay" berkata ia bersabar "akan tetapi dengan terlebih dahulu menawan orang lalu hendak dihukum mati semuanya, itulah satu soal pertanyaan-" Su Ie tertawa lebar.

"Apakah itu yang menjadi soal pertanyaan? "

"Pihak Kim Too Bun mendatangi siauw Lim Sie tentu karena ada sebab atau maksud," kata Su Kay pula. "Kalau mereka ditangkap terus dibunuh, bukankah perkara jadi sukar diterangkan? Inilah yang menjadi soal atau pertanyaan yang kumaksudkan itu. Inilah pertanyaan yang pertama..."

"Bagus" Su Ie berseru. Lalu "Dan yang kedua? "

"Yang kedua sangat sederhana" sahut Su Kay. "Apakah orang orang Kim Too Bun dapat mudah ditawan? Jikalau mereka melawan, pegangan apa kita punyai yang kita pasti dapat membekuk mereka? " Su ie tersenyum.

"Sutee menangkan lain orang, sebaliknya merendahkan diri sendiri, apakah maksudmu?" dia tanya. Nada suara itu mengejek, berirama menghasut.

"Siauwtee bicara dengan sejujurnya."

Su Ie berkata pula. sombong "Jikalau ada perkenan dari ketua kita, hendak ku menawan ketiga orang dihadapan kita ini untuk membuka matamu, sutee " Su Kay menyesal sekali.

"Selagi kita bicara dari urusan benar, kau menyimpang, suheng," pikirnya. "Kenapa kau turuti saja suara hatimu? Tapi, kalau kau tidak diberi ajaran, kau tentu tak puas..."

Maka ia lekas menjawab: "Baiklah, suheng, kau boleh coba, aku hendak menyaksikannya "

"Baik" berseru Su Ie gusar. "Sekarang juga loolap akan bekuk yang dua, saksikanlah" Su Ie tua dan beribadat, dia menyebut demikian rupa, terang bahwa gusarnya bukan buatan.

Pendeta yang ditengah itu berkata sabar: "Sudah, sutee, jangan kalian berselisih paham"

Su Ie tidak mau mengerti. Katanya: "Telah siauwtee mengucapkan kata-kata, harap suheng menepati kata-kata ku itu" Pendeta tua itu tertawa hambar.

"Kesulitan didalam dunia Rimba Persilatan umumnya disebabkan keruwetan perselisihan, karena benar dan salah," kata dia, sabar. "Kenapa sutee mendongkol didalam urusan ini? "

"Buatku ialah kata-kataku telah dikeluarkan" Su Ie masih membela. "Bahkan kata-kata ku itu telah didengar sendiri oleh musuh. Diluar dari duduk persoalannya, kata kataku telah menjadi soal tersendiri. Maka itu, suheng, beri perkenanlah kepadaku" pada akhirnya pendeta tua itu terdesak. "Jikalau demikian pandanganmu, baik, suheng dapat memberi perkenan kepada kau," katanya. "Tapi benar apa yang dikatakan Su Kay sutee, sebelum kita tahu pasti duduk peristiwanya, tak dapat kita melukai atau membinasakan orang, maka itu, sutee, kau dapat turun tangan tapi jangan kau sembarang melukai orang”

“Siauwtee berjanji," berkata Su Ie, yang terus bangkit perlahan lahan.

siauw Pek, yang mendengari saja perselisihan mulut itu, berkata didalam hatinya: "Didalam Siauw Lim Sie ada pendeta yang tak sudi membedakan benar atau salah, yang main mengeloni, itu artinya tak mungkin ada murid yang tak manja... Dia memaksakan kehendaknya, baiklah, dia harus diberi sedikit ajaran..."

Su Ie sementara itu sudah menghampiri soat Kun bertiga, dia berhenti sejarak tigakaki, segera dia menantang. "Kalian menjadi pemimpin pemimpin Kim Too Bun pastilah ilmu silat kalian mahir sekali"

Siauw Pek melirik kedua Nona Hoan, lalu ia bangkit. untuk berdiri tegak.

"Begitulah taysu boleh anggap" katanya singkat, bernada sombong. "Nah, ada apakah pengajaran taysu? " Su Ie memandang tajam.

"orangnya masih muda sekali, kenapa bicaranya begini kurang ajar? " katanya dingin.

Siauw Pek menyahut tenang. "Taysu tidak menaruh hormat kepada kami, dari itu, kami pun tak usahlah menghormati taysu"

Su Ie gusar, katanya keras. "Kalau begitu, tak salahlah ciangbun sutit kami"

Degnan "ciangbun su tit" diartikan Su Ie ketuanya yang baru, yaitu It Tie Taysu. It Tie menjadi ketua (ciangbunjin) tapi dia menurut tingkat derajat menjadi "sutit" yaitu "keponakan murid". Siauw Pek tidak mendengar kata apa apa dari soat Kun, ia tahu si nona menyetujui sikapnya ini. Terang Nona Hoanpun tidak puas terhadap pendeta yang keras kepala dan takabur itu. Maka itu, ia berkata: "Taysu tua dan agung tetapi dalam urusan ini taysu mengabaikan kebenaran. taysu bersikap terlalu keras dan melindungi yang sesat, maka itu," lalu dia berkata sabar, " orang ini sangat sombong, suheng telah melihat dan mendengarnya sendiri. jikalau siauwtee tidak mengajar adat padanya, dimana nama baik Siauw Lim Sie hendak ditaruh? "

Sembilan pendeta itu termasuk tiang lo yang dihormati, kecuali Su ie seorang yang lainnya tetap tenang, bahkan airmuka tak berubah sedikit juga . Pendeta yang ditengah itu memandang Siauw Pek sebentar, dia berdiam terus.

Su Ie tidak mendengar suara pendeta itu, dia menyangka ketua tiangloo itu menjemputnya, maka juga dia memandang Siauw Pek untuk menanya dengan suara sombongnya "Bagaimana sekarang? Kamu menghendaki lohu turun tangan atau kamu ingin mengikat diri kamu sendiri? "

Siauw Pek tetap berlaku tenang.

"Kami datang kemari tanpa niat sedikit jua untuk menempur taysu" sahutnya sabar.

"Walaupun kau tidak mengandung maksud bertempur tetapi kau sangat sombong, dalam hal ini saja sudah selayaknya kamu mendapat hukuman "

Siauw Pek merasa bahwa pertempuran tak dapat dihindarkan lagi, maka ia juga lalu berkata sungguh sungguh: "Jikalau taysu hendak mencoba coba kepandaianku, tak bisa lain, terpaksa aku yang rendah bersedia untuk melayani "

"Sungguh mulut besar" berseru Su Ie "Awas"

Mendadak saja sipendeta keras kepala meluncurkan tangan menyambar tangan kirisi anak muda. Siauw Pek menarik tangannya itu sambil mundur dua tindak Ia tidak mau menangkis atau membalas menyerang. Ia cuma memasang mata tajam. "Kenapa kau tidak melawan? " Su Ie menegur.

"Taysu berusia tinggi dan bijaksana, aku yang muda harus mengalah," sahut Siauw Pek merendah.

Nampak Su Ie sangat mendongkol. Tapi dia tertawa dingin dan berkata: "Jikalau lolap salah tangan dan melukai kau, itulah salahmu sendiri "

Kata kata itu ditutup dengan serangan kedua sebelah tangan saling susul. Hebat serangan itu sebagaimana anginnya saja sudah menghembus keras.

Ketua Kim Too Bun berlaku sabar, tetapi lincah. Ia mengelit diri dari dua serangan itu. Walaupun demikian, ia terperanjat juga . Anginnya itu membuatnya risi.

"Amat gesit" Su Ie memuji sambil dia tertawa dingin, serentak dengan mana, dia mengulangi serangannya. Kali ini tangan kanannya melayang kearah dada. Panas juga hati sianak muda. Tawa itu tak sedap bagi telinganya.

"Jikalau aku tidak membalas dan memberi rasa kepadanya, dia tentu menyangka aku ini takut" pikirnya. Ia melihat serangan kali ini sukar ditangkis, maka ia menghunus pedangnya sambil berseru: "Awas..." lalu dengan pedangnya, hendak ia menyambut tinju lawan. Melihat orang menggunakan pedang, cepat cepat Su Ie menarik serangannya kembali.

Dilain pihak Siauw Pek, setelah orang batal menyerang, meneruskan menikam kedadanya lawan-Su Ie mendongkol serangannya dirintang pedang, dia merasa malu sebab dia dihadang di depan sekalian saudara seperguruannya, dilain pihak, dia masih ingat sipendeta ditengah, yang melarangnya bersikap terlalu keras. Selagi pedang meluncur, dia berkata dalam hatinya. "Jikalau  didalam tiga atau lima jurus tak dapat aku kekang dia, sungguh malu". Maka tak ayal pula, dia mengebut dengan tangan kanannya untuk menyingkirkan ujung pedang, sedangkan tangan kirinya ia membarengi menyampok.

Siauw Pek menyingkir kekiri, tak sudi ia memberikan tubuhnya sebagai sasaran.

"Sebat kau berkelit" kata Su Ie tertawa dingin. Kembali dia menyerang. Kali ini dengan tangan yang lainnya.

"Setiap serangannya berbahaya, tak bisa aku main berkelit saja." Siauw Pek berpikir. "Rupanya pendeta itu, dalam gusarnya berniat keras merobohkanku. Benarkah pertempuran ini mesti berakhir dengan satu menang dan satu kalah? Kalau benar begitu kenapa aku tak mau siang siang memutuskannya? "

Tengah anak muda ini berpikir, kembali serangan sipendeta datang Kali ini, karena ia sedang berpikir Siauw Pek berlaku lambat. Maka itu lengan kirinya kena tersentuh sedikit. namun itu juga sudah hebat. Tanpa merasa ia mesti tertolak mundur lima tindak. Lengannya itu terasa bagaikan beku. Melihat hasil serangan itu, Su Ie berkata seorang diri. "orang ini cuma begini saja kepandaiannya, kenapa kah banyak murid ku yang tak sanggup melayaninya? bukankah itu disebabkan kebanyakan muridku tidak cukup bersungguh sungguh mengejar kemajuan ilmu silatnya? " Kata kata itu diucapkannya seperti disengaja supaya murid-muridnya mendengarnya.

Sementara itu diam-diam Siauw Pek telah mengerahkan tenaga dalamnya, untuk memulihkan lengan kirinya itu, sesudah itu ia menyerang dengan satu tebasan.

Su Ie tertawa dinin. Dia mengebut dengan tangan bajunya. Sebelum pedang dapat dihalau pendeta ini dapat terkejut. Pedang lawan tidak meluncur terus, hanya berputar, pada lain kesempatan berbalik dipakai menikam.

Melihat demikian, sipendeta dengan sebat mundur dua tindak. Dia menaruh kaki untuk bersiap membalas menyerang. Tapi kembali ia menjadi kaget, sebab kembali serangan sudah tiba Siauw Pek mulai mendesak. Su Ie sekali lagi mundur dua tindak. Dan sampai disitu, si anak mdua sudah menyerang dengan tipu-tipu dari Tay Pie Kiam hoat dengan cepat ia mengurung lawan dengan sinar pedangnya. Pedang itu mengeluarkan cahaya berkilauan, Pendeta itu terkurung hingga sulit untuk membalas menyerang. Kedelapan pendeta menonton dengan penuh perhatian. Ketika tadi Siauw Pek terdesak mereka acuh tak acuh. Sekarang lain Mereka memperhatikan dengan mata mereka terbuka lebar. Inilah sebab Su Ie yang dibikin terkekang. Hanya sebentar, belasan jurus telah berlalu. Masih Su Ie tak dapat meloloskan diri, walaupun dia telah mencoba dengan segala jalan, siauw Pek terus mengurung, kendati dia menyerang, tidak pernah ia melukai lawannya itu.

Lagi delapan jurus dilewatkan, tapi mendadak pendeta tua yang duduk ditengah itu, ketua Tiang Loo Hwee, yang sebenarnya adalah Su Khong Taysu terdengar berseru. "Berhenti." Didalam telinga Siauw Pek. suara sipendeta bagaikan guntur logam emas bentrok dengan logam besi, ia menjadi kagum sekali.

“Hebat tenaga dalam pendeta ini." pikirnya Dan ia lalu berhenti mengurung.

Su Ie telah mengeluarkan banyak tenaga, napasnya memburu. Dia terkejut berbareng mendongkol. Justru si anak muda berhenti menyerang, justru dia menyerang hebat sekali.

Itulah serangan diluar dugaan Siauw Pek. sukur ia dapat melihat dan bisa berlaku sebat. Ia berkelit hingga cuma ujung bajunya yang kena tertembus angin serangan maut itu.

"Sutee, berhenti" Su Khong berkata tawar. "Ilmu pedang siecu ini mirip dengan Tay Pie Kiam hoat dari Kie Tong, biar bagaimana kau tak akan sanggup melawannya."

Su Ie melengak. "ong Too Kiu Kiam? " tanyanya.

"Tidak salah" sahut Su Khong, yang terus menatap sianak muda sambil dia terus menanya^ "Siecu she apa? "

"Aku yang muda she coh," sahut Siauw Pek hormat. "coh apakah? " Su Khong tanya pula. "coh Siauw Pek."

Pendeta tua itu nampak terkejut.

"Pernah apakah kau dengan coh Kam Pek dari Pek Ho Bun? " tanyanya pula.

"Dialah mendiang ayahku, yang dikepung orang dan dibinasakan dipuncak Yan In Hong." sahut Siauw Pek pula.

"oh, jadi kaulah turunan coh Kam Pek. Apakah kau datang kemari untuk menuntut balas sakit hati ayahmu itu? "

"Maksudku datang kemari bukan untuk menuntut balas."

"Bukan buat menuntut balas? Habis, buat apakah? " Menanya demikian pendeta tua itu mengerutakan alisnya. Lalu ia bertanya pula: "Apakah kau menghendaki Siauw Lim Pay muncul untuk mencampuri urusan dunia Sungai Telaga? "

"Demikianlah kira-kria."

su Khong menghela napas.

"Memang pada saat ini kaum Rimba Persilatan sudah  menghadapi ancaman petaka besar," katanya: "Kau masih sangat muda, tetapi cita-citamu luhur, kau harus dipuji."

Ia merandek sebentar, untuk kemudian bertanya: "Apakah ilmu silatmu warisan Thian Kiam Kie Tong? "

"Tidak berani boanpwee mendusta," sahut Siauw Pek. "Memang itulah Tay Pie Kiam Hoat."

Pendeta tua itu mengangguk perlahan-"Kalau demikian taklah heran banyak orang siauw Lim Sie yang terbinasa dan terluka," katanya pula.

Su Ie Taysu menyela: "Telah lama siauwtee mendengar nama besar dari Kie Tong, sebegitu jauh belum ada kesempatan buat menemukannya, sekarang tiba ahli warisnya, ingin sekali siauwtee..."

Su Khong mengulap tangan memotong perkataan adik seperguruan itu. Ia berpaling pada sianak muda untuk bertanya pula: "sebegitu jauh yang loohu ketahui, kecuali pendeta Kie Tong tidak menggunakan lain senjata pula. maka itu kenapa, selainnya pedang, kaupun membawa golok."

Ditanya begitu, Siauw Pek berpikir dengan cepat, "Dapatkah aku bicara terus terang? Bukankah aku belum tahu hati pendeta ini? " dengan segera juga ia menjuawab: "Selain pedang, boanpwee mempelajari juga ilmu golok."

Su Khong dapat menerka orang tidak mau bicara sejujurnya, ia tidak memaksa. Ia memandang semua saudara seperguruan dan murid muridnya yang hadir bersama, baru ia berkata pula pada tetamunya bicaranya sabar: "Siecu telah mengacau didalam kuil kami ini serta banyak mencelakai murid kami, pasti kedatangan siecu bukan tak ada sebabnya, bukankah? "

"Demikianlah sebenarnya," sahut Siauw Pek, "Sebelum kami datang kemari, kami sudah menuruti peraturan Siauw Lim Sie yaitu lebih dahulu mengirim utusan menghaturkan kartu nama serta juga menempuh ujian yang diwajibkan, walaupun demikian, kami masih didesak dengan pelbagai cara hingga terpaksa kami, untuk membela diri, menggunakan kaki tangan kami melakukan perlawanan Didalam satu pertempuran sulitlah untuk mencegah terjadinya kecelakaan"

"Tetapi yang terbinasa dan terluka itu semuanya murid siauw Lim Sie kami..." berkata Su Khong Taysu.

"Diantara beberapa orang kami juga ada yang terluka, taysu, cuma saja taysu belum tahu," sahut sianak muda.

"Tapi," mendadak suara sipendeta menjadi keras, "kamu memasuki kuil kami dengan sembarangan melukai orang bahkan dengan tangan yang kejam, kamu menggunakan senjata rahasia dan juga racun Bahkan itu berarti tak memandang mata kepada siauw Lim Pay? "

siauw Pek hendak menjawab pendeta itu Soat Kun mendahuluinya. Kata nona itu tenang tetapi tetap suaranya "Jumlah murid Siauw Lim Sie hitung ratusan, mereka itu mengeroyok kami yang jumlahnya cuma beberapa gelintir, maka itu kalau sekarang kami beruntung menghadap dan bertemu dengan taysu, itulah semua disebabkan rejeki kami besar dan usia kami panjang"

Mendengar suara si nona, Su Khong tertawa dingin. "Siecu she apakah? " tanyanya.

"Boanpwee Hoan Soat Kun," sahut si nona. "Dan disisiku ini adikku, Soat Gie,"

Su Khong tidak kenal nona nona itu, dia mengernyitkan alisnya. Dia berkata: "Selama hampir seratus tahun ini, telah banyak orang ternama yang loohu kenal, akan tetapi mengenai kalian berdua belum pernah loohu mendengarnya. Mungkin itu disebabkan usia siecu berdua yang masih terlalu muda? "

Ia diam sejenak. baru ia menanya pula : "Dapatkah siecu memberitahukan nama guru atau orang tua siecu? Mungkin loohu kenal..."

Mendengar suara orang itu, Siauw oek berkesan tak manis terhadap pendeta tua ini, yang sebegitu jauh ia menerka jujur dan adil.

"Nampaknya disini disini cuma Su Kaylah seorang yang dapat disebut pendeta baik," pikirnya.

soat Kun menjawab tawar. "Almarhum guruku jarang sekali muncul didalam dunia Kang ouw, kalau aku menyebutkannya, taysu pun mungkin tidak mengenalnya”

“Lihat saja, siecu. coba kau sebutkan "

"Almarhum guruku adalah Hoan Tiong Beng" sahut si nona. Su Khong terkejut hingga parasnya berubah. "Dimana adanya sekarang gurumu itu? "

"Sudah lama guruku pergi kelain dunia."

Dari terkejut, roman Su Khong menunjukkan kegembiraan. "Bagaimana eh, saudara Tiong Beng telah menutup mata? "

tanya Su Khong kemudian.

"Ya semenjak beberapa tahun yang lampau"

Pendeta itu mengangkat kepalanya, ia menarik napas panjang. "Loolap kenal gurumu itu," katanya kemudian-"Pernah kami

berdua duduk berhadapan berbicara selama satu hari dan satu malam tetapi pembicaraan belum berakhir juga . Loolap kagum sekali akan kepandaian dan kecerdasan guru siecu itu."

Ia berhenti pula sebentar baru ia melanjutkan. "Itulah kejadian sudah dua puluh tahun yang lalu, ketika itu siecu berdua mungkin belum lahir."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar