Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 38

JILID 38

Heran kenapa It Tie menghentikan serbuannya, pikirnya lebih jauh.

Didalam kesunyian itu, tiba-tiba terdengar suara Giok Yauw yang bertanya "Eh, apakah kau cian Peng? "

Tertawa yang nyaring adalah jawaban atas pertanyaan itu, kemudian tawa itu disusul kata-kata ini: "Eh, budak. kenapa kau menyebut namaku terang-terang? Apa itu bukan berarti kau membuka rahasia? Aku sinelayan tua tak berani berterang terang menentang pendeta pendeta dari Siauw Lim Sie, aku membantu secara diam diam saja, didalam gelap. Kenapa kau banyak mulut? "

Terdengar pula suara sinona, yang tertawa mengejek. "Sebenarnya kau telah pergi kemana? " tegurnya.

"Aku sinelayan tua tahu kamu mau pergi ke Siauw Lim Sie, karena itu mana berani aku seorang diri mengikuti kamu untuk mengantarkan jiwa? " Giok Yauw tertawa jenaka.

"Oh, kiranya kau pergi mencari pembantu? Terima kasih Terima kasih" cian Peng tertawa dingin-

"Siapa mencari pembantu untuk kau? Aku mengundang pembantu membantu diriku sendiri "

Segera terdengar suara tawar: "Eh, nelayan bangkotan. Siapakah yang sudi membantumu. Ingat, jangan kau menempel emas pada mukamu" Lalu terdengar pula suara cian Peng itu: "Jikalau kau datang kemari bukan untuk membantu aku, habis buat apakah kedatanganmu ini? "

Suara tawar itu terdengar pula: "Nelayan bangkotan, apakah kau kira aku tak berani datang sendiri kemari? " “Hei, nelayan bangkotan" Giok Yauw menegur. "Kenapa kau membuat seorang sahabat menjadi tidak senang hati? "

Kemudian terdengar suara cian Peng, suara yang bernada gusar: "Eh, bocah Cilik, kenapa kau berani sembarangan membelai orang? Tahukah kau siapa dia? Kenapa kau lancang? Mana bisa kau sembarang mengikat persahabatan? "

"Diempat penjuru lautan, semua orang bersaudara" berkata si nona. "Apakah salahnya untuk mengikat persahabatan? "

"Bukan begitu, itulah tak dapat" berkata Cian Peng pula : " orang itu buruk hatinya, beribu la berlaksa kali, janganlah kau bergaul dengannya "

Hanya selagi bicara itu, suara Cian Peng terdengar makin jauh dan makin jauh. Giok Yauw sibuk sendirinya.

“Hei, nelayan bangkotan, lekas kembali" teriaknya. "Lekas kembali. Aku hendak bicara denganmu" panggilan itu mengalun dimalam yang gelap dan sunyi itu tetapi tidak ada jawabannya. Terang bahwa Cian Peng sudah pergi jauh...

Siauw Pek mendengarkan saja, baru kemudian ia berkata didalam hatinya: "Oh, kiranya ada orang yang membantu kita... Pantas kawanan pendeta menghentikan penyerangannya"

Ketika itu terdengar helahan napas dari Ban Liang. "Apakah musuh sudah mundur? " dia bertanya.

"Mereka sudah mundur" jawab siauw Pek. "Baiklah loocianpwee beristirahat terus." Ban Liang menghela napas pula.

"Sudah tua, tak berguna..." katanya, menyesal. "Pertempuran ini membuatku letih hebat semacam ini... Eh, apakah kedua Nona Hoan baik-baik saja? ”

“Nona Hoan terluka sedikit tetapi tidak apa. Ia sudah memakai obat.”

“Bagaimana dengan Han In Taysu? " "Dasar orang tua, dia memperhatikan segalanya..." terus ia menjawab. "Mereka itu tidak kurang suatu apa." Jago tua itu bangkit perlahan lahan.

"Ah..." ia memperdengarkan keluhannya. "Dahulu semasa muda, pernah aku bertempur satu hari satu malam, kami seri. Sekarang... sekarang aku sudah tua..."

"Baiklah beristirahat terus, cianpwee," berkata Siauw Pek, menghibur. "Pihak Siauw Lim Sie sangat tersohor, sudah begitu loocianpwee seorang diri mesti melawan banyak musuh, pasti kau letih karenanya."

Jago tua itu menghela napas pular "Tak apa," katanya. "Aku telah beristirahat. tenagaku sudah mulai pulih." Justru itu, Thio Giok Yauw muncul. Dia menatap sijago tua.

"Kau terluka? " tanyanya.

"Tidak Aku cuma letih. Bukankah Cian Tayhiap telah datang? " "Benar Dia datang bersama dua orang undangannya, untuk

membantu kita."

"Cian Tayhiap itu memang liehay," berkata Ban Liang pula.  "Joran dan jalanya menjadi senjata senjatanya yang istimewa, pantaslah pihak siauw Lim Sie mendadak mundur sendirinya"

“Hm" Giok Yauw memperdengarkan suara mengejek. "Si nelayan bangkotan takut bentrok dengan pihak siauw Lim Sie, dia tak berani membantu kita secara terang terangan, karena aku membuka rahasianya, dia mendongkol dan pergi. Sebenarnya apa gunanya kepergiannya? Ya Kaburnya Pihak Siauw Lim Sie sudah tahu namanya. Jikalau pihak Siauw Lim Sie mau membalas sakit hati, bukankah mudah mencarinya? Kabur atau tidak toh sama "

Ban Liang heran sekali. Pikirnya “Hi Sian Cian Peng menjadi orang Rimba Persilatan yang berkenamaan, kenapa bocah perempuan ini berani berlaku begini kurang ajar terhadapnya? Kenapa dia selalu menyebut nelayan bangkotan, nelayan bangkotan? " Saking herannya itu, tanpa terasa ia berkata. "Cian Tayhiap bertabiat luar biasa, orang-orang Rimba Persilatan umumnya mengalah kepadanya, maka itu di waktu berbicara dengannya baiklah nona sedikit sungkan." Tetapi nona Thio tersenyum.

"Bagaimana, eh? Apakah kau takut bersalah terhadapnya? " tanyanya.

"Benar, Cian Tayhiap aneh, tak ada orang yang tak tabiatnya itu maka kalau kita berbuat salah terhadapnya, apakah itu bukan berarti kita menambah musuh? "

"Tak apa, jangan kuatir" berkata si nona. "Kalau aku berbuat salah terhadapnya, mustahil dia sudi mengajak orang datang kemari untuk membantu kita? "

Ban Liang berdiam, tetapi hatinya berkata, "Benar juga nona ini. Mungkinkah si nona telah memegang suatu kelemahan dari Cian Peng maka dia menjadi suka mengalah? Dan siapakah itu dua orang kawannya? Semoga aku tidak membuat keliru terhadap mereka "

Selagi sijago tua berpikir demikian, tiba-tiba ia mendengar hembusan angin, hembusan ujung baju, yang mengarah kearah mereka. Di dalam gelap petang, tak dapat mereka melihat siapa orang yang mendatangi itu.

Giok Yauw berbuat getap. dengan sebat ia menghunus pedangnya, menikam kearah orang itu, tetapi mendadak. selagi pedangnya kena disampok nyamping, telinganya mendengar suara ini. "Loolap Han In" Cepat sekali, Nona Thio berlompat minggir "Maaf, suhu "

Setelah Han In memegang tanah dengan kedua tangannya, segera dia duduk menumprah.

"Kau tidak bersalah anak" katanya sabar. Kemudian ia menoleh pada Siauw Pek dan Ban Liang, untuk berkata. "Semua pendeta Siauw Lim Sie sudah mundur dari rimba ini. Sebegitu jauh loolap menyangka, rupanya mereka telah mendapat kerugian banyak orangnya yang terluka atau terbinasa, maka juga malam ini tak nanti mereka mengulangi mengepung kita."

“Hanya sebentar, setibanya sang fajar, mungkin mereka akan menyerang secara terlebih hebat" berkata Seng Su Poan si Hakim Penuntut Hidup Mati.

"Benar, demikian juga terkaanku." berkata Han In. "Sebelum hujan turun pula, perlu kita bersedia payung, harus kita siap sedia."

"Entah Nona Hoan, ia mempunyai daya apa untuk menangkis musuh." kataBan Liang,

"mari kita berunding dengannya."

"Baiklah," kata Giok Yauw. "Nanti aku undang mereka."

Nona ini segera berlalu. Hanya sebentar ia sudah kembali bersama Soat Kun dan Soat Siauw Pek dan Han In tidak mau menanyakan si nona mengapa selama didalam toa-tian tadi, mereka duduk diam saja, tak memperhatikan pertempuran yang hebat itu.

Adalah Ban Liang yang menanyakan lain hal. "Apakah baru saja nona terluka? " demikian tanyanya.

"Tak apa, lukanya sangat ringan," jawab ^ona Hoan. "Ada senjata nyasar..."

"Sekarang musuh telah mundur seluruhnya," berkata Ban Liang pula, "tetapi kami menerka semunculnya fajar mereka bakal datang pula, mungkin penyerangannya akan jauh lebih hebat, karena itu, nona, bagaimana pemandangan nona? ”

“Pandanganku sama," sahut Soat Kun. "Apakah nona telah memikir daya untuk menangkisnya? ”

“Ya."

"Apakah daya itu, nona? " tanya Siauw Pek. "Baiklah nona mengatur siang-siang. sekarang ini kita masih berada ditempat berbahaya, orang kita tinggal sangat sedikit, kita juga letih semuanya. Syukur rimba ini menghalangi musuh mengatur Lo Han Tin-Sebentar pagi, di dalam keadaan terang benderang, mungkin mereka akan memperhebat serangan mereka." Soat Kun mengangguk.

"Aku tahu itu. Maka juga sekarang tak dapat kalian beristirahat, bahkan kalian perlu segera berlatih, mempelajari Ngo Heng Lian Hoan Tin-”

“Apakah artinya tin itu, nona? " tanya Ban Liang.

"Itu hanya cara menentang musuh dengan kita bersatu padu tangan, dan hanya ditambah lima macam perubahan..."

"Dipihak Bu Tong Pay ada ilmu pedang yang dinamakan Ngo Heng Kiam, apakah nona tahu itu? " tanya Han In Taysu.

"Aku tahu, dan pernah aku mendengarnya dari mendiang guruku, hanya perubahan barisan pedang itu beda dengan barisanku ini."

"Dahulu hari pernah loolap perhatikan gerakan yang disebut Ngo Heng itu," berkata pula ketua Ngo Bie Pay, "gerakan itu rumit sekali perubahannya, maka juga , mungkin sulit memahaminya didalam waktu sesingkat ini."

"Ngo Heng" itu ialah serba lima, dan "Lian Hoan" yaitu berantai, maka itu, tin si nona banyak perubahannya, yang tali menali, bersangkut satu dengan lain-

"Demikianlah kelihatannya, taysu," berkata si nona. "Tapi, kalau nanti sudah melatihnya, sebenarnya itu taklah sulit..." Ia berhenti sejenak. terus ia menambahkan. "Lawan menghentikan penyerangannya, itu berarti bahwa mereka memberi kesempatan hidup untuk kita."

"Waktu kita sedikit, nona, nah, mulailah? " Ban Liang minta. "Bagaimanakah penglihatan mata kalian? " tanya si nona. "Diwaktu malam segelap ini? " Ban Liang tegaskan.

"Ya, didetik ini. Berapa jauh kalian dapat melihat kedepan? " "Dalam hal ini, perlu kami tahu dahulu apa yang kami harus

lihat," berkata Ban Liang pula. "Aku hendak membuat garis garis Ngo Heng," kata si nona, "cobalah, kalian bisa melihatnya atau tidak..."

"Asal nona menjelaskannya, mungkin kami sanggup," berkata pula sijago tua.

"Ngo Heng Lian Hoan Tin memerlukan lima orang sebagai bahagian yang utama," menerangkan Soat Kun "Mereka menguasai satu tempat masing2. Yang lain2nya melainkan sebagai pembantu, guna membantu dimana yang perlu."

"Silakan nona mengatur, kami nanti mengatur diri. Senoga kami tak kacau sendirinya."

"Jikalau benar siauw Lim Pay akan menerjang pula sebentar fajar, mereka tentu bakal mulai arah timur dan selatan." berkata Nona Hoan-"maka itu pada dua arah itu, perlu orang yang ilmu silatnya mahir sekali."

"Yang paling mahir ialah bengcu. Baik bengcu mengambil tempat yang paling penting itu." Ban Liang mengusulkan.

"Ban Hu hoat baik menjaga di timur," berkata pula si nona. "Arah timur itu termasuk garis kah-it-bok."

Berkata begitu, dengan menggunakan cabang pohon, Nona Hoan membuat goresan ditanah.

Ban Liang berniat menolak tugas itu mengingat dia sudah tua dan baru saja bagaikan kehabisan tenaga, tetapi Soat Kun sudah melanjutkan kata-katanya. "Ban Hu hoat, tolong perhatikan, beginilah perubah kedudukan gu goat."

Goresan si nona itu dari timur menyambung keselatan dan utara.

oleh karena keadaan sudah demikian mendesak. mau atau tidak, terpaksa Ban Liang batal menolak, terpaksa dia memehami gerak yang dilukiskan si nona.

"Bengcu silakan menjaga di selatan," berkata pula si  nona kepada ketuanya. "Arah selatan itu termasuk garis Phia-teng hwee." Dan lalu ia meng gores tanah. Siauw Pek memperhatikan goresan itu.

"Thio Huhoat, pergi kau menjaga ke utara. Arah itu termasuk Jim-kwie swie," sambil berkata begitu iapun menggores pula.

Suasana sangat sunyi. Semua mendengarkan dan mengawasi tangan si nona.

"Oey Huhoat menjaga di barat." Mendengar itu Siauw Pek bertiga heran.

Oey Eng dan Kho Kong tidak ada diantara mereka "Nanti aku cari mereka," berkata si anak muda.

"Biarkan aku yang pergi," kata Giok Yauw "Mereka lagi memasang mata diatas pohon." Siauw Pek mengawasi kedua saudara itu, jalan mereka rada ayal.

"Saudara Oey Saudara Kho " ia menyapa. "Ya, bengcu Ada perintah apakah? ”

“Kalian baik-baik saja, bukan? "

Dua saudara itu tidak segera menjawab, agaknya mereka berpiklr. "Kami baik-baik saja," sahutnya sejenak kemudian.

Didalam gelap. wajah kedua pemuda itu tak tampak. tapi sUaranya tetap tak mirip orang yang terluka. Karena itu, heran si ketua. Tak dapat dia menduga duga.

"Jangan kau menyembunyikan lagi, saudara saudara," Giok Yauw berkata. "Nona Hoan tengah mengatur Ngo Heng Lian Tin, Oey huhoat ditetapkan menjaga diarah barat, jikalau kalian tidak bicara sebenar-benarnya, bukankah usaha kita bisa jadi gagal? ”

“sebenarnya telah terjadi apakah? " Siauw Pek bertanya.

"Mereka telah terluka, karena kuatir bengcu bersusah hati, mereka tak mau menjelaskannya" nona Thio menerangkan-Siauw Pek terkejut. "Apakah luka mereka parah? " tanyanya. Oey Eng menggelengkan kepala.

"Tak parah, bengcu," sahutnya, "kalau luka kita berat, mustahil bengcu tidak melihatnya."

"Dia benar juga ," pikir si anak muda.

"Oey huhoat," berkata Nona Hoan-"Kau luka parah atau tidak, kau mesti jelaskan. Ingat disini tergantung keselamatan kita bersama tak dapat kita menyembunyikan sesuatu."

Oey Eng melengak, lalu dia berkata: "Aku terkena satu pukulan tangan kosong, sebenarnya lukaku tidak ringan, akan tetapi, setelah aku meluruskan tenaga dalamku, sekarang sudah terasa mendingan.”

“Mari, kasih loolap lihat," berkata Han In Taysu. Oey Eng menghampiri, untuk berdiri disisi pendeta itu.

Han In meraba lengan sianak muda, nadinya. Hanya sejenak. ia berkata: "Luka ini bukannya ringan, perlu rawatan yang cukup."

"Itulah berarti sudah tak dapat dia menjaga tempat itu," kata Soat Kun.

"Memang. Dia harus beristirahat."

"Coba aku periksa nadinya," berkata Nona Hoan. Oey Eng menghampiri, ia mengulur tangan kirinya.

soat Kun meletakkan jari tangannya yang halus diatas nadi sianak muda, akan menekannya sedikit, sesudah mana dia berdiam untuk merasai denyutan nadi anak muda itu. Kira-kira sehirupan teh ia mengangkat tangannya terus merogoh sakunya buat mengeluarkan dua butir obat pulung.

"Makan ini lebih dahulu" katanya perlahan-Oey Eng percaya nona ini, ia menyambut pel itu dan terus menelannya.

"Kho Huhoat, apakah kaupun terluka? " kemudian sinona bertanya kepada Kho Kong. "Aku terluka bacokan pada pahaku," menyahut hu hoat itu. "Aku telah membalutnya. Luka dikulit tidak ada artinya." Soat Kun menarik napas perlahan-"Sekarang aku terpaksa merepotkan taysu," katanya kepada Han in Taysu. "Sebenarnya aku hendak minta bantuan taysu buat lain tugas tetapi kedua hu hoat terluka, aku mohon taysu sudi menggantikannya.”

“Loolap bersedia, nona" menjawab sibhiksu tua.

soat Kun menggores gores pula ditanah sambil menjelaskannya secara sederhana, setelah itu ia berkata pula: "Taysu semua gagah tetapi semuanya telah payah, karena itu tak seharusnya kalian berkelahi mati-matian, maka juga pertempuran terpaksa, jangan kita menggunakan seluruh tenaga kita. Kita akan menahan musuh mengandalkan tin saja."

Mendengar kata kata nona itu, Ban Liang berkata didalam hatinya: "Sayang kau bercacat pada matamu, nona. Coba kau bisa melihat sekitarmu, mungkin kau tak akan berkata begini. Segera setelah langit terang, pastilah pihak Siauw Lim Sie akan mengulangi penyerbuannya secara besar besaran, dengan seluruh kekuatan. Dapatkah tin ini menentang penyerbuan mereka itu? "

Walaupun dia berpikir demikian, tetapi jago tua itu tidak mengatakan apa apa.

Nona Hoan tidak mendengar suara orang yang mengiakan atau memohon penjelasan, ia melanjutkan kata katanya. "Seseorang, tak peduli dia lihay luar biasa, kalau dia tak minum setetes air, selewatnya satu hari dan satu malam kekuatan tubuhnya bakal berkurang sendirinya. Mungkin disaat ini kalian belum merasakan sesuatu, hanya besok tengah hari, akan kalian rasakan perbedaannya."

"Siecu benar," berkata Han in Taysu. "Pernah loolap mengalaminya. Siapa tidak makan dalam satu hari dan juga tak dapat beristirahat, tenaganya akan lenyap sebagian." jikalau demikian adanya, sekarang ini perlu kita beristirahat," berkata Ban Liang. "Kesempatan ini harus kita pergunakan sebaik baiknya."

"Telah belasan tahun loolap disekap ditempat gelap. perihal menahan dahaga dan lapar, telah ada pengalaman loolap." berkata Han in kemudian, karena itu silahkan kalian beristirahat, loolap yang akan mewakili kalian melakukan penjagaan."

"Lebih baik taysu turut beristirahat," Siauw Pek menganjurkan. "Biarkan loolap. bengcu. dalam hal penderitaan begini, loolap

lebih hebat daripada bengcu sekalian."

"Apakah demikian pendapat taysu, baiklah" Ban Liang berkata akhirnya. Didalam hati, ia sebenarnya percaya Siauw Pek lebih ulet daripada pendeta ini.

"Nah, silahkan kalian beristirahat" Han in kata akhirnya. Lalu, dengan kedua tangannya, dia menekan tanah, membuat tubuhnya mencelat tinggi, naik keatas pohon didepannya Ban Liang semua segera duduk bersila, untuk bersemedhi. Mereka memang telah merasakan sangat letih, maka kesempatan ini dipakai sebaik baiknya. Didalam waktu yang singkat sekali, semua sudah hening bagaikan mereka lupa akan diri sendiri...

Sang waktu berjalan dengan tenang tetapi rasanya cepat sekali. Entah telah lewat berapa lama, tiba tiba terdengar suara ketua dari Ngo Bie Pay. "Saudara, saudara, bangunlah "

Semua orang terbangun, semua segera membuka mata mereka.

Sang fajar telah tiba. Cuaca yang cerah memperlihatkan sesuatu.

Kembali terdengar suara pendeta tua itu: "Loolap melihat pendeta-pendeta dari Siauw Lim Sie tengah mendatangi dengan teratur. mungkin pertempuran bakal segera dimulai, silahkan bengcu sekalian mengambil tempat masing masing."

Oey Eng dan Kho Kong telah mendapat kesempatan untuk beristirahat, merekapun telah makan obat Soat Kun, mereka merasa tubuh mereka segar, maka itu keduanya segera menyatakan pada nona Hoan, karena kesehatan mereka beralih baik, mereka mohon diberi tugas.

"Sekarang ini tenaga kalian belum dibutuhkan," berkata Soat Kun-"Coba kalian lihatlah sekitar tin ini, ditempat luas beberapa tombak. kalian boleh memilih satu tempat dimana kalian dapat beristirahat. Disini masih ada cukup luang untuk kalian-"

Mendengar kata kata si nona, Oey Eng dan Kho Kong segera memandang kesekitarnya. Tadi, perhatian mereka belum tertarik Sekarang lain-Mereka memperhatikan dengan seksama.  Lalu mereka menjadi heran. Memang, disitu ada pepohonan dimana mereka dapat berlindung.

"Terima kasih" berkata Oey Eng.

"Beristirahatlah kalian baik-baik," pesan Nona Hoan. "Kalau nanti pihak Siauw Lim Sie menerjang tak hentinya, baru kami membutuhkan bantuan kalian-"

Suara si nona itu bagalkan diputuskan suara keras dari  Ban Liang. Terdengar suara nyaring sijago tua, "para taysu, kamu keterlaluan. Kenapa kamu begini desak kami? Ingatlah, jangan kamu mengatakan aku si tua menurunkan tangan jahat"

Mendengar suara jago tua itu, Soat Kun segera berseru: "Menggeser tempat memohon bantuan, dengan perubahan menentang musuh Oey Eng heran mendengar suara sinona itu. Katanya. "Apakah arti kata kata itu? " Tetapi ia menaruh perhatian-

Maka ia segera melihat bergerak geraknya sinar pedang dan golok, bagaimana Siauw Pek sudah menukar kedudukan Phia teng hwee di selatan dengan kedudukan Kah it Bok ditimur, sedangkan Ban Liang memutar keutara dan Giok Yauw kebarat, sedangkan Han In Taysu pindah keselatan. Dengan cara demikian, Ngo Heng Tin nampak menjadi terlebih ringkas, akan tetapi gerakannya lebih lincah.

orang orang Siauw Lim Sie sudah mengurung Ngo Heng Tin tetapi disebabkan malang melintangnya pepohonan, telah dapat mereka segera menyerbu masuk. untuk turun tangan-Han in Taysu telah segera bekerja. Dengan tangan kanan terbuka, ia menyamp^ok dua kali kearah timur. Anginnya itu menghembus keras.

diarah timur itu ada seorang pendeta yang lagi menempur Siauw Pek. tiba tiba dia merasakan angin menyambar dari sampingnya, belum sempat dia tahu apa apa, iga kirinya sudah kena terhajar, hingga dia mengeluarkan jeritan tertahan, terus dia mundur.

siauw Pek mengambil kesempatannya, untuk menikam dengan pedangnya, atas mana lawan itu melompat mundur pula dua tindak. Dia tidak disusul, karena penyerangnya menggunakan kesempatan itu untuk memutar diri guna menyerang lawan yang lagi bertempur dengan Ban Liang Pendeta lawan sijago tua terkejut, dalam gugup ia menangkis.

Justru ketika dia repot ituBan Liang meninju dengan pukulan Ngo Kwei Souw Hun Ciang. Dia sebenarnya seorang anggota dari Ruang Tatmo ih. ilmu silatnya amatlah sempurna sekali, dalam hal ini akan tetapi karena repotnya, tidak dapat dia melindungi diri, dia kena terhajar roboh kebelakang.

Seterusnya, pertempuran berjalan secara demikian rupa. Serbuan pihak Siauw Lim sie terintang dan terhambat pepohonan, pihak Kim Too Bun menang kedudukan dan kerja samanya sempurna. Demikian, selang beberapa lama, pihak penyerang sudah merugi belasan orangnya yang roboh sebaliknya serbuannya tidak ada hasilnya. Walaupun demikian, pihak Siauw Pek juga merasa letih...

Tengah pertempuran tak seimbang itu berlangsung terus, tiba tiba orang mendengar bunyi genta yang nyaring mendesak. menyusul mana semua pendeta lalu menghentikan penyerangan mereka, dan cepat mengundurkan diri Hingga didalam sekejap itu medanpun sunyi.

Ban Liang menghela napas lega. "Jika mereka menyerang terus lagi, mungkin tenagaku si orang tua akan habis" katanya Siauw Pek yang diajak bicara, cuma tersenyum.

Han in Taysu menengadah kelangit akan melihat cuaca. "Sebegitu jauh yang loolap tahu," katanya "Belum pernah

sebelum ini ada pihak yang mengacau Siauw Lim Sie begini lama hingga pihak itu kewalahan dan mundur sendirinya."

Siauw Pek tidak berkata apa-apa. Iapun lelah. Ketika ia memandang Nona Thio, paras Giok Yauw pucat. Cuma pendeta dari Ngo Bie itu tak nampak lesu.

"Jikalau aku mempunyai jarum satu kantung, tak usah aku menghabiskan tenagaku terhadap pendeta-pendeta Siauw Lim Sie itu" terdengar nona Thio pun berkata, dia menarik napas untuk melegakan hatinya.

Kata-kata sinona bagaikan menyadarkan Siauw Pek. Pemuda ini lalu memikir perlunya daya upaya yang sempurna guna mengatasi keadaan kalau tidak, sungguh mereka bakal terancam bahaya.

"Taysu," kemudian ia bertanya kepada ketua Ngo Bie Pay, "apakah Taysu merasa letih? " Iapun menatap kawan itu.

"Buat bertempur lagi satu jam atau lebih, mungkin loolap masih dapat bertahan," sahut pendeta yang ditanya itu.

Si anak muda menunjukkan sikap sungguh sungguh. "Jikalau begini gelagatnya, mungkin kita tak dapat menanti sampai para tiangloo memunculkan diri." katanya. Han In mengangguk. Ingin ia membuka mulut tapi batal

Siauw Pek balik mengawasi Nona Hoan. Katanya menyambung: "Dapatkah kita mewujudkan pepatah Menangkap penjahat membekuk kepalanya, dipihak Siauw Lim sie, biangnya ialah It Tie Taysu, apabila kita dapat meringkusnya, tentulah pendeta-pendeta lainnya bakal kehilangan semangatnya, hingga mereka tak akan berani melanjutkan mengurung dan mengepung kita." "Apakah bengcu memikir untuk menawan It Tie? " tanya Soat Kun-"Pikiranku ialah daripada kita menanti untuk diserbu, lebih baik kita mendahului menerjangnya" sahut si anak muda. Jikalau kita beruntung dengan percobaan kita itu, ialah It Tie dapat dibekuk. pasti kita akan lolos dari ancaman petaka ini." Soat Kun menghela napas.

"Memang," katanya, "memang berbahaya kalau kita bertempur terus selagi kita letih dan persiapan makan dan minum kurang."

"Rasa lapar masih dapat ditahan, tidak demikian dengan dahaga," berkata sang ketua. "Pihak kita tidak mengatakan apa-apa tetapi kita dapat merasainya sendiri. Kita dapat bertahan hanya untuk sementara. Maka itu aku pikir, aku hendak bersama Han In Taysu menerjang keluar."

"Bagaimana andaikata kalian terkurung di dalam Lo Han Tin? " sinona memperingatkan.

"Tapi inilah jalan satu satunya untuk kita menyingkir dari kematian," berkata sianak muda. Ia menghela napas, lalu menambahkan : "Saudara semua tak akan tiba disini jikalau bukan karena urusanku si orang she Coh, maka itu, setelah kita terkurung ini, apabila aku tidak berusaha, mana hatiku lega? "

"Rencana adalah aku yang atur, sekarang kita terkurung, itulah salahku," berkata nona Hoan. "Karena itu, untuk membekuk It Tie, mesti aku juga lah yang bekerja"

xxxxxx

Siauw Pek melengak. Bukankah ilmu silat si nona sangat sederhana? Semangat si nona dapat dipuji dan dikagumi, tetapi mana pantas dia menjadi lawan It Tie, si orang lihay dari Siauw Lim Sie? Pula It Tie dikelilingi demikian banyak murid-muridnya.

"Sekalipun aku menerjang bersama Han In Taysu, masih belum tahu bagaimana kesudahannya," pikirnya lebih jauh. "Aku memikir sepintas lalu saja, karena kita sudah kehabisan jalan-Jikalau Nona Hoan berdua yang pergi, apa itu bukan berarti mereka mengantarkan jiwa mereka sendiri? "

Walaupun dia memikir demikian, tak berani Siauw Pek mengutarakannya. Maka itu, setelah berdiam sekian lama, baru ia berkata: "Nona silahkan nona berdiam disini, untuk tetap memegang tampuk pimpinan-Dengan aku bekerja sama  dengan Han In Taysu, aku percaya bahwa sebagian besar kita berhasil "

soat Kun berdiam tetap otaknya bekerja. Katanya didalam hati: "It Tie tangguh, dia dikitari berlapis-lapis pelindungnya, tak mungkin dia mudah ditawan. Kita harus mendapatkan akal yang sempurna."

Maka, setelah berdiam pula sedetik, ia lalu berkata, "Maksudku semula ialah untuk tidak melukai atau membinasakan banyak jiwa, pikiranku untuk menasehati dan menaklukkan pihak siauw Lim Sie dengan kejujuran dan kebijaksanaan, tak sangka maksudku itu tak tercapai, bahkan perkara menjadi besar dan hebat begini. Untuk hidup kita memang terpaksa kita harus turun tangan "

"Kau aneh nona," pikir Siauw Pek. "Sampai pada detik ini, kau masih sabar saja." Ia lalu mengawasi nona itu, akhirnya dia bertanya: "Jadi sudah pasti nona yang pergi sendiri? "

"Ya," begitu jawaban pasti dari si nona. "Nona berdua saja? " si anak muda menegasi.

"Aku mau minta bengcu menemani kami," sahut si nona. "Baik Nah, mari kita pergi "

"Tanggung jawab disini aku serahkan kepada taysu," berkata si nona kepada ketua Ngo Bie Pay.

"Loolap akan mencoba," sahut Han in. "Baiklah nona lekas pergi lekas kembali." Soat Kun mengangguk. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir obat pil. "Bengcu, tolong telan ini" katanya^

Siauw Pek tidak tahu si nona bermaksud apa akan tetapi, karena ia menaruh kepercayaan besar terhadap nona itu, ia menyambut obat itu dan menelannya tanpa ragu-ragu. "Nah, sekarang silahkan bengcu membuka jalan" kata Soat Kun akhirnya.

Siauw Pek menghunus pedangnya, terus ia bertindak dimuka.

Sambil memegangi bahu adiknya, Soat Kun berjalan mengikuti.

Pihak Siauw Lim Sie heran menyakskan tiga orang musuh keluar dari dalam rimba, walau demikian, mereka mengawasi dan membiarkan saja. Mereka berada didalam kesangsian. Penyerbuan mereka berakibat buruk bagi mereka sendiri, sebab banyak orang orangnya yang luka dan gUgur, sedangkan rimba tak berhasil diserbu didudUki. Setelah menghentikan penyerangan, mereka mengUndUrkan diri, buat menjaga diluar rimba saja.

Baru setelah ketiga orang itu berada diluar rimba, seorang pendeta maju menghadang. Dia berjubah abu-abu.

Siauw Pek mengangkat kepalanya, mengawasi tajam. Ia mendapatkan pendeta itu berada bersama kawan kawannya, jumlah mereka dua puluh orang lebih. Tiba-tiba ia ingat keterangan Han In Taysu mengenai Lo Han Tin, yang dapat dibangun baik dengan jumlah orang yang banyak atau sedikit, misalnya dengan seratus orang lebih atau hanya belasan saja. Siapa tahu mereka ini adalah anggota-anggota tin dari Siauw Lim Pay itu?

"Baiknya sebelum tin mereka teratur, aku mendahului" kemudian si anak muda berpikir dengan cepat. Tak ingin ia memikul risiko. Ia terus menyimpan pedangnya, untuk sebaliknya meraba gagang goloknya.

"Para taysu, siapakah pemimpin kamu? " tanyanya sambil memasang mata.

"Itulah pinceng," menjawab seorang pendeta usia pertengahan. Siauw Pek masih menatap tajam, juga kepada rombongan orang,

habis itu, baru ia berkata keren: "Golok ditanganku ini, asal dihunus, pasti dia membinasakan orang, maka itu taysu..."

"Itulah pinceng sudah ketahui" menyela si pendeta setengah tua. Lalu mendadak dia mengibaskan sebelah tangannya, atas mana semua kawannya segera bergerak. lari serabutan, guna memencar mengatur diri Siauw Pek tertawa dingin, dia mencekal erat gagang goloknya.

"Sabar" mencegah Soat Kun-"Mari kita belajar kenal dahulu dengan Lo Han Tin dari siauw Lim Sie"

Ketua itu heran hingga dia tercengang.

Sementara itu, rapihlah sudah kawanan pendeta mengatur diri, atau lebih benar, mengurung ketiga lawannya itu.

Selama siauw Pek bertiga mulai muncul, pihak siauw Lim Sie telah mengirim laporan kepada ketuanya, dari itu, lekas juga tiba para pemimpin mereka yang termasuk rombongan Tatmo ih.

Pendeta pimpinan rombongan itu girang melihat rampungnya tin mereka, ia lalu tertawa dingin dan berkata dengan sombong: "Seingatku, selama seratus tahun lebih belum pernah ada orang yang sanggup lolos dari tin kami ini, maka itu sungguh kau gagah, siecu, yang kamu berani menentangnya"

"Belum tentu Lo Han Tin dapat mengepung kami" Siauw Pek pun berkata sama dinginnya. la segera memasang mata, akan mencari bahagian terlemah dari barisan rahasia musuh itu.

Selagi ketuanya memasang mata itu, Soat Kun berkata perlahan kepadanya. "Cuma menghadapi Lo Han Tin dari Siauw Lim Sie ini tak usah bengcu turun tangan sendiri..."

Habis itu, ia memandang musuh dan bertanya nyaring: "Apakah kamu sudah selesai dengan pembangunan tin kamu? "

"Sudah" menjawab pihak pendeta. "Karena kami yang berjumlah besar mengurung kamu bertiga, silahkan kamu yang turun tangan terlebih dahulu" Kawanan pendeta itu sangat mempercayai tin mereka itu, hingga mereka tidak khawatir sedikit pun juga .

siauw Pek berpikir. "Tin musuh ini tersohor Sangat liehay, entah dengan cara apa Nona Hoan hendak memukulnya...? " Segera juga terdengar suara si nona tunanetra. "Untuk kebaikan kamu pihak Siauw Lim sie sendiri, supaya kamu tidak terjerumus dalam dunia siksaan hingga kamu tak dapat kembali lagi, terpaksa aku hendak menunjukkan sesuatu kepada kamu supaya kamu dapat saksikan."

Kata-kata si nona ini diakhiri dengan sentilan jeriji tangannya yang lentik hingga beberapa kali.

siauw Pek heran menyaksikan gerak gerik si nona. "Dapatkah tin dipecahkan dengan hanya beberapa sentilan? " tanyanya didalam hati. "Bukankah Lo Han Tin menjadi tin yang sangat tersohor dikolong langit ini? "

Sementara itu pendeta pemimpin rombongan Siauw Lim Pay itu heran melihat baik Siauw Pek maupun nona-nona itu masih belum juga mau turun tangan untuk menyerbu tin mereka. Lekas sekali, dia menjadi habis sabar. Maka ia lalu berkata nyaring: "Kalau kamu tidak mau turun tangan, baiklah, pinceng yang akan mendahului" kemudian ia mengulapkan tongkat di tangannya, atas mana rombongannya segera bergerak. Maka itu, bergerak juga lah Lo Han Tin.

Tapi si nona, bukan mengajak siauw Pek menentang, dia justru menyerukan para pendeta itu. "Lekas letakkan senjata kalian. Kalian sudah tak dapat menggerakkan tangan kalian-" Si pendeta setengah tua tertawa terbahak.

"Apa katamu, siecu? " tanyanya, mengejek. "Kata katamu membuat pinceng tak mengerti”

“Kataku, kalian sudah tidak dapat menggerakkan tangan kalian" si nona menegaskan. Pendeta itu heran-

" Kenapa kah? " tanyanya.

Sahut si nona, "Jikalau kalian tidak percaya, cobalah jalankan pernapasan kalian"

Semua pendeta heran sekali, tanpa merasa, mereka mendengar kata. Rata rata mereka lalu bernapas. Dan selekasnya menarik dan mengeluarkan napas, semua lalu berdiri tertegun, paras mereka berubah menjadi pucat. Tak ada seorang jua yang maju terus atau menggerakkan tubuhnya. Itu disebabkan ketika mereka bernapas, mereka merasa nyeri di dalam perut mereka, bagaikan telah terkena racun.

soat Kun mengawasi mereka itu, iapun berkata pula. "Asal kamu menggerakkan pernapasan kamu, racun didalam tubuhmu akan segera bekerja. Bukannya aku menakut nakuti, tapi bagaimana biar liehay tenaga dalam kalian tak akan sanggup melawan racunku ini"

siauw Pek heran menyaksikan semua pendeta berdiri mematung itu, mengertilah sekarang ia bahwa Nona Hoan tidak bicara dusta. ia tidak menanya si nona, tetapi ia berkata didalam hatinya. "Kiranya nona ini pandai menggunakan racun."

Sekali lagi si nona berkata kepada semua pendeta. "Nah, telah aku peringatkan kepada kalian," lalu seperti berbisik, ia mengajak ketuanya. "Mari kita pergi." Siauw Pek mengerti, dia menurut.

"Minggir" dia berseru terhadap musuh, sedangkan pedangnya dipakai mengancam.

Pendeta yang ditegur itu seharusnya dapat menggerakkan tongkatnya untuk menghalau pedang itu akan tetapi dia tidak dapat berbuat begitu seluruhnya. Dia mengangkat tongkatnya, baru setengah jalan, senjatanya sudah diturunkan lagi, lalu sambil menekap perutnya, dia jalan minggir siauw Pek tidak menikam, hanya pedangnya dipakai menepuk bahu kiri pendeta itu, yang telah tak berdaya, maka juga segera dia kena terhajar, dia roboh terguling. Semua pendeta lainnya kaget dan heran, mereka mengawasi mendelong...

siauw Pek bergerak pula, pedangnya diputar untuk mengancam semua lawan-Mereka itu kaget, otomatis mereka menggerakkan masing masing senjatanya, tapi mendadak semua merasakan perutnya nyeri sekali, hingga diluar kehendaknya, semua lalu pada berjongkok sambil memegang perutnya. siauw Pek menggunakan tangan kirinya, menotok beberapa pendeta yang ada dekat dengannya, terus bertindak maju.

Beberapa orang pendeta, yang berada di garis belakang, menjadi heran sekali mendapatkan kawan kawan mereka yang berada disebelah depan itu pada jongkok. Hati merekapun gentar. Pikir mereka benar benar musuh liehay. Didalam waktu begini singkat mereka bisa melumpuhkan Lo Han Tin..." Ketika mereka melihat Siauw Pek bertiga mendekati, mereka tidak merintangi, mereka cuma mengawasi sambil bersiap siap.

siauw Pek maju sampai dimuka pendopo besar toatian-Disitu ada dua orang pendeta yang menjaga pintu "Kami numpang tanya," katanya kepada kedua pendeta itu, "dimana adanya ketua kamu, It Tie Taysu? "

Kedua pendeta sudah siap menyerang ketika mereka mendapat kenyataan musuh bicara sabar dan tidak niatnya menyerang, mereka lalu saling memandang, setelah mana yang disebelah kiri membuka mulutnya: "Tuan, ada perlu apakah tuan mencari ketua kami? " Rupanya dua orang ini cuma bertugas menjaga.

"Kami hendak menemuinya," sahut Siauw Pek. "Kamu lihat sendiri kita sudah bertempur siang dan malam dan telah roboh banyak korban. Kamupun harus ketahui, tidak ada niat kami memusuhi pihak kamu "

Kedua pendeta berpikir sejenak. lalu yang tadi menjawab, "Jalan terus ketimur sepuluh tombak. lalu belok ke utara " Siauw Pek memberi hormat.

"Terima kasih " katanya, yang terus berjalan kearah yang ditunjuk itu.

soat Kun yang mengikuti bersama adiknya, memesan-"Kita memasuki jauh kurungan musuh, kau harus tabah hati dan berhati hati "

"Aku mengerti, nona," sahut sianak muda "Pasti It Tie sudah mendapat tahu apa yang adi disini." Lekas juga mereka sudah melalui sepuluh tombak lebih. Ketika mereka menoleh mereka melihat, dihadapan mereka, ditanah berumput ada seorang pendeta tengah berdiri diam. Jubah dia itu berwarna kuning. Karena dia berdiri membelakangi, tak tampak mukanya. Siauw Pek menghentikan tindakannya.

"Pastilah ini suatu jebakan," pikirnya. "Mungkinkah kita menyerbunya? "

soat Kun tahu ketuanya ini ragu ragu, ia berkata. "Lekas maju.. Kita menggunakan kesempatan tipu dia ini untuk menemukan it Tie. Berulang kali dia kalah, pasti dia jeri dan waspada, mana dia mau memberi kesempatan kita dengan mudah saja mencarinya? "

siauw Pek suka mendengar kata-kata si nona akan tetapi karena ia tetap ragu-ragu, tak tenanglah hatinya.

"Janganiah berjalan terlalu cepat" Nona Hoan memperingatkan "Lebih baik kalau sebentar bengcu mendatangi dia lebih dekat "

siauw Pek berjalan sambil berpikir. "Terang si pendeta lagi memancing, kita justru mau menelan pancingnya itu. Bukankah ini berarti menyerahkan diri masuk dalam perangkap? Kamu berdua tak lihay ilmu silatmu, lalu aku mesti sekalian melindungi kamu. Bagaimana? "

Selagi berpikir itu, lekas juga tibalah sianak muda dekat sipendeta, sejarak setombak lebih.

Tiba tiba saja pendeta itu menoleh dan bertanya dingin, apa ketiga tamunya ini ingin mengharap ketuanya.

Ketua Kim Too Bun mendongkol sekali. Pendeta itu, usia lebih kurang tiga puluh tahun, bukanlah It Tie. "Ya" sahutnya keras. "Dimana dia? "

Pendeta ini berkata pula, dingin "Jikalau memang kamu hendak menemui ketua kami itu, lebih dulu kamu harus meletakkan senjata kamu " Siauw Pek gusar. "Aku hendak minta kau mengikuti kami" bentaknya, lalu tangannya digerakkan-

"Tahan" Soat Kun berseru.

Nona ini tidak dapat melihat akan tetapi Soat Gie memberitahukannya, maka itu, ia lalu mencegah. Siauw Pek batal menikam, bahkan ia mundur dua tindak. "Kenapa? "

"Kita sudah masuk didalam kurungan, percuma kau bunuh dia."

Siauw Pek melihat keempat penjuru. Tidak ada seorang pendeta juga yang tampak. Didua arah, barat dan utara terdapat rimba, jauhnya lima tombak lebih, misalkan disana ada bersembunyi musuh, masih ada kesempatan buat mundur. Maka itu ia heran Walaupun ia tidak bisa melihat, Soat Kun tahu baik gerak gerik atau sikap sianak muda Sebab Soat Gie cerdas dan bermata tajam dan dia selalu mengisikinya segala apa kepada kakaknya itu."

"Turuti permintaannya, letakkan senjata." terdengar kata sinona pula. Siauw Pek makin heran, tetapi ia menurut. Ia melemparkan pedangnya. "Masih ada golokmu itu" berkata si pendeta, dingin

Kembali siauw Pek menurut. Ia mencabut goloknya dan melemparkan pula ketanah. Pendeta itu menghela nafas perlahan.

"Tuan tuan, silahkan turut aku," katanya sungguh sungguh. Dia berpaling untuk jalan-Siauw Pek mengawasi pedang dan goloknya itu, katanya didalam hati: "Itulah warisan kedua guruku, terutama golok mustika itu, bagaimana aku dapat membiarkannya? Kenapa nona Hoan bersandiwara begini rupa? Bagaimana kalau kita menghadapi musuh tangguh? Tidak bisa lain, mesti aku mengandalkan kedua tanganku saja..."

Pendeta itu membawa ketiga tamunya kesebuah ruang dimana terdapat banyak pendeta, disana tampak It Tie Taysu duduk bercokol di atas sebuah kursi, wajahnya muram. Ketika dia melihat sipendeta pengantar, dia bertanya tawar: "Apa kau kau tidak mati? "

Pendeta itu menjawab: "Teecu menghendaki dia meletakkan dahulu senjatanya, baru teecu menghendaki dia menghadap hongthio. Nyatanya dia menuruti semua kata kataku, hingga teecu jadi tidak mempunyai kesempatan untuk turun tangan terhadapnya."

Mendengar jawaban pendeta itu, siauw Pek berpikir: "Ditempat terbuka seperti tadi itu, andai kata kau hendak bunuh aku, tanpa ada yang bantu, tak mungkin tercapat maksudmu"

Wajah It Tie tetap suram. Dia mengulapkan tangannya. "Baiklah Sekarang kau boleh beristirahat" demikian perintahnya.

Pendeta itu menurut. Dia memutar tubuh dan berlalu. Sekarang ketua Siauw Lim Sie itu menatap tajam ketiga tamunya.

"Kamu hendak bicara apa? " sapanya kaku. "Bicaralah "

soat Kun menyahut tenang. "Anggota anggota kuilmu yang lihay sangat besar jumlahnya, sebaliknya jumlah kami sedikit sekali, maka itu kami hendak minta taysu."

It Tie memotong dingin, "Mungkin karena kamu tahu bahwa kamu tidak bakal lolos maka kamu hendak memohon damai dengan punco? "

Siauw Pek sementara itu menghitung jumlah para pendeta, kira kira dua puluh orang, yang semua lengkap bersenjata serta matanya mengawasi tajam kearah pihaknya. Ia memikir-mikir bagaimana harus melayani mereka itu andai kata pertempuran mesti terjadi. Soat Kun tidak menghiraukan sikap orang yang tawar itu. "Apakah Taysu dapat menerima baik? " ia bertanya.

"Jikalau kamu menghendaki jiwa kamu, jalannya cuma satu " menjawab pendeta kepala itu, suaranya itu tetap dingin.

Dengan sabar Nona Hoan mengangkat tangannya. "Seseorang, asal dia ingin hidup apa juga dapat diperbuatnya." sahutnya pula.

"Siapa tahu selatan, dialah si orang gagah, demikianlah ajaran orang jaman purba kala" berkata It Tie, nyaring. "Karena kamu tahu bahwa kamu tidak dapat membangkang lagi, tak usah kamu banyak pikir pula." Mendadak saja si nona memperdengarkan suaranya. "Taysu" katanya, "andaikata tempat kita bertukar^ bagaimanakah sikapmu nanti? "

It Tie menjawab lantang. "Letakkan senjata manda ditelikung, menyerah atas segala keputusan kami."

"Bagus" berseru sinona, yang nada suaranya berubah: "Sekarang kamu boleh melemparkan senjatamu dan menyerahkan diri kamu untuk ditelikung" It Tie heran hingga ia tertawa keras. "Eh, siecu, apakah kau sudah menjadi edan? " tanyanya. Soat Kun tetap berlaku tenang.

"Di detik ini kamu sudah tidak mempunyai kesanggupan  berkelahi lagi" berkata si nona. "Jikalau kamu tidak mau melemparkan senjatamu, apakah kau hendak menantikan kematianmu?"

Bukan main gusarnya si pendeta. "Eh, kau ngaco belo apa? " teriaknya.

"Jikalau kamu tidak percaya, taysu, silahkan kau coba menyalurkan napas mu," berkata sinona, tenang. "Selama kita berbicara tadi, aku telah menggunakan kesempatanku untuk menyentilkan bubuk racunku yang tak berwarna dan tak berbau untuk kau sedot”

“Jika kata katamu benar, kamu bertiga juga terkena racunmu itu" "Kami datang dengan bersiap siaga, kami sudah lebih dahulu

memakai obat pencegahnya.”

“Oh, perempuran busuk. Seharusnya dari siang siang aku berjaga jaga terhadapmu"

"Ini dia yang dibilang, satu salah, semuanya Taysu sudah kalau, sudah seharusnyalah kau mengakuinya."

It Tie tidak menghiraukan kata kata orang yang menusuk rasa keagungannya, diam diam ia bernafas. Begitu ia menarik nafas, begitu ia merasakan nyeri dalam perutnya. Tentu saja, kagetnya tidak kepalang. Selagi si ketua berdiam, para pendeta lainnya turut berdiam juga

. Seperti si ketua diam diam mereka itu sudah bernafas dan benar saja masing masing merasai perutnya nyeri.

Selama itu Siauw Pek memasang mata secara diam diam, bersiap untuk sesuatu kemungkinan ia bisa melihat para pendeta berdiam, tak ada yang bersikap hendak maju menyerang.

"Apakah benar benar mereka semua telah terkena racun," pikirnya.

"Para taysu, apakah sekarang kamu sudah percaya kata kataku? " kemudian terdengar suara si nona.

Semua pendeta berdiam, cuma mata mereka itu diarahkan pada ketua mereka. Rupanya mereka menanti jawaban atau isyarat ketuanya. Dengan perlahan, It Tie memberikan jawabannya.

"Tidak salah, kami semua telah terkena racun" katanya.

"Itu artinya," berkata si nona, "di dalam mengadu kecerdasan ini, kau kalah"

"Sekarang apakah perintahmu, nona? " tanya It Tie. Tak mau dia langsung mengutarakan, atau mengakui, kekalahannya itu.

"Kami mengharap." menjawab sinona, "supaya taysu meng eluarkan perintahmu menarik kembali semua orangmu yang mengurung kami, untuk menanti sampai waktunya para tianglo memunculkan diri" It Tie mengangguk.

"Baik! punco berikan titahku" sahutnya. "Nah mana obat pemunah racunnya? "

"Jangan kesusu taysu," berkata si nona. "Racun yang aku gunakan itu bersifat keras tapi pun luar biasa. Asal kamu tidak menggerak gerakkan nafasmu dan tidak berkelahi menggunakan tenaga, racun itu tak akan bekerja"

"Apakah siecu mau artikan supaya aku mengeluarkan saja perintahku membubarkan pengurungan tetapi obat pemunahnya tak mau siecu berikan? " it Tie tegaskan "Aku ingin pihakku berjalan sama sama kamu, taysu. Kami mau menanti sampai para tiang loo sudah keluar, baru aku hendak memberikan obat pemunahku.”

“Siecu, kau pandang punco orang macam apakah? " It Tie mendongkol.

"Aku tak peduli taysu orang macam apa. Bukankah jiwa taysu cuma satu? Kalau taysu tidak takut mati, tak usahlah taysu menerima baik syaratku ini "

Tenang sikap sinona tapi kata-katanya bernada kepastian-Hanya sedetik, ia segera berkata keren-"Coba kasih mereka lihat " Kata kata itu ditujukan kepada Siauw Pek.

"Ya, nona" sahut sianak muda, yang segera meluncurkan sebelah tangannya.

Itulah serangan terhadap seorang pendeta. Dia ini wajar saja mengangkat sebelah tangannya untuk menangkis.

Maka beradulah tangan mereka dan suaranya terdengar cukup keras. Akan tetapi lebih keras adalah jeritan kesakitan dari sipendeta, yang segera berjongkok sambil memegangi perutnya.

It Tie Taysu terperanjat. Dia mengawasi orang itu. wajah sipendeta meringis ringis menahan nyeri, mukanya bermandikan peluh dingin, yang turun menetes. Nyata sekali dia lagi menderita siksaan sang nyeri.

Soat Kun tidak dapat melihat kesudahan perintahnya itu tetapi ia tahu segala sesuatu, Soat Gie terus mengisikinya.

Semua pendeta lainnya kaget juga . Korban itu adalah suheng atau kakak seperguruan mereka. Didalam hati, mereka pada mengatakan^ "Teranglah sinona bukan hanya menggertak."

"Bagaimana taysu, apakah taysu telah melihat? " kemudian Nona Hoan tanya ketua Siauw Lim Sie itu.

"Ya" sahut sipendeta. "Demikianlah, taysu Siapa untuk membela diri sendiri saja tak mampu, mana dia sanggup menolong lain orang" demikian berkata sinona.

It Tie bungkam, cuma matanya mengawasi dua orang pendeta dikiri dan kanannya.

Soat Kun menanti jawaban dengan sia sia, maka ia berkata^ "Kelihatannya taysu masih kurang percaya. Pastilah taysu ingin mencoba coba, bukan? " Mendengar perkataan sinona, Siauw Pek maju dua tindak menghampiri It Tie. Kedua pelindung ketua itu maju, untuk menghadang sianak muda.

Melihat aksi orang, Siauw Pek menggerakkan kedua tangannya untuk menepuk kedua orang itu. Sesudah melihat contoh, sebenarnya kedua pendeta itu takut untuk menangkis, akan tetapi mereka terpaksa. Mereka tidak dapat berdiam saja. Begitulah mereka menggunakan tangan mereka, guna melindungi diri.

Segeralah tangan kedua belah pihak beradu satu dengan lain, suaranya keras. Menyusul itu kedua pendeta terpukul mundur, terus mereka berjongkok sambil memegangi perut mereka. Bahkan mereka ini menderita terlebih hebat daripada kawannya yang satu itu. Selain mandi peluh, mereka juga merintih-rintih "Itulah bukti bahwa racun sudah mulai bekerja" berkata Nona Hoan-"Asal kamu mengerahkan tenaga dalam kamu, racun akan bekerja lebih hebat, hingga ususmu akan melilit melingkar-lingkar, nyeri bukan kepalang tak akan kamu sanggup bertahan walaupun tubuhmu tubuh emas atau baja. Para suhu, siapakah yang tak mau percaya aku? Silakan coba"

Belum berapa lama suara nona berhenti, mendadak seorang pendeta kesakitan, terus dia berjongkok sambil memegangi perutnya.

Pendeta itu tidak diserang oleh Siauw Pek dan juga dia tidak membokong Soat Kun, dia menjerit dan kesakitan sendiri, hingga semua kawan menjadi heran-Nona Hoan lalu berkata: "Taysu sekalian rupanya masih tidak percaya aku. Nah, inilah buktinya Sekarang siapa ingin mencoba, cobalah mengerahkan napas atau tenaga dalamnya" Pendeta yang kesakitan seorang diri itu berdiam, dia menderita terus.

Semua pendeta berdiam, mata mereka mendelong. Tidak ada seorang juga yang berani mencoba mengerahkan tenaga dalamnya. Mata mereka semua diarahkan kepada It Tie seorang.

oleh karena ketua Siauw Lim Sie itu tetap membungkam, Soat Kun berkata pula^ "Ada pepatah mengatakan, 'Menangkap penjahat menangkap rajanya Menghajar ular menghajar kepalanya' Mungkin pepatah itu cocok untuk kita sekarang. Kuil kamu terjaga kokoh kuat dunia telah mengetahuinya, tapi kamu lihat sendiri, sekarang kami dapat memasukinya secara merdeka. Kamu sendiri aneh, para taysu, Sudah jelas ketua kamu yang sekarang tidak terang asal usulnya tetapi karena kamu jeri terhadap aturan kuil kamu yang keras, kamu tidak berani mengutarakan rasa hatimu sejujur jujurnya... Buktinya, walaupun kamu sudah terkena racun, tanpa perintah ketua kamu, masih kamu tidak sudi melepaskan senjata kamu masing-masing, tak mau kamu manda ditelikung. Sekarang ini cara yang paling baik ialah menyuruh ketua kamu merasakannya sendiri, merasai penderitaan seperti ketiga kawanmu itu, barangkali barulah dia insyaf."

Berkata begitu, Nona Hoan berpaling kepada ketuanya. "coba serang It Tie barang dua jurus" demikian perintahnya.

Dengan mukanya tertutup Caia, tak ada seorang pendeta juga yang bisa melihat wajah nona ini, hingga juga tak ada yang ketahui bahwa ia sebenarnya tidak bisa melihat apa "Baiklah" Siauw Pek menjawab sinona, terus dia bertindak kearah ketua Siauw Lim Sie itu.

Melihat sianak muda maju, semua pendeta turut pula mendekati ketua mereka. Mereka tahu bahwa mereka sudah tidak dapat berkelahi, tapi toh mereka masih hendak melindungi juga .

Menampak demikian, Siauw Pek mangagumi aturan dari Siauw Lim Sie yang sangat ditaati itu. Walaupun begitu ia tidak menjadi jeri, bahkan ia berkata kepada mereka semua: "Para suhu, walaupun kamu semua turun tangan, tak akan kamu dapat berbuat suatu apa. Tak nanti kamu dapat bertahan dari satu saja tanganku" Kata-kata itu ditutup dengan gerakan tangan kanan terhadap It Tie.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar