Pasangan Naga dan Burung Hong Jilid 15 (Tamat)

Jilid XV (Tamat)

BIK-HU mengiakan. Setelah omong2 beberapa saat, ia lantas kembali kedalam kamarnya sendiri.

Rupanya Yak-bwe mempunyai banyak pertanyaan dalam hati. Setelah makan malam, hampir jam satu tengah malam tetap ia tidak dapat tidur, dan berdiri bersandar dimuka jendela. Beberapa kali In-nio mengajaknya tidur, namun Yak- bwe tetap membisu tak mau menyahut.

"Ai, apalagi yang kau pikirkan?" tanya In nio.

Yak Bwe seperti tenggelam dalam lamunannya. Tampaknya ia tak mengacuhkan pertanyaan In-nio itu. Saat itu diluar halaman turun hujan rintik2. Angin malam berembus membawa hawa dingin. Di halaman terdapat sebatang pohon go-tong (sejenis jambu). Daun2nya seding bergurah memenuhi halaman. Awan gelap menutup rembulan, malam pekat pukau, sang angin mengantar hujan gerimis.

Yak-bwe merasa rawan hatinya. Tiba-tiba kedengaran ia merintih: "Ah, laut nan bebas lepas, ujung langit bagai bertetangga," Meskipun nadanya perlahan sekali, tapi karena diantar dengan basa dalam, dendang rintihan kalbu Yak-bwe itu kedengaran nyaring tajam bagai dering kelinting. In-nio tertawa dan mengguncang2 tubuhnya, serunya: "Oho, kiranya kau sedang melepas rindu disini. Sayang Khik Sia tak berada disebelah sini hingga mensia2kan kiriman suara hatimu. Sudahlah, jangan melamun yang tidak2, apakah tak kuatir mengganggu orang tidur ?"

Sudah tentu In-nio tak tahu bahwa sebenarnya, memang Yak-bwe itu sedang sengaja hendak mengganggu orang tidur, ia berharap Khik Sia mendengarkan suaranya. Tapi dalam batin Yak-bwe timbul kontradiksi (pertentangan) sendiri. Sebentar ia mengharap Khik Sia bisa mendengar dan datang. Tapi sebentar ia harap orang didalam kamar sebelah itu bukan Khik Sia saja dan mudah2an Khik Sia itu tidak berada dihotel situ.

"Laut merupakan kesatuan ujung langit saling bertetangga. Hebat benar dua baris syair yang dirangkai oleh Ong Pok itu. Karena hatimu sudah bersatu dengan Khik Sia, walaupun orangnya berada diujung langit, namun seperti dekat dihati, itu kan tak perlu gelisah lagi. Ayuh, tidurlah!"

Ia menarik tubuh Yak-bwe untuk disuruh masuk. Tapi ketika Yak-bwe berputar menghadapinya, ternyata ujung mata nona itu mengembang dua butir air mata, In-nio merasa kasihan tapipun geli juga.

"Kau memang mencemaskan hai yang tak perlu dicemaskan. Kalau terus2an begitu, ku kuatir kau akan menjadi senewen nanti," ujar In-nio.

Ir-nio hanya bermaksud ber-olok2 saja, siapa tahu kata2nya itu menyentuh perasaan Yak-bwe sehingga menambah kedukaannya, Yak Bwe menghela napas, katanya dengan sayu: "Ci In, mana kau tahu. Dalam keadaan seperti malam ini dua baris syair tadi harus ditafsirkan sebaliknya baru benar. Jika dia benar berada didekat sini, dia bukan orang yang menjadi tambatan hatiku!" Tak tahu In-nio kemana tujuan kata2 Yak bwe itu. Ujarnya: "Apakah kau sakit? Kedua baris sajak tadi hanya tamsil perumpamaan saja, mengapa pikiranmu kacau balau dan mengira kalau Khik Sia betul berada didekat sini?"

Yak-bwe menggigit bibirnya: "Ci In, aku bukan mengigau tak keruan, tapi jangan2 memang Khik Sia berada disini!"

In-nio tersentak kaget, serunya: "Apa katamu ? Mengapa dia berada disini ?"

Ucapan In-nio itu telah diputus dengan dering suara dua batang pedang beradu. Menyusul terdengar Bik-hu berseru: "Mau apa kau hai, bangsat kecil!"

Mendengar itu pucatlah wajah Yak-bwe In-nio dengan sebat mencabut pedang mendorong jendela, terus loncat keluar. Terpisah sebuah rumah tampak ada dua sosok bayangan sedang bertempur diatas genting, Yang menghadap kearah sini, terang adalah Pui Bik-hu. Sedang lawannya karena berdiri membelakang, tak jelas siapa orangnya rasanya In-nio seperti sudah pernah tahu.

Tring, tring, sinar pedang berkelebatan dan Bik-hu kena didesak mundur oleh lawannya. Karena habis hujan, gentingpun licin dan hampir saja Bik-hu tergelincir. Tapi lawannya itu bukannya mendesak melainkan hentikan serangannya, berputar tubuh terus melesat pergi.

Waktu melihat jurus serangan yang dilontarkan orang itu, In-nio terkesiap kaget. Siapa lagi dia kalau bukan Toan Khik Sia? Membayangkan hal itu, In-nio tegak terpaku.

Mengapa Khik Sia dapat bertempur dengan Bik-hu. Hal itu ternyata terjadi secara kebetulan. Kamar yang ditempati Khik Sia itu termasuk kamar besar, dibagian tengahnya terdapat sebuah pintu, Khik Sia tahu juga kalau kedua orang Se-ik tadi bukan orang baik. Meskipun sudah memarahi Tiau-ing, tapi ia sendiri tetap berjaga2. Sampai tengah malam ia tak tidur melainkan duduk bersemadhi diatas ranjangnya. Lewat tengah malam, tiba2 ia mendengar dendang suara Yak-bwe. Terperanjat ia, terus loncat keluar memburu arah suara itu.

Disana Bik-hu pun juga menaruh kecurigaan terhadap kedua orang Se-ik tadi. Untuk menjagai sesuatu kemungkinan, siang2 ia sudah mendekam diatas wuwungan. Begitu tampak Khik Sia loncat keluar dengan gerakan yang sebat sekali, kuatir kalau tak dapat mengatasi, Bik-hu segera turun tangan lebih dulu. Begitu Khik Sia tiba didekatnya, ia segera menerjangnya dengan sebuah tabasan. Karena ilmu pedang Bik-hu itu berasal dari dua aliran, maka hebatnya bukan main. Hampir saja Khik Sia termakan. Terpaksa iapun segera mencabut pedang dan melayaninya. Begitu bertempur, keduanya sama tersentak kaget. Masing-masing sama mengagumi kepandaian lawan.

Tapi Khik Sia ternyata lebih unggul satingkat. Dalam jurus yang ketujuh, ia berhasil mendesak Bik-hu yang terpaksa mundur dan hampir saja tergelincir tadi.

Karena gerak geriknya diketahui orang Khik Sia menjadi tak enak. Pikirnya: "Kalau sampai ramai2, tak baik dilihat orang, Dengan dilihat orang. Sekalipun bertemu dengan Yak-bwe, tapi tak leluasa untuk bicara. Dan masih belum dapat dipastikan, apakah yang bersenandung tadi Yak-bwe atau bukan. Ah, lebih baik ku kembali kedalam kamar dulu, besok pagi biar kutemu mereka lagi."

Tapi lain Khik Sia lain Bik-hu, Kalau yang tersebut duluan hendak menyingkir, yang tersebut belakangan itu sebaliknya malah ngotot. Sejak keluar dari perguruan, yang baru pertama kali itu Bik-hu menderita kekalahan. Hal itulah yang membuatnya penasaran. Apa lagi saat itu In-niopun tampak keluar melihat. Dihadapan sang suci itu, lebih2 ia tak mau kehilangan muka. Maka segera ia membentak keras: "Hai bangsat kecil, apa maksudmu mengintip kemari ? Kalau tak mau bilang terus terang jangan harap ngacir pergi!" Sekali enjot kakinya, ia terus loncat menerjang dengan gerak engki-tiang-gong atau burung garuda melayang  diudara. Selagi masih melayang diudara ujung pedangnya sudah menusuk.

Serangan itu telah membuat Khik Sia marah. Ia tak kenal siap Bik hu itu dan apa hubungannya dengan Yak-bwe. Sudah tentu ia segan memberitahukan tentang keluarnya dari kamar tadi, seketika ia menegur: "Ah, rupanya suka usilan, karena saudara keliwat mendesak, apa boleh buat aku terpaksa melayani."

Lintangkan pedang, ia tangkis serangan Bik hu. Kali ini ia gunakan 8-9 bagian tenaga lwekangnya, Tubuh Bik-hu hanya tergetar tapi tak sampai jatuh. Cepat pemuda itu (Bik hu) menyusuli dengan jurus serangan kedua yakni hi siang-cian-te atau ikan menyelundup kedasar. Memang dalam hal lwekang, ia kalah dengan Khik Sia. tapi ilmu pedang yang dimainkan adalah ilmu pedang istimewa warisan dari Biau Hui sinni. Ilmu pedang itu mengutamakan pokok dengan kelemasan menundukan kekerasan, meminjam tenaga pukulan lawan untuk memukul lawan. Dengan kekalahannya yang tadi, kini Bik-hu makin berhati2. Saat itu mereka berdua bertempur diatas wuwungan rumah yang tak begitu licin seperti diatas genting tadi

Dingan begitu dapatlah ia mengatur keseimbangan kakinya lebih stabil. Tapi setelah berlangsung tiga jurus, kembali Bik- hu kalah angin. Hanya saja tidak serancu tadi, kini keadaan lebih baikan, dapat bertahan dapat pula menyerang.

"Pui sute, berhentilah, itu orang sendiri?" tiba2 In-nio berseru. Bik-hu tertegun, cepat ia menghindarkan kesamping, Khik Sia merasa kenal dengan nada suara itu, tapi pikirannya tak sampai pada dugaan kalau In-nio. Selagi ia hendak bertanya, se-konyong2 terdengar letusan. Dari kamar sebelah sana terpancar sinar api. Dalam pancaran sinar api itu tampak Su Tiau-ing loncat keatas genting dan bertempur dengan si thau-to. Gerakan thiu-to gesit sekali, tapi kena juga ia kecipratan dengan letikan api hingga ada beberapa bagian kulitnya yang terbakar.

"Siluman perempuan yang tak kenal selatan, disuruh minum arak manis tak mau minta arak kecut, bahkan kurang ajar berani membakar hud-ya." dengan marah2 sithau-to berseru seraya mencabut golok dan menabas Su Tiau-ing

Kiranya memang paderi itu hendak menculik Su Tiau-ing, Kebetulan saat itu Khik Sia sedang keluar hendak mencari Yak-bwe, jadi dengan leluasa dapatlah thau-to itu menghampiri kamar Su Tiau-ing. Ia tak mau membikin kaget orang, maka dilubanginya kertas jendela kemudian meniupkan dupa bius kehiang-ngo-hoan-hun hiang kedalam kamar,

Tapi ternyata Su Tiau-ing juga tangkas sekali. Begitu mencium bau yang mencurigakan ia segera bertindak, Kim- ciam liat-yan-tan itu berbentuk opal (bujur lonjong) dalamnya terisi obat peledak dan beberapa batang jarum bwe-hoa-ciam yang halus. Untung thau-to itu memiliki ilmu lindung kim- ciong-toh. Cukup melindungi bagian mukanya saja, jarum2 bwe hoa-ciam itu tak dapat menembus bagian tubuhnya. Tapi sekalipun begitu, bahan peledaknya meletus dan membakar juga kulitnya.

Dari dering adu senjata tadi, dengan kepandaiannya yang dalam dapatlah Khik Sia mengetahui bahwa Su Tiau-ing kalah unggul. Sewaktu api muncrat tadi. Su Tiau ingpun segera dapat melihat Khik Sia. Cepat ia meneriakinya : "Khik Sia, lekas kemari !"

Dalam saat seperti itu, Khik Sia tak sempat untuk mengamati siapa In nio itu, karena ia harus menolong Su Tiau-ing lebih dahulu. Tapi selagi Khik Sia loncat ketempat Su Tiau ing, hidungnya tiba2 tersampok dengan angin yang berbau amis. Ternyata sihidung besar, yakni kawan dari sitahuto, sejak tadi telah bersembunyi ditempat gelap. Begitu Khik Sia hendak membantu Su Tiau-ing. iapun cepat menerjang keluar dengan sebuah hantaman.

Dari angin yang amis itu. tahulah Khik Sia kalau sepasang tangan Orang itu beracun, Marahlah ia dibuatnya. Ia ambil putusan hendak memberinya pengajaran. Setelah menutup jalan darab, Khik Sia kerahkan lwekangnya daa menangkis pukulan beracun orang itu.

Tar, dua buah tinju saling beradu keras, racun yang terdapat ditelapak tangan sihidung besar itu tak dapat menembus tubuh Khik Sia, sebaliknya malah kena dipentalkan kembali. Hidung besar itu kembali gunakan ilmu Cian Kin Tui untuk menahan tubuhnya, namun tetap terhuyung huyung hendak rubuh.

Tiba2 saat itu Su Tiau-ing menjerit "aduh" seperti orang yang terluka, Khik Siapun tidak mau terlibat dengan sihidung besar itu lebih lama lagi. Cepat ia dorongkan tangannya ke- muka hingga sihidung besar itu sempoyongan tersurut mundur sampai keujung payon.

Untung kakinya dapat mengait tiang rusuk, sehingga tak sampai terpelanting jatuh.

Jeritan Su Tiau-ing tadi ternyata dapat menolong jiwa sihidung besar yang sudah di-ambang pintu akhirat. Karena jeritan itu maka Khik-sia lantas tinggalkan sihidung besar untuk menghampiri ketempat Su Tiau-ing. Co ba tidak begitu, tentu ia sudah memberi hajaran lagi pada hidung besar itu. Memang kepandaian hidung besar itu tetap kalah dengan Khik Sia. Racun yang sudah dikerahkan ditelapak tangannya tadi, kena ditampar balik oleh pukulan Khik Sia. Itu masih untung kalau hanya begitu saja, coba racun itu mengalir balik  kedalam tubuh terus menyerang jantungnya, dia pasti akan melayang jiwanya.

Khik Sia telah menghantam sekuat2nya tadi, tapi ternyata tak dapat menggulingkan si hidung besar. Hal ini membuatnya heran juga. Ternyata walaupun sithau-to itu pernah sulung, tapi kepandaiannya kalah dengan sute-nya sihidung besar itu. Saat itu sithau-to rasakan belakang batok kepalanya tersambar angin, buru2 ia hantamkan goloknya kebelakang. Tapi Khik Sia sudah mengisar, dan dengan jurus Kwan-ping hong-in atau juga Kwan Ping mempersembahkan cap. Tangan kiri dibuat menahan siku orang, sedang tangan kanan di buat mencengkeram pundaknya, tapi pada saat2 yang berbahaya bagi sithau-to itu, untung sihidung besar keburu datang. Secepat kilat orang itu segera menghantam punggung Khik Sia. Karena gangguan itu, Khik Sia terpaksa alihkan tangan kanannya untuk menyambut serangan sihidung besar, terlepas dari ancaman, sithau-to ber-putar2 beberapa kali, baru ia berdiri tegak sebaliknya dalam adu pukulan dengan sihidurg besar itu, Khik Sia menderita sedikit kekalahan dan terpaksa mundur tiga langkah.

Perangai thau-to itu amat berangahan sekali, selama mengembara, baru malam itu ia menderita kekalahan  ditangan Khik Sia, saking marahnya, ia sampai ber-kaok2 seperti babi hendak disembelih. Dan tanpa memperhitungkan bahwa tadi ia baru saja lolos dari lubang jarum, segera ia maju menyerang lagi.

"Tiau-ing, apakah kau terluka?" tanya Khik Sia.

"Tak mengapalah. Tapi hinaan itu, sukar ditebus Khik Sia, hajarlah mereka!"

Kuatir Khik Sia tak mau meluluskan, Su Tiau-ing kembali menguatkan alasannya. Mereka yang hendak mengganggu aku, bukan aku yang mencari perkara."

"Baik. kembalilah kedalam kamar. Aku dapat mengurus mereka, tak perlu kau turut campur urusan disini," sahut Khik Sia.

Khik Sia berganti siasat bertempurnya, seketika delapan penjuru penuh dengan bayangannya. Kedua lawannya itu segera merasa seperti didera oleh angin yang menampar kemukanya. Kiranya Khik Sia telah mengombinasikan ilmu gin- kang dengan pukulan yang penuh variasi perobahan, ia mengurung mereka rapat2 begitu ada kesempatan terus hendak menangkapnya hidup-hidupan.

Sebetulnya jika kedua orang Se-ik itu bersatu menghadapi Khik Sia, rasanya kekuatan mereka tak dibawah lawan. Tapi dikarenakan Khik Sia menggunakan ilmu gin-kang yang luar biasa pesatnya, ditambah dengan cuaca malam yang gelap dan genting yang licin karena habis turun hujan, mereka menjadi panik dan tak dapat mengembangkan cara bertempur secara bersama. Dikocok pergi datang oleh arus serangan Khik Sia yang ber-tubi2 datangnya dari empat penjuru, dalam beberapa saat saja, mereka berdua sudah kepayahan sampai matanya berkunang-kunang kegelapan sehingga dan  beberapa kali hampir saja menghantam kawan sendiri.

Sewaktu Khik Sia menegur Bik-hu tadi, In nio tak ragu lagi.

Tanpa terasa ia berseru

"Hai, kiranya benar Toan Khik-sia. Yak-bwe, Yak-bwe, kemarilah lekas !"

"Toan Khik Sia.? Ha, mengapa tadi2 kau tak mengatakan?" Bik-hu menanggapi dengan terperanjat.

Sebaliknya Yak-bwe hanya tertawa dingin: "Ci In, tak peduli dia itu siapa, tapi orang macam begitu aku tak menghiraukan lagi!"

Kiranya sejak tadi Yak-bwepun diam2pun sudah datang ketempat ramai2 situ. Jelas didengarnya pembicaraan Khik Sia dengan Su tiau ing yang penuh dengan kemesraan itu. Rasa cemburu telah melahirkan kemarahan yang menyala2 dihati Yak-bwe.

Pada saat itu tengah melancarkan jurus suan-kian-cuan- gun atau berputar2 mengelilingi dunia. Ia menyusup dan siapkan kedua tangannya kearah kedua lawannya itu. Tangan kiri menampar muka sihidung besar, begitu sang kaki mengisar, tangan kanannya segera menyambar tulang pi-peh dibahu sithau-to, Kalau memang serangan tangan kiri tadi hanya menggunakan tiga bagian tenaganya, adalah serangan lengan kanannya itu menggunakan tujuh bagian tenaganya. Maksudnya tak lain tak bukan yalah hendak mematahkan musuh yang lebih lemah, yaitu sithau-to.

Sebenarnya rencananya itu sudah mendekati berbasil atau tiba2 ia mendengar suara Yak bwe yang menyahut seruan In- nio tadi. Dalam hari2 yang terakhir ini, siang malam Khik Sia salalu memikirkan Yak-bwe saja. Bahwa pada saat itu ternyata Yak-bwe berada ditempat situ dan mengeluarkan kata2 yang begitu sinis, telah membuat Khik Sia tergetar hatinya. Pikirannya buyar dan kuda2 kakinyapun menjadi kacau.

Kembali kemenangan yang sudah didepan mata itu jadi buyar. Sebaliknya bagi sihidung besar itulah suatu kesempatan yang se-bagus2 nya. Baru mulut Khik Sia berseru memanggil "Adik Yak-bwe..." sihidung besar cepat mengirim sebuah tutukan berat kearah jalan darah ji-khi-hiat dipinggang Khik Sia. Khik Sia menggerung keras dan terus menghantam. Tapi ketika ia hendak mengejar sihidung besar ternyata gerak langkahnya sudah tak tetap lagi, malah pada lain saat tiba2 matanya terasa berkunang kunang. Sekali sang kaki menginjak tempat yang kosong, iapun segera terguling jatuh kebawah.

Sithau to cepat mengeluarkan sebuah hui-jai (besi bandringan), Tapi baru ia hendak menimpukkan kepunggung Khik Sia, tiba2 dari arah belakang terdengar suara membentaknya: "Bangsat, jangan kurang ajar." Aum senjata menyambar belakang batok kepalanya.

Sithau-to cepat tangkiskan goloknya kebelakang. Tangkisannya itu tepat membentur pedang dari penyerangnnya. Dan penyerangnya itu bukan lain adalah Yak- bwe. Ternyata walaupun marah, tapi dalam hatinya Yak bwe tetap menyintai Khik Sia. Dan karena cintanya itu maka setiap kali ia sampai salah faham. Begitu melihat Khik Sia kena sodokan sihidung besar, ia tahu kalau anak muda itu bakal celaka. Buru2 ia maju hendak menolongi tapi ternyata tetap terlambat, Khik Sia sudah terguling rubuh dan tak sampai melihat Yak-bwe.

Tapi pertolongan Yak-bwe itu juga tak sia sia. Karena harus menangkis kebelakang, timpakan sithau-to menjadi mencong, Hai-juinya tak mengenai Khik Sia jatuh ketanah, Thau-to dari Se-ik itu bertenaga besar. Dalam adu senjata tadi, Yak- bwepun telah merasakan pada tangannya kesemutan. Tapi demi mengingat keselamatan Khik Sia, Yak-bwe tak menghiraukan kesakitannya itu, dengan tahankan sakit, ia cepat kembangkan permainan pedang hui-ho at-ciu-tiap atau kembang beterbangan mengejar kupu2, Menusuk kekiri. menabas kekanan. Serangan yang satu belum selesai sudah disusul dengan serangan berikutnya, sehingga thau-to itu menjadi keripuhan.

Karena terus dicecer dengan serangan gencar akhirnya marah jugalah thau-to itu, bentaknya "Jangan mengandalkan sebagai pembesar lantas mau mengganggu agama, sekalipun raja, kami pun tak perduli."

Dengan geramnya, thau-to itu segera mengirim beberapa bacokan, selagi Yak-bwe tak kuat bertahan. In-niopun datang, kepandaian in nio lebih tinggi setingkat dari Yak-bwe, dengan mendapat bantuan In-nio, berhasillah kedua nona itu untuk mengatasi kegarangan sithau-to. Dipartai sana sihidung besar sedang menghampiri Su Tiau-ing. Dengan cengar-cengir, ia tertawa: "Nona Su, tak nanti kau mampu lolos. Apakah kau sungguh2 menampik arak wangi dan minta arak kecut? Ah, lebih baik kau serta merta ikut padaku saja"

Marahlah Bik-hu memlengar kekurang ajaran orang itu, dampratnya: "Kau mengandalkan apa berani menghina nona Su? Masih ada aku disini yang akan membeiantasmu!" Sihidung besar itu masih terpisah agak jauh dengan Su Tiau-ing. Bahwa ditengah jalan ia dihadang dan dimaki Bik-hu, hal ini membuatnya marah bukan kepalang. Tanpa berkata apa2, ia segera mengirim tabasan pedang.

Mengapa Bik-hu hendak membela Su Tiau ing? Ah, ternyata ia sudah salah faham. Dikiranya sihidung besar menyebut nona Su itu adalah Yak-bwe yang dimaksudkan, Bik hu tahu kalau Yak Bwe adalah caloa isteri dari Khik Sia. Bahwa tadi ia telah kesalahan berkelahi dengan Khik Sia itu, sudah membuatnya menyesal. Maka kali ini waktu sihidung besar hendak menangkap noaa Su, ia timbul pikiran hendak menebus dosa. Pikirnya: "Tadi Khik Sia hendak menjenguk bakal isterinya dan aku gegabah menyerangnya. Sungguh tak pantas tindakanku tadi. Sekarang aku harus melindungi Su sumoay dari gangguan orang. Orang hidung besar inilah yang melukai Khik Sia, jika aku dapat membalaskan kelak aku tentu ada muka berjumpa dengan Khik Sia."

Dengan keputusan mendirikan jasa untuk menebus dosa itu, pula untuk unjuk kegagahan dihadapan In-nio, maka ia segera menerjang sihidung besar itu dengan serangan pedang yang gencar.

Dalam penilaian kepandaian sihidung besar itu lebih unggul setingkat dari Bik-hu, tapi tadi ia habis adu pukulan dengan Khik Sia dan seketika ia memberi tutukan pada Khik Sia telah kena digetarkan oleh tenaga sin-kang dari tubuh Khik Sia sehingga tenaga dalamnya terluka sedikit. Maka dalam pertempuran dengan Bik-hu itu, ia hanya dapat bertahan saja atau berarti kalah angin dengan Bik-hu.

Mendapat pelajaran ilmu pedang dari dua tokoh yang kenamaan, permainan Bik-hu memang cukup mematahkan nyali lawan, ia kembangkan permainannya sedemikian rupa, sebentar gunakan jurus2 yang keras, sebentar mainkan jurus yang mengutamakan kelemasan. Dua corak permainan pedang dikombinasikan silih berganti dalam jurus2 yang penuh dengan perubahan yang sukar diduga, telah membuat si hidung besar kelabakan setengah mati. Sekali pun ia meyakinkan sepasang pukulan tangan beracun, tapi tak berdaya dilancarkan sehingga tak berguna sama sekali.

"Kau pernah apa dengan budak perempuan itu? Mengapa kau begitu membelanya mati2an?. Hm, kau tahu aku ini siapa

?"

"Tak peduli kau ini siapa, tapi jangan coba menghina pada kami!!" bedak Bik-hu.

"Pernahkah kau mendengar kebesaran nama Leng Ciu siangjin? Tahukah kau akan kelihayan partai Leng-san-pay ?" kembali sihidung besar tertawa mengejek.

Bik-hu hanya mendengus tak acuh, sahutnya: "Kutahu partaimu Leng-san pay itu mem punyai pengikut banyak dan pengaruh besar. Dengan mengandalkan perlindungan dari2 Leng Ciu siangjin, kalian lantas malang melintang kejahatan. Hm, sampai dimana kepandaian dari anak buah Leng-san-pay itu, dulu ketika di Gui-pok aku sudah pernah mengujinya!!"

Memang sejak tadi Bik-hu sudah menduga kalau kedua orang itu tentu anak buah Leng-san-pay. Ternyata dugaannya itu besar, hal ini menyebabkan ia tak berani ayal. Dengan menggunakan posisinya yang menguntungkan itu, ia menyerang lebih hebat. Pikirnya: "Ya, memang kaum Leng- san-pay itu tak boleh dimusuhi. Tapi sekali sudah terlanjur bentrok, satu2nya jalan ialah harus bertempur mati2an!"

Karena gelap, sihidung besar Itu, tak dapat melihat wajah Bik hu. Tapi demi mendengar Bik-hu mendengus, iapun membentaknya: "Apa katamu ?"

Bik-hu sudah terlanjur kerangsokan setan, iapun balas menghardiknya: "Aku sedang memastikan sampai dimana kelihayanmu itu !" Sret, sret, sret, tiga kali ia lancarkan serangan pedangnya dengan hebat, sihidung besar makin kelabakan sampai napasnya tersenggal2 dan tak dapat membuka mulut untuk bicara lagi.

Sementara disana, In-nio dan Yak-bwepun telah berhasil menindih sithau-to. Menghadapi serangan pedang dari kedua nona yang datang nya ber-tubi2 itu, sithau-to hanya dapat membela diri tak mampu balas menyerang lagi, dalam suatu kesempatan, Yak-bwe melirik kearah Khik Sia. Ternyata tunangannya lenyap dan ketika memandang kesekeliling penjuru ternyata si nona tadipun tak kelihatan bayangannya lagi. Tentu nona itu diam2 telah ngacir pergi. Yak-bwe makin meluap kemarahannya pikirnya: "Aku menghadang musuhmu, tapi kau diam2 mengurusi kecintaanmu."

Yang dimaksud dengan kau, yalah Su Tiau-ing. Berbareng pada saat itu, terdengarlah suara kuda meringkik. Suaranya ngeri, seperti kuda yang dipersakiti. Mendengar itu, si thau to meloncat dan menggembor keras. Yak-bwe gunakan kesempatan itu untuk mengirimkan tusukan dan berhasil melukai bahunya. Darah segar mengucur dari bahu thau-to itu. Masih untung tusukan Yak-bwe itu agak mencong sedikit sehingga masih terpisah setengah dim dengan tulang pundak korbannya.

Rupanya In-nio tahu isi hati Yak-bwe, tertawalah ia: "Yak- bwe, lekas tengok Khik Sia!"

Melihat sithau-to sudah terluka, Yak-bwe itu percaya kalau In-nio dapat mengatasi maka setelah menghaturkan terima kasih pada cicinya ia segera loncat keluar dari gelanggang, terus melayang turun, Ketika tiba dilapangan yang berada dimuka pintu hotel, dilihatnya nona tadi tengah memeluk Khik Sia hendak naik keatas kuda, yaitu kuda putih kepunyaan kedua orang Se ik tadi.

"Tunggu !" cepat Yak-bwe meneriaki, Tapi belum seruannya habis, nona itu tampak ayunkan tangannya menimpuk kim-ciam liat-yan tan, maka pecahlah letikan api dan melayang kearah Yak-bwe.

Yak-bwe tahu bahaya. Sembari putar pedang untuk melindungi tubuhnya, ia menghindar kesamping. Kembang api itu tak sampai mengenainya dan beberapa batang jarum bwe- hoa-campun kena dipukul jatuh. Tapi dengan gangguan itu, Yak-bwe tak berdaya untuk mencegah Su Tiau-ing yang saat itu sudah melarikan kuda putih dengan menggondol Khik Sia

Yak-bwe marah sekali. tiba2 terlintas dalam pikirannya: "Kedua ekor kuda orang Se-ik itu kuda pilihan semua. Setelah dibawa lari seekor, masih ada seekor lagi. Ah, mengapa tak kucuri kuda itu untuk mengejarnya. Benar kuda putih itu lebih hebat, tapi dengan membawa dua orang, tentu dapat kususul.

Setelah mengambil ketetapan Yak-bwe terus menghampiri istal kuda dan hendak melepaskan tali ikatan kuda itu. Tiba2 kuda bulu merah itu meringkik kesakitan. Suaranya makin lama makin lemah. Melihat Yak-bwe datang, binatang itu lantas menyepak2kan kakinya, tapi tampaknya lemah tak bertenaga. Sebelum dapat menyepak Yak-bwe, kuda itu sudah rubuh sendiri.

Yak-bwe cepat menyulut korek api. Astaga ternyata kelopak mata kuda itu complong tak berbiji mata lagi, Malah darahnya masih bercucuran keluar, Kiranya biji mata kuda itu telah dikorek orang, paha, kakinya juga luka tergurat2 senjata tajam sehingga sampai kelihatan tulangnya, Yak-bwe kaget dan gusar

"Hm, siluman perempuan yang ganas sekali. Mengapa Khik Sia bersama dengan ia ?” kata Yak-bwe dengan geram.

Apa boleh buat Yak-bwe tak dapat mengejar. Ia kembali kekamarnya. Ternyata kamar yang ditempati Khik Sia itu terdapat dua buah jendelanya, menandakan kalau kamar itu mempunyai dua buah ruangan. Salah sebuah ruangan masih belum padam lampunya. Ketika melalui disitu, Yak-bwe tertarik hatinya. Segera ia masuk kedalam. Disitu barulah ia mengetahui kalau kamar besar itu dipisah dengan sebuah pintu tengah. Dibawah yang terdapat pelitanya tadi, terdapat sebuah meja yang letaknya persis dimuka ranjang. Diatas meja itu dilihatnya ada beberapa tulisan huruf "Bwe" dengan air teh.

Dahulu ketika dikamar Tian Seng-su, ia pernah melihat tulisan Khik Sia pada surat ancaman yang ditujukan pada ciat- to-su itu. Maka sekali lihat, tahulah ia bahwa tulisan air teh pada meja itu adalah buah tangan Khik Sia. Ia duga ketika Khik Sia coret2 dimeja itu, tentulah si nona kawannya itu (Su Tiau-ing) tak berada disitu. Kalau tidak, masakan Khik Sia sampai lupa diri (melamun) begitu rupa.

Seketika timbullah pertanyaan dalam hati Yak-bwe: "Ah, ia selalu mengenangkan diriku sedemikian rupa, tapi mengapa bergaul begitu akrab dengan nona itu ? Apakah terdapat apa2 didalamnya ?"

Memikir pada hal itu. redalah amarahnya. Adalah ketika Yak-bwe sedang menimang2 dalam kamar, diatas rumah pertempuran telah mencapai klimaks yang menentukan. Dengan gunakan seluruh tenaganya, sihidung besar lontarkan sebuah pukulan sehingga seketika itu timbullah desus angin yang berbau amis Bik-hu merasa mau muntah, karena kuatir kena pukulan beracun, baru ia sedikit mengisar sehingga gerakan pedangnyapun agak kendor. Sihidung besar mendapat kesempatan bernapas lalu buru2 bertanya: "Apa katamu tadi ? Kau pernah bertempur dengan anak murid Leng-san-pay di Gui-pok ?"

"Ya apa kau hendak menuntut balas bagi mereka? Yang melukai mereka adalah aku, bukan nona Su!"

"Kau keliru, berhentilah!" teriak sihidung besar.

Bik-hu berada ditempat gelap. Kuatir kalau orang hendak membokongnya dengan pukulan beracun, ia tidak berani hentikan serangannya. Tapi ia merasa bersangsi juga dengan kata2 sihidung besar itu. Maka ia hanya batasi serangannya dengan bertahan diri saja dan tak menyerang, untuk memberi kesempatan bicara pada orang.

Berkata hidung besar: "Suteku itu juga keliru, ia hanya hendak menangkap budak perempuan she Su itu saja."

"Huh, beberapa kali kalian selalu hendak menyusahkan nona Su, mengapa mengatakan aku keliru?" Bik-hu mendamperatnya.

Srettt, kembali ia lancarkan serangan. Karena sihidung besar iiu sudah kehabisan tenaga, maka tidak dapat ia menangkis. Lengan kirinya kena termakan ujung pedang sampai terluka panjang.

Cepat2 hidung besar itu loncat keluar beberapa langkah. Sebenarnya ia marah sekali dengan Bik-hu, tapi karena tenaganya sudah habis dan kuatir kalau Bik-hu menyerang lagi, terpaksa ia telan kemarahannya dan segera berseru: "Ya kami yang salah. Aku sudah tahu sekarang. Bukankah kawanmu perempuan yang menyaru lelaki itu orang she Su?"

Sambil bolang balingkan pedangnya Bik-hu maju menghampiri dan membentaknya: "Bagaimana ? Apakah dengan menyaru lelaki itu dia menyalahi kau ?"

Dengan menahan kemarahan. Sihidung besar menyahut; "Kawanmu perempuan itu bukan budak she Su yang kami maukan, jelaskah kau ? Kami salah faham, kau salah wesel!"

Bik-hu tertegun, pikirnya: "Kalau begitu benar2 salah faham

!" Baru ia berpikir begitu sihidung besar menggunakan kesempatan itu untuk loncat dua tombak jauhnya dengan gerak kim-li-joan-bo atau ikan lehi menyusup ombak. Setelah terlolos dari lingkaran ancaman pedang Bik-hu, ia berada disebelah In-nio Se-konyong2 ia menghantam In-nio. Walaupun tenaga sihidung besar itu sudah berkurang sampai separoh tapi serangan mendadak itu tak diduga sama sekali oleh In-nio. Hampir saja In-nio celaka dengan pukulan beracun. Tapi untung ginkang atau ilmu meringankan tubuh dari In-nio itu hebat. Begitu membau angin amis, segera ia loncat kesamping. Tapi sekalipun begitu tak urung kepalanya terasa pusing, mata berkunang-kunang dan tubuhnya ter- huyung2 mau rubuh.

Melihat itu buru2 Bik-hu menghampiri, sebaliknya sihidung besarpun sudah lantas loncat turun dan melarikan diri. Bik-hu tak sempat mengejarnya karena perlu menolong In-nio, ia tanya: "Suci, bagaimana keadaanmu?"

In-nio menghembus napas, sahutnya: "Tak apa, tidak kena racun!"

"Saat itu dari kejauhan terdengar suara sithau-to berseru: "Bagus, budak kecil, kau berani cari perkara dengan Leng-san- pay, lihat saja nanti."

In-nio tertawa getir, ujarnya: "Ah, tak nyana secara semberono kita telah mengikat permusuhan dengan orang Leng-san-pay."

"Tapi bukan kita yang bersalah. Jikalau sudah dianggap bermusuhan, terserahlah, pada mereka!" bantah Bik-hu.

In-nio tertawa: "Kesalahan ini terjadi secara kebetulan sekali. Ayuh, kita tengok apakah Su sumoay kita itu sudah dapat mencari si nona Su itu!"

Ketika loncat turun, In-nio melihat penerangan dikamar kelas satu yang ditempati Khik Sia tadi masih belum padam. Dari kertas jendela tampak bayangan seorang gadis. Tahu kalau gadis itu tentu Yak-bwe, In-nio mengira kalau Khik Sia tentu dibawa Yak-bwe kedalam kamarnya, pikirnya: "Bagus sekarang kita sudah berkumpul lagi, tetapi mana si nona she Su itu?" In-nio tak mau mengganggu Yak-bwe. tapi baru ia hendak menyingkir ternyata Yak-bwe sudah mengetahui dan memanggilnya masuk. Bik-hu pun hendak ikut masuk tapi dicegah oleh Yak-bwe: "Pui Suheng, tolong kau jaga diluar dulu, barangkali masih ada musuh yang akan datang."

Bik-hu tertegun, pikirnya: "Ah, aku ini benar2 tolol. Toan Khik Sia sudah didalam, mengapa aku ter-buru2 hendak menjumpainya?"

Kiranya Bik-hupun berpendapat bahwa Khik Sia telah ditolong dan dibawa masuk ke kamar oleh Yak-bwe, maka tadi ia buru2 hendak menjumpainya dan menghaturkan maaf atas perbuatannya tadi. Siapa tahu ternyata Yak-bwe hendak bicara empat mata dengan In nio maka ia cegah Bik-hu turut masuk:

"Mana Khik Sia?" demikian kata2 yang pertama meluncur dari mulut In-nio ketika ia masuk kedalam kamar dan tidak melihat anak muda itu.

Yak-bwe kerutkan alis dan berkata dengan geram: "Nona siluman itu telah melarikannya!"

In-nio tersentak kaget, serunya: "Ai, celaka, mengapa mendekam didalam kamar saja?"

Setelah mendengar derap kaki Bik-hu sudah jauh, barulah Yak-bwe membisiki In-nio supaya datang dekat kepadanya.

Ketika In-nio lihat tulisan "bwe" dengan air teh diatas meja, ia tertawalah: "Ha, jangan kuatir, hatinya hanya terisi kau, nona siluman itu tak nanti dapat merampasnya!"

Wajah Yak-bwe menjadi merah dadu. Ia hapus tulisan air teh itu, katanya: "Tak mengerti aku, kalau toh hatinya tetap padaku, mengapa ia bergaul rapat dengan nona siluman itu? Ya, kawan seperjalanan dan tinggal sekamar!"

In-nio tertawa: "Kau sendiri toh juga menginap beberapa malam dirumah keluarga Tok ko?" Dari merah dadu wajah Yak-bwe menjadi merah bara, serunya dengan sengit: "Kemana tujuan kata2mu itu? Aku berbuat secara terang terangan, ya, batang pohon yang lurus tak takut mempunyai bayangan yang doyong!"

"Kalau ada orang yang mencurigai kau, kau marah tidak ?" tanya In-nio.

"Jika ada orang semacam itu, dia adalah orang yang bermentalitet rendah, tapi coba2 hendak menilai orang lain," sahut Yak-bwe dengan murka.

"Itulah, jika lain orang mencurigaimu, kau katakan dia itu orang rendah metalietnya. tapi mengapa kau seenaknya sendiri menuduh Khik Sia yang bukan2 ?"

Kini tersadarlah Yak-bwe, katanya: "Oh, kiranya kau mengukur diriku untuk menilai dia.."

"Bukankah kedua perbandingan itu tak berbeda ?" tanya In-nio.

Setelah merenung sejenak, berkuranglah cemburu Yak- bwe. namun tetap ia membantah: "Masalahnya memang sama, tapi orangnya berlainan. Tok-ko U seorang kun-cu, seperti langit dengan bumi bedanya dengan siluman perempuan kawan Khik Sia itu, ia mengangkat Khik Sia dinaikan kuda, kusuruh berhenti, bukannya menurut malah melepaskan senjata rahasia padaku !" Ia lalu menceritakan kejadian tadi.

"Bukankah Khik Sia masih tak ingat diri?” tanya In-nio. "Tampaknya begitulah," kata Yak-bwe.

"Kalau begitu Si nona siluman itu yang salah, bukan Khik Sia," kata In-nio. Katanya lebih jauh: "Ucapanmu tadi memang tepat batang pohon yang lurus tak takut mempunyai bayangan yang condong. Asal Khik Sia itu seorang kun-cu sejati, itu sudah cukup. Memang urusan didunia itu sering2 diluar dugaan dan sukar dimengerti orang. Misalnya kau beristirahat merawat lukamu dirumah Tok-ko U, adalah salah sebuah contoh. Masakan kau tahu hal2 yang sebenarnya dalam hubungan Khik Sia dengan nona siluman itu? Turut pendapatku, Khik Sia hanya mencurahkan hatinya kepadamu, maka seharusnya kaurun harus menaruh kepercayaan kepadanya."

Setelah mendapat penjelasan dari In-nio, walaupun masih menaruh sedikit keraguan, namun kemarahan Yak-bwe sudah reda. Sebagai gantinya, kini ia malah menaruh kekuatiran akan keselamatan Khik Sia.

"Entah bagaimana lukanya itu, berat atau tidak, ya? Didalam tangan siluman perempuan itu, aku sungguh tak tega. Ah mengapa ia bergaul dengan bangsa perempuan siluman begitu?" katanya.

In-nio tertawa: "Jika tak tega, Satu2nya jalan hanyalah kalau kau lekas mengejarnya ke Tiang-an. Temui Khik Sia dan tanyalah padanya dengan jelas. Karena mereka menginap dihotel ini. tentulah tujuan mereka akan ke Tiang-an untuk hadir dalam pertemuan Eng-hiong-tay-hwe Lwekang Khik Sia cukup tinggi, rasanya dengan hanya sedikit luka itu tentu takkan sampai membahayakan jiwanya."

"Tapi aku tetap merasa heran. Jelas kulihat habis terpukul oleh sihidung besar, ia masih punya tenaga untuk balas memukul. Tapi anehnya, ketika dipondong oleh siluman perempuan itu, ya hanya terpaut sepeminum teh la manya, tapi ia malah dalam keadaan pingsan." kata Yak-bwe.

"Oh, itu mudah saja, ketika Khik Sia terluka, si nona siluman lantas menutuk jalan darahnya sekali." sahut In-nio.

"Ganas benar siluman perempuan itu, entah apakah ia hendak mencelakai Khik Sia?."

In-nio tertawa lagi: "Jangan kuatir, nona siluman itu takut kau nanti merampas Khik Sia dan sebaliknya kau kuatir ia akan teledor merawat Khik Sia." Yak-bwe sedih sekali hatinya, ia kuatir jangan2 Khik Sia akan jatuh dalam buaian si nona siluman tapi sebaliknya iapun berharap semoga nona siluman itu merawat Khik Sia dengan baik.

"Siapa? Lekas unjukkan diri !" tiba2 In nio dan Yak-bwe dikejutkan oleh teriakan Bik hu yang berada diluar kamar,

Dengan sebat kedua nona itu meleset keluar dilihatnya Bik- hu sudah meringkus seseorang. Orang itu meratap minta ampuu: "Akulah Tay ong ampunilah jiwaku !"

In-nio tertawa cekikikan sebaliknya Yak-bwe lantas menegur: "Pui suheng, mengapa kau ringkus pengurus hotel

!"

Kiranya ramai2 diatas rumah tadi telah membangunkan para tetamu yang menginap di hotel situ, mereka kira kalau kedatangan kawanan perampok, maka mereka sangat ketakutan dan sama bersembunyi dan tak berani bersuara. Sebenarnya ciang-kui itu juga ketakutan, tapi sebagai pemilik hotel itu, setelah suara ribut2 tadi berhenti, ia beranikan diri keluar melihat2. Tahu2 ia diringkus Bik-hu.

Setelah mengetahui kekeliruannya, Bik-hu pun geli juga, segera dilepaskannya ciang-kui itu, katanya: "Aku bukan perampok, perampoknya sudah dihajar lari !"

"Tetamu yang menempati kamar kelas satu ini mengejar penjahat mereka adalah kedua orang Se-ik itu. Karena mungkin tamu dikamar kelas satu itu tak kembali lagi, maka bagaimana dengan uang rekening mereka, apakah sudah dibayar ?" nyeletuk Yak-bwe.

Rasa takut siciang-kui menjadi berkurang ujarnya: "Memang kedua orang Se-ik itu buas sikapnya, telah kuketahui mereka bukan orang baik, dan ternyata benar bangsa perampok. Banyak terima kasih atas bantuan tay-jin sekalian yang telah melindungi hotel ini, tetamu dikamar kelas satu ini, sungguh baik sekali, rekeningnya sudah dibayar oleh si nona, malah kembalinya masih belum kuberikan padanya !"

Ciang-kui itu menyulut korek. Dilihatnya atap rumah terdapat beberapa lubang. Ia mengeluh panjang pendek,

"Yak-bwe, simpanan uangmu bolehlah digunakan," kata In- nio.

"Yak-bwe menerangkan bahwa kim-tau (emas perongkol) yang dibekalnya tinggal tak seberapa jumlahnya karena sebagian besar sudah ditukarkan dengan perak. Ia mengambil dua biji kim-tau dan seuntai petak yang beratnya 10 tahil, katanya: "Ini emas murni, jangan takut. Selain ini kutambahi pula dengan seuntai perak, nah cukup tidak untuk membikin betul kerusakan atap rumahmu ini ?"

Yak-bwe tak tahu nilai uang, sekali ambil dikeluarkannya emas dan perak, hal itu membuat ciang-kui melonjak kaget, tetapi sebagai pengusaha hotel yang terletak dikota yang menuju kekota raja. hotelnya itu tergolong hotel kelas satu, banyak kaum saudagar dan orang hartawan yang menginap disitu. Oleh karena itu, pengalamannya luas. Sekali dilihat, tahulah ia kalau kim-tau itu memang emas murni. Pikirnya: "Untuk membikin betul kerusakan atap yang rusak itu, seuntai perak itu cukup banyak, apalagi ditambah dengan dua biji emas, ah, aku benar2 ketimpah rejeki besar dari langit."

Dengan ber-seri2 girang disambutnya pemberian Yak-bwe itu dengan ucapan terima kasih yang tak terhingga.

Saat itu sudah hampir terang tanah, In-nio segera ajak Yak-bwe lekas berangkat, Yak-bwe amat bersyukur sekali terhadap cici In-nionya yang selalu memikirkan kepentingannya itu. Demikian mereka segera tinggalkan hotel itu, selama dalam perjalanan menuju ke Tiang-an, Yak-bwe tampak bermuram durja.

Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Khik Sia. Memang apa yang diduga In-nio itu tak meleset. Ketika Khik Sia jatuh dari atas genting, Su Tiau-ing segera menolongnya, dalam kesempatan itu, Tiau-ing menutuk jalan darah Khik Sia supaya pingsan. Setelah itu ia segera mencuri kuda putih milik sithau- to untuk melarikan Khik Sia.

Kuda putih itu memang bukan kuda sembarangan kuda. Dalam beberapa kejab saja, bin tang itu sudah lari sampai empat lima puluh li. Saat itupun baru terang tanah. Pikir Tiau- ing: "Rasanya tak mungkin budak perempuan itu mampu mengejar lagi. Hm, dengan kubawa Khik Sia, budak perempuan itu tentu kelabakan."

Disebelah muka tampak sebuah hutan. Di sinilah Tiau-ing menurunkan Khik Sia dan di bawa masuk kedalam hutan, lalu dibuka jalan darah yang tertutuk.

Begitu membuka mata, dalam keadaan yang masih limbung, Khik Sia segera menarik tangan Tiau-ing, serunya: "Adik Bwe!"

Tiau-ing melengking tertawa, serunya: "Maafkan, aku bukan adik Bwemu itu. Lihatlah aku ini siapa ?"

Khik Sia tenang semangatnya, barulah ia ketahui kalau yang dihadapannya itu Su Tiau ing, dengan tersipu2 merah mukanya, ia segera melepaskan cekalannya.

"Mengapa aku ada disini? Apakah disini hanya ada kau sendiri?"

"Dengan siapa lagi, ha? Kau kira adikmu Bwe itu akan ikut kemari?" sahut Tiau ing.

"Tadi karena mendengar suaranya, hatiku tergetar maka sampai jatuh kebawah. Saat itu kulihat ia lari menghampiri kepadaku. Mengapa, apakah kau tak melihat dia?"

"Dia, dia apakah si 'dia' yang kau maksud kan itu adalah orang banci yang kau sebut adik Bwe itu?" teriak Tiau-ing. Karena kepingin tahu bagaimana keadaan Yak-bwe, terpaksa Khik Sia sabarkan diri, ujarnya: "Ya, benar. Dia adalah nona Su yang pernah kukatakan padamu. Dan yang satu adalah taci misannya, nona Sip. Mereka berdua sering berkelana didunia persilatan dan gemar menyaru menjadi orang lelaki. Ketika aku terluka, bagaimana dengan mereka? Mengapa dalam saat2 yang genting itu, kau tutuk jalan darahku?"

Tertawalah Su Tiau-ing. "Kau benar2 tak mau berpikir. Setelah menderita luka beracun, apakah pikiranmu masih sadar ? Apalagi ketika itu musuh segera memburu, kecuali membawamu lari bagaimana aku harus bertindak ? Kututuk jalan darahmu supaya engkau dapat tidur jangan merasakan kesakitan lagi. Hm, tak kira sebaliknya kau malah menyesali alu."

Khik Sia seorang ahli silat. Saat itu diam2 ia salurkan darah. Didapatinya Su Tiau-ing telah gunakan ilmu tutuk yang lihay untuk mencegah menjalarnya racun, yaitu dengan menutuk jalan darah dibagian dada. Cara tutukan itu memang dapat mencegah mengalirnya racun kebagian jantung, tapi orang yang ditutuk tak sampai menderita apa-apa.

Khik Sia haturkan terima kasih kepada Su Tiau-ing, namun dalam hatinya tetap timbul pertanyaan: "Oh, kiranya ilmu silat Tiau ing itu jauh dari apa yang kuduga. Ternyata ia juga mahir dalam ilmu tutuk."

"Kalau begitu apakah nona Su dan nona Sip itu sudah bertempur dengan musuh kita? Dia, ya, apakah dia tak mengejarnya?" tanya Khik Sia. Dari pertanyaan itu teranglah kalau Khik Sia menaruh perhatian khusus terhadap Yak-bwe.

Tiba2 Tiau-ing menghela napas, ujarnya: "Sayang kasihmu kasihmu yang kau tumpahkan secara mati2an kepadanya itu, telah dianggap sepi olehnya. Dia telah memakimu, tahu tidak kau?" "Ya, kudengar juga. Tapi pada saat aku terluka, jelas kulihat dia lari menghampiri ke tempatku," sahut Khik Sia.

Tiau-ing tertawa ejek : "Benar ia memang menghampiri, tapi tahukah kau apa tujuannya!"

"Apa tujuannya itu ?" tanya Khik Sia dengan serentak.

"Ia datang karena hendak menimpukkan sebatang bwe- hoa-ciam padamu ."

Khik Sia tersentak kaget : "Benarkah itu ?"

"Apakah aku pernah berbohong padamu?" sahut Tiau-ing dengan yakin. Lalu melanjutkan ceritanya pula : "Untung saat itu aku sudah mengangkatmu keatas kuda, ya, kuda milik sithoau-to yang kucuri. Dengan begitu bwe hoa-ciam tak kena dan iapun tak dapat mengejar kita ."

Khik Sia tergoyah pikirannya namun ia masih kurang percaya, pikirnya : "Apakah ia masih mendendam padaku ?" Pikirnya segera melayang kembali kegedung keluarga Tok-ko. Ya, ketika itu Yak-bwe dan kakak beradik Tok ko telah mengerubuti dirinya. Renungan itu telah menambah besar kesangsian Khik Sia terhadap Yak-bwe.

Kembali Tiau-ing menghela napas dalam, ujarnya : "Ah, aku sungguh turut perihatin padamu. Coba pikirkan, ia bersikap begitu kepadamu, apa katamu jika kelak kau berjumpa padanya?"

Sebenarnya Khik Sia sudah gundah hatinya dengan keterangan itu. Dengan ditambah bumbu yang begitu sedap sekali, makin terantulah hati Khik Sia dalam lautan kepiluan.

Demi melihat Khik Sia tertegun seperti patung dan pucat lesi, terkejutlah Tiau-ing. Buru-buru ia menghiburnya : "Khik Sia, jangan berduka, lapangkanlah hatimu."

Tadi karena kuatir Khik Sia masih terkenang akan Yak bwe. maka telah merangkai cerita untuk meretakkan perhubungan antara pemuda itu dengan Yak-bwe. Tapi demi melihat Khik Sia seperti orang yang kehilangan semangat diam2 Tiau-ing menyesal, pikirnya: "Celaka, sungguh tak kira kalau sedemikian besar kasihnya kepada nona Su itu. Omonganku malah sebaliknya telah membikin sedih hatinya. Saat ini ia masih menderita luka, jangan sampai perasaannya tergoncang." Terbit pertentangan dalam batin Tiau-ing. Sebenarnya ia hendak menceritakan saja kejadian yang sebenarnya, tapi lain perasaannya lagi menguasai batinnya, jangan setelah Khik Sia ngerti duduk perkara yang sebenarnya lalu tak mau memperdulikan dia (Tiau-ing) lagi. Hatinya bimbang tak dapat mengambil putusan.

Sebenarnya separoh bagian yang terakhir dari cerita Tiau- ing tadi, Khik Sia tak menaruh perhatian karena saat itu pikirannya melayang2: "Ya, benarlah, memang Yak bwe masih mendendam padaku. Apalagi kini ia telah punya pilihan lain, apalagi kelak bertemu padanya, apakah yang akan kukatakan lagi?"

Huak, tiba2 ia menguakan muntah darah. Luapan kesedihannya telah menggelorakan darahnya. Tiau-ing menjadi sibuk sekali, pikirnya dengan keraskan hati: "Lebih baik ia benci padaku, asal jiwanya tertolong. Karena keadaan menjadi begini rupa, lebih baik baik kukatakun padanya sajalah ."

Ia menghampiri perlahan2 menarik tangan Khik Sia. Dengan suara lembut yang gemetar ia berkata: "Khik Sia, janganlah berduka. Dengarkanlah keteranganku "

Tiba2 Khik Sia mengangkat kepalanya dan menukas,  "Benar kata2mu itu memang benar. tak usah kau menasehati lagi aku sudah dapat mengerti sendiri. Kuharap semoga ia berbahagia, agar hatikupun menjadi tentram. Sejak saat ini tak mau aku cari kesusahan lagi. Baiklah, anggap saja aku tak pernah berkenalan dengannya ." Setelah memuntahkan darah, perasaan hati Khik Sia terasa longgar. Apalagi setelah pikirnya dibulatkan, pikirannyapun menjadi tenteram. Sudah tentu Su Tiau-ing menjadi girang, pikirnya : "Untung aku belum terlanjur menceritakan hal yang sebenarnya."

"Ya, jangan putus asa. Dunia bukan se-daun kelor, bukan hanya ada seorang nona Su itu saja. Karena ia tak cinta padamu, mengapa kau menyiksa dirimu sendiri ?  Kesehatanmu adalah yang terpenting. Nanti setelah lukamu sembuh kita bicarakan lagi. Aku mempunyai obat penawar racun, tapi entah dapat digunakan atau tidak," kata Tiau-ing.

Tapi Khik Sia menolak dengan mengatakan bahwa lukanya keracunan itu tak berat jadi tak perlu obat penawar. Segera ia duduk bersila untuk menyalurkan lwekang. Racun itu berasal dari luka yang terdapat pada jalan darah lau-kiong-hiat ditelapak tangannya. Tapi setelah ditotok oleh Tiau-ing, racun itu hanya sampai disiku lengannya saja. Begitu jalan darahnya dibuka, racun itupun menjalar naik lagi, tapi untung belum mencapai kebagian bahunya.

Dengan ilmu Iwekangaya yang tinggi dalam beberapa saat saja yang setelah ubun2 kepala Khik Sia mengeluarkan asap, dapat mengalirkan racun itu kebawah lagi. Lewat sepenyulut dupa, racun itu dihalau sampai ketelapak tangan pula.

Kala itu sudah fajar. Mataharipun mulai pancarkan sinarnya diantara lebatan daun pohon yang rindang. Hawa pagi sejuk nyaman dan perasaan hati Tiau-ing menjadi riang gembira. Pikirnya: "Ia, sebentar lagi, racun tenru sudah dapat diusirnya. Setelah lukanya sembuh baru nanti dengan pe-lahan2 akan kuhibur luka hatinya."

Tiba2 kegirangannya itu dipecahkan oleh derap kaki kuda yang gemuruh suaranya. Rupanya ada belasan ekor kuda yang berlari datang.

Ah, lagi 2 datang gangguan..... Su Tiau-ing terkejut, pikirnya: "Khik Sia sedang berkutetan menyelesaikan penyaluran lwekangnya. Kalau yang datang itu musuh, bagai mana nanti?"

Tepat pada pikirannya membayangkan hal itu, sekelompok orang menyelusup masuk kedalam hutan dan  mengepung Khik Sia dan Tiau ing, ketika itu Tiau-ing dapatkan pengepungnya itu tak kurang dari tiga belas Orang banyaknya. Dan astaga, sithau-to sihidung besar juga ada. Kiranya kedua orang itu telah mengajak kembrat2nya untuk mengejar Tiau ing.

Seorang paderi yang memakai jubah warna merah kudengar berkata: "Apakah nona itu adik perempuan dari Su Tiau-gi? Apa kau tak keliru."

"Kali ini pasti tak keliru" sahut sihidung besar. "Siapa anak muda itu ?" tanya paderi itu pula,

"Entahlah, tapi ia liehay sekali. Untung telah kuberinya hantaman hingga ia tak dapat berlari lagi," sahut sihidung besar dengan bangga.

Si paderi hanya mendengus, ujarnya: "Hm, sekali keluar kalian2 sudah mencemarkan kewibawaan partai Leng-san-pay, tapi masih berani buka mulut."

Dampratnya itu telah membuat sihidung besar dan sithau- to menjadi merah padam dan tak berani bercuit lagi.

"Kutahu siapa anak muda itu. Dia bernama Toan Khik Sia, sute dari Gong-gong-ji." kata salah seorang rombongan pendatang itu, yakni seorang hwshio yang berdaun telinga besar, hweshio inilah yang ketika diwarung anak di Gui-pok telah keliru menyangka Su Yak-bwe sebagai Su Tiau-ing.

Leng-san-pay telah mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mengejar jejak Su Tiau-ing. Dan kebetulanlah mereka berjumpa ditempat situ. Setelah mendapat hajaran, sihidung besar dan sithau-to melarikan diri. Ditengah jalan mereka berpapasan dengan rombongrn gerombolannya. Sihidung besat dan sithau-to segera diajak untuk mengejar Tiau-ing. Demi mendengar keterangan tentang diri Khik Sia, si paderi itu tampak tertegun, ujarnya: "Oh, kiranya sute dari Gong-gong- ji. Baiklah, jangan hiraukan dia, cukup asal meringkus budak perempuan itu saja," Dari kata2nya itu terdengarlah kalau paderi jubah merah itu menaruh perindahan terhadap Gong- gong-ji.

"Tapi bagaimana dengan kedua budak perempuan yang menyaru jadi opsir dihotel itu?" tanya si hweshio telinga besar.

Kembali si paderi jubah merah mendengus; "Karena membikin ribut2 Gui-pok, kau tentu mendapat pil pahit dari kedua nona itu bukan?"

Hweshio telinga besar itu menyahut dengan berbisik: "Ji- suheng memang telah kuakui bahwa akupun telah keliru dengan menyangka orang. Tapi tadi Jit-suheng mengatakan bahwa kemungkinan kedua anak perempuan itu adalah kawan dari budak perempuan ini. Apalagi bila sampai tersiar bahwa anak buah Leng-san-pay dihajar oleh dua anak perempuan, bukankah memalukan ?"

Dikilik begitu, akhirnya sipadri jubah merah itu mau juga meluluskan . "Baiklah, kau kembali mencegat mereka. Hm, jika bukan memandang nama baik partai kita, masakah aku sudi mengurusi urusanmu yang tak berguna itu ?"

Rupanya rombongan pengepung2 dari Leng san-pay itu, menganggap Khik Sia dan Tiau-ing sebagai ikan yang telah masuk kedalam jaring. Mereka tak mau buru2 turun tangan. Padri jubah merah itu adalah murid kedua dari Leng Ciu- sianjin. Karena toa-suhengnya tak mau keluar. maka terpaksalah ia sebagai suheng yang kedua, memimpin rombongan. Setelah cukup memberi dampratan pada sute2nya. Barulah ia mulai mengurusi Su Tiau-ing. "Nona Su, aku telah menerima perintah dari kakakmu dan raja suku Ki untuk mengantar kau pulang. Harap nona suka menurut saja. Kalau sampai kita didesak turun tangan, ah, sungguh tak menyedapkan pandangan." katanya.

Sejak mengetahui siapa pengepungnya itu diam2 Su Tiau- ing sudah merancang siasat untuk menghadapi mereka. Tiba2 ia tertawa: "Oh, kiranya kalian adalah anak murid Leng-san- pay? Kalau begitu, kita ini bukan orang luar. Suhuku Sin Ci- koh dan Leng Ciu siangjin adalah sahabat."

Ucapan itu telah membuat anak murid Leng sin-pay gelanggang. Ada beberapa orang yang saling berbisik mengatakan kalau Tiau-ing itu tak boleh dibuat main2. Gerak gerak gerik mereka itu tak luput dari pengawasan Tiau-ing. Pikirnya: "Dengan Gong gong-ji saja kalian tak berani, apalagi dengan suhuku, masakan kalian tak lekas ngacir."

Diluar dugaan si paderi jubah merah tadi mengerut gelap, katanya: "Memang telah kuketahui siapa suhumu itu, tapi jangan harap dapat menakuti aku!"

Jawaban itu telah membuat Tiau ing terbeliak kaget. Tapi ia teguhkan nyalinya dan tertawa dingin; "Baiklah, siapa yang berani turun tangan tangan silahkan maju! Tapi asal suhuku mengetahui, jangan harap kalian ada yang bisa hidup lagi!" .

Masih Tiau-ing coba menggunakan nama suhunya untuk menggertak mereka. Dan memang ada beberapa anggauta rombongan yang ketakutan.

Tapi si paderi jubah merah itu cepat memberantas ketakutan sutenya : "Urusan itu seluruhnya menjadi pertanggungan jawab toa-suheng kita. Ayuh, jangan takut meringkusnya!"

Karena tadi dihotel sihidung besar dan si thau-to telah mendapat hinaan dari Khik Sia dan Tiau-ing kemudian mendapat dampratan dari ji-suhengnya pula, maka mereka hendak unjuk pahala untuk menebus dosa. Serempak kedua orang itu loncat maju menerjang Tiau-ing.

Tiau-ing cepat mencabut pedang Khik Sia dan menghadang dimuka anak2 muda itu.

"Nona Su, tadi dengan tak sengaja kami telah melukai kekasihmu itu. Janganlah nona coba melindunginya lagi tapi ikutlah pulang dengan kami", kata sihidung besar.

Dari jarak tiga meteran, sihidung besar itu telah dorongkan kedua tangannya kearah Tiau ing. Seketika Tiau-ing seperti terdampar oleh angin kuat hingga tubuhnya ter-huyung2 menyurut mundur dua langkah dan berada debelakang Khik Sia.

"Tak nanti kau dapat melindunginya, pun dia tak nanti dapat melindunginya ,"

Memutar kesamping Khik Sia, ia lantas mau menyambar Su Tiau-ing. Berbareng pada saat itu, sithau-topun ikut nimbrung meneranya. Tapi dia itu seorang yang berangasan. Walaupun ji-suhengnya sudah memerintahkan supaya hanya meringkus Su Tiau ing saja, tapi karena tadi ia mendapat hajaran dari Khik Sia, maka sekarangpun ia hendak membalasnya.

"Hai, budak kecil, enyahlah kau", serunya sembari mengirim sebuah tendangan pada Khik Sia.

Tetapi untuk itu sebaliknya ia harus membayar mahal. Seperti telah diterangkan, saat itu Khik Sia sedang memusatkan seluruh lwekangnya untuk mengeluarkan racun yang mengeram ditelapak tangannya. Tendangan thau-to itu seperti mengenai sebuah bola karet saja yang mempunyai tenaga mementalkan. Karena tendangan itu dilakukan keras, maka makin keras juga reaksi pentalannya, Thau-ro itu menjerit keras dan laksana sebuah satelit, tubuhnya terpelanting keudara dan meluncur melalui atas kepala Khik Sia, Justru pada saat itu sihidung besar sedang ulurkan tangannya menyambar Tiau-ing. Tubuh sithau-to melayang dan tepat menubruk badan sihidung besar Bluk, kedua2nya sama terjungkal jatuh dan bergelundung beberapa meter. Kejadian itu telah mengejutkan rombongan anak murid Leng- san-pay.

"Bagus, budak kecil, kita tak mau mengurusi kau, tapi sebaliknya, kau berani cari perkara pada kami. Ayoh ringkus juga budak itu," teriak sipadri jubah merah.

Ia mempelopori dengan sebuah terjangan dan pukulan biat-goan-cian kepada Khik Sia. Tubuh Khik Sia bergoyang, tapi tetap bersila. Pikirnya : "Padri ini lebih lihay dari sihidung besar. Pukulannya saja sedemikian hebatnya ."

Ia empos lagi semangatnya untuk mengusir racun yang sudah terdesak diujung jari tengahnya. Dalam lain kejap saja racun itu tentu sudah dapat disalurkan keluar, tapi jika sampai berkelahi tentu akan menggagalkan usahanya mengusir racun.

Sekalipun tak kepalang kejut si paderi demi melihat pukulan biat-gong-ciangnya tak dapat mengapa2kan Khik Sia,  pikirnya

: "Karena to-suheng yang menanggung urusan ini, aku tak peduli jika sampai mengikat permusurhan dengan Gong gong- ji."

Karena ia berkepandaian tinggi maka dapatlah ia mengetahui usaha Khik Sia menyalurkan lwekang menghalau racun itu sudah mencapai saat2 yang menentukan dan karenanya tak dapat menggerakkan tubuh. Seketika timbullah pikirannya.

"Ayuh, hujani ia dengan bacokan," serunya kepada para sutenya.

Sudah tentu kawanan sute itu tak berani membangkang. Secepat menghunus golok mereka segera menerjang Khik Sia. Tspi ketika tubuh Khik Sia terancam hujan golok, sekonyong, konyong terdengar suara bentakan: "Ayuh, siapa yang berani turun tangan." Nadanya melengking nyaring tapi cukup lantang dan menandakan dari seorang wanita.

Aneh untuk dikata, suara seruan itu bagaikan jarum yang menusuk anak telinga orang, hingga orang2 sama terdengar hatinya. Otomatis mereka hentikan langkahnya. Ternyata di- samping Su Tiau-ing telah muncul seorang wanita kira2 berumur 30-an tahun, rambutnya dikat dengan gelang emas, alisnya panjang dan bahunya menyanggul sebatang hud-tim (kebut pertapaan). Dandanan wanita itu terang bukan orang biasa tapipun bukan juga sebangsa Tiikoh (rahib). Wajahnya cantik tapi sinar matanya memancarkan sorot dingin yang menyebabkan orang tak berani memandangnya. Ya, aneh benar wanita itu hingga orang menduga2 keadaan dirinya.

Setelah sapukan matanya sejenak, berserulah wanita cantik itu dengan dingin ; "Ah, kiranya seorang anak emas dari Leng Ciu lokoay. Hm, apakah hanya ini saja. Mana toa-suheng mu Ceng-bing-cu ?"

Bermula anak murid Leng-san-pay itu ke lima melihat kecantikan wanita itu, maka untuk beberapa saat mereka tak mempunyai rasa permusuhan. Tapi demi membuka mulut siwanita cantik itu lantas menghina suhu mereka sebagai 'lokoay' atau makhluk tua aneh, maka marahlah rombongan murid Leng-san-pay itu. Tapi ketika mereka hendak bertindak, kembali mereka dikejutkan oleh kata2 terakhir dari wanita cantik itu.

Kiranya Ceng-bing-cu itu adalah murid paling disayang oleh Leng Ciu siangjin. Ceng-bing cu telah mendapatkan tujuh bagian dari kepandaian suhunya. Dalam beberapa tahun yang terakhir ini, Leng Ciau siangjin sudah mengundurkan diri. Sepala urusan partai Leng-san-pay di wakili oleh Ceng-bing cu. Karena itu sekalian anak murid Leng-san-pay jeri dan mengindahkan sekali terhadap toa-suhengnya itu.

Berserulah si paderi jubah merah. "Siapa kau ini ? Apakah kenal dengan toa-suheng kami ? Kami diperintah toa-suheng untuk mengambil budak perempuan ini ."

Dalam pada ji-suheng (si paderi jubah merah) mereka berkata itu, para anak murid Ltng, san-pay itu saling berkata kasak kusuk sendiri. Ada yang bilang kalau wanita aneh itu dari golongan jahat. Ada pula yang mengatakan jangan2 wanita itu adalah kekasih dari toa-su heng  mereka. Mendengar itu ada yang lantas memperingatkan supaya jangan ngerasani (mengatakan dibelakang orangnya) toa- suhengnya.

Kiranya toa-suheng mereka itu gemar dengan paras cantik.

Banyaklah sababat2nya wanita dari golongan jahat.

Hal itu diketahui oleh para sutenya, walau pun rombongan anak murid Leng-san-pay itu kasak kusuk dengan suara pelahan namun rupanya tajam sekali pendengaran wanita cantik itu. Segera wajah wanita cantik itu, berobah gelap.

Pada saat itu Tiau-ing sudah hilang kejutnya dan berkatalah ia : "Suhu dengan mengandalkan pengaruh Leng Ciu lokoay, bukan, saja mereka menghina padaku, pun tak memandang mata juga kepada suhu! Telah kukatakan nama suhu kepada mereka, tapi apa kata mereka? Mereka mengatakan suhu sebagai wanita siluman dan menantang suhu tentu tak berani mencabut selembar bulu dari anak murid Leng-san-pay !"

Kata2 Tiau-ing itu telah mengejutkan kawanan anak murid Leng-san-pay. Kini baru tahulah mereka kalau wanita cantik itu kiranya Shin-Ci-koh, iblis wanita yang namanya sebenar Leng Ciu siangjin didaerah utara. Gerak gerik Shin Ciu-koh itu amat mysterius, muncul lenyap sukar di-duga2. Barang siapa berani menyalahinya jangan harap bisa hidup. Oleh karena itu walaupun tak terhitung jumlah korban yang dibunuhnya sehingga namanya cukup memecahkan nyali setiap orang persilatan namun tak seorangpun yang dapat menerangkan bagaimana wajah wanita iblis itu, Shin Ci-koh tak punya barang seorang sahabatpun juga. Setiap orang yang menjadi musuhnya tentu sudah dilenyapkan. Karena keganasannya itu, timbullah cerita dikalangan kaum persilatan bahwa wanita iblis itu tentu berwajah seperti burung kukuk beluk yang menyeramkan. Maka sungguh diluar dugaan rombongan anak murid Leng-san-pay bahwa ternyata iblis wanita itu seorang wanita cantik yang masih tak begitu tua usianya.

"Ayuh, semua maju!" teriak si paderi jubah merah memberi komando kepada sute2nya. Ia tahu Shin Ci-koh itu ganas sekali, tak nanti ia dapat lolos dengan selamat. Maka daripada mati konyol lebih baik adu jiwa saja. Ia memperhitungkan betapapun lihay Shin Ci-koh itu tapi kalau dikeroyok sekian banyak orang tentulah dapat dihalau juga.

Plak, tiba2 terdengar suara tamparan. Ternyata salah seorang murid Leng-san-pay sudah ditampar pipinya oleh Shin Ci-koh. Tamparan itu cepat dan tak terduga-duga datangnya hingga orang yang ditampar itu tak dapat berbuat apa-apa. Yang dilihatnya hanya sesosok bayangan berkelebat dan tahu2 pipinya sudah panas kesakitan. Matanya gelap, mulutnya mengerang tertahan dan berbareng dengan muncratnya darah rubuhlah ia tak bernyawa lagi. Orang yang menjadi korban itu bukan lain ialah orang yang mengatakan bahwa Shin Ci-koh itu adalah gula2 dari toa-suhengnya (Ceng-bing-cu).

Menyusul cepat sekali Shin Ci-koh sudah ayunkan pula hud- timnya. Plak, kembali seorang anak murid Leng-san-pay hancur batok kepalanya. Sihidung besar maju dan lancarkan pukulan beracun.

"Pukulanmu yang beracun ini telah mencelakai banyak orang, nah, sekarang biar kau nikmati sendiri betapa rasanya racun itu!"

Segera Ci-koh kebutkan hudtimnya, tahu2 sihidung besar rasakan ujung siku lengannya seperti tertusuk jarum. Tanpa dapat ditahan lagi, tangannya membengkok dan plak, ia memukul dirinya sendiri. Seketika itu juga rubuhlah ia. Shin Ci-koh tarikan hud-tim. Ditingkah dengan ketawanya yang bernada dingin, beberapa murid Leng-san-pay silih berganti rubuh di tanah. Lemah gemulai tampaknya gerakan hud tim itu, tapi dengan saluran lwekang tinggi, hud-tim itu dapat berobah menjadi keras dan lunak. Sesaat kencang menjadi pangkal untai, sesaat buyar seperti tebaran ijuk. Apabila ken cang (kempai), merupakan seperti thiat-pit (pit besi) yang dapat ditutukkan kebatok kepala, sedang apabila lepas bertebaran dapat di gunakan sebagai jarum-jarum yang menusuk jalan darah. Maka orang2 yang menjadi korbannya itu kalau tidak batok kepalanya pecah berhamburan tentulah jalan darahnya yang tertusuk. Jika batok kepalanya hancur, tentu seketika binasa. Tapi jika jalan darahnya tertusuk tentu akan menderita siksaan yang ngeri, mati tidak hidup tidak. Satu2nya yang dapat dilakukan oleh korban itu hanyalah mengerang2 kesakitan dengan rintihan yang mengenaskan.

Kawanan anak murid Leng-san-pay itu biasa merajalela dengan segala kecongkakannya. Tapi sekali berjumpa dengan seorang iblis wanita macam Snin Ci-koh, keganasan mereka itu ternyata masih kalah jauh. Dalam pertempuran maut itu, bergelimpangan tubuh2 kawanan anak murid Leng-san-pay itu ada yang tewas ada yang terluka dan ada yang berusaha untuk melarikan diri.

Sebagai murid kedua dari Leng Ciu siangjin, si paderi jubah merah itu tak tega melihat para satenya didera begitu hebat. Dengan besarkan nyali, terpaksa ia maju menyerang. Kalau dibandingkan dengan kawanan sutenya itu sudah tentu kepandaiannya jauh lebih tinggi. Setelah lepaskan jubahnya, ia segera gunakan jubah itu untuk menghantam Shin Ci-koh.

Wut, Wut, terdengar suara benda menderu dan tahu2 sebelum ia sempat mengetahui, jubahnya itu terasa berat sekali dan dan tertekan kebawah. Buru2 ia kerahkan tenaganya untuk mengangkat keatas. Bluk, bluk, terdengarlah dua sosok tubuh berjatuhan dari lipatan jubahnya itu. Dan berbareng itu terdengarlah dua buah jeritan ngeri. Kiranya Shin Ci-koh menyambar dua orang anak murid Leng-san-pay terus dilemparkan kearah si paderi. Diayun gontaikan oleh permainan jubahnya sudah tentu kedua sutenya itu tak bernyawa lagi

"Kau punya mata tapi tak ada gundunya perlu apa ?" Shin Ci-koh tertawa mengejek.

Baru si paderi jubah merah berhasil mengibarkan jubahnya keatas, sebelum ia sempat berjaga2, tahu2 kedua matanya terasa seperti disusupi jarum, sakitnya sampai mnnusuk keulu hati. Seketika itu benda disekelilingnya menjadi gelap gelita. Ternyata ia sudah buta. Buru2 ia bolang balingkan jubahnya terus melarikan diri se-kencang2nya.

Shin Ci-koh mengejar. Sekali kebutkan hut-tim, belasan lembar bulu kebut itu melayang menyusup kepunggung empat lima anak murid yang melarikan diri bersama si paderi Segera mereka bergulingan ditanah dan menjerit ngeri. Tapi si paderi yang sudah buta matanya itu tak mendapat persen bulu kabut legi

Tertawalah Shin Ci-koh: "Hari ini aku melanggar peraturan, sengaja mempunyai jiwamu agar kau dapat pulang memberi kabar. Katakan pada Leng Ciu lokoay, lekas serahkan Ceng- bing-cu padaku. Kalau tidak aku akan datang sendiri mengorek biji mata Ceng-bing-cu kemudian membeset kulitnya."

Mengapa Shin Ci-koh sangat membenci Ceng-bing-cu ? Kiranya disitu terdapat persoalannya. Sebenarnya Shin Ci-koh itu sudah berumur empat puluhan tahun tapi dasar orang cantik, tampaknya seperti masih belum mencapai umur tiga puluh tahun, Apabila orang baru mengenalnya tentu tak mengira kalau ia adalah seorang iblis wanita yang termasyhur ganas, Pada suatu hari berpapasanlah Ceng-bing-cu dengan Shin Ci-koh ditengah jalan. Dasar orang bermata keranjang dan belum kenal siapa Shin Ci-koh itu, maka Ceng-bing-cu sudab coba untuk menggodanya. Dalam marahnya Shin Ci-koh lantas menghajarnya. Untung karena memandang muka Leng Ciu Siangjin maka Shin Ci-koh memberinya ampun.

Sudah tentu Ceng-bing-cu tak dapat melupakan hinaan itu. Tapi ia tak berani menceritakan kepada suhunya. Setelah merawat lukanya dan pulang kegunung, ia tetap menyimpan rahasia itu untuk menunggu kesempatan menuntut balas.

-TAMAT-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar