Pasangan Naga dan Burung Hong Jilid 12

Jilid XII

BARU berpikir begitu, terdengar begitu, terdengarlah Su Tiau-gi tertawa gelak2, serunya: "Moay-moay, kalau begitu nyata kau tak jatuh hati kepada budak itu?"

"Aku hanya hendak memakainya sebagai pembantu kita, mengapa kau melantur begitu?" Tiau-ing bersungut-sungut.

"Budak itu berkepandaian tinggi dan menjadi tangan kanan Thiat Mo Lek. Asal ia mau membantu kita, kelak kau menikah padanya-pun tiada jeleknya." kata Su Tiau-gi.

Tiau-ing makin meradang: "Koko, makin lama kata2mu itu makin rendah. Jika kau tetap bicara begitu, aku tak mau memperdulikan kau lagi!"

Kembali Su Tiau-gi tertawa gelak2: "Baiklah, sekarang aku hendak bicara sungguh-sungguh. Dengarlah, toh budak itu menolak membantu kita, serta kau pun tak ada minat menikah padanya, perlu apa kau menahannya? Lebih baik kutungi saja kepalanya, habis perkara, agar jangan sampai menerbitkan bahaya dikemudian."

"Apa? Kau hendak membunuhnya?" seru Tiau-ing. Su Tiau-gi tertawa mengejek: "Apa? Kau hendak melepaskannya? Tahukah kau bahwa menangkap harimau itu mudah, tapi melepaskannya sukar?"

"Kasih tempo dua hari lagi, biar kunasehatinya lagi," tetap Tiau-ing meminta waktu.

"Tidak, budak itu berkepandaian tinggi, siapa yang berani menjamin ia tak dapat lolos? Apalagi ha, ha, ha, ha!"

"Apalagi bagaimana? Apakah tidak mempercayai aku?" Tiau-ing tak mau mundur.

"Ya, benar memang aku tak percaya padamu. Tahu kalau ia tak mau berfihak kepada kita, mengapa kau tetap berkeberatan untuk membunuhnya," jawab Su Tiau gi.

Gemetarlah suara Tiau-ing saking gusarnya: "Kau tak percaya padaku, mengapa tak kau bunuh sekali aku ini!"

Su Tiau-gi tertawa mengejek: "Baik, jika kau tak mengijinkan ia kubunuh, hem, jangan kira aku tak berani membunuhmu?"

Tiau-ing balas tertawa mengejek: "Ayah saja tega kau bunuh apalagi membunuh aku. Tapi kukuatir kalau hendak membunuh aku, tak semudah membunuh ayah!"

Su Tiau-gi menggembor keras: "Kau hendak menjadi anak perempuan yang berbakti kepada setan tua itu, bukan? Lihat golokku!"

Cret, dan berteriaklah Su Tiau-gi dengan sengitnya: "Pengawal kemarilah!"

Kiranya Tiau-ing, lebih cepat mencabut senjatanya dari sang engkoh. Pula ilmu silatnya lebih tinggi dari Tiau-gi. pun ia turun tangan lebih dulu. Sekali tusuk ia dapat melukai engkohnya. Mendengar kakak beradik itu saling bertengkar, diam2 Khik Sia mengeluh. Tiba-tiba saat itu jendela terbuka dan sesosok tubuh loncat masuk.

"Toan Khik Sia, selama ini kau selalu tak memandang mata kepadaku Ji-suhengmu. Sekarang jangan sesalkan aku seorang kejam!" kedengaran orang itu tertawa dingin.

Orang itu bukan lain ialah Ceng Ceng Ji. Cepat ia menyingkap kelambu terus membacok Khik Sia. Kini Barulah Khik Sia tersadar, siapa yang mencuri dengar tadi. Tentulah Ceng Ceng Ji itu memberitahukan semua kepada Su Tiau-gi. Tapi pengertian Khik Sia itu sudah kasip karena saat itu pedang Ceng Ceng Ji sudah mengancam kearah dadanya.

Tring..... Ceng Ceng Ji rasakan tangannya kesemutan dan terlepaslah pedangnya jatuh ke lantai Kiranya saat itu Khik Sia sudah dapat menggerakan lwekangnya, walaupun baru dua- tiga bagian saja. Dalam menghadapi saat-saat yang  berbahaya itu, ia kerahkan seadanya tenaga kearah ujung jari dan dengan sekuatnya, ia gunakan ilmu tutukan jari tan-ci-si- thong. Sekali menutuk dengan jari tengahnya, dapatlah ia membuat tangan Ceng Ceng Ji kesemutan.

Berhasilnya tutukan Khik Sia itu benar-benar sangat kebetulan sekali. Pertama karena Ceng Ceng Ji kelewat bernapsu sekali. Ia kira Khik Sia sudah tak mampu berkutik, apalagi balas menyerang. Kedua kalinya karena posisi Khik Sia amat menguntungkan. Sebenarnya dengan berbaring diatas ranjang itu, Khik Sia itu amat berbahaya. Tapi dengan kecerdikannya, ia dapat merobah posisi yang berbahaya menjadi menguntungkan baginya.

Kepandaian Ceng Ceng Ji hanya terpaut, tak banyak dengan Khik Sia. Dalam keadaan seperti itu, Khik Sia pasti kalah melawan Ji suhengnya itu. Tapi ada beberapa hal yang menguntungkan bagi Khik Sia. Kesatu, Ceng Ceng Ji hanya gunakan sebelah tangan untuk menusuk, karena tangan kirinya dibuat menyingkap kain kelambu. Kedua, Ceng Ceng Ji datang dari tempat terang dan melongok kedalam pembaringan yang gelap, Khik Sia tahu gerakan tangannya, sebaliknya Ceng Ceng Ji tak tahu akan gerakan Khik Sia. Inilah faktor yang menguntungkan.

Kejut Ceng Ceng Ji bukan kepalang, pikirnya: "Jangan- jangan ia sudah mendapat obat penawar dan sengaja memancing aku untuk di bokongnya, ha?"

Karena kepandaiannya tinggi, gerakannya pun gesit sekali. Begitu mendapat tutukan tadi, secara otomatis ia sudah loncat kebelakang untuk bersiap. Tapi hal itu justru suatu keuntungan bagi dia. Coba Ceng Ceng Ji menghantamnya lagi, Khik Sia tentu sudah binasa. Celakanya Ceng Ceng Ji sudah pecah nyalinya.

Barulah ketika mundur beberapa langkah tapi tak tampak Khik Sia turun dari pembaringan, mulailah timbul kecurigaannya. Tiba-tiba terdengar auman senjata rahasia melayang diudara. Ternyata Su Tiau-ing telah menimpuk tiga batang pisau sembari mendamprat: "Ceng Ceng Ji, besar sekali nyalimu berani masuk ke dalam kamarku melakukan pembunuhan!"

Makian nona itu malah menimbulkan perobahan pada dugaan Ceng Ceng Ji, pikirnya: "Jika Su Tiau-ing telah memberi obat penawar padanya, masakan ia begitu gugup hendak menolongnya."

Sudah tentu ketiga batang paser Tiau-ing tak dapat mengenai Ceng Ceng Ji. Senjata itu dapat dikebas jatuh olehnya semua...

"Maaf, kongcu, suteku bersembunyi didalam kamarmu, biar kuberi pengajaran, maka terpaksa aku lancang masuk kekamarmu," serunya dengan tertawa.

Mendengar suara Ceng Ceng Ji, Su Tiau-gi segera meneriakinya: "Ceng Ceng Ji, bunuh saja budak perempuan hina dan orang itu. Aku takkan mempersalahkan kau!" Hubungan Ceng Ceng Ji dengan keluarga Su kakak beradik itu, hanyalah berdasarkan saling menguntungkan saja. Sudah tentu ia tidak begitu menaruh penghormatan terhadap 'kaisar' palsu dan 'tuan puteri' tiruan itu. Maka tanpa mendapat perintah Su Tiau-gi sekalipun, habis memukul jatuh paser Su Tiau-ing, ia lantas menyerbu ketempat Khik Sia lagi.

Sekalipun Su Tiau-ing tak segesit Ceng Ceng Ji namun kepandaian nona itu cukup lihay. Begitupun ketiga pasernya itu tentu tak dapat melukai Ceng Ceng Ji, tapi sekurang- kurangnya dapat menghalanginya beberapa jenak.

Dalam beberapa waktu cukuplah sudah bagi Su Tau-ing untuk menerobos maju. Baru Ceng-ceng ji tiba dimuka ranjang, punggungnya sudah disambar angin tabasan golok Kim-to, Ceng ceng ji balikan tangannya, dengan jurus wan- koog-sin-tiau. ia tutuk jalan datah kiok-ti hiat, dilengan Tiau- ing, Su Tiau-ing malah merangsek maju dan tabaskan goloknya ditangan kiri.

Serangan itu dilakukan dengan keras. Nona itu melakukan pertempuran nekad, biar dua2nya menderita luka. Jika Ceng ceng ji tak menarik pulang tangannya paling banyak ia hanya dapat membalikin inyalid sebelah tangan Tiau-ing. Tapi dengan berbuat begitu, sebelah tangannyapun pasti kena tertebas kutung oleh golok Tiau ing.

Sudah tentu Ceng-ceng-ji tak mau kehilangan sebuah lengannya. Memang gerakannyapun luar biasa gesitnya. Dengan miringkan tubuh ia menggelincir kesamping. Dengan begitu tebasan Su Tiau-Ing itu menemui tempat kosong

Tapi memang maksud Su Tiau-ing hanyalah hendak memaksa lawan menyingkir saja. Begitu Ceng-ceng-ji menggeser kesampirg, Su Tiau ing cepat menduduki tempat Ceng ceng ji berdiri tadi, yakni didepan ranjangnya Khik Sia.

Disitu cepat ia merogoh keluar sebuah bungkusan. Bluk, terus dilemparkan kedalam ranjang. serunya: "Ini obat penawar, lekas minumlah, Sekarang kutolong kau, nanti aku yang akan minta tolong padamu."

Ceng ceng ji terkejut. Buru2 ia hendak merebutnya, tapi Su Tiau-ing lancarkan tiga kali tabasan, tiap serangan dilancarkan dengan nekad dan dahsyat. Sepasang goloknya berebutan maju. Belum yang kiri ditarik, yang kanan sudah menyusul maju. Tak seperti permainan golok yang harus berganti jurus lebih dulu.

Ceng ceng ji gunakan ilmu merebut senjata gong chiu-jin- peh-jin, Tapi hanya dapat menghindar dari tertabas saja dan tak mampu merebut senjata sinona.

Khik Sia mendapat kesempatan minum obat penawar. Seperti orang yang tersadar dari maboknya, semula kepalanya pening, sesaat kemudian sudah sadar sama sekali. Biarpun begitu, lwekangnya masih belum pulih. Di cobanya untuk melakukan pernapasan agar hawa murninya bergerak. Benar darahnya sudah mulai menyalur, tapi hawa murninya masih belum dapat dipusatkan. Kiranya memang begitulah jalannya obat penawar itu. Kalau caranya menyalurkan darah tepat, juga harus menunggu sampai setengah jam baru pulih tenaganya.

Rupanya tahu juga Su Tiau-ing akan maksud Khik Sia, buru2 ia meneriaki: "Jangan turun dari pembaringan dulu. Jika turun kau hanya akan mengantar jiwa saja. Salurkanlah darahmu terus!"

Sudah tentu Ceng ceng-ji tahu bagaimana bekerjanya obat penawar itu. Ia makin gugup karena dalam setengah jam ini ia sudah harus mengalahkan Su Tiau-ing, kalau tidak Khik Sia tentu sudah bangun, tapi makin gugup, makin celakalah ia. Sepasang golok Su Tiau-ing dimainkan dengan rapat sekali. Betapapun Ceng-ceng ji pelancarkan serangan yang dahsyat, pa1ing2 hanya dapat merebut sebuah golok sinona yang satunya. Sebenarnya, jika Ceng ceng-ji tak gugup, ia gunakan siasat membikin celah. Untuk mengalahkan Su Tiau-ing, tak perlu memakan waktu sampai setengah jam. Justeru karena gugup itu, hampir saja Ceng ceng-ji kena dilukai Su Tiau-ing. Berulang kali Ceng ceng ji terpaksa menghindar mundur. Dan kesemuanya itu telah menghabiskan waktu yang tidak sedikit,

Tiba2 mata Ceng ceng ji tertumbuk akan benda yang berkilau2an dilantai "Ah sungguh limbung sekali aku ini. Mengapa lupa akan pedang pusakaku yang jatuh dilantai itu?" pikirnya menyesali diri sendiri,

Pedang Ceng-ceng-ji itu terpisah tak jauh dari Su tiau ing. Nona itu jeli sekali matanya. Demi melihat mata Ceug-ceng-ji tertuju akan pedangnya yang menggeletak dilantai itu, tahulah ia maksudnya. Baru Ceng ceng ji hendak bergerak, ia sudah lantas mendahului menyerang.

"Lihat golok!"

Pedang ditendang Su Tiau-ing, mencelat kira 2 setengah meter didepan ranjang. Dengan gerak kek cu hoan-sim atau burung merpati membalik tubuh Ceng ceng-ji sudah lantas ulurkan tangan hendak menyambarnya. Kala itu jaraknya dekat dengan pedang. Tahu bakal kalah dulu, Su Tiau-ing timpukkan lagi ketiga batang paser. Yang dua ditujukan pada Ceng-ceng ji yang satu lagi kearah pedang itu.

Benar Ceng ceng ji tak jeri, tapi sedikitnya iapun harus gerakan tangan untuk menyambutnya. Layang ketiga paser itu berlainan arahnya. Dua batang yang hendak menyambar dirinya. dapatlah ia sambut. Tapi yang sebatang lagi telah lolos lewat disampingnya.

Yang ini ia tak berhasil menyambarnya. Justru paser inilah yang menuju kearah pedang.

Paser yang melayang turun dari atas. sebenarnya sukar untuk membikin mencelat sasarannya. Tapi su Tiau-ing gunakan ilmu lincah. Begitu mengenai tangkai pedang, pedang itu menjadi membalik miring. Karena lantai amat licin, maka pedang itu menggelincir kemuka. Meskipun hanya meluncur setengah meter, tapi pedang itu menyusup masuk kebawah kolong ranjang. Kini sukarlah bagi Ceng ceng-ji hendak mengambil pedangnya itu, kecuali masuk ke bawah kolong.

Ceng-ceng ji marah sekali, Ia batalkan rencana menyambar pedang, kini ia berganti menyambar orang. Dengan menggerung keras ia timpukkan dua batang passer tadi kepada Su Thiau Ing, kemudian dengan sebat sekali ia lantas membuka kain kelambu dan mencengkeram Khik Sia.

Khik Sia kala itu sedang menyalurkan lwekang, mana ia dapat melawan. Pun ketika Su Tiau ing dapat menghindar timpukan paster tadi, tangan Ceng-ceng-ji sudah bergerak mencengkeram Khik Sia, Nona itu mengeluh.

Tiba2 terdengar suara jeritan kesakitan. Tapi anehnya, bukan suara Khik sia, melainkan Ceng ceng ji.

Kiranya sewaktu hendak dicengkeram tadi Khik Sia dapat menggeser kesamping hingga tangan Ceng ceng-ji itu hanya mencengkeram kasur saja. Celakanya pedang pusaka milik Khik Sia disembunyikan didalam selimut dan pedang itu sudah dilolos dari sarungnya. Begitu menyentuh benda dingin Ceng- ceng-ji sudah kaget dan cepat2 tarik pulang tangannya, namun tak urung dua buah jarinya kena tergulat pecah oleh ujung pokiam Khik Sia.

Su Tiau-ing tak tahu apa yang terjadi, Tapi demi melihat Ceng ceng ji yang menjerit sembari tarik pulang tangannya, tahulah ia kalau terjadi perobahan, Cepat ia, sudah lantas loncat maju sembari babatkan sepasang goloknya, Ceng ceng ji tak dapat berbuat apa2, kecuali membiarkan Khik Sia duduk tepekur di dalam ranjsng karena ia harus menghindari sabetan golok Su Tiau-ing. Pada saat itu keadaan Khik Sia mencapai titik yang genting. Jika ia lantas loncat turun dari ranjang, sekali peredaran darahnya tersesat pasti celakalah ia. Bukan saja jerih payahnya tadi akan sia2, pun ia bakal rusak jasmaninya atau dalam istilahnya disebut "co-hwe-jip mo" (terbakar api kemasukan setan!). Syukur Su Tiau-ing juga seorang akhli lwekang. Tahu ia bagaimana keadaan Khik Sia nanti. Buru- buru ia meneriakinya: "Toan kongcu, meramkanlah matamu!!"

Ia kuatir jika membuka mata Khik Sia tentu melihat bagaimana ia sedang bertempur mati2 an dengan Ceng ceng ji, Kebanyakan pemuda itu akan loncat turun membantunya. Dan ini berbahaya sekali.

Untung karena kedua jarinya terluka, rangsangan tangan Ceng-ceng-ji tak sehebat tadi lagi. Dengan mati2an Su Tiau ing mendesaknya terus. sehingga setindak demi setindak Ceng-ceng ji dapat dihalau mundur dari muka ranjang.

Adalah pada saat itu, tiba2 paderi berjubah merah itu muncul.

Diluar kedengaran Su Tiau-gi sudah lantas meneriaki: "Harap taysu jangan beri ampun lagi. Bunuh saja budak perempuan hina itu!"

Su Tiau-ing sudah berseru: "Suhu, monyet tua ini menghina padaku, lekaslah bantu padaku!"

Kiranya paderi jubah merah itu bergelar Hoan Gong. kepala dari biara Oa-gik-mi-si di Ceng-hay. Pada ketika Su Su-bing menduduki Ceng-hay, untuk mengambil muka para paderi itu, ia sudah suruh kedua putera puterinya berguru padanya. Hanya saja kala itu Su Tiau-gi masih kecil, tidak pernah dia belajar silat padanya maka paling2 ia hanya dapat disebut calon murid saja.

Oa-gik-mi-si sebenarnya adalah tingkatan dari kaum agama Pek kau dari Tibet, Adalah karena beberapa partai agama di Tibet timbul pertentangan, maka Pek-kau tak dapat mengurus sehingga dapat diduduki oleh Hoan Gong. Lebih sepuluh tahun Hoan Gong menempati biara itu, Kala itu pertentangan agama didaerah Tibet sudah sirap. Ketua Pek-kau mengirim beberapa utusan ke Ceng-hay untuk mengambil pulang biara itu. Karena tahu tak dapat melawan, Akhirnya Hoan Gong pergi. Waktu itu Su Su-bing sudah meninggal. Su Tiau-gi lalu mengundangnya dan mengangkat menjadi kok-su atau penasehat agung.

Su Tiau-gi dan Su Tiau ing itu berlainan ibu. Umur Tiau gi lebih tua lima tahun dari adiknya. Pada masa itu, Su Tiau-gi pernah belajar silat pada Hoan Goan setengah tahun lamanya. Sebenarnya Su Tiau ing punya guru lain, tetapi sejak Hoan Gong datang, sedikit banyak ia juga pernah mendapat pelajaran silat dari paderi itu. Jika menurut hubungan guru dan murid, Hoan Gong lebih rapat dengan Su Tiau-gi dari  pada dengan Su Tiau-ing. Tetapi karena dalam hal bakat. Su Tiau-ing lebih baik dari engkohnya, maka Hoan Gong lebih suka pada gadis itu.

Bermula Hoan Gong mengira kalau kedatangan musuh gelap, maka buru2 ia datang. Setelah memetahui bagaimna keadaannya ia menjadi serba salah. Akhirnya ia mendApat suatu pemecahan, serunya: "Sama saudara sendiri mengapa bertengkar? Kongcu, haturkanlah maaf kepada engkohmu!"

Diluar kedengaran Su Tiau gi berteriak: "Budak hina itu telah bersekongkol mengundang orang luar untuk melawan aku. Suhu bunuh saja dianya. Aku tak sudi mengakui adik lagi padanya!"

"Suhu, kau dengar tidak! Ia tetap hendak membunuh aku. Bagaimana kau suruh aku menghaturkan maaf padanya?" seru Su Tiau-ing

"Ah, baginda itu sedang marah, biar nanti kunasehatinya." sahut Hoan Gong. "Suhu, sedang terhadap ayah kandungnya sendiri ia berani membunuh, apalagi terhadap aku. Percuma saja kau akan menasehatinya," bantah Su Tiau ing.

Tentang Su Tiau-gi membunuh ayah kandungnya sendiri, Hoan Gong belum mengetahui. Meskipun ia juga seorang jahat tapi setelah mendengar hal itu. berdirilah bulu romanya juga.

"Suhu, jangan dengarkan ocehannya. Lekas bunuh saja dia!" teriak Su Tiau gi.

"Suhu kau dengar tidak itu? Ia begitu bernapsu untuk lekas2 melenyapkan aku supaya rahasianya jangan sampai ketahuan." Su Tiau-ing tetap ngotot.

Hoan Gong lebih cenderung dengan kata2 Su Tiau-ing. Ya, mengapa Su Tiau-gi begitu bernapsu sekali menyuruhnya membunuh adik perempuan itu?

"Aku tak mau mengeloni siapa2 karena kalian adalah saudara sekandung sendiri," akhirnya Hoan Gong memberi pernyataan.

Ceng ceng-ji turut berkata juga: "Akupun juga tak sengaja hendak melukai kongcu, tetapi bangsat itu adalah seorang pemberontak. Adalah karena dia, maka kongcu bertengkar dengan baginda, Hoan Gong taysu, harap kau bunuh bangsat itu kedua fihak tentu akan puas."

Hoan Gong menimbang kata2 Ceng-ceng ji itu beralasan juga. Tapi ketika ia hendak turun tangan pada Khik Sia, Su Tiau ing sudah lantas meneriakinya: "Suhu, jangan kena ditipu. Pemuda she Toan ini adalah sutenya. Toa suhengnya, Gong gong ji, sayang sekali kepadanya. Sebaliknya monyet tua itu sendiri yang berkhianat kepada perguruannya, jika kau bunuh orang she Toan itu, berarti kau hanya membantu dan menghimpaskan dendam diri peribadinya monyet tua itu, Tetapi resikonya, Gong-gong-ji tentu akan membikin perhitungan padamu." Hoan Gong terkesiap kaget, pikirnya: "Apakah keterangan itu benar atau salah, yang terang Gong gong-ji itu tak boleh dimusuhi."

Akhirnya tanpa berkata ba atau bu lagi, paderi itu melesat pergi, Baru Su Tiau-ing dapat bernapas longgar, sekonyong2 Un bun Jui muncul!.

"Hai, Uh bun Jui, hendak mengapa kau? Jangan lupa, tanganku masih mencekal golok," teriak Su Tiau ing.

Ceng ceng ji tertawa gelak2: "Uh bun Jui, itu lihatlah siapa yang berbaring didalam ranjangnya itu. Burung merpatimu sudah didahului orang ho!"

Kiranya adanya Uh bun Jui sampai mengkhianati perguruannya dan mengadakan perebutan pangcu Kaypang, adalah karena bujukkan Su Tiau ing, Su Tiau ing hendak menggunakan tesnaga partai Kay pang untuk melawan  tentara kerajaan Tong. Sementara Uh bun jui juga hendak pinjam tenaga nona itu untuk merebut kedudukan pangcu Kaypang, Tapi faktor yang terutama, ialah karena ia tergila2 akan kecantikan Su Tiau ing. Memang paras cantik itu sering membikin orang lupa daratan. Kalau tidak masakan Uh-bun Jui berani bertindak begitu rupa.

Rupanya Ceng ceng-ji tahu akan isi hati pemuda itu. Sekali berkata ia dapat menusuk perasaan Uh bun Jui. terdorong oleh rasa cemburu berkobarlah nafsu membunuh dalam sanubari Uh-bun Jui.

"Kongcu, aku sekali2 tak berani melawan kau. tapi untuk menjaga nama kehormataumu. aku takkan membiarkan kau terpikat oleh bangsat itu," kata Uh-bun Jui.

Su Tiau-ing mendampratnya: "Jangan ngaco belo tak keruan, enyahlah,"

Kembali Ceng-ceng ji tertawa mengejek: "Uh-bun Jui, apakah kau masih punya setitik pambek lelaki jantan? Dengan mata kepala sendiri kau menyaksikan bangsat itu tidur dipembaringannya. masakah kau diam-diam mau ngacir?"

Uh-bun Jui menggerung keras. Dengan mengacungkan tongkatnya, ia berlarian menghampiri ranjang.

"Kongcu. maafkan aku tak mendengar perintahmu. Aku tetap harus membunuh bangsat ini !" teriaknya dengan keras.

Su Tiau-ing hendak menyabetnya dengan golok, tapi Ceng- ceng-ji tak mau memberi kesempatan. Ia merangsek, nona itu tak sempat mengurusi Uh-bun Jui lagi, Memang kepandaiannya masih terpaut jauh dengan Ceng ceng ji. Karena bingung, permainan goloknyapun rancu. Dengan beberapa rangsangan dapatlah Ceng-ceng-ji menghalau nona itu terpisah lebih jauh dari ranjang.

Seperti diterangkan diatas, saat itu Khik Sia sedang berada dalam keadaan yang kritis (genting) ia tak dapat menangkis serangan Uh bun Jui itu. Bluk, tongkat Uh-bun Jui dapat mengenai pundaknya. Khik sia cepat putar tubuhnya sehingga membelakangi Uh bun Jui.

Uh bun Jui menghantam untuk yang kedua kalinya, Pikirnya hendak hantam pecah kepala Khik Sia.

Dan anehnya, Khik Sia malah gunakan jurus hou gim toau (burung tiong mengangguk) ia sodorkan panggungnya kebelakang. desss.... terdengar bunyi macam rumput dipotong. Punggung Khik Sia terpukul tongkat, tapi sementara itu Uh bun Jui rasakan tangannya kesemutan panas, hampir saja tongkatnya terlepas jatuh.

Kiranya saat itu sudah lewat agak lama, Meskipun jalan darah Cap ji ciong lo ditubuh Khik Sia belum tertembus, tapi ia sudah mendapat kembali enam tujuh bagian tenaganya. Dengan tenaga itu saja cukup sudah baginya untuk menyengkelit Uh-bun Jui. Tapi kuatir usahanya tadi akan  gagal seluruhnya, sehingga kemungkinan tubuhnya rusak, maka ia tak mau turun tangan, sekalipun begitu, dengan paksakan diri ia dapat menyalurkan lwekangnya kearah punggung. Sudah tentu pukulan Uh bun Jui tadi, sedikit pun tak menjadi soal.

Sebaliknya ketika mendengar suara gebukan tongkat, hati Su Tiau ing menjadi goncang, Ia tahu bahwa bekerjanya obat penawarannya harus menunggu sampai setengah jam, atau sama dengan dua batang dupa terbakar habis. Kini kira2 temponya baru dapat sebatang dupa terbakar habis. Ia duga Khik Sia tentu belum dapat melawan, jadi kesadarannya tentu berbahaya. Hal itu disebabkan karena ia belum mengetahui sampai dimana kesempurnaan iwekang Khik Sia.

Tidak demikian dengan Ceng ceng ji yang sudah kawakan. Demi mendengar bunyi tongkat itu agak lain, ia sudah menduga jelek. Kejutnya lebih hebat dari Su Tiau ing. Buru2 ia merangsek Su Tiau ing dengan jurus pay bun chiu, Su Tiau ing masih belum banyak pengalamannya bertempur. Saat itu karena memikirkan keselamatan Khik Sia, pikirannya menjadi kacau sehingga permainannyapun rancu, Golok ditangan kirinya kena ditampar oleh Ceng ceng ji sampai terlepas jatuh. Hilangnya satu golok itu, menyebabkan kendurnya permainan Su Tiau-ing.

Musuh utama bagi Ceng-ceng ji adalah Khik Sia. Selain itu memang ia tak berniat hendak melukai Su Tiau ing. Dengan kecepatan yang luar biasa, menyelinap dari hadangan sinona menuju kemuka ranjang. Setelah mendorong Uh-bun jui kesamping, ia lantas menghantam Khik Sia. Tiba2 seperti bola, tubuh Khik Sia melambung keatas. Brak ... bukan tubuh Khik Sia tetapi ranjanglah yang menjadi sasaran hamtaman Ceng- ceng ji itu hingga remuk. Pokiam Khik Sia jatuh kelantai, sementara pedang Ceng ceng-ji yang menyusup ke bawah kolong tadi, kini teruruk oleh ranjang, Untung tidak seluruhnya karena tangkainya masih kelihatan menonjol diluar.

Su Tiau ing memburu datang dengan sebuah tabasan. Ceng Ceng ji memiliki ilmu thing hong pian ki atau dengan anginnya mengetahui senjata. Tanpa menoleh, ia tamparkan tangannya kebelakang untuk menyampok golok Su Tiau-ing, Sedang tangannya yang lain hendak menyambar pedangnya, Su Tiau ing tanpa memperdulikan jiwanya lagi. terus mencecer Ceng-ceng ji.

"Uh-bun jui, lekas rebut pokiam!" serunya.

Pada saat itu Su Tiau ing mengirim tabasan yang keempat. Ceng-ceng ji sudah berhasil memperoleh pedangnya. Begitu berputar tiba- tiba lantas membacok Su Tiau ing.

Setelah mendapat peringatan dari Ceng ceng-ji, Uh-bun Jui cepat memungut pokiam Khik Sia. Girangnya bukan kepalang.

"Hm, sekalipun kau mempunyai ilmu kebal yang sakti, pun tubuhmu itu tetap terdiri dari darah dan daging. Masakan tak mempan ditusuk senjata." pikirnya.

Ketika mengawasi ke muka dilihatnya tubuh Khik sia sudah turun dilantai dan tetap masih duduk bersila seperti tadi. menggeletarkan pedang pusaka, ia segera menusuk, yang diarah yalah tulang pi-peh-kut dibahu Khik Sia. Jika kena, Khik Sia tentu akan menjadi cacat seumur hidup, Tapi Khik Sia cepat miringkan tubuhnya kesamping. Cret, yang kena hanyalah secarik pakaiannya saja, sedang ujung po-kiam lalu diatas pundaknya, Khik Sia gunakan lwekang untuk menyedot. Dengan goyangkan bahu, ia telah menyedot tenaga Uh-bun Jui sampai separoh bagian sehingga anak muda she Uh-bun itu tak dapat menguasai keseimbangan tubuhnya lagi. Hampir saja ia menyeruduk tubuh Khik Sia,

Uh-bun Jui juga seorang akhli silat.

Pada saat itu ia tahu kalau Khik Sia juga dapat menggunakan ilmu lwekang tinggi. Kejutnya bukan main. Takut kalau dibalas, saking gugupnya ia lantas susuli menghantam, tapi akibatnya malah runyam. Daya membal yang dipancarkan bahu Khik Sia lebih besar dari tadi.  Krek....... tongkat Uh Bun Jui kutung menjadi dua. Sedang Uh Bun Jui sendiri terpental mundur sampai beberapa langkah. Untung karena kencang mencekalnya, pokiam tak sampai jatuh terlepas dari tangannya.

"Coba kulihat sampai berapa kali kau mampu menyingkir dari serangan pedang ini," ia berteriak keras seraya tusukkan ujung pokiam kepunggung lawan.

"Lepaskan!" kedengaran Khik Sia buka suara. Dengan dua jarinya ia menjepit batang pokiam itu. Jepitannya itu tepat benar, seolah-olah punggungnya itu seperti bermata saja.

Kejut Uh Bun Jui tak terkirakan. Baru ia hendak memutarnya, tahu-tahu dengan kekuatan dua buah jarinya saja, pokiam sudah berpindah ketangan yang empunya (Khik Sia)! Dan tiba Khik Sia loncat bangun.

"Kau sudah keliwat kurang ajar kepadaku. Lihat pedang!" seru pemuda itu.

Uh Bun Jui gunakan separoh kutungan tongkatnya tadi sebagai senjata. Tapi dengan mudahnya, dapatlah Khik Sia memapas tongkatnya lagi hingga hanya ketinggalan sedikit di bagian tangkai yang dicekalnya. Coba Uh Bun Jui tak cepat menarik tangannya, mungkin pergelangan tangannya juga ikut hilang.

Ternyata serangan kalap Uh Bun Jui dengan tongkatnya itu, bukannya melukai Khik Sia sebaliknya malah memberi bantuan besar kepadanya. Seperti diketahui penyaluran lwekang Khik Sia pada saat itu sedang dalam tingkat genting. Kebetulan Uh- bun Jui menggebuknya, ini ia pergunakan untuk mempercepat pengaliran darahnya. Setelah bagian Cap-ji ciong lo dapat menyalur, tak perlu menggunakan waktu setengah jam lamanya, tenaganya dengan cepat sudah dapat pulih kembali.

Memang ilmu silat itu mempunyai inti keistimewaan yang indah. Kembali pada penuturan setelah tongkat Uh Bun Jui terpapas kutung oleh pokiam Khik Sia, kejut Uh Bun Jui serasa terbang semangatnya. Saat itu asal Khik Sia menusuk lagi, jiwa Uh Bun Jui pasti melayang. Tapi tiba-tiba terdengar suara logam jatuh berkerontang di lantai. Kiranya golok ditangan kanan Su Tiau-ing juga kena oleh pedang Ceng Ceng Ji.

Saat itu hubungan Su Tiau-ing dengan Khik Sia bukan lagi sebagai musuh melainkan sebagai sahabat. Sinona terancam bahaya, sudah tentu Khik Sia tak mau berpeluk tangan mengawasi saja. Dalam pada itu Khik Sia juga berpendapat bahwa Uh Bun Jui itu adalah anak murid Kay Pang. Sebaliknya ia tak lancang melanggar hak partai Kay-pang untuk memberi hukuman.

Dengan keputusan itu. secepat kilat ia sudah meluncur kemuka Ceng Ceng Ji. Ceng Ceng Ji cepat lancarkan jurus istimewa liu-sing-kam-gwat atau bintang jatuh mengejar rembulan. Tiga serangan sekaligus ia balingkan kekiri untuk menusuk jalan darah peh-hay hiat, kekanan menusuk jalan darah hu-tho-hiat dan ketengah menusuk jalan darah suan-ki- hiat. Tiga serangan dalam satu jurus itu, adalah jurus mematikan yang paling ia andalkan. Hebatnya bukan olah2.

Melihat Ji suhengnya sedemikian buasnya marahlah Khik Sia. Ia berseru nyaring: "Ceng Ceng Ji, karena kau begitu keras kepala hendak mengambil jiwaku, jangan sesalkan aku yang tak mau mengakui kau sebagai saudara seperguruan lagi. Mulai saat ini, hubungan kita sebagai suheng dan sute, putus sampai di sini!"

Ia lintangkan pokiamnya untuk menutup serangan lawan. Berulang kali terdengar bunyi mendering yang memekakan telinga. Keduanya sama bergerak cepat. Dalam waktu Khik Sia mengucapkan kata-katanya tadi, kedua pedang mereka sudah beberapa kali saling beradu.

Pedang pendek dari emas murni Ceng Ceng Ji, sebenarnya tak kalah dengan pedang pusaka peninggalan keluarga Toan. Tapi tenaganyalah yang kalah dengan bekas sutenya itu. Dalam beberapa benturan senjata itu, kalau Khik Sia masih tak merasakan apa-apa, adalah Ceng Ceng Ji yang sudah rasakan tangannya panas kesakitan. Pedangnya hampir saja terlepas.

Kini Ceng Ceng Ji tak berani adu kekerasan. Ia ganti siasat gunakan kelincahan. Mereka adalah seperguruan. Keduanya saling mengetahui mengetahui kelemahan dan keunggulan masing:. Diam2 Khik Sia membathin: "Dapat kukalahkan dia tapipun harus melalui seratusan jurus. Musuh berjumlah banyak dan aku sendirian, kalau bala bantuan mereka datang, sukarlah aku untuk loloskan diri!"

Seketika ia lantas gunakan jurus sin-liong jip-hay atau naga sakti menyusup kedalam laut. Pokiam diputar naik turun kekanan kiri sehingga mau tak mau Ceng Ceng Ji harus mundur.

"Maaf, aku hendak pergi dulu!!" ia melontarkan biat-gong- ciang untuk menghancurkan jendela dan terus hendak loncat keluar.

"Hai, apakah aku masih dapat tinggal di-sini?" teriak Su Tiau-ing.

Sebenarnya separoh tubuh Khik Sia sudah menyusup keluar jendela. Tapi begitu mendengar jerit keluhan sinona tadi, ia segera hentikan tubuhnya. Dengan gaetkan sebelah kakinya kepinggiran jendela, ia berpaling melongok kebelakang. Dilihatnya Su Tiau-ingpun ternyata mengikuti dibelakangnya. Sedang Ceng Ceng Ji sudah tusukan pedangnya kepunggung gadis itu.

Bermula Khik Sia kira kalau Ceng Ceng Ji tentu tak berani membunuh Su Tiau-ing. Tapi apa yang dilihatnya itu, ternyata berlainan, Ceng Ceng Ji benar benar tak mau kasih ampun lagi. Terkilas dalam pikiran Khik Sia:

"Ya, benarlah seorang lelaki harus menarik garis tajam antara budi dan dendam. Gadis ini meskipun belum tentu seorang baik, tapi ia telah melepas budi menolong jiwaku. Masakan aku takkan memperdulikannya!" Persatuan gerak tubuh Khik Sia dengan pedangnya telah mencapai suatu tingkat yang dapat digerakkan menurut sekehendak hatinya. Setelah sebelah kakinya dikaitkan pada ujung jendela, ia segera ayunkan tubuhnya kemuka. Tangan kirinya menarik Su Tiau-ing, tangan kanannya menusuk pada Ceng Ceng Ji. Pedang, pusaka Toan Khik Sia itu lebih dari setengah meter panjangnya. Sedangkan pedang Ceng Ceng Ji hanya sembilan inci. jadi pokiam Khik Sia lebih panjang hampir setengah meter. Dengan keuntungan itu, meskipun Khik Sia bergelantungan pada jendela, namun berhasil juga ia menghalangi Ceng Ceng Ji. Tapi kerugiannya karena bergelantungan itu, tenaganya kalah dengan Ceng Ceng Ji!

Begitu kedua pedang berbenturan, tergetarlah tubuh Khik Sia mau jatuh. Tapi dengan cepat ia lengkungkan tubuhnya kebawah untuk menyambar tubuh Su Tiau-ing terus dibawa loncat keluar. Gerakan Khik Sia itu termasuk ilmu gin-kang yang hebat. Sebenarnya sudah dari tadi, barisan bu-su (pengawal) Su Tiau-gi datang dalam jumlah besar. Tapi karena mereka tak mendapat perintah Su Tiau-gi, apalagi karena didalam sudah ada Ceng Ceng Ji, mereka anggap belum perlu turun tangan. Mereka tidak masuk kedalam kamar Su Tiau-ing dan hanya menunggu diluar saja.

Saat itu demi melihat Khik Sia lolos keluar dan Su Tiau- gipun sudah memberi perintah untuk membunuh, maka menyerbulah mereka. Ketika Khik Sia masih melayang diudara, puluhan tombak dan pedang serentak sudah menyambutnya. Khik Sia berseru keras sembari mainkan pedangnya dalam jurus ya-can-pat-hong atau malam menyerang delapan penjuru. Tring, tring, terdengar suara mendering susul menyusul. Sembari melayang turun Khik Sia sudah memapasi kutung senjata kawanan busu itu.

Kala itu Ceng Ceng Ji pun sudah mengejar loncat dari jendela. Melihat itu Khik Sia segera berikan pokiamnya kepada Su Tiau-ing. "Nona Su, ambillah pedangku ini! Kau buka jalan keluar dan biarlah aku yang menahan mereka!"

Su Tiau-ing menerima pokiam itu dengan rasa kejut dan girang. Benar juga dalam lain kejap saja, Ceng Ceng Ji sudah menyerang dengan pedangnya. Begitu merasa belakang kepalanya ada angin menyambar, tiba2 Khik Sia balikkan tangannya dan gunakan sebuah jari untuk menutuk telapak tangan Ceng Ceng Ji.

Kejut Ceng Ceng Ji tak terkira, pikirnya: "Suhu ternyata berat sebelah. Tutukan jari kiu-kiong-sin-ci itu dahulu suhu tidak mau mengajarkan kepadaku. Tetapi telah memberikan kepada anak itu."

Ditengah telapak tangan terdapat sebuah jalan darah yang disebut lau-kiong-hiat, merupakan salah satu bagian yang mematikan orang. Saking gugupnya, Ceng Ceng Ji cepat2 ganti gerakannya. Pedangnya dibabatkan kesamping tubuh Khik Sia untuk menusuk bagian bawah iga Khik Sia. Tapi saat itu Khik Sia sudah mendapat kesempatan untuk putar tubuh menghadapi lawan.

Dalam pada itu ia berbareng hantamkan kedua tangannya. Yang satu untuk menghantam pedang Ceng Ji, yang satunya untuk memukul lutut Ceng Ceng Ji. Pukulan yang dilancarkan secara tiba dan pada jarak begitu dekat, membuat Ceng Ceng Ji tak sempat lagi menghindar. Ia terpelanting jatuh, pedangnyapun mencelat keudara. Khik Sia sambar tubuh busu itu, Sementara dalam detik-detik itu juga Khik Sia sudah menyingkir kesamping.

Melihat Khik Sia dan Ceng Ceng Ji bertempur begitu seru, kawanan busu itu berteriak-teriak sembari berpencaran keempat penjuru. Tak berani lagi mereka mengganggu Khik Sia.

Khik Sia hanya dengan tangan kosong, Ceng Ceng Ji gunakan pedang. Untuk itu Khik Sia hanya andalkan kelincahan dan ilmu tutukan jari sakti kiu-kong-sin ci . Mereka bertempur dengan rapat. Sembari melawan, Khik Sia terus main mundur.

Su Tiau-ing yang mencekal pedang pusaka, kini menjadi garang. Para kawanan busu yang biasanya amat garang, saat itupun tak berani menphalangi Su Tiau-ing. Tengah Su Tiau- ing kegirangan sekonyong ada sebatang tombak tengah meluncur kearahnya. Ia cepat tabaskan po kiam, tring, sinar api terpencar. dan batang tombak itu tergurat melewat, tapi tidak putus. Sebaliknya Su Tiau-ing merasa tangannya sakit kesemutan sekali hingga hampir tak kuat mencekal pedangnya lagi.

Berpaling kebelakang ia melihat seorang bertubuh tinggi besar (tingginya sampai dua meteran ), mukanya hitam  seperti pantat kuali, matanya besar rambutnya bercakap bunga. Dari dandanannya yang aueh itu, ia benar2 menyerupai Hek sat sin atau Malaikat Maut hitam. Orang itulah yang menghadang Su Tiau ing sembari ketawa meringis, Su Tiau-ing terkejut dan diam diam mengeluh.

Kiranya orang itu adalah putera dari raja peribumi suku Ki namanya Chomulun. Sejak Su Tiau-ing tiba didaerah situ, Chomulun itu mengandung maksud tak baik terhadap Su Tiau ing. Acapkali ia mengikuti nona itu, Su Tiau ing benci kepadanya, tapi karena hendak menggunakan tenaga ayah dan anak itu, terpaksa ia kekang kemarahannya.

Chomulun memiliki tenaga pembawaan yang kuat sekali. Dengan tangan kosong ia dapat memukul mati harimau. Tombaknya itu beratnya 52 kati. Dimainkannya kekuatannya sama dengan puluhan orang. Tusukannya tadi hanya menggunakan 2-3 bagian tanaganya saja, coba tidak Su Tiau ing sudah hancur.

"Yan Khan (raja Yan) adikmu cantik benar, sayang kalau dibunuh, lebih baik kasih aku saja," serunya kepada Su Tiau gi. "Bunuh dulu bangsat itu. baru nanti kuserahkan ia padamu." sahut Su Tiau gi.

"Apanya yang sukar?" teriak pangeran itu.

Ia terus angkat tombaknya hendak menyerang Khik Sia, tapi kuatir Su Tiau ing akan merat lolos, ia lantas bersuara: "Hai. buanglah pokiammu itu dan ikut aku saja, Engkomu sudah meluluskan."

Tak mampu memapas kutung tombak si raksasa dan tak dapat menerobos hadapannya, Su Tiau ing tak dapat berbuat apa2. Dalam keadaan berbahaya timbul akalnya. Pura2 ia lantas tertawa kepada Chomulun.

Girang siraksasa bukan main, serunya : "Orang cantik apakah kau meluluskan ?"

Sahut Su Tiau ing, "Yang kupuja adalah, kaum pahlawan gagah perkasa. Asal kau dapat menangkan dia (ia menunjuk Khik Sia). mau aku menikah padamu ."

"Benarkah ? kau tak lari?" Chomulun menegas.

"Tak nanti aku melarikan diri. tapi kau harus bertanding satu lawan satu. Jika menang barulah kau kuanggap gagah perkasa!" seru Su Tiau ing.

Si raksasa ngangakan mulutnya yang besar dan tertawa: "sudah tentu begitu, mengapa aku harus minta bantuan orang!"

"Dan masih ada sebuah lagi. Kau harus halau monyet tua itu, Jika monyet tua itu sampat melukai aku, bagaimana nanti?"

Chomulun berseru keras: "Kau adalah orangku. siapa yang berani mengganggu selembar rambutmu saja, tentu akan kubunuhnya."

Dengan mainkan tombak besinya, Benar juga Chomulun lantas menghampiri Khik Sia, teriaknya dengan suara menggeledek: "Hai. monyet tua, menyingkirlah. Biar kutempur budak ini."

Yang disebut-2 monyet tua ini adalah Ceng Ceng-ji, sudah tentu diri Ceng ceng ji tidak terima dihina begitu, Sahutnya dengan tertawa mengejek: "Siau ya, jangan termakan tipunya (Su Tiau ing). Budak ini lihay sekali."

Chomulun menganggap dirinya itu tiada yang melawan didunia ini. Mendengar ejekan Ceng ceng ji. marahnya bukan main:

"Bagaimana lihaynya? Apakah lebih lihay dari singa? Apakah lebih buas dari harimau? Kau sendirilah yang tak berguna, tak mampu mengalahkannya lalu memuji2nya setinggi langit!"

Saking marahnya ubun2 kepala Ceng ceng ji sampai keluar asap. Sebenarnya ia tak mau menyingkir, tapi demi hasil pertempurannya dengan Khik Sia tadi berimbang saja, jika Chomulun siraksasa limbung itu benar2 akan menombaknya, tentu akan berbahaya sekali. Akhirnya terpaksa ia kendalikan kemarahannya dan tertawa dingin.

"Bagus, kau benar2 tak tahu gelagat. Karena kau hendak maju mengantarkan jiwa silahkan majulah!"

Chomulun membentak keras: "Monyet tua kau berani menghina aku? Tunggu setelah kuselesaikan budak ini, tentu kubikin perhitungan padamu".

Ceng Ceng ji tertawa ejek dan mengundurkan diri.

Maju dua langkah, Chomulun lantas putar tombaknya sehingga menimbulkan lingkaran sinar. Serunya kepada Khik Sia: "Kau minta senjata apa, biar kusuruh orang mengambilkan agar kau jangan mati penasaran."

Ia yakin tentu dapat menang. Sengaja ia pamerkan kegagahannya dihadapan Su Tiau ing. Menandakan bahwa ia tak mau membunuh orang yang tak bersenjata. Khik Sia tak ada waktu meladeni orang limbung itu, Barbareng mulutnya berseru: "Aku minta tombakmu ini, lepaslah!" Tangannyapun sudah secepat kilat menyambar ujung tombak orang.

"Hai, budak ini kuat sekali!" teriak Chomulun dengan kaget. Ia gunakan kedua tangannya untuk memegang kencang2 tangkai tombaknya. Khik Sia menariknya, tapi tak berhasil merebut dari tangan raksasa itu.

"Kau tak mau melepaskan? Hm, kau sendiri yang minta sakit!" teriak Khik Sia yang lantas hantamkan tangan kirinya kearah batang tombak. Tar, seperti bunyi halilintar menyambar memecahkan telinga, seketika Chomulun rasakan seperti ada arus tenaga menyalur lewat batang tombaknya terus manghantam kedadanya, Darahnya serasa berggolak dan gedebuk..... ia jatuh terbalik dengan kaki diatas, sudah tentu tombaknya berbalik ketangan Khik Sia.

Kiranya Kik sia menggunakan pukulan lwekang kek lui coan-kang. Ia salurkan lwekang melalui batang tombak terus menghantam tubuh lawan.

Betapapun kuatnya tenaga Chomulun ini, tapi mana kuat menahan gelombang lwekang yang memancar sedemikian kuatnya?

Sekonyong2 terdengar dua kali deru angin menyambar dari kanan kiri Khik sia. Ceng ceng ji dan Ma Tianglo dari partai Kay pang telah serempak menyerang Khik sia. Selagi Khik sia merebut tombak dan belum sempat menggunakannya, terus diserangnya saja. Memang tombak itu senjata yang sukar untuk digunakan bertempur secara rapat. Tapi ilmu ginkang Khik sia itu sudah mencapai tingkat yang sedemikian rupa.

Begitu merasa ada angin menyambar dari belakang. Ia dapat lemparkan tombaknya keudara. kemudian ia enjot tubuhnya untuk melambung. sambil menyambar tombak. ia melayang turun tiga tombak jauhnya. Kini ia mempunyai jarak yang lapang dengan Ceng ceng-ji dan Ma tianglo. Dengan tangkasnya mulailah ia kembangkan permainan tombak.

Trang, tangan Ma tianglo terasa kesemutan karena tongkatnya kena dihantam putus oleh tombak Khik Sia. Tianglo itu lekas-lekas mundur. Seperti telah diterangkan diatas, tombak itu berataya 72 kati. Pedang Ceng Ceng-ji pun tak mampu memapas kuntung, Khik Sia mainkan tombaknya sedemikian rupa. ibarat percikan air tak dapat menerobos masuk. Dalam keadaan begitu, Ceng Ceog-ji tak berdaya untuk merangseknya.

Chomulunpun membawa pengawal sebanyak 50 orang. Pengawalnya disebut pasukan Thing pay-chiu atau pasukan perisai rotan. Sebenarnya saat itu mereka sudah pecah diri berjajar menjadi formasi kipas, untuk menghadang jangan sampai Su Tiau-ing lolos. Begitu Chomulun terbanting ketanah, Su tiau ing tertawa mengejek :"Itu lihat, Tiau-ong-ya kalian sudah menang, aku sekarang hendak pergi ."

Anak huah thing-pay-chiu itu masing2 memegang  golok dan perisai rotan, perisai itu dapat menahan bacokan senjata tajam. Benar po kiam Si Tiau ing dapat menghancurkan perisai mereka tapi jumlah mereka banyak, satu hancur dan maju, Dan demikianlah seterusnya. Lima puluh anak buah pasukan thing pay chiu itu seperti kumbang mengepung Su tiau ing dan delapan penjuru. Kepungan mereka itu makin lama makin rapat. Sukarlah bagi Su Tiau ing untuk menerobos keluar.

Khik Si tak mau mengorban banyak jiwa. Tiba2 ia putar tombaknya dan menggembor keras. Dtusukkanya tombak itu pada sebuah tiang batu. Krek, bum. .. pecahlah batu berhamburan ke-mana2 dan pilar batu itu telah kena, kena tertusuk sampai berlobang. Setelah itu ia putar tombaknya sampai seperti kitiran dan berseru nyaring: "Siapa yang menghalang tentu mati, yang menyingkir akan hidup. Coba saja kalian tanya pada diri kalian serdiri. Apakah kepala kalian itu lebih keras dari pilar batu ini?" Kelima puluh anak buah Thing-pay-chiu itu sebenarnya bangsa jagoan yang buas dan tak takut mati. Tapi demi melihat Khia Sia menyerbu dengan tombaknya, pecahlah nyali mereka. Dengan berteriak2 keras, mereka sama lari tunggang langgang keempat jurusan. Sebetulnya mereka itu bukan takut mati melainkan ketakutan melihat keperkasaan Khik Sia yang mengamuk seperti banteng ketaton itu.

Melihat tak dapat merintangi lagi, berserulah Su Tiau gi memanggil adiknya: "Moay moay, apakah kau sungguh2 hendak melarikan diri bersama bangsat kecil itu?"

Su Tiau-ing tertawa mengejek: "Ho, jadi kau masih menganggap aku sebagai adik? Sejak saat ini, hubungan kita sebagai kakak-adik putuslah."

Saat itu dengan sudah ganti toya (tongkat) baru. Uh bun Jui menerobos maju dan berseru: "Nona Su, jika siang-siang tahu akan kejadian begini, mengapa dulu kita berjerih payah?"

Dengan tawar Su Tiau-ing menjawab: "Kebaikanmu tetap kuingat. Kini aku telah mengambil ketetapan untuk tinggalkan tempat ini. Siapapun tak dapat menghalangi aku."

Habis berkata, Su Tiau-ing lantas menabas. Uh-bun Jui berteriak, lalu ngacir pergi.

Dengan bersenjata tombak panjang yang ampuh itu, dapatlah Khik Sia dalam waktu yang singkat membuka jalan lolos. Ia terus menerjang kepintu besar, Su Tiau-gi perintahkan pasukan panahnya untuk mengejar dan lepaskan anak panah, Ceng-ceng-jipun ikut memburu.

Bagaikan kawanan belalang ribuan batang panah segera menghujani Khik Sia dan Su Tiau-ing, Khik Sia tetap putar tombaknya sedemikian gencarnya untuk melindungi Su Tiau- ing didalam membuka jalan lari itu. Tiba-tiba diantara hujan anak panah itu tampak ada sekumpulan sinar perak bergemerlapan, pada lain kejap sekonyong-konyong Su Tiau- ing berteriak mengaduh : "Celaka aku terkena senjata rahasia!"

Ceng-ceng-ji tertawa gelak2. Kiranya ialah yang melepaskan jarum rahasia bwe-hoa-cam itu. Timpukannya itu dapat mencapai jarak tiga tombak lebih. Yang hebat lagi, jarum rahasia itu tak mengeluarkan suara sama sekali.. Jarum itu susah dijaganya.

Khik Sia gunakan kecekatan tangannya untuk menyambuti

10 batang anak panah. Kemudian dengan gunakan ilmu timpukan thian-li-sam hoa atau bidadari menabur bunga, ia timpukkan anak panah itu kearah Ceng Ceng ji. Karena lwekangnya yang tinggi, maka timpukannya itu tak kalah lihaynya dengan kekuatan busur. Anak panah yang ditimpukkan itu mendengung di udara. Ceng ceng ji tak berani menyambarnya, buru2 dia putar pedang untuk melindungi diri sembari menyingkir kesamping. Luput mendapat sasara Ceng ceng ji, anak panah itu telah mengganyang beberapa orang angguta pasukan panah. Pasukan panah itu tak berani merangsek dekat-dekat lagi.

"Dibagian mana yang terluka?" tanya Khik Sia

"Celaka, yang terluka pada bagian ujung kaki." Sahut Su tiau ing. Ia beringsut, larinya susah sekali. Sejenak Khik sia mengerutkan alis terus memimpinnya diajak berlari.

Tiba2 dimuka kembali ada sepasukan berkuda menyerbu datang.

"Ong ciangkun, apakah kau hendak membikin susah padaku?" Su Tiau ing menegur opsir pemimpin pasukan itu.

"Ah, aku tak berani mengganggu kongcu, Harap kongcu menyingkir, aku hanya akan membunuh maling kecil itu." sahut opsir itu. Dan pada waktu dia berkata itu, dngan menunggang kuda yang tegar, ia sudah menerjang Khik sia dengan tumbaknya. Ciangkun atau jendral orang she Ong itu mahir dalam permainan pat-coa un (tombak delapan ular). Diantara orang sebawahan Su tiau gi, ia termasuk seorang opsir yang gagah perkasa. Tapi apa lacur, berhadapan dengan Khik Sia, benar2 ia ketemu dengan batunya. 

"Bagus!!" seru Khik sia sembari tusukan tombaknya. Tusukan itu berhasil dapat menyengkelit jatuh opsir itu. Kuda opsir itu sudah banyak kali dipakai dalam pertempuran, Tuannya jatuh, binatang itu tetap menyerbu kemuka untuk meloloskan diri. Tapi dengan tangkas, Khik Sia cepat menguasainya, Karena Su Tiau-ing terluka dan waktunya kelewatan mendesaknya, dan apa boleh buat pada waktu itu Khik Sia segera boncengkan nona itu diatas kuda.

Pasukan berkuda itu datangnya seperti air bah. Khik Sia menghadapi mereka dengan sebuah taktik. Ia tak mau mengarah penunggang, tetapi mengincar kuda tunggangannya. Dalam beberapa kejap saja, ia sudah berhasil melukai belasan ekor kuda. Karena terluka, kuda itu menjadi binal dan lari mencongklang keras. Kepanikan mereka itu telah menyebabkan pasukan kawannya yang berada dibelakang, menjadi terhalang, Su Tiau-ing dengan sebelah tangannya mendekap pinggang Khik Sia, sedang sebelah tangannya lagi memutar pokiam untuk melindungi anak muda itu dari serangan anak panah dari kedua jurusan (kanan kirinya).

Tiba-tiba dari kalangan anak buah pasukan berkuda itu timbul hiruk pikuk yang menggemparkan. Ketika Khik Sia berpaling, dilihatnya ada asap api mengepul keatas. Khik Sia girang-girang terkejut, pikirnya: "Tepat sekali datangnya api itu bagiku. Tapi entah siapa yang diam-diam membantu aku itu?"

Pertama, karena pasukan berkuda pasukan pemanah itu sudah gentar melihat kegagahan Khik Sia. Kedua kalinya, mereka kaget melihat dimarkas besarnya timbul bahaya kebakaran. Tanpa banyak pikir lagi, mereka tinggalkan pengejarannya kepada Khik Sia, terus memburu kearah kebakaran.

Kini lepaslah Khik Sia dari kepungan. Ia congklangkan kudanya pesat-pesat. Ada belasan anak buah Su Tiau-gi yang masih berusaha untuk mengejarnya, tapi mereka itu dapat dihalau taburan anak panah Khik Sia. Yang masih mengejar, kini tinggal Ceng-ceng ji seorang. Sebenarnya dengan ginkang yang dipunyai itu, dalam batas jarak 10 li, dapatlah Ceng-ceng ji mencandak larinya kuda. Tapi karena ia hanya sendirian saja, nyalinya menjadi kecil juga.

Setelah kejar beberapa saat, waktu mengetahui belakang tiada seorang kawan lagi timbullah kekuatiran Ceng ceng-ji, kalau-kalau Khik Sia akan balik dan menyerangnya. Terpaksa ia pun putar langkahnya lari balik.

Selolosnya Khik Sia dari bahaya itu, diam-diam ia malah mengeluh dalam hati: "Kalau nona ini tak terluka itulah mudah. Aku bisa berpisah dengannya. Tak memperdulikan lagi, sebenarnya juga tak mengapa. Tapi sekarang ia terluka. Karena membela diriku, ia sampai putuskan hubungannya dengan engkohnya. Bagaimana aku tega  tak menghiraukannya lagi?"

Waktu masih bertempur, tadi Su Tiau-ing tak merasa kesakitan. Tapi kini setelah lolos dari bahaya, Ia mulai mengerang kesakitan, Dan untuk melonggarkan nyeri sakitnya ini, ia peluk pinggang sianak muda erat2.

Khik Sia kerutkan alis dan menanya: "Bagaimana apakah kau merasa sakit sekali?"

"Kumerasa jarum itu seperti bergerak2 ke atas, makin lama makin menyusup lebih dalam" jawab Su Tiau-ing

Khik Sia terkesiap kaget. Memang ia tahu bagaimana kepandaian bekas suhengnya itu. Pikirnya: "Jika tak di cabut, dalam tujuh hari jarum itu tentu dapat menyerang kejantung, pada waktu itu, tiada obatnya lagi. Sekali pun tidak kena jantung dan hanya menyusup kedalam jalan darah saja, juga akan menyebabkan invalid. Ai, tak nyana Ceng-ceng ji itu sedemikian ganasnya, Terhadap nona Su, ia juga gunakan jarum rahasia."

Penderitaan Su Tiau-ing makin menyebabkan Khik Sia tak dapat meninggalkannya. Katanya: "Kau tahan dulu sebentar, biar kucari tempat untuk mengobati lukamu itu,"

Ia lari sampai dua puluhan li, mendaki sebuah gunung. Disitu ia berhenti dan bantu Su Tiau-ing turun dari kuda. Mereka masuk kedalam sebuah hutan.

"Maaf... Aku telah membikin cape kau," kata Su Tiau-ing "Kau telah menolong aku, seharusnya aku membalas

menolongmu. aku tak berterima kasih kepadamu dan kaupun tak usah berterima kasih kepadaku." jawab Khik sia.

Su tiau ing tertawa. "Rupanya kau berniat hendak tinggalkan aku, maka sekarang kau berusaha mengobati lukaku. Jangan takut, sekalipun nanti aku tak punya saudara siapa2 lagi, tak nanti aku membayangi kau. Apalagi kau punya ginkang hebat, setiap waktu kau tinggalkan aku, masa aku dapat mengejarmu lagi?"

Khik sia termekmek dengan kata2 si nona yang membuka isi hatinya itu. Merahkah mukanya. Sampai sekian lama baru dapat bersuara lagi. "Aku tidak bermaksud begitu. Seorang lelaki harus dapat membedakan budi dan dendam. Aku tak suka menerima budi kebaikan orang."

Su Tiau Ing menjawab dengan sungguh2, "Mana aku telah melepas budi padamu? Karena aku tak baik, maka sampai hampir mencelakai dirimu. Kau kuberi obat penawar, itu sudah selayaknya. Cukup asal kau tak membenci aku lagi, aku sudah merasa berterima kasih tak terhingga."

Khik sia putuskan pembicaraan. "Perkara lama, jangan ungkit lagi. Sekarang harap kau duduk bersandar pada pohon ini. Kau merasa jarum itu menyusup kebagian mana?"

Su Tiau-ing julurkan kaki kanannya: "Sepertinya menyusup sampai di betis, disebelah jalan darah sam-kwat-hiat."

Khik Sia bersangsi sebentar lalu berkata: "Nona, maafkan kekurang ajarku."

Tiba-tiba ia pegang ujung kaki Su Tiau-ing terus melepaskan sepatunya.

"Akan kuambil jarum dikakimu itu," sahut Khik Sia.

Su Tiau-ing menghela napas lalu tertawa cekikikan: "Ai, kau ini memang. Omong saja tak jelas. Kalau tadi-tadi mengatakan begitukan aku tak sampai kaget dan tak perlu kau menyebut- nyebut soal kurang ajar atau tidak."

"Kau tahankan ya sakitnya! Hendak ku cabut keluar jarum itu," kata Khik Sia.

Ia menutuk jalan darah sam-kwat-hiat di betis sinona, kemudian mencekal kencang ujung kakinya. Diam-diam ia kerahkan lwekangnya. Serangkum arus lwekang menyalur dan mendorong jarum itu keluar. Begitu ujung jarum menonjol, terus dipijat Khik Sia. Saking sakitnya Su Tiau-ing sampai mandi keringat dan tubuhnyapun gemetar. Tanpa terasa, karena menahan kesakitan itu, Su Tiau-ing menyandar pada tubuh Khik Sia. Ketika melirik, didapati kedua belah pipi Khik Sia merah padam napasnya memburu.

Memang sebesar itu, belum pernah Khik Sia berjajar rapat dengan seorang gadis. Meskipun saat itu untuk keperluan pengobatan, namun karena menyentuh kaki seorang gadis yang harum baunya. mau tak mau jantung Khik Sia berdebar keras. Sebaliknya Su Tiau-ing diam2 merasa girang.

"Kiranya anak muda ini lebih kemaluan dari aku." Dalam derita kesakitanya itu, Su Tiau-ing merasa bahagia. Bahkan ia malah mengharap kesakitannya itu bisa panjang waktunya. Dengan iwekang yang liehay dalam sekejap saja dapatlah Khik Sia menekan jarum itu turun ketelapak kaki Su tiau ing. Begitu ujungnya menonjol keluar, Khik Sia gunakan dua buah jari untuk menariknya.

"Aduh”, Su Tiau-ing menjerit kesakitan, Tapi jarum itu sudah dapat dikeluarkan Khik sia, setelah itu Khik Sia lalu melumuri obat. Su Tiau-ing bersandar pada pohon dengan napas tersengal2, sedangkan Khik Sia juga mandi keringat. kala itu hari sudah gelap, dicela gunung sang dewi malam sudah mulai mengintip,

"Aduh, mengapa tenagaku tak ada sama sekali. Kau bagaimana, apa sekarang mau pergi?" seru Su Tiau-ing.

"Beristirahat dulu disini sebentar, aku hendak mencari makanan. Lukamu sudah sembuh. Tenagamu lemas,  tentu kau lapar." Kata Khik Sia, ia sendiri hanya memakan semangkuk bubur pagi tadi. Dalam pertempuran tadi ia sudah gunakan tenaga tidak sedikit. Kemudian mencabut jarum dikaki Su Tiau-ing, ini membuatnya merasa lapar juga.

Benar dihutan situ banyak binatangnya tapi di waktu  malam hari sukar untuk mencarinya. Apalagi Khik Sia tak punya pengalaman berburu. dengan susah payah akhirnya ia hanya dapat menangkap dua ekor kelinci hutan saja.

Dilihatnya Su Tiau-ing sudah membuat api dan menyambutnya dengan senyum tertawa : "Kukira kau  tak balik lagi ."

"Hm, jika bukan karena tenagamu masih belum pulih, aku tentu sudah pergi." demikian Khik Sia membatin.

Tapi Su tiau-ing rupanya tahu apa yang di batin anak muda itu, serunya tertawa . "Didunia tiada perjamuan yang tiada berakhir. Biarlah kurangkai bunga untuk dipersembahkan Hud. baiklah kupersiapkan hidangan selaku perjamuan perpisahan kita.!"

Ia menyambut kedua ekor kelinci itu, menambahi pula unggun api lalu mulai membakar kelinci itu. Ditingkah oleh cahaya api, wajah nona itu tampak ke-merah2an, suatu warna yang makin menambah kecantikan wajahnya. Hati Khik Sia ber-debar2, pikirnya: "Jika sehabis makan lantas kutinggalkan, apakah tidak keliwat menyolok. Seorang gadis yang lukanya masih belum sembuh, berada seorang diri ditengah hutan belantara, apakah tidak berbahaya? Jangan kata engkohnya akan mengirim orang untuk mencarinya, sedang kalau sampai berjumpa dengan binatang buas saja, apakah jiwanya tak terancam nanti? Ai, tetapi....tetapi..., apakah malam ini aku harus menemaninya disini."

Rembulan makin naik tinggi. Sinarnya menerobos di-sela daun pohor, yang rindang membawakan suatu suasana yang rawan. Angin malam berembus mengantar bau bunga. hutan yang wangi. Keindahan suasana malam kala itu diperkaya dengan hadirrya seorang gadis jelita. Pikiran Khik Sia melayang2. Tiba2 ia teringat akan diri Yak-bwe. Pada malam

yang sedemikian indahnya inilah ia bertemu dengan nona itu. Ditaman bunga gedung Sik Ko, untuk pertama kali ia  berjumpa dengan calon istrinya itu.

"Ah, waktu perjumpaan kita di ramaikan dengan pertengkaran. Dan ia malah memakimu sebagai pencuri. Tapi aku sendiri juga tidak baik. Karena sikapku kepadanya juga jelas mengejek."

Lain adegan terbayang lagi dalam lamunan Khik Sia. Adegan yang terjadi pada lain malam, yaitu adegan ditaman bunga Tok-ko U. Seorang diri ia mondar mandir ditaman bunga, menunggu kedatangan Tok-ko U. Teringat sampai disini, hati Khik Sia merasa pilu. Buru2 ia putuskan lamunannya itu dan tak mau lagi ia melamun yang tidak2. Didahului dengan pecahnya sang mulut karera tertawa, berserulah Su Tiau-ing: "Apa yang kau pikirkan? Kau tampak asyik sekali. Ini sate kelinci sudah matang”

Khik Sia gelagapan, tiba2 teringat olehnya: "Pada malam dua bulan yang lalu. aku berjumpa empat mata dengan Su yak-bwe. Tak nyana kalau dalam ini juga menghadap keadaan seperti itu. Sayangnya meskipun ia juga she Su, tapi bukan Su yak-bwe Ah, janganlah mengingat dia lagi. Ia (Yak Bwe) sudah mendapat orang di penujuinya.."

Ter-sipu2 Khik sia menyambut kelinci bakar itu. Karena tak hati2, tangannya terbentur dengan ranting yang dimasukkan kedalam api oleh Su tiau-ing tadi. Buru2 ia tarik pulang tangannya.

"Ai, bagaimana kau ini? Apakah yang kau pikirkan?" Su Tiau-ing tertawa.

Cepat Khik Sia berkesiap sungguh2 dan bertanya, "Aku hendak menanya suatu hal padamu."

"Apa itu hingga kau harus merenungkan sekian lama?" tanya Su Tiau Ing. ia menatap pemuda itu tajam2.

Khik Sia batuk sebentar baru berkata: "Kau sudah tinggalkan sarang kaum pemberontak. Sebenarnya aku takkan mengungkit peristiwa lama lagi. Tetapi urusan ini tak dapat terlepas dari itu."

Su Tiau-ing tersirat hatinya pikirnya: "Ia memandang kerajaan Tay Yan sebagai sarang pemberontak. Ia sendiri juga bangsa penyamun mengapa begitu memandang rendah pada kaum pemberontak? Apalagi keluargaku itu bukan bangsa pemberontak biasa. Kalau berhasil tentu menjadi raja, kalau gagal menjadi perampok. Masakah hal ini saja ia tak mengerti."

Ia paksakan bersenyum dan bertanya: "Bilanglah. tentang hal apa?" "Cui Ko pangcu dari Kay-pang apakah masih kalian tawan?" tanya Khik Sia.

"Oh, kiranya tentang hal itu. Jangan kuatir, bukankah tadi kau melihat dimarkas engkohku itu terbit kebakaran?" Su Tiau-ing balas bertanya.

"Ha? Jadi kau tahu siapa yang melepas api itu ? Apakah hubungan api itu dengan Ciu pangcu ?!" seru Khik Sia.

Su Tiau-ing tertawa : "Kau begini pintarnya, masa tak dapat menerka? Api itu aku yang melepaskannya. Tempat yang terbakar itu adalah kamar Ciu pangcu."

"Apa? Kau yang membakar? Apakah kau mempunyai ilmu Hun-sin hwat (membagi diri)?" Khik Sia berseru kaget.

Su Tiau-ing mentertawainya ."Apakah masih belum jelas? Benar aku tak punya ilmu hun-sin-hwat, tapi aku punya budak kepercayaan." Sinona masih tetap tertawa.

"Lama sudah kuduga, lambat atau cepat, engkohku itu tentu bentrok dengan aku. Karena itu siang2 telahku pesan orang2 bila terjadi apa2 harus lekas menyulut api. Pertama, agar Ciu pangcu jangan sampai jatuh ketangan engkohku. Kedua, juga menguntungkan kita untuk lolos. Masihkah kau tak mengerti!"

"Kalau begitu Ciu pangcu juga sudah lolos."

"Sudah tentu. Memang sebenarnya aku tak berniat membunuhnya, Dengan susah payah ku tawannya, masakan lantas gampang2 mau membakarnya mati ?" sahui Su tiau ing.

Khik Sia seperti terlepas dari tindihan batu. Namun ia masih belum yakin, pikirnya: "Agaknya nona Su ini menjadi otak dari engkohnya didalam merencanakan sesuatu. Merancang tipu siasat, rupanya ia pandai sekali. Menawan Ciu pangcu itu, tentu juga ia yang mengatur. Tak terluput diriku yang ditawan dan dijadikan orang perantara untuk menyampaikan maksudnya kepada Thiat-toako tentu juga buah pikirannya. Tapi mengapa mendadak sontak ia merobah haluan, melepaskan Ciu pangcu dan putuskan hubungan dengan engkohnya. Apakah kesemuanya itu untuk diriku se-mata2?"

Su Tiau-ing tertawa: "Pertanyaanmu telah kujawab, Ciu pangcu tak binasa. Seharusnya kau tak usah gelisah tapi mengapa kau masih memikirkan apa-apa lagi?"

"Apakah kau tak menyesal putuskan hubungan dengan engkohmu?" tanya Khik Sia.

Su Tiau-ing tertawa menyahut: "Aku sebenarnya berlainan ibu dengan dia, dan ia telah berbuat khianat membunuh ayah kami dan telah menyebabkan ibuku meninggal karena marah. Coba kau pikirkan, apakah aku masih dapat menganggapnya sebagai engkoh lagi.?"

"Kalau begitu, sebenarnya kau sudah lama benci kepadanya? Tetapi mengapa, mengapa.."

"Kau hendak menanyakan mengapa sebelum melarikan diri aku mau membantu engkohku itu, bukan ?" Tiau Ing menegas

"Sebenarnya aku tak suka mengangkat urusanmu yang lama. Jika kau tak suka menerangkannya. ya sudahlah!!"

Su Tiau ing tertawa: "Ku tahu kau ini seorang anak lelaki yang kasar. Siapa nyana agaknya kau juga mengerti soal etiket (tata susila). Padahal sekalipun tak kutanyakan, aku tentu akan memberitahukan padamu juga. Apa kau kira aku tulus ikhas membantu engkohku? Hanya karena belum tiba saatnya, aku belum dapat melakukan pembalasan padanya. Kekuasaan engkohku lebih besar, anak buahnya lebih banyak dari anak buahku, dari itu aku tak dapat sembarangan bergebrak!"

Kini teranglah Khik Sia, katanya: "Kiranya kau memperalat Uh-bun Jui. karena hendak memakai tenaga kaum Kay-pang untuk menghantam engkohmu?" Sebenarnya Khik Sia masih menahan sebuah pertanyaan lagi, yakni: "Kau bersikap begitu juga kepadaku, apakah bukan serupa maksud tindakanmu terhadap Uh bun Jui."

Dengan tegas Su Tiau-ing menjawab: "Benar, jika tak bermaksud menggunakan tenaga kaum Kay-pang. masakan aku sudi berkenalan dengan Uh-bun Jui. Sayang meskipun telah kugunakan bermacam jalan, namun ia tetap gagal menjadi pangcu."

Dingin2 Khik Sia berkata: "Akulah yang merusak usahamu itu, Kala itu jika aku tak muncul melawan kalian, kemungkinan besar Uh bun Jui tentu sudah menjadi pangcu."

Su Tiau-ing tertawa lebar. "Memang kala itu aku benci benar2 padamu, Tapi kemudian tidak lagi, telah kunilai, Meskipun Uh-bun Jui itu memiliki sedikit kepandaian tapi tak dapat digembleng menjadi bahan yang bagus. Untuk mengangkatnya, juga sukar. Ada apa? engkau masih tak mau mengampuni dia ?"

"Aku tak punya sangkut paut dengan dia. Diberi ampun atau tidak itu urusan partai Kay pang", sahut Khik Sia.

Mata Su Tiau-ing berkeliaran. Dengan tertawa ia menatap Khik Sia, lalu berkata perlahan lahan: "Kukira kau masih mengandung permusuhan padanya."

"Tidak, sebaliknya aku malah agak merasa kasihan padanya," kata Khik Sia.

Sampai beberapa saat. Su Tiau ing berdiam saja. Lewat beberapa saat barulah ia berkata : "Tentang bentrokanku dengan engkoh itu, memang suatu hal yang sukar dihindari. Hanya aku tak menyangka kalau secepat ini terjadi-nya. Aku belum siap betul, sudah didesak harus mengadakan pilihan."

Diam2 tergetar hati Khik Sia. pikirnya : "Kiranya kakak beradik itu diam2 sudah mendendam permusuhan, nona ini masih muda sekali umurnya. tapi hatinya amat besar." Pikirnya pula: "Su Su bing mati memang sudah selayaknya. Tapi tak seharusnya ia mati ditangan puteranya sendiri. Rupanya nona itu hendak membalas pada engkohnya, bukan semata2 karena hendak menuntut balas kematian ayahnya."

Katanya kepada Su Tiau ing : "Kalau begitu lagi. akulah yang merusak rencanamu itu bukan?"

"Tapi dengan begitu malah lebih baik. apakah kau suka membantu aku?," tanya Su tiau ing.

"Telah kukatakan dari tadi, kau sudah menolong aku dan akupun sudah menolongmu. kita tak usah merasa saling menerima budi. Besok apabila fajar sudah menyingsing, kita bakal sudah berpisah. Aku tak dapat membantumu." jawab Khik Sia. Dalam pada itu ia membathin: "Kamu saling bunuh dengan keluargamu sendiri dalam hal itu aku tak boleh turut campur."

Su Tiau-ing tertawa: "Aku belum bicara selesai, Bukan saja hanya membantu urusanku. pun bagimu juga ada kebaikannya,"

"Kebaikan apa saja, pun aku tak memikirkan." Khik Sia tetap menolak.

"Apakah kau setitik saja tak mempunyai cita2 untuk melakukan suatu pekerjaan besar?" tanya Su Tiau-ing.

"Kulihat dulu, pekerjaan apa?" kata Khik Sia.

"Meskipun engkohku itu menderita kekalahan tapi ia masih punya berpuluh ribu anak buah. Selain itu aku sendiri juga punya tiga ribu pasukan wanita. Mereka hanya mendengar perintahku saja, Engkohku tak punya kekuasaan untuk memerintah mereka. Tapi jika engkohku itu meninggal, sebaliknya aku dapat menguasai anak buahnya".

"Jadi kau mau hilangkan dia dan menggantinya? Tetapi hal itu tak ada sangkut pautnya dengan diriku. Telah kukatakan ber-ulang2 bahwa aku tak dapat membantu urusanmu," kata Khik Sia.

"Tidak, hal itupun justru ada sangkut pautnya padamu. Coba dengarlah. Aku juga tak menghendaki kau mewakili aku membalas sakit hati karena toh sekarang ini kau sudah putus arang (hubungan yang tak mungkin baik lagi) dengan Ceng- ceng ji. Kita pulang secara diam-diam. Pasukanku itu dapat menghadapi anak buah engkohku, Engkohku itu juga bukan tandinganku. Aku hendak melakukan pemberontakan secara tiba2. Urusan itu tanggung berhasil. Yang kukuatiri yalah beberapa ko-chiu (jago liehay) yang diundangnya itu. Tapi diantara mereka itu, Hoan Gong Sian jiu. terang berdiri netral. Dalam kalangan orang Kay pang ada Ma tianglo dan Uh bun Jui. tapi Uh-bun Jui tak berani berbuat apa2 terhadap aku. Yang masih perlu dikuatirkan hanya Ceng-ceng-ji seorang. Aku hanya minta padamu, Jika Ceng ceng-ji itu sampai merintangi, harap kau bunuh saja dia itu. Jika urusanku itu selesai, kuangkat kau menjadi raja2 diseluruh anak buah engkohku akan kuserahkan padamu."

Mendengar itu Khik sia tertawa gelak2, "Mengapa kau tertawa?" tanya Su Tiau-ing. Sahut Khik Sia:

"Kau salah memilih orang. Aku bukan manusia yang setimpal menjadi raja!"

"Sampai sekarang, kerajaan mana yang tidak terdiri dari orang yang mempertaruhkan jiwanya, menang jadi raja, kalah jadi perampok? Apa kau kira seorang raja itu memang sudah ditakdirkan?"

Jawab Khik Sia : "Setiap orang mempunyai cita2 sendiri.

Karena kau bercita2kan menjadi raja nah, jadilah."

Su Tiau-ing tertawa mengikik : "Sayang aku ini seorang anak perempuan." Khik Sia bersikap sungguh, katanya : "Apakah seorang perempuan tak boleh menjadi raja? Apakah Bu Cek-thian itu bukan seorang kaisar wanita? Ia telah mengganti kerajaan Tong menjadi kerajaan Ciu dan bukankah ia berhasil menikmati takhta kerajaan selama 18 tahun lamanya?"

Su Tiau-ing kerutkan sepasang alisnya. Biji matanya berseri2 dan tertawalah ia : "Kaisar Cek thian itu seorang wanita yang pandai lagi berani, kaisar Thay Cong saja tak lebih pintar dari padanya, mana aku dapat dipersamakan dengannya? Dan lagi jangan dilupakan bahwa kaisar Cek thian itu juga mempunyai pembantu yang jempol seperti Tek Jin- kiat."

Khik Sia tertawa : "Sayang aku tak mampu menjadi Tek Jin kiat. Jika kau mau menjadi raja. pilihlah lain Tek Jin kiat yang dapat membantumu."

Sa Tiau-ing menunduk dengan rasa kecewa, tapi pada lain saat tiba2 dia tertawa lagi.

"Hi, kau tertawa lagi?" seru Khik Sia.

"Aku hanya omong guyon kau lantas anggap sesungguhnya. Kau adalah seorang gagah, seorang pendekar tapi takut ber-angan2kan menjadi raja. Coba pikirkan, aku seorang anak perempuan mana berani tak tahu diri? Tadi hanya sekedar guyonan saja. jangan kau anggap sungguh2!".

Padahal ia mengatakan hal itu dengan tertawa untuk memulas maksudnya yang sesungguhnya. Benar2 noca itu licin sekali,

Katanya pula: "Engkohku rasanya juga takkan lama menjadi raja. Tapi ia masih mempunyai puluhan ribu anak buah, Apabila orang yang pegang kekuasaan itu tidak bijaksana, akibatnya hanya membahayakan rakyat saja. Jika kau sendiri tak mau menindaknya, toh bukan suatu hal jelek jika kau suka membantuku untuk merobohkannya? Dengan begitu berarti bisa basmi perbuatannya yang merugikan kepentingan rakyat bukan?"

Tergerak juga hati Khik Sia mendengar ucapan nona itu.

Tapi segera ia berkata,

"Ia. masalah kerajaan tak perlu aku yang mengurusi."

Rupanya Khik Sia sungkan untuk mengutarakan selanjutnya, bahwa ".Urusanmu aku tak mau turut campur."

Su Tiau-ing putus asa, tapi tak mengatakan. tak mau ia unjukkan kepada Khik Sia. Lewat sesaat, ia menatap Khik Sia dan tertawa: "Ai, kau ini tidak itupun tidak. Habis kau mau jadi apa?!"

"Aku hanya bercita2 menjadi orang seperti ayahku," jawab Khik Sia.

"Oh kau ingin menjadi pendekar kelana? Yang menjadikan dunia ini rumah tanggamu, yang akan menuntut keadilan bagi rakyat dunia yang tertindas?"

Atas pertanyaan itu, Khik Sia hanya tertawa saja. Sikap itu dapat diartikan, secara diam2 ia mengakuinya.

Su Tiau-ing diam2 menghela napas katanya: "Telah kukoreksi diriku sendiri. Hati ingin memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Aku ingin menjadi tokoh semacam itu. tapi kepandaianku tak mencapai. Tapi aku tetap tak dapat membiarkan engkoh berbuat kejahatan. Aku toh barus membereskan urusan keluargaku baru dapat menurutkan cita2ku bebas berkelana seperti burung yang bebas terbang diudara."

"Setiap orang mempunyai cita2 sendiri, tak dapat dipaksa. Kau senang menjadi apa tak usah kiranya berunding padaku." kata Khik Sia.

Su Tiau-ing tertawa: "Sedikit pun kau tak menaruh perhatian pada urusanku." "Bukan, aku justru hendak bertanya padamu. Apakah semangatmu sudah pulih? Apakah luka kakimu itu sudah sembuh? Apa besok sudah dapat lari? Baiklah sekarang kau beristirahat saja," kata Khik Sia.

Su Tiau-ing bersungut2. "Inikah yang disebut perhatian? Kau kuatir aku merepotimu saja. Baiklah, biar aku mati atau hidup tak perlu kau hiraukan. Bisa berjalan atau tidak, tak perlu kau pedulikan. Aku hendak tidur sekarang."

-od0o-ow0o-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar