Pasangan Naga dan Burung Hong Jilid 11

Jilid XI

ITULAH jurus yang paling lihay dari ilmu hun-kin-jo-kut. Nyata ia bernapsu sekali akan memelintir tangan Khik Sia sampai putus.

Diluar dugaan, Khik Sia tak mau menghindar. Ia biarkan saja tangannya dicengkeram, tapi diam-diam ia salurkan lwekang. Seketika lengannya itu berobah seperti besi kerasnya. Ping Tat terbeliak kaget. Tapi sudah kasip. "Paling tidak harus setingkat begini baru boleh dianggap sempurna!" seru Khik Sia sambil tertawa. Sekali tangan kirinya ditekuk, lengan Ping Tat malah kena dibekuk. Krek......

patahlah lengan jago yang suka memelintir itu.

Ini bukan dikarenakan gerakan Khik Sia lebih jempol dari Ping Tat melainkan karena Khik Sia dapat menggunakan lwekang tepat pada waktunya. Saking marahnya Ping Tat sampai muntah darah dan terus rubuh pingsan,

Habis meremukan lengan Ping Tat, Khik Sia bersuit panjang Sekali enjot, tubuhnya melayang keatas altar batu.

"Hai, siapakah gurumu? Mengerti tidak kau akan peraturan! Disini bukan tempatmu, turunlah.!" cepat Uh Bun Jui membentaknya.

Ternyata Uh Bun Jui juga tak kenal akan Khik Sia. Dikiranya itu salah seorang anak murid Kay Pang. Altar batu itu hanya diperuntukkan tempat duduk para pangcu, hiangcu dan tianglo. Bahwa seorang anak murid kecil berani menginjak tempat itu, merupakan pelanggaran besar. Dengan menanyakan siapa suhu Khik Sia tadi, maksud Uh Bun Jui telah hendak menyuruh suhunya itu mengatasi anak muridnya.

Khik Sia hanya tertawa menyahut: "Kau sudah menjadi pangcu atau bukan, itu aku tak mengerti. Tapi yang kuketahui hanyalah bahwa Wi locianpwe itu adalah susiok-comu. Kau berani menghina pada angkatan yang lebih tua itu suatu dosa yang tak berampun!"

"Pemberontak!" teriak Uh Bun Jui seraya tusukan tongkatnya kejalan darah tubuh Khik Sia.

Khik Sia hendak sambar tongkat lawan, tapi tak terduga Uh Bun Jui itu lihay juga. Benar ia itu murid dari Ciu Ko, tapi mempunyai bakat yang bagus sekali. Dalan usianya itu, ia tak kalah dengan suhunya diwaktu muda. Ilmu permainan tongkat Hang-hong-ciang-hwat, termasuk suatu ilmu sakti didunia kangouw. Bermula Khik Sia tak memandang mata kepada Uh Bun Jui. Baru jarinya menyentuh batang tongkat lawan, tiba- tiba dirasanya tongkat itu bergetar dau tahu2 sudah lolos dari cengkeramannya. Terpaksa Khik Sia gunakan siasat lain. Ia buru-buru miringkan tubuh dan menjentik dengan dua buah jarinya. Tongkat itu terpental dan tangan Uh Bun Jui kesakitan sekali.

Khik Sia maju merapat untuk menghadapi permainan tongkat Hang-liong-ciang-hwat dari Uh Bun Jui. Meskipun Uh Bun Jui lihay juga, namun tetap bukan tandingannya Khik Sia. Dalam sepuluh jurus saja, ia sudah gelagapan. Dan ketika pada lain saat Khik Sia membentak: "lepaskan", dengan tusukan jari tengahnya yang membikin Uh Bun Jui meringis, tongkatnya pun terlepas mencelat keudara,

Tapi pada waktu Khik Sia hendak menyambuti, tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar punggungnya.

"Permainan golok yang luar biasa cepatnya!" diam diam ia memuji sembari balikkan tangan kebelakang untuk menghalaunya. Waktu ia berpaling, kiranya yang menyerang itu adalah seorang nona muda yang mencekal sepasang Liu- yang-siang-to atau sepasang golok setipis daun Liu. Malah dalam sekejap itu, sinona itu sudah lancarkan delapan kali gerakan golok.

Kiranya nona lihay itu adalah nona yang disebut sebagai nona Su oleh Ih Bun Jui tadi. Sekilas teringatlah segera Khik Sia pada Su Yak Bwe. Dan karena pikirannya beihayal itu hampir saja mukanya kena terpapas rata oleh golok sinona.

Ilmu golok Hui-hoan-to-hwat sinona yang terdiri dari enam puluh empat jurus itu, penuh dengan perobahan yang hebat. Gerakannya amat cepat sekali. Tapi meski sudah melancarkan sampai delapan belas kali serangan tetapi ia tak dapat melukai Khik Sia. Diam-diam nona itu terperanjat juga. "Jika kau tetap membandel, aku terpaksa ambil tindakan keras!" seru Khik Sia.

Sret, sret, sret, tiga kali bolang-balingkan pedang untuk mendesak mundur nona itu. Ia menyerang dengan gencar,

"Lepaskan golokmu!" tiba-tiba ia membentak. Ia yakin lawan tentu sudah tidak dapat bertahan lagi. Siapa tahu nona itu malah maju selangkah. Sebenarnya Khik Sia memang tidak bermaksud mengambil jiwa sinona. Permainan pedang Khik Sia telah mencapai tingkat sedemikian rupa hingga dapat dilancarkan dan di hentikan menurut sekehendak hatinya. Tadi ia miringkan ujung pedangnya untuk menutuk siku sinona supaya lepaskan goloknya. Tapi tak nyana, nona itu hanya tertawa mengejek seraya berseru: "Jangan kesusu Bung,. "

Sepasang goloknya dilingkarkan dan dengan tenaga Iwekang lunak, ia menarik pedang Khik Sia ke-samping.

Kiranya walaupuun tenaga nona itu kalah dengan Khik Sia, tapi ilmu kepandaiannya tak dibawah Khik Sia. Disamping itu matanya amat jeli sekali dan pikirannya tajam pula. Begitu melihat gerakan Khik Sia. ia segera mengetahui kalau anak muda itu tak akan mengambil jiwanya. Itulah sebabnya maka ia sengaja maju selangkah untuk menggeser pedang Khik Sia kesamping. Dengan begitu tenaga Khik Sia berkurang separoh. Begitulah nona itu telah berhasil kembangkan ilmu golok dengan lwekang lunak untuk menundukan kekerasan lawan. Sudah tentu dalam hal itu, cara si nona mengambil 'timing' (waktu) yang tepat adalah faktor yang menentukan.

Diam-diam Khik Sia merasa kagum juga.

Kalau disini ia masih belum merebut kemenangan, adalah dipartai sana Hong-kay Wi Wat suiah mulai menang angin. Dengan ngacirnya Ceng Ceng Ji karena ketakutan digertak Khik Sia, lawan Wi Wat hanya tinggal dua: Pok Yang Kan dan Liu Bun Siong. Sekalipun Wi Wat tadi kena tertutuk, tapi lwekang Pok Yang Kau pun menderita besar, maka meskipun ditambah dengan seorang Liu Bun Siong, tetap Wi Wat dapat mengatasinya.

Sesaat Liu Bun Siong tusukan pedangnya ke muka Wi Wat, tiba2 yang tersebut belakangan ini menggembor keras sehingga saking kagetnya Bun Siong sampai tergetar dan tusukannyapun menemui tempat kosong. Dan secepat kilat Wi Wat segera merebut pedang lawan seraya menendang musuhnva yang satu (Pok Yang Kau) sampai terjungkir balik.

Wi Wat seorang pembenci kejahatan. Benar Pok Yang Kau dan Liu Bun Siong itu benggolan penjahat, tapi keduanya mempunyai ciri-ciri kejahatan yaug berlainan. Kalau Pok Yang Kau hanya malang melintang mengandalkan kekuatannya, adalah Liu Bun Siong itu termasyur sebagai tukang petik bunga alias pengrusak kaum wanita. Diantara kedua orang itm. Wi Wat benci kepada Bun Siong. Pedang yang dirampasnya tadi segera ditimpukkan kepada orang she Liu itu. Sebenarnya ilmu gin-kang Liu Bun-siang cukup lihay dan lagi saat itu ia sudah menyingkir sampai belasan tindak. Namun tak urung ia tetap termakan pedang timpukan Wi Wat juga. Ujung pedang dari punggung menembus sampai kedada.

Pok Yang-kau cerdik sekali. Pada saat Wi Wat tengah mengincar jiwa Bun siong ia gunakan kesempatan itu untuk loncat bangun terus menyusup dalam rombongan para pengemis.

Ciok Ceng-yangpun juga sudah dapat merobohkan Han Ciat. Sedang saat itu tongkat kekuasaan jatuh diatas kaki altar batu. Di situ Ma tianglo dan Ji tianglo tengah berebutan mengambilnya. Melihat itu Uh bun Jui hendak loncat membantu Ma tianglo. Tapi Ceng-yang datang, Ma tianglo dan Uh-bun Jui tidak menyerangnya. Mereka putar tubuh terus ngacir. Ceng yangpun segera mengambil tongkat kekuasaan dari partai Kay-pang tersebut. Bintang penolong yang diharapkan Uh-bun Jui. sinona pemimpin gadis berbaju merah, ternyata saat itu tampak kelabakan menghadapi  serangan Khik Sia.

Dengan geramnya Uh-bun Jui berseru sengit: "Urusan besar telah dirusakkan bangsat kecil itu. Nona Su, aku telah menelantarkan maksudmu yang baik."

Sahut nona itu dengan hati besar: "Selama gunung masih menghijau, masa takut tak mendapat kayu bakar. Kalah menang bukan soal. Kekalahan sementara waktu tak jadi apalah."

Ia lancarkan sebuah seranaan kosong, kemudian mundur dari gelanggang. Tapi rupanya ia masih belum puas karena tiba2 ia menoleh dan berseru kepada Khik Sia: "Hai siapa kau? Harap beritahukan namamu!"

Tiba2 dsri bawah alur batu, ada seorang menyahut: "Bangsat kecil itu adalah Toan Khik Sia!"

Kiranya orang yang membuka rahasia Khik Sia itu, bukan lain adalah Ping-tat, jago yang patah tulang lengannya karena dipelintir Khik Sia tadi. Sebenarnya ia tak kenal dengan Khik Sia. Tapi ia kenal lama dengan Ceng ceng Ji. Tentang ilmu kepandaian Ceng ceng Ji, ia cukup paham. tadi ia perhatiksn bahwa gerakan Khik Sia itu, serupa benar dengan Ceng-ceng Ji. Ia tahu bahwa sahabatnya itu mempunyai seorang suheng dan seorang sute "Pengemis" muda yang memelintir tangannya tadi jauh lebih muda dari Ceng Ceng Ji. Sudah tentu bukan suheng dari Ceng Ceng Ji, melainkan sutenya.

Ping-tat merasa tak dapat membalas sendiri, maka ia hendak gunakan siasat pinjam pisau membunuh orang. Ia harap setelah mengetahui siapa Toan Khik Sia, nona itu akan mencari balas.

Meskipun ilmu silat nona itu tak memadai Khik Sia, tapi ia menpunyai "backing" (andalan) kuat serta mempunyai anak buah banyak. Jadi kemungkinan besar tentu dapat membalas. Dan benar juga dikemudian hari Khik Sia akan mendapat beberapa kesulitan dari nona itu tapi karena belum sampai waktunya, baiklah kita petangguhkan dulu.

Demi mendengar nama Khik Sia, nona itu tercengang. Pada lain saat ia tertawa: "Oh, kiranya Toan siauhiap, sungguh tak bernama kosong. Walaupun aku kalah, tapi puaslah."

Dengan putar sepasang golokrya, ia lindungi Un-bun jui. Dengan diikuti oleh barisan wanita merah dan anka buah Uh- bun-jui, mereka menerobos pergi, Ciok Ceng-yang tak mau menimbulkan pertumpahan darah besar, Buru2 ia acungkan tongkat untuk mencegah anggauta2 Kay pang yang hendak mengejar mereka.

Khik Sia menghapus arang dimukanya dan menjumpai Hong-kay Wi Wat.

Jago tua dari Kay pang itu tertawa girang : "Sungguh tak kecewa menjadi putera Toan tay-hiap. Ayahmu tentu akan bersenyum gembira di alam baka."

Ciok Ceng-yang dan Ji tianglopun menghampiri untuk menghaturkan terima kasih kepada Khik Sia,

"Sayang Uh-bun Jui dan Ma tianglo dapat lolos. Kukira kerisauan Ciu pangcu tua tentu ada sangkut pautnya dengan mereka berdua. Entah siasat apa yang mereka gunakan?" kata Ji tianglo.

Kata Wi Wat : "Mereka tentu pergi ke Tiang-an untuk mengacau Eng-hiong tay hwe yang diselenggarakan Cin Siang Sebenarnya aku tak berhasrat hadir, tapi berhubung ada urusan ini, terpaksa aku harus kesana."

Ciok Ceng-yang segera menuturkan hasil penyelidikannya ke Tiang an. Kiranya Tho Kam lok menganiaya Wie hiangcu itu terjadi pada tengah maiam, Tempatnya diatur di paseban dalam dari hun-thio (anak cabang ) Kay-pang di Tiang-an, Rencana itu telah diatur Thio Kam-lok sedemikian rupa, Sisanya ia cari2 alasan merobek surat untuk Wi hiancu. ia percaya rencananya itu pasti takkan ketahuan orang, tapi tak nyana seorang anak buah Kay Pang telah tak sengaja mempergokinya. Pengemis itu menjadi pencuri dan  dikejar alat negara. Ia tahu dirinya tak dapat berdiam di Tiang-an  lagi. Maka malam2 ia pergi ketempat Wi hiangcu. Maksudnya hendak minta perlindungan dari hiangcu itu. ia hendak serahkan barang curiannya itu kepada Wi hiangcu dengan permintaan supaya dikembalikan kepada pemiliknya, Secara kebetulan sekali, ia mengetahui rencana kecil dari Thio Kam lok.

Pengemis pencuri itu sembunyi didalam tumpukan genteng dibawah jendela. Mengetahui apa yang terjadi didalam ruangan, kejutnya bukan kepalang, Ia tak berani keluar dari tempat persembunyiannya, pun setelah peristiwa itu ia tetap tak berani bicara pada lain orang. Baru setelah Ciok Ceng  yang datang membuat penyelidikan, karena yakin Ceng-Yang pasti dapat melindungi dirinya, pengemis itu berani membuka rahasia.

"tampaknya penganiayaan terhadap Wi hiangcu dan suhengku itu adalah dua buah perkara. Tapi besar kemungkinannya mempunyai hubungan satu sama lain." kata Ceng yang.

"Betul. Wi hiangcu itu adalah pengikut dari Ciu Pangcu. Pengkhianat2 itu menganggap jika tak lenyapkan Wi hiangcu tentulah sukar buat Uh Bun Jui merangkai cerita sandiwaranya." kata Ji tianglo.

"Apakah kau meragukan kalau Ciu pangcu tak datang ke Tiang An?" Tanya Lok San Lwean tong cu.

"Kupikir makin mencurigakan. Hm, siapa tahu jangan2 suheng masih hidup dunia." tiba-tiba Ceng Yang berseru.

Katanya lebih lanjut.

"Pada hakekatnya Cin siang belum berjumpa dengan suheng. Menilik kedudukan dan pribadinyam aku percaya ia tidak berdusta. Waktu ku mau menyeldiki di Tiang an, anak buah Kay Pang di Tiang An juga tak pernah bertemu dengan Ciu Pangcu!"

Ji tianglo menyeletuk "Yaa, memang aku sudah menyangsikan. Dengan lancar sekali Uh Bun Jui menuturkan tentang peristiwa dicelakainya Ciu Pangcu, tapi tak ada saksi sama sekali. Paling ia mengatakan Thio Kam Lok yang menyaksikan. Tapi kini setelah nyata Thio Kam Loklah yang membunuh Wi hiangcu, cerita Uh Bun Jui tidak dapat dipercaya lagi. Turut pendapatku, sembilan puluh persen tentulah Uh Bun jui bersekongkol dengan Thio Kam Lok. Dengan membunuh Wi hiangcu, tak ada orang lagi yang menyangsikan keterangan Uh Bun Jui. tetapi setiap kebohongan itu tentu bakal ketahuan."

Ciok Ceng Yang melanjutkan kata2nya lagi

"Jika peristiwa terbunuhnya suheng hanya karangan saja, menilik bahwa suheng belum datang ke Tiang An, maka sekalipun Uh Bun Jui begitu bernafsu hendak merebut kedudukan pangcu, tapi belum tentu ia berani membunuh suhunya."

Ji tianglo mengangguk, ujarnya: "Mudah2an begitulah. Ditinjau dari peristiwa hari ini, rasanya Uh Bun Jui tentu mempunyai backing (penunjang) yang kuat. Jika tidak, masakan dia berani berbuat begitu."

"Siapakah nona yang membawa barisan wanita tadi? Tampaknya baik sekali hubungannya dengan Uh Bun Jui. apakah kalian tahu?" tanya Ceng Yang.

Para tiang lo dan Hiang cu saling berpandangan tapi tak seorangpun dari mereka yang mengetahui.

"Budak busuk itu benar, biar kuselidiki asal usulnya, tapi sekarang ini baik kita jangan hiraukan ia dulu, masih ada lain urusan yang lebih penting." kata Wi Wat. Ji tianglo menyetujui "Ya, benar... sekarang kedudukan pangcu jangan diberikan kepada Uh Bun jui, Wi susiok, pengangkatan pangcu baru tak boleh di tunda2 lebih lama, Harap kau orang tua yang memutuskan.

"Ceng yang kau adalah orang satu2nya yang diharapakan seluruh angggauta Kay Pang. Kau sajalah yang menjabat pangcu. jangan menolak lagi." kata Wi Wat.

"Hidup matinya Ciu suheng masih belum ketahuan, masakan aku lantas menduduki jabatan itu?" bantah Ceng yang.

Jawab Wi Wat dengan tandas: "Negeri tak boleh satu haripun tak ada kepalanya, begitu pula dalam partai kita tak boleh sehari tak punya pemimpin. Banyak nian pekerjaan yang harus kita selesaikan, untuk itu kita harus punya pemimpin. Jika keadaan suhengmu belum jelas, dan kau sungkan menjadi pangcu. biarlah untuk sementara kau menjabat sebagai wakil pangcu saja."

Wi Wat bergelar Hong-kay atau Pengemis Gila, tapi apa yang ia ucapkan tadi benar2 jitu sekali, Ciok Ceng yang tak dapat menolak lagi. Begitulah Wi Wat dengan segera mengadakan persidangan anggauta dan mengumumkan tentang hal itu. Oleh karena golongan yang anti Ceng-yang saat itu sudah ikut pada Uh-bun Jui, maka pengangkatan itu telah disambut dengan persetujuan aklamasi atau suara bulat.

Setelah urusan partai selesai, berkatalah Wi Wat kepada Khik Sia: "Toan siauhiap, pengemis tua masih hendak minta bantuanmu untuk sebuah urusan."

Khik Sia tersipu-sipu mengiakan dan minta pengemis tua itu mengatakan.

"Sungguh memalukan sekali bahwa dalam partaiku telah muncul seorang pengkhianat semacam Uh bun Jui itu. Dia bersekongkol dengan kawanan durjana hendak mengacaukan rapat dari Cin Siang. Apa maksud yang mereka rencanakan itu, sekarang masih belum jelas. Tapi bagaimanapun, rencana mereka itu bukan bermaksud baik, kita harus menjaganya. Sekarang aku si pengemis tua ini masih belum dapat berangkat. Kau mempunyai ilmu ginkang yang tinggi, apakah suka mewakili aku berangkat ke Tiang an lebih dulu untuk memberitahukan Cin Siang?"

Khik Sia berpikir sejenak, berkata: "Aku sanggup mengerjakan perintah lo-cianpwe itu, tapi akupun mempunyai sebuah hal yang akan mohon bantuan locianpwe juga."

"Katakanlah," kata Wi Wat.

"Tentulah locianpwe sudah mengetahui tentang peristiwa tentara negeri menggempur gunung Kim-ke-nia, Toakoku Thiat Mo Lek dan Bo Se-kiat membawa anak buahnya menuju ke Ho-se. Di sana mereka tengah menyusun kekuatan lagi. Aku mendapat perintah dari Thiat toako untuk mencari seseorang. Orang itu telah kuketemukan, tapi ia menolak kuajak pulang. Terpaksa sekarang aku hendak pulang melapor pada Thiat toako!"

Oleh karena Wi Wat tak tahu bahwa orang yang dicari Khik Sia itu ternyata seorang nona yang bakal menjadi isterinya, maka bertanyalah pengemis tua itu. "Siapakah orang itu? Apakah penting sekali?"

"Dia bukan orang persilatan, melainkan seorang......

seorang sahabatku yang baik," sahut Khik Sia dengan terputus-putus.

"Oh, tahulah aku. Kalau sekarang sedang giat mengumpulkan orang gagah. Tentulah hendak minta orang itu masuk kedalam perserikatan kalian," seru Wi Wat.

Pengemis Gila itu tak mau minta penjelasan apakah sahabat Khik Sia itu pria atau wanita. Dengan sembarangan saja, Ia menduga duga semaunya. Khik Sia berduka, ia tertawa getir: "Bagaimana pendirian orang itu, telah kuketahui jelas. Tak nanti ia mau bergabung pada kita. Tapi tak apalah. "

Hong-kay Wi Wat itu sudah tua, tapi suka ceriwis. Cepat ia memberi komentar: "Betul, toakomu Thiat Mo Lek itu luas sekali pergaulannya. Jika ia mau bergerak, tentulah dengan mudah akan mendapat sambutan baik dari orang gagah diempat penjuru. Kurang satu orang itu, tak jadi apa."

"Benar, locianpwe. Tetapi jika aku tak lekas-lekas pulang tentulah Thiat toako amat mengharap-harap. Oleh karena itu, hendak ku mohon kepada locianpwe agar menyuruh seorang anak murid Kay-pang memberitahukan kepada Thiat toako bahwa aku sedang pergi ke Tiang An. Selain itu, meskipun Kim ke-nia diserang oleh tentara Gi-lun-kun, tapi hubungan pribadi toako dengan Cin Siang itu tetap baik. Dalam hal ini harap Thiat toako mengetahuinya."

Wi Wat tertawa. "Thiat Mo Lek memimpin kaum enghiong. Pun Bo Se-kiat itu seorang lok lim bengcu yang baru. Tidak usah kau katakan, akupun sebenarnya hendak melaporkan hal itu kepada mereka. Nah, baiklah kita sama-sama membagi laporan. Karena waktunya rapat di Tiang-an itu mendesak, maka baiklah kau lekas-lekas berangkat."

Begitulah setelah saling menetapkan rencana pembagian tugas, Khik Sia segera berangkat ke Tiang-an. Dengan gunakan Ginkang, pada hari pertama Khik Sia dapat menempuh jarak 300-an li lebih. Hari kedua ia sudah tiba di Gui-ciu (sekarang propinsi Hopak). Tiba-tiba ia berpapasan dengan suatu rombongan rakyat yang terdiri dari laki perempuan, tua muda dan besar kecil. Dari wajah dan dandanan serta keadaan mereka, teranglah mereka itu tengah mengungsi.

Waktu Khik Sia menanyakan, pak tua yang menjadi pemimpin rombongan itu menyahut dengan heran: "Engkoh kecil, apakah kau tak tahu bahwa Su Tiau-gi telah menderita kekalahan. Pasukannya yang kalah itu kini mundur ke Pok- yap. Dimana tempat yang dilalui, mereka merampok rakyat. Mengapa kau hendak kesana? Kau masih begini muda. baik ketemu tentara negeri maupun tentara perampok, kau tentu dipaksa turut mereka."

Yang dikatakan 'Su Tiau-gi' oleh pak tua itu, adalah putera dari Su Su-bing, itu jenderal dari An Lok-san. Setelah An Lok- san dibunuh oleh anaknya sendiri, An Ging-hi, maka anak buah An Lok-san menjadi terpecah belah. Panglima Kwe Cu-gi dari kerajaan Tong-tiau dengan mudah dapat membasmi mereka. Untuk sementara waktu, Su Su-bing menakluk pada kerajaan Tong. Tapi tak lama kemudian ia dapat menyusun kekuatan lagi, dan berontak. Setelah berhasil mengalahkan tentara gabungan dari 9 Ciat-to-su (panglima perbatasan), ia mulai menyerang Lok-yang.

Su Su-bing dapat membunuh An Ging-hi dan lalu mengangkat diri menjadi kaisar Tay Yan hongte. Tapi tak lama kemudian, ia dibunuh oleh puteranya sendiri yakni Su Tiau-gi. Kerajaan Tong-tiau memerintahkan Li Kong-pik mengganti kedudukan Kwe Cu-gi untuk memukul Su Tiau-gi. Akhirnya pada permulaan tahun kerajaan Po-ging atau tahun 762 Masehi, Li Kong-pik berhasil masuk ke Lok-yang dan mengejar tentara Su Tiau-gi, Su Tiau-gi membawa sisa anak buahnya menuju kedaerah Pok-yap dengan maksud hendak menggabung pada suku He. Rombongan rakyat di pimpin oleh pak tua itu, adalah rakyat didaerah yang mengungsi karena takut dirampok tentara Su Tiau-gi.

Khik Sia sendiri adalah seorang anak yang menjadi sebatang kara karena akibat peperangan. Teringat akan kematian sang ayah dimedan pertempuran dan ibunya yang akibat melarikan diri lalu menderita luka dan akhirnya juga meninggal, diam diam Khik Sia menjadi ngeri, Ngeri karena peperangan atau huru hara itu sampai sekarang masih belum padam. "Engkoh kecil, kembalilah saja. Disebelah depan sana sudah kosong semua," kata pak tua itu pula.

Khik Sia menghaturkan terima kasih: "Terima kasih lotio. Tapi aku mempunyai urusan penting, terpaksa aku harus kesana. Terserahlah pada nasib."

Karena Khik Sia tak mau mendengar nasehatnya, pak tua itu hanya menghela napas panjang. Dan Khik Sia lalu meneruskan perjalanan pula. Belum berapa jauh, disebelah depan sana tampak debu mengepul tinggi. Benar juga ia berpapasan dengan sepasukan tentara pecundang. Didalam pasukan itu terdapat belasan buah kereta. Mereka membawa panji-panji tapi keadaan pasukan itu tak mirip dengan susunan tentara lagi. Ketika Khik Sia sedang pertimbangkan baik tidaknya ia menghindar dari pasukan perampok itu, tiba-tika terdengar ada suara orang menggembor keras. Seorang tua yang bertubuh tinggi besar menyerbu ketengah pasukan itu dan membentak keras: "Siapa yang sayang jiwanya, harus lekas-lekas pergi! Tinggalkan kereta pesakitan."

Khik Sia tersentak kaget. Pikirnya: "Siapakah orang tua itu? Mengapa seorang diri ia berani kawanan serigala? Dari suara bentakannya itu, terang ia memiliki lwekang tinggi, tidak dibawah Hong-kay Wi Wat. Tapi sayang ia sudah terluka dalam."

Orang tua gagah itu bersenjatakan sebatang tongkat besi. Trang, ia hantam golok seorang opsir sampai mencelat keudara. Dan ketika tongkat besinya melayang turun, seorang opsir lain yang tak keburu menangkis dengan senjatanya long- ya-pang, telah terhantam remuk. Melihat opsirnya mati, kawanan tentara perampok itu lari kalang kabut.

Dari rombongan pasukan itu tampil dua orang, tapi mereka tak berpakaian opsir. Serempak keduanya berseru: "Hai, Hong hu Ko jiwamu sudah berada diujung rambut, mengapa masih berani merampas kereta pesakitan? Baiklah kau ingin lekas2 menghadap raja Akhirat biarlah kami bantu." Orang tua yang dipanggil Hong Hu Ko itu tak menyahut dengan mulut melainkan dengan pukulan toigkat besinya. Kedua orang tadi ternyata bukan jago lemah, tapi toh mereka hanya kuat bertahan sampai 10-an jurus saja, sudah lantas kalah. Orang tua she Hong-hu itupun tak dapat mengejar mereka. Setelah anak buah pasukan itu bubar, ia lantas berusaha membuka kereta pesakitan. Kereta pesakitan itu merupakan sebuah kerangkeng yang ditutup besi rapat-rapat. Sebenarnya harus mencari kuncinya dulu, tapi rupanya orang tua itu tak sabar lagi. Bruk, ia hantamkan tongkat besinya kekerangkeng besi sehingga tutup kerangkeng itu berlubang, jago tua itu menjenguk kedalamnya, tapi segera ia berseru: "Bukan!"

Ia lantas berganti sasaran kerangkeng yang kedua.

Melihat kekuatan orang tua itu, diam-diam Khik Sia terkejut sekali. Tiba tiba ia teringat: "Astaga! Kiranya tokoh yang kedudukannya sejajar dengan Hong-kay Wi Wat, ialah Se-gak- sin-liong (Naga Sakti gunung berat) Hong-hu Ko locianpwe. Makanya walaupun terluka dalam, tapi masih begitu sakti. Tapi siapakah yang dapat melukai tokoh semacam orang tua itu? Dan mengapa ia hendak merampas kereta pesakitan?"

Khik Sia belum pernah berjumpa dengan Hong-hu Ko, tapi sudah mendengar kemasyhuran namanya. Kiranya Hong Hu Ko itu selain bersababat baik dsngan mendiang ayah Khik Sia juga pernah menerima budi dari bibi Khik Sia yaog bernama He Leng Siang itu (He Leng-siang adalah isteri dari Lam Ci hun. Sejak umur sepuluh tahun Khik Sia lantas ikut pada bibinya itu.).

Khik Sia menimang dalam hati: "Meskipun locianpwe itu mampu menandingi kawanan tentara perampok, tapi setelah kutahui kalau dia masakan aku tinggal diam tak mau memberi bantuan?" Pada saat itu Hong hu-ko sudah menghantam terbuka  tujuh buah kereta pesakitan, tapi tetap belum mendapatkan orang yang dicarinya.

Tiba2 terdengar derap kaki kuda mendatang dengan gemuruh sekali. Penunggang kuda yang paling depan sendri, seorang tua berwajah jelek kejam, tubuhnya kekar dan matanya hanya tinggal satu. Astaga. Khik Sia tersirap kaget Chit-poh tui-hun Yo Bok Lo!

Iblis itu tertawa nyaring: "Hai, Hong-hu Ko nyawamu sendiri sudah di ujung rambut, masih mau menolong orang? Mari biar kuantar ke akherat!"

Wut, iblis itu loncat dari kudanya. Dengan gerak can-liong chiu atau gerak menabas nabas naga, ia berjumpalitan diudara terus menghantam lawan, Hong-hu Ko  menyambutnya dengan jurus khi-hwe-liau-thian atau mengangkat api membakar langit. Tongkat diarahkan kedada Yo Bok Lo. Brak, pukulan iblis she Yo tadi telah berhasil mementalkan tongkat Hong-hu Ko kesamping.

Sebenarnya ilmu kepandaian Hong-hu Ko tak kalah dengan Yo Bok Lo. Tapi karena sebelumnya ia sudah terluka dalam lebih dulu, kemudian mengamuk menghantami kerangkeng besi, tenaganya berkurang banyak sekali. Maka dalam adu kekuatan yang pertama itu, Yo Bok Lo lah yang menang angin.

Iblis she Yo itu, tak mau memberi hati. Baru kakinya turun kebumi ia sudah enjot lagi menerjang Hong-hu Ko membabat kearah kaki, tapi sebagai iblis yang bergelar Chit-poh-tui-hun (tujuh langkah mengejar nyawa), Yo Bok Lo itu lihay sekali kakinya. Tendangannya tadi ternyata hanya pancingan, begitu Hong-hu Ko menghantam, dengin berdiri sebelah kaki ia putar tubuh kesamping Hong-hu Ko. Disitu secepat kilat ia menyambar tongkat orang. Dengan meminjam tenaga Hong-hu Ko dan tenaganya sendiri, begitu ia mencengkeram tongkat, terus membentak: "Lepaskan"

Hoig-hu Ko kena diselomoti, terang ia tentu tak dapat mempertahankan tongkatnya lagi. Tapi sekonyong-konyong terdengar suara orang membentak: "Lepaskan!" Sesosok tubuh melayang datang terus menusuk jalan darah li-yan niat dipunggung telapak tangan Yo Bok Lo.

Itulah Toan Khik Sia. Ia datang tepat pada waktunya, Yo Bok Lo segera mengenali musuh besarnya itu. Sebuah matanya yang buta karena tusukan anak muda itu. Walaupun bencinya kepada anak muda itu menyusup sampai ketulang, namun kedatangan Khik Sia secara begitu mendadak itu, membuatnya ia tergetar juga. Tinggalkan tongkat, ia berganti sasaran untuk menangkis tusukan Khik Sia, ilmu kim-na-chiu atau merebut senjata dengan tangan kosong dari iblis itu, sudah mencapai tingkat tinggi. Tetapi karena anak muda itu lihay ilmu ginkangnya, tambahan pula menggunakan pedang pusaka, maka Yo Bok Lo tak berdaya untuk merapatnya. Malah dalam serangan tiga kali berturut-turut, iblis itu dipaksa mundur tiga langkah.

Hong-hu Ko tak kenal pada Khik Sia. Melihat anak muda itu dapat melayani seorang jago kolotan seperti Yo Bok Lo, ia merasa heran juga. Ia berniat memberi bantuan kepada sianak muda itu. tapi ia dapatkan tenaganya habis. Pikirannya cepat bekerja dan akhirnya ia ambil putusan, lebih baik menolong orang yang dicarinya itu dulu.

Dengan kertak gigi, ia gunakan sisa tenaganya umuk menghantam kereta pesakitan, Namun sudah dua buah kereta yang dirusakannya, tetap orang yang hendak ditolongnya itu tak kelihatan.

Pada saat itu, anak buah Yo Bok-lo yang mengikut dibelakangnya tadi pun sudah tiba. Dua orang opsir penunggang kuda loncat turun. Yang seorang mencekal ruyung cat-mo-piau yang seorang mencekal sam Ciat-kun atau tongkat tiga ruas. Cepat mereka menyerang Khik Sia, tapi dengan sigapnya Khik Sia menghindari cambukan pian untuk kemudian membabat sam-ciat kun.

"Hati2!!" saking terkejutnya Hong-bu Ko berteriak memperingatkan Khik Sia.

Tapi pedang Khik Sia itu bukan sembarang pedang, trang, terdengar bunyi menderng dan tahu2 tongkat sam ciat-kun sudah kutung sebuah ruasnya. tiba2 tampak sebuah sinar putih berkelebat. Ternyata bagian tengah dari sam-ciat kun itu berlubang dan didalam lubang itu dipasangi senjata rahasia hu kut-Ting atau paku pembunuh tulang yang amat baracun sekali.

Paku beracun secara mendadak keluarnya dan tidak diduga sama sekali oleh Khik Sia. Jaraknyapun amat dekat sekali. syukur tadi Hong hu Ko sudah meneriakinya lebih dulu, Dalam saat2 yang berbahaya itu, Khik Sia unjukkan kepandaian gin kangnya yang istimewa. Ia buang tubuhnya mendatar seraya tubuhnya menyampok paku itu. Yang sebuah kena ditampar jatuh, yang kedua buah menyambar dibawah kakinya. Sedikitpun ia tidak terluka.

Tapi disebelahnya masih ada Yo Bok-lo laksana harimau buas yang siap menerkam sang korban, pada saat Khik Sia tengah menghindar dari serangan paku tadi. iblis itu segera lontarkan sebuah hantaman dahsyat. tubuh Khik sia masih terapung diudara, jadi sadar untuk menghindar.

Hong-hu Ko berseru keras. Cepat ia timpukan tongkat besinya, kemudian menyusul menghantam, Opsir yang bersenjata rayung cat-mo-pian berusaha menyerbu tapi kena timpukkan tongkat Hong hu Ko. seketika kepala pecah, otaknya berhamburan keluar dan jiwanya melayang.

Hong hu Ko gunakan sisa tenaganya untuk adu pukulan dengan pukulan hiat-gong-ciang dari Yo Bok Lo. Begitu kuat Hong-hu Ko menghantam, sampai mulutnya mendengus keras, Plak, Yo Bok Lo tersurut mundur sampai beberapa tindak. Tetapi anehnya, Hong-hu Ko tampaknya masih tegak berdiri tidak apa2.

Sesaat Khik Sia turun ketanah, begitu ia memandang kearah Hong-hu Ko, kejutnya bukan kepalang. Ternyata jago tua itu wajahnya pucat seperti kertas. Sepasang matanya merah, Khik Sia tak mau merangsang Yo Bok Lo lagi, melainkan perlu menolong Hong-hu Ko dulu.

Huak..... mulut Hong-hu Ko menguak muntah darah. Ternyata jago tua itu sudah kerahkan seluruh tenaganya untuk menghantam. Benar Yo Bok Lo kena dihantam mundur, tetapi jago tua yang sudah terluka dalam itu, kini makin bertambah parah lukanya, ia kehabisan tenaga betul-betul.

Melihat kesempatan itu, opsir yang bersenjata Sam-ciat-kun tadi cepat timpukkan dua buah paku hu-kui-ting lagi kearah Hong-hu Ko, Tapi kali ini Khik Sia sudah siap siaga, tak nanti  ia kena dibokong. Cepat ia melejit kemuka untuk melindungi Hong-hu Ko, kemudian putar pedangnya untuk menyampok jatuh hu-kut-ting.

Pada saat itu Yo Bok Lo sudah dapat memperbaiki posisinya dan mulai menyerang lagi, Khik Sia cepat memanggul Hong- hu Ko sembari maju menghampiri Yo Bok Lo.

Yo Bok Lo heran dibuatnya, pikirnya: "Anak itu sungguh gila, mengapa ia senekad itu?"

Memang dengan memanggul Hong-hu Ko, tentu berbahaya sekali bagi Khik Sia untuk bertempur dengan Yo Bok Lo. Salah2 keduanya Khik Sia dan Hong-hu Ko akan binasa semua. Memang Yo Bok Lo sendiri juga tak terluput dari luka berat.

Tapi ternyata iblis she Yo itu malah menjadi gentar dengan kenekatan sianak muda itu. Sebenarnya ia pasti menang, tapi sebaliknya malah jeri untuk adu kekuatan. Ia miringkan tubuh dan dengan gerak chit-poh-tui-hun. ia menyelinap kesamping Khik Sia. Disitu ia memberi Hong-hu Ko sebuah hantaman.

Sekonyong-konyong Khik Sia berganti arah. Tubuh, meluncur seperti anak panah terlepas diri busurnya

"Rebahlah!" mulutnya kedengaran membentak. Kiranya Khik Sia telah gunakan siasat suara di timur tapi yang diserang arah barat. Dengan mengandaikan ilmu gin-kangnya yang jempol. Ia menyergap ketempat siopsir dan tahu2 pinggang opsir itu sudah berbisa sebuah tusukan pedang yang cukup membuat nyawanya melayang. Dengan berhasil membunuh opsir itu berarti Khik Sia mendapat keringanan.

Gusar Yo Bok-lo bukan oleh2, Tapi demi milihat walaupun dengan memanggul orang, tubuh anak muda itu masih dapat lari secepat kuda. Diam diam Yo Bok-lo jadi kaget juga,

"Taruh kata dapat mengejarnya tapi belum tentu dapat merobohkan bangsat kecil itu." Akhirnya setelah menimang2 sejenak. Yo Bok-lo terpaksa tak mau mengejar.

Khik Sia membawa Hong hu Ko keatas gunung yang disebelah muka. Disitu ia letakkan orang tua yang terluka berat itu. Dilihat jago tua itu sudah tersengal2 napasnya, wajahnya berwarna gelap, Khik Sia terkejut, buru2 ia tempelkan telapak tangannya kepunggung Hong-hu Ko. Ia salurkan lwekang untuk menolong orang she Hong-hu itu.

Lewat beberapa menit kemudian Hong-hu Ko dapat membuka mata dan bertanya: "Siapa kau?"

"Wanpwe Toan Khik Sia."

"Toin Kui-ciang itu apamu?" tanya Hong-hu Ko pula. "Ayah Wanpwe " sahut Khik Sia.

Mendengar itu Hong hu Ko tertawa gelak: "Sungguh jaman itu selalu maju. Aku sipengemis tua dalam hari2 terakhir dapat berjumpa dengan putera sahabat karibku, sungguh berbahagia sekali!"

Nada orang tua itu makin lemah, katanya pula: "Hiantir, aku sudah tak berguna lagi, harap kau jangan buang tenaga sia2."

Tapi mana Khik Sia mau menurut, ujarnya "Lo cianpwe. tolong kau salurkan pernapasan, biar kubantu melancarkan darahmu. Akupun membekal pil leng-tan yang mustajab!"

"Aku terkena sebatang paku hu-kut-ting dan termakan dua buah pukulan iblis tua itu. Sekalipun ada pil siok-beng sian-tan (pil dewa penyambung jiwa.), rasanya tak berguna. Jangan membuang waktu, hiantit, maukah kau membantu sebuah urusan untukku ?"

Meskipun tak mengerti ilmu pengobatan, tapi demi melihat kaki tangan Hong-hu Ko makin kaku, Khik Sia akan percaya keterangan jago tua itu. Adanya pengemis tua itu masih dapat bicara, adalah karena mengandalkan kekuatan napasnya saja. Terpaksa dengan menahan kepiluan hati, Khik Sia menyatakan kesanggupannya untuk melakukan permintaan orang.

"Aku adalah paman guru dari Ciu pangcu partai Kay-pang.

Tahukah kau kepada Ciu Ko itu ?" tanya Hong-hu Ko.

Khik Sia menerangkan bahwa ia barusan menghadiri rapat Kay-pang yang menghebohkan peristiwa terbunuhnya Ciu Ko.

"Tidak. Ciu Ko belum mati, Dia ditawan oleh anak buah Su Tiau-gi," menerangkan Hong hu Ko.

Khik Sia tersentak kaget. Heran ia dibuatnya.

"Su Tiau-gi itu adalah kaisar Wi Yan, ada hubungannya apa dengan Ciu Ko."

"Aku sendiripun tak mengerti entah apa sebabnya Su tiau- gi menawannya, Kemarin barulah aku mendapat berita bahwa tertangkapnya Ciu Ko itu karena dijebak. Keterangan jelas tentang hal itu, kurasa tak sempat lagi kututurkan cukup asal kau suka menyampaikan berita ini kesuatu tempat, aku sudah sangat berterima kasih padamu" kata Hong-hu Ko. sampai disini, suara pengemis tua itu sudah makin lemah.

Buru2 Khik Sia tahan tangannya yang masih menempel dipunggung Hong hu Ko itu dan menyalurkan lagi lwekangnya.

"Dengan sisa pasukannya Su Tiau gi hendak menggabung pada Kahan, kepada suku He, Pesakitan2 pentingpun dibawanya kesana juga. Oleh karena itu maka tadi aku telah mencegat mereka untuk menolong Ciu Ko, Hal ini harus lekas dilaksanakan. Jika mereka sudah keburu tiba didaerah Kahan, sukarlah untuk membebaskan Ciu Ko. Kira2 lima puluhan li dari sini, ada sebuah gunung. Diatas gunung itu terdapat sebuah gua, didepannya tumbuh lima batang pohon siong tua. Tempat itu jadi markas hunthio (cabang) Kay pang. Setelah mendapatkan tempat itu. kau harus minta bertemu dengan Hwe Tay-yap, tho cu Kay pang disitu, Sampaikan padanya berita ini supaya ia lekas2 mengadakan pencegatan dan merampas pesakitan sebelum pasukan Su Tiau-gi tiba di Pok ong."

"Aku telah mendapat janji bantuan dari tiga orang sahabat. Paling lambat besok pagi, mereka tentu sudah datang, kau minta Hwe thocu supaya kirim orang2nya menunggu kedua sahabatku itu dipagoda yang terletak dikaki gunung itu. Kedua sahabatku itu tak kenal pada Hwe thocu, maka bawalah barangku ini "

Hong-hu Ko meloloskan sebentuk cincin besi dari jarinya, lalu diserahkan pada Khik Sia. ujarnya: "Berikan cincin ini pada Hwe thocu. Suruh ia berikan pada orangnya yang disuruh menyambut sahabatku itu untuk menjadi tanda pengenal. Sudah jelaskan?!"

"Harap Locianpwe legakan hati, aku sudah dapat mengingatnya deogan sungguh." jawab Khik Sia. Hong-hu Ko tertawa getir: "Delapan belas tahun yang lalu, aku pernah memberikan sebuah cincin kepada ayahmu karena hendak minta pertolongannya. Sungguh tak nyana. Delapan belas tahun kemudian, aku harus menyerahkan sebuah cincin lagi kepadamu, juga untuk minta bantuan. Dengan kalian ayah dan anak, rupanya aku ternyata berjodoh!"

Suara tertawa reda, sepasarg kakinya berkelojotan dan Hong-hu Ko menarik napas yang penghabisan......

Khik Sia amat berduka. Seorang pengemis luar biasa dari dunia persilatan, seorang tokoh persilatan yang sakti, telah meninggal secara menyedihkan disebuah gunung belantara. Dengan pedang pusakanya, Khik sia menggali sebuah liang dan mengubur Hong hu Ko. Kemudian ia meletakkan sebuah batu besar selaku pertandaan.

Setelah menyiram kuburan itu dengan kucuran air mata.

Khik Sia dengan hati berat meninggalkan tempatitu.

Untuk jarak 5 li itu, Khik sia hanya menggunakan waktu kurang dari satu jam.

Ternyata gunung itu tak berapa tinggi. Mendaki keatas dan mencari dengan teliti, cepat ia sudah dapatkan kelima batang pohon siong itu. Tapi heran ia tak melihat suatu guapun.

"Aneh, apakah aku keliru?" pikirnya. Tapi ia hendak mencoba sebuah cara.

"Wanpwe Toan Khik sia mendapat perintah dari cianpwe Kay pang Hong Hu Ko untuk minta bertemu dengan Hwe Thocu." Demikian dia berseru nyaring.

Tiba2 tanah yang dibawah pohon siong yang ditengah itu mengungkap keatas dan pada lain kejap berubah menjadi sebuah mulut gua. Malah menyusul ada seorang berseru

:"Apakah membawa bukti persaudaraan?" Kiranya gua itu dibuat dari tanahm diatasnya ditutup dengan tanah yang bertumbuh rumput. Jika tidak menyelidiki dengan seksama, orang luar pasti sukar mengetahuinya.

"Ada sebuah cincin besi dari Hong hu Ko Locianpwe." sahut Khik sia.

"Lemparkan cincin kemari untuk kami periksa," seru orang itu,

Khik Sia menurut. Beberapa saat kemudian, orang berseru: "Aku ini Hwe Tay-yap sendiri, silahkan masuklah."

Menurut kepantasan, Hwe Tay-yap seharusnya yang keluar untuk menyambut orang yang dimintai tolong oleh tetua Kay- pang. Sebaliknya malah Khik Sia yang disuruh masuk. Meskipun Khik Sia seorang pemuda yang tak menghiraukan segala macam peradatan tetek bengek namun tak urung merasa kurang senang juga. Diam2 menganggap Hwe thocu itu seorang yang angkuh. Namun karena berat melakukan pesan Hong hu Ko, terpaksa ia mengalah juga.

Didalam gua itu amat gelap, Lebih2 Khik Sia baru datang dari tempat terang. Samar2 ia hanya melihat beberapa sosok bayangan orang kembali Khik Sia mengerutu: "Hm, mengapa tahu ada tetamu, mereka tetap tak mau menyalakan lampu?"

Saat itu ia sudah berjalan masuk beberapa langkah. Tiba ia hentikan langkahnya dan timbul pikirannya hendak bertanya, tapi sekonyong2 ia mendengar bunyi senjata rahasia mengaum diudara dan berbareng itu tersiar bau yang harum. Untung Khik Sia selalu siap sedia. Cepat ia cabut pedangnya dan bolang balingkan kian kemari untuk menjaga diri. Dua buah thi-ci-jong, dua batang paku tho-kut-ting dan tiga bilah belati, kena ditampar jatuh semua.

Dalam sinar yang terpencar dari kelebat pedangnya itu, Khik Sih melihat ada tiga orang maju menyerangnya, Salah seorang bukan lain adalah ji-suhengnya sendiri: Ceng ceng-ji. "Setan ciik. kau telah memperdayai aku, sekarang aku juga menyelomotimu. Lihat pedangku," Ceng-ceng-ji tertawa dingin seraya menyerang. Cepat sekali ia lancarkan serangan itu. Dalam beberapa kejap saja ia sudah menyerang tujuh kali,

Khik Sia gunakan gerakan kaki i-poh hoan sing untuk berloncatan menghindar, Serunya: "Ji Suheng, jangan salah paham, Kau bermusuhan dengan Kay pang itu, bisa menimbulkan bahaya. Maka meskipun aku telah menipumu, tapi aku bermaksud baik. Mengapa kau salahkan aku ?"

Ceng ceng ji memaki: "Kurang ajar. kau seorang anak kemarin sore berani menasehati aku? Dulu karena adanya tiang pengandaian sunio mu itu. aku biarkan saja kepada dirimu sendiri. Tapi kini setelah jatuh kedalam tanganku, kau tentu kuhajar."

Dalam melontarkan dampratannya itu, Ceng ceng ji tetap lancarkan pedangnya dengan serangan-serangan yang berbahaya.

Khik sia naik darah juga, pikirnya "Dia hendak membunuh aku. Apakah aku masih mengingat tali persaudaraan lagi?"

"Karena Ji suheng tak mau memberi maaf, terpaksa siaute melanggar adat." serunya sambil kembangkan pedang dalma jurus tiang-he-lok jit atau matahari terbenam disungai panjang.

Trang, pedang Ceng-ceng ji yang terbuat dari emas murni itu, kena dipentalkan kesamping. Pedang keduanya sama2 pedang pusaka, maka sama-sama tak gampil serabutpun juga. Tapi sekalipun begitu, tangan Ceng ceng ji merasa kesakitan.

Dalam hal ginkang terang kalau Khik sia lebih unggul dari beas ji-suhengnya itu. Pun dalam ilmu lwekang, setelah mendapat gemblengan dari Bo Jonglong, ayah Bo Se-kiat yang menjadi kepala pulau Hu-siang to, lebih atas juga dari Ceng ceng ji. Pada saat itu khik sia tidak mau mengalah lagi. Permainan yang digunakan ialah ilmu pedang Thian Liong Kiam Hwat dari warisan keluarganya. Ilmu permainan Ttian Liong Kiam Hwat itu mengutamakan kekeras-an. Ini sesuai dengan ilmu lwekang yang dimiliki Khik Sia sekarang. Maka kalau Ceng Ceng Ji menjadi tersirap kaget itulah sudah jamak. Dari rasa mengiri timbullah piki ranbuas dari CengCeng Ji untuk membunuh sutenya itu.

Tadi telah diterangkan bahwa dalam gua itu terdapat tiga orang. Sewaktu Khik Sia menghalau mundur Ceng Ceng Ji, tiba-tiba salah seorang dari mereka menghantam dari samping dengan senjata tongkat. Orang, itu bukan lain adalah murid pemberontak Kay Pang. yaitu Uh Bun Jui.

"Aku adalah pangcu dari Kay Pang, Ceng Ceng cianpwe membantu partai kami, mengapa kau mengadu biru memutar balik hitam putihnya. Urusan partai Kay Pang kami, tak perlu kau campur tangan?" seru Uh Bun Jui.

Beradanya Uh Bun Jui disitu, telah membuat Khik Sia menjadi terang persoalannya, Uh Bun Jui tentu menduga bahwa Hong-hu Ko akan datang kemarkas gua situ, itulah sebabnya maka Uh Bun Jui mendudukinya lebih dulu. Tetapi mengapa ia berbuat begitu? Apakah benar-benar ia sudah berbalik haluan, mengkhianati leluhur guru dan menggabung pada pemberontak Su Tiau-gi?

Memikir sampai disini, berkobarlah amarah Khik Sia. Sudah tentu Uh Bun Jui bukan tandingan Khik Sia. Hanya sekali gebrak saja, tongkat Uh Bun Jui sudah kena dipapas kutung oleh Khik Sia. Untung Ceng Ceng Ji cepat menyerang sehingga Uh Bun Jui terlepas dari serangan Khik Sia yang kedua.

Bentak Khik Sia: "Benar, memang aku tak berhak campur urusan partaimu Kay pang. Tetapi Hong-hu Ko locianpwe berhak campur tangan! Beliau telah dicelakai orang sampai binasa, tahu tidak kau? Beliau suruh aku kemari, untuk menyampaikan kabar. Suhumu ditawan kaum pemberontak, tahukah kau? Asal kau masih punya setitik rasa nurani (liangsim), tentu akan berdaya untuk menolong suhumu. Tetapi kau ternyata menganggap aku sebagai musuh, apa maksudmu?"

Semprotan Khik Sia itu membuat Uh Bun Jui terlongong- longong. tetapi pida lain saat ia tertawa gelak-gelak: "Telah kuketahui semua urusan itu. Suhuku tak membutuhkan bantuanmu. Untuk melakukan karya besar harus menyampingkan urusan tetek bengek,kau tahu apa adik kecil? Betapapun aku ini adalah pangcu dari Kay Pang. Aku melarangmu turut campur!"

Ancaman itu dibarengi dengan sebuah hantaman tongkat. Khik Sia masih mempunyai pikiran panjang. Bigaimanapun halnya. Uh-Bun Jui itu adalah masih anak murid Kay Pang. Segala kedosaannya harus partailah yang memberi keputusan. Maka ia ambil putusan tak mau membunuhnya. Ia gunakan jurus giok-li-joan-cian atau bidadari menyusupkan jarum, yakni sebuah gerak serangan yang memakai Iwekang lunak, untuk menutuk jalan darah jiok-ti-hiat disiku lengan orang. Khik Sia hendak menawan murid murtad itu hidup-hidup. Pertama, dapat digunakan sebagai barang tanggungan agar ia dapat keluar dari gua itu. Kedua, demi menghormati kewibawaan pimpinan Kay Pang untuk mengurusnya sendiri.

Tapi ternyata Uh Bun Jui itu cukup licin. Ia tahu kelihayan Khik Sia, sudah tentu ia tidak berani bertempur sesungguhnya. Gerakan tongkatnya yang berkelebat kesana tetapi mengarah sini, kosong isinya sukar diduga itu, memang diperuntukkan membuat supaya ia mudah mundur setiap saat. Untuk tusukan Khik Sia yang tak mudah baginya untuk menangkis itu, telah dihindarinya dengan loncatan kesamping.

Saat itu Ceng Ceng Ji pun sudah menyerang lagi dengan pedangnya. Benar Khik Sia lebih unggul setingkat dengan Ji suhengnya itu, tapi karena pada saat itu ia tengah kembangkan permainan lwekang lunak, maka tak dapatlah ia mementalkan pedang Ceng Ceng Ji, Ceng Ceng Ji gunakan ilmu cak-jit-hiat atau tusukan tujuh jalan darah. Tapi dengan tangkasnya dapatlah Khik Sia, menangkisnya dengan tepat. Kiranya anak muda itupun mahir dalam ilmu pedang perguruannya. Iapun kembangkan jurus cat-jit-hiat. Dalam beberapa kejap saja, kedua pedang mereka saling berbentur. Tapi karena sama-sama pedang pusaka, jadi tak menderita sesuatu apa.

Hang Liong Koay Hwat atau permainan tongkat menundukan naga yang digunakan Uh Bun Jui itu adalah berasal dari ilmu pusaka Kay pang. Tapi dikarenakan Khik Sia keliwat tangguh, maka ia tak dapat berbuat apa-apa. Walaupun dikeroyok dua orang itu Khik Sia masih menang angin, tapi untuk merebut kemenangan dalam waktu yang singkat, juga tak mudah.

Demikian mereka bertempur dengan makin serunya, Se- konyong2 Khik Sia rasakan kepalanya pusing mata berkunang2. Memang sejak masuk kedalam gua situ, Ia sudah tercium bau wangi. Ia pun sudah curiga, tetapi karena secepatnya ia sudah mendapat serangan, jadi ia tak sampai memikirkan lagi. Tetapi wangian itu berasal dari bunga Asulo atau dalam nama nama bahasa Tionghoa disebut bunga Mo- kui-hoa (bunga setan). Bnnga itu diperoleh Ceng Ceng Ji ketika ia mendaki dipuncak gunung Himalaya. Kemudian bunga itu diramu dengan istimewa sekali, hingga menjadi suatu bi-hiang (wangi pembius) yang amat lihay, lebih hebat dari bi-hiang kepunyaan Gong Gong Ji.

Detik-detik berjalan dengan cepat dan racun dari bi-hiang itupun makin bekerja, Khik Sia dapatkan tenaganya makin berkurang. Diam diam ia mengeluh. Akhirnya dengan menahan napas, ia robah permainannya menjadi ilmu golok. Dengan jurus ho-hay-to-liong atau ngaduk laut membunuh naga, ia hantam kepala Ceng Ceng Ji. Jurus itu adalah jurus yang terganas dari ilmu pedang keluarganya. Ketrampilan pedang digabung dengan perbawa kedahsyatan golok. Ceng Ceng Ji kenal lihay. Tak berani menangkis, melainkan cepat-cepat menghindari. Tapi Uh-bun Jui agak lambat, kembali tongkatnya kena terpapas kutung. Trang mencelatlah. tongkatnya itu dari tangannya. Khik Sia berputar hendak berlalu, tapi segera ada lengking suara dingin mengerang: "Masih ada aku ini!"

Seperti telah diterangkan tadi, didalam gua situ terdapat tiga orang, Ceng Ceng Ji, Uh-bun Jui dan seorang paderi asing berbaju merah, Paderi itu berdiri dimulut gua. Sejak tadi ia hanya berpeluk tangan mengawasi saja. Ia hendak tunggu sampai Khik Sia sudah kehabisan tenaga, baru nanti turun tangan.

Hong Ceng atau paderi asing itu menggunakan senjata sepasang kecer (plat logam berbentuk bundar, di pukulkan satu sama lain untuk tetabuhan). ketika Khik Sia menusuk, paderi itu kemplangkan (benturkan satu sama lain) kecernya sehingga menimbulkan suara gempar yang mengalun sampai jauh kelembah, Khik Sia terperanjat, pikirnya: "Lihay benar paderi ini, tenaganya tak dibawahku!"

Tapi itu hanya penilaian Khik Sia sendiri karena pada hakekatnya iwekang paderi itu masih kalah setingkat dengan Ceng Ceng Ji. Adanya Khik Sia mempunyai anggapan demikian karena saat itu tenaganya sudah banyak berkurang.

Mulut gua dihadang sipaderi, tiga kali Khik Sia coba menerjang tapi kena dihalau oleh sepasang kecer sipaderi. Tiba2 dari belakang terdengar deru senjata menyambar, Ceng Ceng Ji kembali sudah datang menyerang, Khik Sia menyabat kebelakang. Sabatan pedangnya itu ia lancarkan dengan sepenuh tenaga. Kedua pedang mereka muncratkan letikan api, tetapi bukannya mundur sebaliknya Ceng Ceng Ji malah maju dua langkah. Ujung pedang kim-ceng-loan-kiamnya ditujukan kemuka Khik Sia tapi pemuda itu sempat menghindar. Melihat Khik Sia mulai kehabisan tenaga, segera Uh-Bun Jui berani menyerang lagi. Dengan menutup pernapasannya itu, bagaimanapun juga Khik Sia tak dapat bertahan lama. Kembali ia harus mengambil napas tapi dengan berbuat begitu, ia seperti orang yang mabuk minum, kepalanya serasa pusing kepingin tidur sekali, Khik Sia mengeluh, dengan kuatkan semangat ia tangkis pedang Ceng Ceng Ji.

"Bagus hendak kulihat kau yang mengajar aku atau aku yang mengajar kau." Ceng Ceng Ji tertawa mengejek. Set. set, set..... tiga kali ia lancarkan serangan lagi. Serangan pertama memapas kopiah Khik Sia, yang kedua memutuskan ikat pinggang dan yang ketiga melubangi baju sianak muda. Ia tak mau melukai, melainkan hendak membikin malu saja.

Khik Sia gigit lidahnya. Pada saat Ceng Ceng Ji tertawa, sekonyong-konyong Khik Sia kiblatkan pedangnya. Begitu pedang Ceng Ceng Ji terpental kesamping, ia lantas teruskan menggurat lengan orang hingga terluka. Bluk, kakinya menendang Uh Bun Jui sampai jatuh jumpalitan. Dengan menggigit lidahnya tadi, Khik Sia merasa kesakitan. Tapi dengan begitu semangat menjadi tergugah dan dengan perangsang sakitnya itu. tenaganyapun malah bertambah. Malah kuat dari tenaganya semula.

Ceng Ceng Ji tersentak kaget. Buru buru ia pindah pedangnya ketangan kiri Kini ia menyerang dengan pedang tangan kiri dan menghantam dengan tangan kanan, ia gabungkan serangan keras dan lunak ganti berganti. Ilmu itu adalah ilmu pelajaran yang didapatnya ketika ia ikut pada Coan Lun Hwat Ong. Dengan begitu Khik Siapun tak mengetahui cara memecahkannya.

Daya perangsang dari gigitan lidahnya tadi kini sudah reda. Ketambahan lagi Khik Sia harus menghadapi ilmu serangan yang tak dikenalnya. Kepalanya makin pusing, bingung ia bagaimana harus menghadapi. Ia dapat menghindari pedang Ceng-ceng-ji tapi tak mampu dari pukulan dan tutukan jarinya. Akhirnya sebuah pukulan Cena-ceng ji telah membikin rubuh anak muda itu, Ceng ceng ji menambahi lagi dengan sebuah tutukan pada jalan darah pelemas

"Hm, coba saja kau masih keras kepala tidak ?" Ceng ceng- ji mendengus dingin. Ia terus hendak menusuk tulang pi-peh- kut dibahu Khik Sia untuk membikin kacau kepandaian anak muda itu.

Saat itu Uh bun Juipun sudah tenggela bangun. Terhadap anak muda yang membikin kacau urusannya itu, Uh bun Jui benci setengah mati. Cepat2 diambilnya potongan tongkat terus hendak disabatkan kekaki Khik Sia.

Trang. trang, sipaderi menghadang dengan sepasang kecernya, hingga pedang Ceng ceng ji dan tongkat Uh bun Jui terhalang. Dengan suara keren puteri itu berseru: "Tuan paderi maukan hidup tidak boleh melukainya,"

Mendapat tutukan berat dari Ceng ceng ji dan menghirup obat bi hiang yang keras, maka pikiran Khik Sia menjadi limbung, Samar samar ia mendengar kata-kata tuan puteri (kongcu) tadi. Pikirnya: "Siapakah tuan puteri itu?"

Tapi ia tak sampai memikirkan lagi, karena saat itu sipaderi sudah lantas menjinjingnya. Karena banyak menyedot bi- hiang, seketika Khik Sia menjadi pingsan.

Entah berselang berapa lama, tahu-tahu ketika Khik Sia membuka mata, kejutnya bukan kepalang. Kiranya saat itu ia tengah berbaring disebuah ranjang yang berkasur empuk dari sebuah kamar yang dihias indah. Pantasnya kamar itu adalah kamar dari seorang gadis orang berada.

Hendak ia menggeliat bangun, tapi susah, tenaganya tak ada sama sekali. Ia bingung mengapa dirinya berada disitu. Tapi setelah merenung tenang, ingatannya berangsur-angsur kembali. Kini barulah ia teringat bahwa dirinya diculik oleh sipaderi hoan ceng. Tengah ia menggali ingatannya itu, tiba-tiba terdengar lengking tawa macam bunyi kelinting. Seorang dara muncul dan berkata: "Bagaimana, apakah disini kurang enak? Maaf, telah membuat kau kaget. Tapi aku tak bermaksud jahat, melainkan hendak mengundargmu sungguh-sungguh. Kuatir kau menolak undanganku itu, terpaksa kugunakan jalan begitu."

Gadis itu bukan lain ternyata nona pemimpin barisan  wanita baju merah yang dipanggil oleh Uh-bun Jui dengan sebutan Nona Su itu.

"Siapa kau? Aku belum kenal padamu, mengapa kau hendak mengundang aku? Tempat apa ini?" tanya Khik Sia.

"Sekarang kau adalah tetamuku, tak kuatir aku menerangkan. Aku bernama Su Tiau-ing, adik perempuan dari Su Tiau-gi. Kau tak kenal padaku, tapi bukankah kau pernah mengatakan nama engkohku itu? Waktu ini kami menjadi pengungsi, jadi tak dapat menyediakan kamar tetamu dan terpaksa kuberikan kamarku sendiri. Apa kau merasa senang?" kata nona itu.

Su Tiau-gi adalah putera dari Su Su-bing. Ia bunuh  ayahnya dan mengangkat diri menjadi raja Wi Yan. Tentang hal itu Khik Sia sudah mengetahui.

Kini baru ia mengerti bahwa yang dipanggil tuan puteri oleh paderi hoan-ceng itu adalah Su Tiau-ing ini.

Khik Sia tertawa tawar: "Aku seorang rakyat jelata, tak berani bergaul dengan kaum ningrat. Apa maksudmu mendatangkan aku ke mari ini?"

Dara itu tertawa: "Jangan marah dulu, maukah? Siapa dirimu penyamun. Hanya saja ayahmu lebih bernyali besar, berani melawan raja. Kaum pemberontak, jika menang tentu menjadi raja, tetapi kalau kalah dimanakah berandal. Itulah sudah jamak." Terang gamblang jelas getas, ucapan dara itu. Nyata ia tak mengandung maksud buruk terhadap Khik Sia

"Tentang mengapa kuundang kau kemari, tentu akan kuterangkan perlahan2. Singkatnya saja, aku hendak minta bantuanmu untuk sebuah hal " kata Tiau-ing.

Mendiang ayah Khik Sia dahulu telah gugur dalam medan pertempuran melawan pasukan Su Su-bing. Jenderal Leng Ho- tiau adalah yang memimpin pasukan untuk menyerang kota Ci-au-yang yang dipertahankan Toan Kui-ciang. Meskipun Toan Kui-ciang tidak langsung terbunuh oleh Su Su-bing. tetapi secara tidak langsung ada hubungannya juga. Maka setelah mengetahui dara itu puteri Su Su-bing, belum2 Khik Sia sudah mempunyai rasa anti-pati. Maka tanpa banyak pikir lagi, ia segera menyahut :

"Benar, aku ini seorang penyamun, tetapi aku tidak seperti kamu orang. Aku seorang penyamun yang tak punya cita2 muluk, aku tak mampu membantu urusanmu,"

Gadis itu tertawa: "Jangan kaliwat merendah diri dululah."

Khik Sia tertawa tawar: "Dan lagi. akupua tak suka membantumu. Terserah bagaimana kau hendak mengapakan diriku."

Tiba2 gadis itu tertawa nyaring.

"Apa yang kau tertawakan?" teriak Khik Sia dengan marah. "Aku menertawai dirimu. seorang lelaki, tak tidak lapang

dada," sahut Su Tiau-ing.

Khik Sia terkesiap. "Dalam hal apa aku tidak lapang dada?" tanyanya.

"Kutahu mengapa kau benci padaku. Kau tentu masih teringat akan peristiwa pertempuran dahulu yang bukan? Dalam pertempuran itu ayahmu gugur dan kebetulan ayahkulah yang menjadi fihak lawannya, Sudah sewajarnya kalau kau mendendam, Tetapi mana ada pertempuran tanpa ada korban yang jatuh? Jika dua pihak saling bertempur, tentu sukar terhindar dan korban2 yang luka dan mati. Apalagi ayahku dan Leng Ho-tiau sudah meninggal, seharusnya dendam sakit hatimu itu dihilangkan juga. Turut kata kau tak mau meghapus rasa dendammu itu, pun seharusnya hanya tertuju pada ayahku saja. Pada masa itu aku juga masih seorang anak perempuan kecil yang tak tahu apa-apa. Mengapa diriku turut dibawa-bawa? Dengan setulus hati kuundang kau kemari karena aku hendak minta bantuanmu. Tetapi ternyata kau bersikap begitu getas kepadaku. Apakah ini bukannya menandakan hatimu sempit?" dengan tepat sekali Tiau ing telah menelanjangi isi hati Khik Sia. Nona itu telah memberikan uraian yang jitu.

Diam-diam Khik Sia mengagumi kecerdikan nona itu. Meskipun perasaannya masih tetap tawar terhadap nona itu. namun sikapnya, tidak segetas tadi lagi. Sahutnya: "Memang aku tak bermusuhan dengan kau, tetapi kita berlainan jalan, berbeda tujuan, aku tak dapat membantu kerepotanmu!"

"Toh aku belum mengatakan, bagaimana kau tahu tak dapat membantu? Dan mungkin juga kita sehaluan", Tiau-ing tertawa.

Khik Sia kalah separoh, akhirnya terpaksa ia mengalah: "Baiklah, silahkan mengatakan saja urusanmu itu."

"Aku bermaksud hendak berserekat dengan Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat. Kita sama-sama membagi rata kerajaan dan negeri. Sukakah kau menyampaikan hal ini kepada mereka?" kata Tiau-ing.

"Tidak!" tukas Khik Sia dengan tegas. "Mengapa?" tanya Tiau-ing.

"Tidak ya tidak! Siapa Thiat toakoku itu, rasanya kau tentu tak mengetahui," sahut Khm Sia. "Mengapa tak tahu? Thiat-mo-lek pernah menjabat sebagai si-wi diistana, Kemudian di fitnah oleh kaum dorna sehingga keluar. Tapi ia masih tetap setia kepada kerajaan Tong. Dengan An Lok-san dan ayahku, ia pernah bertempur. Dalam anggapannya, fihakku itu kawanan pemberontak. Berdasarkan hal itu, kau lantas menetapkan bahwa ia tentu tak sudi berserekat dengan aku. Betul tidak?"

"Kalau sudah tahu, itulah sudah cukup," sahut Khik Sia.

Dengan komentarnya yang terakhir itu, Khik Sia hendak memutuskan pembicaraan, ia duga nona itu tentu tak dapat berkata lagi. Siapa tahu, Tiau ing malah tertawa gelak.

"Mengapa kau tertawa lagi?" Khik Sia heran dibuatnya. "Kutertawai kau terlalu gegabah dan menelan saja sejarah

kerajaan Tong dan tak menyesuaikannya dengan suasana perobahan jaman." Sahut Tiau-ing.

"Bagaimana aku tak dapat melihat perubahan jaman?  harap nona katakan" kata Khik Sia.

"Lain dulu. lain sekarang, An Lok-san adalah suku Oh (utara). Ia ingin menjadi kaisar Tiongkok. Jika sekalian patriot Tionggoan tidak setuju, itulah sudah jamak. Keluargaku she Su adalah orang Han. Jika orang she Li dapat menjadi kaisar, mengapa kami orang she Thiat. orang she Bo dan kau she ToAn, tidak boleh? Ini dalil pertama.

"Dahulu Tiat-mo-lek menjadi pengawal kaisar Tong, sekarang menjadi pemimpin Lok-lim (begal). Bo Si kiat itu seorang yang purya ambisi besar, kutahu hal itu. Mungkin Thiat mo lek tidak berniat berontak, tapi keadaan sudah berkembang sedemikian rupa. mau tak mau ia harus menetapkan putusannya. Baik ia mau berontak atau tidak, pihak lawan tetap takkan memberi ampunan padanya, Markasnya di Kim-ke-nia sudah di hancurkan tentara pemerintah. kini ia melarikan diri entah kemana. Rasanya sukar untuk menginjakkan kakinya lagi, Jika mau bererikat dengan kami, tentu sama2 ada kebaikannya. Mengapa tak mau?"

Tiau-ing berlidah tajam dan pandai merangkai kata2, Sebaliknya Khik Sia tak pandai bicara. dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang tidak benar, tapi sukar untuk mengatakannya.

"Bagaimana, kau sudah dapat memikir jelas belum?" tanya nona itu.

Diam-diam Khik Sia membathin: "Meskipun An Lok San adalah suku Oh dan Su Su-bing suku Han, tapi dua2nya merupakan harimau dan serigala. Siapa yang jadi kaisar, sama saja. Sedikitpun tiada manfaatnya bagi rakyat jelata. Su Tiau- gi membunuh ayahnya sendiri karena hendak merebut kedudukan, ini lebih biadab lagi Su Tiau-ing ini adalah adik perempuannya, rasanya tentu tak berbeda banyak dengan engkohnya."

Walaupun hatinya begitu, tapi lahirnya Khik Sia tetap bersikap ramah kepada nona itu. Kemudian ia mengambil ketetapan, ujarnya. "Kau minta aku mengatakan sejujurnya?"

Tiau Ing mengatakan:

"Taruh kata Bo Se Kiat mau bersekutu dengan kau, akupun tak mau menjadi orang perantaranya." kata Khik Sia.

"Mengapa? Kau memandang hina pada kami?" seru Tiau- ing.

"Terserah kau hendak mengatakan bagaimana, pendek kata apa yang aku tak ingin, takkan kukerjakan. Jika mau mengirim orang lain perantara, silahkan cari lain orang saja," sahut Khik Sia.

Dengan tawar Tiau-ing berkata: "Jika ada orang yang lebih sesuai dari kau, sudah tentu kami pun takkan berjerih payah untuk mendatangkan kau kemari. Jika kau tak mau, aku pun tak dapat memaksa. Tapi karena dengan tak mudah kita mengundangmu datang, rasanyapun tak mudah kau hendak pergi. Dalam hal ini, rasanya kau tentu mengerti, bukan? Nah, silakan menimbang lagi, mau meluluskan atau tidak?"

Khik Sia tertawa dingin: "Apakah kau menghendaki aku pura-pura meluluskan permintaanmu? Sebenarnya aku dapat berbuat begitu, berbohong padamu. Tapi dengan tak pegang janji begitu, bukanlah laku seorang laki-laki perwira. Maka akupun tak mau berbuat begitu. Mengertikah kau? Nah, rasanya sudah cukup jika hendak membunuh aku, silahkan saja."

Kembali Tiau-ing tertawa gelak-gelak.

"Mengapa kau tertawa?" Lagi-lagi Khik Sia kesima.

"Kali ini aku bukan menertawai kau, melainkan menertawai engkohku yang sudah salah lihat orang. Ternyata  mataku lebih tajam dari dia," sahut Tiau-ing.

"Bagaimana?" tanya Khik Sia.

"Engkohku berpendapat, dengan siasat paksa dan membujuk, dapatlah menundukkan kau. Tetapi pendapatku bertentangan. Kupandang kau seorang muda yang berperibadian kuat, jujur dan perwira. Apa yang kau pikirkan, tentu kau katakan. Tak mau membohongi diri sendiri. pun tak mau menipu orang. Bagus, benar dapat digolongkan perilaku seorang laki-laki utama."

Disamping puji, adalah menjadi kesukaan setiap orang. Tanpa merasa Khik Sia pun tergerak hatinya. Pikirnya: "Nona ini cerdik dan berpambek tinggi. Sebenarnya dapat digolongkan sebagai pahlawan wanita. Sayang seorang nona begitu, rela menjadi pemberontak." 

Selagi berpikir begitu, tiba-tiba didengarnya ada suara berkeresekan pelahan sekali. Obat bius yang dihirup Khik Sia masih belum hilang khasiatnya. Tenaganya lenyap tapi pendengarannya masih tajam. Jika lain orang tentu sukar menangkap suara berkeresekan yang sedemikian perlahannya itu.

"Siapakah orang yang lihay ginkangnya ini? Menilik Su Tiau- ing itu sebagai seorang kongcu (puteri), tentulah orang itu anak buahnya. Tapi jika benar orang sebawahannya, mengapa berani mencari dengar. Hem, apakah musuhnya yang datang?" Khik Sia menimang nimang dalam hati. Tapi ditunggu sampai sekian jenak, tiada terdengar suara apa-apa lagi.

Rupanya Tiau-ing merasa juga. Tiba-tiba ia berkata: "Biarlah kubukakan jendelanya, ya?"

Cepat tangannya mendorong daun jendela, ternyata diluar tak kelihatan suatu apa, Tapi dengan telinganya yang tajam itu, dapatlah Khik Sia menangkap bahwa suara itu hilang berbareng pada saat Tiau-ing membuka jendela. Orang itu tentu sudah kabur.

Diam-diam Khik Sia terkejut, pikirnya: "Hebat benar ginkang orang itu, Apakah toa-su hengku yang datang?"

Tiau-ing berputar lagi dan menghela napas perlahan, ujarnya: "Toan kongcu. aku tak mau memaksa kau, tapi juga tak dapat membebaskan kau. Apakah kau membenci padaku?"

Dingin-dingin Khik Sia menjawab: "Aku adalah orang tawananmu. Hendak kau apakan, terserah saja. Masakah aku dapat membantah."

"Toan kongcu, jika kulepaskan kau pergi, bagaimana sikapmu kepadaku?" tiba-tiba nona itu bertanya.

"Sebenarnya kita ini berlainan golongan. Jika kau tidak membikin susah kepadaku, sudah tentu aku takkan bikin perhitungan padamu. Begitu kutinggalkan tempat ini, semua ganjelan selama inipun takkan kutarik panjang." sahut Khik Sia. "Kalau begitu, biarlah kulepaskan kau. Apakah kau hanya meluluskan takkan membenci aku?" kata Tiau-ing.

"Kau masih menghendaki apa lagi? Apakah minta aku bertekuk lutut minta maaf padamu?"

Tiau-ing kerdipkan matanya kepada anak muda itu sejenak, lalu tertawa: "Ah, mana aku berani menerima kehormatan begitu. Sebaliknya, akulah yang hendak mohon kasihan kepadamu."

Khik Sia menduga nona itu hendak mengungkit lagi pembicaraan tadi. Buru2 ia menyahut: "Seorang laki2 lebih baik mati dari pada menyerah, Telah kukatakan tadi, baik kau lepaskan aku atau tidak, aku tetap tak dapat membantu padamu. Nah, kiranya sudah cukup terserah padamu untuk memutuskannya!"

Tiau-ing kerutkan alisnya yang bagus, seperti ada yang dipikirkan. Lewat beberapa jenak kemudian, tiba-tiba ia menghela napas, katanya: "Toan kongcu, sebenarnya ingin sekali aku untuk melepaskan kau, tapi sayang aku tak kuasa melakukan seluruhnya. Baiklah, kau pikirkan lagi saja dulu, aku hendak pergi!"

Pikiran Khik Sia bekerja, tetapi bukan karena memikirkan kata2 Su Tiau-ing tadi, melainkan pengintai yang memiliki ilmu ginkang hebat itu. Bermula ia duga kalau toa-suhengnya Gong-gong Ji, yang datang itu. Kalau benar ia, mengapa takut? Toh tak ada orang yang mampu menghalanginya? Dan mengapa sampai sekarang tak muncul lagi? Namun bila pengintai itu orangnya Su Tiau-ing sendiri, pun tak masuk akal juga. Mana ada orang sebawahan berani mencuri dengar pembicaraan tuan puterinya? Memikir bolak-balik, tetap Khik Sia tak menemukan jawabannya.

Seorang budak perempuan datang dengan membawa talam yang berisi semangkok besar bubur dan beberapa mangkuk masakan. "Kuatir kau lapar, kongcu suruh mengantarkan hidangan ini untukmu," kata budak itu.

Pikir Khik Sia: "Jika ia hendak mencelakai aku, toh tak perlu memberi racun dalam makanan."

Khik Sia sudah tak mengacuhkan mati hidupnya lagi. Terus ia gasak hidangan itu sampai habis. Setelah budak itu pergi Khik Sia duduk sendirian didalam kamar situ.

Sampai sekian lama tak kelihatan orang datang. Timbullah ingatannya: "Dari pada menunggu pertolongan orang, lebih baik berusaha sendiri."

Ia lantas duduk bersila manyalurkan lwekangnya. Semangatnya sudah agak baik, tetapi hawa murni (cin-gi) masih sukar dipusatkan. Lewat beberapa saat, hawa cin-gi itu mulai bergerak tapipun hanya terbatas sampai kearah tangan kakinya saja. Untuk melancarkan ilmu gin-kangnya, itulah masih sukar.. Tiba-tiba diluar terdengar suara orang berbicara. Suara orang lelaki berkata. "Apakah ia sudah menyanggupi?"

"Aku sedang membujuknya," sahut suara seorang anak perempuan yang lain ialah Su Tiau ing.

Lelaki itu tertawa dingin: "Moay-moay, lebih baik jangan buang tenaga. Memang sudah kuduga ia tentu menolak."

"Tidak beri ia waktu dua hari lagilah," bantah Tiau-ing.

Kata lelaki itu: "Apa yang kau bicarakan padanya, telah kudengar semua. Kalau toh ia menolak, kau bisa berbuat apa? Hm, apakah kau hendak gunakan siasat memikat dengan kecantikan?"

Maka marahlah Tiau-ing: "Koko, jangan ngaco belo! Kau anggap aku ini orang macam apa ?"

Khik Sia tahu kalau kedua orang yang bicara itu tentulah Su Tiau-ing dan engkohnya Su Tiau-gi Pikirnya; "Benar-benar peribadi Su Tiau-gi itu hina-dina. Meskipun Su Tiau-ing itu bukan tergolong kaum Ceng-pay (lurus) tapi ia masih lebih baik dari engkohnya."

Tiba-tiba ia teringat sesuatu: "Hai, bukankah tadi Tiau-ing mengatakan kalau engkohnya menganggap aku dapat ditundukkan? Tetapi barusan Su Tiau-gi mengatakan kalau ia tak menganggap begitu. Habis siapakah yang menangkap aku kemari dan hendak menggunakan aku sebagai orang perantau itu?"

-od0o-ow0o-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar