Pasangan Naga dan Burung Hong Jilid 10

Jilid X

JUGA pemilik warung ditepi jalan itu saban harinya membutuhkan sepuluh kati beras. Begitu berasnya sudah dituang, karungnya sembarangan dilemparkan disudut.

Diam-diam timbul suatu pikiran pada Khik Sia. Sambil mengangsur dua tahil perak, ia tertawa: "Tiam-ke bolehkah karung itu kuambil? Dua tahil perak itu tak usah diberi kembalinya!"

Bagi sipemilik warung, karung itu tiada gunanya. Harganyapun hanya beberapa hun perak saja. Kembalian  uang Khik Sia itu masih ada dua puluh lima hun. Sudah tentu sipemilik warung menjadi heran dan bertanya: "Tuan, buat apa kau menghendaki karung itu?"

Khik Sia tertawa: "Untuk hari ini, paling baik orang menjadi pengemis. Dengan menyanggul karung itu, dapatlah aku pergi kelain warung untuk makan ayam kiau-hoa-ke."

Sipemilik warung merasa kalau muda itu menyindirnya. Ia menyengir: "Ah tuan ini suka bergurau saja,"

Khik Sia memungut karung itu dan dipanggulnya dibelakang pundak. Ujarnya: "Uang perak semua berada disini, siapa yang bergurau padamu?"

Sipemilik warung berbalik menjadi kuatir atas kesungguhan Khik Sia, katanya: "Tuan sebaiknya jangan menerbitkan perkara,"

"Aku kan tak gegares kiau-hoa-ke kepunyaanmu dengan cuma-cuma, mengapa kau ribut? Cukup asal kau jangan memberitahukan pada lain warung."

Habis berkata Khik Sia lantas mengusap pantat kuali dan diulaskan kemukanya. Setelah itu pakaiannya dikoyaknya beberapa bagian. Karena pakaiannya itu penuh debu, maka setelah dikoyak dan membawa karung, kini Khik Sia benar2 berobah menjadi pengemis kecil. 

Diluar jalan sana tampak ada beberapa pengemis menghampiri kewarung situ. Khik Sia membisiki pemilik warung, minta dia jangan sampai buka rahasia. Ia percaya sipemilik warung itu tentu bernyali kecil dan tidak berani membocorkan rahasianya, Khik Sia lalu melangkah keluar dengan langkah lebar dan menyanyi! macam orang mabok. Karung yang di panggulnya itu mirip dengan karung anggaota Kay Pang. Beberapa pengemis yang melihatnya mengira kalau Khik Sia itu seorang anak buah Kay Pang tingkat keroco, jadi merekapun tak menaruh perhatian.

Walaupun belum banyak pengalaman didunia kangouw, tapi sebelumnya Khik Sia sudah banyak mendengar cerita Thiat Mo Lek tentang seluk beluk dunia persilatan. Maksudnya menyelundup kedalam anggauta Kay Pang itu, tak lain ialah hendak memberi bantuan pada fihak Kay Pang jika ternyata musuh mereka itu terlampau tangguh. Tapi dikarenakan belum lama muncul didunia kangouw. jadi ia asing dengan orang-orang Kay Pang. Sudah tentu rapat anggauta Kay Pang itu, jika tak mendapat undangan, tentu tak seorang luarpun yang diperbolehkan datang. Jika sampai ketahuan, tentu orang-orang Kay Pang akan marah. Demikianlah akhirnya Khik Sia mengambil putusan untuk menyelundup dengan menyaru sebagai pengemis kecil.

Berjalan tak berapa lama, dilihatnya rombongan pengemis makin banyak jumlahnya. Khik Sia tak mau bicara apa. Ia hanya mengikuti saja rombongan pengemis yang berbondong- bondong itu saja. Diam-diam ia memperhatikan keadaan mereka. Ternyata pengemis2 itu datang dari berbagai daerah, jadi satu sama lain tak kenal. Mereka tak memperdulikan Khik Sia.

Akhirnya setelah berjalan beberapa jam, pada saat itu sudah hampir tengah hari. Dan kini mereka mulai memasuki sebuah lembah gunung. Dikedua samping lembah itu, berderet-deret batu-batu karang yang menjulang. Sedang dasar lembah itu sendiri merupakan sebuah tanah datar. Ditengah-tengahnya terdapat sebuah altar batu. Para pengemis itu menempatkan diri menurut pangkat mereka. Ada yang duduk, ada yang berdiri. Mereka mengelilingi altar batu itu. Khik Sia menyelundup ditempat rombongan pengemis yang bertingkat paling rendah sendiri. Letaknya yang paling luar, dekat pada lamping gunung.

Anak murid Kay Pang berbondong-bondong masuk kedalam lembah. Menjelang tengah hari ketika jumlah yang datang sudah cukup banyak, maka mulai berkuranglah jumlah orang orang baru yang datang. Saat itu, hampir daerah gunung dan lembah situ penuh dengan kaum pengemis. Tetapi diatas altar batu, tetap kosong.

Seorang pengemis yang duduk disebelah Khik Sia kedengaran berkata: "Ai, aneh, mengapa pangcu belum juga datang?"

Dari pembicaraan yang didengar Khik Sia tadi, tahulah ia bahwa rapat besar itu akan dibuka tengah hari. Kini hari sudah naik tinggi. namun pangcu mereka tetap belum muncul. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan dan dugaan dikalangan anak buah Kay Pang. Khik Sia sendiripun turut merasa heran.

Bisik-bisik anak buah Kay Pang itu makin lama makin santer. Sekonyong-konyong ada seorang pengemis tua dengan karung kuning loncat keatas altar batu. Ia bertepuk tangan dan berseru: "Pangcu sudah terang takkan datang."

Nada suaranya rawan sekali. Orang-orang yang duduk didekat altar situ, melihat mata pengemis tua itu bercucuran air mata. Seketika timbullah kegemparan dikalangan anak buah Kay Pang.

"Dimanakah pangcu kita?" "Mengapa ia tidak dapat datang?"

"Apakah terjadi sesuatu dengan dia?"

Demikian ramai ucapan yang meluncur dari setiap bibir anak buah Kay Pang.

Pengemis tua itu adalah salah seorang tokoh Kay Pang yang disebut Su-tay tiang-lo atau Empat Tetua Besar. Kedudukan mereka hanya dibawah pangcu saja. Pengemis tua itu memberi isyarat tangan untuk menenangkan suara berisik. Dan berkatalah ia dengan suara sedih:

"Ini adalah sebuah berita yang paling sedih. Kita takkan bertemu muka lagi dengan pangcu. Pangcu..... pangcu kita sudah tiada lagi di dunia!"

Berita itu sudah menggoncangkan seluruh persidangan. Lembah seolah-olah bergetar dengan tangisan dan teriakan anak buah Kay Pang.

"Setengah bulan yang lalu, aku masih bertemu dengan pangcu. Tak ada khabar bahwa pangcu menderita sakit, mengapa tahu2 dia meninggal dunia!"

"Mengapa pangcu meninggal, lekas, lekas beri penjelasan!"

Demikian susul menyusul anak buah Kay Pang berteriak dengan kalap.

"Uh-bun Jui, naiklah kemari untuk memberi penjelasan pada sekalian saudara," seru pengemis tua tadi:

Seorang pengemis muda yang habis menangis loncat keatas altar batu. Umurnya disekitar dua puluh tahunan. Wajahnya cakap berseri dan pakaiannya yang walaupun ada tambalannya, tapi hanya bagian-bagian yang tak kelihatan saja. Jika bukan menggerombol dengan kaum pengemis tentulah orang takkan menyangka bahwa ia itu seorang pengemis.

"Siapakah dia?" bisik Khik Sia.

Pengemis yang berada disampingnya menjawab: "Ai, mengapa kau tak tahu siapa dia? Dia kan murid dari kepala dari pangcu kita. Beberapa tahun ini semua urusan partai dia lah yang mengerjakan."

"Aku baru saja masuk kedalam Kay Pang," cepat Khik Sia memberi penyahutan yang cerdik. Sebenarnya pengemis itu merasa aneh, tetapi tak punya waktu menanyai Khik Sia dengan melilit.

Sekonyong-konyong tampak Uh-bun Jui angkat tongkat bambunya dan menangislah ia sekeras2nya. Tongkat bambu itu adalah tongkat kekuasaan dari Kay Pang. Semua anak buah Kay Pang tahu apa artinya gerakan Uh-bun Jui itu.

"Lekas bilang, lekas bilang, siapa yang mencelakai pangcu!" mereka berebutan bertanya.

Pengemis tua yang memanggul karung kuning tadipun membujuk Uh-bun Jui: "Uh-bun Jui, urusan takkan beres hanya ditangisi saja. Mari kita berunding dengan sungguh- sungguh."

Uh-bun Jui besut air matanya. Dengan kertek gigi ia berkata keren. "Pangcu dibinasakan oleh kedua pembesar anjing Cin Siang dan Ut ti Pak!"

Suasana yang bermula amat berisik, tiba2 berubah menjadi hening lelap. Beberapa saat kemudian, baru terdengar orang2 berseru kaget dan heran;

"Ha, ai, ih, merekakah? Merekakah?"

Seperti diketahui kedua orang yang disebut oleh Uh-bun Jui tadi adalah pembesar2 militer tinggi dari kerajaan. Dengan kaum Kay Pang mereka itu tak mempunyai hubungan apa apa. Maka ketika Uh-bun Jui mengatakan kedua orang itulah yang membunuh pangcu Kay Pang, orang-orang tersentak kaget.

Hanya Khik Sia seorang yang diam-diam mempunyai kesangsian: "Cin Siang adalah seorang panglima yang gagah perwira. Seorang jantan yang berpambek mulia. Ia selalu melindungi tokoh-tokoh kangouw. Sekalipun belakangan ini menyerang markas Kim-ke-nia, tapi ia terpaksa melakukan hal itu karena perintah atasannya. Namun meskipun begitu, diam- diam ia telah membiarkan Thiat toako lolos. Seorang tokoh begitu, masakan mau membunuh pangcu dari Kay Pang? Juga Ut ti Pak itu seorang jago yang jujur dan terus terang. Turut logikanya tak nanti ia melakukan perbuatan itu. Dan keterangan Uh-bun Jui bahwa Cin Siang dan Ut-ti Pak itu berkumpul disatu tempat, lebih mencurigakan lagi. Taruh kata Ut-ti Pak itu amat berangasan, masakan Cin Siang tak dapat mencegahnya?"

Lain kecurigaan Khik Sia, lain kecurigaan anak buah Kay Pang. Benar mereka itu merasa heran dengan peristiwa itu, tapi karena yang memberi keterangan itu adalah anak murid kesayangan dari pangcu yang selalu mendampingi kemana saja pangcu itu berada, anak buah Kay Pang tak dapat mengatakan lain kecuali percaya penuh.

Serentak suasana tempat situ menjadi berisik lagi dengan hanum makian dan sumpah serapah dari anak buah Kay Pang tertuju kepada alamat Cin Siang. Disamping mengata-ngatai Cin Siang dan Ut-ti Pak itu manusia berhati serigala dll. pun para pengemis itu memperbincangkan akan melakukan pembalasan kepada kedua pemimpin Gi-lim-kun tersebut. Diantara sebagian besar anak buah Kay Pang yang spontan (serempak) memberikan reaksi mereka, pun ada sementara pengemis yang benar-benar terlongong-longong dengan kejadian yang diluar dugaan itu. Benar mereka itu tak berani untuk mempercayai, namun mereka minta juga kepada Uh- bun Jui supaya menuturkan jalannya peristiwa.

Setelah kegemparan suasana menjadi reda, menuturlah Uh-bun Jui: "Tanggal enam belas bulan yang lalu, pangcu telah menerima surat, undangan dari Cin Siang supaya suka datang ke Tiang An untuk berunding suatu urusan penting. Pangcu segera mengajak aku kesana."

Keterangan Uh-bun Jui telah menimbulkan bermacam- macam tafsiran pada anak buah Kay Pang. "Ia (Cin Siang) tentu merundingkan urusan Eng Hiong Tay Hwe dengan pangcu. Apakah mungkin karena pangcu menolak memberi bantuan, ia lantas membunuhnya?" Rupanya Uh Bun Jiu tahu juga apa yang sedang dibayangkan oleh sekalian anak buah Kay Pang. Ujarnya; "Bermula memang pangcu juga menduga kalau Cin Siang tentu hendak mengajaknya berunding tentang Eng Hiong Tay Hwe. Tapi setelah bertemu dengan Cin Siang, barulah kami mengetahui kalau bukan."

Para tianglo dan hiangcu sama menganggukkan kepala: "Benar Cin Siang tak nanti karena urusan Eng Hiong Tay Hwe lantas membunuh pangcu."

Kiranya setelah pengumuman Cin Siang untuk mengadakan rapat besar kaum enghiong itu tersiar, Ciu Ko dan keempat Tianglo serta kedelapan Hiangcu mengadakan perundingan untuk menentukan sikap. Dalam rapat itu diputuskan: anak murid Kay Pang bebas untuk turut atau tidak dalam rapat besar itu. Keputusan itu supaya disampaikan kepada hiangcu dari berbagai daerah. Bila ada anak murid Kay Pang yang meminta instruksi, supaya dijawab begitu.

Kaum pengemis yang tergabung dalam Kay Pang itu, dimana-mana menuntut penghidupan sebagai peminta-minta. Mereka sudah biasa hidup bermalasan. Maka pada hakekatnya merekapun tak mempunyai setitik pikiran untuk ikut serta dalam Eng Hiong Tay Hwe tersebut. Anak buah Kay Pang didaerah daerah yang menanyakan hal itu kepada hiangcunya masing-masing pun sedikit sekali jumlahnya. Pun anggauta Kay Pang yang hadir dalam rapat partai pada hari itu, kebanyakan tiada tahu sama sekali akan peristiwa yang menimpah pada diri pangcu mereka.

"Jika bukan untuk urusan rapat itu, habis tentang apa?" tanya salah seorang pengemis.

Uh-bun Jui menjawab: "Tak lain tak bukan ialah Cin Siang akan melarang adanya partai kita didalam kota Tiang An! Begitu bertemu dengan pangcu, Cin Siang berkata: "Cin- pangcu, kusambut dengan gembira kedatanganmu kemari ini. Tetapi adanya sekian banyak pengemis besar kecil didalam kota Tiang An sungguh menjemukan!"

Kembali suasana persidangan menjadi hiruk pikuk: "Kurang ajar! Sejak dulu kami kaum pengemis mengembara keempat penjuru. Orang macam apa Cin Siang itu berani melarang kita tinggal di Tiang An?"

"Peduli dengan pangkat nya rebagai kepala Gi-lim-kun. Anak buah Gi lim-kun boleh menurut perintahnya, tapi jangan lantas menginjak kepala kita!"

Ji-tianglo, salah seorang dari keempat tiang lo berkata: "Oa, kiranya ia mengungkat soal lama lagi. Bukankah hal itu dahulu telah dibicarakan? Apakah anak buah kita menerbitkan onar dikota Tiang An? Mana Wi hiangcu?"

Ada seorang pengemis yang menggendong karung warna kuning, tampil kemuka: "Entah di mana beradanya Wi hiangcu itu. Memang anak buah Kay Pang dikota raja itu satu tempo suka mencuri ayam dan merampas anjing. Membikin onar kecil, pun pernah juga. Tetapi perbuatan yang melawan pemerintah, selama tiga tahun ini tak pernah terjadi."

Pengemis yang memberi keterangan itu, ternyata adalah Hu-hiangcu (wakil kepala) Kay Pang di Tiang An. Wi hiangcu yang ditanyakan oleh Tianglo itu, adalah hiangcu di Tiang An.

Ji tianglo tampak terkesiap, tanyanya: "Apakah Wi hiangcu hilang? Bilakah ketahuan hilangnya itu? Bagaimana peristiwanya?"

"Pada tanggal delapan belas bulan yang lalu, Wi hiangcu sudah hilang. Sekalian saudara cemas jangan2 ia itu dimasukkan kedalam penjara oleh Cin Siang!" sahut Hu hiangcu.

Berkata Ma tianglo: "Mengapa perlu ditanya, lagi? Habis membunuh pangcu, Cin Siang mengganas pula pada Wi- hiangcu." Memang sejak Ciu Ko menjabat pangcu Kay Pang, peraturan partai agak longgar. Kalau perbuatan tak berdisiplin dari anak buah Kay Pang itu, terjadi didaerah2, itu masih tak menyolok. Tapi Tiang An adalah kota raja. Perwakilan- perwakilan dagang dari berbagai negeri, banyak yang tinggal di Tiang An. Boleh dikata saban hari tentu terjadi perbuatan ugal-ugalan dari anak buah Kay Pang. mencuri ayam, merampas anjing, minta dengan paksa dan bahkan melukai orang untuk merampas barangnya. Sudah tentu pembesar kota situ tak mau tinggal diam. Pembesar yang berpangkat siu-in (semacam kepala daerah) dari Tiang An tahu bahwa Cin Ciang mempunyai hubungan baik dengan partai2 persilatan kangouw. Ia segera minta Cin Siang untuk menghubungi pangcu Kay Pang, agar partai pengemis itu suka mengendalikan anak buahnya. Pembesar tersebut mengajukan tuntutan sebaiknya anak buah Kay pang di larang tinggal dikota raja. Tentang kaum pengemis lainnya yang bukan anggaotanya Kay Pang, asal mereka tak mengganggu keamanan, bolehlah tinggal dikota itu.

Akhirnya Cin Siang mengundang Ciu Ko dan dalam perundingan itu, Ciu Ko memberi pernyataannya yang positip, ia bersedia memberi instruksi kepada hiangcu Kay Pang di Tiang An, supiya lebih keras mengendalikan anak buahnya. Jika anak buah Kay Pang sampai ada yang melanggar undang- undang, bolehlah pembesar negeri menindak mereka dan Kay Pang takkan campur tangan. Tetapi jika disuruh mengusir anak buah Kay Pang dari kota Tiang An, itulah sukar.

Cin Siang menerima baik usul pangcu Kay Pang itu dan segala sesuatu berjalan sesuai dengan keputusan perundingan itu.

Oleh karena anggaota-anggaota Kay Pang yang mempunyai kedudukan tinggi sudah pernah mendengar tentang hal itu, maka penuturan Uh-bun Jui itu tak disangsikan lagi. Kembali disana-sini terdengar hanum makian kepada alamat Cin Siang. Dikatakan orang she Cin itu, melanggar janjinya dan hendak mengandalkan pengaruhnya untuk menindas kaum Kay Pang.

Puas menghamburkan isi kemarahannya, kembali suasana menjadi hening lagi. Ribuan telinga siap mendengarkan cerita Uh-bun Jui melanjutkan penuturannya.

"Karena pangcu menolak tuntutan Cin Siang supaya anak buah Kay Pang dibersihkan dari kota Tiang An, maka berkatalah Ut-ti Pak: "Karena kau menolak, maka kau sendiripun harus tinggal dikota ini, jangan pergi lagi!"

Sudah tentu pangcu marah dengari hinaan itu. Akhirnya keduanya berkelahi. Pangcu berjanji. apabila ia sampai kalah dengan orang she Ut-ti itu, dalam waktu tiga bulan ia sanggup memerintahkan anak buahnya pergi dari Tiang An. Sebaliknya kalau beliau menang, ia minta agar Ut-ti Pak jangan mengganggu gugat kaum Kay Pang lagi.

"Sampai setengah harian mereka bertempur. Sebenarnya dalam ilmu silat, pangcu tak kalah dengan orang she Ut-ti itu. Tapi disebabkan usia beliau sudah lanjut, maka tenaga beliaupun berkurang. Akhirnya dalam suatu kesempatan, Ut-ti Pak telah berhasil menghantam pangcu sampai terluka berat."

"Bagaimana dengan Cin Siang? apakah setelah Ut-ti Pak melukai pangcu, ia tak mencegahnya?" menyeletuk salah seorang Tianglo she Ji.

"Bukannya melerai, sebaliknya ia malah memuji tindakan Ut-ti Pak!" sahut Uh-bun Jui,

Ma tianglo tertawa dingin: "Memang Cin Siang itu mengandung maksud tak baik waktu mengundang pangcu. Siapakah yang tak tahu ka lau Cin Siang itu sudah seperti saudara hubungannya dengan Ut-ti Pak? Turut pendapatku peristiwa itu memang sudah direncanakan oleh mereka. Cin Siang yang menggunakan diploma si lidah dan Ut-ti Pak yang menggunakan pukulan. Huh, mengapa kau masih menganggap Cin Siang itu seorang manusia baik?" Ji tianglo diam-diam curiga. Tapi karena saat itu sekalian anak buah Kay Pang hiruk pikuk menyumpahi Cin Siang dan Ut-ti Pak, jadi ia tak berani banyak bicara lagi.

Tidak demikian dengan Ma tianglo yang segera meloncat keatas atas batu dan berseru nyaring: "Pangcu kita telah dicelakai dengan sewenang-wenang. Kita harus menghempaskan dendam ini. Tapi lebih dulu kita harus mengangkat pangcu baru, kemudian merundingkan langkah- langkah selanjutnya. Uh-bun Jui, lekas katakan pesan pangcu."

"Beliau telah menyerahkan tongkat kekuasaan ini padaku, hal ini..... ini....... sungguh menggelisahkan hatiku," kata Uh- bun Jui dengan suara terkait-kait.

"Pangcu menghendaki kau memikul tanggung jawab bagaimana kauherani menolaknya?" seru Ma Tianglo.

Tiba-tiba Ji Tianglo menyeletuk: "Uh-bun Jui, pangcu telah menyerahkan tongkat kekuasaan padamu, apakah sudah jelas artinya bahwa kau diangkat menjadi penggantinya?"

"Memang beliau telah mengatakan kepadaku begitu, tapi aku masih begini hijau kurang pengalaman, jadi tak berani menerimanya." sahut Uh-bun Jui.

Tampak wajah Ma tianglo kurang senang. Dengan nada dingin ia bertanya: "Ji tianglo apa maksudnya pertanyaanmu tadi? Tongkat kekuasaan sudah diserahkan kepada Uh-bun Jui masakah masih diragukan?"

Menjawab tianglo she Ji itu dengan suara keren: "Pengangkatan seorang pangcu itu, bukan urusan sepele. Maaf, aku masih hendak mengajukan sepatah dua patah pertanyaan lagi kepadamu, Uh-bun Jui Sewaktu, pangcu menyerahkan tongkat padamu sebagai tanda mengangkat kau menjadi penggantinya itu, selain kau masih ada siapa lagi yang hadir?" Pertanyaan itu terang mengandung arti tak mempercayai keterangan Uh-bun Jui.

Uh-bun Ju pesut air matanya dan berkata: "Kala itu pangcu terluka parah dan akulah yang segera memapahnya pulang. Tapi sebelum tiba ditempat kediaman hiangcu, beliau sudah menarik napas penghabisan. Pada detik-detik terakhir ia menyerahkan tongkat kekuasaan ini dan setelah mengucapkan beberapa patah pesanan ia lantas wafat."

"Kalau begitu, tiada lain orang lagi yang berada disitu?" menegas Ji tianglo.

"Yang ada hanyalah orang yang berjalan saja. Orang-orang yang dikirim Wi hiangcu untuk menyambut kita, belum datang," sahut Uh-bun Jui.

Tiba-tiba Ma tianglo berseru keras: "Ji tianglo, pertanyaanmu itu tidaklah keliwat tak menghormat kepada pangcu baru dan tak menghormat kepada pangcu lami dan  tak menghargai kepada lopangcu almarhum. Beliau telah dicelakai orang, bukannya kau buru-buru membalaskan sakit hatinya sebaliknya malah mencurigai pesan almarhum. Apakah artinya sikapmu ini?"

Sahut Ji tianglo: "Jika pangcu benar-benar meninggalkan pesan tersebut, sudah tentu aku patuh. Tapi ternyata pesan almarhum itu belum mempunyai kebenaran yang teguh. Bagaimana kita disuruh menerima keterangan sefihak saja?"

Terang tianglo she Ji itu menuntut saksi lagi. Jika Uh-bun Jui tak dapat membuktikan, terang ia bakal menolak.

Bahwa Uh-bun Jui membantu Ciu Ko mengurus urusan partai, memang sudah berjalan beberapa tahun. Apalagi ia itu adalah murid kesayangan dari Ciu Ko. Meskipun masih kurang pengalaman dan kepandaian, tapi bahwa Ciu Ko menjatuhkan pilihan penggantinya kepada Uh-bun Jui itu, memang sudah pada tempatnya. Tiada seorang pun anak buah Kay Pang yang menyangsikan keterangan Uh-bun Jui itu. Hanya orang she Ji itulah satu-satunya orang yang berani menyatakan kesangsiannya. Oleh karena dalam partai Ji tianglo itu mempunyai kedudukan yang tinggi, maka setelah ia melahirkan kata2nya tadi, terpengaruhlah anak buah Kay Pang. Kini mereka mempunyai sedikit kecurigaan terhadap Uh- bun Jui. Dan karena kedudukannya itulah, maka Ma tianglo tak berani menuduh yang bukan-bukan kepada Ji tianglo.

Memang yang mempunyai kecakapan untuk menggantikan kedudukan pangcu, ada beberapa orang. Dalam persidangan itu, segera timbul perbincangan yang tegang. Ada sementara fihak yang menyokong Uh-bun Jui, karena pemuda itu sudah diserahi tongkat kekuasan oleh pangcu. Tapi lain fthak, cenderung pada alasan yang dikemukakan oleh Ji tianglo. Sebelum Uh-bun Jui dapat mengajukan saksi lain, pemilihan pangcu itu harus diangkat oleh rapat anggota Kay Pang.

Ma tianglo bertepuk tangan tiga kali. Ia berdiri dimuka altar batu dan berseru: "Pada saat pangcu menutup mata, meskipun aku tak berada disampingnya, tapi sewaktu masih hidup, beliau sudah menetapkan siapa penggantinya kelak. Kepada siapa pilihannya itu dijatuhkan, sudah jelas sekali."

Ciok Tan, orang yang menjabat sebagai Seng-tong-hiang- cu atau kepala bagian hukum buka suara: "Benar, kuingat pangcu sewaktu mengangkat sdr. Uh-bun sebagai pembantu beliau dalam mengurus urusan partai, beliau pernah berkata: "urusan paitai kita kian lama kian banyak kerjaannya. Kedudukan pangcu, selayaknya dijabat oleh tenaga muda yang cakap dan tangkas," Terang kata-kata beliau itu mengandung maksud untuk mengundurkan diri. Dikarenakan sdr. Uh-bun masih belum mempunyai pengalaman, maka pangcu hendak menggemblengnya dulu disuruh menjadi pembantunya. Terang gamblang, bahwa memang pangcu menginginkan sdr. Uh-bun untuk menjadi penggantinya."

Mendengar itu maka berdirilah Ji tianglo: "Benar, memang pangcu pernah mengucapkan kata-kata itu. Tapi beliaupun pernah mengatakan lain pernyataan. Pada suatu hari beliau mengajak kami membicarakan tentang tenaga tenaga yang berbakat dalam kalangan kita. Ia anggap Ciok sutenya itulah yang paling cakap. Sayang tabiat sutenya itu amat keras. Dikarenakan sedikit bentrokan pikiran dengan beliau sutenya itu pergi kedaerah Kanglam dan sampai sekarang tiada beritanya lagi. Sewaktu membicarakan perihal diri sutenya itu, tampaknya pangcu amat menyesal. Pernah beliau mengatakan, jika sutenya itu kembali, beliau rela menyerahkan kedudukan pangcu kepadanya. Kata-kata pangcu itu disaksikan juga oleh Ma tianglo, Lau tianglo, Ko hiangcu, Ciok hiangcu dan Han hiangcu."

Memang Ciu Ko itu mempunyai seorang sute yang bernama Ciok Ceng Yang. Ciu Ko mempunyai tiga saudara seperguruan. Ciu Ko yang tertua, sedang Ciok Ceng Yang itu yang buncit sendiri. Usia Ciu Ko lebih tua dua puluhan tahun dari Ciok Ceng Yang. Namun diantara keempat saudara seperguruan itu, Ciok Ceng Yanglah yang paling menonjol sendiri kepandaiannya. Belum lama ia keluar kedunia kangouw, orang-orang persilatan sudah memberikan julukan sebagai Sin Ciang Kay Hiap atau Pendekar Pengemis Tangan Sakti. Memang Ciok Ceng Yang itu tinggi ilmu silatnya, cerdas otaknya, banyak akal dan pandai memutuskan perkara. Jangankan lain-lain tokoh Kay Pang, sedang Ciu Ko sendiri tak nempil padanya.

Mengapa tidak orang she Ciok yang ditetapkan menjadi pangcu? Itulah disebabkan karena sewaktu pangcu yang lama menutup mata, Ciok Ceng Yang masih belum dewasa, dan sebab sute kedua dan sute ketiga dari Ciu Ko itu sudah meninggal, maka ditetapkanlah Ciu Ko menjadi pengganti pangcu. Lima tahun lamanya, Cing Ceng Yang tiada kabar beritanya lagi. Ada orang luar yang mengatakan, bahwa orang she Ciok itu berselisih dengan suheng-nya (Ciu Ko), lalu minggat kedaerah Kang lam. Tapi bagaimana tentang perselisihan itu, tiada seorangpun yang mengetahui jelas Ma tianglo kerutkan alisnya, katanya: "Ji tianglo, tidaklah kau merasa bahwa kata-katamu itu kosong belaka? Ciok Ceng Yang sudah lama tiada ketahuan rimbanya. Masakan kedudukan pangcu harus terluang begitu lama?"

Sahut Ji tianglo: "Tidak! Memang Ciok Ceng Yang berselisih dengan suhengnya, tetapi jika ia mendengar suhengnya dicelakai orang, ia tentu segera datang kembali. Apalagi anak buah Kay Pang tersebar diseluruh pelosok negeri, jika kita intruksikan untuk menyirapi diri Ciok Ceng Yang, masakan tak dapat mencari keterangan."

Ma tianglo tak dapat membantah, tapi segera ia menemukan alasan: "Tindakan membalaskan sakit hati pangcu, tak boleh terlalu lama. Jika tak lekas-lekas mengangkat pangcu baru, kita seperti ular tanpa kepala. Bagaimana kita hendak melaksanakan pembalasan itu ?"

Nyi Cin Hiong wakil hiangcu di Tiang An turut menyatakan pendapatnya: "Ucapan Ma tianglo itu amat  beralasan. Rencana pembalasan sakit hati itu, tak boleh berlarut keliwat lama. Dan apa yang kuketahui, rasanya sdr. Uh-bun kini sudah mempunyai rencana untuk tindakan pembalasan itu."

Ucapan wakil hiangcu Tiang An itu menimbulkan reaksi.

Segera terdengar orang berseru: "Lekas katakanlah rercana itu!" Sebaliknya Uh Bun Jui diam saja,

"Meskipun ditempat persidangan ini yang hadir adalah saudara-saudara kita anggota Kay Pang semua, tapi jauh dari mulut lorong. Sekali rencana itu dikatakan, sukar dijamin takkan bocor keluar. Turut pendapatku, lebih baik kita pilih pangcu baru dulu, kemudian pangcu itulah yang akan mengadakan rapat dengan para tianglo dan hiangcu guna merundingkan rencana pembalasan sakit hati." Sekalian anak buah Kay Pang itu berkobar-kobar hatinya untuk segera menuntut balas.

Meskipun ada sementara anak buah Kay Pang yang tak tunduk kepada Uh-bun Jui, namun untuk menghadapi lawan, mereka terpaksa ke sampingkan urusan dalam. Dengan cepat Ma tianglo dapat kepercayaan untuk mengangkat Uh-bun Jui sebagai ketua Kay Pang.

Empat tianglo dan delapan hiangcu, segera satu persatu memberi hormat. Kata Un-bun Jui: "Siautit bodoh dan tak punya pengalaman. Sebenarnya siautit tak berani menerima beban kedudukan pangcu yang sedemikian beratnya itu. Namun karena saudara-saudara sekalian berkeras tekad akan menuntut balas, untuk tidak mempersukar keadaan, terpaksa siautit terima pengangkatan itu untuk sementara waktu. Nanti apabila Ciok susiok sudah pulang, siautit tentu akan menyerahkan kembali kedudukan ini."

"Pangcu adalah pusat harapan dari sekalian saudara, bagaimana bisa dihubungkan dengan urusan pribadi? Jangankan waktu ini Ciok Ceng Yang tak ketahuan rimbanya, taruh kata hari ini ia datang, pun harus menurut perintah pangcu. Dalam hal ini harap pangcu jangan sungkan. Sekarang lebih baik segera rundingkan saja tentang rencana pembalasan sakit hati itu," kata Ma tianglo.

Demikian tokoh-tokoh terkemuka dari partai Kay Pang, termasuk empat tianglo dan kedelapan hiangcanya serta belasan anak murid yang mempunyai tingkat karung kuning naik ke atas altar batu. Mereka duduk mengelilingi Uh Bun Jui. Sedangkan pengemis-pengemis yang tingkatannya karung biru kebawah masing-masing sama bubaran. Sebagai tuan rumah bertindak thocu (pemimpin cabang) dari Tiang An yakni Ma thocu (keponakan dari Ma tianglo).

"Cin Siang dan Ut-ti Pak keduanya itu masing-masing menjabat pangkat To-wi, berkuasa besar dalam militer. Jika hanya mengandalkan kekuatan kaum Kay Pang kita sendiri, sukar untuk menuntut balas. Syukur partai kita mendapat kesanggupan bantuan dari beberapa sahabat, ini berarti suatu kekuatan "

"Pangcu, apakah maksudmu hendak minta bantuan dari orang luar?" cepat Ji tianglo menukas kata-kata Uh-bun Jui tersebut.

Baru berkata sampai disitu, tiba-tiba Ma tho cu datang melapor ada kedatangan tetamu. Malah rombongngan tetamu yang terdiri dari enam tujuh orang itu sudah mengikuti dibelakang Ma thocu. Kepala rombongan itu seorang yang berwajah aneh. Mulut lancip muka panjang, tak ubah seperti seekor mawas atau orang hutan.

Kejut Toan Khik Sia bukan main. Kiranya orang itu bukan lain ialah Ji-suhengnya yang bernama Ceng Ceng Ji.  Dulu Ceng Ceng Ji itu telah murtad (berkhianat) kepada perguruannya, lalu masuk berguru pada lain orang.

Gong-gong-ji, toa-suheng dari Toan Khik Sia mendapat perintah dari subo (sebutan suhu untuk wanita) dalam waktu tiga tahun harus dapat menangkap dan membawa palang Ceng Ceng Ji. Tapi Gong Gong Ji itu terlalu berat akan tali persaudaraan. Ia enggan untuk melaksanakan perintah subonya. Tiga tahun kemudian ia mencari alasan kepada subonya kalau belum berhasil mencari tempat persembunyian Ceng Ceng.Ji. Subonya terpaksa tak berbuat apa apa. Tapi pan dalam beberapa tahun itu, Ceng Ceng Ji tak berani muncul. Maka heranlah Toan Khik Sia bahwa mendadak sontak Ceng Ceng Ji itu berani tampakan diri menjadi tetamu partai Kay Pang.

"Apakah subo sudah meninggal dunia? Ho, Ji suheng itu tiada mempunyai hubungan dengan Kay Pang, mengapa tiba- tiba datang kemari?" pikir Khik Sia. Ia takut kalau ketahuan Ceng Ceng Ji, yang berarti keduanya akan dapat kesulitan, maka buru-buru ia mengumpet diantara kawanan pengemis yang tengah makan dan minum. Uh Bun Jui menyambut sendiri kedatangan tetamunya itu. "Selamat, selamat," Ceng Ceng Ji tertawa gelak-gelak.

"Saudara Uh-bun seorang pemuda yang berguna, seorang tunas muda yang cemerlang dari partai Kay Pang. Aku sengaja mengajak beberapa kawan untuk memberi selamat padamu. Mari Kuperkenalkan, inilah sdr. Pok Yang Kay dari Ki San, ini sdr. Liu Bun Siong dari Hun Bong, ini sdr. He Ping Tat dari Yu ciu........" demikian Ceng Ceng Ji satu persatu memperkenalkan sahabat-sahabatnya kepada Uh Bun Jui. Nyata mereka itu adalah benggolan dari dunia kangouw.

Ji tianglo tak senang, pikirnya: "Kiranya sebelum menerima jabatan pangcu, Uh-bun Jui sudah lebih dulu mengundang Ceng Ceng Ji. Hm, juga tak ketinggalan dengan beberapa benggolan busuk itu!"

Uh-bun Jui mempersilahkan tetamunya itu naik kealtar dan duduk bersama rombongan tianglo dan hiangcu. Nyata mereka itu diperbolehkan ikut dalam rapat itu. Sudah tentu Ji tianglo makin tak puas. Tapi dikarenakan memandang muka pangcunya yang baru, terpaksa ia tinggal diam saja.

Kata Uh Bun Jui: "Tentang nasib malang yang menimpah Ciu pangcu kita. Ceng Ceng cianpwe sudah mengetahui. Nah, kita sedang merundingkan urusan mencari balas, harap Ceng Ceng cianpwe suka memberi petunjuk."

Dengan kegirangan berkatalah Ceng Ceng Ji: "Untuk membalas kelapangan hati pangcu yang sudah menganggap kami sebagai orang sendiri, hanya dapat kami balas dengan kesediaan kami untuk membantu sekuat-kuatnya. Memang siang-siang aku sudah mempunyai rencana bagus, Ho, nanti bulan depan tanggal lima belas adalah hari pembukaan dari Eng Hiong Tay Hwe yang diselenggarakan Cin Siang. Kita semua datang kerapat itu. Disitu kita buka kedok Cin Siang supaya rapatnya menjadi kacau, Apabila mendengar perihal kematian Ciu pangcu, dipercaya semua orang gagah dari berbagai aliran tentu akan murka terhadap Cin Siang. Sebelumnya kita nanti hubungi beberapa orang untuk mempelopori kemarahan itu. Mereka supaya berteriak-teriak membangkitkan kemarahan hadirin. Rasanya aksi mereka itu tentu mendapat sambutan hangat dari hadiran. Nah, walaupun Ci Siang dan Ut-ti Pak mempunyai tiga kepala enam tangan, pun takkan mampu menandingi serbuan sekian banyak orang-orang persilatan!"

"Tapi Cin Siang mempunyai tiga ribu tentara Gi-lim-kun!" seru Ciok Tan, seng-tong-hi-ang-cu dari Kay Pang.

Ceng Ceng Ji tertawa gelak-gelak: "Mengapa jeri terhadap tiga ribu anak buah Gi-lim-kun? Bukankah anak buah  Kay Pang lebih dari jumlah itu?"

"Bagus, rencana bagus!" teriak Uh Bun Jui sembari bertepuk tangan, sekarang harap sekalian hiangcu memberitahukan kepada anak buah mising-masing supaya pada waktu itu menyelundup kedalam kota Tiang An. Kita akan mengadakan gerakan 'Kay Pang mengacau kota raja Tiang An!"

Ada beberapa hiangcu tua, diam diam menganggap rencana itu kurang baik. Mereka sama memandang kearah Ji tianglo. Maksudnya minta tianglo itu buka suara. Dan memang Ji tianglo sendiri juga tak kuat menahan luapan hatinya lagi. Serentak berbangkitlah dia dan berseru: "Pangcu, sakit hati memang harus kita balas. Tapi perlukah kita harus mengadakan gerakan secara besar-besaran begitu?"

"Ji tianglo mempunyai rencana apa yang lebih baik?" Uh- bun Jui dengan dingin.

Jawab Ji tianglo "Penasaran ada biang keladinya, hutang ada penanggungnya. Musuh dari pangcu adalah Cin Siang dan Ut-ti Pak. Jika menurut peraturan kangouw, haruslah mencari balas kepada kedua orang itu. Dengan begitu urusan takkan berlarut. Tapi jika menyelesaikan hal itu didalam rapat Eng Hiong Tay Hwe. tentulah anak buah Kay Pang akan bertampur melawan Gi-lim-kun. Ini berarti suatu pemberontakan. Dan lagi pergaulan Cin Siang itu cukup luas, Tokoh2 yang hadir dalam Eng Hiong Tay Hwe, tentulah kebanyakan sahabat- sahabatnya, masakan mereka tak mau membantu Cin Siang? Dengan begitu kawanan orang gagah akan berbaku hantam sendiri. Demi urusan partai Kay Pang perlukah mengorbankan sekian banyak jiwa. Apakah kita merasa enak hati? Bagaimanapun, lebih baik kita gunakan siasat lain!"

"Baiklah, jika kita melakukan pembalasan sesuai dengan peraturan kangouw maka kita minta kau suka menyampaikan tantangan kepada Cin Siang dan Ut-ti Pak. Sedangkan mendiang Ciu pangcu saja terbinasa ditangan Ut-ti Pak, apalagi Cin Siang yang lebih lihay dari Ut-ti Pak. Taruh kata kau, Ji tianglo, lebih lihay setingkat dari kepandaianmu sekarang, rasanya masih belum tentu dapat menandingi Cin Siang dan Ut-ti Pak" Ma tianglo menyeletuk.

Mendengar hinaan itu, gemetaranlah tubuh Ji tianglo. Sahutnya dengan murka: "Benar, memang aku bukan tandingan mereka. Tetapi masakan didalam partai Kay Pang tiada orangnya lagi? Wi Wat dan Hong-hu Ko kedua lo- cianpwe toh masih ada, Ciu pang-tin adalah sutit dari Wi locianpwe. Entah apakah Uh Bun Jui pangcu sudah pernah memberitahukan kematian Ciu pangcu kepada kedua cianpwe itu?"

Uh-bun Jui menyahut dingin "Kalau sudah memberitahukan bagaimana? Kalau belum bagaimana?"

Dengan wajah bersungguh. Ji tianglo menjawab: "Jika belum silahkan lekas memberitahukan. Jika sudah mengirim orang memberitahukan, kita harus tunggu kedatangan kedua locianpwe itu dulu, baru nanti kita rundingkan siasat lagi."

Wajah Ceng Ceng Ji berubah seketika. Ia tertawa dingin: "Kalau begitu, kedatangan kami untuk membantu ini, percuma saja! Karena Kay Pang ternyata mempunyai orang sendiri, kini tak perlu pada kita lagi! Uh Bun pangcu, kau telah mengirimkan surat undangan kepada alamat yang salah. Nah, kami hendak minta diri!"

Tongkat kekuasan, cepat digentakkan Uh Bun Jui: "Ji tianglo, kutahu kau tak senang dengan pengangkatanku sebagai pangcu ini. Memang sebenarnya aku juga tak berani menjabat kedudukan pangcu: Tapi aku tak dapat menolak tuntutan sekalian saudara. Terpaksa aku menerimanya. Karena saat ini aku menjabat pangcu maka akulah yang memegang peraturan partai. Jika kau tetap omong sembarangan, apakah bukan berarti memandang rendah padaku?"

Memang partai Kay Pang mempunyai disiplin yang keras. Meskipun pangcu itu pimpinan tertinggi dari partai, namun Ji tianglo itu termasuk angkatan yang lebih tua. Dituding Uh-bun Jui dihadapan orang banyak itu hati Ji tianglo murka sekali. Namun ia masih berusa untuk mengendalikan diri, tanyanya: "Pangcu, kesalahan omong apa aku tadi? Maafkan diriku yang sudah tua, tentu agak limbung. Karena sukar untuk mengetahui kesalahanku sendiri, maka mohonlah pangcu memberi koreksi."

Kata Uh Bun Jui: "Ciu pangcu adalah suhuku yang berbudi, masakan aku tak ingin melakukan pembalasan? Wi locianpwe itu sukar di duga tempat tinggalnya. Sementara Honghu Ko locianpwe itu tinggal menyepi digunung Hoa San. Untuk memberitahukan padanya pergi pulang juga memerlukan waktu. Jika harus, menunggu kedatangan mereka, kita akan kehilangan kans baik. Selalu kau menekankan perlunya bermusyawarah, tapi hakekatnya kulihat kau emangnya mau merintangi kita!"

Wajah Ji tianglo berobah membesi, serunya: "Uh Bun pangcu, apakah ucapanmu itu tidak keliwatan? Aku dengan suhumu sudah seperti kaki dengan tangan, kau, kau. " "Tutup mulut! Kau telah berlaku kurang hormat kepada tetamu yang kuundang. Apakah kau tidak lekas2 menghaturkan maaf!" bentak Uh Bun Jui.

Saking murkanya, tubuh Ji tianglo sampai gemetar, la mendamprat: "Sejak beratus tahun lamanya, dalam partai Kay Pang tak pernah ada pangcu yang memerintahkan tianglo untuk menghaturkan maaf kepada orang luar! Pangcu hukum mati saja aku ini. Aku tiada bersalah, matipun aku tak mau tunduk! Tetamu-tetamu itu adalah kau yang mengundang, jika mau menghaturkan maaf, kau sendirilah vang menghatur maaf!!"

Sekalian anak buah Kay Pang saling pandang satu sama lain. Ketika Lau tianglo, Ko hiangcu dan beberapa pemimpin Kay Pang hendak melerai, tiba-tiba Ceng Ceng Ji sudah kedengaran tertawa dingin: "Mana aku berani menerima permintaan maaf Ji tianglo. Ji tianglo adalah soko guru dari Kay Pang. sudah lama aku mengagumi namanya. Nah, baiklah kita berdampingan dekat-dekat!"

Jarak antara Ceng Ceng Ji dan Ji tianglo terpisah oleh beberapa orang saja. Masih nada suaranya bergema, beberapa orang itu sudah merasa tersambar angin keras. Ternyata dengan gunakan ilmu ih-sing-hoan-wi, Ceng Ceng Ji sudah menyelinap disamping orang-orang itu. Sekali ulurkan tangan, ia sudah mencengkeram tangan Ji tianglo.

Tapi Ji tianglo juga bukan seorang lemah. Dikala mendengar Ceng Ceng Ji mengatakan hendak 'berdekatan' tadi, ia sudah tahu kalau orang akan bermaksud jahat. Kaki kirinya tendangkan dalam gerak gue-sirg-thi-rou, sementara tangan kirinya menyodok dalam jurus poan-ciu-cak-ceg Kaki menendang pinggang melengkung, tangan dicakakkan keiga. Itu adalah sebuah jurus yang terlihay dari ilmu pukulan Kay Pang yang disebut kin-liong-hok-hou-kun atau ilmu silat harimau mendekam menangkap naga. Tapi ternyata Ceng Ceng Ji lebih cepat lagi. Sekali dapat mencengkeram lengan orang, ia lantas gunakan ilmu memelintir tulang hun-kin jo-kut. Dua buah urat lengan Ji tiangio menjadi putus, seketika tubuh tianglo menjadi kesemutan. Sekalipun tendangannya kaki kiri tadi mengenai Ceng Ceng Ji, tapi sama sekali tiada bertenaga.

Tapi Ji tianglo itu seorang lelaki jantan. Walaupun kesakitan sampai mengucurkan keringat, namun ia tetap tahan sakit, sedikitpun tak mengerang

Ceng Ceng Ji tertawa terbahak-bahak: "Uh Bun pangcu, bagaimana kau hendak menjatuhkan hukuman kepada orang tua ini, terserah kepadamulah!"

Ada beberapa hiangcu yang tidak terima. Tapi demi melihat Ji tianglo yang berkepandaian tinggi pun dibikin tak berdaya oleh Ceng Ceng Ji, terpaksa mereka menelan kemarahannya, tak berani bercuwit.

Begitu Ceng Ceng Ji lepaskan cengkeraman dan Ji tianglo terhuyung-huyung beberapa tindak. Dingin-dingin saja Uh Bun Jui berkata: "Kau adalah tianglo dari partai kita. Aku tak mau menghukummu. Coba kau sendiri yang menimbang, bagaimana harus bertindak."

Dada Ji tianglo berombak keras karena kemurkaan. Tanpa menjawab apa-apa, ia lantas cabut belatinya dan tusukan ketenggorokannya. Tiba-tiba terdengar suara logam berdering. Belati Ji tianglo terpental jatuh ketanah. Menyusul terdengar suara kering dari seorang tua: "Ji Hui, ada urusan hebat apa kau sampai hendak menggorok lehermu?"

Seorang pengemis berambut putih yang memanggui sebuah bulI2 (tempat arak) merah dengan menyeret sepatunya yang berbunyi berkelotekan, tengah berjalan menghampiri datang. Munculnya pengemis itu begitu mendadak, hingga sekalian orang tak tanu dari mana tadi datangnya. Pengemis tua itu bukan lain ternyata adalah Hong Kay Wi Wat. Sudah lama kaum Kay Pang mengharap kedatangannya, tapi mereka tak menyangka sama sekali kalau dia bakal datang secara begitu tiba-tiba.

Bluk, Ji tianglo cepat jatuhkan diri berlutut dan berseru: "Susiok, sudilah mengatasi keadaan ini."

Hong Kay Wi Wat tak menghiraukan sekalian orang. Ia langsung menuju kepada Ceng Ceng Ji. Dengan sipitkan mata ia memandang orang itu, ujarnya: "Hai monyet kecil, sejak kapan kau menyelundup kedalam partai kami? Siapa suhumu? Apakah dia tak memberitahukan kepadamu tentang peraturan Kay Pang? Aku adalah kakek gurumu, ayuh berlutut!"

Murkalah Ceng Ceng Ji: "Kau benar-benar Hong (gila) atau pura-pura Hong saja? Siapakah yang kau panggil anak murid partaimu? Bukalah matamu lebar? aku ini siapa?"

Kiranya pada waktu sepuluh tahun berselang, Gong-gong-ji pernah berkelahi dengan Wi Wat. Kala itu Ceng Ceng Jipun menyaksikan.

Wi Wat mendengus, serunya "Apa? Kau bukan anak murid Kay Pang? Bagus, mengapa kau berani memukul tianglo Kay Pang? Apakah Kay Pang mandah dihina orang luar?"

Sebenarnya dalam peraturan yang lazim berlaku didunia kangouw, seorang anak murid yang bertingkat wan-pwe (tingkatan muda) dapat menghukum seorang tiangpwe (angkat tua) jika mendapat perintah dari pangcunya. Tapi rupanya Wi Wat pura-pura tak tahu akan peraturan itu. Dengan mengajukan pertanyaannya tadi, sekaligus ia mendamprat Ceng Ceng Ji dan Uh Bun Jui,

Ma tianglo buru-buru memberi hormat: "Wi susiok Ciu pangcu pangcu telah dicelakai orang. Sdr. Uh Bun Jui sekarang yang mengganti jadi pangcu." Sementara Uh Bun Jui sendiri dengan muka merah padam, mengangsurkan tongkat kekuasaan. dengan sepasang tangannya keatas (ini tanda penghormatan bila pangcu bertemu dengan tiangpwe). Ujarnya: "Susiokcu, Ceng Ceng cianpwe ini adalah tecu yang mengundangnya,"

"Ho jadi tetamu yang kau undang? Bagus biarlah kuhaturkan arak kepadanya!"

Ia membuka sumbat buli2nya, meneguknya lalu ngangakan mulut. Serangkam air arak meluncur kearah Ceng Ceng Ji, Betapapun lihay ginkang Ceng Ceng Ji yang dengan cepat menghindar, namun tak urung mukanya kena kejatuhan beberapa percik arak. Sakitnya bukan kepalang.

Sudah tentu Ceng Ceng Ji marah. Cepat ia cabut pedangnya dan terus hendak menyerang, tapi buru-buru dicegah oleh kawannya yang bernama Pok Yang Kau: "Kay Pang ada pangcunya, jangan sampai orang mengatakan kita tak tahu adat."

Dengan perkataan itu, Pok Yang Kau hendak mendesak Uh Bun Jui supaya bertindak. Tapi Wi Wat itu dua tingkat keturunan lebih atas dari Uh Bun Jui, Apalagi perangainya kegila-gilaan. Itulah sebabnya maka ia dijuluki sebagai Hong Kay atau Pengemis Gila. Siapakah yang berani mencari perkara kepadanya? Sedang kaisarpun ia tak ambil perduli, apalagi hanya seorang anak kemarin sore macam Uh Bun Jui. Dan Uh Bun Jui sendiri, meskipun sudah menjadi pangcu, tapi tak berani berbuat apa-apa terhadap susiokcu atau paman kakek gurunya itu.

"Pangcu kau harus berani bertindak untuk mengatasi keadaan," bisik Ma tianglo yang berada disamping Uh Bun Jui.

Apa boleh buat Uh Bun Jui terpaksa memberanikan diri juga. Diangkatnya tongkat kekuasaan itu keatas, lalu menghadang ditengah tengah Wi Wat dan Ceng Ceng Ji. Ujarnya: "Susiokcu, mohon sudi mendengarkan laporanku. Suhu tecu, mendiang Ciu pangcu, telah dicelakai orang. Musuh itu adalah pemimpin serta wakil pemimpin Gi-lim-kun yakni Cin Siang dan Ut-ti Pak. Cemas tak dapat membalaskan sakit hati suhu, maka tecu mengundang beberapa sahabat bulim membantu kita. Ceng Ceng cianpwe ini, adalah seorang dari tetamu-tetamu yang tecu undang itu. Hal ini tecu ambil, karena selama ini susiokcu tak ketahuan beritanya, maka tecu tak sempat memberitahukan kepada susiokcu. Harap mohon dimaafkan,"

Wi Gwat mendengus: "Hmm, hal ini mencurigakan!"

Wajah Uh Bun Jui berobah, ujarnya: "Tentang in-su dicelakai itu, tecu menyaksikan sendiri!"

Sepasang biji mata pengemis gila itu mendelik katanya: "Baik, taruh kata Ciu Ko benar benar dicelakai oleh Cin Saing, masakan Kay Pang benar-benar tiada mempunyai kekuatan, toh didunia ini banyak sekali orang gagah yang suka memberi bantuan. Mengapa mengundang mahkluk yang menyerupai kunyuk begitu?"

Ceng Ceng Ji berseru marah: "Baik, karena partaimu mengundang sampai beberapa kali, barulah aku terpaksa datang. Kau tua bangka yang masih temahak hidup, mengapa selalu berkata-kata menyakiti hati orang?"

"Susiok To sudilah kiranya memandang muka partai kita keseluruhannya. Sudilah kiranya berlaku sedikit sungkan terhadap tetamu," kata Uh Bun Jui.

"Kau berani menasehati aku, bagus, kau benar-benar seorang pangcu yang jempol," bentak Wi Wat.

Bentakan itu sedemikian kerasnya sampai nyali Uh Bun Jui serasa pecah dan tersurut mundur sampai tiga langkah.

Waktu Wi Wat hendak bertindak lebih lanjut tiba-tiba dikalangan anak buah Kay Pang terbit kegaduhan. Seorang penunggang kuda lari masuk kedalam lembah situ. "Hai, apakah itu bukan Ciok hiangcu!" teriak salah seorang pengemis.

Sekalian orang sama menyingkir untuk memberi jalan. Dalam sekejap mata, penungang kuda sudah tiba didekat altar batu dan turun dari kudanya. Setelah mengawasi dengan seksama, barulah sekalian anak buah Kay Pang itu mengetahui, bahwa yang datang itu adalah Ciok Ceng Yang yang sudah menghilang selama tiga tahun.

"Wi susiok, kau juga datang, itulah bagus! Apakah 'batunya sudah menonjol ditimpah air'?"

"Apanya yang menonjol?" sahut Wi Wat.

Batu menonjol tertimpah air, adalah suatu kiasan yang artinya, duduk perkara yang sebenarnya sudah ketahuan.

"Tentang kematian dari Ciu suheng!" balas Ciok Ceng Yang. "Apakah kau mempunyai bukti?" tanya Wi Wat.

"Bagaimana kata Uh Bun Jui?" Ceng Yang balas bertanya pula.

"Dia bilang, Ciang Siang dan Ut-ti Pak yang menganiaya," jawab Wi Wat.

"Mencurigakan!" dengan tegas Ceng Yang memberi pernyataan.

"Ya, benar, memang aku sendiri merasa curiga. Ceng Yang Yang, kau tentu telah menyelidiki beritanya," kata Wi Wat.

Cepat Ma tianglo menyeletuk: "Ciok Crng Yang, sayang kau datang terlambat. Kedudukan pangcu sudah diserahkan kepada sutitmu. Meskipun kau tergolong tiangpwe, juga harus tunduk pada peraturan partai. Apakah kau mau lekas-lekas menghadap kepada pangcu?"

Ma tianglo dengan Ciok Ceng Yang itu sebaya dan setingkat golongannya. Jadi dia tak takut menyalahi orang. Tapi pada hakekatnya, ucapannya itu hanya pelabi saja guna mendamprat Wi Wat. Keruan Wi Wat kerutkan alisnya, tapi tak berbuat apa-apa.

Dingin2 saja Ciok Ceng Yang membalas: "Aku datang kemari bukan hendak berebut kedudukan pangcu!"

Bukannya ia menurut perintah Ma tianglo untuk menghadap pangcu, sebaliknya lantas loncat kealtar batu dan berseru nyaring: "Ini urusan penting sekali, segala adat peraturan baiklah kelak disusulkan. Aku baru saja datang dari Tiang An, Aku berjumpa dengan Cin Siang."

Kawanan pengemis yang memencar dibeberapa tempat itu, cepat berkerumun lagi.

"Cin Siang telah membicarakan padaku tentang suatu hal yang aneh. Ia bilang kalau Ciu pangcu mengirim  sepucuk surat kepadanya untuk mengundangnya bertemu disuatu tempat. Pada hari yang dijanjikan itu, ia tak melihat Ciu pangcu muncul. Sejak itu Ciu pangcu tak pernah kelihatan lagi?"

Sekalian anak buah Kay Pang gempar mendengar berita  itu. Seketika suasana menjadi hiruk pikuk Ada yang berkata: "Apakah Uh Bun Jui bohong?" Ada pula yang berkata: "Jika bukan Uh Bun Jui yang berbohong, tentulah Ciok Ceng-yang yang berdusta,"

"Cin Sianglah yang membunuh Ciu pangcu, masakan kita mau percaya akan omongannya?" tiba2 Ma tianglo berseru keras. "Ho Ceng Yang, apa maksudmu menemui Cin Siang itu?"

Tak kurang kerasnya, Ciok Ceng Yang berseru: "Tak lain tak bukan akan menyelidiki kematian Ciu suheng itu sampai jelas, agar murid murtad jangan bersimaharajalela! Kau katakan omongan Cin Siang itu tak boleh dipercaya? Baiklah, hendak kukatakan lagi sebuah hal lain. Hal ini sudah kuselidiki kebenarannya, bukan hanya dari pendengaran saja." Berkata sampai disitu, tiba-tiba Cang Yang menuding kearah hadirin, serunya: "Hai, Thio Kam Lok. keluarlah kemuka! Mengapa kau mencelakai Wi hiangcu?"

Sekalian anak buah Kay Pang makin menggelora. Sekalian mata ditujukan pada orang yang bernama Thio Kam Lok itu. Orang itu bukan lain adalah wakil hiangcu partai Kay Pang daerah Tiang An. Yang menyahut pertanyaan Ji tianglo tadi serta yang melaporkan bahwa Wi hiangcu dari Tiang An, hilang lenyap adalah orang she Thio juga.

Muka Thio Kam Lok berobah pucat dan dengan suara tergagap-gagap menyahut: "Hal ini, ini dari mana sumbernya? Tidak... tidak ada hal semacam itu!"

Ciok Ceng Yang deleki mata.

"Tidak ada kejadian begitu? Jika tak ingin diketahui orang, janganlah berbuat! Pada tanggal tujuh belas bulan tiga malam, kau telah mengundang Wi hiangcu minum arak. Didalam arak kau campur racun. Sebelum racun bekerja, Wi hiangcu telah menghantammu. Kau terluka dirusuk kirimu. Karena jaraknya dengan sekarang sudah ada setengah bulanan, mungkin lukamu itu baik. Kalau dipijit sedikit saja, kau tentu kesakitan, bukan? Apakah kau berani dipijat sedikit saja oleh Wi susiok?"

Kiranya Wi hiangcuitu adalah salah satu jago kim-kong-ci- lat atau ilmu jari malaekat dari Kay Pang: Dengan kekuatan jarinya, ia dapat menembus jalan darah dan melukai pekakas dalam tubuh orang. Memang luka dalam itu lain orang tak mengetahui. Tapi bagi kaum persilatan, asal meraba dibagian yang terluka itu, tentulah segera mengetahui tentang luka akibat ilmu kim-kong-ci-lat.

"Baik, Thio Kam Lok, kemarilah Wi Wat," Baru Wi Wat berkata begitu, tiba2 terdengar jeritan nyaring dan rubuhlah Thio Kam Lok ketanah. Sebat sekali, Wi Wat loncat menghampiri dan mengangkat tubuh Thio Kam-lok. Dilihatnya sekujur badan orang she Thio itu penuh dengan bintik-bintik hitam, dibelakang batok kepalanya tertancap sebatang gin- ciam atau jarum perak. Pangkal jarum itu masih kelihatan sedikit. Teranglah kalau Thio Kam Lok dibunuh orang. Orang itu kuatir kalau Thio Kam Lok sampai buka rahasia. Dan karena yang hadir banyak jumlahnya, jadi sukarlah untuk mencari tahu siapa pembunuhnya itu.

"Ciok Ceng Yang mengapa belum kau tanya jelas lantas kau bunuh dia?" teriak Wa Tianglo.

Marah Ceng Yang bukan main. "Kurang ajar! Terang didalam partai kita ada pengkhianat yang hendak menutup mulut saksi, sebaliknya kau malah manuduh aku. Apa maksudmu?"

Sabut Ma tianglo: "Secara diam2 kau menemui musuh kita, kemudian kau merangkai tuduhan palsu tentang terbunuhnya Wi hiangcu. Sedemikian rupa kau karang ceritamu itu supaya orang dapat mempercayai. Setelah itu dapatlah kau selundupkan komplotanmu untuk membunuh Thio Kam Lok. Hm, hm, ganas betul siasatmu itu!"

"Ringkus Ma tianglo, aku hendak menanyainya?" teriak Wi Wat.

"Tangkap Ciok Ceng Yang, aku hendak mengadilinya!" bersamaan saat itu Uh Bun Juipun berseru.

Dua tokoh Kay Pang sama mengeluarkan perintah. seketika gegerlah anak buah Kay-pang,

Ciok Ceng Yang maju merangsang Ma tiang lo, tapi tianglo yang mahir ilmu silat Tiang-kun itu, begitu mengisar kaki lantas menjotos. Ceng Yang cepat lingkarkan sepasang tangannya dan masukkan tinju Ma tianglo kedalamnya, terus dijepitnya. Tapi kuda-kuda kaki Ma tianglo amat kokoh. Meskipun tangannya kena dijepit, tapi tubuh tianglo itu tetap tak bergeming laksana terpaku ditanah. "Ciok Ceng Yang, kau berani menentang perintah pangcu dan malah hendak memberontak?" teriak Uh Bun Jui seraya hantamkan tongkat kekuasaan kemuka orang dua Ciok Ceng Yang, adalah murid angkatan kedua dari partai Kay Pang. Dalam hal ilmu silat, suhu Uh Bun Jui, Ciu Ko itu saja masih tak menang, apalagi Uh Bun Jui.

Tetapi dikarenakan Uh Bun Jui mencekal tongkat kekuasaan. Ceng yang tidak berani merampasnya. Ia terpaksa hanya menghindar saja. Kesempatan itu telah digunakan Ma tianglo untuk mengirimkan tendangan. Dengan begitu Ceng Yang terserang dari dua jurusan. Plak, Ceng Yang termakan hantaman tongkat Uh Bun Jui.

Wi Wat gusar sekali, Ia segera semburkan arak dari mulutnya. Kenal gelagat, Ma tianglo buru-buru menghindar. Celaka adalah Uh-bun Jui. Tahu ia melihat ada gumpalan sinar putih melayang kepadanya. Waktu ia hendak menyingkir, tiba- tiba pergelangan tangannya terasa sakit seperti tertusuk jarum. Kiranya Wi Wat telah gunakan ilmu lwekang tinggi untuk merobah air arak menjadi semacam rantai putih yang dengan tepat menghantam jalan darah kwan-gwan-hiat tangan Uh Bun Jui. Karena tangannya lemah lunglai, tongkat kekuasaan yang dicekal Uh Bun Jui itupun jatuh ketanah,

"Uh Bun Jui, kau telah melanggar peraturan partai kita. Mengundang komplotan buaya untuk menghina tianglo kita. Apakah kau masih mimpikan kedudukan pangcu?" teriak Wi Wat sembari mencongkel dengan ujung kakinya. Begitu tongkat mencelat keudara, terus ia sambuti. Tapi baru ia hendak loncat kealtar batu untuk membuka persidangan membatalkan pengangkatan pangcu itu, tiba-tiba Ceng Ceng Ji sudah menyerangnya.

"Bagus. pengemis tua hendak menggebah kawanan buaya, baru nanti ada pembersihan dalam tubuh Kay Pang!" teriak Wi Wat sembari balas menghantam. Ceng Ceng Ji miringkan tubuh lalu menyusup kebawah ketiak orang, terus menusuk dengan jurus  sun-cui-thui-co atau menurutkan aliran air mendorong perahu. Tapi mana Wi Wat kena disengkelit secara begitu mudah. Siku tangan kirinya disodokkan kebelakang. Jika tak lekas menyingkir, batok kepala Ceng Ceng Ji bisa terpukul pecah.

Ceng Ceng Ji gunakan langkah ih-sing-hoan wi untuk menyelinap kebelakang lalu menusuk jalan darah hong-hu-hiat dipunggung orang. Kala itu Wi Wat sudah dapat mencekal tongkat kekuasaan. Dan punggungnya seperti bermata, ia hantamkan tongkat itu kebelakang. Tongkat kekuasaan dari partai Kay Pang itu juga sebuah benda mustika, terbuat dari logam emas yang kokoh. Pedang Ceng Ceng Ji tidak mampu memapas tongkat itu, sebaliknya malah terhantam sampai terpental. Demikianlah kedua jago itu bertempur dengan serunya. Yang satu lihay ilmu gin-kangnya, yang satu hebat ilmu silatnya.

"Ciok Ceng Yang mempunyai dendam permusuhan dengan Ciu almarhum. Saudara-saudara sekalian tentu mengetahui. Jika sekarang ia berkomplot dengan musuh dan berusaha merebut kedudukan pangcu, itulah sudah sewajarnya pengkhianat semacam itu, harus dihukum menurut peraturan partai!" teriak Ma tianglo

Ma tianglo adalah pemimpin dari keempat tianglo. partai Kay Pang. Selain berpengaruh iapun mempunyai banyak pengikut didalam partai. Ucapannya tadi telah mendapat sambutan hangat dari pengikut-pengikutnya. Mereka sama berteriak: "Benar, harus dihukum?"

"Kentut! Kami berani melawan orang atasan bersekongkol dengan kaum buaya serta berani bermusuhan dengan Wi locianpwe. Apakah hukumannya?" teriak Ji tianglo.

Wajah Uh-bun Jui berubah membesi. Begitu ia memberi tanda, Seng-tong hiangcu Ciok Tan, Lwe Tong hiangcu serta Siang Tong hiangcu Han Ciat segera maju akan meringkus Ji tianglo.

Karena tulang lengan kanan dari Ji tianglo sudah dipatahkan oleh Ceng Ceng Ji, maka Ji tianglo hanya dapat melawan dengan tangan kirinya. Keadaannya berbahaya sekali. Melihat itu berteriaklah Ciok Ceng Yang: "Hai Ciok Tan dan Hai Ciat, kalian berani melawan orang atasanmu. Jangan sesalkan aku berlaku kejam, ya!"

Kedua hiangcu cukup kenal kelihayan Ceng Yang. Buru- buru keduanya mundur lagi.

"Wi locianpwe angot limbungnya. Lebih dulu ringkus Ciok Ceng Yang dan periksa persekongkolannya itu, tentulah nanti Wi locian-pwe dapat dibikin mengerti," demikian teriak Ma tianglo.

"Ma-hun, kau sudah gila atau pura2 gila?" dengan murkanya Wi Wat menghardik. Ma-hun artinya tahi kuda.

Wi Wat kembali semburkan arak dari mulutnya. Wut, sekonyong-konyong dari samping Ma tianglo melesat keluar seseorang yang terus lontarkan pukulannya kearah arak Wi Wat itu. Orang itu bukan, lain ialah Pok Yang-kau tokoh kedua dari Ki-san-sam-nio atau tiga iblis dari gunung Ki-san.

Memang Ma tianglo dan Uh Bun Jui itu banyak pengikutnya didalam partai. Tapi Wi Wat adalah tetua yang paling tinggi kedudukannya dalam Kay Pang. Meskipun Uh-bun Jui itu mendapat sebagai pangcu, tapi perbuatannya itu berarti melawan terhadap orang atasan. Banyak juga diantara anak buah Kay-pang yang tak setuju dengan perbuatannya itu. Dan masih ada sebagian anak buah Kay Pang yang menyokong Ciok Ceng Yang. Dengan demikian kaum Kay Pang terpecah menjadi dua golongan. Kedua golongan ini, jumlahnya meliputi separoh dari jumlah anggaota Kay Pang. Sedang separoh lainnya, hanya melongo saja, tidak berfihak siapa- siapa alias netral. Pok Yang Kau bersama Ceng Ceng Ji mengerubuti Wi Wat. Pok Yang Kau adalah tokoh kelas satu dari apa yang disebut golongan Sia Pay (jahat). Ilmu kepandaiannya tidak di-sebelah bawah Ceng Ceng Ji. Ia melangkah maju untuk menghantam dada Wi Wat.

Kemarahan Wi Wat makin menyala, serunya: "Jika saat ini buaya-buaya kangouw macam kalian tak dibasmi, aku tiada muka untuk bertemu dengan para cosu Kay Pang!"

Ia balas menangkis pukulan Pok Yang Kau. Seketika orang she Pok itu rasakan dadanya nya seperti dihantam palu besi. Ceng Ceng Ji menyelinap kebelakang Wi Wat untuk menusuknya, tapi tanpa menoleh lagi, Wi Wat sabatkan tongkatnya kebelakang. Seperti bermain tongkat itu dengan telak menghantam terpental pedang Ceng Ceng Ji. Tanpa berhenti Wi Wat masih mencecernya lagi dengan pukulan yang ketiga. Kali ini Pok Yang Kau terpaksa menangkis dengan kedua tangannya. Tapi pukulan jago Kay Pang itu dahsyatnya bagai gunung roboh lautan bergelombang. Makin kuat Pok Yang Kau menangkis, makin celaka dia. Dadanya serasa sesak dan mulutnya muntahkan darah segar. Tapi Wi Wrat tak kurang herannya karena tiga kali hantaman hanya membikin lawannya itu muntah darah, tidak sampai rubuh.

Kawan Ceng Ceng Ji yang satunya lagi. yakni Hun Bon Jin Yau (Manusia siluman dari awan impian) Liu Bun Siong, cepat menghunus pedang maju membantu. Jagoan ini adalah buaya tukang 'petik bunga' (mengganggu wanita baik2). Wajahnya cantik macam wanita, tetapi ilmu pedangnya ganas sekali. Dalam ilmu gin-kang ia dibawah Ceng Ceng Ji, tapi lebih atas dari Pok Yang Kau. Dengan berlincahan kian kemari, Wi Wat tak berhasil merebut pedangnya. Ini dikarenakan Ceng Ceng Ji selalu mengancamnya.

Dengan siasat berlincahan itu, dalam beberapa kejap saja, Liu Bun Siong telah lancarkan tujuh delapan kali serangan pedang. Sudah tentu Wi Wat seperti orang kebakaran jenggot. Sekonyong-konyong ia berputar kebelakang dan sekali jari tengahnya maju, tring, dengan tepat pedang Liu Bun Siong kena tertutuk sampai mencelat keudara. Tapi berbareng saat itupun kedengaran suara 'pruk'. Ternyata buli-buli arak milik Wi Watpun kena ditusuk pecah oleh pedang Ceng Ceng Ji.

Ternyata hal itu memang sudah diperhitungkan oleh Wi Wat. Setelah menaksir posisi lawan, barulah ia berani berbuat melancarkan tutukannya kearah pedang Liu Bun Siong. Tapi dengan berbuat begitu dia terpaksa harus mengorbankan buli- buli arak kesayangannya. Diam-diam ia merasa gegetun juga. Untuk melampiaskan kemendongkolannya, kini ia menyerang Ceng Ceng Ji dengan gencar. Betapa hebat ilmu ginkang Ceng Ceng Ji, namun tak urung ia merasa kesakitan juga tersambar oleh angin pukulan Wi Wat yang laksana badai mengamuk itu,

Ternyata daya tempur Pok Yang Kau itu cukup tinggi. Walaupun menerima tiga buah serangan Wi Wat dan terluka dalam, tapi ia masih kuat benahan. Pun Liu Bun Siong itu juga jagoan yang keras kepala. Sekalipun tangan kanannya kesakitan, tapi ia tetap pantang mundur. Kini ia ganti mainkan pedang dengan tangan kiri. Demikianlah ketiga benggolan itu, kini maju mengeroyok Wi Wat. Karena ketiga benggolan itu masing-masing mempunyai kepandaian istimewa sendiri- sendiri maka dapatlah mareka bertanding seri dengan Wi Wat?

Dipartai sana, Ciok Ceng Yangpun diserang oleh salah seorang konconya Ceng Ceng Ji yang bernama He Ping Tat. Ping Tat itu mahir dalam ilmu pelintir tulang hun-kin jo-kut. Benar kepandaiannya tak menyamai Ceng Yang, tapi begitu Ceng Yang merangsek mendekat, dengan gunakan ilmu hun- kin-jo-kut dapatlah Ping-tat memaksanya mundur.

Demikianlah dua buah partai telah bertempur dengan seru. Dinilai dari ilmu kepandaiannya, Wi Watlah yang nomor wahid. Tapi fihak Ceng Ceng Ji menang jumlah. Dengan main keroyok itu dapatlah mereka menang angin. Menyaksikan pertandingan itu, Khik Sia kebat kebit hatinya, "Wi Wat adalah seorang cianpwe yang bersahabat baik dengan mendiang ayahku, Pun Kay Pang ini rapat sekali hubungannya dengan Thiat toako. Apakah aku tak mau memberi bantuan?"

"Tapi, ah ini urusan partai Kay Pang, apakah aku leluasa turut campur?"

"Ceng Ceng Ji meskipun sudah masuk kedalam perguruan lain. tapi dahulu ia adalah suhengku. Pernah toa suheng ( Gong Gong Ji ) mengatakan kepadaku, supaya aku berlaku sungkan kepadanya Jika kini aku membantu Kay Pang untuk menangkapnya, apakah hal itu tak menusuk perasaan toa- suheng?"

Memang sejak usia sewindhu, Khik Sia sudah diambil oleh Gong Gong Ji. Bermula dua tahun lamanya Gong Gong Ji lah yang memberi pelajaran silat, setelah itu baru gurunya. Oleh karena itu hubungan Khik Sia dengan Gong Gong Ji itu sangat baik sekali.

Perangai Gong Gong Ji itu suka menurutkan kemaunnya sendiri saja. Dan dia sering di pengaruhi oleh konco system atau famili system. Sudah terang Ceng Ceng Ji itu jahat, tapi ia tetap suka melindungi.

Teringat akan pesan toa-suhengnya itu, Khik Sia pun tak mau ikut campur dalam urusan Kay Pang. Baru ia mengambil putusan begitu, tiba2 terdengar bunyi terompetdan sekonyong konyong dari balik hutan menerobos keluar sepasukan wanita berbaju merah!

Sebenarnya sewaktu Kay Pang mengadakan rapat itu, walaupun tidak dijaga keras, tetapi dalam keliling lima li luasnya, terdapat petugas-petugas yang akan memberi pertandaan, bilamana ada orang luar masuk. Tetapi ternyata pasukan wanita baju merah itu dapat menerobos dengan tiba- tiba. Entah bagaimana cara mereka lolos dari penjagaan anak buah Kay Pang. Semua anak buah Kay Pang menjadi kesima.

Pemimpin pasukan wanita itu itu adalah seorang gadis. Dengan gesit nona itu loncat dari kudanya, terus lari menuju ketempat Wi Wat.

"Hai pengemis gila, kau sungguh gila! Sudah begitu tua bangka, masih merampas barang kepunyaan anak muda! Lekas kembalikan!" seru nona itu.

Wi Wat terkesiap, serunya: "Apa katamu?" Ia anggap budak perempuan itu lebih limbung dari dirinya.

Cepat sekali datangnya nona itu. Hampir ber bareng dengan suaranya, orangnya pun sudah tiba. Dengan tangan kosong nona itu lantas menyeruduk kedada Wi Wat, Sudah tentu yang tersebut belakangan ini menjadi kaget. Meski pun ia luas pengalaman, tapi juga tak mengerti apa maksud gerakan gadis itu. Walaupun bergelar Hong-kay atau Pengemis Gila, tapi sebenarnya Wi Wat itu bukan sebenarnya gila. Jika ia mau menghantam, terang nona itu tentu remuk. Tapi Wi Wat sadar akan kedudukannya sebagai Chit-lo atau Tujuh Orang Tua didunia persilatan. Mana mau ia merendahkan derajatnya untuk melukai seorang budak perempuan. Pula ia tak kenal serta tak mengerti maksud gadis itu. Dan karena ia berpikiran begitu, maka ia sedikit berayal. Akibatnya ia rasakan pil pahit.

Tiba-tiba nona itu balikkan tangan. Justeru pada saat itu Ceng Ceng Ji tengah menusuk dari samping. Wi Wat menangkis serangan Ceng Ceng Ji dengan tongkatnya, berbareng itu ia harus menghindar dari benturan sigadis. Mau tak mau gerakannya agak sedikit terlambat. Ketika ia miringkan tubuh hendak menyingkir kesamping, ujung jari nona itu sudah mengenai siku lengannya. Seketika Wi Wat rasakan tangannya kesakitan dan tahu-tahu tongkat kekuasaan yang dipegangnya sudah pindah ketangan sidara. Marah si Pengemis Gila bukan kepalang. Ia menghantam mundur Ceng Ceng Ji, kemudian mencengkeram punggung sinona. Tapi gesit laksana burung walet, nona itu sudah meluncur jauh.

Kiranya nona itu memakai gelang jari atau semacam krak keling yang bentuknya aneh seperti tutup pit (pena) yang runcing. Gelang itu menutupi jari, ujungnya dipasang jarum bwe-hoa-ciam yang halusnya sukar dilihat dengan mata, Sebenarnya Wi Wat siang siang sudah siap menutup seluruh jalan darah ditubuhnya. Tapi ditusuk oleh jarum itu, tidak urung ia merasa kesakitan juga. Begitulah dengan memakai akal itu, dapatlah sinona merebut tongkat dari tokoh yang jauh lebih lihay dari dirinya. Tapi memang nona itu juga memiliki gerakan tangan yang luar biasa indah serta tangkasnya. Tepat dan cepat ia berhasil merampas tongkat orang. Kepandaiannya itu jarang dipunyai oleh orang persilatan pada umumnya.

Habis melarikan tongkat, nona itu lalu berputar tubuh dan melesat kemuka Uh Bun Jui.

Dengan kedua tangannya ia serahkan tongkat itu kepada Uh Bun Jui, ujarnya: "Kuhaturkan selamat atas pengangkatanmu sebagai pangcu. Tongkat kekuasaan ini bagi seorang pangcu adalah sama seperti cap kebesaran dari seorang pembesar negeri. Selanjutnya harus dijaga hati-hati supaya jangan direbut orang lagi."

Dengan berseri Uh Bun Jui menyambuti, katanya: "Terima kasih nona nona Su. seluruh anggauta Kay Pang selanjutnya akan menurut perintah nonalah!"

"Membantu orang harus membantu sampai selesai, ibarat mengantar Budha harus tiba di Se Thian (barat). Biarlah kubantu menghukum kawanan pemberontak," sahut gadis itu, Ia lambaikan tangan dan pasukan wanita baju merah yang dipimpinnya itu segera menyerbu ke gelanggang pertempuran. Sebenarnya kekuatan kedua fibak yang bertempur tadi berimbang. Tapi begitu pasukan wanita baju merah itu masuk, fihak Uh Bun Jui - Ma tianglo tambah kekuatan, sedang fihak Ciok Ceng Yang dan Wi Wat menjadi keteter. Dalam beberapa saat saja pasukan wanita baju merah itu sudah dapat meringkus berpuluh orang, kemuaian semuanya diringkus dengan tali.

Kehilangan tongkat dan terluka tangannya itu, telah membuat tenaga dalam Wi Wat banyak berkurang. Dengan tangan gosong ia lanjutkan perlawanannya terhadap ketiga benggolan. Situasinya kini berobah. Kalau tadi Wi Wat yang memegang inisiatip pertempuran, kini ia berbalik menjadi fihak yang bertahan. Sama sekali ia tak dapat membuat serangan balasan.

Sepintas pandang, fihak yang menentang Uh Bun Jui bakal menderita kekalahan. Tetapi sekonyong2 didalam rombongan para pengemis itu, ada sesosok tubuh melayang melalui kepala orang. Sebelum orang-orang sempat melihat jelas, tahu-tahu orang itu sudah meluncur turun disamping altar batu, tepat disebelah Ceng Ceng Ji. Kini barulah orang mengetahui bahwa dia hanya seorang pengemis muda yang mukanya penuh berlumuran kotoran hitam.

"Hai, didalam partai kita ternyata ada seorang anak yang begitu lihay!" sekalian pengemis sama berseru heran.

Walaupun bertempur, tapi Ceng Ceng Ji tetap waspada terhadap setiap gerak yang terjadi disekelilingnya. Begitu dibelakangnya ada angin menyambar, ia lantas tusukan pedangnya kebelakang. Iapun memandang ringan kepada pengemis kecil itu. Siapa tahu dengan suatu gerakan kesimping, pengemis muda itu dapat menghindari tusukan Ceng Ceng Ji. Kejut Ceng Ceng Ji bukan kepalang. Gerak permainan pedangnya itu penuh dengan perobahan- perobahan yang sukar diduga. Jago-jago-yang lihay, pun belum tentu dapat semudah itu menghindarinya. Siapakah gerangan pengemis kecil itu? Dia bukan lain ialah Toan Khik Sia sendiri. Kepandaian Khik Sia sekarang sudah melampaui Ceng Ceng Ji. Apalagi permainan pedang yang digunakan Ceng Ceng Ji itu berasal dari perguruannya, sudah tentu dengan mudah sekali ia dapat menghindarinya. Dan malah gerakan menghindar dari Khik Sia itu disusuli pula dengan sebuah tepukan perlahan kebahu Ceng Ceng Ji. Tepukan itu sebagai isyarat supaya Ceng Ceng Ji menyingkir.

Kini kejut Ceng Ceng Ji itu berobah menjadi rasa keheranan. Jelas ia mengetahui gerakan pengemis muda itu, juga berasal dari perguruannya. Buru-buru ia loncat tiga tindak dan berseru: "Kau, kau. "

Khik Sia membayangi dibelakangnya dengan berbisik berkata: "Toa suheng segera akan datang. Lebih baik kau lekas tinggalkan tempat ini!"

Ceng Ceng Ji mengerti juga bahwa Gong Gong Ji telah diperintah oleh subonya untuk menangkap diriya. Walaupun ia tahu bahwa toa-suhengnya itu diam-diam menaruh kasihan padanya tapi kalau kebentrok dihadapan orang banyak, toa suhengnya itu tentu sungkan untuk tidak mengapa-apakan dirinya. Itulah sebabnya maka dalam beberapa tahun yang lalu itu. Ceng Ceng Ji selalu menyembunyikan diri.

Gertakan Khik Sia tadi, telah membuat Ceng Ceng Ji ketakutan setengah mati. Tanpa memberitahukan kepada konco-konconya lagi, ia lantas terbirit-birit melarikan diri. Khik Sia hanya tersenyum saja. Saat itu ada lima orang anggaota pasukan wanita menghampiri datang.

"Hai, pengemis kecil, kau menertawakan apa?" bentak salah seorang wanita itu.

Khik Sia makin tertawa geli, sahutnya: "Kulihat tangan kalian itu halus-halus semua, lebih baik menyulam dirumah saja, jangan main-main dengan pedang, ini tidak sesuai!". Mulutnya berkata begitu, tangannya tak tinggal diam. Dengan gunakan ilmu tangan kosong merampas senjata atau gong-chiu-jip peh jim, ia sudah merebut senjata kelima anggaota pasukan wanita itu.

Baru Khik Sia menerobos keluar dari kepungan kelima wanita itu, ia sudah disambut oleh sepasang tangan dari seorang lelaki yang hendak mencengkeramnya. Karena tak menduga, hampir saja bahu Khik Sia kena.

Kiranya orang itu adalah He Ping Tat, jago ilmu pelintir tulang hun-kin-jo-kut yang termashur. Melihat kepandaian 'pengemis kecil' itu amat hebat, ia tinggalkan Ciok Ceng Yang terus menerjang Khik Sia.

"Ha, kepandaianmu hun-kin-jo-kut hanya begitu saja, sayang belumkan yakinkan dengan sempurna!" Khik Sia tertawa mengejek.

Ping Tat itu seorang yang sombong. Sudah tentu ia menjadi merah telinganya.

"Cara bagaimana baru dikata mahir? Hm, bocah kemarin sore tahu apa?" Bentaknya sembari lingkarkan lengan kirinya dan tangan kanannya melalui lingkaran itu menjulur keluar mencengkeram pergelangan tangan Khik Sia.

-od0o-ow0o-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar