Pasangan Naga dan Burung Hong Jilid 09

Jilid IX

”KHABARNYA dalam beberapa tahun terakhir ini, kejahatannya sudah banyak berkurang. Dia sudah dapat digolongkan dalam kelas sebagai yu-hiap," Hong-jun menerangkan.

Ia menghirup cawan tehnya lalu menyambungnya lagi: "Dalam kalangan tokoh2 aliran Ceng-pay itu masih terdapat lagi golongan yang kedua yang suka bekerja pada kerajaan. Tujuan mereka bukan karena hendak merebut kedudukan menjadi pembesar negeri, melainkan dengan mendapat kepercayaan dari pemerintah itu, nantinya mereka hendak mengembangkan cita-cita mereka. Mungkin juga mereka itu hendak membantu fihak kerajaan untuk melucuti kekuasaan kaum panglima daerah. Turut yang kuketahui, dalam pasukan Gi-lim-kun tak sedikit jumlahnya tokoh-tokoh seperti itu. Misalnya, opsir yang pernah bertempur dengan Su toako, yaitu An Ting-wan, adalah juga dari golongan itu."

Tok-ko U tertawa: "Ya memang kutahu seyakni kaum Bu- lim in-su (tokoh-tokoh bulim yang mengasingkan diri). Karena putus asa melihat keadaan negara, mereka lari dari masyarakat ramai, Mo Kia-lojin dan Se gak sin liong Honghu Ko locianpwe, adalah contohnya," kala Hong Jun.

Diam diam Tok ko U kagum akan analisa yang dibuat oleh tetamunya itu, ujarnya: "Pengetahuan Lu loako ternyata amat luas. Berdasarkan hal itu, maka Eng-hiong hwe (rapat para orang gagah) yang akan diselenggarakan Cin Siang itu, juga pentingkah?"

Hong Jun mengucap kata merendah hati lalu ia menyahut: "Pada hematku, menilik kedudukan dan kewibawaan Cin Siang, rapat yang akan diselenggarakan itu, kecuali golongan Bu lim ini, ketiga golongan kaum bulim yang lain itu, tentu akan banyak yang datang. Malah dikuatirkan akan lebih mendapat sambutan hebat dari Eng hiong tay hwe yang diadakan di gunung Kim ke nia itu."

"Apakah rapat itu sudah ditetapkan harinya?" tanya Tok  ko

U

"Kabarnya akan diadakan pada hari Tiong. ciu tahun ini

diistana Li san hing kiong," kata Hong Jun.

"Kalau begitu hanya kurang tiga bulan lagi. Sayang aku seorang gadis jadi tak leluasa batang kesana. Apakah Lu toako bermaksud hendak kesana?" tiba2 Tok-ko Ing bertanya.

Hong Jun tertawa: "Aku hendak ke Peh Ong dulu menemui Sip Hong untuk menyelesaikan urusan Bo Se Kiat. Setelah itu pulang. Jika masih keburu, ingin juga aku melihat keramaian itu. Dalam rapat itu, rasanya Su toako tak leluasa datang tetapi jika kalian, engkoh adik mempunyai minat, besok kita boleh kita pergi bersama,"

Dalam Eng-hiong-hwe itu, yang penting ialah mengadu kepandaian silat. Tentang yang boleh menghadiri itu siapa, baik wanitakah atau priakah semua diperbolehkan.

"Aku pernah bertempur dengan pasukan Gi lim kun. Walaupun pada waktu itu aku memakai kerudung muka, tapi rasanya tentu diketahui juga," kata Tok-ko U.

Jawab Hong Jun: "Cin Siang mempunyai banyak sahabat kangouw. Sudah tentu ia mengetahui juga tentang pantangan orang kangouw. Kabarnya untuk Eng hiong hwe itu ia telah membuat pengumuman. Barang siapa yang hadir, takkan diselidiki tentang perbuatannya yang sudah2, sekalipun pernah memusuhi kerajaan. Syaratnya hanyalah mereka itu jangan sekali kali membuat onar dikota Tiang An. Dalam pertandingan silat, tak ada paksaan bahwa yang menang nanti akAn diharuskan bekerja pada kerajaan. Untuk pemenang pertama sampai dengan pemenang kelima, akan diberi hadiah sebatang golok pusaka dan seekor kuda pilihan. Aku sih tak menginginkan hadiah itu, melainkan hanya ingin menambah pengalaman saja."

"Ya. nanti apabila sudah tiba waktunya, kita putuskan lagi," sahut Tok-ko U.

Mendengar itu tampaknya Hong Jun agak kecewa. Ia mendongak kelangit dan tertawa "Ai, tanpa terasa sudah terlalu lama mengobrol, kini aku betul-betul hendak pergi?"

Karena tahu orang mempunyai urusan penting, maka Tok- ko U tak mau mencegahnya.

"Koko, apakah kau benar benar berhasrat untuk hadr dalam Eng-hiong-hwe di Tiang An?" tanya Tok-ko Ing kepada kokonya setelah Hong Jun pergi.

"Dan kau bagaimana?" tanya Tok-ko U.

"Aku  kepingin  sekali  menambahi  penglihatan,  ai   sayang "

"Sayang apa?" tukas Tok-ko U.

"Sayang Su toako tak leluasa ikut pergi. Dan akupun tak ingin pergi juga menghadiri semacam pertemuan begitu, baru menggembirakan kalau banyak kawan," kata sidara.

Yak Bwe tertawa: "Bukankah tadi Lu Hong Jun mengajak kalian?"

"Aku tak begitu kenal dengan dia." sahut Tok-ko Ing.

Tok-ko U mengolok tertawa: "Oh, jadi kalau Su toako tidak pergi, kaupun tak mau ikut pergi? Kalau begitu, karena kau tak pergi maka akupun tak mau pergi."

Begitulah setelah bercakap-cakap beberapa waktu lagi, mereka lalu sama masuk tidur. Ketika berada dikamarnya, hati Yak Bwe menjadi gelisah. Bukan disebabkan karena tak dapat menghadiri pertemuan di Tiang An itu, melainkan karena memikirkan Toan Khik Sia. Teringat dalam perjumpaannya beberapa kali dengan Toan Khik Sia itu selalu terjadi salah faham, diam-diam Yak Bwe menghela napas, keluhnya: "Kalau aku memang tak berjodoh padanya mengapa aku ditakdirkan lahir sehari dengan dia. Dan begitu lahir lantas dijodohkan? Tapi jika berjodoh, mengapa setiap kali berjumpa selalu bertengkar? Ataukah hanya karena ia tak berani melanggar pesan mendiang orang tuanya saja? Kalau dikata ia tak menaruh hati padaku, mengapa ia marah marah ketika mendegar aku dipasangkan pada putera Tian Seng su? Namun bila benar benar menaruh hati, tak selayaknya ia bersikap dingin padaku, walaupun ia sudah mengetahui bahwa aku sudah meninggalkan keluarga Sik!... Keterangan Lu Hong Jun tadi bahwa kini ia sedang mencari aku, apakah boleh dipercaya? Bagaimanakah hubungannya dengan Lu Hong-chiu? Sudah menginjak perjanjian kasih ataukah hanya sebagai kawan biasa. Hmm,

Yak Bwe, Yak Bwe! Jangan kau pikirkan dia lagi! Tidakkah ia sudah cukup banyak menghina padamu! Persetan dengan pemuda gagah atau perwira. Dia memperlakukan kau begitu macam, masakah kau sudi tunduk kepadanya?"

Makin sang pikiran melayang, makin bergolak amarah Yak Bwe. Tapi makin ia berusana menghapus bayangan Toan Khik Sia dalam hatinya makin bayangan anak muda itu tergores jelas. Dan tahu-tahu kala itu sudah lewat tengah malam, namun ia tak merasa ngantuk.

Jendela kamarnya yang sebelah belakang itu kebetulan menghadap kearah taman. Dari jendela itu melongok keluar, dilihatnya sang dewi malam memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Taman bunga seolah-olah bermandikan cahaya rembulan. Permukaan empang bening laksana kaca, pohon pohon, batu-batu dan bunga bunga bersemarak bagaikan terbungkus dalam kabut perak. Sungguh suatu pemandangan yang permai. Diruang sebelah depan sana, ternyata masih tampak penerangannya. Itulah kamar yang di tempati Tok-ko Ing.

"Kiranya ia masih belum tidur," kata Yak Bwe seorang diri.

Menyebut nama Tok-ko Ing, teringatlah Yak Bwe akan diri dara itu. Ya, teringat akan sikap dara itu kepadanya. Diam2 ia merasa geli sendiri: "Baik rupa, perangai dan ilmu silat nona Tok-ko Ing itu, bukan sembarangan nona dapat menandingi. Sayang aku ini sekaum dengannya....... Mereka berdua kakak beradik amat baik kepadaku, tapi bagaimanapun aku terpaksa tak dapat lama tinggal disini. Hmm, kini lukaku sudah sembuh. Seharusnya kutinggalkan tempat ini."

Sebenarnya Yak Bwe merencanakan untuk pergi secara diam-diam. Ia akan tinggalkan sepucuk surat menjelaskan tentang dirinya yang sebenarnya. Tapi demi teringat akan budi kebaikan Tok-ko Ing, ia merasa sungkan untuk berbuat begitu. Setelah beberapa hari bergaul timbullah rasa sukanya kepada dara itu.

Ia putar otak untuk mencari jalan yang lebih sempurna. Tiba tiba ia mendapat akal. Hanya saja akal itu sedikit bersifat nakal. "Lebih baik sekarang aku menjenguk kekamarnya. Melihat kedatanganku pada tengah malam begini ia tentu terkejut. Pada saat itu ia murka, aku segera menerangkan diriku. Ha, entah bagaimana reaksinya nanti, kecewa atau girangkah ia?" demikian akal yang direkanya itu.

Membayangkan akan reaksi sidara nanti, ia merasa gembira sekali.

Ia melangkah keluar menuju kekamar cat merah itu. Tapi waktu hampir dekat, tiba2 dari kain jendela kamar itu tampak dua bayangan orang, seorang wanita dan seorang pria. Yang pria adalah Tok-ko U.

"Kiranya mereka berdua masih belum tidur. Karena Tok-ko U berada didalam, aku tak leluasa masuk," pikirnya. Waktu Yak Bwe hendak angkat kaki, tiba tiba kedengaran Tok-ko U berkata: "Ing-moay hal ini menyangkut nasibmu seumur hidup. Harap kau pikir-pikir masak-masak."

Geli Yak Bwe dibuatnya. Karena ingin mencuri dengar apa yang dipercakapkan kedua saudara itu, ia batalkan maksudnya pergi.

Tok ko Ing diam saja. Beberapa saat kemudian Tok ko U berkata pula: "Kiranya sudah menjadi layaknya apabila kau berjodoh dengan... Hong Jun. Seperti kau ketahui, ilmu siiat Lu Hong Jun itu amat tinggi dan orangnyapun baik."

Yak Bwe terkesiap mendengar ucapan itu. "Kiranya bukan memperbincangkan diriku. Kokonya hendak menjodohkan dia pada Lu Hong Jun. Bagus, aku terlepas dari kesulitan. Hanya sayang sekalipun Lu Hong Jun itu orangnya baik, tapi adiknya itu seorang gadis yang katak. Kalau Tek-ko Ing jadi menikah dengan keluarga Lu, jangan-jangan ia bakal setori dengan iparnya itu," pikirnya.

"Apa? Jadi kedatangan Lu Hong Jun kemari tadi, akan meminang sendiri?" tiba2 Tok-ko Ing berseru.

"Bukan meminang melainkan berkenalan," Tok-ko tertawa.

Dengan nada agak marah, Tok-ko Ing berseru; "Kau mulanya tak mengatakan apa-apa, masakan datang-datang lantas mau nontoni orang. Aturan macam apa itu? Jika tahu, sudah tentu aku tak sudi keluar!"

"Ai, memang sebelumnya sudah mengatakan tetapi aku tak memberitahukan padamu. Ketika aku bepergian baru-baru ini, telah berjumpa dengan Hong-git Wi Gwat. Locianpwe ini seorang yang suka mengurusi perkara orang. Ia mengobrol panjang lebar dan menanyakan juga tentang dirimu. Ia mengatakan, kita berdua adalah sepasang saudara pendekar. Jika dapat terungkap dalam perjodohan, tentulah bakal menjadi buah pujian dunia bulim!" "Lu Hong Jun kan mempunyai seorang adik. Pinang sajalah!" Tok-ko Ing menyeletuk,

Wajah Tok-ko U berobah merah. Memang pada waktu itu Hong-git Wi Gwat juga mengatakan hal itu, yaitu agar sepasang saudara itu saling mengikat jodoh.

"Yang kubicarakan sekarang ini ialah tentang urusan pernikahanmu, perlu apa menyangkut tentang diriku?" Tok-ko U membantah.

Kata Tok-ko U lebih jauh: "Locianpwe itu mengatakan, apabila kita setuju, ia akan segera akan mencari Lu Hong-jun, suruh ia datang, kerumah kita untuk berkenalan dengan kau. Biasanya locianpwe itu suka ugal-ugalan, jadi aku tak berani pastikan sungguh tidaknya omongannya itu. Jawabanku pada saat itu ialah akan menyerahkan hal itu padamu sendiri. Maksud kunjungan Hong Jun, kita sambut dengan senang hati, tetapi soal pernikahan itu urusan yang tidak boleh dipaksakan, biar kau sendiri yang memutuskan,"

Tok-ko Ing menghela napas, ujarnya: "Benarlah, kau telah memberi jawaban tepat!"

"Oleh karena tak terlalu kumasukkan dalam hati kata kata locianpwe itu, maka waktu pulang akupun tak mau buru buru mengatakan kepadamu. Apalagi karena kita sibuk merawat Su toako, jadi tak keburu memberitahukan. Sungguh tak terduga bahwa Lu tayhiap itu benar-benar datang kemari. Sebelum kau keluar, ia sudah beberapa kali menanyakan tentang dirimu. Sebenarnya ia itu seorang yang berwatak terus terang, tapi ketika menanyakan dirimu ia sudah berlaku likat. Sudah tentu kuketahui maksudnya. Rupanya Hong-git Wi Gwat telah menyuruhnya datang kemari, Ing-moay, apakah kau tak mengetahui bagaimana beberapa kali ia melirik kepadamu?"

"Ya, justeru sinar matanya itulah yang ku benci!" sahut Tok ko Ing Tok ko U tertawa: "Ya, aku tahu ada seorang yang tak kau benci, Dan diapun suka bergaul dengan kau!"

"Su toako dalam keadaan sakit. Ia adalah tetamu yang kau undang kemari. Bahwa jerih payahku mewakili kau untuk merawatnya bukan mendapat terima kasihmu, sebaliknya kau malah mengejek padaku," demikian Tok ko Ing mengomel.

"Kaulah yang harus berterima kasih padaku. Moay moay, jangan kira aku tahu isi hatimu, ya? Memang aneh ini. Aku yang lebih dulu dan lebih kenal lama dengan Su toako tak dapat bergaul dengan rapat, sebaliknya begitu bertemu denganmu ia lantas jatuh hati. Ai, mungkin sudah menjadi kehendak nasib. Hanya saja, hanya saja. "

Sebenarnya Tok-ko Ing tengah tundukkan kepala. Tapi begitu mendengar ucapan sang engkoh itu, serentak dongakan kepala.

"Hanya apa?" ia tanya dengan cepat.

Tenang-tenang saja Tok-ko U menyahut: "Meskipun Su toako itu tidak tercela, tapi asal usulnya tak ketahuan. Bagaimana keturunan keluarga Lu rasanya kita sudah cukup mengetahui."

"Apanya yang tidak jelas? Ia sudah menuturkan asal- usulnya kepadaku." cepat2 Tok ko Ing menukas.

"Tapi aku tetap bercuriga," sahut Tok-ko U.

"Ah, memang kau ini banyak curiga. Tapi aku menaruh kepercayaan penuh padanya!" bantah Tok-ko Ing.

Dengan nada bersungguh Tok-ko U berkata: "Moay moay urusan pernikahan itu suatu hal yang serius. Coba kau bilang terus terang tentang keputusanmu, biar kudapat memberi keterangan pada orang."

"Baik, berilah jawaban pada orang itu dengan  membilang.... dengan membilang " "Membilang bagaimana?" tukas Tok-ko U.

Selebar wajah Tok ko Ing bertebar warna merah. Tiba-tiba berhamburanlah kata-kata dari mulutnya: "Bilang sajalah padanya, bahwa aku sudah dijodohkan pada lain orang. Pemuda she Lu itu terlambat datangnya. Dan habis perkara!"

Tok-ko U terbeliak tanyanya dengan suara berbisik: "Apakah kau sudah mengikat janji dengan Su toako?"

"Ha, koko, kau sungguh pintar. Kalau satu waktu kukatakan kau tolol, itu hanya karena keserentakan dari pikiranku saja. Silahkan kau kembali untuk memberi jawaban pada pemuda she Lu itu," ujar Tok-ko Ing.

"Moay moay, kau lebih suka menikah dengan Su toako. Sayang tiada comblang yang memperantarakan. Turut katamu, rupanya kau sudah mengambil keputusan yang masak. Kau tentu bermaksud mengatakan bahwa Su toako itu dapat diandalkan daripada Lu Hong Jun," kata Tok-ko U.

Tok-ko Ing berkobar semangatnya. "Ilmu sastera dan ilmu silat dari Su toako amat menonjol, belum temu kalah daripada Lo Hong Jun. Sekalipun taruh kata, ia nempil dengan Lu Hong Jun, tapi aku sudah kenal pribadinya dan cocok perangainya. Biarpun Lu Hong Jun sepuluh kali lebih lihay dari dia, aku..aku..!"

"Kau akan tetap memilih Su toako bukan?" Tok-ko U menukas sambil tertawa.

Tok-ko Ing tundukkan kepala. Ia tak menyahut dan sikap begitu berarti ia menerimanya.

"Bagaimana kau mengetahui kalau ilmu silat Su toako itu lihay? Ai, mungkin ketika kalian berdua keluar untuk menyambut kedatangan Lu Hong Jun, kalian sama-sama menyelinapkan pedang. Apakah kalian sebelumnya sudah menguji kepandaian didalam taman?" tanya Tok-ko U. "Benar, kau tentunya hanya mengetahui ilmu pedangnya lihay, tapi tentu belum mengerti siapa suhunya. Dengarlah, ilmu pedangnya bukan ajaran dari Biau Hui Sin ni." sahut Tok ko ing.

Dengan bersemangat dara itu menceritakan tentang permainan pedang Yak Bwe. Setiap gerak dan setiap jurus dari ilmu pedang Su toako nya, ia lukiskan dengan gairah sekali.

"Oo, o, hm, hm," selama mendengarkan cerita sang adik, mulut Tok-ko U selalu menghamburkan nada heran dan kagum.

"Mengapa ilmu pedang Biau Hui Sin-ni dapat diturunkan kepada seorang lelaki, itu sungguh mengherankan sekali!", akhirnya Tok-ko menyatakan keheranannya.

"Piauci-nya yang bernama Sip In-nio yang mengajarkannya." To-ko Ing memberi keterangan. Ia lantas menceritakan keterangan yang di rangkai oleh Yak Bwe.

Anehnya kesangsian Tok-ko U makin jelas menampil pada wajahnya.

"Ai, kau ini bagaimana koko? Apakah kau curiga Su toako menyintai piaucinya?" tanya Tok-ko Ing.

Tok-ko U tertawa: "Omitohud, berdosa, berdosa! Tidaklah kau mendengar ucapan Lu Hong Jun? Sip In-nio sudah tertambat hatinya dengan Bo Se Kiat. Thiat Mo Lek dkk mengetahui hal itu. Dan untuk urusan itulah, malah sudah minta tolong Lu Hong Jun menjadi comblangnya. Sip In-nio seorang jelita perkasa, seorang pendekar wanita. Masakan ia bermoral tipis?"

"Ya, habis mengapa wajahmu lain? Terus terang, aku sendiripun bermula juga menaruh kecurigaan. Tapi setelah mendengar keterangan Lu Hong Jun, hilanglah segala prasangkaku," kata To-ko Ing. Tok-ko U merenung beberapa saat, kemudian berkata tenang-tenang: "Moay-moay, percayakah kau akan omongannya?"

Tok-ko Ing membeliakan matanya lebar lebar dan menyentak: "Apa?"

"Kulihat didalam situ terdapat sesuatu yang mencurigakan," kata Tok-ko U.

"Apanya yang mencurigakan?" cepat-cepat Tok-ko Ing mendesak.

"Bahwa ilmu pedang dari Biau Hui Sin-ni itu hanya diajarkan pada kaum wanita dan tidak boleh kepada kaum pria, itu sudah menjadi peraturan dari perguruannya. Sekalipun Sip In-nio mempunyai ikatan keluarga dengan Su toako, tapi tak mungkin nona itu berani melanggar pantangan suhunya secara diam-diam mengajarkan kepada Su toako," kata Tok U.

Mendengar itu timbul juga keheranan Tok-ko Ing. Dengan ragu-ragu ia berkata: "Mungkin, ia mungkin karena Sip In nio itu masih kecil maka ia tak menyadari perbuatannya. Terdorong rasa kegembiraannya bermain-main dengan Su toako, ia lupa pantangannya itu."

Tok-ko U gelengkan kepala: "Meskipun aku belum pernah bertemu dengan Sip In-nio, tapi khabarnya ia itu seorang nona yang bijaksana, kalau tidak, masakan Bo Se Kiat penuju padanya. Pantangan suhunya, merupakan suatu hal yang penting. Meskipun usianya masih muda, tak nantinya ia naif akal itu."

"Ha, aku sampai lupa. Su toako mengatakan pada setiap hari Sip In nio berlatih pedang, ia tentu melihat disamping!" kata Tok ko Ing.

'Ilmu pedang ajaran Biau Hui sin-ni Itu bukan olah sukar dan anehnya. Tanpa ada guru yang memberi petunjuk, bagaimanapun cerdasnya, rasanya tetap tak mungkin mampu mencuri belajar. Apakah ia mengatakan pada muka lau ilmu pedangnya itu bolehnya mencuri?" tanya Tok-ko U.

Tok-ko Ing sendiri juga seorang ahli ilmu pedang. Ia cukup mengetahui bagaimana sukarnya orang belajar ilmu pedang itu. Tapi anehnya karena terpengaruh oleh rasa pancaran kalbunya, in main telan saja akan obrolan Su Yak Bwe tadi. Ketika saat itu engkohnya mengingatkan hal itu, barulah ia timbul rasa kecurigaannya.

Tiba2 dengan suara menggumam Tok-ko U berkata: "Jangan-jangan, hem, jangan-jangan."

"Jangan2 apa?" cepat Tok-ko Ing menyeletuk . "Jangan2 ia itu seorang gadis," sahut Tok-ko U.

Tok-ko Ing tercengang. Sesaat kemudian ia membentak sang engkoh: "Ngaco saja kau ini! Mana bisa ia seorang gadis?!"

"Ah, aku akan hanya meraba-raba dalam dugaan saja.

Jangan kesusu" sahut Tok-ko U.

Kedua saudara itu amat baik sekali hubungannya. Tok-ko Ing merasa menyesal juga tadi sudah membentak sang engkoh dengan kata-kata kasar. Buru-buru ia tertawa: "Jika ia memang benar seorang gadis, itu malah kebenaran sekali. Bisalah ia menjadi ensoh-ku nanti. Maukah kau kujodohkan padanya?"

Sebenarnya olok2 Tok-ko Ing itu hanya sekedar untuk memperbaiki kesalahannya tadi. Siapa tahu, waktu mendengarnya Tok-ko U juga tercengang. Beberapa saat kemudian baru ia dapat berkata: "Kalau ia benar seorang gadis istimewa yang jarang terdapat didalam dunia. Mana aku layak menjadi pasangannya?"

"Ai, kalau begitu kau anggap dirimu itu lebih rendah dari aku?" tanya sidara. Kembali setelah termenung beberapa saat, barulah Tok-ko U dapat berkata: "Ah, sudah tentu ia itu bukan seorang gadis ya, tak mungkin, tak mungkin! Akulah yang mengadakan dugaan secara serampangan."

Walaupun mulutnya mengatakan begitu, namun tahu juga Su Yak-bwe ditempat persembunyian, se-olah2 mendapat kesan bahwa pemuda itu merasa getun karena Su-toako itu seorang lelaki.

Yak-bwe berpikir: "Tok-ko U sudah menaruh kecurigaan. Kalau aku sampai menceritakan kepadanya bahwa aku ini seorang nona, jangan-jangan bisa menimbulkan kerunyaman. Jika Tok-ko U sampai mengajukan pinangannya, apakah aku dapat menolaknya?"

Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik dari  Tok-ko Ing, lalu katanya:

"Ah, memang sungguh sayang bahwa Su toako bukan seorang nona. Kalau pembicaraan kita saat ini didengar Su toako, wah tentu runyam sekali."

"Apakah kau sungguh tak mengetahui kalau ia itu seorang gadis yang menyaru jadi lelaki?" tanya Tok-ko U,

Sahut Tok-ko Ing: "Sudah tentu aku mengetahui. Ia....

ia. "

Tok-ko U terbeliak kaget, serunya: "Moay, moay, kau, kau dengan dia: "

"Koko, jangan menduga sembarangan. Ia hanya menyatakan padaku, menyatakan "

"Oh, ia tentu menyatakan isi hatinya kepadamu, bukan?" tanya Tok-ko U.

Kedua belah pipi sidara bersemu merah. Ia tersipu-sipu tundukkan kepala kemaluan sambil memainkan ikat pinggangnya. Yak Bwe juga terkesiap, pikirnya: "Bilakah aku menyatakan isi hatiku kepadanya"

Tiba tiba ia teringat ketika sidara menjenguk sakitnya, ia telah memuji dara itu berilmu tinggi dan pintar bekerja. Ya, ya, ia pernah mengatakan kepada Tok-ko Ing. "Siapakah hai, gerangan yang berbahagia mempersuntingkan nona?"

"Ah, apakah ia kira aku menaruh hati pada saya?" Demikian pikir Yak Bwe lebih lanjut.

Didalam ruangan kedengaran Tok-ko U tertawa: "Su toako bukan seorang wanita, ah itulah memang rejekimu. Baiklah, biarlah ku jadikan kehendakmu itu. Besok akan kuselidiki lagi sikapnya kepadamu. Biar kujadikan perjodohanmu itu, agar dirimu mendapat tempat. Nah, tidurlah baik-baik, aku hendak pergi.'"

"Mengapa aku gelisah? Asal kau tak merecoki aku dengan urusan Lu Hong Jun, aku pun tak punya keresahan apa-apa lagi," sahut Tok-ko Ing.

Karena Tok-ko hendak tinggalkan ruangan itu, Yak Bwe pun segera mendahului pergi. Tapi baru ia melangkah sampai dirumpun pohon bunga sekonyong-konyong sesosok  bayangan hitam loncat melampaui tembok dan melayang tepat diatas batu gunung-gunungan yang berada disebelahnya. Ketika mengawasi, kejut Yak Bwe bukan kepalang. Saking kagetnva, tubuhnya sampai gemetar dan bunga-bunga yang tersentuhnya jadi berhamburan jatuh.

Orang yang tiba-tiba datang itu bukan lain ialah manusia yang dibencinya tapipun yang paling dirindukannya, Toan Khik Sia!

Kiranya Toan Khik Sia telah menempuh jarak tujuh ratus li menyusur jalan raya Tiang an, tapi tetap tak dapat menemukan Yak Bwe. Ia terpaksa kembali dan hendak membalik haluan kearah selatan. Kebetulan ia berjumpa dengan Lu Hong Jun. Sebenarnya Lu Hong Jun sudah mempunyai kecurigaan terhadap Yak Bwe. Dalam pembicaraan selanjutnya, ia menceritakan juga diri Yak Bwe itu kepada Khik Sia. Demi mendengar bahwa 'pemuda' itu orang she Su dan mengaku masih adik misan dari Sip In-nio, girang Khik Sia bukan kepalang. Ya, siapa pemuda gadungan itu kalau bukan Yak Bwe! Cepat cepat Khik Sia minta alamat tempat tinggal Tok ko dan malam itu juga ia segera berangkat.

Ketika tiba dipintu gedung keluarga Tok-ko, haripun sudah lewat tengah malam. Menurut peraturan, jika hendak bertamu itu seharusnya pada siang hari. Tapi Khik Sia sudah tidak tahan lagi. Apalagi Lu Hong Jun juga menyinggung-nyinggung tentang hubungan rapat antara pemuda she Su itu dengan adik perempuan Tok-ko U. Maka tanpa dapat mengendalikan diri lagi. Khik Sia segera mengambil keputusan. Lebih dulu masuk menyelundup kedalam gedung untuk mencari Yak Bwe sesudah itu baru ia menghaturkan maaf kepada tuan rumah.

Dan sungguh kebetulan sekali, ketika ia melayang masuk keatas batu gunung-gunungan, ia kesamplokan dengan orang yang dicari-cari nya. Karena 'tertangkap muka' Yak Bwe menjadi gelagapan, sebaliknya Khik Sia terkejut dan girang sekali!

"Adik Yak Bwe........!" tanpa ragu-ragu lagi Khik Sia meluncurkan tegur salam manis.

Tapi wajah Yak Bwe sedingin es. Tanpa memandangnya lagi, ia terus kebutkan lengan bajunya dan pergi. Khik Sia memburunya, dan terus menjambret lengan baju Yak Bwe, bisiknya dengan lirih: "Adik Bwe, kau, kau dengarlah perkataanku "

Yak Bwe kebas lengannya dan membentak dengan dingin: "Tahulah sopan sedikit! Siapa adikmu itu?"

Rasa cinta Khik Sia itu hangat membara tapi kulit mukanya tipis. Dibentak sedingin begitu, merahlah telinganya, ribuan kata-kata yang hendak dirangkainya, menjadi kacau balau lagi. Dengan gerak hun-hoa-hud-liu atau bunga tersiak mengebut pohon liu, Yak Bwe lanjutkan langkahnya. Khik Sia makin bingung. Dengan besarkan nyali ia tekan ujung tumitnya. Dengan gerak ginkang istimewa Ing-hun jong, ia melambung melampaui kepala Yak Bwe dan melayang jatuh dihadapan sinona untuk menghadangnya.

"Minggir!" bentak Yak Bwe. Dan tanpa hentikan langkah, ia terus maju menerjang.

Tapi Khik Sia lantas menghadangkan kedua tangannya. Bagaimanapun Yak Bwe henak mencoba menerobos, tetap kena terhadang.

"Toan Khik Sia, kau terlalu menghina orang!" akhirnya meluncurlah kata-kata kemarahan dari mulut Yak Bwe.

"Yak Bwe, kau marah padaku, aku tak sesalkan padamu. Harap kau mengingat akan hubungan antara keluarga kita dahulu," demikian buru-buru Khik Sia berkata.

"Bagaimana?" Yak Bwe menegas.

"Sejak dilahirkan, kita lantas, lantas. ah sudahlah jika kita

sampai tidak rukun, arwah ayah bunda kita dialam baka tentu tak dapat tenteram." Khik Sia melanjutkan kata-katanya.

Sebenarnya betapa inginnya Yak Bwe 'rujuk' dengan pemuda yang dikenangkan itu. Tapi ia sudah biasa dibesarkan sebagai seorang siocia yang beradat tinggi. Teringat beberapa kali Khik Sia pernah menghinanya, api amarah Yak Bwe masih belum reda. Jika kedatangnya tadi Khik Sia lantas meminta maaf, mungkin Yak Bwe dapat diredakan kemarahannya. Adalah karena Khik Sia itu memang tak pandai merangkai kata2, walaupun sudah merancangkan lama, tapi hasilnya tetap tak seperti diharapkan. Ia kira dengan mengingatkan Yak Bwe akan hubungan keluarga mereka dahulu, dapatlah ia mendinginkan hati sinona. Siapa tahu sebaliknya Yak Bwe malah lain penerimaannya. Pikirnya: "Ha, ha, kiranya kau hanya takut dicap tak berbakti kepada orang tua, maka terpaksa mencari aku. Jadi sekali-kali bukan karena kau suka kepadaku."

"Thiat toako juga amat perhatikan terhadap urusan kita. Ia pesan wanti-wanti kepadaku harus mengajakmu pulang. Adik Bwe, sukalah kiranya kau perkenalkan aku kepada tuan rumah agar dapat kujelaskan duduk perkaranya. Dan besok pagi kita lantas berangkat pulang," demikian kata Khik Sia pula.

Kali ini pun Khik Sia membuat kesalahan pula. Dengan membawa-bawa nama Thiat Mo Lek ia kira dapat mempengaruhi tunangannya siapa tahu Yak Bwe malah makin muring2.

"Apa pedulikan kepada omongan lain orang? Yang kuingat hanyalah satu, ialah kau sudah menyatakan memutuskan hubungan padaku. Sejak ini, kau kerjakan urusanmu sendiri dan aku lakukan kehendakku sendiri. Tali pertunangan kita sudah putus, jadi aku dan kau tiada hubungannya sama  sekali. Harap kau hormati kata-katamu itu sendiri dan janganlah terus mengganggu diriku," demikian semprot Yak Bwe dengan tertawa dingin.

Keruan Khik Sia menjadi kikuk, ia menyengir. Dengan terputus-putus ia menerangkan. "Hal itu, adalah kelimbunganku dahulu, aku, aku. "

Baru ia hendak mengakui kesalahannya, Yak Bwe sudah membentaknya dengan keras-keras: "Kau menyingkir tidak? Jika kau tak mau menyingkir, biarlah aku yang pergi!"

Tiba-tiba terdengar suara Tok-ko Ing berseru: "Su toako, ada apakah? Dengan siapa kau bicara?"

Menyusul Tok-ko U pun berseru keras: "Sahabat darimanakah itu? Tengah malam buta datang kemari, hendak bermaksud apa?" Kiranya kedua kakak beradik itu mendengar juga pertengkaran mulut Khik Sia dan Yak Bwe tadi. Mereka kira kawanan ko chiu (jago lihay) fihak pemerintah telah mengetahui bahwa Tok-ko U telah menyembunyikan 'seorang hohan dari Kim-ke-nia'.

Bergegas-gegas kedua kakak beradik itu memburu datang. Pada saat itu Khik Sia tengah pentang lengannya menghadang Yak Bwe. Jalanan didalam taman bunga situ berliku-liku dan saat itu Khik Sia tepat berada ditengah tengah gunung- gunungan palsu. Malam itu rembulan remang. Dari kejauhan orang tentu mengira bahwa Khik Sia hendak menangkap Yak Bwe sementara Yak Bwe tengah berusaha menghindar diri.

Melihat itu, Tok-ko Ing gugup sekali. Ia kuatir kalau terlambat sedikit saja, tentulah 'Su toakonya' itu kena tertangkap lawan. Begitu sang tubuh melesat maju, belum kakinya sempat menginjak bumi, pedangnya sudah maju menusuk Khik Sia,

Ilmu pedang ajaran Kong Sun toanio itu bukan main hebatnya. Apalagi Tok-ko Ing begitu buru-buru hendak menolong Yak Bwe. Ia keluarkan jurus serangannya yang lihay. Kecepatannya laksana kilat menyambar. Khik Sia hanya sempat berteriak kaget, karena belum lagi ia dapat menyerukan supaya Tok-ko Ing hentikan serangannya dulu. Sidara sudah menyerang beruntun-untun tiga kali. Terpaksa Khik Sia gunakan ginkangnya yang lihay untuk berputar menghindar. Satu demi satu ia kelit ketiga serangan kilat itu. Jangankan orangnya, sedang ujung bajunyapun Tok-ko Ing tak mampu menyerempetnya. Tapi sekalipun begitu, Khik Sia menjadi keripuhan juga. Mata dan seluruh perhatiannya terpaksa ia curahkan kearah gerak ujung pedang sidara. Oleh karena itu terpaksa ia tak dapat bicara.

Juga Tok-ko Ing tak kurang terkejutnya demi mengetahui kelihayan 'musuh'. Ia perhebat lagi serangannya itu. Derasnya seperti ombak disungai Tiang-kang. Bergulung-gulung tiada putusnya. Dan setiap jurus serangannya itu mengandung penuh perobahan-perobahan yang tak terduga. Ayal sedikit saja. Khik Sia pasti kena diganyang.

Tok-ko U hanya mengikuti permainan adiknya itu dari samping saja. Dalam hal kesabaran, ia memang lebih sabar dari sang adik. Setelah lewat beberapa gebrak, tahulah bahwa tetamu yang tak diundang itu jauh lebih lihay beberapa kali dari adiknya. Diam-diam ia membathin: 'Luka Su toako itu baru saja sembuh. Kepandaiannya tak jauh dari Ing-moay. Dengan memakai pedang saja, Ing-moay tak mampu menandingi orang itu. Apalagi Su toako tadi hanya dengan tangan kosong saja. Kalau orang itu sungguh-sungguh hendak menangkapnya, tentu tadi sudah kena,"

Baru To-ko U hendak meneriaki adiknya supaya berhenti agar dapat menanyai tetamu itu tiba-tiba terdengar suara bergemerincing. Kiranya setelah mendapatkan ilmu pedang Tok-ko Ing bukan olah2 hebatnya, kalau hanya mengandalkan ilmu ginkang saja, Khik Sia merasa kuatir. Dan kedua kalinya, anak muda itu marah juga.

Demikian akhirnya ia ambil putusan hendak balas menyerang. Menggunai kesempatan Tok-ko Ing hendak merobah gerakannya, secepat kilat Khik Sia maju merapat dan gunakan dua jarinya untuk menutuk batang pedang sidara. Tutukan itu hanya menggunakan 5 - 6 bagian tenaganya saja, namun Tok-ko Ing sudah tak kuat menahannya. Kuda-kuda kakinya tergempur dan tubuhnya sempoyongan kemuka. Justeru tepat dimuka sidara itu terdapat sebuah batu kerucut yang menonjol tajam. Hal itu mengejutkan Khik Sia juga. Buru-buru ia ulurkan tangan hendak menyambret punggung baju sinona.

Tapi bagi Tok-ko U hal itu diartikan lain. Ia mengira Khik Sia tentu hendak turunkan tangan ganas kepada adiknya. Tempat Tok-ko U berdiri itu memang baik sekali posisinya. Sembarang waktu ia dapat menolongi adiknya. Tanpa banyak pikir lagi, ia terus enjot tubuhnya keudara. Ditengah udara itu berjumpalitan dalam gerak kok-cu-hoan-sin atau burung merpati berjungkir tubuh. Tahu-tahu kipasnya sudah maju menutuk punggung Khik Sia.

Sejak tadi memangnya Yak Bwe hanya berpeluk tangan mengawasi saja. Kini setelah di ketahui Tok-ko Ing bakal terbentur batu kerucut, ia menjadi gugup dan terus maju memburu untuk menarik tubuh sidara kesamping.

Perbuatan Yak Bwe itu tak terduga sama sekali oleh Khik Sia. Tangan kirinya bergerak menangkis tutukan kipas Tok-ko U, sedang tangan kanannya masih tetap  menjulur kepunggung Tok-ko Ing. Maksudnya hendak menjamjambret baju sidara, tapi karena Tok-ko U mengira sang adik bakal dicelakai, ia cepat putar kipasnya untuk diteruskan menutuk jalan darah cu-ping-hiat dipinggang Khik Sia.

Karena dihalang oleh Tok-ko U itu, ia kalah dulu dengan Yak Bwe yang sudah berhasil menarik Tok-ko Ing kesamping. Tapi baru saja Yak Bwe berputar tubuh, astaga tangan Khik Sia tadi sudah tiba didadanya! Segera muka Yak Bwe menjadi merah padam. Adalah suatu hinaan bagi seorang kaum persilatan kalau sampai tak dapat menjaga diri dari serangan lawan. Tanpa banyak pikir lagi, Yak Bwe kontan menangkis tangan Khik Sia itu.

Sudah disebutkan diatas, bahwa jambretan tangan Khik Sia itu adalah untuk menolong Tok-ko Ing, sudah tentu ia tak menggunakan tenaga. Maka begitu didorong oleh Yak Bwe Khik Sia menjadi terhuyung kebelakang dan dengan begitu termakanlah pinggangnya oleh kipas Tok-ko U. Untung ia dapat berpikir sebat, Membarengi tubuhnya menjorok kemuka ia lantas menggelincir dua langkah. Tapi biar pun jalan darahnya tak terkena tepat, tidak urung ia merasa kesakitan juga. Dan yang lebih runyam lagi, berbareng itu kipas Tok-ko U pun sudah tiba. Dilain fihak karena mendapat kekalahan, marahlah Tok-ko Ing. Begitu tubuhnya dapat berdiri tegak ia cepat menyerang dengan pedang lagi. Dengan demikian Khik Sia yang bertangan kosong itu kini terkepung oleh kedua saudara Tok-ko. Benar ia masih dapat berusaha untuk menghindari, namun tak urung menjadi kelabakan juga.

Sampai disini tak dapat Khik Sia mengendalikan kemarahannya lagi. Ia deleki mata ke arah Yak Bwe: "Mereka membabi buta menyerang aku dan aku tak sempat memberi penjelasan lagi. Mengapa kau berpeluk tangan mengawasi saja dan tak mau menjelaskan duduk perkaranya?"

Padahal sebenarnya sekalipun taruh kata Khik Sia sempat bicara sendiri, tapi dikarena kan kulitnya tipis (pemaluan), jadi ia sungkan juga dihadapan orang yang tak dikenalnya, mengaku-aku kalau Yak Bwe itu sebenarnya adalah calon isterinya.

Itu hanya penoropongan Khik Sia secara sefihak dari sudutnya sendiri. Coba pikirkan, Yak Bwe adalah seorang gadis, apalagi ia masih mendongkol kepadanya (Khik Sia). Mana ia mau menerangkan kalau Khik Sia itu adalah bakal calon suaminya?

Dideleki mata oleh Khik Sia, kemarahan Yak Bwe makin berkobar. Menyaksikan pertandingan beberapa gebrak tadi, ia mendapat kesimpulan bahwa kedua kakak beradik she Tok-ko itu tak mampu melukai Khik Sia. Jadi ia tak perlu menguatirkan keselamatan anak muda itu. Jika mau, anak muda itu {Khik Sia) berkat ilmu ginkangnya yang tinggi tentu dapat meloloskan diri. Dirangsang oleh rasa kemangkelannya terhadap Khik Sia, Yak Bwe ambil putusan untuk menggebah anak muda itu pergi. Dan sekarang inilah kesempatannya.

"Su toako, siapakah bangsat ini? Apakah kau mengenalnya?" tiba2 Tok-ko U bertanya kepadanya. Pertanyaan diajukan, karena Tok-ko U heran melihat Yak Bwe sejak tadi hanya tinggal diam dan mengawasi saja. "Ya, tentunya seorang penjahat. Tok-ko-heng, beri hajaran yang keras, jangan kasih dia lari!" sahut Yak Bwe. Iapun cabut pedangnya dan turut menyerang.

"Hai, Su toako, penjahat itu lihay sekali. Kau, kau jangan turut maju. Kita sudah cukup dapat mengatasinya." seru To-ko Ing dengan tergopoh-gopoh. Terang ia menguatirkan keselamatan 'pemuda she Su' itu karena tahu lukanya baru saja sembuh, kalau dibuat bertempur tentu akan merekah  lagi.

Dalam pada itu. diam-diam Tok-ko U membathin bahwa penjahat itu sedemikian lihay itu tentu bukan sebarang penjahat, melainkan tetamu jago pilihan dari istana. Ia tahu Yak Bwe itu masih hijau dalam dunia kang-ouw, jadi tak dapat menilai kekuatan musuh. Mengingat bahwa anak muda she Su itu baru saja sembuh dari lukanya, iapun turut kuatir juga. Bermula memang ia curiga jangan-jangan Yak Bwe itu kenal dengan sipenjahat. Tapi kini setelah melihat sikap Yak Bwe sedemikian garangnya, kecurigaannya itupun lenyaplah.

Khik Sia mendengar juga tentang ucapan kedua saudara Tok-ko yang begitu memperhatikan sekali kepada Yak Bwe. Tiba-tiba ia berpikir: "Hampir sepuluh hari Yak Bwe tinggal dirumah ini. Masakan selama merawat lukanya itu, kedua saudara Tok-ko tak mengetahui kalau ia seorang gadis?"

Karena memikir begitu, pikirannya buyar. Dan terlambatlah ia untuk menghindari sebuah kibasan kipas Tok-ko U yang ditujukan ke mukanya. Bret Bret, pakaiannya berlubang termakan rangka kipas yang tajam.

Mendapat hasil itu, semangat Tok-ko U makin berkobar. Kipas besi dimainkan lebih gencar, sebentar dimainkan sebagai poan-koan-pit untuk menutuk jalan darah, sebentar juga dijadikan sebagai pedang ngo-heng-kiam untuk membabat. Tangannya yang gagah dan gerakan tubuhnya yang tangkas lincah, benar-benar seperti air mencurah dari langit. Dia memang dari keturunan keluarga berada. Dengan memainkan kipas itu, sikapnya makin indah, gayanya makin menarik.

Sebaliknya perasaan Khik Sia makin tak karuan, hatinya timbul penasaran. Tiba-tiba ia berpikir: "Ketika aku tadi datang, ia tengah mundar-mandir dibawah pohon bunga. Malam begini larut, mengapa ia seorang diri didalam taman? Apakah sedang menunggu seseorang?" Pikirnya lebih jauh: "Ah, maka ia tak memperdulikan aku lagi, Kecakapan Tok-ko kong-cu ini jauh sepuluh kali lipat dari aku!"

Hatinya menjadi tawar dan menyusul lantas putus asa serta kecewa. Pikirnya: "Ah, memang aku sendiri yang tak baik. Aku telah salah faham dan memperlakukan kasar padanya. Malah pernah menyatakan memutuskan pertunangan dengannya. Mendapat hinaan begitu. Masakan ia tak marah? Kalau ia kini sudah mencari lain pilihan lagi, masakan aku dapat menyalahkannya tak setia janji?"

Terbit pertentangan dalam bathin Khik Sia. Makin dibayangkan, makin mendekati kebenaran dan menarik kesimpulan kalau Yak Bwe itu sudah berobah hatinya.

"Seorang lelaki harus lapang dada. Pemuda she Tok-ko itu tentulah juga seorang hiap-gi. Jika Yak Bwe suka padanya dan tidak suka padaku, mengapa tak kujadikan saja kehendak mereka itu?" akhirnya ia tiba pada kesimpulan seperti itu.

Seketika bersuitlah ia dengan nyaring, lalu enjot tubuhnya keatas. Tutukan kipas Tok-ko U menemui tempat kosong. Justeru pada saat itu Tok-ko Ingpun menusuk dengan jurus ki-hwe-liau-thian atau mengangkat obor membakar langit. Dengan tangkasnya Khik Sia segera gunakan dua jari untuk menutuk dan kali ini tutukannya itu tepat sekali. Tiing, pedang sidara menjadi melengkung kesamping dan tepat membentur kipas engkohnya. Dalam saat kedua kakak beradik itu terkesiap kaget, Khik Sia sudah melayang melampaui pagar tembok. Yang terdengar hanya suara suitan nyaring seperti membelah angkasa. Pada lain kejab suitan itu sudah beberapa li jauhnya.

Wajah kedua saudara Tok-ko itu berobah. Kata Tok-ko U: "Kepandaian orang itu tinggi dan ginkangnya lihay sekali. Jarang sekali terdapat jago muda seperti dia. Tapi mengapa ia mendadak pergi?"

"Lebih baik biarkan ia pergi saja. Su toako apakah kau tak terluka?', kata Tok-ko Ing yang selalu memperhatikan keadaan Yak Bwe.

Yak Bwe ternyata tegak membisu seperti patung. Setelah sidara mengulangi lagi pertanyaannya, barulah ia mendengar dan menyahut kalau ia tak kena apa-apa. Sebenarnya Yak Bwe saat itupun menyesal dalam bati. Khik Sia ia gebah pergi dengan semena-menanya. Dengan berbuat begitu, ia sudah puas menumpahkan kemarahannya. Tapi setelah itu, kini ia jadi getun sendiri.

Bagi Tok-ko Ing, sikap Yak Bwe itu diartikan lain. Ia mengira kalau 'pemuda gadungan' itu tentu terbeliak kaget mengetahui kepandaian sipenjahat yang begitu lihay.

"Rupanya orang itu adalah dari golongan Gong-gong-ji. Setiap kali Gong-gong-ji gagal menyerang, ia tentu tinggalkan sasarannya dan tak mau kembali lagi," kata Tok-ko U.

"Mudah-mudahan saja ia tak balik lagi!" kata Tok-ko Ing.

Memang pada waktu bertempur tadi kedua saudara Tok-ko itu tak kenal takut. Tapi kini demi membayangkan kelihayan 'sipenjahat' diam2 mereka menjadi gelisah. Ya, kalau Khik Sia sampai kembali, bagaimanakah mereka hendak menghadapi. Demikian bayang2 kecemasan yang meliputi perasaan kedua kakak beradik itu.

"Su toako, apakah kau sudah pergi ke Tiang An?" tiba-tiba Tok-ko U bertanya. "Waktu kecil aku pernah kesana. Mengapa?" sahut Yak Bwe.

"Kami belum pernah pergi kesana. Cio Siang akan menyelenggarakan sebuah pertemuan besar dari orang gagah dikota Tiang An. Ayuh besok pagi kita bersama-sama kesana?" kata To-ko U.

"Hm, koko." Tok-ko Ing mendengus, "bukankah kau sebenarnya tak berhasrat pergi ke sana? Mengapa sekarang berobah haluan?"

Dalam pada itu sidara merasa heran sendiri mengapa mendadak sontak engkohnya berpikiran demikian. Hal yang penting ( urusan Tok-ko Ing dengan Yak Bwe ) tak dibicarakan, sebaliknya memikirkan urusan lain.

Tok-ko U melirik sekejap pada adiknya, katanya dengan tertawa. "Moay-moay, apakah kau tak kepingin ikut pergi? Tujuanku inipun untukmu juga!"

Tok-ko Ing yang cerdas segera mengerti kemana jatuhnya perkataan engkohnya itu. sahutnya: "Benar, memang itu sebuah pertemuan besar yang jarang terjadi. Tak usah turut, cukup ikut melihat saja juga dapat menambah pengalaman kita. Su toako. jangan kuatir. Cin Siang pernah menjanjikan, asal jangan bikin onar didalam kota Tiang An, siapa saja dan bagaimanapun perbuatannya yang lalu, ia tak akan menarik panjang. Seorang tokoh Seperti Cin Siang, apa yang ia janjikan tentu takkan dingkarinya."

"Jika Su toako masih kuatir, aku mempunyai pil ih-yong-tan (merobah air muka). Pil itu dapat merobah air muka. Dengan begitu dapatlah Su toako leluasa kesana Hanya sayangku kudamu itu sudah tak dapat dinaiki lagi. Didalam kota Tiang An, aku mempunyai beberapa orang kenalan yang dapat menyambut kedatangan kita. Tapi aku belum pernah ke Tiang An, jadi nanti akan minta tolong Su toako menunjukkan jalan," kata Tok-ko U. Waktu Yak Bwe tetap tak mau bicara, mata Tok-ko Ing berkeliaran. Ia tertawa: "Takutkah Su toako untuk menyerempet sedikit bahaya? Kalau memangnya kuatir tak apalah tak jadi pergi ke Tiang An, Aku mempunyai seorang kohkoh (bibi) yang tinggal dikota Hong Siang daerah Liong Se. Pamanku itu ialah tokoh kangouw yang ternama yakni Tong Pi Sin Kun Ko Tay Hau. Sudah beberapa tahun aku tak berjumpa dengan kohkoh itu. Bagaimana kalau kita pergi kesana saja? Disana alam pemandangan indah permai. Jika Su toako tak berhasrat untuk mengikat persahabatan dengan orang2 gagah, baiklah kita pesiar kesana."

Sebenarnya enggan rasa hati Yak Bwe. Ia heran mengapa kedua saudara itu begitu memperhatikan sekali pada dirinya. Tiba-tiba ia tersadar. Sahutnya: "Terima kasih atas kebaikan budi kalian berdua. Tetapi lebih baik kalian jangan tinggalkan rumah. Aku seorang diri berkelana, tak jadi soal. Jika orang tadi (Khik Sia) hendak membikin perhitungan, ia tentu mencari aku, tak nanti mencari perkara pada kalian."

Dugaan Yak Bwe itu memang kena. Kiranya kedua saudara Tok-ko itu tetap akan meresahkan buntut dari peristiwa  malam itu. Orang yang datang tadi keliwat lihay, mereka merasa bukan lawannya. Betul mereka percaya kalau orang itu takkan datang lagi, tapi mereka tak berani memastikan  seratus persen. Ini disebabkan karena mereka tak mengetahui sama sekali bahwa orang lihay itu sebenarnya adalah Toan Khik Sia dan Toan Khik Sia itu bakal suami dari Yak Bwe sendiri. Mereka kira Khik Sia itu tentu salah seorang jago kelas satu dari istana. Demi untuk menjaga keselamatan Yak Bwe dan melindungi juga jiwa mereka, kedua saudara Tok-ko itu hendak menyingkir untuk sementata waktu. Dikota Tiang An mereka mem ....

--------------------------------------------------------------------

ada Hal yang hilang :( --------------------------------------------------------------------

Kamar yang dipakai Yak Bwe itu, adalah kamar tulis dari Tok-ko Ing: Disitu alat-alat tulis serba lengkap. Setelah bolak- balik memikir, akhirnya ia memuluskan untuk menulis surat dan kemudian tinggalkan rumah itu. Tapi ternyata tak mudah untuk menarikan pit-nya. Beberapa kali, ia terpaksa harus mengganti kertas. Setelah setengah harian, kemudian barulah ia dapat menyelesaikan surat itu. Tapi ketika dibacanya sekali lagi, ia masih belum puas. Isinya masih belum dapat mencangkum kehendak hatinya.

Bermula ia hendak memaparkan keadaan dirinya yang sebenarnya agar Tok-ko Ing jangan sampai berlarut-larut jatuh hati. Tapi lain saat ia berpikir lagi: "Entah bagaimanakah hubunganku dengan Toan Khik Sia besoknya itu. Jika tejadi suatu perobahan sehingga perjodohan kita itu sampai batal, bukankah akan menjadi buah tertawaan orang? Ah, tak boleh kutulis bahwa aku akan pergi untuk mencari bakal suamiku itu.... Tapi jika menyebut-nyebut hal itu, apakah yang hendak kutulis? Apakah hanya menyebut kalau diriku ini seorang gadis saja? Ah, itu juga kurang sempurna. Jika Tok ko Ing nanti akan melamar aku untuk engkohnya. Bagaimana aku harus menghadapinya?"

Akhirnya Yak Bwe memaparkan tiga buah hal dalam suratnya itu. Pertama, menyatakan terima kasih kepada kedua saudara Tok-ko itu-Kedua, ia menyatakan tak mau merembet- rembet kedua saudara itu. Kemudian yang ketiga ialah menenteramkan hati mereka, Ia menjamin, seperginya dari rumah itu, tentu rumah saudara Tok-ko itu tak akan kedatangan musuh. Dan akhirnya ia memberikan isyarat kepada Tok-ko Ing dengan kata-kata yang tegas: "maaf tak dapat menerima kasih, dikemudian hari tentu mengetahui". Demikianlah ia menyudahi suratnya. Mendongak kemuka, ia lihat diluar jendela cuaca masih gelap remang. Sebenarnya berat juga Yak Bwe akan isi suratnya itu, tapi apa boleh buat.

"Lebih baik Tok-ko U memaki aku sebagai sahabat culas dan Tok-ko Ing mencaci aku sebagai manusia yang buta cinta, aku menerimanya. Kuberdoa semoga kita diberkahi Allah, agar aku selekasnya dapat berjumpa dengan Khik Sia dan menyelesaikan salah faham ini, kemudian dapatlah aku kembali kesini untuk menghaturkan terima kasih dan meminta maaf kepada kedua saudara Tok-ko. Pada waktu itu mereka tentu takkan mempersalahkan aku!" pikirnya.

Setelah mengambil ketetapan, ia segera letakkan surat itu diatas meja tulis, dan setelah membuka jendela ia loncat keluar. Untung karena semalam lelah bertempur dengan Khik Sia, Tok-ko U tidur dengan pulasnya. Jadi sedikitpun Yak Bwe tak mengalami gangguan.

Sewaktu melalui kamar Tok-ko Ing, tiba-tiba didengarnya dara itu berteriak memanggil 'Su toako', Kejut Yak Bwe bukan kepalang. Buru-buru ia tahan napas. Tapi selang beberapa saat tak kedengaran dara itu bersuara apa-apa lagi. Kini ia baru sadar bahwa dara itu kiranya sedang mengigau. Diam- diam ia geli,

"Dalam tidurnya ia tetap teringat padaku. Sebaliknya aku sendiri pun sedang memikirkan lain orang."

Teringat sampai disitu, hatinya menjadi tawar. Ia memaki dirinya sendiri keliwat katak. Dahulu Toan Khik Sialah yang jerih payah mencarinya, tetapi kini menjadi sebaliknya ialah yang memburu Khik Sia. Bagi Khik Sia dulu mudahlah untuk mencarinya, tapi sekarang ia sukar untuk mencari pemuda itu.

Memapg demikianlah jalannya kisah kasih kedua muda- mudi itu. Mereka harus mengalami cobaan derita yang berbelit-belit. Kini marilah kita ikuti perjalanan Khik Sia. Anak muda itu, pergi dengan hati yang tak karuan rasanya. Ia lanjutkan perjalanan tanpa arah tujuan lagi, asal sang kaki dapat membawanya saja. Tahu-tahu haripun terang tanah. Ketika melihat paoa sebuah papan jalanan, ternyata kini ia sudah tiba dikota Lu-liong tin yang terletak ditapal batas residensi Pak- koan. Kiranya dalam sejam saja, ia sudah lari sejauh dua ratusan li. Karena lari sekian jauh itu, kesesakan dadanya pun agak longgar dan kegelisahanpun reda. Sebagai gantinya kini perutnya terasa minta diisi. Untung ditepi jalan situ terdapat sebuah warung arak yang kebetulan sudah mulai buka pintunya.

Warung arak itu tentunya diperuntukan orang-orang yang kebetulan melalui situ. Tapi pada saat hari baru mulai terang tanah itu, masakan ada orang yang datang? Mestinya warung arak itu tak perlu sepagi itu buka. Diam-diam Khik Sia merasa heran. Tapi karena perutnya meronta-ronta, iapun tak banyak pikir lagi terus menghampiri.

Didalam warung itu terdapat sepasang laki perempuan setengah umur dan seorang anak perempuan berusia sepuluhan tahun lebih. Rupanya mereka itu suami isteri dan seorang anaknya. Begitu tampak Khik Sia melangkah masuk, anak perempuan itu cepat berteriak: "Yah, tuan besar pengemis datang!"

Ayahnya melihat juga akan kedatangan Khik Sia itu. Benar pakaian anak muda itu penuh debu tapi tidak compang camping. Heran juga dibuatnya orang lelaki itu.

"Hus, jangan omong sembarangan!" bentaknya kepada sibocah perempuan, "harap tuan jangan taruh dihatilah. Selamat pagi tuan."

Ternyata warung itu hanya mempunyai sebuah ruangan tetamu. Ruangan dalam diperuntukan kamar tidur. Dapurnya terletak disudut ruangan. Bahwa warung itu amat sederhana dan jelek, itu tak mengherankan. Tapi yang mengherankan diatas meja dapur tertumpuk belasan ekor ayam gemuk yang sudah dibului bersih, sedang dilantai tertumpuk bergumpal- gumpal tanah liat dan daun teratai. Sedang tungku dapur api tengah menyala. Biasanya warung ditepi jalan itu tak banyak dagangannya. Setempo tak sedia ikan atau daging. Maka anehlah kalau warung sekecil itu mempunyai persediaan ikan yang sedemikian banyaknya.

Tapi karena laparnya. Khik Sia tak berbanyak tanya lagi. Begitu duduk ia segera berseru: "Bagus, bagus! Berikan aku seekor ayam dan dua kati arak!"

Wajah pemilik warung itu berobah meringis, Ia memberi hormat dan berkata dengan terbata-bata: "Tuan persediaan ayam disini semuanya hendak dibuat kiau-hoa-ke!"

Khik Sia kerutkan alisnya: "Membuat kiau hoa-ke makan waktu terlalu lama, aku tidak mau menunggu. buatkan aku pik-kiap-ke sajalah!" Diam-diam Khik Sia heran mengapa pemilik warung itu hendak membuat masakan kiau-hoa-ke (ayam pengemis).

Pemilik warung itu paksakan tertawa: "Aku belum menerangkan jelas. Ayam2 itu sudah di pesan orang lain, tak boleh dijual."

Khik Sia makin keheranan. Warung begitu hanyalah melayani orang-orang jalan yang setiap harinya tentu ganti- berganti. Mengapa ada orang yang pesan makanan disitu. Apalagi mereka pesan masakan kiau-hoa-ke? Bukankah hal itu aneh? Tapi Khik Sia sedang resah. Ia tak punya tempo untuk bertanya ini itu lagi. Seketika ia kerutkan alisnya dan berkata. "Sekarang masih pagi sekali, kau toh beli lagi beberapa ekor ayam. Ayam yang sudah siap dimasak itu toh tak mengapa kalau diberikan seekor saja, bukan?"

Pemilik warung itu tertawa: "Ah, tuan tak tahu. Semua ayam2 didesa ini sudah diborong oleh restoran dikota dan warung2 dipinggir jalan. Aku yang sudah berusaha untuk membeli hanya dapat belasan ekor saja. Kukuatirkan tak mencukupi keperluanku nanti! Tuan, kupercaya tuan ini seorang pelajar yang bijaksana. Biarlah kuhidangkan tuan sekati daging kerbau!"

Karena laparnya. Khik Sia tak ambil pusing: "Baiklah, lekas berikan aku sekati daging kerbau!"

Sewaktu menghirup arak, tetap ia masih heran akan kejadian tadi. Tak dapat ia menahan keinginannya bertanya lagi "Turut keterangan-mu radi, rupanya nanti bakal ada rombongan besar tetamu yang datang kemari, ya?"

Sahut sipemilik warung: "Jumlahnya sih tak banyak, tapi, tapi tuan yang terhormat. "

Berkata sampai disini, isterinya tiba2 berseru: "Ai. kui-khek (tetamu terhormat) sudah datang!"

Diam-diam Khik Sia ingin tahu juga siapakah yang dikatakan sebagai tetamu yang terhormat itu. Ketika mendongak kemuka, dilihatnya ada tiga orang lelaki melangkah masuk. Kiranya yang dijunjung-junjung sebagai kui-khek itu hanyalah tiga orang pengemis yang pakaiannya penuh dengan tambalan.

Anehnya sipemilik warung begitu menghormat sekali melayani ketiga pengemis itu. Ujarnya: "Selamat pagi ketiga toaya! Yang matang baru ada dua ekor ayam, tetapi tak ada sayuran yang baik, harap toaya bertiga sudi memaafkan."

Ketiga pengemis itu melirik kearah Khik Sia sebentar. Mereka agak keheranan: "Mengapa budak kecil itu begini pagi sudah nongkrong disini?" Tapi karena dilihatnya Khik Sia masih begitu muda, mereka tak memandang mata.

Pun Khik Sia juga memandang kearah mereka. Cepat ia mengetahui bahwa mereka itu ahli silat semua dan bukan pengemis sembarangan. Mereka sama memanggul apa yang disebut hoa-cong (kantong pengemis) dibahunya, tapi warnanya berlainan. Sipengemis tua memanggul kantong dari kain merah, yang dihias dengan tiga buah bundelan. Sementara kedua pengemis yang agak mudaan, masing- masing menggamblok kain kantong biru, tetapi tak ada bundelannya.

"Ah, kiranya thaubak dari Kang-pang." Kini barulah Khik Sia teringat. Kay-pang atau partai pengemis pada masa itu, mempunyai tanda pangkat dengan warna dan bundelan pada kantongnya. Yang tertinggi kedudukannya, membawa kantong kuning dengan tiga bundelan. Dibawahnya barulah kantong merah, biru hijau, putih dan hitam. Karena pengemis tua itu memanggul kantong merah dengan tiga bundelan, kedudukannya dalam partai Kay Pang juga tinggi. Peraturan dan adat kebiasaan partai2 besar didunia kangouw Thiat Mo Lek pernah menceritakan dengan jelas pada Khik Sia. Jadi tahulah Khik Sia.

Maka terdengar sipengemis tua berkata: "Orang-orang mengatakan bahwa Ma-thocu pemimpin Kay-pang dari daerah Pah-koan sini, cakap sekali kerjanya. Nyata pujian itu tak kosong. Tentulah pagi2 sekali, ia sudah perintahkan pemilik warung ini untuk menyiapkan hidangan bagi kita. Bagus, ambillah guci arak yang besar."

Yang disebut hidangan itu bukan lain adalah kiau-hoa-ke yang merupakan masakan khas kaum pengemis.

Kata salah seorang pengemis yang mudaan: "Partai kita sudah hampir sepuluhan tahun tak pernah mengadakan rapat besar. Bahwa kini rapat itu akan diadakan didaerah kediaman Ma thocu, masakan ia tak berusaha untuk memberikan service sebaik-baiknya?"

"Tapi ibarat 'permadani kecipratan noda'. Belum tentu pangcu kita akan menjadi gembira dengan hal itu!" sahut sipengemis tua. Pengemis muda itu berkata: "Tapi kita telah menempuh perjalanan siang malam. Kalau bukan dia yang mengurus, apakah kita masih di suruh mengemis rumah-rumah orang lagi?" Rupanya ia amat puas sekali dengan perlayanan yang diberikan oleh Ma thocu itu.

Kini barulah Khik Sia mengetahui bahwa partai Kay-pang hendak menyelenggarakan rapat besar didaerah Pak-koan situ. Diam-diam ia membatin: "Ah, makanya semua ayam didesa sini habis diborong. Selama ini Kay Pang terpelihara baik. Tapi tindakan Ma thocu itu, uh, sungguh membikin orang tak puas. Apakah orang-orang yang kebetulan lalu disini, takkan menggerutu?"

Teringat ia akan cerita Thiat Mo Lek tentang partai Kay- pang itu. Partai Kay Pang mempunyai tiga tianglo (tetua) yang termasyur. Mereka digelari sebagai "Kangouw Sam-ih-kay" atau tiga pengemis luar biasa didunia persilatan. Yang satu disebut: Ciu-kay atau pengemis Arak Ki Ti. Satunya lagi Hong- kay atau Pengemis gila Wi Gwat dan yang terakhir Hong hu Ko bergelar Se Gak Sin Liong atau Naga Sakti dari gunung Se Gak. Ki Ti sudah meninggal dunia. Wi Gwat tak berketentuan beradanya sedang Hong-hu Ko mengasingkan diri di gunung Hoa San. Kedua orang itu sudah tak mau mengurusi Kay Pang lagi. Yang menjadi pangcu yang sekarang ini ialah Ciu Ko, sutit dari Wi Gwat. Ia seorang jujur serta ilmu silatnyapun tinggi. Hanya sayang ia kurang waspada dan sembarangan, Itulah sebabnya banyak murid2 Kay Pang yang tak mengindahkan peraturan partai mereka.

Tiba pada pemikiran begitu, tanpa merasa Khik Sia merasa getun.

Sipengemis yang memanggul kantong hijau meneguk dua buah cawan arak yang besar, menyambar sebuah paha ayam terus diganyangnya. Ujarnya: "Mengapa kali ini lo-ya-cu memanggilnya rapat besar, apakah kau orang tua ini mengetahui sebabnya?" Sipengemis tua itupun lagi mengunyah sebuah paha ayam. Ia melirik kearah Toan Khik Sia dan berkata perlahan: "Tentang itu, aku sendiripun kurang terang... aduh, fui!" Tiba tiba ia muntahkan sekerat tulang ayam.

Toan Khik Sia hanya terpisah satu meja dengan pengemis itu. Tulang ayam itu mendesing seperti gangsingan di udara, terus melayang kearah Khik Sia.

Diam-diam Khik Sia terperanjat dalam hati. "Ha, hebat benar kepandaian pengemis tua itu. Dapat menyemburkan tulang ayam sebagai senjata rahasia!" Tapi ia pura-pura tidak tahu. Disumpitnya seiris daging kerbau, ujarnya: "Ai, lezat benar daging kerbau ini. Hai bung, tambahi lagi satu kati!"

Ketika tiba dibelakang batok kepala Khik Sia, buk, tahu- tahu tulang ayam itu jatuh ke tanah. Sipengemis tua berteriak: "Aya, celaka benar, Engkoh kecil, apakah tidak mengotori pakaianmu?"

Khik Sia menoleh kebelakang. Tampaknya ia baru saja mengetahui tentang tulang ayam itu. Buru-buru ia menyahut: "Tidak!" Habis berkata ia putar kepalanya lagi untuk lanjutkan makan dan minum.

Pengemis tua itu seperti berkata seorang diri: "Ayam ini kurang matang masaknya dan gigi pengemis tua ini tak berguna lagi, tak kuat menggigit tulang, terpaksa memuntahkannya."

Kiranya pengemis itu memang sengaja muntahkan tulang untuk menguji Toan Khik Sia. Tulang itu diincarkan kearah jalan darah thian tho-hiat dibelakang kepala sianak muda. Jalan darah itu merupakan jalan darah maut pada tubuh manusia. Jika Khik Sia mengerti ilmu silat, pasti akan cepat- cepat menyingkir atau menggunakan apa saja untuk menangkisnya. Tapi sama di lihatnya Khik Sia tenang-tenang saja seperti tak mengetahui, diam diam pengemis itu menjadi girang, Pikirnya, anak muda itu ternyata tak mengerti ilmu silat.

Itulah dugaan sipengemis tua sendiri. Padahal sebenarnya telinga Toan Khik Sia mendengar juga akan desing tulang ayam itu. Diam-diam. ia sudah memperhitungkan bahwa tulang ayam itu tak nanti mengenai jalan darah thian-tho hi it, sungguh-sungguh. Tapi ia pun juga sudah siap sedia. Apabila tulang itu sampai mengenai kepalanya, ia dapat menyumpitnya dengan sumpit,

Setelah mengetahui hasil ujiannya kepada Khik Sia, kecurigaannya sipengemis tua banyak berkurang. Tapi sekalipun begitu, ia tak mau membocorkan rahasianya, maka pembicaraannya pun dilakukan dalam bahasa kangouw katanya: "Partai kita sudah hampir sepuluh tahun tak pernah mengadakan rapat. Maka rapat kali ini sudah tentu luar biasa. Kabarnya menyangkut suatu masalah penting mengenai jaya atau runtuhnya partai kita. Dalam hal itu pangcu sendiri juga tak dapat mengambil keputusan."

"Masalah apakah itu?" tanya sipengemis muda.

Dengan menghindar, pengemis tua memberi penjelasan : "Aku sendiripun tak tahu jelas. Toh nanti kau bakal mengetahui sendiri, perlu apa kau begitu bernapsu ingin tahu."

"Kabarnya akan menghadapi seorang lawan yang kuat, benarkah?" tanya sipengemis muda yang bertanya lagi.

Tiba-tiba wajah sipengemis tua berobah keren, bentaknya: "Kalau toh sudah tahu musuh itu teramat kuat, mengapa kau sembarangan mengomongkan?"

Sebenarnya pengemis muda itu penasaran. Tapi dikarenakan pengemis tua itu kedudukannya lebih tinggi tiga tingkat, jadi ia tak berani membantah. Ia hanya menggerutu dalam hati: "Dalam warung ini kan hanya seorang anak muda yang tak mengerti ilmu silat. Pemilik warung juga bukan orang kangouw. Mengapa kau ketakutan setengah mati?"

Toan Khik Sia belum lama keluar didunia persilatan. Ia tak mengerti akan bahasa orang kaugouw. Tapi apa yang dibicarakan oleh ketiga pengemis itu. ia dapat mengerti enam- tujuh bagian. Diam-diam terkejut. dalam hati, pikirnya: "Kay- pang adalah partai nomor satu di kangouw. Siapakah yang berani bermusuhan dengan mereka? Mengapa Kay-pang sampai perlu mengadakan rapat besar untuk menghadapi orang itu?"

Dalam pembicaraan selanjutnya, ketiga pengemis itu hanya membicarakan tentang urusan partai mereka. Khik Sia tak dapat menangkap jelas. Dengan susah payah ia coba berusaha untuk mencuri dengar pembicaraan mereka itu. tapi karena amat susah, hatinyapun menjadi tawar. Pikirnya: "Kedua locianpwe dari Kay-pang itu adalah sahabat baik dari almarhum ayahku. Kay Pang juga baik sekali hubungannya dengan Kim-ke-nia. Jika benar mereka bertemu dengan musuh tangguh, mana boleh aku hanya berpeluk tangan saja?"

Tapi pada lain saat ia mempunyai pikiran lain: "Tokoh2 lihay dari Kay Pang, banyak sekali jumlahnya. Merekapun tak mengeluarkan surat undangan untuk minta bantuan. Jika aku sampai lancang membantu, jangan2 menimbulkan salah faham dikira aku memandang rendah mereka Ah, urusanku

sendiri belum beres, mengapa mesti urusi lain orang? Ai, sekarang sudah terang kalau hubunganku dengan Yak Bwe putus, bagaimana aku harus mempertanggung jawabkan kepada Thiat toako nanti?"

Teringat akan Thiat Mo Lek, ia pun teringar akan sebuah urusan antara Toakonya dengan fihak Kay Pang. Hal itu bersangkutan dengan rapat besar orang gagah digunung Kim- ke-nia bulan yang lalu itu. Rapat di Kim-ke-nia itu yang terutama adalah bertujuan untuk memilih seorang Lok Lim Beng-cu. Yang diundang sebagian besar ialah tokoh-tokoh Loklim. Kay Pang bukan golongan loklim, seharusnya berdiri diluar garis. Hanya saja karena Kay Pang itu sebuah partai besar didunia kangouw, jadi sedikit banyak mereka itu mempunyai pergaulan dengan tokoh-tokoh loklim. Terutama dengan Thiat Mo Lek, mereka itu mempunyai hubungan yang intim sekali.

Oleh sebab itu, penyelengara dari rapat orang gagah itu, siang siang sudah mengirimkan surat undangan kepada fihak Kay Pang. Malah fihak Kay Pang yang terdiri dari Ciu pangcu dan belasan anak buahnya yang termuka, diangkat menjadi fihak ketiga yakni sebagai juri. Jika ada perselisihan, fihak Kay Pang lah yang diberi hak untuk memutuskan. Undangan itu sebagai bukti bagai mana orang-orang loklim menaruh perindahan kapada partai Kay Pang.

Tapi dalam pembukaan rapat, ternyata bukan saja Ciu pangcu pun keempat Tay Tay tianglo dan kedelapan Hiangcu mereka, sama tak datang semua. Menilik hubungan dunia lok lim dengan Kay Pang, apalagi pergaulan antara Ciu pangcu dengan Shin Thian-hiong dkk. itu, taruh kata Ciu pangcu tak sempat datang, seharusnya mengirimkan wakilnya. Tapi kenyataannya tiada seorang anak buah Kay Pang pun yang muncul!

Hal itu mengherankan semua tokoh2 loklim. Sebenarnya Thiat Mo Lek hendak mengirimkan orang untuk menanyakan kepada fihak Kay Pang, tapi sudah keburu disergap oleh tentara negeri. Kini semua tokoh-tokoh loklim yang ber kumpul di Kim-ke-nia itu sudah tercerai berai, Thiat Mo Lek dan Bo Se Kiat menghadapi bermacam2 urusan. Satelah urusan itu beres, barulah mereka meminta penjelasan kepada fihak Kay Pang.

Teringat akan hal itu, timbullah gagasan pada Khik Sia: "Thiat dan Bo kedua toako itu justeru hendak mengetahui berita dari Kay Pang. Kebetulan partai itu sekarang sedang mengadakan rapat ditempat ini. Kiranya tiada jeleknya aku datang kerapat itu sebagai wakil Thiat toako."

Sejak kecil ia digembleng oleh ayah dan suhunya, jadi rasa keperwiraan dan kejantanannya merasuk kedalam tulang sumsumnya, Begitulah setelah ketiga pengemis itu pergi, Khik Siapun berbangkit dan membayar rekeningnya. Pemilik warung menghaturkan maaf: "Tuan, Maafkan. Karena hari ini aku sibuk melayani para Hoa cu-toi-ya (tuan pengemis) yang sedang rapat disitu, maka sampai tak dapat melayani kau dengan baik."

"Ah, tak apalah. Berapa rekeningnya?" sahut Khik Sia.  "Satu kati daging kerbau dua kati arak, semua tujuh chi

lima hun perak," kata sipemilik warung.

Sewaktu Khik Sia hendak mengambil uang, matanya tertumbuk akan sebuah karung yang menggeletak dilantai. Karung itu, karung beras, isinya sepuluh kati. Kiranya pedagang beras didaerah situ, kebanyakan suka meninggalkan barang2nya kepada rumah tangga. Mereka sama menaruh kepercayaan. Karena pengambilan biasanya berjumlah sepuluh kati, maka fihak pedagangpun sebelumnya sudah menyediakan setiap karung yang berisi sepuluh kati beras. Ini adalah untuk memudahkan pekerjaan.

-od0o-ow0o-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar