Pasangan Naga dan Burung Hong Jilid 08

Jilid VIII

WAKTU Yak Bwe tak mau mengatakan namanya itu, diam- diam An Ting wan menduga kalau Yak Bwe itu tentu seorang thaubak baru yang menduduki tempat penting dalam kalangan Kim ke nia. Dengan anggapan itu, An Ting wan ambil putusan tak mau memberi ampun lagi. Begitulah ia segera mainkan tombaknya dengan gencar. Pertempuran telah berjalan dengan seru.

Melihat bahwa An Ting wan sebagai jenderal hanya bertempur melawan seorang penyamun kecil, anak buah Gi lim kun itu tak mau bantu. Mereka hanya berjajar jajar melingkari gelanggang.

An Ting-wan menggunakan senjata tombak yang panjangnya kira2 satu tombak (i.k. 3 meter). Diatas kuda memang amat dahsyat sekali perbawanya. Tapi begitu bertempur ditanah, pedang Yak Bwe lebih tangkas geraknya. Dengan mengandalkan kelincahannya, Yak Bwe kembangkan permainan pedangnya dengan pennh semangat hingga akhirnya ia sedikit lebih menang angin.

Berulang-ulang An Ting-wan menyerang dengan hebat, namun ujung baju lawan saja ia tak mampu menyentuhnya. Akhirnya ia berganti siasat, dari menyerang menjadi bertahan. Karena tombaknya itu merupakan senjata berat, maka waktu dimainkan senjata itu menerbitkan angin yang menderu-deru, gencarnya sampai airpun tak dapat menetes masuk.

Yak Bwe tak berani adu kekerasan. Ia gunakan siasat berlincahan kian kemari, sewaktu mencuri kesempatan uutuk menusuk. Tapi bagai manapun ia kalau tenaga dengan lawan. Apa lagi ia baru saja habis bertempur.

Semula memang menang angin, tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, perlahan-lahan tenaganya mulai berkurang, keringatnya mengucur dengan deras. Tetapi untungnya pasukan Gi-lim-kun itu tak mengetahui tentang perobahan situasi itu. Sebaliknya mereka malah merasa kagum dan heran, an Ting Wan adalah ko-chiu nomor lima dari pasukan Gi-lim kun. Bermula anak buah Gi-lim kun itu menduga, dalam dua tiga jurus saja, An Ting wan tentu sudah dapat membekuk lawan itu. Maka betapalah heran dan kaget mereka demi sampai puluhan jurus keroco itu masih tetap dapat balas menyerang.

"An towi, kita masih harus lekas2 mencari penginapan. Tak usah harus menangkapnya hidup-hidup!" teriak seorang opsir.

An Ting-wan mendongak. Dilihatnya hari sudah lewat tengah hari. Diam-diam berpikir: "Sebentar lagi ia tentu sudah kehabisan tenaga dan mudah untuk menawannya hidup- hidupan. Tapi paling sedikit masih harus menggunakan waktu setengah jam ini tentu membikin kapiran lain-lain urusan."

Opsir yang berteriak tadi adalah seorang sin cian-chiu atau akhli panah dalam pasukan Gi lim-kun. Dengan seruannya tadi sebenarnya ia secara diam-diam hendak bertanya, apakah An Ting Wan memerlukan tenaganya untuk melepas panah atau tidak?

An Ting Wan mengerti juga isyarat itu. Cepat ia putar tombaknya untuk mengurung Yak Bwe, lalu berseru: "Baiklah, tapi sedapat mungkin bidik saja bagian tubuh yang tak berbahaya. Tapi kalau sampai mati, ya biarlah."

Yak Bwe tetap berlincahan kian-kemari dengan tangkasnya, jadi tak mungkin orang akan dapat memanahnya dengan memilih bagian-bagian yang tak berbahaya. Tapi karena sang Jenderal sudah menghendaki supaya dapat menangkap hidup, maka opsir itupun sengaja hendak mempamerkan kepandaian dihadapan sang atasan. Akhirnya ia mendapat akal bagus. Wut, ia lepaskan sebatang anak panah disisi kanan Yak Bwe. Menyusul ia lepaskan lagi sebatang disisi kirinya. Kedua batang itu sengaja di layangkan hanya beberapa dim dari sisi tubuh Yak Bwe. Kemudian lepaskan lagi anak panah yang ketiga, tapi hanya pura-pura saja karena tali busur saja yang ditarik tapi tak ada anak panahnya.

Yak Bwe mahir juga dalam ilmu melepas senjata rahasia lian-cucian-hwat. Biasanya ilmu lian-cu-cian-hwat itu dilepaskan tiga kali beruntun-untun diarahkan disisi kanan, kiri dan tengah. Tadi karena bergeliatan menghindari anak panah yang pertama dan kedua, posisi tubuhnya berada ditempat yang sudah diduga oleh musuh. Waktu didengarnya lawan menggetarkan tali busurnya ia yakin tentu akan mengarah bagian tengah. Dan untuk itu, ia harus menghindari dengan meloncat keudara.

Tapi dengan cerdiknya siopsir sudah mendahului lepaskan anak panahnya setinggi satu meter keudara. Dengan begitu gerak loncatan dari Yak Bwe tadi berarti 'anjing cari gebuk'. Cret, lengannya termakan panah, darah mengucur deras,

"Menilik kau juga seorang jantan, aku tak mau mengambil jiwamu. Lekas buang senjatamu dan menyerah saja!" buru- buru An Ting Wan menyerukan.

Yak Bwe kertak gigi dan menyahut getas: "Jantan dari Kim- ke-nia tak kenal kata-kata menyerah!"

Karena gusar mendapat hinaan tadi, Yak Bwe nekad hendak mengadu jiwa. Ia kuatkan diri menangkis tombak An Ting Wan, Tapi setelah terluka itu, tenaganya makin lemah, sudah tentu ia tak dapat menangkis dengan jitu. Segera ia rasakan lengannya linu, mata berkunang kunang dan kakinya lemas. Hampir saja ia tak mampu menahan lepasnya sang pedang. Dalam keadaan begitu, asal An Ting Wan memberi tekanan lagi, pedang Yak Bwe pasti terlepas jatuh.

Dalam keadaan yang berbahaya itu, sekonyong-konyong terdengar suara benda mendesing. Sebatang paser melayang, bukan kearah Yak Bwe melainkan menuju kepada An Ting Wan. An Ting Wan terbeliak kaget, pikirnya: "Ha, mengapa anak panah dari Hwe Poh Hu bisa nyasar." Baru ia menghindar, panah yang kedua dan ketiga susul menyusul menyambarnya. Apa boleh buat, terpaksa An Ting Wan lepaskan Yak Bwe. Ia putar tombaknya untuk menangkis paser lian-cu-cian itu. Setelah itu barulah ia mengetahui bahwa yang melepas lian-cu-cian itu ternyata bukan siopsir tadi melainkan orang lain lagi.

Tiba-tiba dari hutan pohon siong yang terle tak ditepi jalan, menerobos seekor kuda tegar. Penunggangnya mengenakan kerudung muka. Begitu keluar ia timpukkan dua buah lian-cu cian. Walaupun hanya dengan tangan, tapi panah itu tak kalah dahsyatnya daripada dilepaskan dari busurnya. Selain keras timpukannya, juga arahnya amat jitu. Untuk melindungi diri, An Ting Wan putar tombaknya gencar sekali. Namun sekalipun begitu, tak urung ia tetap terkena sebatang panah. Kebetulan sekali mengenai lengannya juga, darah mengucur deras, Yak Bwe mempunyai kawan sependeritaan.

Setelah mengetahui An Ting Wan terluka, orang berkerudung itu tak mau mencecernya lagi. Kini ia beralih sasaran. Tujuh delapan batang anak panah ditimpukan kearah pasukan berkuda Gi lim kun. Setiap batang tentu membawa korban seekor kuda. Karena terluka, kuda pasukan Gilimkun itu menjadi binal dan mencongklang lari. Yak Bwe menjadi, terlepas dari kepungan anak buah Gi-lim-kun.

Pemimpin regu panah dari Gi lim-kun menjadi murka, serunya: ”Bangsat, jangan kurang ajar! Terimalah panahku!"

Tapi baru saja ia bidikan sebuah anak panah lawanpun melepaskan sebuah paser untuk membantunya. Ternyata orang berkerudung muka itu lebih tangkas dari  opsir pemimpin regu panah. Siopsir coba akan mengembangkan ilmu bidikan yang disebut lian-cu-cimi-hwat. Tapi baru ia menarik busurnya, terdengarlah bunyi berkeretakan. Sebuah paser dari seorang berkerudung itu tepat sekali telah menghantam bagian tengah dari busur sampai patah. Dan lebih celaka lagi, siorang berkerudung sudah susuli pasernya yang kedua yang dengan jitu telah mengenai paha siopsir. Kontan-opsir itu terjungkal.

"Su-heng. lekas lari!" teriak orang berkerudung itu.

Melihat kejadian itu, marah An Ting Wan bukan kepalang. Begitu tombak dipindah ketangan kiri, ia lantas menerjang. Tetapi dengan menahan rasa sakit. Yak Bwe sudah loncat kepunggung kuda siopsir. Karena anak buah Gi-lim-tun yang masih belum terluka, hanya enam tujuh orang saja, sudah tentu tak mampu menahan Yak Bwe. Sekejap saja Yak Bwe sudah larikan kudanya ikut seorang berkerudung masuk kedalam hutan.

Karena jeri akan kesaktian ilmu permainan paser dari simuka berkerudung dan kuatir kalau didalam hutan bersembunyi barisan musuh terpaksa An Ting Wan menggigit jari saja. Setelah mengumpulkan sisa anak buahnya, iapun lantas meneruskan perjalanan lagi.

Selama membawa Yak Bwe menyusup hutan dan kemudian berjalan disebuah jalan terpencil, orang berkerudung itu tak mengatakan sepatah katapun juga. Waktu menengok kebelakang legalah perasaan Yak Bwe karena musuh tak mengejar. Tapi berbareng saat itu, luka di lengannya terasa sakit sekali sampai ia mengucurkan keringat dingin. Hampir2 saja ia tidak kuat bertahan diri duduk diatas pelana kuda.

Ia tahan sakit dan hendak cabut panah yang tertancap dilengannya itu, tapi keburu dicegah oleh simuka berkerudung "Jangan, jangan!"

Mereka hentikan kudanya dan tiba-tiba orang itu tertawa gelak: "Suheng, sungguh tak nyana kita bakal berjumpa lagi."

"Bret" terus di cabutnya kain kerudung yang menutupi mukanya itu.

"Hai, kiranya kau!" teriak Yak Bwe dengan kaget. Kiranya siorang berkerudung itu bukan lain ialah pemuda pelajar yang belum lama berpisah dengan Yak Bwe, yaitu Tok- ko U.

"Aku tak tahu sama sekali kalau Suheng ini juga salah seorang kesatria Kim-ke-nia. Maaf tadi aku telah berlaku tak menghormat," kata Tok-ko U.

Dengan gunakan bahasa Kangouw yang baru dipelajari bertanyalah Yak Bwe: "Dari golongan manakah saudara ini?"

Tok-ko U tertawa gelak-gelak, sahutnya: "Aku sebenarnya bukan orang loklim tetapi aku gemar bersahabat dengan kaum enghiong hokiat. Siapakah orangnya yang tak kenal pada Thiat Mo Lek pemimpin Kim ke nia itu? Sungguh  sayang sekali, sampai sekarang aku belum mempunyai rejeki untuk berjumpa. Kabarnya tentara negeri telah mengadakan serbuan besar2an kegunung Kim ke nia, bagaimanakah dengan Thiat Mo Lek?"

Karena dirinya dianggap seorang hohan (orang gagah) dari Kim ke nia, Yak Bwe membiarkannnya saja. Ia menyahut: "Thiat cecu siang2 sudah dapat meloloskan diri. Karena kepandaianku rendah maka aku tak mampu mengikuti jejak Thiat cecu dan tercecer dari barisan."

"Jangan kuatir Suheng. Jika sekiranya tak menampik, sukalah kiranya Suheng untuk sementara menetap dipondokku," kata Tok-ko

"Terima kasih tapi nanti merembet saudara!" sahut Yak Bwe.

"Dulu kita belum kenal satu sama lain. Tapi sekarang jika Suheng tetap menolak, itu berarti menghina diriku." ujar Tok- ko U.

Yak Bwe bimbang hatinya. Sesaat ia tidak dapat mengambli putusan. Pikirnya: "Rupanya ini seorang gagah budiman. Tetapi aku seorang gadis, bagaimana bisa tinggal ditempat seorang pemuda yang belum kukenal?" ,

Maka dengan ragu-ragu ia menjawab: "Kurasa lukaku ini tak apa apa," Baru ia berkata begitu lukanya itu sudah mengucurkan darah pula

Tok-ko U cepat turun dari kudanya. "Nih, aku membawa obat kim jong yok. Obatilah dulu lukamu itu, baru nanti kita sambung bicara lagi," katanya sembari menghampiri terus hendak menolong Yak Bwe turun dari kuda.

Sudah tentu Yak Bwe terperanjat sekali. Dengan menahan sakit, ia mendahului loncat sendiri.

Hampir saja ia terjerembab jatuh. Tok ko U hendak ulurkan tangan menahannya, tapi Yak Bwe cepat2 menghindar, serunya: "Tidak apa apa. Tolong berikan obatmu itu padaku, aku dapat mengobatinya sendiri."

Diam-diam Tok-ko U heran melihat sikap Yak Bwe. Masakan seorang hohan dari loklim begitu pemaluan sikapnya. Tapi segera dikejutkan dengan gerak-gerik Yak Bwe. Karena sudah hampir setengah jam lengannya tertancap panah, kucuran darah telah membasahi bajunya. Dengan tahan rasa sakit Yak Bwe merobek bajunya itu dan terus hendak mencabut anak panah.

"Jangan Suheng! Harus dicuci bersih dengan air dulu, dilumuri obat dan dibungkus kain pembalut. Paling sedikit lewat satu malam, setelah nanti darahnya berhenti mengucur baru boleh panah itu dicabut. Jika sekarang di cabut, darah tentu mengalir tak berhenti. Di kuatirkan darah itu mengandung racun. Obat ku kim jong yok ini pasti tak dapat menolong apa-apa. Diumah aku mempunyai persediaan obat- obatan yang lengkap, Besok pagi dicabut, rasanyapun masih belum terlambat," buru buru Tok-ko U mencegah.

Yak Bwe menghaturkan terima kasih lalu melumurkan kim- jong-yok pada lukanya. Tapi ia tak mempunyai pengalaman sama sekali, Jari-jarinya bergemetaran. Ketika melumpurkan obat dan kena pada tulang. saking sakitnya hampir saja ia menjerit. Keringat dingin mengucur deras.

Tok-ko U makin heran. Pikirnya: "Pekerjaannya selalu berhubungan dengan golok dan darah, tetapi mengapa mengobati luka saja tak mengerti. Sudah diperingatkan satu kali supaya jangan mencabut panah, ia masih bermaksud mencabut. Dan sampai pun cara untuk melumuri obat juga tak tahu. Sungguh mengherankan bahwa didunia loklim terdapat seorang hohan seperti dia."

Tetapi ketika melihat Yak Bwe menahan kesakitan hebat, Tok-ko U tak tega melihat saja. Dan ia bermaksud hendak membantunya melumuri obat.

Yak Bwe tengah asyik melumurkan obat sambil tundukan kepala.

Ia tak mengetahui kalau Tok-ko U sudah menghampiri kesampingnya. Pun terdorong oleh rasa kasihan tanpa bilang lebih dulu, Tok-ko U terus ulurkan tangan untuk memapahnya. Waktu tubuhnya serasa dijamah tangan orang, kejut Yak Bwe bukan kepalang. Serentak timbul juga reaksinya sebagai seorang gadis. Cepat ia mendorong dan berteriak: "Mau apa kau?" Karena gerakan itu bungkusan obat yang dipegangnya pun turut jatuh ketanah.

Tok-ko U terbeliak kaget: "Suheng, aku mau membantumu, kau ini bagaimana sih?"

Waktu tampak yang datang itu Tok-ko U, tahulah Yak Bwe akan maksudnya. Wajahnya segera berobah kemerah- merahan, ia paksakan tertawa: "Aku sudah melumurinya, terima kasih."

"Mana biar kubantu balutkan," kata Tok-ko U.

"Tak usah, tak usah, aku sendiri bisa," Yak Bwe goyangkan tangannya. Keheranan Tok-ko U makin bertambah besar, bathinnya: "Aneh benar orang ini. Dia lebih pemaluan dari seorang toa- siocia,"

Yak Bwe merobek secarik kain bajunya lalu membalut lengan kirinya yang terluka itu. Tapi ia tak mengerti caranya membalut luka. Ia malang melintangkan balutnya, hingga tak keruan bentuknya. Tok-ko U kerutkan alis. Beberapa kali ia bermaksud hendak ulurkan bantuan, tapi selalu mundur teratur karena sikap Yak Bwe yang janggal itu.

Pada jaman kerajaan Tong masa itu, masyarakat tidak terlalu terkekang dengan adat istiadat pergaulan. pergaulan antara wanita dengan pria agak bebas. Adalah karena Yak Bwe itu dibesarkan sebagai Siocia (nona) sebuah keluarga pembesar, ibu kandungnyapun berasal dari keluarga terhormat, maka watak perangainya berbeda dengap gadis kebanyakan. Terhadap pria yang belum dikenalnya, ia tak berani bergaul terlalu rapat. Justeru karena sifatnya yang berbeda dengan kaum gadis umumnya. Tok-ko U tak bercuriga kalau ia itu seorang gadis. Pada umumnya kaum wanita, terutama wanita kang ouw, sewaktu mendapat luka tentu tak menolak mendapat bantuan kaum pria. Tok-ko U anggap Yak Bwe itu seorang pemuda yang berwatak aneh saja. Diam-diam ia kurang senang tapi sungkan untuk mengatakannya.

Setelah dibalut dan beristirahat beberapa saat, tenaga Yak Bwe mulai timbul sedikit, ia paksakan diri untuk naik keatas pelana kudanya.

"Suheng, kau perlu beristirahat baik-baik. Harap jangan sungkan lagi, beristirahatlah untuk sementara hari dirumahku," kata Tok-ko U pula. Sudah tiga kali ini, ia menawarkan jasa baiknya.

sudah berkata lagi. "Sejak dari perjalanan di sini, Seterusnya dimana-mana tentu terdapat tentara negeri. Taruh kata kau mempunyai urusan penting yang harus dikerjakan, namun kiranya tak leluasa untuk melanjutkan perjalanan. Kau seorang diri dalam keadaan terluka pula. Jangankan anak tentara negeri, sedangkan setiap orangpun tentu akan mencurigai dirimu."

Yak Bwe mengakui kebenaran ucapan itu, namun ia tak dapat mengambil keputusan dengan segera. Pikirnya: "Pemuda ini rupanya seorang bangsa hiapgi (orang gagah budiman). Dalam keadaan seperti sekarang ini, apa boleh buat aku terpaksa harus memenuhi ajakannya. Rasanya orang ini tentu tak akan berbuat jahat terhadap diriku."

"Karena Tok-ko-heng begitu sungguh hati mengundang, biarlah kutebalkan muka untuk menerimanya. Ah, sungguh bikin repot kau saja dan kemungkinan juga akan merembet dirimu," akhirnya Yak Bwe menerima juga.

Jawab To-ko U: "Harap Suheng jangan cemas. Desa kediamanku itu terpencil ditempat pegunungan sunyi. Orang luar pasti tak menaruh perhatian. Hanya saja aku sedikit menguatirkan. "

"Apa yang kau kuatirkan?" tukas Yak Bwe.

"Karena menderita luka, mungkin Suheng akan susah naik kuda. Lebih baik kita boncengan saja, naiklah dikudaku ini!" kata Tok-ko U.

Jantung Yak Bwe berdebar keras, pikirnya: "Mungkinkah ia sudah mengetahui diriku lalu mengandung maksud buruk?"

Tapi demi menilik sikap pemuda itu amat sopan dan bersungguh-sungguh, ia membantah dugaannya yang tidak- tidak itu sendiri. Ia merenung sejenak lalu menyahut. "Walaupun lenganku terluka, tapi kalau kau bukan kesatria dari Kim-ke-nia, tak nanti aku mau gubris padamu?"

Sekalipun ia coba membikin gagah ucapannya, namun sikapnya tetap kurang wajar. Tok ko U menggerutu dalam hatinya: "Coba kalau kau bukan kesatria dari Kim-ke-nia tak nanti aku mau gubris padamu."

Kuatir kalau kesamplokan dengan tentara negeri. Tok-ko U mengambil sebuah jalanan kecil ditepi gunung. Jalan di itu berliku-liku, orang naik kuda sekalipun juga akan peringisan. Dengan tahan rasa sakit Yak Bwe tetap mempertahankan diri naik kuda sendiri. Untung kediaman Tok-ko U itu hanya terpisah jarak 40 an li. Tak berapa lama tibalah sudah mereka didesa kediaman Tok-ko U.

Kediaman Tok-ko U itu terletak dibawah puncak Pek-ho-nia, depan rumah ada sebuah empang teratai dan kedua tepinya dikelilingi oleh pohon-pohon liu. Atap rumah merah yang menonjol diantara hutan berwarna hijau itu, sungguh seperti pemandangan dalam sebuah lukisan.

"Alangkah indahnya tempat ini, seperti sebuah taman firdaus diluar dunia," Yak Bwe memuji.

"Ah, Suheng itu tak mirip seorang loklim tapi lebih mendekati seorang seniman." Tok-ko U tertawa. "Pujian Suheng itu lebih menggirangkan hatiku sebagai tuan rumah. Aku tentu minta Suheng untuk tinggal lebih lama disini."

Tengah mereka bicara itu, muncullah seorang dara berlari lari keluar. Masih jauh dara itu sudah berteriak: "Koko, kau sudah pulang!"

Tapi serta melihat Tok-ko U membawa seorang pemuda yang terluka lengannya, dara itu terkesiap. Tok-ko U tertawa menerangkan bahwa ia membawa seorang sahabat. Kemudian ia memperkenalkan: "Ini adalah Su Ceng-to (nama samaran yang dipakai Yak Bwe). Dan ini adalah adik perempuanku Tok- ko Ing. Su toaka ini sungguh seorang tetamu yang jarang kita jumpai, Ing-moay, tolong kau melayaninya baik2."

"Hai, Su toako, mengapa kau terluka begitu?" tanya Tok-ko Ing. Tiba tiba Tok ko U berkata: "Moay moay, tentu kau akan gembira. "

"Huh, mengapa kau malah senang melihat orang lain terluka?" Toko Ing mengomelnya.

"Bukan itu yang kumaksudkan, melainkan aku hendak menuturkan tentang riwayat Su toako. Harap kau jangan mencampur adukkan Ing moay, bukankah kau pernah mengatakan bahwa kau hanya kagum kepada tiga tokoh dalam jaman ini?" kata Tok ko U.

"Ya, benar. Yang satu Thiat Mo Lek, yang kedua Bo Se Kiat dan yang ketiga Toan Khik Sia." Kata Tok ko Ing.

"Nah, begitulah Su toako ini adalah sahabat baik dari ketiga tokoh itu. Ia adalah seorang hohan dari Kim ke nia," ujar Tokko U.

Memang hubungan Se kiat dan Khik Sia dengan Thiat Mo Lek itu sudah diketahui oleh kaum Bu lim. Oleh karena itu Walaupun Yuk Bwe tak mengatakan kalau ia kenal dengan kedua pemuda itu, namun dengan spontan (serentak) Tokko U yakin Yak Bwe tentu mengenalnya. Dan ini terang mengangkat diri Yak Bwe dimuka Tok-ko Ing.

Tertawalah Yak Bwe menyahut: "Aku hanya seorang keroco dari Kim-ke nia, mana dapat digolongkan sebagai sahabat dari ketiga tokoh itu?"

"Oh, mengertilah aku. Kabarnya beberapa hari yang lalu tentara negeri telah mengadakan sergapan ke Kim-ke-nia, Bukankah kau terlu kena panah mereka?" tanya Tok-ko Ing.

"Ah, ia barusan saja terluka itu," sahut Tok ko U. Ia lantas menceritakan tentang pertemuannya dengan Yak Bwe sewaktu sedang bertempur dengan pasukan Gi lim kun.

"Hai, koko, kau ini memang keterlaluan juga. Orang menderita luka sebaliknya kau hanya enak2 mengobrol saja. Ayuh, lekas sediakan tempat untuk Su toako," tiba-tiba Tokko Ing menyeletuk.

Memang kala itu Yak Bwe amat lelah sekali. Kedua kakinya serasa mati rasa, seolah olah seperti bukan kakinya sendiri. Ternyata gedung kediaman keluarga Tok ko itu agak terletak di atas, jadi meteka harus melalui lamping gunung yang menanjak. Ketika melihat Yak Bwe turun dari kuda dan berjalan dengan susah payah yaitu setiap berjalan selangkah tentu harus berhenti sejenak, Tok-ko Ing serentak menghampiri hendak menolong memapahnya. Sedang mulut dara itu tetap mengomel sang engkoh: "Kau sendiri tadi yang minta supaya aku melayani tetamu baik2, masakan kau sendiri tak mengerti bagaimana harus melayani orang?"

Walaupun, dalam hati Yak Bwe benci kepada Khik Sia, tapi entah bagaimana, kepada orang yang memuji sang tunangan itu, ia merasa senang sekali. Apalagi Tok-ko Ing itu seorang dara. Seketika lupalah Yak Bwe bahwa dirinya pada saat itu sedang menjadi seorang; 'pria'. Bukan hanya membiarkan saja To-ko Ing menggandeng tangannya, pun karena letihnya ia lantas menggelendot tubuh sang dara.

Tersentuh deugan hangatnya tubuh Yak Bwe dan membaui harum dari napas dan rambut Yak Bwe, seketika mendeburlah darah Tok ko Ing. Tapi ia seorang dara yang lapang dada. Didiamkannya perbuatan 'pemuda' itu, dengan wajah tenang ia tetap menggandeng tangan Yak Bwe untuk diajak masuk kedalam rumah.

Semula Tok-ko U kuatir kalau adiknya itu bakal mendapat 'kopi pahit' (sikap getas) dari Yak Bwe. Siapa tahu ternyata pemuda gadungan ini telah menunjukkan sikap yang diluar dugaannya. Pikirnya: "Kukira ia itu seorang yang amat pemaluan. Siapa tahu ia begitu mesra kepada Ing-moay. Aneh benar ini. Aku yang sekaum dengannya tapi ia sudah begitu enggan berdekatan. Sebaliknya dengan seorang yang berlainan jenis ia malah begitu mesranya. Hm, jika semalam aku belum mengetahui jelas bagaimana pribadinya tentu kusangka ia seorang pemuda hidung belang."

Ketika mendengar napas Yak Bwe tersengal sengal, Tok-ko Ing merasa kasihan, ujarnya: "Su toako, kau benar-benar seorang pemuda gagah. Meskipun terluka parah, tapi masih dapat naik kuda mendaki gunung. Koko, mari kita rawat luka Su toako ini lebih dulu kemudian biar ia mengaso dikamarmu, ya?"

Yak Bwe terkejut, buru-buru ia berkata: "Ah, jangan sampai merepoti Tok-ko-heng. Aku memang mempunyai adat aneh, yakni tak suka tidur sekamar dengan orang, melainkan senang tidur seorang diri disebuah kamar yang sunyi."

"Ah, benar-benar ia seorang yang terus terang. Biasanya seorang tetamu itu tentu menurut peraturan tuan rumah, sebaliknya ia tak sungkan mengajukan permintaan. Ah, rupanya ia tak mau membikin repot tuan rumah," pikir Tok-ko Ing

"Aku mempunyai sebuah kamar buku yarg lumayan bersihnya. Entah mencocoki tidak selera Su toako?" katanya sembari memapah Yak Bwe menuju kesebuah kamar buku.

Ternyata kamar buku itu indah dan rapi. Diatas dinding dari rak buku digantungi lukisan. Sementara pida tepi jendela dimana sebuah meja tulis, pun dijajar vas-vas bunga. Dupa wangi diperapian masih mengepulkan hawa yang harum, Berhadapan dengan lemari buku terdapat sebuah dipan yang tak berkasur, melainkan sebuah bantal saja. Rupanya dipan itu dibuat tempat Tok-ko Ing berbaring dikala ia membaca.

"Su toako, jika kau senang dengan kamar ini, biarlah kusiapkan kasur," kata dara itu.

"Ya, ya, bagus benar! Sungguh tak kira nona ini juga seorang penggemar buku. Dikamar sini terdapat sekian banyak buku. Huruf pada lukisan itu, sungguh kuat expresienya. Aha, kiranya syair gubahan Tu Fu!" demikian Yak Bwe memuji.

Tu Fu dan Li Pai adalah dua dewa penyair yang disanjung pada jaman itu. Setiap buah karya mereka keluar, tentu segera menjadi buah deklamasi pada setiap mulut orang. Tetapi buah sajak yang ditulis oleh tangan kedua penyair termasyhur itu, jarang sekali dapat di peroleh.

Syair yang tergantung didinding kamar buku Tok-ko Ing itu ternyata buah tulisan dari penyair Tu Fu, Yak Bwe pernah melihatnya dan seketika timbullah gelora hatinya untuk mendeklamasikan sajak itu. Kiranya sajak itu digubah oleh Tu Fu ketika ia dikota Lim-pin melihat anak murid dari Kon-sun- toa-nio yang bernama Li Sip Ji Nio memainkan pedang. Tertarik oleh permainan pedang sinona yang sedemikian indahnya, penyair itu telah menarik an pit, mempersembahkan sebuah sajak pujian.

"Sair indah, syair indah! Datangnya bagaikan halilintar mengumbar kemarahan, gemuruh laksana ombak laut memancar sinar mengkilap. Ah, ilmu pedang yang telah mencapai tingkatan semacam itu, sungguh tak dapat dibayangkan oleh pikiran." Yak Bwe memuji. Tapi dalam pada itu ia merasa heran juga dan bertanya: "Syair ini digubah oleh Tu Fu untuk dipersembahkan kepada Li Sip Ji Nio. Mengapa bisa berada ditempat nona ini?"

Tok-ko U tertawa menyahut: "Adikku itu adalah sumoay dari Li Sip Ji Nio. Kami kakak beradik berlainan suhu."

Yak Bwe terbeliak kaget, tegasnya: "Apakah Kong Sun toanio masih hidup? Bukankah beliau sudah hampir berusia seratus tahun?"

"Beberapa ratus tahun yang lalu suhuku sudah menutup mata. Benar Li Sip Ji Nio itu toa suciku, tapi kepandaianku itu adalah toa Guci yang mengajarkannya. Toa suci amat memanjakan sekali kepadaku. Ketika tahun yang lalu toa-suci lewat disini, karena tahu aku gemar akan syair Tu Fu, maka serangkai syair gubahan Tu Fu diberikan kepadaku," kata Tok ko Ing.

Sebaliknya kini Tok-ko U yang balas bertanya dengan heran. "Menilik Suheng begitu gemar akan syair, rasanya  tentu seorang keturunan sasterawan. Tetapi mengapa ceburkan diri dalam kalangan loklim?"

Sahut Yak Bwe: "Ya, begitulah kalau mau dikata, memang aku pernah membaca sedikit sajak. To-ko-heng tanya kepadaku mengapa terjerumus dalam kalangan loklim, ah hal itu lebih baik tak kukatakan saja!"

Sebenarnya Yak Bwe hendak merangkai suatu cerita, tapi karena ia tidak biasa berbohong dalam saat-saat yang mendesak ia sudah tak dapat mengatur ceritanya. Sebaliknya Tok-ko U mengira kalau tetamu itu mempunyai hal-hal yang sukar dikatakan. Iapun tak mau mendesak lebih jauh. Buru buru ia alihkan pembicaraan "Suheng seorang yang pandai ilmu sastera dan mahir ilmu silat, sungguh patut dipuji. Didalam negeri yang kacau ini, pahlawan-pahlawan bermunculan dari kalangan lok lim. Mengapa Suheng mengatakan terjerumus?"

Habis berkata kembali Tok-ko membathin: "Ah, kiranya dia seorang pendatang baru didunia loklim, makanya ia begitu hijau sekali. Sedikitpun tak menyerupai seorang penjahat tetapi lebih mirip dengan seorang sasterawan."

Dalam pada itu, datanglah seorang pelayan membawa kasur.

Setelah mengatur tempas tidur buat sang tamu, lalu berkatalah Tok-ko Ing: "Sudahlah, jangan tarik lidah lebih lanjut. Ayuh kita rawat luka Su toako,"

Setelah itu ia minta Yak Bwe supaya berbaring diatas pembaringan darurat itu. "Dalam hal kerjaan, seorang anak perempuan itu tentu lebih teliti. Ing-moay, untuk mengobati luka Su-toako, aku terpaksa harus minta bantuanmu," kata Tok-ko U.

Hati Tok-ko Ing tergetar. Ia tundukan kepala tapi tiba-tiba mulutnya pecah: "Huh, koko, rupanya kau cerdik juga karena tahu diri. Aku pun tak mau mempersalahkanmu. Tuh lihatlah, caramu membalut luka begitu macam? Malang melintang tak karuan, sampai lengan Su toako menjadi seperti buah semangka saja!"

Merahlah wajah Yak Bwe mendengar itu, katanya: "Aku sendirilah yang membalutnya."

Tok-ko Ing sudah terlanjur mengata2i, walaupun likat, tapi terpaksa ia tertawa juga: "Memang anak lelaki itu kebanyakan tak dapat mengurus diri sendiri, Su toako, tidurlah, biar kulumuri obat pada lukamu."

Darah dari luka Yak Bwe itu sudah mengental dan melekat pada pakaiannya. Tok-ko Ing menanyakan kalau-kalau Yak Bwe membawa ganti pakaian.

"Dalam buntalanku itu terdapat dua stel pakaian yang baru kubeli kemarin, entah cocok tidak ukurannya," kata Yak Bwe.

"Kau tak tahu bahwa Su toako itu royal sekali. Kedua stel pakaiannya itu dibelinya dengan memakai biji emas!" Tok-ko U tertawa. Ia menuturkan peristiwa semalam yang terjadi dirumah penginapan.

"Su toako, kau balikan tubuhmu, biar kulepas bajumu. Koko, tolong ambilkan samangkok air hangat," kata Tok-ko Ing. Nyata dara itu hendak mencuci luka Yak Bwe dengan air hangat, baru kemudian dilumuri obat dan dibalut.

Sebaliknya wajah Yak Bwe menjadi merah. Katanya dengan berbisik: "Ah, tak usah begitu repot. Apakah kau punya gunting?" "Gunting? Mau buat apa?" sudah tentu Tok ko Ing menjadi heran.

"Cukup gunting saja lengan baju didekat luka itu, kan dengan begitu boleh lantas dicuci dan dilumuri obat," jawab Yak Bwe.

Diam-diam Tok-ko Ing menggerutu dalam hati: "Katanya seorang hohan dari loklim, tapi lebih pemaluan dari seorang gadis pingitan. Aku bersikap bebas, sebaliknya ia sungkan akan pergaulan wanita dan pria!"

Tapi iapun terpaksa mengambilkan gunting dan melakukan permintaan Yak Bwe tadi. Setelah mencuci bersih, barulah ia melumuri luka itu dengari obat lagi.

Tok-ko U datang dengan membawa poci teh som, katanya: "Kau sudah terlalu banyak mengeluarkan darah, tentu merasa haus. Poci yang berisi teh som ini, akan dapat menghentikan hausmu. Besok pagi jika lapar, barulah kau makan hidangan ini."

Yak Bwe tergerak hatinya dengan kebaikan tuan rumah. Ia menghaturkan terima kasih dan mempersilahkan supaya kedua saudara Tok-ko itu juga beristirahat.

"Aku tidur di sebelah depan sana. Jika tengah malam memerlukan apa-apa, panggil saja jangan sungkan," kata Tok- ko U.

Kembali Yak Bwe menghaturkan terima kasihnya. Setelah kedua saudara itu tinggalkan kamar situ, timbullah kekuatiran pada hati Yak Bwe jangan-jangan nanti tengah, malam Tok-ko U akan berkunjung kesitu lagi. Ia menggeliat bangun untuk menutup jendela. Setelah itu barulah ia leluasa ganti pakaian lalu masuk tidur.

Bermula batinya memang masih kebat-kebit tapi karena letihnya, tak lama kemudian ia sudah jatuh pulas. Entah sudah lama ia kelelap dalam impiannya dipulau kapuk itu, hanya ketika ia sadar segera ia dikejutkan suara ketukan pintu. Buru- buru ia bangun.

"Tok-ko-heng, aku tak memerlukan apa apa silahkan tidur kembali," buru buru ia berseru.

Diluar kamar terdengar suara ketawa mengikik: "Akulah Su toako. Hari sudah terang nih kubawakan santapan pagi untukmu."

Kiranya yang mengetuk pintu itu ialah Tok ko Ing. Waktu Yak Bwe membukakan pintu, dara itu tertawa: "Mengapa jendelanya juga kau tutup rapat? Apakah tidak kepanasan jawanya?" Dara itu segera buka jendela agar dapat hawa dan sinar matahari pagi.

"Diwaktu kecil aku takut pada setan, maka sudah menjadi kebiasaanku untuk menutup jendela kamar rapat-rapat. Harap kau jangan mentertawakannya." dengan pintarnya Yak Bwe mencari jawaban.

Sebetulnya Tok-ko Ing tak tertawa, tapi demi mendengar penjelasan itu ia menjadi geli juga, ujarnya: "Kurasa hanya seorang perempuan yang takut pada setan, siapa tahu kalian kaum gagah dari loklim juga takut. Baiklah sekarang sudah terang hari, tak usah takut setan lagi dan lekaslah makan santapan pagi."

To-ko Ing menghidangkan makanan yang di bawanya itu diatas meja. Isinya terdiri dari empat macam masakan lezat dan semangkok bubur.

Nikmat sekali tampaknya Yak Bwe makan.

"Masakan ini kumasak sendiri, kukuatir jangan jangan kau tak doyan," kata Tok ko Ing.

Yak Bwe tertawa dan berkata: "Nona Tok ko benar benar serba serba pandai. Pandai sastera, mahir ilmu silat dan akhli masak. Entah siapakah dikemudian hari yang beruntung. " Wajah Tok ko Ing merah jengah lalu cepat cepat menyelanya: "Su toako, apa katamu?"

Kini barulah Yak Bwe gelagapan dan sadar bahwa dirinya sedang menjalankan rol sebagai seorang pemuda. Buru-buru ia telan kembali separoh ucapannya yang sedianya berbunyi menyunting dara jelita yang cerdik cendekia itu. Cepat ia tertawa meringis dan mengalihkan haluannya,

"Mungkin usiamu tak terpaut banyak dari-ku, tapi segala apa kau dapat mengerjakan, sebaliknya aku tak mengerti apa- apa. Terus terang kukatakan, aku ingin seperti dirimu!" katanya.

Yak Bwe katakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya sebagai seorang gadis. Sebalik nya Tok-ko Ing telah menerimanya lain. Wajah dara itu menjadi tambah merah lagi.

"Celaka! Aku salah omong lagi." Yak Bwe mengeluh dalam hati, "menyaru jadi anak lelaki, kiranya bukan hal yang mudah."

Buru-buru ia tundukkan kepala dan menghirupi bubur untuk menutupi perobahan kerut di wajahnya. Selama beberapa saat kemudian, barulah ia mendongak lagi. Demi melihat sinar mata Tok-ko Ing yang ditujukan kepadanya itu tak mengandung hawa kemarahan, legalah perasaan Yak Bwe.

"Su toako, kau masih terlalu merendah diri. Kaulah yang pantas disebut seorang bun-bu-coancay (pandai sastera dan ilmu silat)!," tiba tiba Tok-ko Ing berkata dengan tersenyum.

Kesempatan itu telah digunakan Yak Bwe untuk mengalihkan persoalan, katanya: "Dulu hanyalah Li Pai itu saja yang kuketahui suka bergaul dengan kaum hiap-su (orang gagah) dan mengerti ilmu pedang. Kini setelah melihat Tu Fu mempersembahkan syairnya pada suci mu, barulah terbuka mataku bahwa beliau (Tu Fu) itu seorang akhli pedang juga yang jempol." "Bagaimana kau ketahui ia seorang akhli?" tanya Tok-ko Ing.

"Kalau tidak masakan ia dapat melukiskan permainan pedang sucimu itu sedemikian indahnya?" balas Yak Bwe,

Tok ko Ing tertawa: "Menurut pendapatku. Tu Fu tak mengerti ilmu pedang tapi tahu menikmatinya. Ya, memang begitulah."

"Tahu menikmati, itulah juga seorang akhli," sahut Yak Bwe.

"Su toako, kenal baik kau dengan Khik Sia!" tiba tiba Tok  ko Ing mengajukan pertanyaan.

Jantung Yak Bwe berdetak keras dan tanpa terasa wajahnya bersemu merah. Sahutnya: "Tak begitu akrab. Mengapa kau tanyakan soal itu?"

"Tadi ketika kau katakan bahwa Li Pai itu gemar bergaul dengan kalangan hiapsu, teringatlah aku. Li Pai dengan Toan Kui Ciang tayhiap itu mempunyai hubungan yang karib sekali. Rasanya kau tentu sudah mengetahui hai itu. Sayang Toan tayhiap itu sudah menutup mata hingga kita dari angkatan muda itu tidak sempat lagi untuk menjumpainya. Entah sampai dimanakah kesaktian ilmu pedang dari tokoh yang pernah disanjung oleh penyair Li Pai itu?"

Belum Yak Bwe menyahut. Tok-ko Ing sudah melanjutkan kata-katanya pula:

"Kabarnya ilmu pedang dari Toan Khik Sia itu lebih lihay dari ayahnya. Pernahkah kau menyaksikannya?"

Mendengar Toan Khik Sia dipuji, diam diam Yak Bwe girang dalam hatinya. Tapi pura pura ia bersikap dingin memberi jawaban: "Mungkin begitulah, tapi aku belum pernah menyaksikannya?" Diam-diam heran Tok-ko Ing dibuatnya, pikirnya: "Menilik gelagatnya, mungkin pergaulannya dengan Toan Khik Sia itu hanya biasa saja. Ia aneh juga, biasanya peribahasa mengatakan "warna itu tentu mencari warna" Tapi rupanya hal itu tak berlaku baginya. Ia tinggal disatu markas dengan Toan Khik Sia, tapi mengapa tak mau mencari kesempatan untuk bergaul rapat?"

Dalam menimang begitu, dilihatnya pintu kamar dari engkonya (Tok-ko U) yang berada disebelah muka sudah terbuka. Dan masuklah Tok-ko U dengan tertawa: "Moay moay, kiranya kau sudah lebih pagi datang kemari."

"Siapa yang mau meniru kemalasanmu? Hari sudah begini siang kau masih dekam dipembaringan. Sikap begitu berarti tidak memperdulikan tetamu," Tok-ko Ing jebikan bibirnya,

"Mempunyai seorang adik seperti kau, masakan aku masih perlu membanting tulang?" Tok-ko U membantah disertai tertawa.

Mendengar dalam nada tertawa engkohnya itu mengandung sesuatu yang dalam artinya tanpa terasa berdebarlah hati Tok-ko Ing.

"Bagaimana Su toako, apa sudah baikan?" tanya Tok-ko U.

Yak Bwe mengiyakan: "Ya. sudah banyak baikan, lihatlah aku sudah makan begini banyak?"

"Ya, sekarang bolehlah anak panah itu dicabut. Ing moay, kau cermat dan tangkas. Mencabut panah dilengan Su toako nanti, lagi lagi mesti minta tolong padamu." kata Tok ko U.

Tok ko Ing tahu bahwa sang engkoh memang sengaja supaya ia bergaul rapat dengan pemuda cakap itu. Iapun sungkan menolaknya: "Ko enak saja segala apa suruh aku yang mengerjakan. Baiklah, tapi kaupun harus kerja sedikit. Harap kau sediakan obat2 yang akan dipakai."

"Siang-siang aku sudah menyediakannya," sahut Tok-ko U. Yak Bwe merasa tak enak hatinya: "Nona Tok-ko, aku sungguh banyak merepoti kau saaja!"

Tok-ko Ing tertawa: "Su toako, aku hanya bergurau dengan koko, harap kau jangan menaruh dihati. Kau adalah sahabat baik dari koko, kau terluka dan seharusnya aku merawatnya."

"Ing-moay, kau seharusnya berterima kasih juga kepadaku!" Tok-ko U menggodanya.

"Terima kasih? jangan ngaco?" teriak Tokko Ing.

"Ya, terima kasih karena kubawa Su toako kemari. Kau belajar pedang pada sucimu, tetapi selama ini tak ada orang lain yang mengujimu. Su toako adalah seorang akhli pedang yang jempolan, nanti kau boleh banyak belajar darinya," kata Tok ko U.

Bermula Tok ko Ing kuatir kalau sang koko akan menggodanya lebih lanjut, tapi mendengar keterangan itu, ia bergirang hati. Dengan hal itu dapatlah ia lebih banyak mendekati Yak Bwe.

"Ya, benar, memang akupun mempunyai hasrat begitu.

Mudah2an Su-toako lekas sembuh," sahut Tok-ko Ing.

"Kau adalah murid kesayangan Kong-sun toanio, akulah yang selayaknya mengangkat guru padamu. Mengapa kau begitu sungkan kepadaku?" kata Yak Bwe.

"Ai, janganlah kalian berdua saling sungkan. Begitu nanti  Su toako sudah sembuh, kalian boleh saling uji kepandaian, agar akupun dapat menikmati," kata Tok-ko U menengahi.

Walaupun kurang pengalaman, namun Yak Bwe tahu juga akan gelagat, sikap dan ucapan orang. Diam-diam ia geli dalam hati. "Agaknya nona ini ada maksud kepadaku. Engkohnya pun setuju, malah mendorong. Tapi sayang mereka salah alamat." Yak Bwe kuatir kalau sampai rahasianya terbongkar oleh kedua kakak beradik itu. Tapi setelah mendengar pembicaraan kedua saudara itu, ia merasa lega. Walaupun geli tapi ia merasa terhibur juga!

Begitulah dengan hati-hati sekali Tok-ko Ing mulai mencabut panah yang mengeram dilengan Yak Bwe. Karena kepalanya menunduk, rambut sidarapun terurai jatuh kemuka Yak Bwe. Begitu dekat sehingga keduanya sama mendengarkan denyut napas masing-masing. Pipi si dara makin merah dan berbisiklah dia: "Sakitkah Su-toako?"

"Tidak, terima kasih," sahut Yak Bwe.

Tok-ko Ing merasa bahagia. Ia mempunyai suatu perasaan yang sukar dilukiskan. Padahal pujian Yak Bwe itu bukan karena sungkan melainkan benar-benar Tok-ko Ing itu seorang dara yang cekatan. Setelah mencabut panah lantas melumuri obat. Yak Bwe tak merasa sakit dan amat berterima kasih kepada dara itu.

Sejak itu, berhari hari boleh dikata Tok-ko Ing tak pernah berpisah dengan Yak Bwe. Ia merawat dan melayaninya dengan tekun sekali. Sebaliknya Tok-ko U jarang sekali kelihatan. Hubungan Yak Bwe dengan Tok-ko Ing makin akrab. Luka Yak Bwe itu sebenarnya memang tak berat. Mendapat perawatan dari Tok-ko Ing dengan istimewa, sembuhnya cepat sekali. Pada suatu hari ketika bangun, Yak Bwe coba gerak gerakan lengannya. Ternyata sudah pulih seperti sedia kala. Tok ko Ing merasa girang serunya. "Su toako, dalam beberapa hari ini kau merasa kegerahan. Mari kuantar jalan-jalan kekebun bunga. Ya, Su toako, nanti kau boleh memberi petunjuk tentang ilmu pedang kepadaku."

Kala itu adalah pada permulaan musim semi. Ketika Yak Bwe ikut Tok-ko Ing kedalam kebun bunga, dilihatnya bunga2 sama mekar. Taman disitu tak berapa besar, tapi diatur indah sekali. Disana sini tampak batu-batu berjajar, pagoda tempat peristirahan dan jalanan yang melingkar lingkar. Setiap kuntum bunga, setiap batang pohon dan setiap gunduk batu, diatur dengan sangat serasi. Apabila orang berjalan didalam taman tampaknya mirip dengan orang didalam lukisan.

Sudah beberapa hari Yak Bwe terkurung di dalam kamar. Berada didalam taman yang indah itu, seketika longgarlah perasaannya, semangatnya nyaman segar. Dasar Yak Bwe itu seorang nona rupawan, dalam keadaan riang gembira, ia kelihatan makin cantik lagi. Ketika keduanya lewat diempang teratai, permukaan empang itu muncul sepasang muda mudi yang cakap. Tok-ko Ing mengawasi 'lukisan' yang terpantul dalam permukaan air itu, lalu berpaling memandang 'pemuda' cakap yang berada disampingnya itu. Pikirannya melayang- layang: "Ia benar2 seorang pemuda yang serba cakap. Tak nyana bahwa dalam dunia loklim terdapat seorang tokoh semacam dia. Po An yang disanjung orang sebagai tokoh Arjuna, rasanya belum tentu lebih tampan seperti dia."

"Nona Tok-ko, apa yang sedang kau pikirkan?" tiba2 Yak Bwe menegur sambil tertawa,

Tok-ko Ing tersentak kaget dan buru buru menyahut. "Aku menimbang nimbang akan minta kau mengajarkan ilmu pedang, entah maukah engkau?"

"Mana aku berani unjuk kepandaian jelek. Lebih baik nona yang bermain dulu," kata Yak Bwe,

"Baiklah, karena kau baru sembuh, bolehlah beristirahat dulu. Biarlah aku yang memulai," Tok-ko Ing mengiakan.

Setelah mencabut pedang, nona itu memutar tubuh. Sinar pedangnya tampak mengembang seperti untaian tali. Selanjutnya waktu pedang tergentak, mirip dengan gerak burung kuntul yang tersentak kaget, lincahnya seperti naga bermain. Gerakannya menimbulkan angin dingin yang menderu deru ningga bungai sama bertaburan jatuh terbawanya. Benar2 hebat, indah dan mempersonakan. Yak Bwe bertepuk tangan memujinya dan mulutnya segera mendeklamasikan syair Tu Fu yang menyanjung puji keindahan ilmu pedang Li Sip-ji Nio itu....

To-ko Ing menghentikan permainannya. Dengan setengah girang, setengah aleman, ia berseru: "Hmm pedang suciku, mungkin dapat disejajarkan dengan syair pujian itu. Tetapi aku, mana bisa memadai!"

"Aku belum pernah melihat permainan pedang sucimu. Tapi menyaksikan permainanmu tadi saja, mataku sudah berkunang-kunang dan semangatku terasa terbang!' Yak Bwe tertawa.

"Mulutmu itu hanya pandai merangkai kata-kata untuk menyenangkan hati orang saja. Ko ko mengatakan, permainan pedangmu itulah baru tepat disebut sakti. Aku sudah mengunjuk permainan jelek, masakah kau masih tak mau memberi pelajaran?" To-ko Ing mengomel.

Yak Bwe juga terpikat semangatnya. Sebenarnya iapun ingin mengunjukan kepandaian. Katanya: "Sebenarnya tak ingin aku mengunjukkan diri, tapi kuatir mulutmu yang lancip itu akan berhamburan; maka terpaksa aku akan menuruti juga. Nona Tok-ko, biarlah kuberi jurus umpan padamu, tapi harap kau menaruh kasihan."

"Aku mempunyai cara bermain yang baru. Kita masing- masing berdiri tiga tombak jauhnya, kemudian saling melontarkan serangan. Dengan begitu dia dapat menghindari salah melukai. Kita boleh keluarkan seluruh kepandaian masing-masing. Nah, bagaimana?" kata To-ko Ing.

Yak Bwe tahu kalau nona itu masih menguatirkan dirinya yang baru saja sembuh. Diam2 Yak Bwe berterima kasih akan nona yang bijaksana itu.

"Ya, silahkan memulai lebih dulu," katanya. Sebagai tuan rumah, Tok-ko Ing tak mau sungkan lagi. Segera ia lancarkan jurus giok li tho soh atau bidadari lemparkan tali. Untuk itu Yak Bwe menyambut dengan jurus tho thau po li atau lemparkan buah tho membalas buah peer.

"Ah, Su toako, kau terlalu banyak peradatan. Jangan sungkanlah," seru To-ko Ing tertawa.

Memang jurus tho thau po li itu mengandung maksud menghaturkan terima kasih atas kebaikan tuan rumah dan menyatakan hendak membalas budi.

Kini Tok-ko Ing kisarkan langkah dan menderu-derulah pedangnya. Sikapnya itu mirip dengan orang yang bertempur secara merapat dan jurus yang dilancarkan itu adalah jurus serangan yang lihay untuk melukai musuh.

"Ganas betul!" seru Yak Bwe dengan tertawa. Iapun mengisai kesamping dan bolang-balingkan pedangnya. Sekali sang ujung kaki berputar, ia kembali ketempatnya yang semula.

"Bagus, indah benar tangisanmu itu!" Tok ko Ing berteriak memuji.

Keduanya dengan tetap terpisah pada jarak tiga tombak, saling serang menyerang. Keduanya sama mengeluarkan jurus-jurus permainan pedang yang istimewa. Sekalipun terpisah jauh tapi mereka sama bermain dengan sungguh, seperti orang yang sedang bertempur mati-matian. Dan justeru karena terpisah itu keindahan gerak permainan mereka dapat kelihatan dengan jelas.

Dalam sekejap saja mereka sudah bertempur sampai tiga puluh jurus. Yak Bwe merasa heran demi melihat wajah Tok- ko Ing seperti sedang melamun. Pikirnya: "Saat ini sudah menginjak detik detik yang meruncing. Mengapa ia tak pusatkan perhatian dan seperti orang melamun?" "Awas, serangan ini!" cepat ia membentak. Pedang ceng- kong-kiam diguratkan keudara. Begitu ujungnya tergetar,  sinar pedang segera berobah menjadi berkuntum-kuntum rangkaian bunga. Jurus itu disebut hud-kong-boh-ciau (sinar Budha memancar luas). Jurus ini merupakan jurus yang paling lihay dari ajaran ilmu pedang Biau Hui sin-ni.

Tok-ko Ing tersentak kaget. Ia mundur sampai tiga langkah. Tiba-tiba ia berseru: "Hati, hati serangan ini!"

Tubuhnya melambung keudara, pedangnya berkembang menjadi sebuah lingkaran untuk mengurung tubuh Yak Bwe.

"Ilmu pedang yang indah!" mulut Yak Bwe meluncur pujian, tubuhnyapun berdiri tegak. Ia ganti permainannya dengan jurus tiau-thian it-cut-hiang atau menghadap kelangit dengan sebatang dupa. Untuk itu tubuhnyapun turut berputar-putar.

Tok-ko Ing melayang ketanah lagi. Kini ke duanya tegak, berhadapan. Pedang masing-masing saling ditudingkan tapi tidak melanjutkan serangannya lagi. Kiranya sampai pada babak itu, apabila dalam pertempuran sesungguhnya, pedang mereka tentu saling menempel dan disitulah pertandingan adu lwekang dimulai. Barang siapa yang lwekangnya lebih unggul, dialah yang menang sebaliknya barang siapa yang cooa berusaha merobah gerakannya, ia tentu akan menderita.

"Ilmu pedang Kong-sun toanio, benar-benar tak bernama kosong. Aku sungguh kagum dan rela menyerah kalah," kata Yak Bwe.

"Mana bisa. Kau seorang lelaki, dalam hal tenapa tentu lebih kuat dari aku. Jika dalam hal pertempuran yang sesungguhnya, kalau sudah mencapai babak seperti ini,  akulah yang seharusnya kalah," sahut Tok ko Ing.

Keduanya segera sama menyimpan pedangnya.

Tiba-tiba Tok-ko Ing bertanya: "Su, toa ko, siapa suhumu itu?" Yak Bwe terkesiap, sahutnya: "Pelajaranku tak becus, malu aku untuk mengatakan nama suhuku."

"Su toako, ada sesuatu hal yang menjadi keherananku," kata Tok-ko Ing.

"Dalam ha! apa?" tanya Yak Bwe.

"Konon kabarnya Biau Hui Sin-ni itu tak mau menerima murid lelaki, mengapa beliau mau melanggar pantangan itu?" kata Tok-ko Ing.

Diam-diam Yak Bwe terperanjat sekali. Kini ia baru insaf bahwa Tok-ko Ing telah mengetahui aliran sumber perguruannya. Diam-diam ia menyesali dirinya sendiri: "Ah, benar benar limbung aku ini. Ia adalah anak murid Kong sun toanio, sudah tentu akhli dalam ilmu pedang. Mengapa tadi aku sampai terlepas mengeluarkan permainan pedang sehingga ia dapat mengetahuinya?"

Setelah memutar otak sebentar, dengan tertawa meringis ia berkata:- "Nona Tok-ko, matamu itu sungguh jeli sekali. Kalau begitu mungkin sekali permainan pedangku tadi adalah berasal dari ajaran Biau Hui Sin-ni!"

Keheranan Tok-ko Ing makin menjadi-jadi. Tanyanya: "Aneh sekali ucapanmu itu. Masa kan kau tak tahu sendiri ilmu pedang apa yang kau mainkan tadi?"

Yak Bwe tetap tertawa: "Ya, terus terang saja kuberitahukan padamu bahwa ilmu pedangku itu kuperoleh dari seorang wanita, tetapi bukan Biau Hui Sin-ni!"

"Siapakah wanita itu?" desak sidara.

"Cici misanku yang bernama Sip In-nio," jawab Yak Bwe. Dalam ini ia memang tidak berdusta seratus prosen. In-nio lebih tua dua tahun darinya dan lebih dahulu yang belajar pada Biau Hui Sin-ni. Ilmu pedang Yak Bwe sebagian besar In- nio yang mengajarkan. Karena In-nio sering berkelana didunia kang ouw maka meskipun belum pernah berjumpa tapi Tok-ko Ing mendengar juga akan namanya. Tahu ia pula bahwa In-nio itu anak murid Biau Hui Sin-ni.

"Oh, kiranya kau ini adik misan dari Sip In nio. Ah, tak heran kiranya," kata dara itu dengan tiba-tiba nadanya berobah tawar, hatinya kecewa dan sikapnya berobah tak wajar.

"Aku adik misannya yang jauh urutannya. Sejak masih kecil ayah bundaku meninggal, maka aku lantas tinggal pada keluarganya belajar ilmu surat. Setempo piau-ci (taci besar) itu mengajak aku berlatih ilmu pedang. Aku menyaksikan dari samping saja, tapi lama kelamaan akupun bisa juga. Pernah piauci mengatakan bahwa pelajarannya ilmu pedang itu di dapatinya dari seorang rahib tua. Tetapi aku tak tahu kalau rahib tua itu ternyata adalah Biau Hui sin-ni adanya." Yak Bwe menjelaskan.

Dingin dingin sidara berkata: "Baik benar, piaucimu itu kepadamu. Ia sampai berani mengajarkan ilmu pedang padamu diluar tahu subonya. Kabarnya piaucimu itu adalah puteri dari seorang ciangkun. Tentunya kau enak tinggal ditempat kediamannya, mengapa tega meninggalkannya?"

"Aku tak ingin selama hidupku menjadi bennalu (mengandalkan orang). Itulah makanya aku meninggalkah rumah keluarga Sip dan berkelana. Tak berapa lama aku berkenalan dengan thaubak dari Kim-ke-nia. Kutahu bahwa pemimpin Kim-ke-nia itu Thiat Mo Lek itu bukan penyamun biasa. Lalu aku masuk dalam perserikatan mereka," kata Yak Bwe.

Masih dengan nada tawar Tok ko Ing mengoloknya: "Kau mempunyai cita2 tinggi, tapi tidakkah dengan berbuat begitu berarti kau sudah mengabaikan kebaikan piaucimu?" Sebenarnya Yak Bwe hendak menggodanya lebih lanjut yaitu akan mengatakan sekali bahwa ia sudah bertunangan dengan In nio tapi demi melihat mata sidara sudah mulai mengembang air mata, ya tinggal tunggu saatnya saja tentu akan 'hujan' (menangis), ia merasa tidak sampai hati. Pikirnya: "Biarlah nanti kalau diam kupergi dari sini, kutinggalkan sepucuk surat untuk menjelaskan diriku yang aseli, Tapi kalau sekarang kuberitahukan siapa diriku ini, rasanya tak leluasa bagiku."

"Ah, harap nona jangan memperolok diriku. Aku dengan piauci adalah ibarat loyang dengan mas. Aku hanya seorang kacung, ia seorang puteri ciangkun. Mana layak aku dituduh mengabaikan kebaikannya?" katanya.

Dengan bantahan itu hati sidara agak longgar, katanya: "Sewaktu masih hidup, suhuku itu baik sekali hubungannya dengan Biau Hui Sin-ni, Dua jurus paling akhir yang kau mainkan tadi adalah jurus yang dikeluarkan ketika mereka berdua saling menguji kepandaian. Hal itu kudengar dari cerita suciku. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan Biau Hui Sin-ni."

"Oh, makanya tadi kau tampak melamun, kiranya aku dengan suhunya masih ada sedikit ikatan!" demikian kata Yak Bwe.

Tok-ko Ing berkata pula: "Su toako, jika kelak ada kesempatan, ingin sekali aku berkenalan dengan piaucimu itu. Ah, betapa senangnya melihat seorang jelita yang memiliki ilmu pedang yang sakti!"

Dalam berkata kata itu nada sidara terdengar risau, beberapa butir air mata menetes turun. Yak Bwe tahu bahwa sidara itu mengandung hati cemburu. Diam2 ia merasa geli.

Tiba tiba seorang bujang perempuan datang Setelah memberi hormat kepada Tok ko Ing dan Yak Bwe, lalu melapor: "Ada seorang tetamu datang. Kongcu minta siocia dan Su siang kong suka keluar menyambutnya."

Diam2, Yak Bwe merasa heran. Dan Tok ko Ing lantas menanyakan siapakah tetamu itu.

"Seorang lelaki yang bertubuh kekar. Kong cu memanggilnya Lu tayhiap," sahut sibujang

"Al, tak perduli siapa, asal orang kangouw tentu disebut tayhiap atau siauhiap," Tok-ko Ing tertawa, "Su toako, mari kita melihat-lihat 'tayhiap' itu bagaimana orangnya."

"Kalau ia (Tok-ko U) suruh adiknya turut menyambut tetamunya, itu sih tak mengapa. Tapi mengapa juga minta aku ikut menyambutnya. Rasanya aku tidak kenal dengan orang she Lu itu," pikir Yak Bwe.

Rupanya Tok ko Ing tahu apa yang dipikirkan Yak Bwe. Ujarnya: "Koko itu seorang yang cermat. Kalau ia minta kau keluar menemui tetamu itu, rasanya tentu tak apa-apa!"

Bermula Yak Bwe enggan pergi, tapi mendengar penjelasan sidara itu, ia merasa kalau tak ikut tentu bisa menimbulkan kecurigaan tuan rumah. Apa boleh buat terpaksa iapun segera ikut keluar.

Diruangan tetamu tampak Tok ko U sedang menemani seorang lelaki pertengahan umur. Begitu tampak Tok ko Ing dan Yak Bwe datang buru buru ia berbangkit.

"Ini adalah tokoh termasyur didunia kang ouw, Sin cian chiu Lu Hong jun tayhiap. Dan ini adalah Su Ceng to toako  dan adikku Tok ko Ing." Tok ko U memperkenalkan mereka satu sama lain.

"Ing-moay, pendekar wanita Lu Hong chiu yang kau kagumi itu, ialah adik perempuan dari Lu tayhiap ini," kata Tok-ko U lebih lanjut. "Ah, aku sungguh tak berani menerima pujian setinggi itu. Kalian berdua kakak beradik barulah pantas disebut sepasang pendekar yang dikagumi orang," buru2 Lu Hong-jun merendah.

"Oh, kiranya Sin-cian-chiu Lu Hong-jun pantaslah kalau mendapat kehormatan disebut 'hiap' (pendekar). Hanya saja sorot matanya itu sungguh memuakkan orang." diam-diam Tok ko Ing membathin.

Ya, memang tak salah sidara mengatakan sang tetamu tidak sopan. Tapi siapakah orangnya yang terkesiap melihat kecantikan sidara itu? Pun tak terkecuali dengan Sin Cian Chiu Lu Hong Jun. Sampai dua kali memandang lekat lekat pada Tok ko Ing. Waktu sidara melirik kepadanya, buru buru dia membetulkan tempat duduknya lagi.

Lain Tok ko Ing lain penerimaan Yak Bwe. Kalau sidara tak senang akan sikap sitetamu, adalah Yak Bwe terperanjat melihat siapa yang datang itu. Pikirnya: "Ah, kiranya dia itu engkoh dari Lu Hong Jiu. Celaka, aku pernah berkelahi dengan adiknya, entah apakah engkohnya ini sudah mengetahui atau belum. Atau mungkinkah ia sudah mengetahui jejakku, lalu suruh Tok-ko U minta aku supaya keluar menemuinya?"

"Mengapa leng-moay (adikmu) tak ikut serta?" tanya Tok- ko Ing pada tetamunya.

Memang biasanya kakak beradik she Lu itu selalu bersama kemana mereka pergi. Itulah sebabnya maka Tok-ko Ing menanyakannya.

"Justeru kepergianku kali ini ialah karena hendak mencari adikku itu!" jawab Lu Hong-jun.

Mendengar jawaban itu, legalah hati Yak Bwe. Nyata Hong- jun itu belum bertemu dengan deagan adiknya.

"Sayang, tak bisa berjumpa dengan cici Hong chiu," kata Tok ko Ing. "Bulan yang lalu dia hadir dalam pertemuan orang gagah digunung Kim-ke-nia, tapi kabarnya pada waktu itu tentara negeri mengadakan serangan besar-besaran. Itulah sebabnya aku menjadi kuatir," menerangkan Hong ju.

"Ha, kebenaran sekali Su toako ini seorang hohan dari Kim ke nia juga," seru Tokko U.

"Oh, kiranya ia ingin mencari keterangan tentang adiknya kepadaku," pikir Yak Bwe.

Suru2 ia berkata: "Aku hanya seorang keroco Kim-ke-nia. Lu-lihiap seorang tetamu terhormat, mana aku berharga untuk melayaninya. Yang dapat kusaksikan hanyalah nona Lu itu sering bersama-sama Toan Khik Sia."

"Ya, benar. Ia berjumpa dengan Toan siau hiap  dikota Tong Kwan. Karena ia membantu sedikit kerepotan Toan siauhiap, maka Toan siauhiap telah mengajaknya pergi ke Kim-ke-nia." sahut Hong jun.

"Turut keterangan Su toako tadi, Thiat Mo Lek, Shin Thian Hiong. Toan Khik Sia dan beberapa pemimpin Kim ke nia telah berhasil meloloskan diri. Menilik hal itu rasanya enci Hong chiu tentu juga telah lolos." kata Tok-ko Ing. Tapi kesimpulan dara itu telah disambut dengan buah tertawaan dari sang engkoh.

"Salahkah omonganku tadi?" sudah tentu Tokko Ing heran dan bertanya.

"Ha, ha, Lu toako bukan hendak mencari keterangan, sebaliknya ia malah hendak memberi khabar pada kita," kata Tokko U.

"Ai, kabar apa?" tanya Tok ko Ing.

"Dia telah bertemu dengan Thiat Mo Lek dan Bo Se Kiat," sahut Tok ko U.

Kejut Yak Bwe bukan kepalang. "Kalau ia sudah bertemu dengan mereka berdua, berarti tentu sudah mengetahui rahasiaku. Apakah kedua orang itu minta tolong padanya untuk mencari aku?" pikirnya.

Tapi ia sekarang sudah terlanjur menyaru jadi anak buah Kim-ke-nia. Maka terpaksa ia kuatkan urat syarafnya dan berkata: "Oh, bagus. Aku yang tertinggal dari barisan ini, ku ingin sekali mengetahui tempat tinggal Thiat ceeu, agar lekas- lekas dapat menggabungkan diri. Apakah Thiat cecu memberitahukan pada Lu tayhiap?"

"Benar, aku bersahabat baik dengan Thiat Mo Lek, tapi aku ini bukan orang loklim. Ke mana pergi mereka, tak leluasa bagiku untuk menanyakannya," katanya. Dalam pada itu timbul kecurigaannya terhadap Yak Bwe: "Aneh, dia seorang thaubak dari Kim-ke-nia, mengapa tak mengerti sama sekali akan pantangan kaum loklim?"

Tapi segera ia melanjutkan ceritanya: "Setelah berjumpa dengan mereka, barulah kuketahui bahwa adikku tak kurang suatu apa. Itu sudah cukup melegakan hatiku. Tentang lain- lain urusan, aku tak punya banyak waktu untuk menanyakan. Tetapi ada sebuah berita yang boleh kusampaikan pada Su toako, bahwa sekalipun markas Kim-ke-nia pecah, namun kerugian jiwa anak buahnya tak seberapa besar!"

"Pernahkah Lu toako bertemu dengan Khik Sia?" tiba2 Tok- ko U mengajukan pertanyaan.

Memang walaupun belum lama muncul di-dunia kangouw tapi nama Toan Khik Sia itu sudah cukup tenar, ya boleh dikata menjadi buah bibir tiap orang loklim. Dalam hubungan itulah maka Tok-ko U mengajukan pertanyaannya.

"Belum pernah. Konon kabarnya ia sedang mencari bakal isterinya," sahut Hong-jun.

"Siapakah calon isterinya itu?" tanya Tokko Ing. "Memang rasanya kalian tentu tak bakal menduga bahwa bakal isterinya itu adalah puteri dari Sik Ko. Ciat-tosu dari Lo- cu." jawab Hongjun dengan tertawa.

"Ya, memang diluar dugaan! Toan Khik Sia adalah seorang loklim. mengapa bisa tersangkut dalam perkawinan semacam itu?" kata Tok ko Ing dengan heran.

"Kabarnya nona itu bukan anak sesungguhnya dari Sik Ko. Dahulu ayah bunda nona itu bersahabat baik dengan orang tua Toan Khik Sia, maka mereka menetapkan perjodohan anak-anak mereka. Nona itu sudah tinggalkan rumah Sik Ko dan berkelana didunia kang ouw. Turut cerita Thiat Mo Lek, tali perjodohan kedua anak muda itu mengalami kejadian yang mengherankan. Ya, jika hendak diceritakan satu hari satu malam rasanya takkan habis. Karena waktu itu tak mempunyai banyak waktu, jadi akupun tak mendengarkan dengan jelas." menerangkan Lu Hong-jun.

Sejak awal, Yak Bwe menjublek saja dengan perasaan kebat kebit. Demi Hong-jun sudah mengakhiri keterangannya, barulah ia longgar napasnya. Pikirnya: "Ya, ketika aku ribut2 dengan Khik Sia, telah merembet adiknya (Lu Hong-chiu). Rupanya Thiat toako dan Se Kiat sungkan menceritakan kepadanya."

"Khik Sia mencari aku? Hm, apakah hal itu bukan alasan kosong agar ia dapat meninggalkan rombongan supaya dapat menemani Lu Hong-chiu? Hm, bukan sekali dua Khik Sia selalu menghina aku. Taruh kata ia sadar dan menyesali kekhilapannya, akupun tak sudi menghiraukannya lagi”. demikian pikirnya pula. Namun dalam hatinya sebenarnya ia mengharap agar benar-benar Toan Khik Sia itu sedang mencarinya.

Kedua saudara Tok-ko dan kedua saudara Lu merupakan dua pasang kakak beradik yang terkenal didunia Kang-ouw. Satu sama lain saling mengagumi. Sebenarnya pertemuan dua pasang pendekar kakak beradik itu akan menggembirakan sekali, tetapi sayang Lu Hong chiu tak ikut serta. Namun hal itu tak mengurangi kegembiraan mereka. Rupanya Tok-ko U cocok sekali dengan Hong jun. Mereka berbicara dengan asyik sekali.

"Masih ada sebuah soal lain yang bagus sekali untuk kalian bertiga dengarkan. Soal itu timbul dari soal perkawinan Toan Khik Sia," kata Hong-jun.

Kembali Yak Bwe terkesiap, dan bertanya:

"Bukankah tadi telah kukatakan tentang cerita Thiat Mo Lek mengenai pernikahan Toan Khik Sia itu? Pada waktu itu tiba- tiba Thiat Mo Lek berhenti bercerita. Ini bukan karena panjangnya cerita yang dibawakan itu, pun karena ia sedang memikirkan suatu hal lain. Hal itu ia minta tolong akan bantuanku. Dengan mereka aku hanya berbicara selama dua jam. Kuatir waktunya tak cukup, maka Thiat Mo Lek terpaksa menunda cerita tentang Toan Khik Sia dan mengganti dengan lain cerita yaitu tentang pernikahan dari seorang lain lagi."

Ternyata Tok-ko Ing itu gemar sekali mengetahui tentang urusan pernikahan orang. Maka cepat2 ia menanya: "Urusan pernikahan siapakah yang hendak dimintakan bantuan pada Lu tayhian itu?"

"Bo Se Kiat" sahut Hong Jun. "Hal itu tak kurang menariknya. Ya, entah bagaimana secara kebetulan terdapat persamaan dengan pernikahan Toan Khik Sia. Gadis yang menjadi idaman Se Kiat itu juga puteri dari seorang Ciangkun kerajaan. Walaupun kedudukan Ciang kun itu tidak setinggi Sik Ciat tosu, tetapi juga tak seberapa terpautnya."

"Ha, Lu toako, jangan main teka-teki, terangkanlah siapakah gadis itu?" kata Tok ko Ing.

"Ialah puteri dari Sip Hong, berpangkat Tin Siu-su dari Pok Ong-teng. Dalam dunia kangouw nama nona itu sudah tidak asing lagi, yaitu Sip In-nio," "Meskipun Sip In-nio itu puteri seorang Ciangkun tapi ia lebih banyak berkelana diluaran, jadi juga termasuk golongan puteri kang ouw, sepadan dengan diri Bo Se Kiat," kata Tok-ko U.

"Tetapi bagaimananapun kenyataannya itu puteri seorang Ciangkun dan Se Kiat kuatir kalau ciangkun itu tak menyetujui pernikahan puterinya. Mendiang ayahku bersahabat baik dengan Sip Ciangkun, malah pernah berbuat suatu kebaikan kepada ciangkun itu. Thiat Mo Lek tahu akan hal itu, maka ia lantas dapat akal, minta tolong aku supaya menjadi perantaranya. Coba kalian pikir, bukankah hal itu cukup menarik?" tanya Hong-jun.

"Hebat, sungguh menarik sekali!" entah apa sebabnya Tok- ko Ing serentak berseru girang.

"Hai mengapa kau begitu kegirangan atas pernikahan orang lain?" Tok-ko U menjadi heranan melihat sikap adiknya yang kurang layak itu. Sudah tentu ia tak mengetahui bahwa didalam taman bunga tadi, adiknya itu telah 'minum cuka' alias cemburu kepada Sip In-nio.

Ya, memang dara itu tak mengetahui bahwa dirinya dibohongi oleh Yak Bwe yang begitu lihay merangkai cerita. Ia cemburu pada In-nio yang diduganya tentu ada hubungan dengan Yak Bwe. Bahwa ternyata kekasih In-nio itu adalah Se Kiat, sudah tentu membuat Tok-ko Ing girang setengah mati. Harapannya untuk merebut kekasih pemuda cakap Yak Bwe, menjadi besar.

"Menarik sih, cukup menarik. Tetapi akulah yang runyam. Pertama aku tak mempunyai pengalaman menjadi comblang. Kedua kah, sejak mendiang ayah menutup mata aku berdua dengan adikku berkelana didunia kangouw. Setitikpun tidak ada minatku untuk menginjak lantai gedung kaum pembesar lagi. Dengan begitu hubungan kami dengan keluarga Sip sebenarnya sudah lama terputus," kata Hong-jun. Tok-ko Ing buru-buru menganjurkan: "Ah. Lu toako, itu adalah suatu perbuatan mulia. Sekalipun menghadapi rintangan kiranya tak seharusnya kau mundur."

"Ah, memangnya tidak sukar. Paling banyak hanya gagal sebagai comblang saja," sahut Lu Hong-jun,

Tok-ko U tertawa. "Ing-moay, dalam urusan pernikahan itu rupanya kau begitu ngotot seperti Thiat Mo Lek dan Bo Se Kiat sendiri,"

Tiba-tiba Tok-ko Ing teringat sesuatu, serunya: "Hai, Su toako, kau adalah adik misan Sip In-nio, Agar Lu toako mendapat sukses dalam tugasnya nanti, lebih baik kau ceritakan tentang kegemaran nona Sip itu."

Lu Hong jun tertegun, ujarnya: "Kiranya Su toako itu adik misan dan Sip In-nio? Kalau begitu kuserahkan saja tugasku itu kepada Su toako. Bukankah itu lebih leluasa?"

"Jangan begitu ah! Su toako justru diam2 tinggalkan rumah keluarga Sip, kalau pulang tentu kurang enak. Dan lagi ia pernah muda, jadi tak leluasa terhadap Sip Ciangkun." cepat cepat Tok-ko Ing menyanggupi. Ia lalu menuturkan cerita yang dirangkai oleh Yak Bwe di dalam taman bunga tadi.

Kiranya dara itu mempunyai maksud tertentu. Sebelum pernikahan Sip In-nio berlangsung dengan Se Kiat, ia tak menghendaki pemuda 'Yak Bwe' itu bertemu dengan In-nio.

Habis mendengar penuturan Tok-ko Ing, timbullah rasa curiga dalam hati Hong-jun. Tetapi ia tak mau mengatakan. Hanya saja matanya selalu memperhatikan gerak-gerik Yak Bwe. Karena kuatir rahasianya akan ketahuan buru buru Yak Bwe memutuskan ocehan Tok ko Ing, ujarnya; "Sip piaupehku itu seorang yang lapang dada, perangaipun penurut. Jika berhadapan padanya, lebih baik jangan mengajukan tentang urusan pernikahan itu lebih dahulu. Tetapi banyak-banyaklah menceritakan tentang perbuatan mulia dari Bo Se Kiat selama ini. Satelah Sip piaupeh mempunyai kesan baik, barulah kau bicarakan urusan selanjutnya."

"Ah, Thiat Mo Lek juga menasehati aku begitu. Malah ia menambahkan, bahwa Sip Hong itu seorang yang setia akan budi dan perbuatan mulia. Mendiang ayahku pernah melepas budi padanya, dirasa tentu ia suka mendengarkan kata- kataku," kata Hong-jun.

"Bagus, kalau begitu lekaslah laksanakan tugas itu?" seru Tok-ko Ing.

"Ai, mengapa kau mendesak orang begitu macam? Untung Lu toako itu bukan orang, yang sempit dada, kalau tidak tentu ia mengira kau seperti hendak mengusirnya." Tok-ko U menegur sang adik.

"Ah, memang sudah lama mengobrol disini sudah seharusnya aku pergi!" kata Hong-jun,

Mendapat teguran sang koko. Tok-ko Ing merasa tak enak. Buru buru ia mencegahnya: "Lu toako, mendengar kata  kataku tadi kau lintas mau pergi. Bukankah itu menandakan kau sempit dada? Duduklah sebentar lagi dan ceritakanlah kepada kami tentang beberapa peristiwa yang menarik didunia kangouw."

Semula Tok-ko Ing tak menyukai Hong jun. malah ia merasa jemu melihat sikap anak muda yang plintat plintut suka melirik muka orang lain. Tapi setelah mengetahui Hong- jun hendak menjadi perantara dalam pernikahan Se Kiat-In nio, sikapnya lantas berubah seratus derajat. Dari tak suka menjadi suka.

Sebaliknya melihat sikap yang manis dari dara itu, entah bagaimana, nyamanlah rasanya perasaan Hong-jun. Sungkan juga ia untuk pergi dan terpaksa duduk lagi.

"Masih ada lagi sebuah berita. Kabarnya setelah palang ke Tiang-an, Cin Siang, itu panglima dari pasukan Gi-lim-kun juga berniat hendak mengadakan Eng Hiong hwe. Katanya niatnya itu timbul setelah ia mengetahui tentang pertemuan orang gagah digunung Kim-ke nia. Rencananya itu mengandung maksud untuk menampung sekalian orang gagah dalam dunia kangouw agar jangan sampai terjerumus dalam kalangan loklim," kata Hong-jun.

"Sekarang ini kekuasaan berada didalam tangan para panglima daerah. Kerajaan dalam keadaan gelap. Bagi kaum kangouw yang menjunjung cita-cita luhur, sukar rasanya mau bekerja untuk kerajaan," demikian Tok-ko U memberi pandangannya.

"Mungkin tidak demikian kenyataannya. Turut pendapatku, kini kaum persilatan dapat digolongkan dalam empat kategori (golongan). Pertama, golongan Ceng-pay yang bercita-cita luhur. Golongan ini pun masih dapat dibagi menjadi tiga kelas: kesatu, yang tak mau bekerja untuk kerajaan dan benci kepada sepak terjang kaum panglima daerah. Karena hal itu mereka terpaksa masuk dalam loklim menjadi penyamun. Dalam nal itu, Thiat Mo Lek dan Bo Se Kiat adalah contohnya. Kedua ialah kaum yu-hiap (pendekar kelana) dalam dunia kangouw. Misalnya, kalau dulu, ialah mendiang Toan Kui Cing tayhiap dan kalau sekarang ialah pengemis sakti Wi Gwat, Gong gong-ji yang termasyur itu dapat dimasukan dalam kelas ini. "

"Bukankah Gong-gong-ji itu sudah berganti haluan dari jahat menuju kejalan yang lurus?" Tok-ko Ing menyeletuk.

"Gong-gong-ji adalah suheng dari Toan Khik Sia. Perangai orang itu memang aneh sekali. Juga sepak terjangnya dahulu itu bukan termasuk jahat, melainkan ditengah-tengah antara jahat dan baik."

-od0o-ow0o-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar