Pasangan Naga dan Burung Hong Jilid 05

Jilid V

TOK-KAH-TANG-JIN berbalik menghantam keningnya sendiri. Darah memuncrat, dan bluk, robohlah jago she Han itu.....

Sepintas pandang tindakan Goan-siu itu amat berbahaya sekali. Tapi sebenarnya ia bertindak dengan memakai perhitungan yang tepat. Jelas dilihatnya bahwa dalam hal tenaga, Han Wi kalah dengan dia. Itulah sebabnya ia lantas memutuskan untuk menghantam. Tapi sekalipun ia berhasil merobohkan Han Wi, tinjunya juga melepuh.

Masih Goan-siu belum reda kemarahannya. Sebelum Han Wi sempat loncat bangun Goan-siu sudah injak punggungnya.

"Tian-toako, janganlah!" Thiat-mo-lek buru-buru mencegahnya.

Goan-siu tertawa dingin: "Mengingat ada orang memintakan kasihan bagimu, kali ini biar kuampuni kau!"

Tapi waktu ia angkat kakinya, Han Wi sudah pingsan. Kiranya walaupun Goan-siu tak jadi mencabut jiwa pecundangnya, tapi ia sudah menginjak remuk pekakas dalam orang she Han itu. Nanti apabila Han Wi sembuh pun ia bakal menjadi seorang cacat yang tak berguna lagi.

Melihat itu gusar Li Thian-go bukan kepalang. Tanpa tunggu ada orang dalam rombongannya yang maju, ia sudah lantas loncat kemuka: "Orang she Tian, akupun hendak minta pelajaran dari kau!"

Se-kiat tertawa. "Ai, rupanya Li-cecu telah melupakan peraturan. Karena Tian-toako itu mewakili rombonganku, maka menurut peraturan pertandingan, ia hanya boleh bertanding satu kali saja!"

Kemarahan Li Thian-go sekarang beralih pada jago itu, tantangnya segera: "Baik, kalau begitu biarlah sekarang aku meminta pelajaran padamu saja. Fihak Hu-siang-to kalian tentu berilmu sangat sakti."

Se-kiat menyahut: "Aku tinggal dilautan yang terasing, maka dalam pengetahuan amat dangkal sekali. Juga dalam ilmu kepandaian perguruanku, aku hanya memperoleh sedikit kulitnya saja. Mana aku berani menerima pujian Li-cecu itu? Kedatanganku kemari hanya untuk menambah pengetahuan tentang kepandaian yang mengagumkan dari sekalian sahabat-sahabat gagah. Telah lama kudengar ilmu permainan tongkat Li-cecu yang disebut Loan-bi-hong-koay-hwat itu merupakan ilmu sakti yang tiada taranya didunia persilatan. Sungguh beruntung sekali hari ini aku dapat berjumpa dengan Li-cecu, maka hendaknya sukalah Li-cecu memberi pelajaran barang beberapa jurus saja dari permainan tongkat yang sakti itu."

Habis berkata ia lemparkan pedangnya lalu menghampiri sebatang pohon besar. Dengan tangan kosong ia tabas sebuah dahan, lalu dipotong-potongnya sehingga merupakan sebuah tongkat dari satu setengah meter panjangnya. Sekalian orang yang menyaksikan tenaga pukulan anak muda itu sedemikian hebatnya, sama tercengang-cengang.

Lalu Se-kiat kembali ketengah gelanggang dan tegak berdiri menghadapi Thian-go, serunya: "Silahkan Li-cecu memulai!"

Kini baru mengertilah Thian-go bahwa si anak muda itu hendak melawannya dengan tongkat kayu saja. Seketika meluaplah amarahnya, nafsu pembunuhan menyala-nyala diwajahnya.

Sebagian dari penyamun-penyamun yang hadir dalam pertemuan itu belum pernah kenal siapa Se-kiat itu, mereka bersangsi dalam hati: "Meskipun anak muda itu anak murid angkatan keempat dari Kiu-si-khek, tapi usianya masih begitu muda. Taruh kata begitu lahir ia sudah belajar silat, masakah ia dapat mengatasi Thiat-koay Li. Apalagi ia begitu congkak hanya memakai dahan pohon untuk melawan tongkat besi. Bukankah ia seperti ular cari gebuk?"

Selagi sekalian hadirin menguatirkan diri Se-kiat, disana Thian-go kedengaran membuka suara dengan dingin: "Karena Bo-heng hendak menguji permainan tongkatku, terpaksa aku pun akan mengunjukkan permainan yang jelek itu!"

Thian-go benci kepada sianak muda yang begitu memandang rendah padanya. Maka begitu membuka serangan, ia sudah gunakan jurus yang keras sekali. Sekejap saja tongkat besi itu sudah berobah menjadi lingkaran sinar yang menderu-deru seperti badai.

Se-kiat tak mau menghindar, sebaliknya ia angkat tongkat kayunya untuk menangkis. Sekalian orang hampir menjerit kaget. Mereka yakin tongkat anak muda itu pasti hancur dan orangnya tentu kena terhantam. Tapi aneh bin ajaib, bukan tongkat kayu sianak muda yang patah, sebaliknya tongkat besi Thian-go yang terpental.

Thiat-koay Li penasaran dan ulangi hantamannya sampai tiga kali, tapi setiap kali tongkat besinya itu selalu terpental waktu berbentur dengan tongkat kayu sianak muda. Serangan Thiat-koay Li yang dilancarkan dengan ngotot itu hanya ditangkis seenaknya saja oleh sianak muda. Setiap serangan selalu dapat dipatahkan dan kalau tongkat besi terpental adalah tongkat kayu itu tetap utuh tak kurang suatu apa.

Hal itu telah menimbulkan kegemparan hebat dikalangan hadirin. Mereka tak habis-habisnya menyatakan keheranannya.

"Jangan-jangan anak itu mempunyai ilmu sihir. Tongkat besi dari Thiat-koay Li dapat menghancurkan batu dan meremukkan kepala orang. Mengapa tongkat kayu anak muda itu tak kena apa-apa?" kata beberapa hadirin.

Benarkah Se-kiat menggunakan ilmu sihir? Tidak! Ia hanya mahir dalam ilmu lwekang. Semuda itu usianya namun, ia sudah dapat meyakinkan lwekang dengan sempurna. Tadi ia telah gunakan apa yang disebut tenaga menyedot. Memang tampaknya ia adu kekerasan, tapi sebenarnya ia telah dapat memperhitungkan datangnya serangan lawan dengan tepat. Begitu menerima pukulan, ia terus saja 'menyedot' tenaga lawan. Paling sedikit 7-8 bagian dari tenaga Thiat-koay Li telah kena disedot, sehingga tak heranlah kalau tongkat kayu sianak muda tak menderita apa-apa. "Kau mengatakan hendak adu ilmu tongkat, tapi mengapa tak balas menyerang?" seru Thiat-koay Li.

Se-kiat tertawa: "Aku adalah tetamu dari jauh, sudah sepantasnya mengalah sampai tiga jurus."

Habis itu ia lantas putar tongkat kayunya untuk menyerang. Dan jurus yang digunakan juga ilmu permainan tongkat Loan- bi-hong-koay-hwat bagian it-lat-ciang-cap-hwe (tenaga satu menindih sepuluh).

Sudah tentu kepandaian Thiat-koay Li lebih tinggi dari kawanan tetamu yang berteriak-teriak keheranan tadi. Tahu kalau lwekang si anak muda lebih tinggi, sengaja ia menyuruh lawan balas menyerang. Dan bahwa sianak muda mau menyerang, apalagi gunakan jurus Loan-bi-hong-koay-hwat, diam-diam ia heran tapi girang juga. Jurus it-lat-ciang-cap- hwe itu, adalah jurus untuk adu kekuatan.

Thiat-koay Li bertenaga besar, jadi ia girang dengan serangan itu, maka iapun segera gunakan jurus serupa it-lat- ciang-cap-hwe untuk menyambutnya.

Trang, terdengar benturan keras. Anehnya, tongkat kayu Se-kiat tetap tak patah, sebaliknya tongkat besi Thiat-koay Li tak dapat di kuasainya lagi, turut berputar-putar dibawa tongkat sianak muda. Kiranya tenaga Se-kiat yang keras itu mengandung kelemasan, jauh lebih tinggi dari kepandaian Thiat-koay Li. Setelah berbentur, Se-kiat lalu ganti menggunakan lwekang memutar. Ia melancarkan, kemudian meminjam tenaga lawan untuk mengendalikan iagi, cara ini adalah termasuk lwekang sakti yang,disebut pinjam tenaga mengembalikan tenaga. Sudah tentu Thiat-koay Li tak berdaya lagi.

Masih untung Se-kiat tak mau membikin celaka lawan. Setelah memutar beberapa kali, ia lantas tarik pulang tongkatnya. Ujarnya dengan tertawa: "Loan-bi-hong-koay- hwat dari Li-ce cu benar-benar luar biasa, aku hendak mohon pelajaran lainnya lagi."

Sebenarnya Thiat-koay Li harus mengakui kekalahannya. Tapi kalau ia berbuat begitu, berarti habislah harapannya untuk maju kebabak kedua. Apa boleh buat ia tebalkan muka dan pantang menyerah. Tanpa berkata apa-apa, ia lantas menyerang lagi dengan permainan Loan-bi-hong-koay-hwat.

Se-kiat memang bermaksud hendak menggodanya. Lawan gunakan jurus apa, iapun gunakan jurus itu. Ilmu permainan Thiat-koay Li disebut 'loan-bi-hong' atau angin puyuh, sudah tentu gerakannya amat cepat sekali. Tapi ternyata Se-kiat dapit memainkan lebih cepat lagi dari dia. Jangan lagi dapat melukai atau meaghantam tongkat kayu lawan, sedang ujung baju sianak muda itu saja Thiat-koay Li sudah tak mampu menyentuhnya.

Selagi mata sekalian penonton kabur karena gerak gerik kedua jago itu secepat bayangan, tiba-tiba Thiat-koay Li loncat keluar dari gelanggang. Bluk, tongkat besinya dibuang ketanah, lalu memberi hormat dengan kedua tangannya: "Terima kasih atas kemurahan hati Bo-heng, aku orang she Li menyerah dengan sepenuh hormat!"

Se-kiat buru-buru membalas hormat. Diambilnya tongkat besi, lalu diserahkan kepada si pemilik Thiat-koay Li.

Memang kecuali Thiat-mo-lek, To Peh-ing, Tang Kiam, Kay Thian-ho dan beberapa tetamu yang lihay, lain-lain orang tak mengerti mengapa Thiat-koay Li lompat keluar dan menyerah kalah itu. Kiranya setelah Thiat-koay Li habis memainkan jurus permainan tongkatnya sampai jurus yang terakhir, dengan kecepatan luar biasa Se-kiat segera menusuk robek dada bajunya. Coba anak muda itu mau berlaku kejam, dada Thiat- koay Li pasti amblong, Sampai disitu barulah Thiat-koay Li insyaf bahwa kepandaian lawan memang jauh beberapa kali lebih lihay dari dirinya. Mau tak mau senang tak senang terpaksa ia harus menyerah kalah juga. Menurut peraturan pertandingan, babak kedua nanti akan dimainkan oleh fihak jago tua Thiat-pi-kim-to Tang Kiam  lawan pemenang dari babak kesatu yakni fihak Se-kiat. Pendukung-pendukung dari Tang Kiam kebanyakan adalah golongan Locianpwe (jago tua) yang sudah ternama didunia persilatan.

Untuk pertandingan pertama dari babak ke dua itu, dari fihak Tang Kiam mengajukan Wi-tin-ho-sok Ban Liu-tong sedang fihak Se-kiat menampilkan Kay Thian-ho.

Ban Liu-tong bergelar 'wi-tin-ho-sok' atau terbawa menggetarkan utara sungai. Sudah tentu ia memiliki kepandaian yang istimewa. Tiga puluh tahun yang lalu, dengan sebatang tombak ia malang melintang didunia persilatan tanpa tandingan. Didalam dunia Lok-lim ia termasuk tokoh kelas berat.

Tetapi sayang ia sudah berusia tua, lebih tua dua tahun dari Tang Kiam. Sebaliknya lawannya, Kay Thian-ho, dalam usia sedang gagahnya. Dalam kekuatan tenaga, Thian-ho jauh lebih menang dari lawan. Maka waktu pertandingan mencapai jurus yang ketiga puluh, dengan jurus Lat-bi-hoa-san (dengan tenaga penuh menghantam gunung Hoa-san) ia hantam Liu- tong. Jago tua itu tak kuat menangkis, hampir saja ia terhuyung jatuh. Taian-ho tetap menghormati sang lawan itu sebagai seorang cianpwe. Buru-buru ia buang goloknya terus merangkul lawannya supaya jangan jatuh. Tapi Liu-tong juga seorang jago tua yang sportif. Ia mengatakan tadi memang thian-ho sengaja jatuhkan senjatanya sendiri, bukannya kalah. Dengan serta merta jago tua itu menyatakan dirinyalah yang kalah. Sekalian orang gagah yang menyaksikan kesudahan pertempuran itu, sama memuji keperwiraan ke dua jago itu.

Untuk pertandingan kedua dalam babak kedua itu, dari fihak Tang Kiam sebetulnya akan keluar Say-coan-cu Siong Kam, seorang jago tua dari Beng-ciu. Tapi tiba-tiba Tang Kiam berbangkit mencegahnya: "Siong-lote, akulah yang mengajakmu datang kemari. Masih ingatkah kau akan pembicaraan kita itu?"

Sahut Siong Kam: "Itu waktu sebenarnya kau tak berhasrat datang kemari, kemudian ku katakan bahwa kita berdua itu sudah tua, sedikitpun tak mempunyai keinginan untuk kedudukan pemimpin Lok-lim itu. Tapi tak ada jeleknya kita hadir kemari untuk meninjau apakah didunia Lok-lim dewasa ini terdapat tunas-tunas muda yang lihay."

Tang Kiam tertawa: "Benar! Oleh sebab itu maka kuminta sukalah kau duduk lagi untuk menonton saja!"

"Tang-toako, sebenarnya masih terdapat banyak sekali sahabat-sahabat yang mengajukan dirimu. Jika sekarang kau hendak undurkan diri, bukankah akan membikin kecewa hati mereka?" bantah Siong Kam.

Tang Kiam menggeleng kepala, ujarnya: "Setelah menyaksikan tadi bahwa tunas-tunas muda kita itu mampu mengganti dan bahkan lebih jempol dari kita angkatan tua, aku merasa girang sekali. Masakah aku masih mempunyai nafsu untuk turut berebut lagi? Tapi seperti kau katakan tadi, kitapun tak boleh mengecewakan harapan sahabat-sahabat kita itu maka baiknya begini sajalah. Untuk pertandingan ini, akan kuminta Bo-siauhiap mengunjukkan kepandaian lagi, coba saja aku si tua ini masih dapat melayani sampai berapa jurus? Dengan begitu, biarlah babak terakhir yang tentunya lebih menarik ini dapat segera dimulai dan lekas selesai pula."

Ucapannya itu mengandung dua macam arti. Pertama, sebagai seorang angkatan tua ia akan menguji seorang angkatan muda. Ya, hanya menguji saja bukan hendak merebut menang atau kalah. Kedua, ia hendak mengunjukkan kerendahan hati (mengalah). Jika Siong Kam yang maju, apabila sampai menang, tentu pertandingan ketiga harus dimainkan lagi. Ini berarti akan memakan waktu. Maka ia ambil putusan untuk maju sendiri dengan membawa keyakinan, pasti kalah. Dengan begitu, biarlah babak ketiga, yakni pertandingan antara Bo Se-kiat lawan Thiat-mo-lek, segera dapat dimulai. Dari sini dapat diketahui, sampai dimana kebijaksanaan jago tua itu.

Seperti telah diterangkan dimuka, menurut tata tertib pertandingan, pemenang pertandingan tadi boleh minta diganti orangnya, pun boleh melanjutkan bertempur terus sendiri.

Maka bertanyalah Thian-hiong kepada Se-kiat: "Tang- locianpwe bermaksud hendak berkenalan dengan jago-jago muda saja, maka ia minta kau saja yang terus melanjutkan pertandingin. Bagaimana kehendakmu?"

Se-kiat buru-buru memberi hormat kepada Tang Kiam: "Atas perhatian Locianpwe, aku menghaturkan terima kasih. Dengan segala senang hati kuturut perintah Locianpwe!"

Tang Kiam tertawa gelak-gelak: "Bagus!, Kau hendak pakai senjata apa?"

Kiranya Se-kiat tak membawa senjata apa-apa dan hanya bertangan kosong saja, itulah sebabnya maka Tang Kiam menanyainya.

Se-kiat menjura, ujarnya: "Dihadapan Lo cianpwe masakah aku berani kurang ajar memakai senjata!"

Tang Kiam tertegun, lalu tertawa lagi: "Baik, kalau begitu biarlah aku bertambah pengalaman lagi untuk menyaksikan permainan tangan kosong Siauhiap ini!"

Dikalangan orang persilatan, memang masih menjunjung perbedaan antara kaum tua dengan kaum muda. Jika berhadapan dengan lawan yang sama derajatnya, apabila salah seorang memakai senjata, itu berarti menghina lawan. Tapi terhadap angkatan yang lebih tua, hal itu malah berarti kebaikannya. Tidak menggunakan senjata, itu menandakan menghormat, mengunjukkan bahwa dirinya (kaum muda) tak berani memusuhi seorang Lo cianpwe. Biarpun dirinya terluka, tapi tetap tak mau melukai Locianpwe itu.

Mendengar percakapan itu, sekalian hadirin sama memuji Se-kiat. Tapi mereka diam-diam menguatirkan anak muda itu: "Thiat-pi-kim-to dari Tang Kiam itu jauh lebih hebat dari tongkat besi Thiat-koay Li. Jika Se-kiat memakai pedang, dengan mengandalkan tenaganya yang masih muda itu, ia tentu menang. Tapi kalau hanya dengan tangan kosong saja, karena tenaganya itu tak banyak berguna, maka sukar di tentukan kalah menangnya. Tapi anak muda itu memang perwira sekali, rupanya ia lebih suka kehilangan kesempatan mendapat kedudukan Beng-cu daripada dikatakan tak menghormat seorang Cianpwe!"

Tang Kiam menyelentik sekali punggung goloknya, lalu menyuruh lawan siap: "Baiklah, kalau begitu harap Siauhiap terima seranganku ini!"

Golok kim-to segera ditabaskan miring, Se-kiat rangkapkan kedua tangan selaku memberi hormat sembari tundukkan kepalanya kebawah untuk menghindari tabasan golok. Sebagai seorang angkatan muda, untuk serangan pertama itu ia tak mau membalas. Malah ia sengaja berikan suatu kesempatan bagus kepada Tang Kiam.

"Ai, janganlah Bo-siauhiap berlaku sungkan!" Tang Kiam tertawa. Begitu tubuhnya membalik, ia melancarkan serangan yang lihay. Golok ditangan kanan ditabaskan dari samping dan tinju kirinyapun menyusul dengan sebuah hantaman. Seketika itu kanan, kiri dan bagian tengah dari sianak muda terkurung rapat.

Sama sekali Se-kiat tak menyangka bahwa jago tua yang usianya sudah mendekati 70-an tahun itu, masih begitu hebat dalam permainan golok dan pukulannya. Tanpa terasa mulut Se-kiat memujinya: "Bagus!" Sekalian hadirin menghormati Tang Kiam sebagai seorang ciaupwe. Serempak mereka berseru memuji permainan jago tua itu. Diam-diam mereka membatin: "Dalam taburan sinar golok dan pukulan semacam itu, mungkin lalat pun tak  mampu terbang menerobos keluar. Ha, bagaimanakah anak muda she Bo itu akan menghindarkan dirinya?"

Saat itu terdengar suara berdering dan Se-kiatpun sudah kisarkan kakinya kesamping Tang Kiam. Hanya pakaiannya yang tampak berkibar-kibar tertiup sambaran golok  lawan, tapi orangnya masih tetap tak kurang suatu apa.

Kiranya Se-kiat telah gunakan It-ci-sin-kang (jari sakti) untuk mementalkan golok sedikit lalu menyelundup keluar dari bawah sambaran mata golok itu. Melihat permainan silat sianak muda yang belum pernah disaksikan selama itu, sekalian penonton terhening diam menahan napas. Begitu Se- kiat sudah lolos dengan selamat, pecahlah tepuk sorak mereka menggemparkan tanah datar itu. Sorak pujian kali ini, jauh lebih gempar dari pujian kepada sijago tua Tang Kiam tadi.

Tang Kiam sendiripun turut memuji: "Sungguh hebat! Setengah abad lamanya golokku ini malang melintang dan baru sekarang ketemu tandingannya!"

Dengan gagahnya jago tua itu putar lagi kim-tonya, diimbangi dengan tinjunya yang menghantam seperti angin.

Perbawa serangan jago tua itu, dapat dilukiskan seperti gelombang sungai Tiang-kang yang mendampar dengan dahsyatnya.

Diam-diam Se-kiat memuji juga: "Orang tua ini benar-benar tak bernama kosong. Jika pada tiga puluh tahun yang lalu dikala ia masih muda, tentu aku tak dapat menghadapinya dengan tangan kosong!"

Iapun tak berani berayal dan lalu keluarkan ilmu ginkangnya. Dengan mengandalkan kelincahan, ia hadapi serangan lawan. Dengan tinju menyambut tinju, dengan pukulan menghantam golok.

Begitulah makin lama, kedua jago tua dan muda itu bertempur makin seru. Sekalian hadirin yang menyaksikan pertempuran itu sama menahan napas dan memandang dengan mata tak berkedip.

Se-kiat menyelinap kekanan, menerobos ke kiri. Gerakannya mirip dengan seekor kupu-kupu menyusup kelompok bunga. Empat pelosok delapan penjuru, yang tampak hanyalah bayangan sianak muda itu. Walaupun yang bertempur digelanggang itu hanya dua orang saja, tapi tampaknya seperti ribuan tentara yang tengah bergumul dengan rapat.

Gerakan Se-kiat makin cepat hingga beberapa penonton sama berkunang-kunang matanya. Saking tak tahan, mereka buru-buru pejamkan mata tak berani melihatnya lagi.

Tiba-tiba sinar golok berputar melingkar seperti bianglala dan tahu-tahu kedua jago yang bertempur itu loncat mundur bersama. Dan secepat itu Se-kiat lantas rangkapkan kedua tangan memberi hormar, "Locianpwe, maafkanlah!"

Tang Kiam sarungkan goloknya kedalam kerangka dan tertawa gelak-gelak. Sekalian hadir sama-sama heran tak tahu apa yang telah terjadi. Sana-sini sama bertanya: "Sebetulnya siapakah yang menang itu?"

Tang Kiam tampak acungkan jempolnya dan berseru: "Golok kim-to ini telah kupakai selama 50 tahun, baru pertama kali ini terasa pantul. Tapi selama hidupku, belum pernah aku begini gembira seperti hari ini. Bahwa di dunia Lok-lim telah muncul seorang bintang cemerlang seperti Bo-lote, sungguh pantas di buat girang dan diberi ucapan selamat!"

Mendengar itu barulah sekalian hadirin tahu bahwa Se- kiatlah yang menang. Kiranya dengan kecepatan yang luar biasa, Se-kiat telah berhasil merebut golok lawan kemudian dengan tak kurang sebatnya ia mengembalikannya lagi.

Merebut dan mengembalikan golok itu, telah berlangsung dalam tempo yang cepat sekali, lebih cepat dari kejapan mata orang. Itu sebabnya maka tadi para hadirin melihat bayangan seperti pelangi melingkar lalu tahu-tahu kedua jago itu terpental mundur. Kecuali beberapa tokoh lihay, kebanyakan dari para penonton disitu tak dapat melihat kejadian yang sebenarnya.

Karena fihak Tang Kiam sudah dua kali mengalami kekalahan, jadi babak kedua itu di akhiri sampai disitu dengan fihak Se-kiat sebagai pemenangnya. Untuk babak ketiga atau yang terakhir, akan muncullah golongan Se-kiat melawan jago-jago dari golongan Thiat-mo-lek. Pertandingan ini pasti akan berjalan lebih seru dan menarik. Kalau dalam babak kesatu dan kedua fihak Se-kiat bakal memperoleh kemenangan, itu sudah dapat diduga lebih dulu. Tapi untuk pertandingan babak yang terakhir ini, semua orang tak berani mengira-kirakan lagi.

Thian-hiong selaku juru bicara telah mengumumkan dimulaikannya babak ketiga dengan keterangan bahwa pemenangnya nanti adalah yang berhak menjadi Bengcu. Seketika suasana dalam gelanggang itu menjadi hening. Orang-orang dari kedua rombongan yang akan bertempur itupun sama berkelompok berunding untuk memilih jagonya masing-masing.

Tampak Thiat-mo-lek mengerutkan alis seperti memikirkan sesuatu. To Peh-ing yang berada disamping segera berbisik: "Tidak boleh!"

"Apa yang tidak boleh?" tanya Tian Goan-siu. "Tidak boleh menyerah padanya!" sahut Peh-ing.

"Mengapa tidak boleh? Bo Se-kiat memiliki kepandaian silat yang hebat dan kecerdasan otak yang jempol. Bukankah amat baik sekali jika menyerahkan kedudukan Bengcu padanya?" kata Thiat-mo-lek.

Kata Peh-ing: "Dia datang dari luar lautan, baru setahun menginjak bumi Tionggoan sudah lantas mengikat persahabatan dengan banyak orang gagah. Kuanggap dia memang bermaksud hendak merebut kedudukan Bengcu ini."

"Itu kebetulan sekali! Memang aku sebenarnya tak ingin menjadi Bengcu," kata Thiat-mo-lek.

"Adalah justru karena sifat-sifat kecerdasannya itu amat menonjol sekali, jadi sukar orang hendak menduganya. Siapa tahu ia bakal memimpin saudara-saudara kita kearah mana? Kuharap kecurigaanku ini tak berlebih-lebihan, tapi bagaimanapun aku tak dapat menghilangkan kekuatiran hatiku, ya aku kuatir setelah ia menjadi Bengcu belum tentu dunia Lok-lim akan berbahagia!" kata Peh-ing.

Dalam kalangan Lok-lim, To Peh-ing itu dijuluki sebagai Siau-cu-kat atau Cukat Liang kecil. Cukat Liang atau Khong Bing adalah seorang Kunsu (penasehat militer) yang cemerlang dalam jaman Sam Kok. Dalam meneliti ucapan Peh- ing itu, Thiat-mo-lek seperti merasa ada sesuatu maksud yang dalam. Maka ia merasa kaget dan lantas tak berani buka suara lagi.

Shin Thian-hiong seorang lelaki berwatak blak-blakan. Takut kalau Thiat-mo-lek akan undurkan diri, maka cepat ia acungkan sepasang kapak terus lari kedalam gelanggang.

"Aku seorang pendukung Thiat-mo-lek. Sekarang dengan memberanikan diri, aku akan tampil yang pertama. Siapa diantara saudara-saudara yang akan memberi pelajaran padaku?"

Sebagai tuan rumah, tampilnya Thian-hiong itu telah menarik perhatian semua orang. Anggota-anggota kelompok penyokong Thiat-mo-lek. bangkit semangatnya. Riuh rendah mereka bertepuk tangan dan berseru membantu moril jagonya.

Dari fihak Se-kiat, tampak Kay Thian-ho yang maju.

"Ha, ha, Shin-cecu, kita adalah sahabat kental. Selama ini entah sudah berapa kali kita bertanding minum arak. Bertanding kepandaian, baru pertama kali ini. Kita sama-sama mem bantu sahabat. Tentunya sebagai seorang kakak, kau takkan menyesali adikmu ini, bukan?" kata Thian-ho tertawa.

Thian-hiong tertawa juga: "Baiklah kita anggap pertandingan ini semacam pertandingan arak saja. Siapa kalah siapa menang, harus menerimanya dengan gelak tertawa. Jika kau yang kalah, akan kupersilahkan kau minum tiga puluh cawan besar!"

Kedua tokoh itu, sama tinggi besarnya, sama jujurnya dan sama pula kedudukan namanya dalam dunia Lok-lim. Inilah yang dibilang berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.

Para hadirin tidak ada yang pro mana-mana. Mereka bertepuk memuji Thian-hiong, pun bersorak menyanjung Thian-ho.

In-nio kerutkan alisnya: "Eh, mereka benar-benar akan berkelahi?"

"Sudah tentu berkelahi sungguh-sungguh, masakah hanya bergurau saja? Eh, apakah kau menguatirkan mereka? Takut orang she Kay yang terluka, atau kuatir orang she Shin yang bonyok?" tanya Yak-bwe tertawa.

"Mereka adalah sahabat karib, maka tak perlulah aku menguatirkan. Aku.....ak....." suara In-nio terputus-putus waktu akan menentukan pilihannya.

Yak-bwe mengerti, ujarnya: "Oh, kau kuatirkan Bo-toako dan Thiat-mo-lek. Yang satu kekasihmu, yang satu kenalan kita yang baik. Kemarin mereka masih bercakap-cakap mesra sebagai sahabat lama, tak nyana hari ini mereka saling berebut kedudukan Bengcu. Siapakah yang kau harapkan akan menang?"

In-nio tundukkan kepala berdiam. Beberapa saat kemudian baru menyahut: "Entahlah, aku tak tahu. Hm, aku sungguh  tak mengerti mengapa ia tak mau mengalah untuk Thiat-mo- lek?"

In-nio mengindahkan Thiat-mo-lek, ia anggap Thiat-mo-lek yang lebih tepat menjadi Bengcu. Tapi dalam pada itu, iapun berharap supaya Se-kiat dapat menundukkan para orang gagah dan dapat mengangkat nama. Itulah sebabnya ia kebat-kebit melihat pertandingan antara banteng dan harimau itu dan hatinya gelisah sendiri.

Tiba-tiba Shin Thian-hiong kedengaran berteriak keras hingga In-nio sampai tersentak kaget. Ternyata kedua jago itu sudah bertempur seru dan berteriak-teriak. Tapi pertempuran mereka itu lebih banyak seperti orang adu tenaga. Thian-ho menghantam dengan goloknya dan Thian-hiong menangkis dengan kapaknya. Adu senjata itu telah menimbulkan lengking dering yang memekakkan telinga.

"Kay-lote, sungguh hebat tenagamu!" seru Thian-hiong. "Shin-toako, sepasang kapakmu itu berat bukan main!"

Thian-ho balas memuji.

Mereka berdua sama terbahak-bahak. Tiba-tiba mereka sama menggembor terus berbaku. hantam dengan golok dan kapak lagi. Mereka itu kawan akrab, tetapi diwaktu berkelahi, sama-sama tak mengalah. Karena tenaga mereka kuat, maka gelanggang pertempuran itu sampai terasa bergoncang.

Waktu melayani Wi-tin-ho-sok Ban Liu-tong tadi, karena jago itu sudah tua, Thian-ho tak banyak mengeluarkan tenaga. Kini baru ia keluarkan seluruh kekuatannya. Goloknya berputar menderu-deru. Sedikit saja menyerempet pohon atau batu, tentu benda-benda itu akan hancur. Anak buah Kim-ke- nia tahu bagaimana kepandaian Cecunya (Thian-hiong), tapi tak urung mereka merasa kuatir juga.

Dan ternyata Thian-hiong tak mengecewakan harapan mereka. Demi untuk kepentingan Thiat-mo-lek, ia bertempur dengan mati-matian. Sepasang kapaknya itu masing-masing tak kurang dari 50 kati beratnya. Jadi lebih berat dari golok Thian-ho. Waktu dimainkan, sepasang kapak itu seperti dua ekor naga yang tengah berebut mustika. Perbawanya dapat melekahkan gunung, menghancurkan batu. Juga anak buah Thian-ho tak terluput dari perasaan kuatir seperti anak buah Kim-ke-nia. Mereka tahu dan percaya akan kegagahan Cecunya masing-masing, tetapi tetap merasa kuatir juga.

Saking hebatnya pertempuran itu, para penonton yang tadinya bersorak memberi semangat, kini makin berkurang dan akhirnya lenyap sama sekali. Mereka sama menahan napas. Dahsyatnya pertarungan kedua jago itulah yang membuat suasana berobah menjadi hening tegang.

"Mereka berdua sama-sama berangasan dan bersahabat baik. Siapa yang terluka, mereka tentu merasa menyesal seumur hidup," demikian semua orang sama membatin.

Sekonyong-konyong keduanya berbareng menggembor keras. Thian-ho lintangkan goloknya dan trang.....dua buah logam beradu keras, menghamburkan letikan api. Sepasang kapak Thian-hiong dan golok Thian-ho sama-sama terpental keudara. Dan orangnyapun sama-sama terjungkir balik.

Sekalian hadirin terkejut. Beberapa orang sudah cepat- cepat memburu masuk kegelanggang. Ada yang menolong Thian-hiong ada yang mau mengangkat Thian-ho.

Tiba-tiba kedua orang itu sama menghambur tertawa gelak-gelak dan hampir bersamaan saatnya mereka sama- sama gunakan gerak Le-hi-ta-ing atau ikan lele berjumpalitan, mereka loncat berdiri. "Kay-lote, kau memang hebat. Sepasang kapakku itu sekarang hanya dapat digunakan untuk menebang kayu bakar saja!" seru Thian-hiong.

"Sama-sama! Golokku itupun nantinya hanya dapat digunakan untuk memotong sayur saja!" sahut Thian-ho.

Keduanya sama menjemput senjatanya masing-masing. Sepasang kapak Thian-hiong rompal-rompal, golok Thian-ho ujungnya juga melingkar. Keduanya sama tertawa kegirangan.

"Bagaimana ini?" seru Thian-hiong. "Kita berdua seperti pengemis yang kematian ular, sama-sama nihil tak dapat apa- apa!"

"Kalau begitu kita bertanding minum arak sajalah!" sahut Thian-ho.

Karena senjatanya sama-sama terpental jatuh dan orangnya tak terluka, maka pertandingan itu berakhir seri. Seorang juri tampil kemuka dan mengumumkan pertandingan itu seri. Melihat kesudahan pertempuran itu, kedua belah fihak sama gembira puas.

Baru kedua jago tua itu dengan diantar oleh tepuk sorak yang riuh meninggalkan gelanggang, tiba-tiba terdengar gemerincing kelinting kuda. Kuda itu mendatangi dengan pesat sekali.

"Toan-siauhiap datang!" sekonyong-konyong ada orang berteriak.

"Hai, ia bersama seorang nona, siapa nona itu?" kata seorang lain.

Jantung Yak-bwe mendebur keras. Waktu mendongak mengawasi, memang benar ada dua penunggang kuda berlari mendatangi. Yang berada dimuka ialah Toan Khik-sia dan dibelakangnya seorang nona baju merah. Sesudah melihat terang, sekalian orang gagah sama bersorak: "Hai, nona Lu, kau datang juga? Mana engkohmu?"

Begitu loncat turun dari kudanya, nona baju merah itu segera menjura keempat jurusan. Serunya: "Engkohku suruh aku menyampaikan salam kepada saudara-saudara sekalian. Dia tak datang."

Nona itu cantik sekali, tapi gagah juga. Dibawah sorotan mata dari sekian banyak orang gagah, sedikitpun ia tak jengah. Sikapnya wajar seperti seorang pemuda.

"Rasanya nona Lu itu tak asing bagiku, tetapi mengapa ia datang bersama Toan-toako? Entah apakah hanya secara kebetulan bertemu saja atau memang ajak-ajakan?" demikian Yak-bwe membatin.

Begitu tiba dihadapan Thian-hiong, Khik-sia lantas memberi keterangan: "Shin-sioksiok, maafkan aku terlambat datang. Inilah surat dari Hong-ho-ngo-pa. Dalam menundukkan Hong- ho-ngo-pa kali ini, aku banyak mendapat bantuan dari nona Lu."

Ia membuka sebuah bungkusan dan menyerahkan lima buah sampul besar warna merah kepada Thian-hiong.

"Bagus, bagus. Setelah Bengcu yang baru di lantik resmi, nanti akan kuhaturkan arak pernyataan selamat padamu!" kata Thian-hiong.

Nona baju merah itupun menghampiri dan berkata: "Shin- cecu, hari ini aku menjadi seorang tetamu yang tak diundang, kiranya Cecu tentu takkan mengusir aku, bukan?"

"Al, mana, mana! Sebenarnya sudah kusisakan surat undangan kepada kalian kakak beradik, tapi karena tak tahu alamatnya, jadi sayang tak dapat diterimakan. Harap nona suka maafkan. Kedatangan nona kemari ini, telah memberi muka terang kepada kami semua. Barusan saja aku habis bertempur dengan seorang sahabat karib, jadi rupaku tentu tak keruan, harap nona jangan menertawakan aku," kata Thian-hiong.

Memang Cecu dari gunung Kim-ke-nia itu mukanya kotor kena lumpur, pakaiannya ada yang koyak. Ya, benar-benar lucu kelihatannya.

Nona baju merah itu tak dapat menahan gelinya lagi. Ia mengikik tertawa, sahutnya: "Sayang aku datang terlambat, tak dapat menyaksikan Cecu main kunthau tadi. Tapi, ah, janganlah aku mengganggu urusan disini. Silahkan kalian melanjutkan pertandingan lagi."

"Toan-hiantit, kebenaran sekali kau datang!" seru To Peh- ing seraya menarik tangan pemuda itu kearah fihaknya.

Nona baju merah itu juga ikut berdiri di samping Khik-sia. Melihat pergaulan mereka yang begitu akrab, hati Yak-bwe menjadi gundah. Malah ada dua orang tetamu yang berada didekat situ, saling membicarakan tentang Khik sia dengan sinona baju merah.

"Adik perempuan dari Sin-cian-chiu Lu Hong-jun itu, jika dipasangkan dengan putera dari Toan-tayhiap, sungguh merupakan sejoli yang sebabat sekali!" demikian kata seorang diantaranya.

Maka sahut orang yang lain: "Tapi puteri dari keluarga Lu itu tampaknya lebih tua beberapa tahun dari putera keluarga Toan."

Kata orang yang pertama tadi: "Apa halangannya? Bukankah didesa kami banyak  mempelai-mempelai perempuan yang jauh lebih tua dari lakinya?"

Di Tiongkok dulu ada kebiasaan, mengambil menantu perempuan sejak masih kecil. Orang tua diri fihak lelaki, mengambil dan memelihara calon menantu bagi puteranya yang masih kecil. Setelah gadis itu dewasa, barulah dinikahkan dengan resmi. Ini hampir sama dengan kebiasaan di Indonesia yang disebut nikah pacul. Bedanya kalau disana calon menantu perempuan yang dipelihara mertuanya, tapi kalau disini calon menantu laki yang dipelihara mertuanya.

Lalu ada seorang lagi yang turut bicara;

"Benar, mereka adalah keturunan kaum persilatan. Didunia persilatan mereka mempunyai kedudukan sebagai ksatrya- ksatrya angkatan muda. Keduanya sama-sama rupawan, jika saling berjajar, wah, sungguh seperti sepasang dewa-dewi. Jika mereka dapat terangkap menjadi suami-isteri, pasti akan menjadi buah sanjungan dunia persilatan."

Hati Yak-bwe makin kecut. Diam-diam ia membatin: "Menurut ucapan Khik-sia tadi, mereka berdua itu bukan secara kebetulan bersua dijalan. Malah nona she Lu itu katanya pernah membantu dia menundukkan Hong-ho-ngo- pa. Wah, hubungan mereka tentu sudah mendalam!"

Tiba-tiba In-nio membisiki telinganya: "Pemuda-pemudi persilatan itu umumnya bergaul secara bebas. Adik yang baik, jangan pikirkan yang tidak-tidak. Lebih baik kau tutup telingamu jangan mendengar ocehan mereka."

"Sedikitpun aku tak gelisah. Jika dia berbalik pikiran, akupun tak merasa kecewa," sahut Yak-bwe.

Walaupun sang telinga tak ingin mendengar, namun tak urung sang hati kepingin mengetahui. Tanpa dapat dicegah lagi, bertanyalah Yak-bwe kepada orang tadi: "Siapakah sebenarnya kakak beradik she Lu itu?"

Orang itu tertawa, sahutnya: "Kakak beradik she Lu adalah bintang-bintang cemerlang dalam kalangan persilatan, masakah kau tak mengetahui? Mereka menuntut penghidupan sebagai maling haguna (mulia). Memang jarang sekali mereka melakukan pekerjaan, tapi sekali turun tangan tentu "ikan besar" yang ditangkapnya. Hasil yang diperolehnya, tentu didermakan pada rakyat yang menderita. Mereka benar-benar layak disebut pendekar-pendekar budiman dan dermawan. Kedua kakak beradik itu memiliki kepandaian istimewa. Kakaknya disebut Sin-cian-chiu Lu Hong-jun yang malang, melintang didaerah selatan-utara dengan sebatang busur besinya. Didunia persilatan sukar dicari orang kedua yang dapat memanah begitu tepat seperti dia. Adiknya, Lu Hong-jiu lebih lihay lagi. Selain ilmu goloknya amat lihay, pun ia mempunyai kelinting Sip-hun-leng."

"Apakah Sip-hun-leng itu?" tanya Yak-bwe dengan heran.

Orang itu tertawa: "Sewaktu berjalan bukankah ia kedengaran bergemerincing seperti suara kelinting? Pakaiannya itu dipasangi banyak sekali kelinting emas kecil- kecil sebesar jari. Sewaktu bertempur dengan musuh, kelinting-kelinting itu dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia. Kelinting itu khusus dipakai untuk menghantam jalan darah berbahaya dari orang. Seratus kali timpuk, seratus kali kena. Maka banyaklah musuh-musuhnya yang sudah lari terbirit-birit jika mendengar suara kelintingnya itu. Selain itu, pun ada lain kegunaannya. Karena orangnya amat cantik dan jika berjalan berkelintinean seperti diiringi musik, maka banyaklah orang-orang yang tak mengetahui siapa nona itu, tentu akan terpikat semangatnya."

Mendengar orang begitu memuji-muji Lu Hong-jiu, hati Yak-bwe makin tak tenteram. Pikirnya: "Seperjalanan dengan nona itu entah apakah Khik-sia tidak akan dipikat semangatnya, diraih jiwanya?"

"Ah, sudahlah jangan membicarakan Sip-hun-leng lagi. Lihat saja bagaimana mereka akan mengadu jiwa itu. Hai, lihatlah, Toan Khik-sia maju kemuka. Baru saja datang, apa ia sudah lantas mau membantu Thiat-mo-lek memperebutkan kedudukan Bengcu?" demikian seorang yang berada disebelah segera menyeletuk tertawa.

Dan begitu berada ditengah gelanggang, Khik-sia lantas berseru nyaring: "Bo-toako!" Se-kiat yang dengan sehatnya sudah menyongsong, pun berteriak keras: "Hai, Toan hiante!"

Kedua jago muda itu segera saling berjabatan tangan dan tertawa gelak-gelak.

"Begitu mendengar kau datang ke Tionggoan siang-siang aku lantas ingin menjumpaimu. Apakah leng-siok (pamanmu) baik-baik saja? Dahulu aku banyak menerima petunjuknya yang berharga," kata Khik-sia.

"Pada waktu kembali dari Tionggoan, dalam membicarakan tentang tokoh-tokoh Bu-lim dewasa ini, pamanku juga tak putus-putusnya nemuji kau. Beliau masih ingat, pada waktu itu kau baru berumur 10-an tahun, tapi sudah dapat digolongkan sebagai salah seorang tunas muda yang paling menonjol dalam angkatan muda. Beliau amat terkenang padamu. Begitu datang di Tionggoan aku dititahkan segera mencarimu. Sayang karena mondar-mandir kian kemari, baru sekarang aku dapat bertemu muka dengan kau," sahut Se- kiat.

Kata Khik-sia: "Aku sendiripun sayang sekali terlambat sedikit, tak dapat menikmati pelajaran yang Bo-toako unjukkan dalam pertempuran tadi."

Beberapa orang yang sudah kepingin menyaksikan pertempuran ramai, segera berteriak: "Sekarang masih belum malam. Omong-omong nanti saja dilanjutkan, sekarang adu kepandaian dulu agar mata kita dapat terbuka lebih lebar!"

Khik-sia tertawa: "Bo-toako, sebenarnya aku tak berani jual aksi dihadapanmu. Tapi setelah menerima beberapa petunjuk dari leng-siok, berselang beberapa tahun kemudian, entah kemajuanku sampai dimana. Hari ini beruntung aku dapat berjumpa dengan toako. Jika toako sudi memberi petunjuk, aku sungguh merasa beruntung sekali." "Ah, janganlah Toan-hengte begitu merendah. Memberi petunjuk, aku mana berani. Sekarang baiklah kita bermain- main untuk saling menguji kepandaian kita saja!" kata Se-kiat.

Mendengar itu jago tua Hiong Ki-gwan segera menyeletuk dengan tertawa: "Ah, tak usah kalian berdua saling sungkan. Ini adalah pertandingan resmi, bukan hanya sekedar saling menguji kepandaian secara biasa saja. Toan siauhiap mewakili Thiat-cecu dalam pertandingan kedua. Baiklah, sebelumnya hendak ku tegaskan lagi, silahkan kalian mengeluarkan kepandaian sungguh-sungguh."

"Apa yang diucapkan saudara Hiong Ki-gwan itu memang benar!" sekalian hadirin sama tertawa memberi komentarnya.

Khik-sia tertawa: "Masakah aku tahu sungkan? Apa yang kukatakan tadi memang berasal dari lubuk hatiku. Memang saat ini aku membantu Thiat-mo-lek untuk merebut kemenangan dan berusaha keras supaya jangan sampai kalah. Tapi bagaimanapun halnya, aku harus bersedia kalah juga. Maka akupun hanya dapat mengatakan kepada Bo-toako untuk meminta petunjuk saja."

Habis itu ia silangkan pedang ditangan dan berkata: "Bo- toako, maafkan aku berlaku kurang ajar akan menyerang lebih dulu!"

Padahal yang dikata 'kurang ajar' itu pada hakekatnya bersikap menghormat orang. Karena ia dengan Se-kiat itu sama tingkatannya. Bertempur dengan orang yang sama tingkatannya, jika menyerang dulu, itu berarti merendahkan kedudukan diri sendiri dan mengangkat derajat lawan.

Maka bahu Se-kiat sedikit bergerak dan tubuhnya segera mundur sampai 7-8 langkah. Ia pun sudah lantas melolos pedang, ujarnya: "Bagus, Hiante, silahkan!"

Dalam pertandingan yang terdahulu, ia tak mau gunakan senjata. Bahwa kini ia memakai pedang itu berarti memandang tinggi juga kepada Khik-sia. Melihat kedua pemuda itu sudah siap akan bertempur, Yak- bwe dan In-nio tumpahkan seluruh perhatiannya. Hati kedua gadis itu kebat-kebit tak keruan.

Tampak Khik-sia lintangkan pedang didada. Sebelum bergerak, lebih dulu ia menatap sejenak kepada Se-kiat. Ia lihat Se-kiat mengambil sikap (kuda-kuda) yang disebut "Bu- kek-bap-it-gi". Sebuah jurus ilmu pedang yang memusatkan seluruh tenaga dan pikiran menjadi satu. Sepasang tangan menjulai, mata memandang keujung pedang dan kuda-kuda kakinya mengapung tegak. Keadaan anak muda itu benar- benar angker seperti gunung, tenang laksana telaga.

Tergetar hati Khik-sia melihat perbawa lawan, pikirnya: "Jurus yang diambilnya itu sungguh kokoh sekali, aku harus mencari siasat untuk membobolkannya."

Jika kaum Ko-chiu (jago sakti) bertanding, sedikit kesempatan saja sudah dapat menentukan kalah menangnya. Kalau dalam jurus pertama tak dapat menguasai pertandingan, tentu berbalik akan dikuasai lawan. Tapi dasar muda, maka Khik-sia tak terhindar dari watak ingin menang. Meskipun ia tahu tak mempunyai modal untuk mengalahkan Se-kiat, namun ia merasa enggan kalau sampai kalah. Maka ia amat memperhatikan sekali akan jurus pembukaan dari lawan.

Se-kiat tertawa: "Toan-hengte, mengapa belum menyerang?"

Khik-sia sudah menetapkan rencana. Tiba-liba ia berseru: "Lihat pedang!" terus saja ia mulai mainkan pedangnya. Tapi anehnya, pedang bukan diserangkan langsung ketubuh Se kiat, melainkan berputar-putar mengelilingi orang. Sinar pedang berhamburan laksana hujan mencurah. Sepintas pandang seolah-olah berpuluh-puluh "Khik-sia" menyerang Se-kiat. Serangan itu sukar dilukiskan kecepatannya. Semua penonton hanya melihat sinar pedang bergulung-gulung, sedang bayangan orang ampak sama sekali. Kiranya Khik-sia menggunakan siasat memakai kelebihan dirinya untuk menyerang kelemahan lawan. Teringat ia akan paman Se kiat bernama Bo Jong-long. Pada waktu itu Bo Jong-long pernah menguji kepandaiannya suheng Khik-sia, yakni Gong-gong-ji. dari segala kepandaian, Bo Jong-long lebih unggul. Hanya dalam ilmu ginkang, ia kalah setingkat dengan Gong-gong-ji.

Khik-sia merasa, dalam ilmu ginkang sekarang ia sudah hampir menyamai suhengnya. Sebaliknya ia memperhitungkan, kepandaian Se-kiat itu diperoleh dari pamannya, sudah tentu tak dapit menyamai benar-benar dengan sang paman. Maka Khik-sia ambil putusan gunakan serangan kilat. Ia harap Se-kiat akan menjadi keripuhan.

Tapi tiba-tiba terdengar serentetan suara gemerincing dari senjata beradu. Se-kiat dengan masih tegak laksana gunung, setapakpun kakinya tak berkisar, telah dapat menghalau tiga puluh jurus lebih serangan Khik-sia. Tapi sekalipun begitu dalam libatan serangan kilat berantai dari Khik-sia itu, Se- kiatpun tak berdaya untuk balas menyerang.

"Ia telah menguasai dengan sempurna ilmu Menghapus tenaga serangan lawan. Baik, akan kuserbu ia dengan siasat 'sembilan kali kosong satu kali sungguh'. Dengan pedang pusaka, masakah ia tak kelabakan," diam-diam Khik-sia mengatur rencana.

Kiranya pedang yang berada ditangan Khik-sia itu, adalah pedang pusaka warisan mendiang ayahnya. Pedang pusaka itu dapat menabas logam seperti menabas kapuk. Tapi dikarenakan dalam setiap kali bergerak, Se-kiat selalu dengan tepatnya dapat menghapus tenaga lawan, maka pedang pusakanya itupun tak dapat berkembang perbawanya. Coba kalau tenaganya berimbang atau setidak-tidaknya hanya terpaut sedikit saja, tentu tenaga "menghapus" itu tak nanti mempan. Memang siasat menyerang kilat yang digunakan Khik-sia tadi, tepat sekali. Tapi karena terlampau cepatnya ia melontarkan serang begitu merapat lantas mundur, maka perbawa pedangnya tak dapat menggabungkan kondisi antara kedahsyatan dengan kecepatan, karena itu mudah dihapus kekuatannya oleh Se Kiat.

Kini Khik-sia mengganti siasat sembilan kosong, satu kali sungguh. Gerakannya serba bahkan lebih cepat dari tadi. Hanya saja dalam kesepuluh kali serangan itu, tak seluruhnya dilontarkan dengan cepat. Yang sembilan kali serangan  kosong memang dilancarkan cepat. Yang satu kali serangan sungguh, agak lambat tapi keras. Tapi karena serangan yang cepat lebih besar jumlahnya, jadi keseluruhannya merupakan serangan cepat semua.

Dan yang lebih lihay lagi, walaupun serangan kosong, tapi apabila lawan kelihatan ayal, dapat juga berobah menjadi serangan sungguh-sungguh.

Dalam ilmu pedang, Se-kiat sudah mempunyai peyakinan sempurna. Namun menghadapi bertubi-tubi serangan kosong dari Khik-sia itu, tak urung ia heran juga. Tiba-tiba saat itu Khik-sia maju merapat dan melancarkan serangan sungguh. Anginnya menderu keras.

Serangan kali ini, indahnya bukan buatan, hebatnya bukan kepalang. Sekalian orang gagah yang menyaksikan sampai terkesiap kaget, In-nio sampai menjerit tertahan dan si berangasan Kay Thian-hopun berjingkrak keatas.

Dalam detik-detik yang menegangkan urat syaraf itu, sebelum sekalian penonton melihat jelas, tiba-tiba terdengar Se-kiat berseru memuji: "Ilmu pedang hebat, sambutlah serangan ini!"

Dan tampaklah ia kibaskan pedangnya dalam jurus Biau- chiu-te-sing atau tangan indah memetik bintang. Tepat sekali pedangnya itu sudah dapat melekat pedang pusaka Khik-sia. Kemudian sekali dipelintirkan kemuka, ujung pedang lantas mengancam jalan darah Hian-ki-hiat didada Khik-sia.

Waktu melancarkan serangan berisi (sungguh), memakai tenaga lebih besar, jadi kecepatan serangan Khik-siapun berkurang. Se-kiat adalah seorang akhli pedang yang menguasai segala gerak-gerik lawan. Sedikit perobahan dari gerakan Khik-sia itu tak terluput dari pandangan matanya yang jeli. Segera ia menguasai kesempatan itu, kecepatan dilawan dengan kecepatan, menyerang untuk menghalau serangan,

Perobahan siasat dari bertahan berganti menyerang itu, datangnya secara tak terduga-duga. Kalau tadi In-nio yang menjerit tertahan karena Se-kiat terancam, adalah sekarang giliran Yak-bwe yang berteriak tertahan sebab Khik-sia terserang.

Sekonyong-konyong Toan Khik-sia bersuit, tubuhnya mencelat keudara dan serupa dengan Se-kiat tadi, iapun berseru: "Ilmu pedang hebat, sambutlah serangan ini!"

Bagaikan burung melayang, anak muda itu melampaui kepala Se-kiat dan dengan jurus Eng-kik-tiang-gong atau burung elang menghantam udara, laksana selarik pelangi pedangnya menusuk kebawah.

Se-kiat putar pedangnya melingkar. Dua kali ia berputar tubuh dan serangan Khik-sia tadi dapat dipecahkan. Detik demi detik diperebutkan oleh mereka berdua untuk mendahului menyerang. Bagaimana tegang dan runcingnya pertempuran itu, sukar dilukiskan. Setiap perobahan situasi, sukar diduga sama sekali.

Sekalian hadirin hanya melihat gelanggang pertempuran itu penuh dengan sinar pedang. Sinar pedang yang bentuknya menyerupai sepasang naga saling berebut mutiara. Mana Se- kiat dan mana Khik-sia sudah tak dapat dibedakan lagi. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba tampak permainan pedang kedua anak muda itu mulai lambat gerakannya. Bagi orang yang tajam pendengarannya, akan dapat mendengar bahwa di dalam deru sambaran pedang itu, juga terdapat hamburan napas yang bergolak-golak.

Diam-diam Thiat-mo-lek berbisik-bisik kepada To Peh-ing: "Sebenarnya Khik-sia Hiantit itu masih kurang pengalaman, tapi ia bernafsu sekali untuk menang."

Kiranya pertempuran itu berlangsung dengan seimbang. Masing-masing mengeluarkan keistimewaannya sendiri-sendiri. Khik-sia menang unggul dalam ilmu ginkang, sedang Se-kiat menang kuat dalam ilmu lwekang. Dalam babak permulaan, Khik-sia secara cerdik telah menetapkan rencana menggunakan kelebihan kepandaiannya untuk menundukkan kelemahan lawan. Tapi karena siasat itu sampai sekian lama tak memberi hasil, ia lantas berganti siasat dengan sembilan kali serangan kosong, satu kali serangan berisi. Berkat ketajaman pedang pusakanya, memang ia dapat menang angin sedikit.

Tapi Se-kiat ternyata seorang akhli pedang yang sudah kenyang pengalaman. Menggunakan kesempatan sewaktu Khik-sia agak lambat gerakannya, Se-kiat cepat balas menyerang. Dengan begitu selalu dapat merobah situasi dari di serang menjadi menyerang. Saat itu, ia salurkan lwekangnya keujung pedang. Hamburan suara yang bergolak- golak tadi, ialah berasal dari arus hawa dalam tubuhnya sewaktu memainkan pedang.

Makin lama permainan pedang Se-kiat makin perlahan. Pada akhirnya, tampak sepasang matanya memandang lekat- lekat keujung pedang. Seolah-olah pedangnya itu seperti diganduli benda yang beratnya seribu kati. Lambat-lambat ia menunjuk ketimur, menggurat kebarat. Jauh sekali perbedaannya dengan permainannya dalam babak-babak permulaan tadi. Namun bagi mata seorahg akhli silat, hal itu sebaliknya malah lebih dahsyat dari yang tadi.

Khik-sia merasa pedang ceng-hong-kiam lawan beratnya seperti sebuah gunung. Daya tindihnya makin lama makin berat sekali. Apa boleh buat, iapun lalu kerahkan lwekangnya untuk melayani. Kini rencananya semula menjadi buyar semua. Kelincahan ginkang dan kecepatan permainan pedangnya, tak dapat digunakan sama sekali.

Tring, tiba-tiba kedengaran suara bergemerincing dan melengketlah kedua pedang anak muda itu menjadi  satu, diam tak bergerak lagi. Beberapa jenak kemudian, tubuh kedua anak muda itu tampak menurun sampai separuh bagian. Astaga, kiranya kaki mereka itu menyusup kedalam tanah.

Sewaktu sekalian hadirin sama terperanjat, sekonyong- konyong Thiat-mo-lek loncat ketengah gelanggang dan berseru: "Sudah, hentikan pertempuran. Pertandingan ini adalah Bo toako yang menang!"

Trang, berbareng dengan seruan itu, terdengarlah suara bergemerincing keras. Pedang pusaka Khik-sia mencelat terlepas dari tangan, sedang ceng-hong-kiam Se-kiatpun terkutung separuh.

Kiranya pertandingan yang terakhir itu, merupakan pertandingan adu lwekang. Sudah tentu Se-kiat unggul. Tepat dikala Thiat-mo-lek loncat sambil berseru tadi, Se-kiat telah berhasil mencungkil pedang Khik-sia sampai meacelat keudara. Tapi dikarenakan lwekangnya tak terpaut banyak sekali dengan Khik-sia dan lagi pedang Khik-sia itu sebuah pedang pusaka, maka sewaktu Khik-sia mengerahkan lwekang sekuatnya, segera pedang pusaka itu mengunjuk gigi. Berbareng pedang Khik-sia terpental, pun pedang Se-kiat terkutung. Begitu loncat maju, Thiat-mo-lek segera ulurkan sepasang tangan untuk menyiak kedua pemuda itu. Dan berbareng itu, ia membuyarkan tekanan tenaga lwekang masing-masing, agar jangan ada salah satu yang terluka. Para tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi dalam kalangan hadirin, sama memuji tindakan Thiat-mo-lek. Mereka memuji Thiat-mo-lek sebagai orang yang adil, tidak semata mementingkan keuntungan fihaknya.

Seperti diketahui, ia dengan Se-kiat itu terhitung fihak yang berlawanan. Dengan mengakui fihaknya yang kalah, sebenarnya ia boleh menarik Khik-sia seorang saja.

Apakah Se-kiat terluka atau tidak karena tekanan lwekang Khik-sia nanti, ia boleh tak usah memperdulikan. Tapi ternyata ia rela mengambil resiko menerima tekanan lwekang dari kedua fihak. Tanpa memandang mana kawan mana lawan, ia perlakukan sama rata. Kedua-duanya ia tarik dengan berbareng. Kejujurannya itu menimbulkan rasa kagum dan perindahan dalam hati sekalian hadirin.

Khik-sia memungut pedangnya. Dengan muka kemerah- merahan ia berkata: "Lwekang Bo toako sungguh hebat sekali. Dengan tulus hati, aku mengaku kalah!"

Se-kiat tersipu-sipu goyangkan tangan: "Tidak!! kau sudah mengutungkan pedangku. Sebenarnya akulah yang harus dianggap kalah!"

"Mana bisa!" bantah Khik-sia. "Aku dapat mengutungkan pedangmu karena mengandalkan ketajaman pedang pusakaku. Tapi berkat ilmu kepandaian yang sesungguhnyalah kau dapat membikin terlepas pedangku. Sudah tentu aku harus mengaku kalah."

Mendengar perdebatan saling berebut mengaku kalah itu, sekalian orang gagah merasa heran tapi kagum.

Maka berkatalah Thiat-pi-kim-to Tang Kiam: "Tadi sewaktu bertanding, sejengkalpun kalian tak mau saling mengalah. Sekarang malah rebutan mengaku kalah. Aku sudah hidup beberapa puluh tahun, tapi baru sekali ini melihat peristiwa yang begini istimewanya."

Pecahlah mulut sekalian hadirin dengan gelak tertawa yang gemuruh.

Jago tua Hiong Ki-gwan yang menjadi juri segera tampil kemuka: "Ah, sudahlah, jangan kalian berbantah. Menurut peraturan pertandingan, belum ada ketetapan yang menyatakan senjata-senjata apa yang tak diperbolehkan di pakai. Pedang pusakakah atau kapak penebang kayukah, semua boleh dipakai. Pendek kata yang menang tetap dianggap menang. Menurut penilaian pertandingan tadi, yang satu senjatanya terlepas jatuh, yang lain pedangnya kutung. Terlepasnya pedang Khik-sia memang terjadi lebih dulu, tapi kerusakan yang diderita pedang Se-kiat itu lebih besar. Karena kedua belah fihak tak mau melanjutkan bertanding dengan tangan kosong, maka menurut peraturan, pertandingan ini hanya dapat dianggap seri."

Sekalian hadirin menyetujui putusan juri itu. Apa boleh buat, Se-kiat dan Khik-sia tak mau berbantah lagi, dan masing-masing saling menyatakan maaf.

Selanjutnya berseru pula Hiong Ki-gwan: "Menurut peraturan pertandingan, bagi setiap calon Bengcu diharuskan bertempur satu kali. Babak ketiga ini sudah berlangsung dua kali pertandingan. Dari fihak Thiat-mo-lek yang maju pada pertandingan pertama ialah Thian-hiong. Kemudian pertandingan kedua, yang maju Toan Khik-sia. Maka untuk pertandingan yang terakhir, haruslah Thiat-mo-lek sendiri yang tampil. Fihak Bo Se-kiat yang maju untuk pertandingan pertama ialah Kay Thian-ho. Kemudian pertandingan kedua, yang maju Se-kiat sendiri. Untuk pertandingan terakhir, menurut peraturan pertandingan, Se-kiat boleh menyuruh lain kawannya yang maju, pun boleh juga ia sendiri lagi yang tampil." Juri itu berhenti sejenak, lalu bertanya kepada Se-kiat: "Bo- siauhiap, apakah kau akan maju sendiri atau suruh lain kawan yang maju?"

Se-kiat memberi hormat kepada Thiat-mo-lek, ujarnya: "Kepandaian dari Thiat-cecu melebihi lain-lain orang. Keharuman nama Thiat cecu termasyhur sampai jauh. Dengan setulus hati aku merasa kagum. Bahwa dapat memperoleh rejeki seperti saat ini, aku merasa beruntung sekali. Jika tak menampik, aku hendak mohon pengajaran pada Thiat-cecu."

"Ahh, kepandaian Bo-heng begitu sakti. Apa yang kusaksikan tadi benar-benar sesuai dengan kenyataan, sudah tentu aku tak berani menampiknya. Hanya saja, aku mempunyai suatu pengharapan. Jika Bo-heng dapat meluluskan, barulah hatiku merasa tenteram," kata Thiat-mo- lek.

Sahut Se-kiat: "Apabila Thiat-cecu yang menitahkan, tak ada alasan bagiku untuk tak mentaati." .

Sekalian orang gagah yang hadir disitu sama kenal bagaimana pribadi Thiat-mo-lek yang penuh dengan kebajikan dan luhur budi. Harapan atau permintaan yang akan diajukan, tentu takkan bernada merugikan orang dan menguntungkan diri sendiri. Tetapi sikap Se-kiat yang tak ragu-ragu menyatakan kesediaannya itupun mendapat pujian tinggi dari sekalian hadirin.

Serentak berserulah Thiat-mo-lek dengan suara sungguh- sungguh: "Baiklah, sekali seorang ksatria sudah berkata. "

"Laksana kuda dicambuk berlari cepat!" buru-buru Se-kiat menyanggapi.

Pada saat itu salah seorang anak buah Se-kiat telah mengantarkan sebatang pedang ceng-hong-kiam kepadanya. Maksudnya hencak minta Se-kiat berganti pedang baru karena pedangnya yang tadi sudah kutung. Tapi karena melihat pemimpinnya (Se-kiat) sedang berbicara dengan Thiat-mo-lek, maka orang itupun tak berani mengganggu dan hanya tegak menunggu disamping saja.

Tiba-tiba Thiat-mo-lek lambaikan tangan kearah Khik-sia: "Toan-hiante, berikanlah pedangmu itu kepadaku!".

Orang-orang difihak Se-kiat terkejut. Pikir mereka: "Tidak sari-sarinya Thiat-mo-lek berbuat begitu. Apakah karena hendak berebut kedudukan Bengcu, maka ia tak menghiraukan harga diri lagi? Apakah ia hendak gunakan pedang pusaka untuk menempur Bo Se-kiat yang sudah lelah?"

Khik-sia sendiripun tampak ragu-ragu. Tapi terpaksa ia serahkan pedangnya juga. Setelah menerima pedang, berkatalah Thiat-mo-lek dengan tenang: "Bo-heng, harap maafkan atas kelancanganku ini. Harap kau sudi memakai pokiam ini!"

"Apa artinya ini? Kau, kau....." sahut Se kiat dengan tergagap-gagap.

Thiat-mo-lek cepat menyela: "Harap Bo-heng jangan salah faham. Sekali-kali aku tak bermaksud memandang rendah Bo- heng. Kau tadi sudah bertanding melawan Khik-sia, ini berarti aku mendapat kemurahan. Dengan berganti pakai pokiam, barulah pertandingan ini akan menjadi adil!"

Sekarang barulah orang-Orang difihak Se-kiat mengerti maksud Thiat-mo-lek. Mereka merasa malu sendiri, malu karena mengukur pribadi seorang ksatria dengan ukuran seorang siaujin (manusia rendah).

Se-kiat tertawa gelak-gelak: "Terima kasih atas kebaikan Thiat-cecu. Tapi maafkan, aku tak dapat menerimanya."

Ia sengaja hendak pamerkan lwekangnya. Maka ketawanya itu tergemerontang seperti patu logam berbentur. Kumandangnya jauh sampai menjurus kelembah. Dengan ketawa itu, Se-kiat hendak mengunjukkan bahwa ia masih mempunyai tenaga cukup untuk melayani Thiat-mo-lek, tak, memerlukan suatu senjata apapun lagi.

Benar juga, kelihayan anak muda itu telah mengejutkan seluruh hadirin.

Thiat-mo-lek sendiri tetap tenang. Dengan tersenyum ia berkata: "Kita kaum persilatan, selalu pegang teguh akan setiap patah ucapan, masakah kita mau ingkar?"

Tampak Se-kiat kerutkan dahi. Setelah bersangsi sebentar, dengan enggannya terpaksa ia menyambuti pedang dari Thiat- mo-lek itu. Dalam detik-detik, batinnya mengalami pertentangan-pertentangan.

Pertama ia membatin: "Sifat kesatri dari Thiat-mo-lek ini amat menonjol sekali, menawan hati orang. Lebih baik aku mengalah, menyerahkan kedudukan Bengcu kepadanya."

Tetapi bisikan hatinya yang lain lagi menentang: "Dari ribuan li aku datang kemari, apakah tujuanku? Seorang lelaki sejati yang mencita-citakan usaha besar, masakah goyah pendirian karena urusan kecil?"

Baru ia merenung begitu, tiba-tiba Thiat-mo-lek sudah mulai mempersilahkannya: "Bo heng adalah seorang tetamu dari jauh. Harap mulai menyerang dulu!"

Kening Se-kiat mengerut. Ia sudah mengambil ketetapan. Segera ia mengucapkan maafkanlah, dan terus ayun pedangnya menyerang. Waktu Thiat-mo-lek lintangkan pedang menangkis. Se-kiat memburunya lagi dengan tiga buah serangan berantai. Begitu menyerang lantas mundur, lalu maju merapat lagi dan mundur pula.

Thiat-mo-lek juga seorang jago kawakan. Ia tahu gerakan anak muda itu dimaksudkan untuk mengalah sampai tiga jurus. Hal itu selaku pernyataan terima kasih atas budi pinjaman pedang pusaka tadi. "Harap Bo-heng jangan sungkan-sungkan," katanya. Dengan jurus Tia-soh-heng-kang atau rantai besi melintang sungai ia halau pedang Se-kiat keluar dari pertahanannya.

Jurus itu mengandung dua gaya, menyerang dan bertahan. Memiliki gerak lanjutan yang membahayakan lawan. Jika Se- kiat masih main sungkan tak mau menyerang sungguh- sungguh, ia tentu bakal terjirat dalam kedudukan sulit.

Se-kiat mengerti bahwa ia dipaksa lawan supaya menyerang sungguh-sungguh. Ya, apa boleh buat. Ia segera gunakan jurus pek-hong-koan-jit atau bianglala putih menyilang matahari. Pedangnya menerobos masuk kedalam lingkaran pertahanan Thiat-mo-lek. Perbawa jurus pek-hong- koan-jit itu dahsyat sekali. Menusuk keatas dan memapas kebawah. Pedang pusaka milik Toan Khik-sia itu, kali ini benar-benar dapat kesempatan untuk mengembangkan perbawanya.

"Bagus!" saking kagumnya Thiat-mo-lek sampai berseru memuji. Tapi iapun tak berani berayal. Tiba-tiba pedangnya diputar melingkar seperti gaya gerakan golok besar. Kemudian baru melancarkan sebuah tabasan. Tapi tebasan itu bergaya istimewa sekali, lain dari yang lain. Ujung pedang dari bawah melilit keatas lalu dijungkirkan untuk memapas lengan kanan Se-kiat. Ilmu permainan itu adalah buah ciptaan Thiat-mo-lek sendiri yang mengkombinasikan kelincahan ilmu pedang dengan kedahsyatan ilmu golok. Hebatnya bukan kepalang.

Sudah tentu Se-kiat tak kenal akan permainan itu. Hanya dalam meninjau kedahsyatan serangan lawan itu, diam-diam ia membatin: "Jelas ia mengetahui aku memakai pedang pusaka, tapi mengapa ia sengaja mau main bentur?"

Trang, baru menimang begitu, sudah terdengar suara senjata beradu. Dan melengketlah kedua pedang itu. Tapi pada saat itu tahu-tahu Thiat-mo-lek sudah balikkan punggung pedang untuk hantam pedang lawan sekeras- kerasnya. Begitu hebat, tekanan tenaga yang dilontarkan Thiat-mo-lek, hingga pedang Se-kiat menjadi condong, tangannyapun terasa sakit sekali. Betapa ia hendak gunakan ilmu menghapus, namun hanya dapat menghapus tiga bagian tenaga lawan saja.

Kini barulah Se-kiat insyaf akan tenaga Thiat-mo-lek yang luar biasa kuatnya itu. Itulah sebabnya maka Thiat-mo-lek tak gentar menghadapi pedang pusaka.

Thiat-mo-lekpun tak kurang kagetnya. Bahwa hantamannya tadi tak mampu membuat pedang sianak muda terlepas jatuh, telah menimbulkan rasa kekaguman. Perlu dikemukakan di sini, bahwa Thiat-mo-lek itu memang dilahirkan sebagai anak lelaki yang memiliki tenaga luar biasa. Kemudian diperhebat pula dengan latihan ilmu silat yang tinggi. Kini ia sudah menginjak usia setengah umur, sudah tentu kepandaiaanya makin sempurna. Bagaimana dahsyat permainan pedangnya dapat dibayangkan. Jika Se-kiat diganti lain orang, tentu sudah tak kuat menahan gempurannya tadi.

Se-kiat baru berumur 20 tahun lebih. Ia tak memiliki tenaga pembawaan yang sakti. Dapat menerima gempuran Thiat-mo- lek itu saja sudah cukup membuktikan sampai dimana kesempurnaan Iwekangnya. Nyata dalam ilmu lwekang ia tak dibawah Thiat-mo-lek.

Berbicara tentang pedang pusaka atau pokiam, memang pokiam Khik-sia yang dipakai Se-kiat itu tajamnya bukan buatan. Tapi pedang itu tak dapat menabas benda jika tak digerakkan oleh tangan pemakainya. Apalagi untuk mengutungkan pedang Thiat-mo-lek, sungguh tidak mudah. Karena ditangan Thiat-mo-lek, pedangnya itu berobah menjadi sebuah benda yang amat berat sekali. Jika hendak memapasnya, Se-kiat harus mengerahkan segenap lwekangnya. Dan hal itu tak cukup dengan sekali dua kali tekan saja melainkan harus dilakukan beberapa kali pada posisi yang berbeda-beda. Tapi dikuatirkan sebelum pedang Thiat-mo-lek dapat ditabasnya kutung, pedangnya sendiri sudah akan terpukul jatuh oleh gempuran tenaga lawan yang maha kuat itu. Kini berputar-putarlah anak muda itu memainkan pedangnya kekanan kiri. Gerakannya amat aneh dan berbahaya. Jurus apa yang digunakan itu, sukar diketahui. Tapi yang nyata, ia selalu menjaga jangan sampai berbenturan dengan pedang Thiat-mo-lek. Rupanya ia hendak mencari lubang yang lemah dari pertahanan orang.

Tujuh kali serangan pedang ia lontarkan berturut-turut. Saking gencarnya permainan pedang anak muda itu, sekalian penonton sampai berkunang-kunang matanya.

Thiat-mo-lek mengambil posisi menurut perhitungan kiu- kiong-pak-kwa untuk menghadang serangan sianak muda. Satu demi satu dapatlah ia memecahkan ketujuh serangan Se- kiat.

Sekonyong-konyong Thiat-mo-lek menggembor keras dan menusuk dengan cepat sekali.

Anginnya sampai menderu-deru. Jurus itu disebut toa-moh- ko-yan-tit atau asap membubung dipadang pasir. Sebenarnya hanya jurus ilmu pedang yang biasa saja, tapi ditangan Thiat- mo-lek, jurus itu hebatnya tak terkira. Beberapa penonton yang berada didekat gelanggang itu, sampai menggigil dingin karena mukanya tersambar angin pedang itu.

Se-kiat putar tubuhnya dan putar pedangnya melingkar bundar. Gerakan itu tepat sekali dapat mengurung pedang lawan. Tring, tring, kembali pedang mereka beradu dan cepat sekali pedang itu berpisah lagi. Pedang Thiat-mo-lek berhias sebuah rompalan, sebaliknya Se-kiat tersurut mundur beberapa langkah.

Jurus yang digunakan Se-kiat itu disebut Tiang-ho-lok-jit- wan atau matahari terbenam disungai Tiang-ho. Dengan jurus toa-moh-ko-yan-tit yang dipakai Thiat-mo-lek itu merupakan dua jurus ilmu pedang Kun-lin-kiam-hoa. Pertarungan kedua jago tadi, sepintas pandang tampaknya seperti dua orang saudara seperguruan saling berlatih. Tapi gerak keindahannya, inti kekerasan dan kelemasan dari ilmu pedang, rahasia- rahasia ilmu melepaskan diri dan mematikan lawan, semuanya telah tercakup dalam kedua permainan tadi. Nyata  kedua jurus itu telah diperkembangkan secara sempurna oleh kedua jago tersebut.

Kalau ditengah gelanggang kedua jago itu telah menumplakkan seluruh kemampuannya, adalah para hadirin yang menyaksikan disekeliling gelanggang itu yang menjadi tegang. Wajah mereka sebentar pucat sebentar merah, napas naik turun tak berketentuan. Setelah kedua jago itu saling pencar, sekalian orang gagah itu sama berpandangan satu sama lain sendiri. Tokoh-tokoh kelas satu atau yang disebut ko-chiu, saat itu merasa dirinya kecil. Mereka mengakui kepandaiannya masih jauh terpautnya dengan kedua jago yang bertanding itu. Dan ketegangan suasana yang menyesakkan napas sekalian penonton itu kemudian telah dipecahkan dengan sorak sorai yang menggemparkan.

Kalau dalam babak pertempuran Se-kiat lawan Khik-sia tadi, para hadirin sudah sama leletkan lidah, adalah kini sama sekali mereka tak menyangka bakal menyaksikan suatu pertempuran yang lebih tinggi lagi mutunya.

Memang tampaknya pertempuran itu tak sehebat pertandingan Se-kiat lawan Khik-sia tadi. Tapi bagi mata seorang akhli, pertandingan Se-kiat lawan Thiat-mo-lek sekarang inilah baru tepat disebut pertandingan ilmu pedang yang sesungguhnya. Tadi Khik-sia mengkombinasikan ilmu ginkang dengan ilmu pedang, maka gayanyapun berjenis ragam dan dilakukan serba cepat. Bagi pandangan mata sudah tentu cara bertempur seperti itu menyenangkan sekali. Tapi dalam hal keindahan ilmu pedang, kalah dengan partai yang terakhir ini. Thiat-mo-lek kembangkan lagi permainan pedangnya. Kali ini lebih menghebat. Cepat dan dahsyatnya seperti harimau mengamuk, tapi tenang dan kokohnya bagai gunung. Setiap jurus yang digunakan selalu ilmu pedang 'terang', tak mau ia memakai jurus-jurus aneh dan berbahaya untuk nyelonong menyerang ke bagian lemah dari lawan.

Sekalipun begitu karena setiap jurus itu mengandung perbawa yang dahsyat, lawanpun menjadi gentar juga.

Untuk menghadapi kekerasan lawan, Se-kiat gunakan inti 'kelemasan menundukkan kekerasan' dari ilmu pedang. Baik gerak tubuh maupun permainan pedangnya, semua ringan bagaikan air mengalir atau awan bertebaran diudara. Kedua jago itu yang satu gagah perkasa, yang lain lemah gemulai.

Keduanya sama-sama menguasai pokok-pokok sari keindahan dari ilmu pedang.

Sampai detik itu pertempuran sudah berlangsung setengah jam, namun masih belum ada yang kalah atau menang. Para jago-jago pedang dalam kalangan hadirin itu sama terpesona seperti orang dimabuk arak. Sementara sebagian besar dari hadirin, karena pertandingan itu merupakan babak final untuk menetapkan Bengcu, mereka sama tegang urat syarafnya. Pendukung-pendukung Thiat-mo-lek dan penunjang- penunjang Se-kiat, sama sibuk keripuhan sendiri. Mereka kebanyakan tak mengerti ilmu pedang, maka apabila ada salah seorang jago yang terdesak, reaksinya tentu disambut dengan kegirangan atau kecemasan oleh kaum pendukungnya.

Disamping itu ada lain golongan yang tidak pro sana-sini alias netral, mereka saling bertaruh. Ada yang memegang Se- kiat dan ada yang memegang Thiat-mo-lek. Mereka pun tak kalah berisiknya sewaktu bersorak-sorak dan berteriak-teriak mendorong semangat jagonya masing-masing. Walaupun lagi bertempur, namun Thiat-mo-lek tetap pasang mata dan telinga akan keadaan disekitar. gelanggang itu. Jelas dilihatnya, apabila ia menang angin maka fihak Li Thian-go dan kawan-kawannya sama berjingkrak-jingkrak marah. Sebaliknya golongan Kay Thian-ho dan kawan- kawannya tampak bermuram durja.

Walaupun tangan Thiat-mo-lek tak pernah berayal untuk menghalau serangan dan memecahkan tipu lawan, namun batinnya bergolak-golak. Pikirnya: "Ucapan Han Wi tadi memang benar. Aku adalah anak angkat keluarga Tou. Perselisihan antara kedua keluarga Ong dan Tou itu sudah berjalan hampir seabad. Sekalipun Ong Pek-thong sudah meninggal dan puterinya sudah menyatakan suka menghapus dendam keluarganya, tapi anak buah Ong Pek-thong masih banyak sekali. Belum tentu mereka mau taat padaku. Ditilik dari gerak-gerik Li Thian-go dan kawan-kawannya itu terang mereka itu tak suka aku menjadi Bengcu. Taruh kata aku menjabat Bengcu dan kuperlakukan mereka dengan sama rata, mungkin mereka akan berbalik pikiran. Tapi hal itu urusan dibelakang hari, yang nyata pada waktu sekarang ini mereka mempunyai hati menentang lebih dulu. Kalau begitu, kedudukan Bengcu tak ada manfaatnya bagiku, bahkan dapat meretakkan persatuan."

Kemudian pikirnya lebih jauh: "Shin-toako dan To-sioksiok menasehati supaya aku merebut kedudukan Bengcu, maksudnya tak lain tak bukan ialah mengharap aku dapat mendamaikan silang-sengketa didunia Lok-lim. Dengan ada satu pimpinan, masalah rebutan daerah operasi dan barang rampasan tentu akan berkurang. Selain itu, sebagai Bengcu ia berhak untuk memberi komando agar anggota-anggota di daerah-daerah suka saling bantu membantu, kemudian dipersatukan untuk melawan tentara negeri. Memang maksud tujuan kedua orang mempunyai kewibawaan untuk menyelesaikan persengketaan-persengketaan itu, maka tak berguna aku ikut bercokol menjadi raja gunung dan menentang kerajaan. Ah, mengapa saat ini aku ngotot hendak merebut kedudukan Bengcu? Mengapa aku tak mengalah saja?"

Baru Thiat-mo-lek menimang sampai disitu, Se-kiat kembali melancarkan 7-8 kali serangan berantai. Serangan-serangan itu hebat dan indah sekali. Meskipun Thiat-mo-lek dapat menghalaunya satu demi satu, namun tak urung hatinya merasa kagum juga. Kembali pikirannya melayang: "Bo Se-kiat ini selain berkepandaian tinggi, pun selama berkelana didunia persilatan ia selalu dapat menundukkan orang dengan bijaksana. Perilakunya itu dapat digolongkan sebagai ksatria yang berbudi luhur. To-sioksiok kuatir anak itu mempunyai hati serong. Kuatir bila dia menjadi Bengcu akan membawa kawan-kawan Lok-lim kejalan yang nyeleweng. Memang hal itu pantas menjadi pemikiran. Tapi apakah benar dia akan berbuat begitu, itulah kelak baru dapat diketahui. Andaikata kemudian hari negara terjadi kekalutan, dan anak muda itu benar-benar mempunyai ambisi untuk menjadi raja, itupun apa salahnya?"

Lalu ia berpikir pula: "Sekarang banyaklah orang yang mendukung Bo Se-kiat. Memang kalau dihitung jumlahnya, pendukungku tetap lebih besar dari dia. Tapi Li Thian-go dan kawan-kawannya itu adalah pengikut-pengikut setia dari Ong Pek-thong. Kalau disuruh memilih antara aku dengan Se-kiat, sudah tentu mereka akan memilih Bo Se-kiat. Setelah ia menjadi Bengcu, aku akan dapat mengusahakan supaya pengikut-pengikut Ong Pek-thong dan anak buah Kim-ke-nia taat padanya. Tapi jika aku yang menjadi Bengcu, tentu tak ada orang yang akan membantu aku supaya kawan-kawan Lok-lim itu tunduk padaku. Ditilik dari sudut ini, untuk ruginya sudah jelas. Demi untuk persatuan, demi pergerakan, mengapa aku tak memberikan kedudukan Bengcu kepada Bo Se-kiat saja?" Berpikir begitu, makin mantaplah keputusannya. Tepat pada saat itu Se-kiat gunakan jurus pang-pok-kiu-siau. Tubuhnya melambung keudara lalu melayang turun sambil menusuk. Setelah mempunyai ketetapan untuk mengalah, maka Thiat-mo-lek sengaja luruskan pedangnya kemuka pura- pura menangkis. Bret, tahu-tahu lengan bajunya robek karena terpapas secabik oleh pedang Se-kiat.

Cepat jago budiman itu loncat keluar gelanggang. Begitu pedang disarungkan ia segera mengangkat kedua tangannya memberi hormat.

Serunya dengan lantang: "Bo-hengte benar-benar sakti, aku mengaku kalah. Selamat kuhaturkan kepada Bo-hengte sebagai Bengcu baru. Aku siorang she Thiat rela menjadi pengiringmu saja!"

Ucapan Thiat-mo-lek itu seperti bunyi halilintar disiang bolong. Saking kagetnya akan kejadian yang tak disangka- sangka itu, sekalian hadirin menjadi bungkam semua. Siapapun tak percaya bahwa Thiat-mo-lek secara tiba-tiba dikalahkan Se-kiat. Dan pula hanya terpapas secabik lengan bajunya, masakah begitu mudah sudah mengaku kalah.

Se-kiat sendiripun merasa heran. Tadi dikarenakan serangan Se-kiat itu memang luar biasa bagusnya dan tipu daya Thiat-mo-lek untuk berpura-pura kalah itu, pun teramat indahnya, maka tiada seorangpun yang mengetahui siasatnya itu. Bahkan Se-kiat sendiripun kena dikelabuhi. Ia mengira bahwa secara beruntung sekali dapat mengalahkan lawan.

"Jurus peng-pok-kiu-siau yang kugunakan tadi,  adalah jurus yang mengandung resiko besar. Jika ia gunakan gerak ki-hwt-liau-thian (mengangkat api menyuluh langit), karena tubuhku mengapung diudara aku tentu sukar menghindar. Kesalahannya tadi ialah ia tak seharusnya menjulurkan pedang lurus kemuka. Ah, menilik ilmu pedangnya yang amat sakti itu, mengapa tiba-tiba ia bisa berbuat kekeliruan? Apakah memang diriku sudah diberkahi untuk menjadi Bengcu hingga dalam saat-saat yang genting itu lawan berbuat kesalahan?"

Demikian Se-kiat mengadakan analisa dalam hatinya. Hal itu disebabkan karena ia tahu bahwa serupa dengan dirinya sendiri, tadi tampaknya Thiat-mo-lek itu amat bernafsu sekali untuk merebut kedudukan Bengcu. Sudah tentu ia tak mengetahui, kalau Thiat-mo-lek itu memang sengaja mengambil putusan untuk mengalah.

-o0odwo0o-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar