Pasangan Naga dan Burung Hong Jilid 04

Jilid IV

KARENA tak bersiaga, ujung kaki si anak muda tepat mengenai sasarannya. Seketika Ut-ti Lam rasakan tangannya kesemutan dan terlepaslah pian dari tangannya.

Dengan paha masih tergubat pian, anak muda itu berjumpalitan diudara dan dengan mudahnya melayang turun ketanah. Dengan berseri-seri tawa ia melepaskan ikatannya lalu menyerahkan pian itu kepada Ut-ti Lam.

Merah padam wajah Ciangkun itu ketika menerima piannva.

Sampai beberapa saat ia terlongong-longong.

"Orang she Bo, kali ini aku menyerah padamu!" tiba-tiba ia berseru.

"Terima kasih atas kemurahan hati Ciang kun. Jika tidak, pahaku pasti sudah pincang. Pertandingan ini kita anggap seri saja," kata sianak muda.

Tapi dengan sportif sekali Ut-ti Lam mengakui kekalahannya: "Tidak, kaulah yang menang. Tadi aku menggunakan tenaga penuh untuk menarik pian, tapi kau pun dapat mendepak lenganku. Jika kau mendepak sungguh- sungguh, aku tentu terluka berat. Ya, aku cukup tahu akan hal itu maka aku sungguh tunduk padamu dan mengaku kalah!"

"Siapa kalah atau menang, tak usah kiranya kita perbincangkan. Yang penting dan menggirangkan ialah jika kita tak bertempur kita tentu tak saling kenal," sahut sianak muda.

Seru Ut-ti Lam: "Benar, mengikat persahabatan dengan seorang seperti kau, aku merasa girang sekali. Walaupun karena itu harus kehilangan pangkat sampai tiga tingkat, tapi biarlah, tak apa!" Sianak muda tertawa: "Oh, jadi ketika menitahkan kau keluar kota, Cin to-ut telah mengatakan begitu padamu? Tapi rasanya tak perlu kau kuatir. "

"Mengapa kuatir? Saudara Bo, rupanya kau melihat diriku keliwat rendah. Jadi pembesar negeri atau tidak, bukan halangan bagiku. Hanya saja karena keluargaku itu keturunan menteri yang banyak menerima budi kerajaan. jadi akupun terpaksa tak dapat ikut kau menjadi penyamun," kata Ut-ti Lam.

"Ai, bukan begitu yang kumaksudkan. Aku tahu kau ini bukan orang yang kemaruk harta dan gila pangkat. Tapi pada hematku, tak nanti Cin to-ut benar-benar akan mengajukan laporan pada fihak kerajaan untuk menurunkan pangkatmu," menerangkan sianak muda.

"Mengapa tidak? Ketahuilah bahwa Cin toako itu seorang yang berhati besi. Jika kini aku pulang dengan tangan hampa, mana bisa ia tak menghukumku?"

"Oh, mungkin kau tak mengetahui bahwa engkohmu dan Cin-toakomu itu mempunyai orang sahabat karib yang bernama Thiat-mo lek. Nanti jika pulang, bilang terus terang saja pada Cin to-ut bahwa kuda yang kurampas itu hendak kupersembahkan pada Thiat-mo-lek. Coba saja masakah dia berani mengirim laporan kepada kerajaan," kata sianak muda.

"Maksudmu dia lebih memberatkan persahabatannya dengan Thiat-mo-lek?" tanya Ut li Lam.

"Bukan hanya itu saja. Jika ia berani mengirim laporan, fihak kerajaan tentu akan menitahkan ia untuk menumpas Thiat-mo-lek. Pihak kerajaan tidak tahu kalau ia bersahabat dengan Thiat-mo-lek. Kalau ia melapor apakah ia tak takut rahasianya diketahui? Jika sampai terjadi hal itu, berarti ia akan terjepit dalam dua kesulitan, maju salah mundur keliru. Maka asal kau bilang terus terang, dia pasti takkan menghukummu, bahkan akan berusaha untuk melindungi kesalahanmu itu. Dalam kawanan pembesar, kenal akan istilah "mengulur" Sekarang kawanan berandal tumbuh dimana mana laksana cendawan dimusim hujan. Asal ia mengatakan tak dapat menyelidiki golongan penyamun mana yang merampas kuda itu, masakah fihak kerajaan bisa berbuat apa-apa? Dan dengan berlalunya sang waktu, Lama kelamaan peristiwa itu tentu sudah terlupakan."

Ut-ti Lam seperti orang yang disadarkan dari mimpinya. Serta merta ia menyatakan terima kasih: "Terima kasih atas advismu itu, sekarang aku hendak kembali. Kelak bila datang ke Tiang-an, silahkan mampir kerumahku, nanti kita minum arak sampai puas!"

Tapi tiba-tiba perwira itu teringat sesuatu, serunya: "Tapi bagaimana kau dapat datang ke Tiang-an? Ah, ya, hampir saja kulupa bahwa kau ini seorang penyamun."

Sianak muda tertawa: "Urusan di dunia ini sukar diduga lebih dulu. Siapa tahu pada suatu hari aku akan pesiar ke Tiang-an. Asal Ciangkun tak kuatir menerima tetamu seorang penyamun, aku tentu akan berkunjung kerumah Ciangkun!"

Ut-ti Lam tak menyahut melainkan terus berlalu. In-nio segera ajak Yak-bwe turun dari atas batu. Sianak muda buru- buru menyongsong mereka.

"Terima kasih kau datang kemari. Kukira ayahmu melarangmu karena tadi sampai sekian lama kutunggu kau tak datang," kata sianak muda dengan tertawa. Demi melihat Yak- bwe. ia lantas tanyakan diri nona itu.

"Ayahku tak pernah melarang aku. Adanya aku sampai datang terlambat itu karena digedung Tian Seng-su telah terbit peristiwa besar," sahut In-nio.

"Peristiwa apa?" tanya sianak muda.

"Nanti tentu kuceritakan, sekarang lebih dulu akan kuperkenalkan kalian satu sama lain," jawab In-nio. Kemudian ia perkenalkan Yak-bwe pada sianak muda. Selelah itu baru ia kenalkan sianak muda dengan Yak-bwe.

"Engkoh ini orang she Bo, namanya Se-kiat. Dia adalah murid angkatan keempat dari Kiu-si-khek. Pamannya yang bernama Bo Jong-long, sembilan tahun yang lalu pernah datang ke Tionggoan, pernah punya sedikit hubungan dengan Toan Khik-sia. Kini pamannya adalah To-cu (pemimpin pulau) dari pulau Hu-siang-to."

Kedua anak muda itu tersipu-sipu saling memberi salam perkenalan. Kata Se-kiat: "Apakah nona Su kenal pada Toan Khik-sia?"

Tertawalah In-nio: "Tidak hanya terbatas dalam kenalan saja, bahkan dia. "

Merah padam muka Yak-bwe. Diam-diam mencubit In-nio. Nona ini segera berganti nada: "Bukan hanya kenal saja, mereka berdua itu sahabat karib. Terus terang saja. "

Mendengar In-nio berkata begitu, Yak-bwe menjadi sibuk lagi. Untuk mencegahnya sudah tak keburu. Tapi untung In- nio lain tujuannya: "Terus terang saja, kedatanganku ke mari ini bukan karena hendak membantu semangatmu pada pertempuran tadi, melainkan khusus hendak minta bantuanmu untuk urusan adik Yak-bwe ini."

"Silahkan berkata, asal aku dapat mengerjakan, tentu aku merasa senang sekali membantu," Se-kiat menyahut dengan serempak.

"Urusah ini tidak memerlukan sedikit tenagamupun," kata In-nio. "Dia hanya akan menanyakan keterangan tentang seseorang padamu!"

"Siapa? Apakah Toan Khik-sia?" tanya Se-kiat.

Mendengar itu tertawalah In-nio: "Tepat sekali, memang Toan Khik-sia." Se-kiat agak heran, pikirnya: "Kalau sudah kenal pada Toan Khik-sia, mengapa masih bertanya padaku pula?"

Rupanya In-nio sudah dapat membaca isi hati sianak muda, ujarnya: "Kau pintar tapi keblinger. Adik Bwe-kan seorang anak perempuan, meskipun kenal pada Toan Khik-sia, tapi juga tetap tak leluasa untuk bertanya pada sembarang orang."

"Ha, jadi kalian ini tak tahu akan alamat Toan-siauhiap itu. lalu minta tolong aku supaya bantu mencarikan! Tapi dengan sejujurnya saja, walaupun sudah lama kenal akan namanya, namun aku juga belum pernah bertemu muka dengan Toan- siauhiap itu," kata Se-kiat.

Yak-bwe agak kecewa oleh keterangan itu.

"Tapi urusan itu mudah saja dikerjakan. Kira-kira sepuluh hari lagi, para orang gagah dari dunia Lok-lim bakal mengadakan pertemuan besar di puncak Kim-ke-nia. Disitu mereka hendak mengangkat Thiat-mo-lek sebagai Beng-cu. Dengan Thiat-mo-lek, sudah sejak dua turunan Toan-siauhiap mengikat persahabatan. Konon kabarnya masih ada sedikit hubungan famili. Sudah tentu pada waktu itu dia akan hadir. Nah, asal kalian kesana kan bakal berjumpa dengan Toan- siauhiap," kata Se-kiat pula.

"Tapi kami tak leluasa untuk datang ke pertemuan besar itu," ujar In-nio.

"Ah, mudah saja. Asal kalian suka menyaru jadi pria dan pura-pura menjadi pengikutku, mengapa tak dapat masuk kesana?" kata Se-kiat.

"Tapi jika sampai ketahuan orang, bagaimana?" tanya In- nio.

"Banyaklah larangan-larangan yang digaris oleh kaum Hek- to, antaranya ialah terhadap bangsa hamba negeri yang coba menyelundupi masuk kedalam kalangan mereka. Tapi bukankah kau ini sahabatku? dan nona Su itu kawan Toan Khik-sia .Taruh kata sampai ketahuan Thiat-mo-lekpun pasti takkan menghalau kalian pergi.. Malah siapa tahu dia bakal kegirangan sekali karena sudah kedatangan dua nona yang kosen. Rasanya tiada halangan untuk kalian datang kesana," menerangkan Se-kiat.

In-nio menanyakan bagaimana pendapat Yak-bwe atas usul Se-kiat itu.

Yak-bwe yang sudah sejak tadi tak buka suara, kini terpaksa bicara; "Siasat itu memang bagus, tapi terpaksa memerlukan bantuan Bo-Toako!"

"Ah....jangan sungkan-sungkan. Apa yang perlu bilanglah padaku,", sahut Se-kiat.

"Kuterima usul Bo-toako tadi, tapi harap pegang teguh rahasia," akhirnya Yak-bwe mau menerimanya.

"Apakah Toan Khik-sia juga tak perlu di beritahukan rahasia itu?" In-nio kembali menggodanya.

"Paling baik jangan memberitahukan padanya. Nanti saja bila aku ada kesempatan berjumpa padanya aku, aku "!

"Ya, urusan kalian berdua itu memang sebaiknya kau sendiri yang menjelaskan padanya!" kata In-nio

Se-kiat tampik melongo, rupanya kini ia sudah paham sedikit akan hubungan Yak-bwe dengan Toan Khik-sia.

"Harap nona jangan kuatir. Aku ini orang yang paling tak suka sembarang omong! Nah, baiklah, aku yang bertugas untuk memasukkan kalian kesana. Urusan lain-lainnya, terserah pada nona berdua," kata Se-kiat. Lalu sambungnya: "Pamanku amat mengagumi Toan siauhiap. Setelah menginjak dibumi Tionggoan sini, sebenarnya ingin sekali kumencarinya. Tapi karena tak tahu alamatnya, maka ketunda sampai sekarang. Kelak dalam gelanggang pertemuan besar itu, kuharap nona Su suka memperkenalkan aku dengan Toan- siauhiap!" "Sayang kau tak pergi kegedung Tian Seng-su. Jika kesana tentu dapat memberi bantuan pada Toan-siauhiap," kata In- nio.

"Oh, jadi peristiwa yang kau katakan terjadi dalam gedung Tian Seng-su itu adalah perbuatan Toan-siauhiap?" tanya Se- kiat.

"Ya, ia hendak memberi ancaman dan terpaksa bertempur dengan Yo Bok-lo," sahut In-nio. Kemudian ia menuturkan jalannya peristiwa itu.

Se-kiat amat terpikat, serunya: "Memang telah kudengar bahwa antaran mas-kawin Seng-su ke Lo-ciu itu di begal orang. Kiranya Toan-siauhiaplah yang melakukannya. Kisah ini sungguh hebat!"

In-nio tertawa: "Eh, rupanya kau belum mengetahui bahwa nona yang akan dipinang Tian Seng-su untuk puteranya itu, adalah adikku ini!"

Lalu In-nio menceritakan lagi tentang riwayat Yak-bwe dan lagi-lagi Se-kiat amat kagum.

"Sungguh jarang terdapat seorang nona yang bersifat luhur seperti nona Su ini. Ia tak kemaruk harta dan tak silau dengan kedudukan tinggi!" pemuda itu memuji.

Yak-bwe mengucapkan kata-kata merendah, ia menerangkan harus kembali ke Lo-ciu dulu untuk menyerahkan kotak-mas kepada ayah angkatnya (Sik Ko). Setelah itu baru ia dapat mengikut kedua anak muda itu kegunung Kim-ke-san.

"Kalau begitu nanti sehari sebelum pertemuan itu berlangsung, kutunggu kalian didusun Hu-li-ki dikaki gunung Kim-ke-nia sana. Dalam beberapa hari ini akupun masih akan mengerjakan sedikit urusan!" kata Se-kiat.

Demikian setelah saling berjanji, mereka lalu berpisah. In- nio mengawani Yak-bwe berjalan beberapa li. Dalam perjalanan itu. In-nio menuturkan tentang perkenalannya dengan pemuda Se-kiat. Kini barulah Yak-bwe mengetahui bahwa kepergian sang sahabat ke Gui-pok itu selain menemani ayahnya (Sip Hong) pun memang hendak menemui Se-kiat! Pemuda itu telah memberitahukan kepada In-nio akan tantangan pertempurannya dengan beberapa orang tadi digunung Pak-bong-sah. Akhirnya dengan tak malu-malu lagi In-nio mengatakan bahwa ia dengan Se-kiat itu sudah saling jatuh hati.

Mendengar itu teringat Yak-bwe akan sesuatu, ujarnya: "Tadi Bo-toako bermaksud hendak mengajak kita ke Kim-ke- nia, tapi bagaimana nanti kalau sampai kepergok "

"Ai, kau ini bagaimana? Tadi kan sudah Bo toako katakan, kalau sampai ketahuan dia akan menerangkan pada Thian-mo lek bahwa aku ini seorang sahabatnya dan kau ini kawan dari Toan Khik-sia. Jangan kuatir tentu tak ada urusannya!" sahut In-nio.

Yak-bwe tertawa kecut: "Ya, Bo-toako tentu suka mengakui kau sebagai sahabatuya, tapi mana Toan Khik-sik suka mengakui aku sebagai kawannya?"

"Sudah tentu ia tak suka mengaku kau sebagai kawan, karena kau adalah calon isterinya yang sudah dipancangkan sejak dalam kandungan! Ah, adik Bwe, sudahlah jangan bertanya hati lagi. Pemuda idamanmu itu adalah ibarat itik panggang, tak nanti ia dapat terbang kemana-mana lagi!" In- nio menggodanya.

"Huh, apa kau tahu dia telah salah paham padaku?" bantah Yak-bwe dalam hati. Namun ia seorang nona yang keras kepala, Jadi ia tak mau menceritakan peristiwa salah faham yang terjadi antara ia dengan anak muda itu.

Setelah berjalan beberapa li, In-nio terpaksa ambil selamat berpisah. Lebih dulu ia minta pada Yak-bwe, setelah menyelesaikan urusannya, supaya terus datang kerumahnya (In-nio) untuk bersama-sama menuju kedusun Hu-li-ki. Demikianlah Yak-bwe segera meneruskan perjalanan pulang seorang diri.

Setibanya digedung ayah angkatnya, Yak-bwe segera menyerahkan kotak-mas itu kepada sang ayah. Girang Sik Ko bukan kepalang. Tentang kepergian puteri angkatnya itu lagi, tak begitu dihiraukan. Hanya Sik-hujin yang masih berat hati untuk berpisah dengan puterinya itu. Dikala hendak berpisah, nyonya yang baik itu bercucuran air matanya. Setelah susah payah membujuk dan berjanji kelak akan datang menjenguk lagi, barulah Yak-bwe dapat meredakan kesedihan ibu angkatnya itu.

Setelah periksa isinya, Sik Ko lalu menutup kotak-mas itu rapat-rapat, kemudian suruh juru tulisnya menulis sepucuk surat kepada Tian-seng-su. Surat itu dibubuhi setempel namanya (Sik Ko) dan berbunyi ringkas saja: "Kemarin ada tetamu datang dari Gui, mendapatkan sebuah kotak-mas didekat bantal Goan-swe. Kami tak berani menyimpannya lama-lama dan dengan ini kami haturkan kembali."

Sik Ko suruh seoraug kurir (pesuruh) untuk mengantarkan surat dan kotak-mas itu kepada Tian Seng-su. Menerima kiriman itu, pecahlah nyali Tian Seng-su. Sejak itu ia tak berani merencanakan lagi untuk mencaplok daerah Lo-ciu. Bahkan ia malah mempererat hubungannya dengan Sik Ko.

Setelah tinggalkan gedung Ciat-to-su dari Lo-ciu, Yak-bwe terus menuju ketempat kediaman In-nio. Kala itu ayah In-nio (Sip hong) pun sudah pulang dari Gui-pok. In-nio telah menceritakan kepada sang ayah apa yang telah terjadi.

Sip Hong girang sekali dengan kejadian itu. Biasanya orang yang paling dipujanya ialah Toan Kui-ciang. Bahwa Yak-bwe telah tinggalkan ayah angkatnya karena hendak mencari tunangannya yang ternyata adalah putera dari Toan Kui-ciang, sudah, tentu hal ini membuat Sip Hong amat gembira sekali. Ia ijinkan puterinya pergi ke Kim-ke-nia bersama Yak-bwe. Malah disamping itu ia menyampaikan juga sebuah berita kepada Yak-bwe, bahwa Yo Bok-lo sudah sembuh dari lukanya dan dengan beberapa anak buahnya sedang siap-siap mencari jejak Toan Khik-sia. Hal itu ia minta Yak-bwe sampaikan pada Khik-sia nanti. Kedua, Tian Seng-su sudah membatalkan urusan pernikahan puteranya dengan keluarga Sik Ko dan lap- jay (bingkisan kawin) yang dirampas orang itu tak diusutnya lebih jauh.

Yak-bwe girang mendengar berita itu. Kemudian kedua gadis itu mulai berkemas. Karena tak berpengalaman, jadi In- nio yang mengajarkan pada Yak-bwe bagaimana caranya berdandan dan membawa sikap sebagai seorang pria. Sebentar saja Yak-bwe sudah dapat memahami. Waktu menghadap pada Sip Hong, Sip Hong menjadi terkejut dan tertawa gelak-gelak demi melihat kedua gadis itu berobah menjadi pemuda-pemuda yang cakap.

Malam itu Yak-bwe tidur dirumah In-nio, keesokan harinya, mereka berangkat. Karena telah diperhitungkan, maka tepat pada waktunya, dalam sehari sebelum pertemuan digunung Kun-ke-nia itu dilangsungkan, tibalah kedua pemuda itu didusun Hu-li-ki.

Disitu Se-kiat sudah menunggunya, Ia membawa banyak pengikut. Begitulah mereka segera mendaki keatas gunung. Ce-cu atau pemimpin markas, Shin Thian-hiong, menyambut rombongan Se-kiat itu dengan istimewa. Dia sendiri yang perlukan menyongsong keluar dan memperlakukan mereka dengan hormat serta ramah sekali.

Dari rombongan pengikut Se-kiat itu, In nio memperoleh keterangan kalau mereka itu kebanyakan adalah tokoh-tokoh dari kalangan Hek-to. Malah ada beberapa orang yang mempunyai kedudukan sebagai Ce-cu. Diam-diam In-nio merasa girang. "Baru setahun menginjak bumi Tionggoan, ia sudah berhasil menundukkan sekian banyak orang-orang gagah, sungguh hebat sekali!" demikian diam-diam ia memuji Se-kiat.

"Maafkan kalau mataku sudah lamur, tapi rasanya kedua saudara ini belum pernah ku kenal," kata Thian-hiong waktu menyambut rombongan Se-kiat. Yang dimaksudkan itu ialah In-nio dan Yak-bwe.

Dengan tangkasnya Se-kiat memberi keterangan: "Kedua saudara ini adalah sahabat-sahabatku yang baru. Malah saudara Su ini juga menjadi kenalan Toan-siauhiap. Memang keduanya belum pernah mengembara keluar dan baru pertama kali ini ikut serta menghadiri rapat orang gagah dari dunia Lok-lim."

"Ai, sungguh beruntung sekali. Kita kaum Lok-lim adalah sekeluarga. Meskipun saudara berdua ini baru pertama kali datang, tapi kita anggap sebagai sahabat lama. Harap jangan sungkan," demikian Thian-hiong mengunjukkan keramah- tamahannya sebagai tuan rumah.

Namun sekalipun mulutnya mengucap begitu, hati Ce-cu itu berpendapat lain. Pikirnya: "Dalam dunia Lok-lim, jarang sekali terdapat tokoh-tokoh semacam mereka. Dari sikap dan wajahnya, mereka berdua itu lebih pantas menjadi pelajar daripada kaum persilatan!" Hanya saja karena Se-kiat yang membawaya, jadi Thian-hiongpun tak menaruh curiga apa- apa. Sebaliknya bagi Yak-bwe, ia semula mengira Thian-hiong tentu akan mengatakan apa-apa tentang Khik-sia, tapi ternyata tidak. Karena tetamu-tetamu yang datang keliwat banyak jadi tuan rumah itu sibuk menyambut mereka dan tak membicarakan lagi perihal Khik-sia, Diam-diam Yak-bwe merasa kecewa.

Beberapa saat kemudian penuh sesaklah ruangan, itu dengan orang-orang gagah dari segala aliran. Diantaranya tak sedikit yang sudah termasyhur namanya. Suasana pada saat itu tampak meriah sekali, sekalian orang sama bercakap-cakap dengan gembira. Hanya In-nio dan Yak-bwe sendiri yang merasa rikuh dalam penyamarannya itu. Mereka berdua duduk berdiam diri disudut. Sampai sekian saat Yak-bwe memperhatikan setiap tetamu yang datang, namun belum juga kelihatan Toan Khik-sia muncul.

Tiba-tiba ada seorang tetamu membicarakan diri Toan Khik-sia!

"Kabarnya Toan Khik-sia telah membuat geger digedung Ciat-to-su Gui-pok. Benar-benar dia itu seorang jago muda yang jempol. Tapi heran mengapa ia belum kelihatan datang?"

Mendengar itu buru-buru Yak-bwe alihkan perhatiannya, untuk memasang telinga.

Saat itu ada seorang tetamu lain yang berkata: "Kabarnya ia seorang diri hendak menempur Hong-ho-ngo-pah. entah apakah ia keburu datang kemari atau tidak."

"Jangan kuatir, saudara!" kata seorang tetamu pula. "Toan- siauhiap telah bilang padaku, kalau tidak hari ini tentu besok pagi ia akan datang."

Yang bicara paling akhir itu ternyata adalah tokoh persilatan yang termasyhur, Kim kiam-ceng-long To Peh-ing.

"Hong-ho-ngo-pah juga lihay. Apakah dengan maju  seorang diri itu Toan-siauhiap tidak terlalu memandang  rendah mereka?" kata seorang lain.

To Peh-ing tertawa: "Kepandaian dari Hiantitku itu jarang sekali dicari keduanya. Menurut pendapatku, ia lebih tangguh dari orang-orang yang lebih tua. Jangan kan hanya lima benggolan Hong-ho (Hong-ho-ngo-pa) sekalipun ada sepuluh benggolan, rasanya ia masih dapat menanggulangi. Kalau ia bilang akan datang kemari, tentu datang!"

Ada beberapa tetamu yang tak kenal siapa Toan Khik-sia itu sama menanyakan pada To Peh-ing. Waktu mendengar bahwa Khik-sia itu putera dari almarhum pendekar termasyhur Toan Kui-ciang, semua orang sama menyanjung puji. Kemudian waktu To Peh-ing menceritakan tentang peristiwa perampasan antaran mas-kawin dari Tian Seng-su, semua orang gagah yang berada disitu tak habis-habis memuji dan mengagumi. Ingin benar mereka melihat wajah jago muda itu.

Yak-bwe girang sekali mendengar bakal suaminya  disanjung puji sedemikian hebatnya. Tapi dalam pada itu, iapun memperhatikan juga bahwa ada beberapa orang yang tak puas dan iri hati pada Toan Khik-sia.

Tiba-tiba terdengar orang berseru keras: "Thiat ce-cu datang!"

Seorang lelaki yang bertubuh kekar gagah, bermata besar dan alis tebal, tampak melangkah masuk. Begitu melangkah pintu, ia segera berseru nyaring: "Yang manakah Bo-tayhiap? Harap maafkan aku Thiat-mo-lek telah datang terlambat."

In-nio dan Yak-bwe terkejut melihat Thiat-mo-lek itu. Kiranya dahulu Thiat-mo-lek itu pernah berkunjung kerumah Sip Hong untuk mengobati lukanya. Pada waktu itu ia memakai nama Ong Siu-hek dan atas perantara Sip Hong, telah mengaku sebagai orang sedesa dengan Sik Ko. Sik Ko percaya saja pada Sip hong, tanpa menyelidiki lebih lanjut, ia terima Thiat-mo-lek menjadi wi-su (pengawal).

Pada masa itu Yak-bwe baru berumur 10 tahun. Boleh dikata setiap hari ia bersama In-nio mendapat pelajaran silat dari Thiat-mo-lek. Bahwa hari ini dapat berjumpa kembali dengan Thiat-mo-lek, sudah tentu mereka berdua jadi girang.

"Ah, kiranya Thiat-mo-lek itu Ong Sian-lek dahulu. Jika siang-siang tahu akan dianya, tak perlu orang perantara lagi juga kita dapat datang kemari," pikir mereka.

Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat itu sudah lama saling mengagumi kemasyhuran nama masing-masing, tapi baru pertama kali itu mereka bertemu meka. Maka berbangkitlah Se-kiat dengan serentak: "Siaute adalah Bo Se-kiat itu. Untuk pujian tayhiap tadi, siaute sungguh tak berani menerimanya!"

Thiat-mo-lek tertawa: "Apakah menjadi penyamun itu tak dapat berbareng menjadi tayhiap juga? Bo-heng, dalam kalangan Lok-lim namamu sudah amat menonjol. Setiap sepak terjangmu telah membangkitkan rasa kagum pada sekalian orang. Meskipun Bo-heng dianggap sebagai penyamun, tapi rasanya pantas disanjung sebagai pendekar yang menjalankan budi kebaikan. Tak terhingga rasa kagumku kepadi Bo-heng".

Peristiwa Se-kiat merampas iring-iringan kuda, telah menggemparkan dunia Lok-lim. Kini barulah semua orang mengetahui bahwa Se-kiat telah mempersembahkan kuda rampasan itu kepada Thiat-mo-lek selaku perkenalan. Sudah tentu semua hadirin sama memberi selamat kepada kedua pendekar itu.

Berkata Se-kiat: "Berbicara tentang iring-iringan kuda itu, karena hal itulah maka aku berkenalan dengan seorang sahabat lagi. Kurasa Thiat-heng tentu kenal juga padanya."

Se-kiat menuturkan tentang pertempurannya dengan Ut-ti Lam yang berakhir dengan persahabatan itu. Mendengar itu Thiat-mo-lek tertawa gelak-gelak.

"Eh, ya, katanya Bo-heng membawa dua orang pemuda gagah yang juga menjadi sahabatnya Toan-hiante. Entah dimanakah mereka itu?" tiba-tiba Thiat-mo-lek bertanya.

Se-kiat melambaikan tangan memanggil In-nio dan Yak- bwe, kemudian memperkenalkan kepada Thiat-mo-lek. Thiat- mo-lek terkesiap, rasanya ia pernah kenal dengan kedua "pemuda" itu. Tapi untuk sesaat ia tak dapat membayangkan kemungkinan puteri-puteri dari Sik Ko dan Sip Hong akan menyaru jadi lelaki dan datang kemarkas gunung itu.

Sebaliknya In-nio dan Yak-bwe secara sembarangan saja telah memberitahukan nama samaran mereka, "Eh, rasanya kita pernah bertemu bukan?" kata Thiat-mo- lek,

In-nio tertawa: "Ai, Thiat ce-cu mungkin sedikit khilaf. Kami berdua baru pertama kali ini keluar. Jika tak ada perjamuan besar ini, kami tentu tak mempunyai rejeki untuk bertemu dengan Thiat ce-cu!"

"Ai, saudara berdua terlalu sungkan. Kalian adalah sahabat Toan-hiante, berarti sahabatku juga. Jangan sebut-sebut tentang siapa Cianpwe dan siapa wanpwe segala," kata Thiat- mo-lek.

"Akupun sudah bertahun-tahun tak berjumpa dengan Khik- sia. Eh, bagaimana kalian dapat berkenalan dengan dia?"

Wajah Yak-bwe bersemu merah. Suatu hal yang membuat Thiat-mo-lek heran, pikirnya: "Huh, mengapa pemuda itu begitu pemalu seperti anak perempuan? Belum membuka mulut sudah kemerah-merahan wajahnya!"

Melihat gelagat yang kaku itu, buru-buru In-nio yang lebih tua dan lebih banyak pengalamannya, menerangkan suatu cerita kosong untuk mewakilkan Yak-bwe: "Perkenalan kami dengan Toan-siauhiap itu baru kira-kira sepuluhan hari lamanya. Itu waktu kami berpapasan dengan kawanan Bu-su dari Tian Seng-su. Karena mereka coba menggertak, maka kami pun segera melawannya. Mereka berjumlah banyak dan kami hanya berdua, sudah tentu kami kewalahan. Untung Toan-siauhiap kebetul lewat disitu dan membantu kami untuk melabrak kawanan Bu-su itu. Dari keterangan yang kami peroleh, kawanan Bu-su itu memang diperintahkan Tian Seng- su untuk mengusut gerombolan yang merampas antaran mas- kawinnya. Setiap bertemu dengan orang asing, mereka tentu segera menahannya. Walaupun baru saja berkenalan tapi kami merasa cocok dengan Toan-siauhiap. Dia mengatakan juga bahwa barang antaran mas-kawin Tian Seng-su itu dia dan kawanan orang gagah dari Kim-ke-nia yang merampasnya. Kemudian ia memberitahukan kami bahwa dia akan menuju kegedung Tian Seng-su untuk meninggalkan ancaman, sayang karena kami masih ada lain urusan, jadi tak dapat membantu padanya."

Tentang peristiwa Toan Khik-sia menyatroni gedung Tian Seng-su, memang Thiat-mo-Lek sudah mendengarnya. Karena itu maka ia percaya akan keterangan In-nio tadi.

'Pada malam Toan-siauhiap menyerbu gedung. Tian Seng- su, akupun berada di Gui-pok. Sayang karena malam itu aku harus memenuhi tantangan Ut-ti Lam, jadi belakangan saja baru mendengarnya. Kabarnya malam itu Toan siauhiap dapat melukai Yo Bok-lo." kata Se-kiat.

Setelah mengacaukan gedung Tian Seng-Toan Khik-sia terus pergi kelain tempat. Karena selama itu belum datang lagi ke Kim-ke-nia, jadi Thiat-mo-lek belum jelas akan jalannya pertempuran malam itu.

"Ha, kiranya iblis tua itu masih belum mati. Dia adalah pembunuh ayahku, aku memang hendak mencarinya," kata Thiat-mo-lek kemudian dengan geram.

Karena ia sibuk berbicara dengan Se-kiat tentang diri Yo Bok-lo, jadi lupalah sudah ia akan diri In-nio dan Yak-bwe.

Demikianlah malam itu, dimarkas gunung Kim-ke-nia telah diselenggarakan suatu pesta perjamuan besar yang dihadiri oleh segenap orang gagah dari pelbagai aliran. Setelah perjamuan selesai, sekalian orang gagah itu dipersilahkan beristirahat. Oleh karena rombongan pengikut Se-kiat itu berjumlah banyak, maka tuan rumah Shin Thian-hiong khusus menyediakan 10 buah kamar untuk mereka. Se-kiat pun memperlakukan istimewa kepada kedua nona itu. Untuk mereka berdua saja, diberinya sebuah kamar. Lain-lainnya setiap rombongan 4-5 orang diberi satu kamar. Karena pelayanan yang istimewa itu, rombongan pengikut Se-kiat itu sama menduga kalau In-nio dan Yak-bwe itu tentu bukan tokoh sembarangan. Malam itu Yak-bwe gulak-gulik diatas ranjang, tapi tak dapat tidur. Kira-kira pukul tiga pagi. Se-kiat mengetuk pintu kamar kedua nona itu dan menyuruh mereka bangun. Setelah cuci muka dan berdandan, kedua nona itu pun keluar dari kamarnya.

"Masakah hari belum terang tanah Eng-hiong-hwe sudah akan di mulai?" tanya In-nio.

"Shin ce-cu akan mengundang sekalian tetamu untuk menikmati keindahan matahari terbit, setelah itu Tay-hwe akan segera dibuka," menerangkan Se-kiat.

Diam-diam Yak-bwe geli dalam hatinya: "Tampaknya Shin ce-cu itu seorang yang kasar. tapi ternyata juga suka akan seni keindahan. Dia mempersilahkan para tetamunya menikmati matahari terbit, itu menandakan seleranya akan seni."

Yang dijadikan medan pertempuran itu, adalah sebuah padang dataran yang luas. Ketika In-nio dan Yak-bwe tiba, di medan pertempuran itu sudah penuh sesak dengan orang. Kula itu rembulan sudah condong kebarat dan fajar remang- remang mulai memancar. Beberapa saat kemudian gumpalan awan putih mulai buyar, cakrawala mulai terang. Langit diufuk timur mulai memancarkan cahaya kemerah-merahan. Dan ayampun terdengar berkokok sahut-sahutan.

Sekejap mata pula, sang roda dunia yang merah membara mulai unjukkan wajahnjya. Kabut awan yang berarak-arak buyar itu. karena ditimpah oleh sinar sang surya, memantulkan cahaya warna-warni bagai untaian pelangi.

Sungguh indah permai pemandangan matahari terbit dipagi hari itu.

Kini barulah Yak-bwe tahu apa maksud Shin Thian-hiong mengundang sekalian tetamunya untuk menikmati matahari terbit itu. Kiranya pemimpin penyamun itu hendak menghidangkan suatu pemandangan yang sesuai dengan nama gunung itu. Kim-ke-nia atau puncak ayam emas.

Saat itu Thian-hiong menghadap kearah barat, lalu menjura. Setelah itu berserulah ia dengan suara nyaring: "Terima kasih kepada sekalian Toako yang sudi memerlukan datang ke markas kami. Aku adalah seorang kasar dan tak pandai pula berbicara. Apa yang kupikirkan terus saja kuucapkan. Benar tidaknya saudara-saudara sekalian sukalah memberi petunjuk."

Pecahlah mulut para hadirin dengan gelak tertawa.

"Aha, Shin-toako, bilakah kau belajar main rikuh-rikuhan itu? Kita adalah kau yang berbicara dengan bahasa golok. Jika ingin mengatakan sesuatu, silahkan bicara dengan terus terang, tak usah jual mahal seperti kaum wanita!" seru mereka.

Maka berkatalah Thian-hiong: "Sejak saudara Ong Pek- thong menutup mata, dalam sepuluhan tahun ini perserikatan Lok-lim tak punya pemimpin lagi. Terus terang saja, semasa saudara Ong itu menjabat pimpinan Lok-lim. akulah orang pertama yang menentang padanya. Dia mengandalkan kekuatan untuk menindas yang lemah, suka menghina sesama kaum dan tidak tepat menjalankan kebijaksanaannya. Yang paling tidak pantas, dia minta sekalian orang gagah dari Lok- lim agar mengangkatnya setanggi langit. Rupanya diangkat menjadi pemimpin saja ia masih kurang puas, ia masih bercita-cita menjadi raja muda, bersekongkol dengan An Lok- san untuk mendapat kekayaan dan pangkat. Tentang hal itu, rasanya para saudara tentu sudah maklum, maka tak perlu ku bicarakan panjang lebar lagi. Hanya saja. tentang kesalahan saudara Ong menjadi pemimpin itu suatu hal. sedang tentang perlu tidaknya kita mengangkat pemimpin lagi, itu lain hal lagi."

"Menurut pendapatku, lebih baik kita mempunyai seorang pemimpin. Dalam masa sepuluhan tahun ini, karena tiada pemimpin, jika tentara negeri menyerang, kita lantas kehilangan koordinasi untuk bantu membantu. Kita banyak menderita karena hal itu. Malah yang lebih buruk lagi, karena kita terdiri kaum yang menggunakan bahasa golok, jadi seringkali tak terhindar dari bentrokan saling berebut daerah kekuasaan dan hasil rampasan. Bukti-bukti menyatakan hal itu sudah sering terjadi. Bukan saja hal itu meretakkan hubungan, pun memperlemah persatuan hingga memudahkan tentara negeri menghancurkan kita. Kalau membicarakan hal itu, hati kita merasa sedih sekali. Sebab utama dari keadaan itu adalah karena kita tak mempunyai pemimpin!"

"Dengan alasan yang kukemukakan tadi, maka kuundang saudara-saudara sekalian hadir dalam pertemuan ini guna menyarankan seorang calon yang akan kita angkat menjadi pemimpin Lok-lim. Entah bagaimana pendapat saudara- saudara sekalian?"

"Bagus, Shin-toako, pidato pembukaanmu hebat benar. Hanya sayang sekali calon itu sukar didapatkan. Jika salah pilih, bukankah akan terulangi lagi lelakon Ong Pek-thong kedua?" seru beberapa hadirin.

Mereka adalah golongan orang-orang yang liar atau bebas, maka dari itu mereka tak menyukai adanya pimpinan dan berusaha untuk mengguyur air dingin atas pernyataan tuan rumah tadi.

Tapi ada pula serombongan orang yang menyetujui: "Memang kesukaran tentu ada, tapi itu bukan ulasan untuk mundur. Pimpinan harus ada, untuk itu kita harus berhati-hati memilihnya."

"Shin-toako yang mengambil inisiatif menyelenggarakan pertemuan ini, jadi kebanyakan ini tentu sudah mempunyai pilihan calon yang tepat. Nah, suruh saja dia mengemukakannya!" seru beberapa orang pula. Terang golongan ini menunjang Thiat-mo-lek dan Shin Thian-hiong, maka merekapun berdaya untuk menindas golongan yang menentang tadi.

Memang dalam rapat kawanan penyamun itu, tiada apa yang dinamakan tata-tertib persidangan, misalnya pemungutan suara dan sebagainya. Karena tak ada suara yang menentang lagi, maka usul memilih calon pemimpin itu dianggap sudah diterima baik oleh sebagian besar hadirin. Kini semua mata ditujukan pada pimpinan rapat (Shin Thian- hiong). Suasana yang berisik tadi pun mulai sirap.

Maka berkata pula Thian-hiong: "Benar, memang kita harus memilih orang yang tepat. Pada hematku, syaratnya ialah, pertama, harus lapang dada mengabdi kepentingan orang banyak, kedua, harus yang mempunyai kewibawa ini, ketiga, mempunyai ilmu silat yang sakti dan keempat, harus ditinjau dari keturunan keluarganya. Yang kumaksud dengan keluarga di sini bukan golongan keturunan keluarga pembesar- pembesar korup, akan tetapi keturunan dari keluarga penyamun."

"Dalam anggapanku, hanya ada seorang yang mencukupi keempat syarat itu. Dia adalah Thiat-mo-lek. Nah, saudara- saudara, aku majukan Thiat-mo-lek sebagai calon pemimpin Lok-lim!"

Kim-kiam-ceng-long To Peh-ing segera menyanggupi: "Saudara-saudara, bukan maksudku hendak mengeloni Thiat- mo-lek, Hiantitku itu. tapi aku hendak berbicara apa adanya saja. Meskipun dia tergolong seorang dari angkatan muda, tapi ketenaran namanya sudah berkumandang diseluruh negeri. Peribadinya jujur dan bertanggung jawab. Tentang ilmu silatnya, ia telah mendapat pelajaran dari tokoh-tokoh yang termasyhur, misalnya Mo Kia Lojin dan mendiang Toan Kui-ciang. Tentang asal keturunannya, rasanya tak perlu diragukan lagi. Siapakah yang tak kenal akan nama Thiat-gun- lun, ayah Thiat-mo-lek itu? Sewaktu Thiat-gun-lun masih berkecimpung dalam dunia persilatan, meskipun benar belum pernah menjadi pemimpin Lok-lim, tapi kemasyhuran  namanya tidak dibawah kedua jago she Ong dan she Toan. Keempat syarat yang disebut-sebut Shin-toako tadi. Hiantitku Thiat-mo-lek itu memiliki semuanya. Apalagi pada masa ini ia sedang gagah-gagahnya, jadi pantaslah untuk menjabat pemimpin Lok-lim kita!"

Thiat-mo-lek mempunyai pergaulan luas sekali. Sebagian besar dari thau-bak Kim-ke-nia sama menunjangnya. Maka begitu Shin thian-hiong dan To Peh-ing selesai menyatakan pendapatnya, dari empat penjuru segera terdengar tampik sorak yang gegap gempita, tapi dalam pada itu, juga masih tak sedikit juga yang diam-diam sama kasak-kusuk, Mendadak ada seorang lelaki yang bermuka ungu berbangkit dan berseru keras:

"Masih ada satu hal yang saudara To lupa mengatakan, 'padahal semua orang sudah sama mengetahuinya. Ialah Thiat-mo-lek itu putera angkat dari Tou Leng pemimpin Lok- lim yang sudah almarhum. Jadi boleh dikata, Thiat-mo-lek itu berasal dari keturunan keluarga Lok-lim. Tetapi kiranya para saudara yang hadir disini tentu sudah maklum bahwa antara orang she Ong dengan she Tou itu adalah musuh bebuyutan. Meskipun Ong Pek-thong sudah lama meninggal dunia, tapi sampai sekarang anak buahnya masih banyak. Walaupun semasa hidupnya Ong Pek-thong pernah berbuat kesalahan, tapi pada masa itu ia menjadi pemimpin Lok-lim, sudah tentu orang yang taat padanya juga banyak. Orang-orang itu sebenarnya tak ikut-ikutan bersalah. Apalagi kejadian itu sudah lampau, kalau diungkat2 lagi tiada bawa manfaat apa- apa...!"

Belum ia menyelesaikan kata-katanya Thian hiong sudah serentak bangkit dan menyeletuk. "Memang tak ada orang yang hendak mengungkat hal itu! Tujuan dari pertemuan hari ini ialah akan membuang kesalahan lama dan membangun lagi semangat persatuan baru. Apa perlunya kau menyinggung soal lama!"

Berkata simuka ungu tadi. "Jangan Shin ce cu keburu marah dulu, bolehlah aku menyelesaikan kata-kataku tadi? Memang kurasa perlu untuk mengungkat hal tadi. Pada hematku, memang kuanggap Thiat mo lek itu pantas menjadi pemimpin kita. Tapi harap saudara2 suka merenungkan sebentar. Andaikata Thiat mo lek, benar dapat menjalankan kewajibannya dengan bijaksana, hal itu baru belakangan dapat diketahui. Tapi yang nyata pada saat ini para pengikut Ong Pek thong tentu sudah mempunyai ganjelan didalam hati!"

Ucapan itu telah menimbulkan reaksi hebat dari golongan yang pro Thiat mo lek.

Sudah tentu Thiat mo lek merasa tak enak sendiri. Sebenarnya ia pun sudah menduga tentang hal itu, tapi ia tak menyangka, bahwa akan ada orang yang akan mengatakan didepan umum. Hal itu menandakan bahwa pengaruh Ong Pek-thong itu masih kuat. Diam2 Thiat-mo-lek timbul niatan untuk mengundurkan diri dari pencalonan itu.

Namun baru ia hendak berbangkit untuk menyatakan penolakannya, tiba2 ada seorang lelaki menghampirinya dan menyuruhnya duduk kembali. Orang itu bukan lain ternyata adalah menantu dari Ong Pek-thong yang bernama Can Goan- su. Isterinya atau anak perempuan dari Ong Pak-tiong yang bernama Ong Yan-ih dan sekarangpun menyertai suaminya datang ketempat itu.

Selagi Goan-siu mendudukkan Thiat-mo-lek Yan-ih sudah berbangkit dari tempat duduknya dan berseru : "Aku adalah anak perempuan dari Ong Pek-thong. Pada saat ayah menutup mata, aku selalu berada disamping. Ayah menyatakan sendiri padaku bahwa ia merasa menyesal atas perjalanan hidupnya selama ini. Beliau meninggalkan pesan supaya kami seturunan menghapuskan permusuhan dengan kaum keluarga Tou. Sekarang atas nama dari Ong Pek-thong dengan ini aku menyatakan menujang sepenuhnya usul Shin ce-cu tadi. Aku setuju akan pengangkatan Thiat mo lek menjadi pemimpin Lok-lim."

"Oh, kiranya bibi Ong juga turut datang kemari. Dengan pernyataannya itu tentu tiada orang yang menentang Thiat- mo-lek lagi!" seru Yak-bwe.

Yak-bwe memang masih bersih pikirannya. Tetapi persoalan saat itu tak sederhana seperti apa yang dipikirnya. Benar dengan pernyataan Yan-ih tadi golongan oposisi dapat ditindas, namun bal itu bukan berarti sudah aman lancar dan tak ada oposisi lagi.

Kembali simuka ungu tadi berbangkit lagi, ujarnya: "Pesan yang ditinggalkan Ons Pek-thong pada detik2 terahhir itu hanya nona Ong saja yang mendengarnya. Aku tak berani mengatakan tak percaya, tapi setiap orang mempunyai cara berpikir sendiri2. Akupun tak berani memberi jaminan bahwa pengikut2 Ong Pek-thong dapat menerima keterangan Nona Ong tadi dengan hati terbuka dan bebas dari ganjelan, Dalam pemilihan ketika ini, tak dapat hanya memandang akan ketenaran nama. Tetapi harus diulik dari segala segi."

Shin dan To kedua toako tadi mengusulkan Thiat-mo-lek, bukannya aku menentang, alangkah baiknya jika diajukan lagi beberapa calon, agar sekalian hadiran dapat memilikinya. Dengan cara demikian rasanya mungkin pilihan itu akan memperoleh hasil yang memuaskan!"

Sampai dimana perhubungan Yan-Ih dengan Thiat mo lek, semua orang sudah mengetahui. Ucapan si muka ungu itu terang hendak menyindir Yan ih yang dituduh terpengaruh oleh hubungannya dengan Thiat mo lek. Sudah tentu Yan ih gusar sekali, namun ia masih kuatkan hatinya untuk menahan diri.

Berkata Thian hiong. "Pada pertemuan ini, para saudara dipersilahkan menyatakan pendapat dengan bebas. Harap mengajukan calon sendiri sendiri yang memiliki sifat2 pintar dan bijaksana, agar kita sekalian betul betul taat. Memang dalam pemilihan ini, jangan hanya tergantung pada pencalonan seseorang saja. Han toako, siapakah yang hendak kau usulkan, silahkan mengajukannya!"

Segera ada seorang berseru nyaring. "Benar! Punya omongan harus diucapkan, ingin kentut lekas dihembuskan, tak usah eco-eco seperti ular tambang!"

Si muka ungu itu seorang yang tenang dan dingin. Apapun perasaan dalam hatinya, selalu tak kentara di wajahnya! Terhadap ucapan kasar dan cemooh tadi, sama sekali ia tak menghiraukannya.

"Baiklah, sekarang aku hendak mengajukan seorang calon yaitu Thiat koay Li. Nama Li toako itu sudah bergema jauh didaerah utara dan selatan sungai, rasanya sekalian saudara tentu sudah mengetahui, bukan?" demikian si muka ungu itu berkata.

Dengan berbisik Yak-bwe menanyakan tentang tokoh Thiat- koay Li (Li si Tongkat Besi) yang disebut itu kepada In-nio, tapi In-nio gelengkan kepala tanda tidak tahu. Adalah seorang tetamu yang duduk disebelah dan dengar pertanyaan Yak-bwe itulah menjadi berani, katanya. "Kalian tak kenal akan Thiat- koay Li? Dia adalah Li Thian go, Congthaubak dari tujuh san ce (sarang bandit) didaerah Hopak. sudah dua puluh tahun lamanya ia menjagoi dunia Lok lim dengan ilmu permainan tongkatnya, Loan bi hong koay hwat dari tujuh puluh dua jurus. Saudara berdua ini tentunya baru pertama kali ini keluar bukan?"

Yak bwe tertawa dan menghaturkan terima kasih pada orang itu. Sementara itu simuka ungu berhenti sebentar untuk menunggu reaksi dari para hadirin. Sesaat kemudian ia melanjutkan berkata!

"Dalam empat syarat yang disebut Shic-toako tadi. Li toako itu telah memenuhi tiga. Sudah dua puluh tahun Li toako menjadi Congthaubak dari tujuh San ce, selama itu dia dalam soal pembagian hasil ia tidak pernah merugikan salah satu pihak. Terhadap orang sehaluan, ia selalu memperlakukan dengan kebaikan dan keadilan. Boleh dikata ia dapat mengabdi pada kepentingan umum dan jauh dari mementingkan diri sendiri. Dalam soal kewibawaan dan kebijaksanaan, ia telah memiliki. Tentang ilmu silatnya, dengan ilmu permainan tongkat Loan bi-hong koay-hwat ia menjagoi daerah selatan dan utara sungai, Dalam hal ini rasanya tak perlu banyak memberi komentar lagi, Hanya sebuah syarat yang sayangnya ia tak menemui yaiiu tentang keturunan keluarganya. Kakek dan ayahnya tak pernah menuntut penghidupan sebagai pedagang tanpa modal (penyamun) jadi dia bukan dari keturunan keluarga Lok-lim. Kedudukannnya dalam kalangan Lok-lim diperolehnya dari tongkat besinya itu, sekali2 bukan warisan dari leluhurnya, Hanya saja menurut alam pikiranku yang dangkal ini, memilih seorang pemimpin Lok-lim tidaklah sama seperti raja, hendak memilih menantu, harus meneliti keturunan keluarga apa segala. Dari keturunan keluarga Lok-lim atau bukan soal yang penting. Jika bicaraku ini keliru harap Shin ce-cu memberi maaf,"

Dengan menunjukkan perbedaan antara pemilihan ketua Lok-lim dengan pemilihan orang menantu raja, simuka ungu bermaksud hendak meniadakan syarat yang diajukan Thian- hiong dalam hal keturunan. Disamping itu, ia singgung- singgung juga Thiat-mo lek karena membonceng pada soal keturunan keluarga.

Sekalian hadirin tak dapat menyelami maksud yang tersembunyi dalam ucapan simuka ungu itu. Yang diketahui mereka, karena kata2 simuka ungu diucapkan dengan menarik sekali, maka mereka sama tertawa.

Sebaliknya merah padamlah wajah Thian-hiong. Baru ia hendak berbangkit akan mengangkat bicara. To Pek-ing sudah membisiki telinganya : "Shin toako harap kendalikan diri, jangan merusak suasana pertemuan ini !"

Kiranya Thiat-koay Li Thian-go itu termasuk golongan orangnya Ong Pek-thong bersekongkol dengan An-lok-san. Thiat-koay Li- ini mau ikut serta. Ini bukan karena ia gentar, melainkan ia akan menunggu saat2 yang tepat untuk bergerak. Memang ia lebih cerdik dari Pek-thong. Kalau itu ia sudah mengetahui bahwa tindakan Ong Pek thong yang salah itu tentu bakal membangkitkan rasa tak puas dikalangan orahg gagah. Kedudukan Ong Pek-thong itu adalah  merupakan sebagai pemimpin Lok-Lim pasti tak dapat dipertahankan lagi. Maka ia mengambil sikap pasief saja dan memperkuat kedudukannya sebagai Congthaubak dari ketujuh San-ce.

Baik kepada tentara negeri maupun kepada kerajaan Wi- yan (merk kerajaan yang didirikan oleh An Lok San), ia tak mau pembantu. Tapi sekalipun begitu, pada masa2 jayanya. Thiat-koay Li mengadakan kontak dengan Ong Pek-thong secara sembunyi.

Kedatangannya kepertemuan digunung Kim ke nia sekarang dengan membawa harap bahwa ia niscaya akan memperoleh kedudukan sebagai pemimpin Lok lim. Pada hakekatnya orang yang mencalonkan dirinya itu adalah konco2nya sendiri.

Shin Thian hiong sudah mempunyai keterangan lengkap tentang diri orang she Li itu. Sebenarnya Thian-hiong pun akan membeberkan rahasia hubungan gelap antara Thiat-koay Li dengan Ong Pek thong, tapi To Peh ing yang sudah kenal baik karakternya, buru2 mencegah Thian-hiong seperti orang disadarkan, pikirnya. "Ya, benarlah, Aku tadipun sudah menyatakan, bahwa urusan lama sebaiknya jangan di bawa bawa iagi. Aku tak boleh memusuhinya karena dahulu punya hubungan dengan Ong Pek-thong. Apa lagi pada masa itu ia tidak terang2an ikut pada Ong Pek-thong, jadi sukar untuk membuktikan jejaknya itu. kalau aku berkeras menentangnya, hadirin tentu menuduh aku menimbang berat sebelah. Hal ini sebaliknya tak menguntungkan diri Thiat-mo-lek."

Tapi sekalipun Thian hiong tak membeberkan namun lain orangpun tahu akan gerak-gerik Li Thian-go itu. Seketika sekalian yang hadir sama hiruk membicarakan. Yang berdiri dari tempat duduknya dan berteriak2 adalah dari golongan Thiat-koay Li. Tapi kalau dibanding dengan penyokongan Thiat-mo-lek, mereka itu masih belum seberapa.

Setelah suara teriakan mereka, kembali ada seorang berbangkit dan berseru : "Aku pun hendak mengajukan seorang calon. Yang hendak kucalonkan itu yalah Thiat- pi- kian to Tang lo-ya cu yang dalam Lok-lim namanya juga tak asing lagi bagi kita."

Seorang tua bermuka merah yang tangkas segera berbangkit dan berkata : "Ai, harap Nyo-lote jangan membuat buah tertawaan orang. Aku seorang tua yang sudah lama cuci tangan, mengapa mencalonkan diriku ?"

Orang yang dipanggil she Nyo itu menyahut : "Jahe makin tua makin pedas. Justeru karena kau sudah tua dan sudah cuci tangan maka tak mempunyai hubungan apa2 dengan kedua keluarga Tou dan Ong. Dalam menjalankan kewajiban tentu lebih adil bijaksana. Saudara2 sekalian, maaf aku hendak bicara terus terang. Kulihat pada masa ini sahabat2 dari kalangan Hek-to tak mempunyai kebulatan hati jadi sukarlah rasanya untuk memilih calon yang benar2 ditunjang dengan suara bulat. Maka daripada begitu, lebih baik kita meminta seorang tokoh yang sudah tua usianya untuk menjadi pemimpin kita," Thiat-pi-kim-to Tang Kia cukup ternama, maka kata2 orang she Nyo tadi mendapat sambutan tepuk tangan dan sorak sorai yang gegap gempita. Mereka menyatakan mendukung. Tapi usia Yang Kiam itu sudah tua. maka ada beberapa orang yang sangsi apakah jago tua itu masih dapat memikul kewajiban. Mereka kuatir jangan orang tua itu nanti cuma menjadi semacam boneka saja. Maka karena itu jumlah penyokong Thiat-mo lek tetap lebih banyak.

Tang Kiam tetap menolak lagi. tapi karena terus menerus di desak orang, akhirnya ia mau menerima juga dengan pertimbangan supaya dapat mendamaikan pertentangan antara ke dua golongan yang pro dan kontra itu.

"Baiklah, terserah saja pada sekalian hadirin. Tapi aku sendiri menganggap Thiat-mo-leklah yang paling tepat!" katanya.

Dalam suasana berisik dari orang2 yang sama memperbincangkan itu, tiba2 seorang lelaki bertubuh kekar dan tinggi hampir dua meter tampak berbangkit. Dengan suara nyaring seperti lonceng berlalu, ia berseru: "Aku pun hendak mengajukan seorang calon!"

Waktu sekalian hadirin memandang kearahnya, ternyata ia itu pemimpin kaum Lok-lim dipantai Selatan sungai Tiangkang yang bernama. Kay Thian-ho. Sekalian orang sama terperanjat, pikir mereka: "Kay Thian ho itu seorang congkak, tak pernah tunduk pada orang. Ketika dahulu orang she Ong dan she Tou menjabat pemimpin Lok-lim, Kay Thian-ho itupun tak menjual muka. Kini ia hendak mengajukan seorang calon, entah siapakah tokoh itu?"

Rupanya Kay Thian-ho tahu apa yang dipikirkan sekalian orang itu, Ia tertawa nyaring.

"Harap saudara sekalian jangan meragukan. Walaupun ia baru setahun muncul di dunia persilatan, tapi ia sudah melakukan perbuatan2 yang menggemparkan?" Berbagai reaksi timbul dikalangan hadirin. Ada yang menduga-duga siapa tokoh itu ada yang tak atau main menduga tapi segera berseru menanyakan pada Thian-ho: "Kay-toako bilanglah lekas sapa calonmu itu!"

Sahut Kay Thian-ho: "Pemuda gagah itu bernama Bo Se kiat. Kiranya para saudara yang hadir disini tentu sudah maklum bahwa aku orang she Kay ini tak mudah  sembarangan memuji orang. Tapi hari ini aku benar2 hendak berkata dengan sungguh2, Bo heng-te itu benar2 tergolong tokoh sakti dalam jaman ini! Dia adalah murid angkatan keempat dari Kiu-si-khek dan keponakan dari Tocu (pemimpin pulau) Hu-siang-to, Bo Jong-siang. Walaupun mereka tinggal diluar lautan yang amat jauh, tapi juga dapat digolongkan sebagai keturunan keluarga Lok-lim."

Kiu si khek adalah seorang Koay-kiat (pendekar aneh) dari dunia Lok-lim pada masa permulaan kerajaan Tong. Karena baginda Sui-yang te seorang raja yang Buto (lalim), maka sekalian orang gagah diseluruh negeri sama berontak.

Kabarnya Kiu-si-khek itu juga bermaksud menceburkan diri dalam persekutuan orang2 gagah dan kemudian mengangkat diri sebagai raja. Tapi kemudian seorang sahabatnya yang bernama Li Ceng datang mengunjunginya dan memuji kecakapan, Li Si bin. Sahabat Kiu si-khek itu lebih lanjut mengatakan bahwa kegagahan, kecerdasan dan kewibawaan pemuda Li Si-bin itu benar2 luar biasa. Dengan saingan seperti itu, impian Kiu-si-khek untuk mendapatkan takhta kerajaan tentu akan gagal.

Mendengar itu Kiu-si-khek lalu ajak Li Ceng masuk kedaerah Thay-goan (Li Si-bin adalah putera Li Yan, Liu-siu dari Thay-goan) Di Thay-goan, Kiu-si-khek juga mempunyai seorang sehabat yang bernama Lau Bun-cing, Lau Bun-cing kenal juga pada Li Si-bin, Kiu si-khek lalu minta pada Bun-cing supaya ia mengundang Li Si-bin berkunjung kerumahnya, Ia ( Kiu-si-khek ) ingin bertemu muka dengan pemuda calon kaisar itu.

Sambil menunggu kedatangan Li Si-bin, Kiu si-khek main catur dengan Ui-san-khek, seorang Tosu dari biara Thay-hi- kwen. Ui-san-khek itu juga seorang berilmu yang terpendam. Kebetulan pada waktu itu ia bertamu kerumah Bun-cing.

Waktu Li Si-bin datang, kedua orang itu terbeliak kaget, Li Si-bin ternyata seorang pemuda yang berparas agung, gagah dan wibawa. Ketika Li-Si-bin duduk melihat permainan catur itu. Ui-san-khek yang melihat tanda2 luar biasa pada pemuda itu, permainannya segera menjadi kacau. Serentak berdirilah ia, ujarnya : "Aku menyerah kalah, aneh, posisi ku tak dapat tertolong lagi !"

Tapi Kui-si-khek juga menjadi lesu dan berbangkit menuju keruang belakang. Katanya kepada Li Ceng : "Dia seorang cin- beng-thian-cu, sukar dilawan!"

Cin-beng-thian-cu artinya orang yang sudah ditakdirkan menjadi raja. Kemudian ia menyerahkan seluruh harta simpanannya kepada Li Ceng agar yang tersebut belakangan ini membantu se-kuat2nya pada perjuangan Li Si-bin, Ia sendiri akan menurut nasehat Ui-san khek untuk menyingkir jauh keseberang lautan, menjadi raja pulau Hu siang to.

Kalangan Lok-lim juga kenal akan kisah Kiu-si-khek menyerahkan tahta kerajaan pada Li Si bin. Meskipun peristiwa itu terjadi pada ratusan tahun yang lalu. namun kaum Lok lim tetap masih menghormat peribadi Kiu si khek. Untuk sekedar mengemukakan ukuran nilainya, kedudukan Kiu si khek didunia Lok lim serupa dengan derajat Khong  Cu dalam dunia sasterawan.

Maka demi mendengar bahwa Bo Se kiat itu anak murid turunan keempat dari Kiu si khek, sekalian hadirin sama membuka mata lebar2. Berkata pula Kay Thian-ho: "Dewasa ini para ciat-to-su berebutan daerah kekuasaan, keadaan rakyat amat merderita. Para orang serempak bangun kembali, keamanan terganggu. disana sini timbul kekacauan. Dahulu dengan rela hati Kiu-Si- khek menyerahkan gunung dan sungai (negara) pada Li Si- bin, siapa duga anak cucu orang she Li itu ternyata tak becus untuk menjaga warisan kerajaan leluhurnya!"

Mendengar pidato orang she Kay itu, sekalian orang gagah menjadi tergugah semangatnya. Dengan penuh perhatian mereka mendengarkan. Sesaat hening lelaplah suasana dalam medan pertemuan itu.

Kay Thian-ho tertawa lalu melanjutkan pidatonya: "Didalam suasana negara kalut ini, kita kaum Lok-lim juga memiliki pambek (cita2) dan pandangan yang luas. Sekali2 jangan hanya berebutan daerah kekuasaan atau pembagian hasil rampasan saja. Yang akan menjabat sebagai pemimpin Lok- lim juga tak terbatas hanya cakap menghadapi serangan tentara negeri dan mampu mengatasi pertentangan didalam kalangan kita saja. Lebih dari itu kita masih harus melindungi rakyat jelata, membasmi kawanan raja kecil berupa panglima daerah itu.

Makin besar kekacauan negara berlangsung, makin besarlah seharusnya kita gelorakan perjuangan kita. Ha. ha, peribahasa mengatakan ; "Yang berhasil akan menjadi raja, yang kalah lantas menjadi perampok. Nanti apabila suasana sudah kembali aman. kitapun jangan terus2an menjadi penyamun!"

"Bo-hiangte adilah akhli waris dari kiu-si-khek. Orangnya gagah dan pintar, mempunyai kewibawaan untuk mengemban amanat leluhurnya, Tahun ini saja apa yang dia lakukan, misalnya merampas antaran kuda, menyerbu Teng-cu, medundukkan kawanan orang gagah dari 12 cu-ce (markas bajak) ditelaga Thay-oh membantu meringankan penderitaan rakyat didaerah sungai Hoang ho yang dilanda banjir dan lain2, semua itu sudah cukup menggemparkan dan membuat orang kagum sekali. Maka menurut hematku, jika kita ingin melaksanakan suatu pekerjaan besar, haruslah kita memilih  Bo hiangte ini menjadi pemimpin kita!"

Bergelorakan darah sekalian hadirin. Ada seorang lelaki berdiri dan berseru: "Kami rombongan dan Im-nia-jwai ini pernah di jungkir-balikan oleh Bo Se-kiat. Sementara aku sendiri orang she Nyo ini, juga merasakan pil pahit (hajaran) dari dia. Tapi meskipun dikalahkan aku tunduk setulus hati padanya. Karena dalam urusan tempo hari itu fihak kamilah yang bersalah. Ia dapat mengemukakan alasan2 yang tepat hingga mau tak mau aku harus tunduk. ”

Orang itu berhenti sejenak, lalu meneruskan kata2nya pula: "Kini atas nama segenap warga Im-nia-jwan, aku menyatakan dukungan sepenuhnya pada percalonan Bo Se-kiat, Apakah nanti ia hanya menjadi pemimpin atau akan menjadi kaisar kami akan taat padanya!"

Yak-bwe dan In-nio kenal orang itu sebagai si tinggi besar she Nyo yang bertempur dengan Se-kiat digunung Pak-long san tempo hari, tapi baru setengah jalan setinggi besar itu lantas mengakui kesalahannya.

Setelah kedua orang she Nyo dan Kay itu berbicara, hati sekalian orang meluap2 penuh semangat. Tapi ada sementara orang juga yang gelisah, pikir mereka: "Apakah ini bukan pemberontakan?"

Memang kaum penyamun itu terdiri dari dua golongan. Ada yang menjadi penyamun karena melihat ketidak adilan dan kekacauan negara, jadi mereka terdiri orang2 yang mempunyai pambek besar. Pun ada yang menjadi penyamun karena dorongan penghidupan. Untuk golongan yang terakhir ini, kebanyakan selalu menurut saja, tak berani memberontak.

Maka berbangkitlah Se kiat dari tempat duduknya, "Kay toako telah menjunjung begini tinggi padaku, aku sungguh tak berani menerimanya. Apa yang diucapkan Nyo toako tentang mau jadi raja apa segala itu lebih merupakan lelucon saja. Memang sekarang ini negara sedang mengalami kekacauan dan inilah saatnya bagi putra2 ibu pertiwi untuk tampil membuat jasa. Kewajiban sebagai Bengcu (pemimpin) itu terlampau berat, aku tak dapat memikulnya. Tapi aku berjanji akan taat dan memberi bantuan sepenuh tenaga kepada Toako lain yang akan menjabat kedudukan pemimpin itu!"

Ucapan itu dinyatakan dengan nada yang gagah, tapi mengandung maksud penolakan.

"Kaulah orangnya pemimpin itu! Ya, jangan menolak lagi!" seru Kay Thian ho dan beberapa orang.

Didesak begitu keras, apa boleh buat Se-kiat tak mau membantah lagi. Ia terpaksa menerima pencalonan itu. Jantung In nio berdenyut keras, ia girang, girang kaget. Ya, mengapa tidak? Se kiat adalah jantung hatinya, bahwa sang jantung hati menerima sekian besar dukungan, ia merasa girang. Tapi mengingat nanti bakal berebut melawan Thiat mo lek, in nio merasa tak enak hatinya.

"Siapa lagi yang akan mengajukan calon?" tanya Thian- Hiong kemudian, ia mengulangi beberapa kali tawaran itu. tapi tak ada yang menyahut.

"Baiklah, sekarang ada empat calon Bang cu yang diajukan. Thiat-mo-lek siau-cecu dari Yan-san, Li Thian-go congthaubak dari Ho-pak-chit ce, Thiat-pi kim to Tang Kiam locianpwee dan Bo Se kiat siau tocu dari Hu siang to. Sekarang kita adakan pemilihan lagi yang manakah diantara Keempat calon itu yang akan kita pilih menjadi Bengcu?" kata Thian hiong akhirnya.

"Tapi dengan cara bagaimanakah pemilihan itu dilakukan. Ia sendiri bingung. Menurut cara yang sederhana, pilihan itu dapat dilakukan dengan cara pemungutan suara. Siapa yang mendapat suara terbanyak, itulah yang menang. Tapi dengan cara begitu, akan semakin tajamlah garis pertentangan antara golongan yang pro dan kontra. Benar suara terbanyak akan dapat menindas suara sedikit, tapi sifat2 kaum Lok lim itu suka membandel. Jika mereka cuma tunduk dilahirnya saja, kelak kemudian hari tentu akan terbit perkara yang tidak2.

Disamping itu Thiah-hiong sendiri mempunyai keinginan ialah mengharap Thian mo-lek menang. Tapi jika meneliti gelagat, penyokong2 Se kiat itu tak kalah jumlah dengan pendukung Thian mo lek.

Akhirnya tampillah seorang tua, Hiong ki goan, locecu dari gunung Hok-gusan. Serunya: "Sekarang kita menghadapi empat calon yang sama mempunyai dukungan kuat. Bicara tentang soal kemasyuran nama dan keluaran peribadi, kesemuanya itu sukar untuk dinilai. Jika menilai baik buruknya atau kuat lemahnya ilmu kepandaian merekapun dapat menyinggung perasaan. Turut pendapatku siorang tua, lebih baik diputuskan menurut cara lama saja."

Pemimpin dari Ho gu san itu sudah berusia 70-an tahun, Ia sudah pernah turut dalam pemilihan Beng cu sampai tiga kali, jadi sudah paham akan peraturan lama mengenai hal itu.

"Kalau begitu harap locianpwee memberi petunjuk kepada kami." seru Thian hiong.

Hiong ki goan berdiri kembali, lalu berseru:

"Sederhana saja, caranya ialah mengadu kepandaian. Sekaranga ada 4 orang calon, maka harus bertanding 1 kali, Pertandingan ditentukan secara berturut-turut. Dalam setiap babak keluar tiga orang. Yang kalah akan kehilangan hak dipilih menjadi Beng cu. Yang menang terus bertanding lagi dalam babak kedua. Pemenang dan babak kedua ini baru boleh mengganti atau boleh juga tak memerlukan penggantinya. Tetapi calon Bengcu yang berkepentingan itu sedikitnya harus keluar bertanding satu kali. Demikianlah peraturan itu. jelaskan?" Thian-hiong berpendapat hal itu merupakan satu2nya cara untuk menyelesaikan persoalan saat itu. Meski bertanding itu dapat merusak hubungan, tapi kaum Lok-lim itu memang hanya menjunjung ilmu kepandaian saja. Bagi pemenang yang memiliki kepandaian sakti, orang2 yang bermula menentang pencalonannya itu, tentu akan tunduk juga.

Sekalian hadirin tak ada yang menentang usul Hong Ki- goan itu. Karena itu Thiah-hiong segera mengadakan pengundian. Hasilnya dalam babak pertama Bo Se kiat- melawan Li Thian lo. Siapa yang menang akan maju dalam babak kedua melawan Tang Kiam. Thiat mo lek mendapat giliran yang terakhir.

Segera Li Thian go suruh wakilnya To Hoa, untuk maju dalam babak pertama itu. To Hoa mempunyai kepandaian istimewa dalam ilmu golok kilat. Perangainya kasar, dunia persilatan menjulukinya dengan sebutan si Jagal.

Dari golongan yang pro Bo Se-kiat, sebenarnya Kay thian- bo yang akan maju tapi melihat fihak lawan hanya mengeluarkan seorang Wakil Cecu sja. maka iapun tak mau turun kegelanggang.

Tiba2 ada seorang tamu menerobos keluar dan berseru dengan lantang:

"Lama nian kukagumi golok kilat dari lo-toako yang tiada tandingannva itu. Hari ini ingin sekali aku mendapat pelajaran barang beberapa jurus sajalah."

Sekalian orang mengenal orang itu sebagai Li Beng. Cecu dari gunung Tong pik-san. Seorang tokoh yang termasyur dengan permainannya golok Pat-kwa to. Bersama dengan To Hou, ia menikmati kemasyhuran nama sebagai jago golok dari daerah selatan dan utara.

Sekalian hadirin tersirap kaget melihat jago Pat kwa to itu sengaja hendak menempur jago Gway to (galok kilat). Tapi To Hou tertawa gelak2, ujarnya "Aha.,Li cecu terlalu sungkan."

"Siapakah yang tak tahu bahwa golok Pat kwa to Li toako itu merajai dunia persilatan? Aku merasa amat beruntung bahwa hari ini dapat berjumpa dengan Li toako. Maka sudilah nanti Li-toako jangan pelit memberi pelajaran pada aku!"

Suara yang bernada ramah itu sesungguhnya berisi suatu peringatan keras. Bahwasanya nanti jago she To itu akan mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih jempol dalam ilmu golok. Karenanya ia minta pada Li Beng supaya jangan sungkan2 lagi.

Sebagai jago kawakan, sudah tentu Li Beng mengerti kemana jatuhnya perkataan jago golok kilat itu. Selekasnya mencabut golok, iapun lalu mempersilahkan: "To toako adalah seorang tetamu dari jauh, harap mulai lebih dulu!"

Permainan To Hou itu di sebut 'golok kilat' karena ia menitik beratkan selalu turun tangan lebih dulu dengan cepat. Maka setelah mengucapkan sepatah kata minta maaf, iapun segera membuka serangan.

Tring2, tring, tring dalam sekejap saja To Hou sudah berturut2 melancarkan tujuh kali serangan. Sekalian orang yang melihat perkelahian itu menjadi berkunang2 matanya. Diantara mereka sama memuji dan mengakui kemasyhuran ilmu golok kilat To Hou.

Sebaliknya permainan golok Pat-kwa to dari Li Beng itu menitik-beratkan pada kecepatan. Dengan menggunakan posisi kuda2 kaki Ngo heng-pat kwa, goloknya berkelebatan naik turun laksana hujan mencurah rapatnya. Empat-lima puluh kali serangan golok To Hou semua kena ditangkisnya. Demikianlah kedua jago golok itu terlibat dalam suatu pertempuran yang dahsyat dan menarik sekali hingga berulang2 terdengarlah teriak pujian dari sekalian hadirin. Li Beng mencurahkan seluruh perhatiannya kearah ujung goloknya. se-olah2 ujung goloknya ia banduli dengan benda yang beratnya seribu kati. Makin lama permainannya makin lambat, namun arahnya serangan kilat yang dilancarkan To Hou dengan bertubi2 itu tak mampu menembus lingkaran pertahanan golok Li Beng.

Melihat itu Li Thian-go mulai merasakan gelagat tidak baik. "Celaka!"

Diam2 ia mengeluh didalam hati. Baru ia mengeluh begitu, disana sudah terdengar Li Beng membentak keras: "Kena!"

Li Bang gunakan jurus Hoan-chiu-liau-bun yaitu balikan tangan untuk memapas ketika To Hou melintangkan goloknya hendak menangkis, tapi siku lengannya sudah kena termakan golok lawan. Jago golok kilat itu menggerung keras, golok dipindah ke tangan kirinya dan dengan kecepatan yang luar biasa ia menghantam lawan pula.

Setelah dapat melukai lawan, Li Beng menjadi kegirangan. Sedikitpun ia tak menyangka sama sekali bahwa lawan begitu bandel dan galak, baru saja lengannya terluka sudah balas menyerang dengan hebatnya. Dan memang tak kecewa To Hou mendapat gelaran golok kilat itu. Bagaimana Li Beng hendak berusaha menghindar namun sudah terlambat. Bahunyapun kena termakan tebasan golok lawan, darah segera bercucuran keluar.

To Hou dengan beringas masih akan menyerbunya lagi. Tapi syukur demi melihat lengan kanan Li Beng hampir putus serentak berserulah Thian-hiong dan Thian-go: "Berhenti, berhenti!"

To Hou deliki mata: "Menang kalah belum ketahuan, mengapa di suruh berhenti?"

Tapi setelah berkata begitu, ia rasakan lengan sendiri sakit sekali! Tadi karena getaran amarahnya, ia tak merasa apa2. Tapi setelah berlangsung beberapa menit kemudian, nyeri pada lengan kanannya itu menyerang dengan hebat. Bagaimana gagahnya, ia tetap seorang manusia yang terdiri darah dan daging juga. Rasa sakit itu sampai menusuk keulu hati.

"Pertandingan ini adalah antara sesama kawan sendiri, sudah cukup bila ada yang kalah atau menang. Tapi babak ini anggap seri perlu apa sampai ada yang mati?" kata Thian hiong.

Li Thian-go mengangguk setuju: "Ucapan Shin-toako itu bijaksana sekali. Babak ini anggap saja serilah."

Menurut penilaian, kedua jago tadi sama2 terluka. Tapi luka Li Beng tidak begitu berat. Sebaliknya To Hou terkutung lengan kanannya, suatu halangan besar baginya karena ia tak mahir bermain dengan tangan kiri, Jika pertandingan itu dilanjutkan, kemungkinan besar ia tentu akan kalah.

Bermula Li Thian-go kuatir kalau fihak Se Kiat (Li Beng) tak setuju pertandingan itu di hentikan, sebab sudah jelas ia pasti akan menderita kekalahan dalam babak permulaan itu. Maka setelah Thian-hiong memberi pertimbangan seri, iapun lekas2 menyatakan persetujuannya.

Karena menahan kesakitan, saat itu To Hong sudah mandi keringat dingin. Bila tak malu akan ditertawai oleh sekalian orang gagah dari berbagai penjuru, ia tentu sudah menjerit2. Gelarannya yalah si Jagal dan memang perangainya berangasan dan kasar. Tapi pada saat itu, terpaksa ia tak berani unjuk kegarangan lagi. Setelah dikeluarkannya keputusan seri, maka dari kedua belah fihak segera ada berapa orang yang maju menghampiri kedua jago itu untuk mengobati dan menggotongnya keluar.

Baru kedua jago yang terluka dibawa pergi majulah digelanggang situ simuka ungu tadi. Ia mencekal sebatang Tok-kah-tang-jin (orang2an tembaga berkaki satu). "Saudara2 sekaum Lok-lim! Siapakah diantara kita yang tak pernah terguling dibawah ujung golok? Kita selalu menjunjung kebajikan dan keadilan. Kalau dalam pertempuran kita hanya terluka saja, itulah masih mujur dan kita tetap bersahabat. Aku disini hendak membantu fihak Li toako, sahabat manakah yang suka memberi pelajaran padaku? Biar nanti tubuhku berhias dengan beberapa liang darah juga aku akan tetap berterima kasih”.

Ternyata simuka ungu itu bernama Han Wi, seorang benggolan begal besar yang bekerja seorang diri. Karena ia seorang kuat pribadinya, marah girang tak kentara, maka orang persilatan menjulukinya dengan nama Leng bin hou atau Macan bermuka dingin.

Senjata Tok-kah-tang jin yang digunakan itu, beratnya ada

48 kati. sebenarnya tetmasuk senjata berat juga. Tapi istimewanya sepasang lengan dari orang-orangan tembaga itu dapat digunakan untuk menutuk jalan darah orang. Senjata itu mempunyai tiga macam ciri yang khas, Yakni: berat, kasar  dan tangkas. Dan pemilihan orang she han itu. tentunya lebih lihay dari To Hou.

Ucapannya tadi amat menusuk perasaan orang. Dan fihak Se kiat sebenarnya sudah ada beberapa orang yang sedianya akan maju, tapi sama mengkerat nyalinya karena gertakan orang she Han itu. Adalah Kay Titan-bo yang tak dapat mengendalikan diri lagi. Tapi baru ia hendak tampil kemuka, tiba2 ada seorang lelaki tinggi besar dan berwajah gemilang seperti batu kemala, berbangkit dari duduknya dan berseru nyaring:

"Biarlah aku yang mohon pelajaran ilmu tutuk dari Han- toako!"

Orang2 dari fihak Se-kiat terbeliak kaget melihat orang itu. Orang itu masih muda tapi bukan termasuk golongan mereka. Dia ialah Pian Cioan-su suami Ong Yan-Ih (puterinya Ong Pek thong). "He, mengapa kau tak mau bersabar untuk membantu Thiat mo Lek nanti?" bisik Yan-ih kepada sang suami.

Goan-siu mengepal tangan isterinya dan menyahut dengan pelahan: "Demi untuk kepentinganmu!"

Yan-ih dapat memaklumi maksud suaminya, kiranya ucapan orang she Han tadi sembari mengandung hinaan pada Yan-ih. Itulah sebabnya Goan-siu hendak membalaskan kemengkalan isterinya. Ia anggap fihak orang2nya Thiat-mo lek sudah cukup jago2nya yang tangguh, kurang dia seorang rasanya tak terpengaruh. Dah lagi kalau ia memenangkan pertandingan ini, benar secara langsung. Bo Se-kiatlah yang mendapat keuntungan, tapi secara tak langsung, karena fihak Li Thian-go kalah, jadi fihak Thian mo lekpun mendapat keringanan juga.

Han wi kenal pemuda itu sebagai putera dari Li-mo-thau Tian Toa-nio. Diam2 dia tergetar hatinya.

"Tian-toako. bilakah kau mengikat persahabatan dengan kaum Hu-siang-to?" segera serunya dengan tertawa.

Goan-siu menjawab: "Hari ini adalah pemilihan Bengcu dan bukan untuk membicarakan hubungan persahabatan. Aku suka membantu siapa, itu urusanku sendiri, tak perlu kau hiraukan. Bagaimana, apa kau hendak memilih seorang lawan lain?"

Amarah Han Wi menjadi meluap, pikirnya "Aku hanya takut pada ibumu bukan kepadamu."

Namun ia masih menguasai kerut wajahnya dan berkata dengan tenang: "Ah, Tian-toako bergurau ini. Seorang yang membuka kedai nasi masakan takut didatangi pembeli2 yang lapar. Hanya saja kita berdua ini cuma membantu pada sahabat saja, jadi urusan ini menjadi tanggung jawab kita berdua. Jelaskah kiranya Tian toako akan kata2ku ini?" Goan-siu tertawa dingin : "Jangan kuatir! Keluarkanlah seluruh kepandaianmu untuk membunuh aku, tak nanti ada orang yang minta ganti jiwa padamu !"

"Ah, bukan begitu." sahut Han-Wi. "Aku hanya hendak mengatakan bahwa dalam pertempuran itu nanti tentu sukar terhindar dari salah satu yang menderita. Maka lebih dulu kutegaskan dimuka. Harap Tian toako memberi maaf atas kekurang ajaranku!"

Wut!! begitu angkat Tok-kah-tang jin, ia lantas menghantam kepala Goan-siu. Goan-siu gunakan jurus Pek Hong-koan jit(bianglala melintas matahari). Ia berkelit sambil menutuk ke dada lawan. Tapi Han Wi juga tidak lemah, Trang, ia cepat menangkisnya. Kemudian Tok-kah-tang jin disapukan kelengan orang-orangan itu menutuk darah dipinggang Goan- siu.

Goan siu miringkan tubuhnya sembari kirim tiga kali tusukan sekaligus, semuanya mengarah jalan darah yang sangat berbahaya sekali. Han Wi menjadi semakin kelabakan melihat permainan pedang lawan yang begitu cepat dahsyat itu. Posisi menjadi terdesak, dan menyerang kini ia berganti menjaga diri. Tok-kah-tang jin diputar dengan keras sekali.

Tring, tring. tring. dalam sekejab saja tubuh orang2an tembaga itu penuh dengan lubang tusukan pedang, Bagian- bagian yang tertusuk itu banyak yang gempil tapi karena berat senjata itu ada 48 Kati dan tebalnya beberapa dim jadi pedang pun tidak dapat menembusnya. apa lagi pedang yang digunakan Goan siu itu hanya pedang Ceng-kong kiam biasa. ujung pedangnya itupun menjadi tumpul juga.

Ilmu pedang dari Goan siu itu dititik beratkan pada kecepatan dan kekerasan. Sebenarnya bukan maksudnya hendak adu senjata. Sedapat mungkin ia hendak menusuk tubuh lawan tanpa terbentur dengan senjatanya (Han Wi). Tapi permainan Han Wi itu tangkas sekali. Kemana Goan siu menusuk, disitu tentu sudah disongsong dengan Tok-kah-tang jin.

"Orang ini menggunakan Tang-jin sebagai perisai, aku tak mampu melukainya, ah, bagaimana aku dapat membalaskan kemengkalan Yan-moay?" akhirnya Goan-siu merasa putus asa.

Sebaliknya diam2 Han Wi bergirang hati, pikirnya: "Ilmu pedangmu meskipun hebat tapi kau ini hanya seorang berani tapi tanpa punya siasat! Bagus, akan kubiarkan kau unjuk kegirangan menusuk sepuasmu. Nanti satelah pedangmu putus, awaslah jiwamu!"

Tengah Han Wi membayangkan kemenangan itu, tiba2 Goan-siu menggerung keras. Begitu menyarungkan pedangnya, mendadak pemuda itu lantas menghantam dengan bajunya. Pukulan itu tepat mengenai punggung Tok- kah-tang jin Blak,

Terdengar suara keras dari login dipalu. Saking dahsyatnya pukulan itu Tok-kah-tang jin terpental membalik kearah pemiliknya. Begitu keras tenaga pukulan itu hingga Han Wi tak dapat menguasai senjatanya lagi.

-o0odwo0o-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar