Pasangan Naga dan Burung Hong Jilid 03

Jilid III

KASIHAN Yak-bwe ! Begitu mesra ia tumpahkan perhatiannya kepada Toan Khik-ya. tapi oleh sianak muda malah diterima salah.

Tiba2 pada saat itu diudara tampak meluncur sejalur sinar api dan menyusul pada lain saat terdengarlah ledakan. Benda bersinar itu meletus diudara. Kawanan Bu-su segera menjerit kaget : "Celaka, kawanan perampok datang dengan jumlah besar."

Memang apa yang dikatakan mereka itu benar. Yang datang itu memang To Pik-in dan kawan2. Sebelum berpisah, To Pek-ing tahu kalau Toan Khik-ya hendak menuju kegedung Tian Seng su untuk mengirim golok meninggalkan surat, kuatir kalau anak muda itu terancam bahaya, diam2 Pek-ing membawa belasan anak buahnya masuk kedalam kota Gui- pok. Ia bersembunyi dirumah seorang penduduk yang tinggal didekat gedung Ciat-to-hu. Siang malam ia memperhatikan gerak-gerik gedung Ciat-to-hu itu.

Pada malam itu, benar juga ia telah mendengar suara ramai2 orang bertempur digedung Ciat-to-hu itu. Ia yakin Toan Khik Ya tentu sudah datang mengaduk, Ia terus akan bertindak membantu, tapi jumlah anak buahnya hanya  belasan saja, padahal pasukan Gwe-thok lam itu terdiri dari

300 orang. Untuk melawan mereka, terang sebagai telur hendak beradu dengan tanduk.

Tapi Pek-ing pantang mundur, ia sudah siap dengan sebuah siasat yang bagus, Siang2 ia sudah menyiapkan banyak sekali anak panah berapi. Demikian ia segera memimpin anak buahnya menerjang kegedung Ciat-to hu, Sembari loncat turun mereka lepaskan anak panah berapi. Siasat itu berhasil. Kawanan Bu-su itu melihat ada beberapa bayangan berloncatan turun dari tembok, mereka lantas menduga kalau kedatangan perampok dalam jumlah banyak sekali.

Laksana kembang api, panah api itu bertaburan ke-mana2. Sini padam sana berkobar lagi, sana reda sini timbul pula. Dua buah istal kuda yang tetbuat dari papan kayu, tertimpa api dan terbakar. Didalam taman yang menjadi gelanggang pertempuran itu, segera menjadi panik suasananya.

"Urusanku sudah selesai, perlu apa terus bertempur? Ai, lebih baik aku lekas2 tinggalkan tempat ini supaya tidak bertemu dengan dia. nanti hatiku panas lagi!" Demikian pikir Khik-ya,

Setelah mengambil keputusan, Khik-ya lalu bertindak. Karena Sip Hong hanya main2 saja, mudahlah baginya untuk meninggalkan Yo Bok-lo. Laksana burung elang, ia melayani melampaui kepala kawanan Bu-su itu. Gerakannya indah dan cepat sekali, oleh karena di mana2 terdapat orang, maka Bu su regu pemanah tak berani membidikan panah Mereka kuatir akan melukai kawannya sendiri.

Dalam beberapa kejap saja Toan Khik-ya sudah loncat melampaui tembok. Saat ini barulah kawanan Bu-su berteriak melepaskan anak panah. Sekalipun tahu bakal tak mengenai, namun mereka hamburkan anak panahnya untuk menghidupkan kembali semangat pasukannya Melihat sianak muda sudah berhasil meloloskan diri Yak bwe girang sekali, Tiba2 teringat: "Astaga dia sudah pergi, akupun harus lekas2 menyingkir dari sini!"

Sebenarnya mudah sekali baginya untuk lolos. Dengan mempunyai sandera berupa puteranya Tian Seng-su. ia dapat menggertak kawanan Bu su itu untuk memberi jalan padanya, tapi karena kurang pengalaman, jadi ia sudah tak dapat memikirkan siasat itu. Tanpa berpikir lagi puteranya Tian Sees dibanting, lalu dia menerjang keluar. Untung karena tahu kalau Yak bwe itu puteri Sik Ciak-tosu yang bakal menjadi caion menantu majikan mereka (Tian Seng-su), maka kawanan Bu-su itupun tak berani merintanginya.

"Tak perduli siapa dia itu, tangkaplah!" demikianlah perintah dari Tian Seng-su sementara itu, Kala itu setelah mendapat laporan dari siserdadu tua bahwa puteranya telah diringkus oleh puterinya Sik Ko, kemudian nona itu minta supaya ia lepaskan toan Khik-ya atau kalau tidak puterinya bakal dibunuh, Tian Seng-su segera bergesa2 memburu keluar. Dilihatnya suasana dalam taman situ kacau balau, ada yang sibuk memadamkan api, ada yang ber-teriak2 menangkap penjahat dan ada pula yang pontang-panting lari kian kemari. Salah seorang dari Bu-su itu menghadap Tian Seng-su dan bemberi laporan bahwa sipenjahat sudah loloskan diri. Mendengar itu Tian Seng-su segera memberi perintah tadi.

"Bagus, karena kau tak mau memandang persahabatan, akupun takkan berlaku sungkan lagi terhadap anak buahmu," demikian pikir Yak-bwe. sebenarnya tiada maksudnya sama sekali hendak melukai orang, tapi karena gusarnya ia mainkan pedangnya dengan gencar. Barang siapa yang berani mendekati, tentu diberinya sekali tusukan.

Ia mewariskan ilmu pedang dari Biau Hui Sinni. gerakannya cepat dan tepat. Setiap tusukannya tentu mengarah jalan darah yang berbahaya. Sudah tentu anggota pasukan Gwe- thok-lam itu bukan tandingannya. Dalam beberapa kejap saja, sudah ada beberapa belas orang yang roboh dan mengerang2 kesakitan.

"Nona Sik, jika kau tak kembali, maaf kalau aku terpaksa berlaku kurang hormat." teriak Yo Bok-lo. Sekali melesat dia mengejar Yak-bwe dan terus ulurkan tangan untuk mencengkeram.

Tiba2 pada saat tangannya hendak menyentuh tubuh sinona, entah dari mana datangnya tahu2 dua batang-jarum Bwe-hoa-ciam menyambar dari samping. Sebenarnya kalau tak lengah tak nanti Yo Bok-lo sampai kena dibokong. Pertama karena Toan Khik-ya sudah lolos dan kedua ia pikir hanya berhadapan dengan Yak-bwe, jika nona itu hendak menaburkan senjata rahasia dia tentu dapat mengetahuinya. Oleh karena itu dia tak mau menjaga kemungkinan lainnya lagi. Sungguh diluar dugaan kalau ada seorang musuh gelap menyembunyikan diri di dalam orang banyak. Dalam kekacauan orang itu diam2 menimpukkan jarum Bwe-hoa- ciam yang tak mengeluarkan suara. Sekali lututnya kesemutan, jagoan itu hampir saja loboh !

Barbareng dengan Yo Bok-lo terkena jarum, Yak - bwe balikkan pedang menghantam sekuat2-nya. Nona itu insaf kalau bukan tandingan si orang she Yo, jadi ia gunakan serangan yang paling dasyat, suatu serangan yacg disertai tekad mati atau terluka bersama.

Sambaran pedangnya itu justru berbareng pada waktu Yo Bok-lo terhuyung mau roboh. Cret, ujung pedang memakan pahanya dan menghiasnya dengan sebuah luka sepanjang belasan senti.

Dari mengerang terkena jarum. Yo Bok-lo menggerung keras karena sakitnya. Masih ia mencoba untuk membalas si nona dengan sekali sapukan kaki kiri, tetapi luput.  Sudah tentu dengan setelah kaki ia sukar menahan tubuhnya lagi. "Blak!!" robohlah jago kawakan itu. Tapi Yak-bwe tak berani menabasnya lagi. Dengan mata kepala ia saksikan walaupun sudah terkena jarum Bwe-hoa Ciam, Jago she Yo itu masih dapat menyerang. Ini menandakan betapa tangguhnya orang itu. Takut kalau di kejar orang she Yo itu lagi, Yak bwe segera melarikan diri. Begitu roboh, Yo Bok-lo segera bergeludungan ditanah. Kuatir kalau Yak-bwe menyerangnya lagi, ia berusaha untuk menggelundung sejauh mungkin. Memang tindakannya itu benar sekali, tapi itu pun berarti suatu keuntungan bagi Yak bwe untuk lolos.

Melihat orang undangannya juga terluka, walaupun marah tapi tak urung Tian Seng su jeri juga. Pikirnya: "Ai, sudah, sudah, aku terpaksa harus mengubur rencanaku untuk menelan Lo-ciu dan menerima perdamaian dengan Sik Ko. Perkawinan itupun terpaksa batal." 

Kawanan Gwe thok lam yang dengan gagah berani mengejar penjahat tadipun balik kembali kedalam taman. Mereka melapor:

"Di tembok kota sebelah depan itu. terdapat segerombolan penjahat. Dari atas tembok kota itu mereka melepaskan panah2 api tadi. Sewaktu kami mengejar keluar, mereka sudah menggabungkan diri dengan bangsat kecil she Toan itu. Tampak kami datang, mereka lalu loncat turun kesebelah sana. Karena kuatir mereka mengadakan bay-hok (barisan pendam), kami tak berani mengejar terus. Mohon Tayswe memberi petunjuk, apakah perlu mengirim pasukan berkuda untuk mengejarnya?"

Sebenarnya kawanan Gwe thok lam itu hanya menghias diri saja. Mereka jeri sekali kepada Toan Khikya. Yang dimaksud dengan mengejar itu hanyalah keluar dari pintu taman, melihat2 sebentar lalu masuk kembali.

"Kamu sekalian ini hanya bangsa kantong nasi semua. Masakah sekian banyak orang tak mampu menangkap dua orang penjahat kecil saja. Lekas enyah!" Tian Seng-su marah2. Habis menumpahkan kemarahannya, Tian Seng-su teringat pada puteranya. Ia segera bertanya: "Bagaimana toa- kongcu?"

Karena ditutuk jalan darahnya oleh Yak bwe, putera Ciat tosu itu tak dapat berkutik lagi. Kawanan Bu-su itu hanya mengerti beberapa jurus ilmu silat saja, sudah tentu mereka tak dapat menolong. Malah karena tak mengerti kalau toa- kongcunya tertutuk jalan darahnya mereka menjadi sibuk tak keruan sendiri.

Akhirnya adalah Tian Seng-su sendiri yang mengetahui hal itu. Ia dahulu berasal dari kalangan Lok-lim, jadi tahulah kalau puteranya itu kena ditutuk orang. Namun ilmu tutukan Yak bwe itu adalah ilmu tutukan istimewa dari Biau Sin. Walaupun tahu tapi Tian Sengsu juga tak berdaya menolongnya.

"Coba lihat bagaimana dengan keadaan Yo siansing. Jika lukanya tak berat, undang ia kemari untuk menolong toa kongcu," ia segera perintahkan orangnya mengundang Yo Bok-lo memiliki lwekang tinggi. Begitu kena jarum Bwe-hoa- ciam ia segera menutup seluruh jalan darahnya, agar jarum itu jangan sampai menembus kejantung. Kemudian ia berusaha mengeluarkan jarum itu, lalu dilumuri obat. Karena lukanya itu tak berat, setelah diberi obat ia pun sudah dapat berjalan pula. Waktu mendapat panggilan dari Tian Seng-su ia segera bergegas2 mendatangi.

Waktu berhadapan dengan Tian Seng-su, ia merasa malu. Tapi mengingat luka Go Beng itu lebih berat lagi, ia tak merasa malu. Dan berkat kepandaiannya yang tinggi, walaupun tak mengerti ilmu tutukan yang dipergunakan Yak bwe, namun ia dapat juga membukanya. 

Selagi Tian Seng-su kegirangan karena puteranya tertolong, tiba2 terdengar orang berteriak: "Hai, dibawah kolong ranjang seperti ada orangnya'" Tian Seng-su mendengar juga ada suara berkeresekan. "Siapa itu lekas seret keluar!" perintahnya.

Si serdadu tua membungkuk kebawah. Matanya segera tertumbuk pada sepasang betis putih.

"Astaga! Seorang penjahat perempuan!" serunya seraya menyeretnya keluar. Tapi waktu melihat wajah orang itu, seperti terkena stroom, ia segera lepaskan tangannya dan menjublek seperti patung.

Kiranya yang diseret keluar itu bukan lain ialah gundik kesayangan dari Tian Seng-su. Gundik yang main pat-pat gulipat dengan puteranya sendiri. Pada saat itu dikamar situ penuh dengan kawanan Bu-su, sudah tentu mereka saling berpandangan satu sama lain. Hanya mereka tak berani buka suara.

Rahasianya terbongkar, pucatlah wajah putera yang manis itu. Serunya dengan meratap:

"Yah, ampunilah jiwaku!"

Melihat kejadian yang memalukan itu, Tian Seng-su rasakan kepalanya seperti berputar, Saking tak tahannya, ia menampar puteranya: "Binatang, binatang! Kau, kau... bagus sekali perbuatanmu ini!"

Saking gusarnya dadanya serasa sesak dan pingsanlah Ciat to su itu!

Sekarang marilah kita tinggalkan Tian Seng su yang tak ingat orang itu untuk mengikut perjalanan Yak bwe. Setelah berhasil melompat pagar tembok gedung Ciat to hu, Yak bwe dapatkan diluar sana hanya ada sebuah jalan besar. Pikirnya: "Mungkin dia belum jauh?"

Memikir sampai disitu, ia jengah sendiri dan girang juga. Namun sesudah berjalan sampai sepuluh li, ia tetap tak dapat melihat bayangan Toan Khik ya. Sesaat ia menjadi putus asa. "Apakah tadi ia tak melihat diriku? Apakah ia tahu kalau diam-diam aku membantunya? Tapi kenapa ia tak mau menunggu aku?"

Selagi ia berbicara dalam hatinya sendiri, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki orang memburu. Ia buru buru berpaling kebelakang, ah, itulah seorang pemuda, tapi bukan Toan Khik ya pemuda pujaannya itu.

Tapi Yak bwe merasa seperti sudah pernah mengenal pemuda itu. Ia tertegun. Sembari meraba tangkainya ia menegur: "Siapa kau ini? Mengapa mengejar aku?"

Pemuda itu tertawa mengikik, serunya: "Adik Hong sian, masakan kau lupa padaku?"

Mendengar suara orang itu, girang Yak bwe bukan kepalang, teriaknya. "Cici lu nio, kiranya kaulah. Kenapa kau menyaru menjadi seorang pemuda?" Kiranya "pemuda" itu adalah Sip in nio, puterinya Sip Hong.

Sejak kecil ia dengan Sip In nio selalu berkumpul bersama. Bahkan keduanya sama sama belajar silat pada Biau Hui sin ni, hubungan mereka sudah seperti saudara putusan perut saja. Adalah karena ayah mereka sama-sama mendapat jabatan sebagai panglima perbatasan terpaksalah mereka berpisah. Bahwa ditempat dan saat seperti itu dapat berjumpa kembali, girang mereka tak terkirakan lagi.

"Ha, jangan menghujani diriku dengan pertanyaan dulu. Biar aku yang memeriksa kau dulu!" demikian In-nio tertawa,

"Aku melakukan kejahatan apa maka cici hendak memeriksa diriku?" sahut Yak bwe.

Kata In-nio pula: "Bukankah kau sudah dijodohkan dengan putera Tian Seng-su? Mengapa sebelum dijemput kau sudah pergi ke rumahnya?"

"Ai, enci In, jangan menghina padaku. Tadi kau tentunya berada didalam taman, masakan kau tak melihat bagaimana aku telah memperlakukan sikatak buduk itu?" sahut Yak bwe dengan tertawa.

"Ha, kukira sebelum keluar pintu dengan resmi, kau sudah mengunjunginya," In nio menggoda pula.

Mendengar cemooh itu Yak bwe terus saja maju akan menampar mulut orang, tapi In-nio cepat mencegahnya: "Ai, jangan ribut, jangan ribut. Ya, anggaplah aku salah omong, biar kuhaturkan maaf padamu. Ia seorang katak buduk dan kau seekor angsa cantik. Bukankah katak buduk itu gemar makan daging angsa? Oi, makanya kau suka padanya?"

"Jangan bikin keseleo kata2 orang ya? Bu kan aku hendak menaikan harga diriku, tapi putera Tian Seng su itu memang benar bukan manusia," kata Yak bwe yang lalu menceritakan tentang pengalamannya digedung Ciat tohu dimana karena menghindari kejaran Yo Bok lo, Sudah keliru masuk kedalam kamar orang yang lagi berbuat mesum.

Waktu mendengar cerita tentang perbuatan putera Tian Seng-su itu, wajah In-nio merah kemalu-maluan. Tapi ia pun tak kuat lagi menahan gelinya.

"Ya, ya, aku mengertilah. Kau tak suka pada sikatak buduk karena kau jatuh hati pada pemuda she Toan, bukan?"

In nio biasa berkelakar, tapi kali ini kelakar itu telah membuat Yak-bwe merah padam dan tundukan kepala.

"Ci In, apakah kau melihat jejaknya? Apa yang kau lakukan malam ini, adalah untuk kepentingannya," kata Yak-bwe.

In-nio terkesiap, ujarnya dengan nada bersungguh: "Ai, kiranya kau benar-benar suka padanya!"

Kata Yak bwe: "Cici, meskipun kita ini tidak seibu, tapi rasanya kita sudah seperti saudara sekandung. Segala urusanku, takkan kurahasiakan. Dia, ya dia itu sebenarnya calon suamiku!" In nio terbeliak kaget, serunya: "Bilakah kau bertunangan dengan dia? Jika sudah ditunangkan padanya, mengapa ayah bundamu hendak menikahkan kau pada keluarga Tian?"

Atas pertanyaan In nio yang bertubi-tubi itu, tenang2 Yak bwe menerangkan. "Yang jodohkan aku sejak lahir adalah orang tuaku yang aseli. Ayah ibuku yang sekarang ini bukan ayah bundaku kandung. Namaku sebenarnya ialah Su Yak bwe. Nama Sik Hong-sian itu sejak saat ini tak kupakai lagi!" Demikian lah Yak bwe menuturkan riwayat hidupnya dari awal sampai akhir. Berbagai perasaan timbul dalam hati In nio dikala mendengar kisah itu, rasa sedih, girang, simpatik dan gairah.

"Ohh, makanya ayahku sering memuji Toan Kui ciang tayhiap sebagai seorang pendekar yang gagah perwira serta berbudi luhur. Ayah mengatakan bahwa Toan tayhiap itu mempunyai beberapa putera, tapi entah kemana beradanya. Beberapa kali ayah bermaksud hendak menyuruh orang mencari jejak dari putera2 Toan tayhiap itu. Dan setiap kali membicarakan tentang hal itu, ayah seperti memberi kisikan padaku supaya menanyakan asal-usul dirimu. Kali ini setelah mendengar kau bakal dinikahkan dengan keluarga Tian, untuk beberapa hari ayah tampak uring-uringan saja. Kiranya disitu terselip sesuatu hal."

"Ai, jadi ayahmu juga memuji muji Toan tayhiap," seru Yak bwe.

"Kalau memang baik, habis mau dikatakan bagaimana? Toan tayhiap adalah orang yang paling dikagumi oleh ayahku," In nio menandaskan.

Mendengar itu diam2 Yak-bwe mengutuk Sik-ko: "Kalau begitu, terang ayah angkatku itu bukan orang baik2. Ah, bertahun2 ia mengelabuhi aku."

"Kami ayah dan anak merasa beruntung sekali malam ini dapat membantu kalian berdua lolos dari bahaya," kata In nio. Kini barulah Yak-bwe tahu persoalannya katanya: "Oh, jadi ayahmu tadi menang sengaja mengalah padanya. Tentunya Kaulah juga yang secara diam2 membantu hingga aku dapat melukai Yo Bok-lo."

"Benar, dalam kekacauan tadi diam2 aku telah menimpuknya dengan Bwe hoa-ciam," In-nio mengiakan. Setelah itu ia menuturkan pengalamannya.

In-nio dapatkan ayahnya tak senang waktu mendengar pernikahan Yak-bwe.

"Mengapa ayah tak senang? Apakah putera Tian Seng-su itu tak sembabat dijodohkan pada adik Sian? Ah, biar kuikut ayah kegedung Ciat-to-hu, hendak kulihat bagaimana macamnya puteta Tian Seng-su itu dulu, Jika memang buruk, aku akan memberitahukan pada adik Sian supaya minggat saja," demikian ia ambil keputusan ketika ayahnya diminta Tian Seng-su untuk turut menjemput mempelai perempuan. Sudah tentu ia tak mau kasih tahu pada ayahnya tentang rencananya itu melainkan mengatakan hendak melihat2 bagaimana gedung Ciat-to hu tempat kediaman Tian Seng-su itu. Ayahnya, Sip Hong juga setuju karena sebetulnya ia jeri juga datang seorang diri ketempat Ciat-to-su iiu. Ia kenal siapa tian Seng-su itu, Maka ia segera suruh puterinya mengenakan pakaian lelaki menjadi seorang pengikutnya.

"Sudah dua hari aku tinggal digedung Ciat-to-hu, tapi tetap belum pernah melihat bagaimana tampang muka putera tian Seng-su. Tak terduga kau sendiri juga sudah datang, jadi aku tak perlu capek lagi." kata In nio dengan tertawa.

Yak-bwe menghaturkan terima kasih, namun tampaknya ia masih bermuram durja.

"Eh, mengapa lagi kau ini?" tegur In-nio.

Yak bwe tak menyahut dan hanya mengutik ikat pinggannya. "Ha. biar kutebaknya. Kau tentu sedang memikirkan si  Toan kecil itu, Ya, ia memang keterlaluan mengapa tak menunggumu!"

In-nio menggodanya. Ia merenung sejenak tiba2 berkata pula: "Adik Sian, eh tidak, seharusnya ku panggil kau adik Bwe, Ya, adik Bwe. apakah kau kepingin menjumpainya aku mempunyai akal."

Tanpa malu2 lagi Yak-bwe segera minta petunjuk. "Baik, sekarang ikutlah padaku" kata In-nio.

Yak bwe ke-heran2an, serunya: "Apa kau tahu tempatnya?"

"Akan kubawa kau kesuatu tempat untuk menjumpai seseorang!"

"Siapa?"

"Tak usah kau tanya, pokok aku tak nanti menipumu" sahut In-nio.

Dalam berkata2 itu wajahnya berseri seri, bibirnya mengulum senyum dan pipinya pun kemerah2an, sikapnya sungguh aneh.

Yak bwe penasaran: "Segala apa kuberi tahu, pada sebalikoya kau main gelap2an tak mau mengatakan terus terang."

"Tak terburu2, nanti tentu kuberitahu. Ayu ikutlah!" sahut In-nio

Terpaksa Yak-bwe mengikutinya lari, ternyata In-nio menuju kesebuah gunung.

Lagi2 Yak bwe menegurnya: "Ai, tengah malam begini mengapa kau bawa aku keatas gunung? Apakah orang itu berada disini? Apakah kau sudah berjanji padanya?"

In-nio hanya tertawa saja: "Bagaimana penyamaranku sebagai ini, mirip tidak?" Mendapat jawaban yang bukan ditanyakan itu, Yak bwe makin heran

Tanpa banyak pikir lagi ia segera menyahut: "Mirip sekali. tadi hampir saja aku tak dapat mengenalmu."

"Mungkin memang kau tak mengetahui bahwa kita berpisah, dalam beberapa tahun ini aku sering menyaru jadi lelaki pesiar kemana2. Ayah tak begitu mengurusi diriku. Kau bilang penyaruanku itu persis sekali tapi pada suatu kali aku telah diketahui orang. Ai, sungguh berbahaya, mereka adalah orang2 jahat dari Kim-liong-pang," kata In-nio

"Eh, rupanya kau ini sedang menyembunyikan udang dibalik batu. Pertanyaan yang kuajukan, sepatahpun tak kau jawab sebaliknya kau merangkai cerita lain. Memang aku senang sekali mendengar ceritamu itu tapi rasanya lebih baik pada lain hari saja. Huh, kau jahat benar karena sengaja bikin tegang urat syarafku."

Tertawalah In-nio menjawab: "Pohon mempunyai akar dan urusan juga ada ikhwalnya. Bagaimana jadinya kalau aku tak menceritakan dari permulaan? Baik, karena rupanya kau begitu bernapsu, kita menjumpai orang itu dulu baru nanti kuceritakan lagi."

Lalu ia mendongak keatas puncak gunung.

"Ah, rembulan sudah berada ditengah langit ia tentunya sudah datang," katanya kemudian.

"Dia, dia, sekali lagi dia! Siapakah sebenarnya dia itu?" seru Yak-bwe.

Sekonyong2 In-nio bersuit panjang. Sesaat kemudian dan arah puncak gunung terdengar suitan balasan. Kalau suitan In-nio bernada kecil bening, adalah suitan orang dari puncak gunung itu bernada nyaring kuat mirip dengan ringkikan naga atau aum harimau. "Hai, lwekang orang itu hebat sekali, tak kalah dengan Toan Khik Ya. Orang yang hendak kau pertemukan padaku itu orangnya?" tanya Yak-bwe.

"Benar, memang itulah orangnya," sahut In-nio. Habis itu, ia mendekam tempelkan telinganya pada tanah,

"Cici, mengapa kau berbuat begitu?" tanya Yak-bwe. "Musuh2nya sudah banyak yang datang, ia tak dapat

menyambut kita," sahut In-nio.

"Apa2an artinya ini?" Yak-bwe makin keheranan.

"Malam ini ia telah mengundang beberapa musuh untuk bertemu digunung Pak-beng-san sini. Sekarang mumpung mereka masih belum bertempur, kita lekas2 kesana untuk melihat ramai2" kata In-nio.

Sip In nio ternyata sering berkelana didunia persilatan, jadi pengalamannyapun lebih banyak dari Yak-bwe yang selalu dikungkung dalam gedung Ciat-tok-bu. Nona itu sudah dapat mempelajari ilmu menempel tanah mendengar suara. Didengarnya diatas gunung sana ada 7-8 orang tengah bertengkar.

Kini Yak-bwe agak mengerti, ujarnya: "Ha orang itu tentu sahabat baikmu dan kau hendak mengajak aku membantu padanya bukan?"

In Nio tertawa: "Tidak, selamanya ia tak mau dibantu orang. Sekalipun lawan berjumlah seratus atau seribu orang, ia tetap menghadapinya seorang diri!"

Malam itu cuaca terang, Setelah berlari beberapa saat, jauh2 kedua nona itu sudah dapat melihat keadaan diatas puncak gunung itu, Dilihatnya ada seorang pemuda yang berperawakan tinggi tengah berdiri menghadap rembulan. Disekelilingnya dikerumuni oleh sekelompok orang. Waktu menghitung, Yak-bwe dapatkan orang2 itu berjumlah delapan. In-nio loncat keatas sebuah batu karang yang besar bundar, ujarnya: "Tempat ini sesuai sekali, dari sini kita dapat melihat jelas pertempuran mereka."

"Apakah yang membalas suitan tadi, pemuda itu?" tanya Yak-bwe.

"Benar! Sudah kau lihat bukan orang2 yang mengepungnya itu?" In-nio menyahut dan bertanya. Dan nada ucapannya ia seperti membanggakan pemuda itu.

Tiba2 terlintas sesuatu dalam pikiran Yak-bwe. Diam2 ia tertawa.

"Kali ini dugaanku tentu tak salah. Ci In-nio tentu suka pada pemuda itu. Ha, jadi ia juga sudah punya pilihan."

Tapi serta dilihatnya In-nio tengah mengarahkan perhatian pada pertempuran itu, terpaksa Yak-bwe tak jadi menggodanya.

Tiba2 digelanggang pertempuran sana terdengar senang berseru : "Hai, orang she Bo, berapa banyak orangkah yang kau undang membantumu? Tunggu setelah mereka datang semua. baru kita mulai bertempur, agar kau tak menuduh aku sebagai orang yang menindas si lemah dengan main keroyok."

Kata2 itu menyatakan kalau suitan In-nio tadi telah d dengar mereka.

"Yang bicara itu yalah Hu-pangcu dari Kim-liong pang, Dialah yang mengetahui penyamaranku kala itu. Karena mereka berjumlah banyak, jadi aku tak mampu melawannya, syukur ada pemuda she Bo itu yang menolongku" demikian In nio memberi keterangan pada Yak bwe.

Dalam pada itu terdengar pemuda she Bo itu sedang menyahut dengan dingin :

"Sebaliknya akulah yang hendak menanyakan padamu apakah orang2mu sudah lengkap semua ?" "Apa maksudmu ?" Hu pangcu dari Kim liong pang bertanya.

"Aku tak mengundang barang seorang pembantupun, melainkan ada seorang sahabat yang mungkin kepingin melihat pertempuran ini. Kalian tak usah kuatir."

Mendengar keterangan sipemuda, kawanan Kim-liong-pang itu serempak tertawa mengejek : "Apa yang kami kuatirkan ? Kuatir kau dapat melarikan dirikah ? Ha, jangan ngimpi kau!! sekalipun kau tumbuh sayap juga tak nanti kau dapat lolos!"

Tapi pemuda itu tak mengecuh dan hanya menegas lagi : "Sekali lagi aku akan bertanya, apakah orang2mu itu sudah lengkap ?"

"Kalau sudah lalu bagaimana ?" si Hu-pangcu balas bertanya.

"Kalau sudah, biailah aku enak turun tangan agar tidak repot2 harus menghajar satu per-satu. Ha. jika memang belum lengkap, aku bersedia menunggu beberapa saat lagi." kata sipemuda,

Mandengar kata2 ini, kawanan Kim liong pang itu sama berjingkrak2 marah. Berserulah salah seorang yang bertubuh tinggi besar : "kau ini benar2 seorang bocah yang congkak. Baik, biar kuajar adat padamu dan akupun tak mau dibantu siapapun juga."

Tapi sebelum setinggi besar itu tampil kemuka, dua orang yang baik perawakannya mau pun pakaiannya serupa coraknya melangkah, seru mereka dengan lantang: "Nyo- toako, kalah kiranya kau tunggu dulu. Kami kaum Thay-ou- pang mempunyai dendam permusuhan sedalam lautan dengan bocah itu."

Habis berkata mereka berdua lalu mencabut senjatanya yang berupa sebatang poan-koan-pit dan berseru: "Sekalian saudara yang hadir disini rasanya maklum akan peraturan dari persaudaraan Cin. Baik lawan kami itu seorang atau seratus orang, kami berdua saudara ini tentu selalu maju berbareng. Ini perlu kami kemukakan terlebih dulu, agar kau jangan menuduh kami main keroyokan. Hai, dengarlah bocah she Bo! Asal kau dapat bertahan menghadapi 50 jurus permainan-pit kami, maka kami berdua bersedia untuk menyembah padamu!"

Pemuda she Bo itu hanya miringkan kepala, melihat dengan melirik hina. Ia tak tampak mencabut pedang pun tak menyambut tantangan kedua saudara itu.

Hu-pangcu dari Kim-liong-pang mencegahnya: "Harap saudara berdua jangan berebut dulu. Bagaimana bocah itu dapat bertahan sampai 50 jurus? Paling banyak 30 jurus saja ia tentu sudah mampus. Kalau ia belum-belum sudah mati, habis apa dayaku untuk melampiaskan kemendongkolan hatiku? Ah, lebih baik saudara berdua mengalah dulu, biar aku yang maju."

Tiba2 ada seorang yang berpakaian seperti opsir tentara melangkah kemuka dan berseru dengan nyaring: "Hai, kalian tak boleh rebutan! Bocah itu telah merampas pesakitan penting, aku hendak meringkusnya dan membawanya kekota raja. Ayuh, kalian mundur semua, biar aku seorang diri yang menangkapnya!"

Yak-bwe berbisik pada In-nio: "Aku kenal opsir itu. Ialah Hou-ya-to-wi Ut-ti Lam, menjabat sebagai thong-leng (pemimpin) dari pasukan Kim-wi-kun diistana. Liong-ki-to-wi Ut-ti Pak adalah kakaknya. Mereka berdua memiliki kepandaian silat tinggi, namanya tersohor didalam dan luar negeri. Perangai kedua saudara itu hampir sama."

In-nio menertawakan: "Pemimpin pasukan istana bersekutu dengan pemimpin partai persilatan, sama-sama maukan diri seorang pemuda, ai, sungguh mengherankan. Tapi dari ucapan opsir itu, rupanya ia tak ada janji sama sekali dengan kawanan orang Kim-liong-pang. Mereka hanya kebetulan berjumpa disini saja."

"Ah, sayang!" tiba tiba Yak-bwe menutuk.

"Sayang apa?" tanya In-nio dengan heran "Ut ti Lam adalah seorang lelaki gagah. Dipandang dari kedudukannya, hanya kebetulan berjumpa dengan orang2 Kim-liong-ping, namun tetap merosotkan harga dirinya," kata Yak-bwe.

Dan bagaimana reaksi orang orang yang dihardik Ut ti Lam itu ternyata mereka terkesiap kaget. Tapi si tinggi besar itu juga berwatak berangasan. Iapun tak peduli bahwa opsir yang mengenakan seragam itam itu ialah Ut ti Lam. Serentak ia pun balas mendamprat: "Orang macam pantat kuali seperti kau ini juga berani berlagak pembesar? Berada disini, kau harus menurut peraturan dunia persilatan, jangan sok aksi seperti dalam kantormu, tahu. Jika sampai  membangkitkan amarahku, awas anti tentu kuberi makan bogem mentahku!"

"Kurang ajar! Manusia macam apa kau ini?" seru Ut ti Lam dengan gusarnya. Wutt, ia lantas menyabet dengan piannya.

Hu pangcu dari Kim liong pang rupanya kenal akan Ut ti Lam. Sudah tentu ia menjadi terkejut dan tergopoh gopoh memburu maju dan mendorong si tinggi besar kesamping. Kemudian dia haturkan maaf: "Ut ti ciangkun, harap jangan marah. Malam ini kita sama-sama menemukan seorang musuh, segala adat apa dapat kita bicarakan. Saudara Nyo ini titik pandai bicara, harap Ciangkun bersabar!"

Untung Hu-pangcu itu cepat-cepat mendorong si tinggi besar sehingga terluput dari pian Ut-ti Lam, maka pian itu telah menghantam sebuah batu besar hingga hancur berantakan. Melihat itu, bagaimanapun berangasannya, si tinggi besar tak berani bercuit lagi.

"Harap kalian jangan ribut-ribut, sudilah dengarkan kata- kataku," tiba-tiba anak muda tadi berkata. Dari sikapnya pemuda itu seperti tak mengandung permusuhan kepada mereka dan bahkan hendak melerai.

Ut-ti Lam juga merasa heran, sahutnya: "Baik, cobalah kau akan berkata apa?"

"Ut-ti ciangkun, kunasihatkan lebih baik biarkan mereka bertempur dulu dengan aku. Kau nanti jatuh pada giliran yang terakhir saja," kata anak muda itu.

"Apa-apaan itu, kau bocah ini malah akan mengeloni mereka," demikian Ut-ti Lam berteriak dengan marah-marah.

Tertawalah pemuda itu: "Biarlah kuterangkan alasannya.

Ut-ti ciangkun, dengarkan dulu!"

Ia menunjuk pada kedua saudara yang bergelar Cin-keh- siang-pit, lalu katanya: "Kalian tadi mengatakan mempunyai dendam sedalam laut padaku, tapi aku sendiri bingung, permusuhan apakah yang kita ikat itu?"

Kedua saudara Cin itu mendengus, sahutnya: "Ha, kau budak kecil ini pandai berpura-pura! Baiklah, biar kuterangkan. Keterangan ini bukan untukmu, melainkan supaya dapat diketahui oleh saudara-saudara yang hadir disini. Selesai mendengar keteranganku, kalian tentu tahu apa sebabnya kami berkeras hendak melabrak bocah ini lebih dulu."

Si Cin yang tua merandek sejenak, lalu melanjutkan berkata: "Bulan yang lalu kami bercekcok rebutan bandar (pangkalan perahu) dengan orang Hay-yang-pang. Bocah itu sebenarnya orang luar, tapi suka usil. Ia membantu fihak Hay- yang-pang hingga mengalahkan orang-orangku dan menghancurkan 17 buah perahu kami yang berada diperairan telaga Thay-ou. Tidakkah hal ini berarti dendam sedalam lautan?"

Lalu adiknya menambahkan: "Kala itu kami berdua saudara tak ada disitu, hingga fihak kami menderita kerugian. Sebenarnya kami harus menuntut balas pada fihak Hay-yang- pang, tapi setelah kami selidiki, 8-9 bagian dari orang-orang kami itu dilukai oleh bocah ini. Maka kami kesampingkan urusan terhadap Hay-yang-pang dan membikin perhitungan pada bocah ini lebih dulu."

Anak muda itu tiba2 menyahut: "Memang sebagian besar hal itu benar, hanya masih keliwatan sedikit mengenai sebabnya kalian bercekcok dengan fihak Hay yang pang. Biarlah aku yang memberi tambahan keterangan. Hay yang pang adalah sebuah organisasi nelayan di sepanjang pantai Thay ou. Kalian dari Thay ou pang itu lantas mau memungut pajak pada mereka. Para nelayan itu sudah berat membayar pajak pada pembesar negeri setempat, apakah mereka dapat memikul lagi beban yang makin memberatkan itu? Untuk membela kepentingannya, maka Hay yang pang terpaksa melawan kalian. Salahkah jika aku berdiri dipihak Hay yang pang? Atau apakah seharusnya aku membantu pada fihakmu untuk menindas kaum nelayan itu?"

Berkata pula anak muda itu: "Walaupun jadi perampok atau bajak, pun seyogianya jangan meninggalkan sifat2 keperwiraan. Ditempat dimana kaum nelayan sudah menderita kalian masih hendak merebut nasi mereka, apakah kalian tidak malu! sebabnya maka aku beri sedikit hajaran pada orang orang Thay ou pang itu, pertama untuk meringankan kemengkalan hati kaum nelayan dan kedua supaya mereka ingat betul betul bahwa aku sudah bermurah hati tak membunuh seorangpun dari kawan mereka. Mengapa menuduhku berbuat salah?"

Malu dan geram bercampur aduk kedua saudara Cin itu. Belum mereka menyatakan apa-apa, Ut-ti Lam sudah memuji : "Benar ucapanmu itu cukup cengli dan perbuatan mu tepat sekali!"

Sebenarnya kedua saudara Cin sudah mau menumpahkan kemarahannya, tapi demi Ut-ti Lam mengatakan begitu, mereka agak kurang enak untuk turun tangan. Kemudian sipemuda menuding pada si tinggi besar, katanya: "Dan kau? Apakah kita juga mempunyai permusuhan sedalam lautan?"

"Meskipun dendam itu tak menyamai membunuh ayah atau menumpas isteri, tapi rasanya juga tak jauh dari itu. Barang- barang antaran piau yang hendak kami rampas, ibarat kuwe bak-pau sudah berada dimulut, tapi mengapa kau mengadu biru dan membantu mereka dan menggagalkan usaha kami?" demikian seru si tinggi Besar.

Sipemuda menyahut: "Mungkin saudara tak mengetahui bahwa barang-barang itu adalah uang perak untuk Li Yang- ceng yang menjabat sebagai Ti-ho congkoan (pembesar urusan irigasi). Kantor pengangkutan Tian-an-piau kiok telah diserahi untuk mengantarkannya. Barang antaran itu tak boleh dirampas."

"Mengapa?" tanya si tinggi besar.

"Karena uang itu diperuntukan membelanjai pekerja2. Tentang pembesar she Li itu, akupun sudah menyelidikinya, dapat dikata seorang pembesar baik," tutur sianak muda,

"Persetan ia pembesar baik atau jahat dan bagaimana ia akan menggunakan uang itu! Pendek kata, yang kuketahui hanyalah uang perak yang bergemerlapan saja, bagi kami yang menuntut penghidupan sebagai orang Hek-to, jika tak merampas uang masakan disuruh makan angin saja?" sahut si tinggi besar gusar.

Tertawalah anak muda itu: "Ucapan saudara itu tidak tepat. Jika kau mengganyang uang kaum pembesar korup, aku tentu tak berani unjuk diri. Tapi dengan merampas uang tadi, bukan saja rakyat pekerja akan kelaparan pun proyek bendungan sungai Hong-ho akal terbengkalai, akibatnya ribuan jiwa rakyat akan menderita malapetaka, rumah tangga cerai berai. Karena tak dapat merampas uang kas hanya makan angin, tapi apakah kau tahu bahwa ribuan rakyat itu kini benar-benar sudah makan angin. Kutahu kalau saudara itu juga dari keturunan keluarga miskin, mengapa saudara hanya mementingkan diri sendiri saja?"

Si tinggi besar itu ternyata seorang jujur juga. Ia garuk2 kepalanya, katanya: "Eh, ucapanmu itu rada cengli juga. Tapi hal itu rasanya tak sesuai dengan peraturan yang sudah mendarah-daging di Lok-lim. Coba beri aku tempo untuk memikirkannya."

"Baiklah, kau boleh merenungkan dulu," kata sipemuda.

Mendengar anak muda itu telah menyelamatkan uang antaran untuk Ti-ho cong-koan. Ut-ti Lam menjadi terkesiap.

Tidak demikian dengan Hu-pangcu Kim-liong-pang yang lantas membentak: "Kedatangan kita disini ini untuk bertempur atau akan mendengarkan ceramah tentang ceng-li? Perlu apa ribut2 begitu? Mari, ayuh, marilah, kami bertiga Hiangcu dari Kim hong pang akan minta pelajaran ilmu  pedang lagi padamu!"

Ia menjabat sebagai Hu pangcu (wakil pemimpin) merangkap Sang tong hiang cu (ketua bagian penghukum) dari Kim liong pang. Ia membawa serta dua orang Hiangcu lagi kesitu. Dari bicaranya. Ia separti hendak mengajak kawannya maju mengeroyok,

Tiba2 Ut ti Lam berseru: "Kalau dengar pembicaraan bocah itu, rasanya berarti sekali, apa halangannya untuk mendengarkan terus!"

Anak muda itu sekonyong2 tertawa memanjang lalu menuding pada Hu pangcu Kim liong-pang: "Makin kau takut kubuka borokmu, makin aku bernapsu mengatakannya! Dengarkanlah-sewaktu dijalan Lo pek kau hendak merampas seorang gadis tapi karena kau dikalahkan, kau lantas panggil kambrat-kambratmu antuk marampaskan disamping secara diam2 kaugunakan dupa bi-hiang. perbuatanmu itu bahkan lebih memalukan daripada perbuatan2 rendah kaum Lok-lim. Jika hanya kuiris sebelah daun telingamu, itu sudah keliwat murah karena kuharap kau dapat merobah kesalahanku. Tetapi mengapa kau masih tak tahu diri dan berani mencari balas padaku?"

Mendengar itu bukan main gusar Ut-ti Lam kepada orang Kim Liong-pan itu serunya: "Ha, bagus bangsat terkutuk, rasakanlah lebih dulu pianku ini!"

Si pemuda baru2 kebutkan lengan bajunya untuk menyingkirkan pian ciangkun yang hendak diserangkan pada Hu-pangcu dari Kim Liong pang itu.

"Ut ti ciangkun, harap jangan mencampuri urusanku. Kalau mereka hendak menantang berkelahi, aku sanggup melayani sendiri. Dia lagi ciangkun toh masih terhitung lawan dengan aku,"

Sahut Ut-ti Lam: "Benar aku memang hendak bertempur padamu nanti!"

"Baik, sekarang rasanya kau tentu sudah mengetahui mengapa kusarankan dirimu pada urutan yang terakhir," kata sianak muda.

Ut-ti Lam juga seorang yang lurus. Apa yang dipikirnya tentu lantas diucapkan. Tanpa banyak berpikir lagi ia lantas menyahut

"Ha, aku sudah tahu sekarang, tentu takut kalau kutangkap kau dulu hingga kau tak sempat untuk menghajar mereka. Tidak apakah aku.."

Sebenarnya dia ingin mengatakan: "Orang2 kutu busuk aku akan mewakilmu menghajar mereka" Tapi tiba2 pikirannya berubah, "Tidak jika aku mengatakan begitu, tentu kawanan kutu busuk dan perampok itu akan lari sipat kuping nanti."

Maka tertawalah sianak muda, serunya : "Tak usah kau katakan juga aku sudah mengerti maksudmu itu. Tapi Ut-ti ciangkun apa kah kau sudah memperhitungkan kalau dapat memenangkan aku?" Ui-ti Lam tertegun. Ia melihat jelas bagai mana dengan kebutan lengan baju taui, sianak muda telah dapat mengisat serangan piannya kesamping. Tanpa bimbang lagi dia segera menyahut: "Hal itu baru dapat diketahui kalau sudah bertempur".

"Tepat! Kau belum yakin dapat mengalahkan aku, akupun tak pasti dapat menundukkan kau. Andaikata salah satu akan menang juga nanti sudah kehabisan tenaga. Itu waktu mungkin kita sudah loyo untuk menghadapi pertempuran lagi!" kata sianak muda.

Di-pikir2 omongan itu memang benar. Ya, benar juga dia. Jika aku dan dia sama2 terluka, kawanan penjabat itu yang mendapat keuntungan nanti, diam2 opsir itu membatin.

Kata pula sianak muda: "Ut-ti ciangkun, jika kau ingin menangkan aku, ada sebuah cara, ialah kau boleh ikut maju bersama mereka untuk mengeroyok aku. Ini mungkin ada harapan."

"Hah, kau menilai diriku ini orang macam apa? Aku, Ut-ti Lam, masakah sudi menggabung dengan kaum perampok dan kawatan telur busuk itu!" teriak Ut-ti Lam dengan murka.

Karena mendongkol, ia sudah menghamburkan kata2, "kawanan telur busuk" dan "perampok". Sudah tentu orang2 yang dimaki itu melotot gusar.

"Ut-ti ciangkun, begitu selesai memberesi budak itu, kami nanti pasti akan minta pengajaran padamu." seru kedua saudara Cin.

Tanpa menghiraukan kedua jagoan itu, sianak muda berkata pula kepada Ut ti Lam: "Bagus. Ut ti ciangkun, karena kau sudah tahu manusia macam apa mereka itu dan karenanya kau tak sudi mendekati mereka, maka sekarang silahkan minggir dulu sajalah". Ciangkun yang ketolol2an tapi jujur itu garuk2 kepalanya.

Tiba2 ia berseru: "Ai, masih sedikit enggan aku !"

"Harap Ciangkun jangan menguatirkan diriku. Orang itu, sekalipun ditambah lagi jumlahnya, masih belum kupandang sebelah mata. Setelah menghajar mereka, aku masih ada tenaga cukup untuk mengawani kau berkelahi. Tapi kalau bertempur dulu padamu kemudian baru menghajar mereka, meskipun masih dapat menang tapi agak makan tenaga pula," kata si anak muda.

Dijunjung begitu, kemarahan Ut-ti Lam berganti menjadi kegirangan. Serunya : "Benar, omonganmu itu memang beralasan. Baik, biar aku jatuh pada giliran terakhir !"

Mendengar dirinya dijadikan bulan2 percakapan itu, marahlah orang2 itu. Memang kecuali Hu pangcu dari Kim- liong-pang yang sudah pernah merasakan tangan sianak muda, lain lainnya belum kenal siapa anak muda itu, Sekalipun mereka itu kebanyakan adalah tokoh2 persilatan yang ada nama, tapi karena ditantang supaya maju semua oleh sianak muda, mereka sebaliknya malah bersangsi.

Tiba-tiba kedua Hiang-cu dari Kim-liong-pang itu membuka suara: "Ada orang bersembunyi disana, mungkin komplotan budak kecil itu. Biar kukeroyoknya dulu mereka itu."

Kiranya mereka sudah mengetahui kalau In-nio dan Yak- bwe berada diatas batu tempat persembunyiannya. Kedua Hiangcu itu licin benar. Dengan alasan mengeroyok, mereka hendak menyingkir dulu dari sianak muda yang telah diketahui kelihayannya. Biar kedua saudara Cin dkk bertempur dulu dengan sianak muda, baru nanti mereka hendak melihat perkembangannya.

Tapi mereka licin, sianak muda lebih cerdik lagi. Baru saja kaki mereka melangkah beberapa tindak atau tahu2 kaki mereka terasa lemas dan "bluk-bluk", jatuhlah keduanya terkulai ditanah. "He, jangan lari kemana2 kembalilah! Apakah kalian tak mendengar permintaanku tadi supaya kalian maju berbareng semua?" seru sipemuda.

Ternyata anak muda itu sudah gunakan Kek-gong-tiamhiat atau menutuk jalan darah dari kejauhan untuk merobohkan kedua Hiang-cu Kiam-liong-pang itu. Tapi sungguh lacur kedua saudara Cin itu sudah tak kenal akan ilmu tutuk yang sakti itu. Mereka kira anak muda itu sudah mulai  turun tangan, maka tanpa berpikir panjang lagi kedua saudara Cin itu sudah maju menyerang dengan Poan koan-pit mereka. Yang satu dari sebelah kanan yang lain dari kiri.

Tiba2 si tinggi besar menggerung: "Keparat! Tuanmu belum bergerak, kau sudah mendahului turun tangan ya?"

Setinggi besar yang berangasan inipun tak mengerti ilmu apa yang digunakan sianak muda untuk menjatuhkan kedua Hiang-cu tadi. Ia mengira anak muda itu sudah gunakan senjata rahasia, maka habis mendamprat ia lantas maju menjotos.

Dengan dua buah jarinya, sianak muda pentalkan senjata pit dari kedua saudara Cin kemudian balikan telapak tangannya untuk tangkis tinju si tinggi besar, serunya dengan tertawa:

"Mengapa kau begitu terburu2?. Tunggu sampai kawan2mu sudah datang semua, bukankah masih belum terlambat? Sekali ini aku memang mengalah, supaya kau jangan menuduh aku tak pegang janji. Ingat, jika sebelum kawan2mu lengkap kau sudah bergebrak, kau tentu akan menderita kerugian besar!"

Disana kedua Hiang cu Kim-liong-pang tadi tampak sedang merangkak bangun. Dengan malu dan gusar, mereka terpaksa kembali dan mempersatukan diri dengan sekalian orang. Dalam pada itu sianak muda sedang ulur tangannya untuk mendorong setinggi besar, serunya: "Ingat, kalau kawan- kawanmu sudah lengkap, baru boleh maju lagi!"

Melihat kepandaian anak muda itu begitu sakti, tanpa malu2 lagi, kawanan penjahat itu segera menyerbu berbareng. Mendadak anak muda itu berputar tubuh, Tahu2 tangannya sudah mencekal pedang dan dalam sabatan pertama ia sudah dapat membabat putus Liang-cu-chui ( bandul besi berantai ) dan salah seorang penyerangnya. Sabetan kedua, sebuah golok musuh terpental keudara. Kemudian begitu sang tubuh bergerak, ia sudah tiba disisi si tinggi besar.

"Celaka !" mulut si tinggi besar berteriak, tapi ia tak berdaya untuk menyingkir dari pedang sianak muda yang sudah melayang datang. Mau tak mau menjadi nekat juga. "Aku akan mengadu jiwa dengan kau !" teriaknya sambil mengangkat sepasang pedangnya keatas, mirip dengan sepasang tanduk kerbau. Ia hendak menerjang maju, tapi ternyata sianak muda itu hanya tepuk pundaknya.

"Kau sudah memikir jelas belum? Tadi kau sudah berjanji padaku untuk memikir masak2 !"

Ketika si tinggi besar membuka matanya, ternyata sianak muda itu telah melesat lewat disisinya dan sudah menempur Hu pangcu dan Kim-liong-pang. Si tinggi besar tampak melongo, lalu berteriak : "He, kau ini rada2 cengli juga, aku tunduk dan tak mau berkelahi lagi dengan kau !"

Habis berkata ia lantas berputar tubuh dan lari pergi menuruni gunung. Melihat itu tertawalah sianak muda : "Baik, Nyo-toako, aku bersahabat padamu. Kita nanti berjumpa pula di Kim ke-nia !"

Waktu Hu-pangcu Kim liong-pang menyerang dengan tongkatnya, sianak muda berhenti tertawa dan berseru : "Terhadap dirimu seorang penjahat pengrusak wanita ini, aku tak dapat memberi ampun, jiwamu kutinggalkan tapi kepandaian silatmu kuambil!" Cret. berbareng dengan selesai kata2nya, ujung pedangnyapun sudah menyusup ketulang pi-peh-kut pundak orang, Suatu hal yang membikin kejut kawanan perampok, lebih2 kedua Hian-cu dari Kim-liong-pang tadi, mereka serasa terbang semangatnya.

Hu pangcu itu bukan tokoh silat sembarangan. Adanya dia dapat menjabat sebagai wakil ketua, karena kepandaiannya itu termasuk yang nomor tiga dalam hierarchi ( urut ) Kim liong pang. Ia hanya disebelah bawah dari Jui tianglo dan Su pangcu. Permainan ilmu tongkat dari Hu pangcu itu juga termasyur. Tapi anehnya belum lagi ia sempat mainkan jurus yang ketiga tulang pundaknya sudah kena terpanggang pedang sianak muda.

"Kiranya dia benar2 masih berlaku murah dengan hanya memotong sebelah telinga Hu-pangcu tempo hari. Kalau Hu pangcu saja sudah keok, apa daya kita?" Demikian barulah timbul rasa gentar dalam hati kedua Hiangcu.

Serta merta mereka lempar senjatanya dan terus hendak menurutkan peraturan kaum persilatan untuk meminta ampun. Tiba2 anak muda itu tertawa: "Mengingat walaupun kalian berdosa tapi mau bertobat, maka akan kuberi hukuman ringan saja?"

"Sret. sret," pedang sianak muda tampak berkelebat dan tahu2 telinga kedua Hiangcu itu masing2 sudah hilang satu. Yang seorang telinga kiri dan yang seorang telinga kanan.

"Nah. Biarlah kalian juga merasakan sedikit kesakitan agar dikemudian harinya dapat mengingat baik2. Nah enyahlah," seru sianak muda.

Karena tidak sampai dibikin lenyap kepandaiannya seperti Hu pangcu mereka, girang kedua Hiangcu itu bukan kepalang, tanpa banyak bicara lagi mereka segera memanggil Hu pang cunya dan dibawa lari kebawah gunung. Kini yang masih segar bugar yalah kedua saudara Cin itu. Memang kepanduan mereka lebih unggul setingkat dari Hu- pangcu Kim-long pang. Biasanya merekapun congkak.

Walaupun menyaksikan kejadian itu dengan rasa terkejut, namun mereka tak mau mencontoh perbuatan kedua Hiangcu untuk meminta belas kasihan orang. Mereka bulatkan tekad untuk mengadu jiwa, apabila perlu mereka siap untuk sama binasa dengan sianak muda. Dengan ketekadan itu mereka menyerang rapat kepada anak muda itu. Setiap serangan mereka selalu mengarah bagian2 yang mematikan.

Karena sejak kecil kedua saudara itu sama2 belajar silat, jadi mereka dapat mengadakan kerja sama permainan yang rapat Sepasang senjata poan-koan pit mereka dapat berderak dengan indah laksana burung hong dan naga menari. Kanan kiri. muka belakang anak muda itu selalu dibayangi dengan pagutan poan koan pit. Sedikit saja sianak muda berayal atau salah jalan, pasti tubuhnya kena tertusuk.

Diatas batu besar sana, Yak-bwe menyaksikan pertempuran dengan tegangnya. Ia bertanya dengan bisik2 kepada sahabatnya : "Mengapa kawanmu itu hanya bertahan dan tak mau menyerang? Padahal ia mampu untuk menyerang lawan."

In-nio tertawa : "Memang setiap gerak-geriknya sukar diraba orang. Entahlah aku sendiri tak mengerti apa maksudnya karena hanya ia sendiri yang mengetahui alasannya."

Tiba2 kedengaran anak muda itu berseru lantang: "Kalian menindas rakyat nelayan suatu dosa yang sebenarnya tidak kecil. Tapi ku lihat kepandaian kalian agaknya masih kalah setingkat dengan Hu pangcu Kim-liong-pang tadi, jadi kalau dipanggang tulang Pi peh-kutmu rasanya masih keliwat berat, Hm, biar Kupikirkan dulu, hukuman apakah yang sekiranya cocok untuk kalian ini?" Ia omong sendiri seperti berunding seorang diri. Serangan maut dari kedua saudara Cin itu se-olah2 tak dihiraukan sama sekali.

Kedua saudara Cin itu marah sekali, tapi apa daya. Seumur hidup mereka belum pernah ketemu dengan musuh setangguh anak muda itu. Mereka tak berani tumpahkan kemarahan, karena kuatir sedikit saja perhatian terpencar tentu tubuh mereka akan tertutuk oleh lawan.

"Hai, ada... sudah ada... Ya kuingat tadi kalian mengatakan kalau aku dapat melayani serangan kalian sampai tiga puluh jurus, kalian lantas mau menjura kepadaku Kiranya sekarang sudah ada tiga puluhan jurus bukan?" tiba2 anak muda muda itu berseru pula.

"Tiga puluh jurus sudah lebih sejak tadi?!"

Tiba2 Ut-ti Lam turut berseru. "Hai, jadi sudah lebih 30 jurus? Wah..."

"Kalian mau pegang janji tidak? Mau memberi hormat kepadaku tidak?" kata sianak muda.

"Sudah tentu" kedua saudara Cin itu tak mau menurut.

Mereka malah memperhebat serangannya.

"Menjadi bangsa penjahat itu selain harus mengingat tentang 'keluhuran' pun harus memegang kepercayaan. Apakah kalian tidak tahu?" sianak muda tertawa dingin.

"Aha, jadi bangsa penjahat itu juga harus memiliki kesopanan ? Tapi terhadap mereka, rasanya sia2 saja kau katakan begitu, Kulihat kecuali kau ajar mereka sampai bertekuk lutut meresa tentu tak mau mengangguk kepala kepadamu," ujar Ut-ti Lam.

"Benar, karena kalian berdua ini penjahat2 rendah yang tak pegang janji, aku terpaksa gunakan kekerasan," kata sianak muda. Tiba2 ia jungkirkan Ceng-hong-kiamnya, begitu membentur senjata lawan, tahu2 si Lo Toa ( kakak ) dari saudara Cin menjerit, terus bertekuk-lutut. Si Lo Ji ( nomor dua ) dari saudara Cin terkejut, tapi belum lagi ia keburu menyingkir, lututnya sudah kena ditendang si anak muda. Tanpa dikehendakinya, iapun bertekuk-lutut ketanah. Karena jatuh ketanah, tubuhnya bergoncang dan kepala merekapun turut meletuk hampir mencium tanah. Dan karena mereka buru2 mengangkat lagi kepalanya, sepintas lalu menjadi benar2 seperti orang yang memberi hormat dengan menganggukan kepala.

Tertawalah sianak muda gelak2: "Karena kalian sudah mengangguk, nah, kubebaskan kalian dari hukuman. Tapi ingat, jika lain kali masih berani menindas rakyat lemah, apabila jatuh kedalam tanganku lagi, maka bukan saja kusuruh kalian mengangguk lagi, pun tulang Pi peh-kut kalian akan kuremukan. Nah, ingat baik2 dan enyahlah sekarang!"

Cepat kedua saudara Cin itu merangkak bangun. Wajah mereka merah padam. Diam2 mereka menyesal tidak punya sayap agar dapat lekas lekas terbang pergi. Karena sang kepala ngacir, kawanan keroconyapun segera kabur semua. Dalam sekejap saja mereka sudah tak kelihatan lagi. Kini yang tinggal digelanggang situ, hanya Ut-ti Lam dan sianak muda.

"Bagus, bagus ! Orang she Bo, nyata kau juga seorang jantan!" Ut-ti Lam acungkan jempolnya memuji.

"Maaf, sebenarnya aku tak layak menerima pujian begitu dari Ciangkun," sahut sianak muda dengan tertawa.

Tiba2 Ut-ti Lam deliki kedua matanya dan berseru: "Tapi sayang, sungguh sayang. "

"Sayang apa?" tanya sianak muda.

"Sayang karena seorang pemuda jantan seperti kau ini, terpaksa harus merangkap kau untuk kubawa kekota raja!" kata Ut-ti Lam. "Sayang, sayang, sungguh sayang!" Tiba2 anak muda itu juga menirukan ucapan Ut-ti-Lam.

"Sayang apa?" kini ciangkun itu yang berbalik tanya. "Dengan menempatkan kau pada giliran terakhir,

sebenarnya aku bermaksud, kita tak usah bertempur lagi! Tapi karena kau ternyata tetap berkeras akan menangkap diriku, tiada lain jalan bagiku kecuali harus bertempur lagi. Hati dengan kemauan saling bertentangan, apakah tidak sayang?"

Ut-ti Lam kerutkan keningnya. Katanya: "Dalam masalah permusuhan antara kau dengan kawanan penjahat tadi. rupanya kaulah yang berada difihak benar dan merekalah yang salah."

"Setiap tindakan yang kulakukan berdasar alasan yang benar!" sanak muda memutus omong orang.

"Baik, kalau begitu ingin juga aku mendengarkan apa alasanmu merampas 300 ekor kuda kepunyaan baginda. Kuda2 itu adalah dari negeri Gong-ki-kok. Baginda akan menghadiahkan kuda2 itu kepada pasukan Gi-lim-kun. Apakah akan tahu akan hal itu?" kata Ut-ti- Lam

"Cukup tahu, karena sebelumnya aku juga sudah menyelidiki dengan jelas," sahut sianak muda.

Maka marahlah Ut-ti Lam bentaknya: "Apa asalmu!" "Bukankah Thong leng dari pasukan Gi-lim-kun sekarang itu

adalah Liong-ki-to-wi, Cin Siang!" tanya sipemuda.

"Benar, memang Cin Siang toako. Apa perlunya kau tanyakan itu? Kiranya kau kenal juga padanya? Kalau begitu lebih2 tak semestinya kau merampas kuda itu!"

"Konon kabarnya Cin ciangkun itu akhli dalam hal menilai kuda. Kuda tunggang sendiri juga seekor kuda Cian-li-ma." "Hai, kuminta kau terangkan asalmu merampas barang antaran masakan mau ajak aku mengobrol yang bukan2!" teriak Ut-ti Lam dengan tak serantai.

Sianak muda tertawa geli: "Harap Ciangkun suka bersabar sebentar. Sekarang sudah menginjak acara pokoknya. Nah, karena Cin-ciangkun itu akhli memiliki kuda, pasukan Gi Lim- kun itu tentulah terdiri dan perwira gagah dengan kuda2 yang tegap2, bukan?"

"Sudah tentu! anggaran pasukan Gi lim kun itu terdiri dari perwira pilihan semua. Orangnya pilihan orang, kudanya pilihan kuda. Gi-lim-kun memang bukan sembarahgan pasukan!" sahut Ut-ti-lam.

"Jumlah anggauta Gi-lim-kun hanya orang, sedang persediaan kudanya berjumlah 450 ekor, benarkah ini ?" tanya sianak muda pula.

"Eh, mengapa kau tahu begitu jelas ?" seru Ut-ti Lam. Sianak muda ganda tertawa dan melanjutkan kata2nya :

"Jika begitu, artinya tepat tebakanku. Baiklah, sekarang akan

kuberikan alasanku. Tadi kau katakan bahwa baginda hendak menghadiahkan kuda itu kepada pasukan Gi-lim-kun, tetapi kenyataannya pasukan Gi-lim-kun itu tak kekurangan kuda! Bahkan mereka itu masih ada kelebihannya! Dengan ku ambil 300 ekor kuda itu, rasanya mereka takkan menderita apa2 !"

Marahlah Ut-ti Lam, serunya : "Alasanmu itu terlalu di- buat2! Banyak atau sedikit jumlah kuda yaug dimiliki oleh pasukan Gi-lim-kun itu bukan soal. Pokok, kuda itu adalah barang upeti yang dipersembahkan kepada baginda, kau seharusnya tak boleh mengganggu !"

Sianak muda tertawa gelak2 : "Karena kau bekerja pada raja, jadi sudah selayaknya kau mengatakan begitu. tapi kedudukanku berlainan dengan kau, jadi caranya berpikirpun tidak sama. Yang kutanyakan padamu hanyalah layak tidaknya kuda kelebihan itu kuambil? Tentang siapa pemiliknya, rajakah atau rakyatkah, itu bukan soal."

"Ya, baik. kita boleh kesampingkan tentang pemiliknya itu. Tapi bukankah kau telah merampas barang orang, mengapa kau masih hendak membela kebenaran?"

"Kuda dari pasukan Gi-lim-kun sedang berlebih2an. Hadiah tiga ratus ekor kuda itu, tak banyak berguna bagi mereka. Malah kemungkinan mereka akan menelantarkan kuda-kuda bagus itu. Tapi bagi fihakku, kuda itu besar sekali artinya, kami hanya punya anak buah gagah, tapi kekurangan kuda- kuda tegar !"

"Ahh, jelas aku sekarang. Kiranya kau ini juga benggolan perampok bukan !"

Sianak muda tertawa : "Tebakanmu hanya separoh bagian yang benar !"

"Kalau ia bilang ya, tidak bilang tidak, mengapa bilang hanya separuh bagian yang benar?" seru Ut-ti Lam.

"Sekarang aku masih belum resmi mendirikan markas, jadi tak boleh dianggap sebagai perampok atau begal. tapi aku sudah siap menceburkan diri menjadi penyamun. Terus terang saja kuberitahukan padamu, tak lama Kemudian bakal ada Lok-lim-tay-hwe (musyawarah besar penyamun). Sekalian orang gagah dari segala-Siapa siapa akan mengangkat Thiat- mo lek sebagai Bengcu! Tiga ratus ekor kuda itu kurampas hendak kusumbangkan pada Thiat-mo-lek selaku bingkisan perkenalan. Ut-ti ciangkun. kau tak dapat meminta kembali barang itu!"

Selapang2nya hati Ut-ti Lam, namun ia tetap seorang pembesar kerajaan. Mendengar kata2 sianak muda itu. sudah tentu panaslah hatinya. Serunya: "Ha, kiranya kalian ini adalah penjahat yang hendak memusuhi kerajaan. Sudah tentu aku tak dapat melepaskan kau!"

Masih sianak muda tertawa "Ciangkun, ucapanmu itu hanya benar separoh bagian saja."

"Ai, mengapa hanya separoh bagian lagi?" Ut-ti Lam keheranan.

"Kami benar jadi penyamun, tapi belum tentu memusuhi kerajaan. Yang nyata sekarang ini kami tak bersikap begitu. Dengan kurampas kuda itu. bahkan ada segi2 kebaikannya kepada kerajaan, sekali2 tidak ada keburukan."

Ut-ti Lam makin heran.

"Ai, ai. ucapanmu benar2 hebat sekali, kerajaan sekali2 tidak ada keburukannya!"

Maka berkatalah sianak muda:

"Tolong tanya, didalam daerah Gui-pok sini, siapakah yang mempunyai pengaruh paling besar?"

"Mengapa bertanya pula? Sudah tentu Ciat to-su Tian Seng-su!" jawab Ut-ti Lam.

"Dan didaerah Lo-ciu?"

"Ciat-to-su Sik Ko!" sahut Ut-ti Lam.

"Jika begitu. Tian Seng-su di Gui-pok, Sik Ko di Lo-ciu, mereka itulah raja-raja daerah tersebut!" kata sianak muda.

"Bolehlah dikata begitu, mereka berdua yalah raja daerahnya," Ut-ti Lam mengiakan.

Tertawalah sianak muda: "Menurut pendapatku, didalam daerah kekuasaannya, hak mereka itu lebih besar dari raja. Rakyat hanya takut pada Ciat-to-su tapi tidak kepada raja!"

Ut-ti Lam terdiam tak menyahut. Sianak muda tertawa dan berkata lagi: "Pasukan Gi-lim-kun dalam keraton hanya berjumlah 3000 orang sedangkan Tian Seng-su bentuk apa yang dinamakan pasukan Gwe-thok-lam yang terdiri tiga ribu orang juga. Pasukan itu merupakan pasukan tandingan bagi Gi-limkun, Ini sebenarnya menyalahi undang2, tapi mengapa fihak kerajaan tinggal diam saja?"

"Tentang ini......ini. ai, mengapa kau mengurus? Kau toh bukan perdana menteri" karena kehabisan jawab, Ut-ti Lam balas bertanya.

"Kata2mu itu salah lagi, kalau raja saja tak mau mengurus apalagi seorang perdana menteri! Kerajaan mempunyai undang2 tentara memiliki peraturan. Tetapi siapakah Ciat-to- su itu yang memerintah dengan menurut undang2? Siapakah mereka itu yang tidak korup, tidak menindas rakyat? Pajak yang dipungut oleh Tian Seng-su, lipat tiga kali dari apa yang ditetapkan oleh fihak kerajaan. Paling akhir ini untuk mengawinkan anak lelaki. iya. Tian Seng-su telah menggunakan uang negara membeli bingkisan kawin. Apakah kau tahu akan hal itu? Baik, aku tak seharusnya mengurusi, tapi apakah raja sudah mengurusnya?"

Ut-ti Lam menghela napas, ujarnya: "Hatikupun berontak2 seperti perasaanmu, tapi apa daya. Mereka mempunyai tentara karena itu "

"Karena itu maka fihak kerajaan tak dapat bertindak. Yang dapat bertindak hanya kawanan begal kuda macam aku ini, bukan?"

"Ha, jangan berputar terlalu jauh, kita kembali pada persoalan semula saja. Kau tidak hendak menjelaskan alasanmu merampas antaran kuda, mengapa lantas membalik memaki pada Ciat-to su?" akhirnya Ut-ti Lam memberi peringatan.

Kata sianak muda: "Rupanya kau masih tak mengerti. Apa yang kukatakan tadi adalah merupakan alasanku. Coba renungkan, dalam suasana dimana para Ciat-to-su berebutan minta daerah otonom agar mereka dapat merajai daerahnya terus terang, saja, perintah2 dari rajamu itu tak laku lagi diluaran. Kami adalah kawanan penyamun yang menjalankan amanat penderitaan rakyat, apakah hal itu merugikan pada rajamu? Jika ada yang merasa dirugikan karena tindakan kami itu, paling2 hanya para Ciat-to su setempat dan anak buah mereka saja! Bukankah hal itu malah menguntungkan bagi kerajaan? Pasukan Gi lim-kun-nya tidak berani menempur mereka, tetapi kami berani. Tiga ratus ekor kudamu yang kurampas itu sekarang sudah kugunakan untuk menempur pasukan Gui-pok dan Lo ciu. Secara tak langsung  ia membantu rajamu untuk mematahkan kekuatan Tian Seng-su dan Sik Ko. Jika raja mengetahui seharusnya berterima kasih kepada kami bukan?"

Ut-ti Lam terlongong2 sejenak. Katanya :

"Meskipun keterarganmu itu agak berbelit2 dan mendekati kebenaran, maka akupun takkan menyampaikan pada baginda. Aku hanya menerima perintah dari Cin-toako untuk menangkapmu!"

"Bagus, asal kau sudah mengakui kalau aku benar, itu sudah cukup. Tentang kita harus bertempur, itu lain perkara lagi", kata sianak muda.

Tiba2 Ut-ti Lam berseru : "Hai. aku mempunyai sebuah cara. Kita tak usah berkelahi, tapi apa kau suka  mendengarnya ?"

"Dengan segala senang hati aku bersedia medengar perintah Ciang-kun" sahut sianak muda dengan cekatnya.

"Lebih baik kau bawa anak buahmu menakluk pada kerajaan, itu lebih tepat, Aku sedia memberi bantuan agar Cin toako dapat memasukkan kalian semua kedalam pasukan Gi lim-kun. Dengan tiga ratus ekor kuda itu anggap saja sebagai dihadiahkan padamu, takkan diusut lagi, Kelak apabila kerajaan hendak tergerak pada kawanan panglima daerah itu, kalianpun harus maju," kata Ut-ti Lam.

Anak muda itu mengadah keatas dan tertawa nyaring : "Apakah kau pandang aku pun menjadi pembesar negeri? Dahulu Thiat-mo lek pun pernah bekerja sama dengan kakakmu Ut-ti Pak dan Cin Siang, serta pernah juga menjabat sebagai San-ki to-wi. Tapi akhirnya karena tak kuat menahan hinaan para menteri dorna, ia lantas melarikan diri. Aku ini seorang yang bisa menikmati kebebasan, mungkin lebih tak kuat menahan hati dari pada Tiat mo-lek, Ciang-kun, aku menghaturkan banyak terima kasih atas maksud baikmu itu."

Ut-ti Lam tertegun beberapa jenak. Iapun tahu juga akan riwayat Thiat-mo lek. jadi ia tak berani membujuk anak muda itu lagi. Pada lain saat ia menghela napas, ujarnya: "Sebenarnya aku ingin sekali mengikat persahabatan dengan kau, tapi karena aku diperintahkan untuk menangkapmu, apa boleh buat marilah kita mulai. Silahkan mencabut pedangmu!"

Sebaliknya sianak muda malah menyarungkan pedangnya. Lalu tertawa: "Terhadap musuh atau orang yang kubenci, aku baru mengunakan pedang. Karena kau berniat mengikat persahabatan dengan aku, mana aku tega melawanmu dengan pedang? Aku hendak bertangan kosong saja untuk menemani kau main2 barang dua tiga jurus!"

"Hai, ini bukan main2!" seru Ut-ti Lam kebingungan.

"Ya, ia, aku tahu. Kau boleh menyerang sesukanya untuk melukai aku. Kalau sampai ketangkap, akupun takkan menyesali kau." tenang-tenang sianak muda menyahut.

Ut-ti Lam menjadi agak mendongkol, pikirnya: "Tahu bahwa aku hendak menyerangmu dengan pian, kau masih mau melawan dengan tangan kosong. Bukankah itu berarti kau hendak memandang rendah padaku?" "Baik, biar kusaksikan sampai dimana kepandaianmu dalam ilmu tangan kosong. Gong thiu-jip-peh-jim itu," ujarnya kemudian.

Wut, ia lantas menyabet. Tapi dikarenakan ia sayang pada anak muda itu jadi serangannyapun tidak dengan tenaga penuh.

Anak muda itu menggerakkan tubuh, punggung telapak tangannya menangkis pada batang pian, kemudian kedua jarinya menarik, katanya: "Telah lama kudengar ilmu pian Ciang kun itu termasyhur sekali, mengapa tak dikeluarkan?"

Tarikan jari itu membuat tubuh Ut ti Lam terseret dua langkah. Sudah tentu bukan kepalang kejut Ciangkun, pikirnya: "Bocah ini berisi. Jika aku menyerang setengah hati, mungkin akan merugikan kemasyhuran ilmu pian dari keluarga Ut ti."

Segera Ut ti Lam menyentakkan piannya dan anak muda itupun tak kuat menyanggahnya. Dengan To jay chit sing poh, ia menghindarkannya, ia mengagumi: "Ilmu pian warisan dari Ut-ti Kiong, benar2 tak bernama kosong!"

Ut-ti Lam adalah keturanan dari Ut-ti Kiong, itu pahlawan yang termasyhur dan kerajaan Yong-tiau. Dahulu sewaktu membantu baginda Li Si Min untuk menaklukkan daerah selatan dan utara, ectah berapa banyak, pahlawan2 musuh yang jatuh dibawah pian Un-ti Kiong itu ilmu pian dari Ut-ti Tiam itu berasal dari warisan pusaka keluarganya. Ilmu permainan pian Cui-mo pian hoat itu terdiri dari 64 jurus, semuanya bergaya dahsyat dan sebat.

Ditempatnya sembunyinya In-nio mengikuti dengan penuh perhatian akan pertempuran itu. Walaupun ia percaya akan kepandaian dari pemuda tambatan hatinya itu tentu dapat mengatasi lawan, tapi tak urung hatinya turut kebat-kebit juga. Ut-ti Lam juga terperanjat. Berulang2 mulut anak muda itu memuji ilmu pian hebat, namun sampai sebegitu jauh piannya itu belum berhasil menyentuh ujung baju sianak muda.

Dari kakeknya Ut-ti Lam telah mewarisi dua macam ilmu kepandaian, ilmu Cui-cho-pian hoat dan ilmu tangan kusong Gong-chiu-jip peh-jin. Dahulu kakeknya itu ketika di Thing-ma- kau dengan ilmu Gong-chiu-jip-peh-jin telah berhasil merebut senjata Thiat sok milik Tan Hiong-sin, itu pahlawan Hwa-kang- cat. Dengan begitu ia telah menyelamatkan jiwa baginda Li Si Bin sebmgga namanya tersohor harum diseluruh negeri.

Karena Ut ti Lam agak lamban (tidak cerdas) maka ia belum dapat meyakinkan dengan sempurna ilmu warisan keluarganya itu. lailah dengan kakaknya, Ut-ti Pak. Tapi itu bukan berarti ia tak lihay, karena bagaimanapun ia juga tergolong jago yang kosen.

Bermula ia menertawakan sianak muda yang dianggap congkak sekali karena berani melawan ilmu pian dengan tangan kosong. Tapi setelah sepuluh jurus berlangsung, barulah Ut-ti Lam terbuka matanya bahwa ternyata diatas langit itu masih ada langit lagi, atau orang yang pandai masih ada yang lebih pandai lagi. Bukan saja dengan tangkas dan gesit sianak muda menghindar dari serangan pian, pun masih dalam kesempatan2 tertentu ia dapat balas menyerang. Ilmu tangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jin dari sianak muda itu, ada beberapa bagian yang ia (Ut-ti Lam) belum pernah mempelajarinya. Diam2 ia menilai kepandaian anak muda itu tak disebelah bawah dari engkohnya Ut-ti Pak.

Tiba2 terlintas dalam ingatannya: "Tiap2 kali engkoh gunakan Gong-chiu-jip-peh-jin untuk berlatih dengan aku, kira2 pada jurus yang kelima puluh, ia tentu dapat merampas pianku. Tapi ia pernah memberi petunjuk padaku begini: 'dalam keadaan terdesak bolehlah memikat lawan supaya mendesak maju dari tengah. Kemudian kita harus gunakan jurus Pat hong-hwe-tiong-ciu untuk menghajar musuh. Bagaimana saktinya ilmu Gong-chiu-jip-peh-jin musuh, asal itu bukan keturunan keluarga Ut ti, pasti tak dapat menangkis serangan itu!"

Tapi pada lain kilas, ia berpikir lagi: "Tapi jika kugunakan jurus yang ganas itu, anak muda itu pasti celaka, kalau tidak mati tentu akan terluka berat. Ah, sayang, bagaimanapun ia adalah seorang pemuda jantan!"

Karena rasa suka kepada sianak muda, untuk sekian saat sampai ia tak dapat mengambil keputusan. Tapi anak muda itu makin lama makin mendesak dan sekejap inilah permainan sudah berlangsung sampai jurus ketiga puluhan lebih. Diam2 Ut ti Lam menjadi sibuk, pikirnya. "Celaka, akan segera meningkat jurus ke lima puluh. Kepandaian anak muda itu nyata lebih tinggi dari engkohku. Jika tak gunakan jurus itu, pianku pasti kena direbutnya. Wah, runyam ini!"

Melihat sampai jurus keempat puluh serangan pian lawan tetap tak terdapat lubang kelemahannya, anak muda itu makin kagum. Sekonyong-konyong dilihatnya Ut ti Lam terhuyung huyung dan dibagian tengah terbukalah suatu lubang. Terlintaslah pikiran sianak muda. Kalau terhadap orang lain, mungkin ia tak berani. Tapi ia cukup tahu Ut ti Lam itu seorang gagah yang ketolol2an, ia mengambil keputusan hendak merebut pian tanpa melukai orangnya.

Baru ia berpikir begitu, tiba2 Ut ti Lam berteriak: "Awas!" Pian disapukan dengan cepat sehingga seketika itu berubah menjadi ribuan sinar yang mengurung tubuh sianak muda. Sebatang Cui mo kong pian yang beratnya 64 kati, pada saat itu telah berubah menjadi sebatang pian lemas yang bergeliatan laksana seekor ular. Didalam kelemahan mengandung kekerasan, didalam kekerasan mengandung kelemasan. Sungguh sebuah permainan yang sukar diduga perobahannya! Itulah jurus Pat hong hwe liong ciu yang sakti!

Jurus itu diciptakan Ut ti Kiong semasa ia sudah berusia tua, Permainan itu khusus di ciptakan untuk menghancurkan ilmu bertangan kosong Gong chiu jip peh jin termasuk dalam enam puluh empat jurus ilmu piau cui mo pi ao hoat. Mengenai hal itu ada sebuah kisahnya sebagai berikut:

Setelah dengan tangan kosong Ut ti Kiong merampas senjata thiat sok dari panglima Wa koan cat yang bernama Tan Hiong-sin kemudian berhasil juga menangkap hidup2 panglima itu maka termasyurlah nama Ut-ti Kiong. Pada suatu hari ketika diadakan perjamuan besar di istana, Cin Sok po bertanya padanya: "Meskipun ilmu piantou itu deras seperti air hujan, tapi masakan orang dengan tangan kosong tak dapat merampasnya?"

"Sudah tentu tak mungkin!" sahut Ut-ti Kiong.

"Dan Matumu tangan kosong Gong chiu-jip-peh-jin konon juga tiada yang menandinginya diseluruh dunia. Apakah ilmu bertangan kosong itu benar2 sakti dan dapat kau gunakan merampas senjata apa saja dari musuh?" tanya Cin Siok-po pula.

"Kau adalah Toako-ku sudah tentu aku tak berani membohongimu. Ilmu itu memang tiada orang yang dapat menandingi. Tapi aku sendiri sayang belum meyakinkan sampai sempurna. Jika bertemu dengan musuh yang sakti belum tentu aku dapat merebut senjatanya. Misalnya sepasang liang-koan Toako itu, jika digunakan terhadap diriku, akupun tak berani menghadap dengan tangan kosong saja," kata Ut-ti Kiong dengan terus terang.

"Ya. tapi bagaimana setelah kau dapat meyakinkan dengan sempurna?" tanya Cin Siok-po.

"Ilmu itu sudah berabad usianya dan tiada habis sumber keindahannya. Jika memang sungguh2 sudah dapat mempelajari sampai sempurna, betapa lihaynya lawan, tetap akan kerebut juga senjatanya," sahut Ut-ti Kiong dengan pelan. Maka tertawalah Cin Siok-po: "Bagus sekarang kalau umpamanya ada seorang yang faham akan ilmu permainan Cui-mo-kang-pian dan seorang lagi mahir akan ilmu Gong-jiu- jip-peh jin itu, lalu siapakah yang akan menang apa bila saling bertempur?"

Ut ti Kiong garuki kepala dan menyahut: "Aku sendiripun tak tahu."

Sejak itu Ut-ti Liong mengasah otak untuk menjawab pertanyaan Cin Siok-po yang sebenarnya hanya untuk mengolok2nya saja. Akhirnya ia berbasil menciptakan jurus Pat-hong hong--hwe-tiong-ciu. Dan karena ia sendiri akhli dalam ilmu Gong-chiu jip peh jim, jadi ia cepat mengisi ciptaan baru itu dengan kemungkinan2 yang dapat digunakan oleh Gong chiu jip peh jim itu.

Oleh karena bila jurus itu dikeluarkan musuh tentu terluka atau binasa, maka tadi Ut-ti Lam agak bersengsi. Dan setelah terpaksa mengeluarkan, sianak muda menjadi terperanjat juga.

"Ilmu permainan pian yang hebat!" ia berseru memuji Iapun mengeluarkan juga ilmu ginkangnya. "Wut" ia enjot

tubuhnya melambung ke tengah udara, tapi sudah kasip. Pian telah menggubat paha kanannya dan oleh pemiliknya terus ditarik kebawah.

"Ayuh, jatuh, jatuhlah!" teriak Ut ti Lam

"Ai, mungkin tidak!" sahut sianak muda dengan tertawa. Sekonyong-konyong ia gunakan kaki kiri untuk mendepak lengan Ut ti Lam. Suatu hal yang tak terduga sama sekali oleh Ut ti Lam.

"Kaki sudah tergubat pian mengapa masih dapat mendepak pula?"

-o0odwo0o-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar