Pasangan Naga dan Burung Hong Jilid 01

Jilid I

-------------------------------
Hal 3-4 Hilang.....
-------------------------------

isteri tentu akan selalu berkumpul bersama. Dari pagi sampai petang aku tentu akan selalu berhadapan padanya. Bagaimanakah perangainya? Dapatkah aku menyukainya?

"Dan andaikata ia tak tahu menahu tentang urusan ini, habis bagaimana? Apakah aku harus tebalkan kulit muka untuk menuturkan riwayat sepasang tusuk kundai pusaka itu? Kemudian mengatakan: aku ialah sianak lelaki dan kaulah sianak perempuan yang dimaksudkan itu. Tapi ia tak kenal padaku, apakah ia mau mendengar ceritaku? Dan setelah mendengar apakah dia mau percaya. ? Ai, ai, benar2 pusing

dan akan pecah rasanya kepalaku!"

Demikianlah lalu lalang keterangan yang mengejangkan urat syaraf Toan Khik-ya dikala ia mondar mandir dikamar hotelnya sembari menggengam sebuah tusuk kundai kemala. Saking tegangnya sampai2 ia mengoceh sendirian. 

Kini ia sudah menginjak usia enam belas tahun. Setelah delapan tahun lamanya negara menderita Kekacauan akibat pemberontakan An Lok-san dan Su Su bing, kini keamanan berangsur2 pulih kembali. Bibi He (namanya He Leng siang, isteri dari Lam-ce-hun) yang mengasuhnya seperti ibunya sendiri mengatakan bahwa karena ia sudah dewasa maka disuruhnyalah ia pergi ke Lo-ciu menemui tunangannya. Tunangannya itu adalah puteri pungut dari Sik Ko yang menjabat Ciat-tok-su (panglima yang bertugas menjaga perbatasan). Bibi He menerangkan pula bahwa Sik Ko itu seorang keras, ia melarang seisi rumahnya membocorkan asal usul puteri pungutnya itu. Oleh karena itu, mungkin sampai sekarang gadis itu tentu belum mengetahui siapa ayah bundanya yang aseli.

Jadi Toan Khik-ya berangkat untuk menemui seorang tunangan yang belum pernah dikenalnya, seorang gadis yang tak tahu akan asal usul dirinya sendiri.

Lazimnya dalam umur 15-16 tahun itulah anak mulai mengerti urusan duniawi. Dalam usia begitu seorang dara tentu akan kemerah2an pipinya bila bertemu dengan seorang jejaka begitupun sebaliknya, Lebih2 seperti keadaan Toan Khik-ya saat itu, disuruh seorang diri menjumpai seorang tunangan yang belum pernah dilihatnya. Itulah sebabnya, makin dekat kekota Lo-ciu, hati Toan Kbik-ya makin risau malu, berdebar2, gembira dan penuh harapan. Ketegangan perasaannya itu tepat seperti yang digambarkannya serasa membuat kepala pecah.

Tiba2 ada semacam bau wangi berembus masuk dari jendela. Ketegangan benaknya makin menjadi2 seketika ia rasakan kepalanya pening ingin tidur.

"Celaka!!" se-konyong2 ia mengeluh. Selintas terbayanglah olehnya akan kejadian yang dialami siang tadi. Seorang lelaki yang memelihara kumis pendek, entah bilanama, telah mengikutinya dari bekkang. Karena dijalanan pada siang hari banyak orang berlalu lalang, jadi ia tak leluasa menggunakan ilmu ginkang. Sengaja ia lambatkan langkahnya, tapi ternyata orarg itupun kendorkan jalannya. Ketika ia berjalan cepat sedikit, orang itupun cepatkan langkahnya.

Toan Khik-ya menaruh kepercayaan pada ilmu kepandaiannya sendiri. Meskipun ia menaruh kecurigaan, tapi ia tak memandang serius pada orang itu, hanya merasa jengkel saja. Setelah tiba dijalan yang sepi, ia sengaja unjukkan sedikit demontrasi. Sekali hantam ia patahkan sebuah dahan pohon sebesar paha orang lalu dibuat memikul buntelan barangnya. Entah bagaimana, orang itu lantas menghilang. "Apakah orang itu seorang penjahat yang karena siang hari leluasa turun tangan, tapi malam sekarang mau menggerayang kemari ?" demikian pikirnya.

Plak, teidengar suara sebuah kerikil melayang masok dan jendela. Itulah cara melempar batu menanyakan jalan yang biasa dilakukan oleh penjahat bilamana mencari keterangan tentang keadaan sasarannya. Karena suhengnya, Gong Gong- ji, bergelar Pencuri Sakti nomor satu dikolong jagat, jadi Toan Khik-ya mengerti juga tentang cara itu.

"Hm, kiranya bangsa penjahat picisan saja. Seorang penjahat ulung tentu tak perlu menggunakan cara bertanya jalan begitu. Baik, coba saja bagaimana ia hendak mencuri barangku nanti " diam-diam ia mentertawakan.

"Tring, Liong-ja kemala yang digenggamnya itu jatuh diatas meja, menyusul kepala Toan Khik-yapun terantuk pada meja sepeiti orang yang terkulai pulas.

Daun pintu kedengaran terdorong, sesaat kemudian terdengar lengking seruan kaget seorang

"Eh, lihatlah tusuk kundai kemala itu!"

Itulah suara seorang perempuan. Dan yang lebih mengherankan lagi, mengapa ia melengking begitu nyaring ? Bukankah biasanya bangsa pencuri itu pantang menerbitkan suara?

"Ssst, jangan bersuara keras!." Justru lain suara yang bernada kasar lantang.

"Sekarang kau mengakui ketajaman mataku tidak ? Ku- yakin mataku takkan salah melihat kalau bocah ini mempunyai sebuah benda berharga, hanya saja aku tak menyangka sama sekali kalau bendanya itu sebuah pusaka. Ha, melulu mestika nya beng-cu yang tercantum diatas tusuk kundai itu saja nilainya tak kurang dari beberapa ruluh ribu tahil perak!" "Nilainya itu tak penting," sahut orang pertama yang bernada seperti perempuan, "yang kuharapkan mengapa barang itu serupa benar dengan kepunyaan nona kita!"

"Apa? Nonamu juga mempunyai tusuk kundai kemala seperti ini?" seru silelaki.

"Ya, hanya saja lukisannya tak sama. Tusuk kundai nonaku berukir seekor burung Hong (cenderawasih) yang tengah mementang sayapnya hendak terbang! Ha, engkoh Bo, rupanya peruntunganmu sudah tiba!" kata siperempuan.

"Benar, ini namanya seperti mendapat durian jatuh,!" sahut silelaki. "Aku mempunyai beberapa kenalan pedagang intan berlian, tak kuatir tak bisa mendapat harga. Setelah mempunyai beberapa puluh ribu tahil perak, kita cari sebuah tempat yana sunyi untuk mendirikan sebuah rumah tangga yang bahagia!"

"Engkoh Bo, aku tidak mempunyai maksud begitu!" diluar dugaan, siperempuan telah menyanggah.

"Oh. habis bagaimana rencanamu?" tanya silelaki. "Menyembunyikan diri dan lewatkan hari2 dengan penuh

kecemasan, bukanlah cara yang benar! Apalagi tayswe (panglima) tentu akan menyebar perintah penangkapan, kita tak bisa bersembunyi dengan aman? pendapatku, lebih baik ksta serahkan tusuk-kundai itu kepada nona kebetulan beliau juga mempunyai sebuah tusuk kundai yang serupa, dengan demikian tanggung beliau pasti akan gembira sekali.  Kemudian jika kuminta tolong kepada nona supaya memintakan pengampunan pada tayswe, kemungkinan besar bukan saja kita dibebaskan dari penangkapan, bahkan tayswe akan menghadiahkan kau suatu pangkat pula. Bukankah cara demikian adalah terlebih bagus?"

Masih si lelaki menegas dengan kesangsian: "Apakah kau yakin dapat membujuk nona?" "Aku adalah dayang kesayangannya. Kali ini jika bukan gara2mu, masakan aku tega berpisah dengan nona. Bila aku meminta ampun ia tentu meluluskan, apalagi aku membawa barang persembahan yang berharga!" jawab siperempuan.

"Jika ia menanyakan dari mana kau peroleh barang itu, bagaimana jawabmu?"

"Tentang itu, itu...." sekali ini siperempuan tak dapat menemukah jawaban yang tepat.

Melihat itu si lelaki buru2 menyatakan: "Ku rasa lebih baik kita langsung persembahkan benda pustaka ini pada tayswe saja.."

"Mungkin kau takkan tahu bahwa tayswe itu asal-usulnya juga dari kalangan Lok-lim (penyamun). Asal beliau sadar menerima barang pusaka, tidak nanti ia mendesakmu untuk memberi keterangan dari mana kau peroleh, Tidak demikian dengan nona Ai, tapi makin kupandang benda ini makin besar rasa sayangku, sebenarnya kita rugi kalau menyerahkannya pada Tayswe!"

"Kau tentu cukup kenal perangai Tayswe maka lebih baik kita serahkan saja. Oh ya, teringat aku sekarang. Bulan muka tanggal 15 ini, nona merayakan hari pernikahannya. Itu suatu kesempatan bagus bagi kita. Dengan persembahan kita itu masakah Tayswe takkan di mabuk kegirangan, Hai kenapa kau ini?"

Jawab si lelaki: "Bocah ini mengerti ilmu silat, lebih baik sekali bacok kumampuskan dia saja dari pada kelak menimbulkan urusan. Menyingkirlah jangan kau merintangi aku!"

Kiranya lelaki itu hendak membunuh Toan Khik-ya, dihadang oleh kawannya perempuan.

"Jangan, jangan masakah kita tak berperi-kemanusiann. Sudah meiampas barangnya masih mau mengambil jiwanya. Turutlah permintaanku, lepaskan dia. Jika kau membangkang aku tak sudi mengikut kau!" seru siperempuan.

"Ai mengapa hatimu selemah ini?" silelaki mengomel, "Baiklah akan kuturut apa boleh buat, ya, siapa yang suruh aku suka padamu Nah, berikan tusuk kundai itu padaku dan ayuh kita lekas pergi dari sini. Ha, ha, sungguh sebuah benda pusaka bagus."

Baru lelaki itu mendorong daun jendela hendak loncat keluar, belum suara ketawanya sirap, tahu2 tubuh bergoyang dan sebagai tonggak, ia berdiri tagak seperti patung.

"Tring..."

Tusuk kundai yang digenggamnya itupun jatuh kelantai, berbareng itu Toan Khik-ya pun loncat menghadang siperempuan.

Ternyata walaupun baru berumur 16 tahun tapi kepandaian Toan Khik-ya sudah bukan olah2 hebatnya. Sewaktu nencium bau wangi tadi segera ia sudah curiga, Buru2 ia gunakan ilmu pernapasan "Pit-bi-hoan-gi" untuk menutup hidungnya. Obat bius Ke-hing-ngo ko-hoan hun hiang yang biasa digunakan oleh kaum persilatan itu sudah tentu tak mempan terhadap dia. Ia tadi hanya pura2 saja pingsan untuk melihat perkembangan. Dan dua penyatron itu ternyata kena diingusi.

Siperempuan tadi terkejut dan hendak menerobos lari, tapi kena disamber Toan Khik-ya.

"Bukan urusannya, lepaskan dia! Kalau mau bunuh, bunuhlah aku!" silelaki berteriak.

Ternyata lelaki itu kena tertutuk jalan darahnya oleh tutukan Keh-gong-tiam-hiat (menutok dari kejauhan) yang dilepas Toan Khik-ya. Tubuhnya tak dapat bergerak, tapi mulutnya masih bisa bersuara. Ini disebabkan karena Toan Khik ya masih kurang pengalaman. Karena terburu2, ia sampai lupa untuk menutuk jalan darah pembisu orang. Biasanya adalah simaling yang takut bersuara, sebaliknya kini Toan Khik-ya yang takut simaling bersuara. Setelah membikin bisu silelaki, barulah Toan Khik-ya lepaskan perempuan itu.

"Jangan takut, mengingat kau tadi melindungi jiwaku, aku pun tak akan membunuh suamimu itu. Hanya saja tusuk- kundai pusaka itu adalah warisan keluargaku, jangan kalian ambil." kata Toan Khik-ya dengan tertawa.

Perempuan itu tertegun, berulang2 ia menghaturkan terima kasih: "Terima atas kelapangan hati Siangkong. Sudah tentu kami tak berani mengambil barangmu. Harap Siangkong lepaskan kami saja!"

Toan Khik-ya menyahut dengan tertawa: "Nanti dulu. kalau mau pergi mudah saja, asal kau memberi keterangan yang jujur. Dari pembicaraanmu tadi, rupanya kau ini bujang perempuan dari keluarga pembesar. Siapakah nona majikanmu itu. lekas bilang!"

Merah padam muka siperempuan, setelah bersangsi sejenak barulah ia berkata dengan seujujurnya, "Aku ini adalah budak dari puteri Ciat-tok-su daerah Lo-ciu ini."

"Oh, kiranya kau ini pelayan dari nona Sik Hong-sian, puteri Sik Ko itu? Tapi mengapa kau berkawan dengan bangsat itu hendak mencuri barangku?" tegur Toan Khik-ya.

Mendengar Toan Khik-ya menyebut nama nona majikannya, perempuan iru makin terkesiap. Katanya: "Ya, karena aku diajak pergi dengan dia. Dia menjabat sebagai wi- su (pengawal) dan Sik-tayjin, dan kami...kami. "

"Ha, kiranya begitulah. Kau suka padanya lalu tinggal bersama, bukan?" Toan Khik-ya menegas.

Perempuan itu tersipu kemalu-maluan.

"Huh, kekasihmu itu boleh juga. Rupanya iapun suka padamu. Baiklah, kuampuni dia," kata Toan Khik ya. Perempuan itu hendak menghaturkan terima kasih, tapi Toan Khik-ya mencegahnya: "Nanti dulu, tadi kau katakan hendak menyerahkan tusuk kundaiku ini kepada nona majikanmu sebagai barang persembahan. Entah mempunyai kerja apa nonamu itu?"

"Bulan muka tanggal lima belas nona hendak keluar pintu" sahut siperempuan.

Mendengar itu, Toan Khik-ya melongo.

"Apa? nonamu hendak keluar pintu?" ia menegas.

Menduga Toan Khik-ya tak mengerti maksud kata2 itu, sibujang perempuan memberi keterangan : "Benar, keluar pintu artinya menikah. Nona majikanku hendak jadi pengantin

!"

Toan Khik-ya tercengang, katanya dengan tergagap2. "Jadi, jadi ia akan kawin ?"

Tiba2 saat itu disebelah luar terdengar derap kaki orang, menyusul ada orang berteriak-teriak : "Ada pencuri, ayoh bangun tangkap pencuri !"

Seketika terdengarlah suara berisik dan langkah orang berderap2. Hotel itu ternyata memegang teguh ketertiban. Setiap malam ada orang jaga! Jaga malam itu kaget mendengar ribut2 dari kamar Toan Khik-ya. Karena jeri seorang diri tak berani menangkap pencuri, maka ia berteriak memanggil kawan.

Wajah bujang perempuan tadi menjadi pucat. Tergopoh2 ia meminta pada Toan Khik-ya : "Mohon Siangkong sukalah lepaskan dia !"

Toan Khik ya juga gugup, tanpa banyak bicara lagi, ia segera membuka jalan darah bekas wi-su itu. Begitu dapat bergerak bekas wisu itu segera ajak kekasihnya loncat keluar jendela. Dari situ loncat keatas rumah terus melenyapkan diri. Melihat diatas wuwungan rumah ada tubuh orang, jaga malam itu menyurut ketakutan.

Berselang beberapa jenak, baru ia berseru kepada orang2 yang mendatang : "Aman sudah, aman, pencurinya sudah melarikan diri."

Toan Khik ya menyimpan tusuk kundai-nya lalu tutup kepala dengan selimut, pura2 tidur lagi, Tak berselang beberapa lama, terdengar pintu kamarnya diketuk, Ternyata yang datang adalah pengurus hotel yang menanyakan keterangan kalau barangnya ada yang tercuri maling. Toan Khik-ya pura2 terkejut dan tak mengetahui apa2. Barang bekalannya sederhana sekali, setelah pura2 memeriksanya sebentar ia mengatakan tiada kehilangan apa2.

Dengan bangga, si jaga malam menepuk dada. "Untung ada aku hingga si pencuri ketakutan lari !"

Habis itu ia minta persen pada Toan Khik-ya. Toan Khik ya memberinya sedikit uang dan kawanan jaga malam itupun lantas ngeloyor pergi.

Semalam itu Toan Khik-ya tak dapat tidur. Pikirannya selalu bertanya2 : "Ia mau kawin, kawin dengan siapa? Ah, sayang tadi aku tak keburu menanyakan keterangan. Itu kemauan Sik Ko atau ia sendiri yang menyetujuinya ?.....Ai, karena ia toh bakal menjadi pergantin, apakah aku masih perlu menjumpainya untuk menceritakan tentang tusuk kundai pusaka ini? Ayahku dan ayahnya, semasa masih hidup sama mengikat persaudaraan, sekali pun tidak dikarenakan urusan perjodohan itu, aku harus datang kepadanya dan memberitahukan asal-usulnya.... Ya, benar dalam pertemuan nanti untuk sementara takkan kukemukakan perjodohan itu."

Demikian setelah mendapat keputusan, dapatlah Toan Khik-ya meramkan mata beberapa jenak. Tapi hanya beberapa saat saja, haripun sudah mulai terang tanah. Ia berkemas dan meneruskan perjalanannya ke Lo ciu lagi. Berjalan tak berapa lama, tiba2 didengarnya disebelah muka ada sorak-sorai gegap gempita. Buru2 ia cepatkan langkahnya. Setelah membiluk disebuah tikungan gunung, dilihatnya dijalanan ada dua rombongan orang tengah bertempur. Dari corak pakaiannya, partai yang satu terdiri dari tentara negeri dan partai lawan adalah kawanan begal. Dibelakang mereka tampak ber-jajar2 belasan buah kereta. Para kusirnya sama angkat tangan keatas pertanda menyerah. Turut peraturan golongan Hek-to yaitu kaum bandit, apabila tiada perlawanan maka pemilik dari barang2 yang akan dirampasnya itu, tidak boleh dibunuh.

Dari dalam hutan pohon siong, makin banyaklah kawanan penyamun yang keluar. Karena kalah banyak jumlahnya, lama kelamaan pihak tentara negeri menjadi keteter. Saat itu kawanan penyamun sudah siap hendak membawa pergi kereta barang itu.

"Sungguh banyak dan brutal (kurang ajar) sekali kawanan penyamun itu. Masakan disiang hari bolong mereka berani merampok. Hem, jika kereta2 itu terampas mereka, bukankah pasukan yang menunggu rangsum itu akan mati kelaparan?" pikir Toan Khik-ya. Ia duga belasan kereta itu memuat bekal rangsum.

Ketika berumur sepuluh tahun, Toan Khik ya pernah ikut ayahnya membantu perjuangan Thay-siu (setingkat Gubernur) Thio Sun menjaga kota Sui-yang. Dengan mata kepala sendiri kala itu la saksikan bagaimana ngenasnya kawanan serdadu yang kehabisan rangsum. Kesan itu sampai sekarang tak pernah ia lupakan.

"Akupun tak mau membunuh kawanan itu, asal kuhalau pergi, cukuplah!" pikirnya.

Setelah mengambil keputusan, ia lari menghampiri mereka dan berseru lantang: "Hai, tengah hari bolong mengapa kalian berani merampas barang orang. Ayoh lekas enyah dan sini!" Kawanan penyamun itu tertawa keras. Mereka tak mengacuh sama sekali pada seorang bocah seperti Khik-ya.

"Hai, kacung yang masih ingusan apa kau mau ikut2an cari perkara?" bentak mereka dengan serempak. "Lekas pulang minta tetek ibumu saja, awas golokku tak bermata, tahu!"

Kepala penyamun rupanya cukup berpengalaman. Melihat gerakan Toan Khik-ya yang gesit tadi, ia terperanjat.

"Hati2 bocah itu tak boleh dipandang enteng!" serunya segera.

Belum habis dia memperingatkan kawan2-nya, Toan Khik- ya sudah menerjang kedalam gelanggang. Tanpa membalas ejekan mereka Toan Khik-ya mencabut pedang tinggalan mendiang ayahnya, terus dibolang-balingkan kian kemari. Tring terdengar beberapa kali suara gemerincing. Kejut sikepala penyamun bukan kepalang. Golok, pedang, tombak, sama berhamburan kutung ditanah demi terbentur pedang Toan Khik-ya,

Mendadak pemimpin penyamun itu timpukan berdering rantai Liu-sing-jauinya untuk menghantam po-kiam Toan Khik- ya, Namun sempat Khik-ya menghindar dan secepat kilat disambarnya bandul banderingan itu terus disambitkan kembali, Trang, tepat sekali bandul itu menghantam bandul yang kedua. Suaranya berderang memecah telinga. Kedua bandul besi melayang. Cepat Khik-ya menyambuti yang sebuah lagi dengan tangannya kiri, kemudian diiringi dengan gerakan pedang ditangan kanan ia menari2 lagi. Tring, tring kembali beberapa batang tombak dan golok lawan tergempur kutung!

"Jika kalian tetap tak mau enyah, jangan salahkan kalau aku melukai orang, Po kiam-ku ini juga tak bermata, awaslah lebih baik kalian lekas menyingkir saja!" untuk yang kedua kalinya Khik-ya memberi peringatan. Kepala penyamun itu menahan napas, serunya dengan nyaring.

"Baik, terima kasih atas kebaikan saudara. Selama gunung masih menghijau, lain kali kami akan minta pengajaran lagi padamu!"

Dan sekali memberi komando, kawanan penyamun itu berbondong2 pergi. Datangnya cepat. perginyapun lekas, persis gelombang laut yang pasang surut, Sebentar saja mereka sudah lenyap dari pemandangan.

Opsir pasukan tentara bergegas2 lantas datang menghaturkan terima kasih kepada Toan Khik-ya.

"Ah, untuk urusan kecil itu tak usah begitu sungkan," sahut Khik-ya sembari hendak berlalu.

"Siauenghiong (kesatria cilik), kau sudah membuat pahala besar, apa tak berminat mendapat hadiah dan pangkat?" buru2 opsir itu berseru.

Acuh tak acuh Khik-ya menjawab : "Aku masih kecil, tak inginkan pangkat. Aku pun tak kekurangan uang, tak butuh hadiah apa2, Nah, selamat tinggal!"

Opsir itu tercengang, sesaat kemudian ia acungkan jempolnya berseru memuji : "Inilah kesatria sejati ! Ai, Siauenghiong tunggu dulu, aku belum menanyakan namamu yang mulia dan kemana tujuaumu!"

Dengan acuh tak acuh Khik-ya memberitahukan namanya dan hendak menuju ke Lociu.

Opsir itu tertawa gelak2 : "Kamipun kebetulan hendak menuju ke Lociu juga. Kita sama seperjalanan. Ha, ha, Toan- siau-hiap, tahukah kau untuk apa kami pergi ke Lo-ciu ini ?"

Dalam saat ini, kawanan serdadu sudah mengangkat benderanya yang jatuh tadi. Disitu tersulam huruf : "Gui-pok- ciat tok-su Tian". "Mana aku tahu ?" sahut Khik-ya dengan tertawa.

Menunjuk kearah bendera, berkatalah opsir itu : "Berkata dengan sejujurnya, kami ini di titahkan Gui-pok ciat-tok-su Tian tayciangkun untuk mengirim bingkisan ke Lo-ciu. Tian-tay ciangkun itu dahulu adalah bekas Hou-kun-thong Teng (panglima) dari An Lok-san. Dia dengan Sik Ko, sama2 menjadi panglima sebawahan dari An Lok-san. Keduanya akrab sekali hubungannya. Setelah Sik Ko menakluk pada kerajaan Tong, tak lama kemudian Tian-tay ciangkunpun menyusul tindakannya. Kini mereka berdua sama menjabat sebagai Ciat-tok su. Sekalipun daerah kekuasaannya lebih kecil dari Sik Ko, tapi beliau terus membentuk pasukannya dan memperkuat perlengkapannya. Dalam hal kekuatan tentara, kini ia lebih kuat dari Sik Ko"

Pula Khik-ya tergetar hatinya, "Oh... jadi kalian ini hendak mengantar Lap-jay (bingkisan emas kawin) ke Lo-ciu? Apakah kedua keluarga itu hendak mengikat pernikahan ?"

"Benar, Tian-tay ciangkun hendak menikahkan puteranya yang sulung. Yang menerima bingkisan perkawinan itu, ialah puteri dari Sik ciat toksu. Mereka akan melangsungkan pernikahan pada nanti bulan muka tanggal lima belas. Keduanya sahabat karib dan sama2 menjabat pangkat tinggi, sudah tentu barang2 bingkisannya berharga mahal. Jika pembesar tinggi mempunyai hajat kerja, kami kaum bawahannya inilah yang lari pontang panting."

"Dalam perjalanan, sudah dua kali kami berantam dengan kaum penyamun," kata opsir itu pula, "Sungguh tak nyana gerombolan penyamun yang tadi begitu lihaynya. Untung mendapat bantuanmu hingga barang bingkisan itu dapat diselamatkan. Jika tidak dapat diselamatkan.....aaah, mungkin batang kepala kami sudah menggelinding! Toan-siau hiap, terangkah kau sekarang, betapa besar pahalamu terhadap Ciat-tok-su kami itu? Ha, ha, jika kau kepingin kaya-raya, pangkat apa dan hadiah yang bagaimana, asal kau membuka mulut Tayciangkun tentu akan meluluskan!"

"Oho, begitulah kiranya! Semula kukira kalian ini mengawal rangsum!" kata Khik-ya,

Tertawa opsir itu: "Barang ini lebih penting dari rangsum.

Karena kita sama2 bertujuan ke Lo-ciu, itulah bagus sekali."

Diam2 Khik ya geli, pikirnya. "Sudah tentu kamu mengatakan bagus karena dapat menggunakan aku sebagai tukang kawal dengan gratis. Huh, aku sendiri yang sial, masakah di suruh orang mengantar bingkisan untuk isteriku!"

Tanpa menunggu penyahutan Toan Khik-ya lagi, opsir itu segera suruh orangnya menyediakan kuda untuk anak muda itu. Sementara nu Toan-khik-ya baru mengetahui bahwa kereta barang itu semua berjumlah dua belas buah.

"Hm, berapa banyak darah dan keringat rakyat yang diperas untul membeli barang2 ini? Jika dibelilan rangsum, entah cukup untuk memelihara berapa puluh ribu serdadu!" pikir Khik-ya,

Dalam perjalanan itu tak henti2nya pikiran Khik-ya melayang. Se-konyong2 terdengar suara mendesing, dua batang anak panah yang dilengkapi dengan suitan, melayang keluar dari dalam hutan. Karena ada Toan Khik-ya, nyali opsir itu jadi besar. Segera ia keluarkan perintah untuk menyusun barisan guna menghadapi musuh.

Segerombolan penyamun berkuda segera menerobos keluar dari hutan. Pemimpinnya berwajah putih licin, seorang dari pertengahan umur yang bergaya seperti sastrawan.

Melihat jumlah mereka tak banyak, opsir itu makin congkak. Ia segera menganjurkan Toan Khik-ya: "Hm, kawanan manusia yang ingin cari mampus itu datang lagi. Toan-siauhiap, kali ini sebaiknya kau jangan beri ampun lagi. Paling tidak kau harus basmi benggolan2 nya!" Tanpa disadari, Khik-ya keprak kudanya maju menyongsong. Menatap sejenak pada anak muda itu, sikepala penyamum berseru: "Apakah, kau tadi yang jual jasa pada kawanan budak itu?"

"Urusan tadi hanya secara kebetulan saja berjumpa. Kata2 jual jasa itu sungguh tak tepat, tolong tanya apa maksud kedatangan sicu ini?" sahut Toan Khik-ya.

"Oh begitu! Tapi tahukah kau barang apa yang mereka bawa itu?" tanya sikepala penyamun pula.

"Barang bingkisan emas kawin dari Cui-pok ciat-tok-su Tian Sengsu untuk Sik lo di Lo ciu," jawab Khik-ya.

"Tepat, tok sudah tahu mengapa kau masih sudi jual jiwa pada Tian Seng-su? Harta benda yang tidak halal ini, setiap orang berhak mengambilnya. Mereka adalah kawanan budak dari tian Seng-su. karena mendapat tugas dan ingin kenaikan pangkat, jadi terpaksa mereka melakukan tugas itu. Tapi kau kepandaianmu cukup tinggi, tentunya seorang Enghiong muda, masakan tak mau menghargakan diri dan sudi menjadi budak pembesar bejat?"

Toan Khik-ya terkesiap mendengar teguran kepala penyamun yang tajam itu. Dilihatnya dibelakang kepala penyamun itu berkibar selembar bendera besar yang bersulam gambar seekor ayam jago yang tengah menengadahkan kepalanya dengan gagahnya. Tergerak hati Toan Khik-ya.

"Apakah kalian ini rombongan Hohan (orang gagah) dari gunung Kim-ke-nia? Tolong tanya, bagaimana kabarnya dengan Shin-cecu? Dan bagaimana pula dengan Thiat-tayhiap Thiat-mo-lek, kenalkah kau?" tanyanya.

Kepala penyamun itu berjangkit kaget, serunya: "Siapa kau? Ai, dari mana kau peroleh pedangmu itu?" Kiranya ia dapat mengenali pedang pusaka yang dahulu dipakai oleh mendiang ayah Toan Khik-ya, Toan Kui-ciang. "Po-kiam ini adalah warisan dari ayahku!" sahut Khik-ya.

Kepala penyamun itu makin terperanjat, serunya: "Jadi kau ini, kau. "

"Benar, aku adalah putera ayahku. Tak nanti aku mencemarkan nama ayahku, jangan kuatir. Tolong tanya siapakah namamu, Cecu?" kata Khik-ya.

"Berjalan, tak merobah nama, duduk tak mengganti she, Kim-Kiam-ceng-long To Peh-ing, ialah aku ini. Dahulu mendiang ayahmu itu seperti saudara sekandung dengan aku!"

"Hai, kiranya To siok-siok, terimalah hormat Siautit ini," Khik-ya sembari memberi hormat..

Mendengar percakapan itu, keruan semangat opsir tadi serasa terbang dibuatnya, buru2 ia berseru: "Toan-siauhiap, tolong mintakan kelonggaran bagi kami."

To Peh ing buru2 mencegah Toan Khik ya jangan berlaku begitu sungkan, kemudian ia bertanya: "Bagaimana Hiantit hendak menyelesaikan urusan ini?"

"Harap siok-siok menanti disamping saja, biarlah siautit mewakili untuk menyelesaikan,"

Khik-ya yang terus berpaling kebelakang. Menuding dengan pokiamnya, ia berkata kepada si opsir: "Tian Seng-su memeras keringat rakyat untuk membeli barang bingkisan perkawinan ini, kurasa kalian tak layak menjual jiwa padanya. Apa yang dikatakan To siok-siokku tadi memang tepat. Harta benda yang tidak halal, setiap orang boleh mengambilnya. Nah sekarang turunkan barang2 itu!"

Opsir itu gemetar dan berkata dengan tergagap2 "Toan siauhiap ini, ini. "

"Tak usah takut turunkan barang-barang itulah. Telah kumintakan kelonggaran, tak nanti jiwa kalian diganggu. To siok siok, orang orang ini hanya melakukan kewajiban saja, harap kau luluskan permintaanku."

"Baik, dengan memandang muka Hiantit, aku takkan mengganggu mereka. Hai, mengapa kalian tak mau menerima pengampunan ini, apa masih mau berkelahi? Mengapa tak mau menyingkir?" seru To Peh ing.

Opsir dan kawanan serdadu itu sudah menyaksikan kelihayan Toan Khik ya. Apalagi seorang tokoh macam Kim Kiam Ceng Long To Peh ing yang namanya tenar didunia persilatan. Sudah tentu mereka merasa gentar.

"Hohan meskipun sudah mengampuni jiwa kami, tapi dengan kehilangan barang antaran itu, masakan nanti sepulangnya dirumah kami masih bisa diberi hidup lagi?" kata opsir dengan kuatir.

"Kalian tak perlu kuatir. Setelah kusuruh kalian turunkan barang2 antaran itu, sudah tentu akulah yang bertanggung jawab. Jika Tian Seng-su berani melakukan pengejaran, akan kusuruh ia menjadi setan tanpa kepala!" kata Toan Khik-ya.

Kemudian ia berpaling kepada To Peh-ing. "Menjadi orang jangan kepalang tanggung mengantar Buddha harus sampai di Se thian, To sioksiok, aku hendak mohon pinjam beberapa perak padamu untuk beramal?"

To Peh-ing tertawa: "Ini juga miliknya Tian Seng-su, Hiantit boleh pakai sesukamu."

Ia suruh anak buahnya untuk memeriksa kereta2 itu, Benar juga isinya penuh dengan emas intan yang bernilai. Toan Khik ya mengambil sepuluh 'kong' perak, ditumpah ditanah. Pada jaman ahala long-tiau uang kas negara itu dijadikan semacam bentuk "goan-po" lalu dimasukan kedalam kong (goci). Agar mudah di simpan dan dibawa ke-mana2. Kong dibuat dari kayu yang kedua ujungnya berlubang. Sebelah diisi dengan 50 buah goan-po, setiap buah berat 10 tail perak, lalu kedua ujungnya ditutup. Dan jadilah sebuah kong. "Itu lihatlah, semua kong ada capnya. Nyata Tian Seng-su menggunakan uang negara untuk keperluannya sendiri, pakai uang negara untuk hadiah pernikahan." kata To Peh-ing.

Khik-ya suruh seorang anak buah To Peh ing membuka kong itu, katanya: "Kau bakal di lepas dari pekerjaan, berarti mangkuk nasi-mu akan hancur. Hal itu memang pantas di sesalkan, Tadi telah kuhitung, kalian anak tentara ini semua berjumlah seratus orang. Nah, baik golongan opsir maupun serdadu biasa, masing boleh mengambil lima goan-po. Dengan uang itu rasanya cukup untuk modal kecil2an. Hal itu rasanya lebih berbahagia daripada hidup dibawah tindasan Tian Seng su!"

Sekalian serdadu bergurang. pun kawanan opsirnya diam2 menimbang: "Untuk melawan lawan, tak mungkinlah, mau tak mau kita harus tunduk juga. Dapat menyelamatkan jiwa itu sudah baik. Apakah omongan anak muda itu dapat dipercaya bahwa Tian Seng su tak akan mengusutbya, itu urusan besok!"

Begitulah kawanan serdadu itu setelah menerima uang, lalu menghaturkan terima kasih dan pergi, Melihat penyelesaian itu. To Peh-ing tertawa puas: "Hiantit masih muda, tapi dapat bekerja dengan bagus dan bertindak secara bijaksana, membuat orang kagum!"

"Ah, Jangan sioksiok memperoleh begitu. Tapi karena limbung, siautit telah keliru mengira bingkisan Tian Sengsu sebagai ransum. Aku sungguh menyesal sekali karena telah menyalahi sahabat2 dari Lok lim," kata Khik ya.

"Yang menghadang tadi ialah anak buah dari Im ma joan Tian Ma cu. Biar nanti kukirimkan satu bagian kepadanya sekalian menjelaskan salah faham ini. Kau tak perlu cemas!" ujar To Peh ing. Toan Khik ya memberi salam pada sekalian thau-bak dari kim-ke nya, setelah itu ia menanyakan perihal Thiat mo lek lagi,

"Ada sebuah kabar girang bagimu, hiantit, Tiat mo  lek bakal menjadi Bengcu (ketua) dari kaum Lok lim (penyamun)," kata Peh ing..

"Benarkah? Ai, ya teringat sekarang aku. Suhengku pernah mengatakan! ia akan menyerahkan cap dan surat tanda Lok lim bengcu peninggalan dari Ong Peh thong padanya. Rasanya suheng tentu sudah mengerjakan hal itu," kata Toan Khik ya.

Kini barulah Peh ing tahu bahwa anak muda itu adalah Sute dari Gong Gong ji. Diam2 ia membatin, itulah sebabnya maka Toan Khik-ya begitu lihaynya.

"Cap dan surat pertandaan itu sudah diterima oleh Thiat mo lek. Tapi disamping tu Gong Gong-jipun menyampaikan juga sebuah pesan dari almarhum ayahmu. Adalah karena itu maka Thiat-mo-lek menjadi ragu2 untuk menerima jabatan Beng-cu. Tapi karena keadaan memaksa, jadi terpaksa ia menerimanya juga," demikian Peh-ing menerangkan,

"Mengapa?" tanya Khik-ya,

"Marhum ayahmu menyampaikan pesan, bahwa jabatan Bengcu itu tidak berarti. Sebenarnya Thiat mo lekpun menurut, karena ia sudah tak mau cari permusuhan lagi dikalangan Lok lim. Tapi kenyataan setelah ia menolak jabatan itu banyaklah orang yang menginginkannya. Dalam beberapa tahun ini, karena hendak memperebutkan kedudukan Beng cu, banyak tokoh2 Lok lim yang saling gesak gesukan. disamping itu Thiat mo lek selalu diganggu oleh orang orang yang hendak meminta cap dan surat mandat itu. Sudah tentu ia tak mentah2 menyerahkan pada sembarangan orang. Disebabkan hal itu, ia tak dapat menghindari lagi tantangan2 mereka, ah, sungguh runyam. Seorang bawahan dari ayah angkatnya, segera menganjurkan supaya ia terima saja kedudukan Beng cu itu, beberapa kali ia mengadakan perundingan dengan kami, akhirnya setelah kami desak, ia terpaksa suka menerima kedudukan itu," demikian panjang lebar Peh ing menutur.

"Atas dasar apa kalian memaksa padanya ?" tanya Toan Khik-ya,

To Peh-ing menghela napas, ujarnya : "Mungkin Hiantit tidak mengetahui. Soalnya terletak pada waktu yang makin berlarut2, Kala itu aku dan almarhum ayahmu mengira setelah pemberontakan An Su ( An Loksan Su Si hing ) padam, negara tentu aman. Siapa tahu pembesar2 daerah telah meminta status otonom. Setiap Ciat-tok su memperoleh bagian sebuah daerah kekuasaan. Mereka bertindak seolah2 raja kecil ( war lord ) didaerahnya. Keadaan rakyat di-daerah2 lebih payah dari semula. Karena penderitaannya, rakyat sekalian dipaksa menjadi penyamun. Dari hari kehari, jugalah mereka bertambah banyak. Kami berpendapat, daripada kedudukan Beng-cu jatuh ketangan seorang penjahat, lebih baik Thiat mo-lek saja yang menjabatnya, Setelah bulat sepakat, kami minta Shin ce cu yang keluar untuk mengundang para orang gagah dari segala aliran didunia Lok lim untuk menghadiri permusyaratan besar yang diadakan pada nanti hari Peh cun digurung Kim kesan. Pada hari itulah nanti kami dengan resmi akan memilih Thiat mo lek menjadi Lok lim bengcu."

"Hari ini baru tanggal 8 bulan 2, jadi masih ada waktu tiga bulan lagi. Mungkin aku dapat menghadiri keramaian itu" kata Khik-ya.

"He, jadi sekarang Hiantit tidak ikut kami naik ke Kim-ke- san ?" tanya Peh-ing.

"Maaf, aku masih ada sedikit urusan yang belum selesai. Nanti saja apabila urusan itu sudah beres, aku tentu akan datang menjenguk sekalian paman," kata Khik-ya.

"Oh, ya, tadi kau sudah berjanji pada kawanan opsir untuk memperingatkan Tian Seng-su supaya jangan mengganggu mereka. Ya memang Hiantit harus pergi ke Lo-ciu dulu, tapi urusan itu kan mudah, mengapa perlu memakan  waktu sampai hari Peh cun ?"

Khik-ya menerangkan, bahwa selain itu memang ia masih ada lain urusan lagi hendak menjenguk seorang sahabatnya di Lok-ciu, Ia berjanji akan berusaha sedapat mungkin untuk menghadiri rapat besar di Kim ke-san nanti.

"Baik kalau begitu", kata Peh-ing "Jika nanti tiba di Lok-ciu, tolong Hiantit cari berita bilamana Sik Ko hendak mengirimkan barang-barang bingkisan kawin itu. Biar kita nanti menggasaknya lagi. Di Lok-ciu kamipun mempunyai orang. Hiantit boleh mencari orang itu. Begitu sudah mendapat berita, Hiantit boleh suruh dia menyampaikan pada kami!"

Habis berkata, Peh-ing menyerahkan sebuah alamat pada Khik-ya dan memberitahukan tentang kode pengenal. Ternyata informant ( co lok ) Kim-kesan yang ditempatkan di Lok-cu itu bernama Tio Peh-liong. Sebenarnya ia adalah Hu- pangcu (wakil ketua) dari kaum Kay pang di Lok-ciu.

Begitulah Toan Khik-ya segera ambil selamat berpisah dengan rombongan To Peh ing, lalu bergegas2 menuju ke Lok ciu. Setibanya dikota itu ia langsung menuju ketempat Tio Peh liong dan tinggal disitu.

Tio Peh liong lama tinggal dikota Lok-ciu. Sehari suntuk ia ajak Khik-ya putar kayuh di dalam kota serta meninjau letak tempat kediaman Ciat-tok su Sik Ko. Besok malamnya Toan Khik-ya berganti pakaian ya-heng-ih (pakaian ringkas peranti berjalanan malam ), lalu menuju kegedung Ciat-tok-su. Sudah tentu kepada To Peh-liong ia hanya mengatakan hendak menyirapi berita tentang pengiriman bingkisan kawin Sik Ko dan tak mau menerangkan kalau sekalian hendak menyelidiki keadaan tunangannya.

Tepat dikala Toan Khik-ya masuk kedalam gedung Ciat-tok- su, kala itu Sik Ko tengah bertengkar mulut dengan isterinya dalam kamar rahasia. Pertengkaran itu mengenai utusan perkawinan puteri mereka.

Isteri Sik Ko itu, telah menerima pesan terakhir dari mendiang ibu Hong-Sian, sewaktu ibu kandung nona itu hendak menutup mata. Ibu Heng-sian itu telah memberikan dua pesan: pertama supaya mengasuh puterinya dengan baik: kedua supaya Hong-sian itu dijodohkan pada putera keluarga Toan yang semenjak kecil sudah ditunangkan.

Sebenarnya Sik-hujin (isteri Sik Ko) beberapa kali bermaksud hendak memberitahukan Hong sian tentang asal usulnya tapi dikarenakan takut kepada sang suami jadi hal itu tetap masih disimpan dalam hatinya saja. Tapi kini urusan sudah memuncak, kabarnya Tian Seng su sudah suruh orang2nya mengirim bingkisan. Karena cemas dan gelisah, nyonya itu menjadi nekat. Ia ajak suaminya bercekcok.

"Semenjak lahir ayah bunda Hong-sian sudah menetapkan perjodohannya dengan putera Toan Kui-ciang. Kini mengapa kau hendak menikahkan pada lain orang?" Demikian Sik-hujin menegur suaminya.

"Orang tua Hong sian kan sudah menutup mata, pun Toan Kui ciang juga sudah gugur dalam peperangan. Jika kau tak bilang siapa yang tahu perjodohan Hong-sian dengan keluarga Toan itu?" sahut Sik-Ko.

Sik-hu jin membantah: "Jadi orang harus mempunyai liang- sim (nurani), Tempo dulu Toan Kui-ciang pernah menolong seisi rumah keluargamu. sebaliknya kini aku hendak menyerahkan menantunya pada lain orang. Coba tanyalah pada perasaan hatimu sendiri! Dan lagi cobalah renungkan, Ayah Hong-sian. Su Ih-ji, adalah seorang Cen su (cendekia) yang termasyhur. Kala itu ia dicelakai oleh An Lok-san dan ditangkapnya. Sekalipun pada masa itu kau dan Thian Seng-su hanya melakukan tugas sebagai orang bawahan An Lok-san, tapi perbuatanmu itu sungguh menyakiti keluarga Su!" "Diam!" bentak Sik Ko dengan gusarnya

"Apakah kau hendak menceritakan kejadian itu pada Hong- sian agar anak itu memusuhi aku?"

Kata Sik-hujin: "Mana aku mempunyai pikiran begitu. Aku hanya memikirkan..."

Lagi2 Sik Ko memutus omongan isterinya: "Sekalipun aku dianggap berdosa terhadap keluarga Su. tapi aku telah merawat anak isterinya dan sekarang mengusahakan supaya anaknya dapat jodoh yang baik, seorang turunan keluarga yang keadaannya seratus kali lebih baik diri keluarga Toan. Masakah arwah Su Ih ji takkan merasa berbahagia dialam baka?"

Sik Ko masih kuatir isterinya akan membocorkan rahasia itu. Maka ia segera berganti sikap bahasanya, dari main gertak menjadi ramah membujuk.

"Soalnya bukan begitulah," sanggah cik-hujin, "Lu hujin tinggal dirumah kita ini hanya sebagai mak inang (wanita yang memberikan air susunya). Sampai pada ajalnya, ia tetap tak dapat mengenalkan diri pada anaknya. Jika kita sampai mengingkari pesannya, ia tentu tak dapat mengaso dengan tenteram dialam baka. Ya, selain itu, dahulu ketika hendak membasmi An Lok san, semuanya ialah yang merencanakan, hingga anak buah An Lok-san berontak dan puteranya saling bunuh membunuh sendiri. Dalam hal mencapai pangkat Ciat tok-su yang kau peroleh sekarang ini. ia mempunyai andil juga. Suami isteri Toan itu melepaskan budi besar sekali kepada kita, sekarang adalah saatnya kau harus membalasnya. Turut pendapatku, batalkan saja pernikahan dengan keluarga Tian itu."

Muka Sik Ko sebentar merah sebentar pucat. Dengan kertak gigi ia menggeram: "Kau hanya tahu soal balas budi saja tapi tak mengenal akan soal lain yang teramat penting. Jika Hongsian tidak jadi dinikahkan dengan keluarga Toan, jiwakupun sukar diperhatikan!"

Sik hujin terentak kaget, serunya: "Masakah sampai begitu? Tian ciangkun adalah sahabat baikmu, masakah karena batal berbesan lantas membunuh kau? Dan kau toh bukan seorang panglima yang tak berdaya!"

"Huh, kau seorang wanita masakah mengerti urusan negara, Tian Seng-su itu mempunyai cita2 hendak mencaplok daerah Lok ciu. Sudah lama dia mengandung cita2 itu. Pada tahun2 belakangan ini dia terserang penyakit jat tok-hong, (demam panas). Setiap musim panas tiba tentu kambuh."

"Ia mempunyai penyakit jiat-tok hong apa hubungannya dengan urusan negara?" tukas Sik-hu jin.

"Ah. Hujin. kau tak tahukah," kata Sik Ko

"Karena tersiksa dengan penyakitnya itu ia lantas timbul ingatan hendak merampas daerah kita sini. Ada orang memberitahukan padaku ia sering bilang kepada orang!  bahwa daerah Gui ciu itu terlalu panas sekali, makanya ia bermaksud hendak pindah kewilayah Shoa tang yang lebih nyaman iklimnya, Shoa-tang adalah wilayah propinsi dan ibu kotanya ialah Lok-ciu kita ini."

"Ah, itu hanya suatu alasan belaka." kata Sik-hu jin.

"Benar, tapi dikarenakan ia mengandung cita cita begitu, tidak dengan alasan tadipun ia bisa cari alasan lain. Ya, telah kuselidiki betul2. Dalam beberapa tahun terakhir ini ia sudah mengumpulkan anak tentara sebanyak tiga ribu orang. Dengan pasukan yang diberi nama Gwe thok-kun itu ia  hendak menyerang kita!"

"Ha, makanya kau lantas serahkan Hong-sian, supaya ia jinak dan batalkan rencananya. Tapi kalau memangnya ia mempunyai nafsu jahat iiu, sekalipun sudah terikat famili, masakah ia tidak melaksanakannya?" tanya Sik-hu jin. "Kalau sudah menjadi famili, masakah ia tidak merasa rikuh? Dan lagi selama ini kita perlakukan Hong sian sebagai anak kandung sendiri, setelah menjadi anggauta keluarga Tian masakah ia takkan melindungi kita? Ia bukannya seorang gadis biasa "

"Ya, mengertilah aku," tukas Sik-hujin, "Kau mau jadikan Hong-Sian sebagai orangmu dalam keluarga Tian, makanya kau begitu ketakutan kalau aku sampai membocorkan rahasianya. Tentunya kau kuatir kalau ia tahu kau bukan ayah kandungnya lalu tak mau mati2an membelamu!"

"Memang begigu, tapi akupun tak mau seratus persen mengandalkan pada budak perempuan itu!" kata Sik Ko. "Disamping itu akupun bermaksud hendak mengikat pernikahan dengan Leng Ho ciang, Ciat-tok-su dari Hwat-ciu. Dengan pernikahan segitiga itu rasanya keamanan masing2 dapat terjamin. Sayang anak perempuan dari Leng Ho-ciang dan anak lelaki kita masih kecil, jadi urusan pernikahan ini harus menunggu dulu. Sekarang yang paling perlu, kita harus lekas menjadikan pernikahan Hong sian dengan keluarga Tian itu."

Sik hujin menghela napas, ujarnya: "Kini kau menjabat kedudukan sebagai pembesar tinggi, suatu peruntungan yang tak sembarang orang dapat menikmati, Tapi kenyataan, kau selalu hidup dalam kegelisahan, hari-hari kau lewatkan dengan penuh kekuatiran. Itu artinya percuma saja.  Turut pendapatku, lebih baik kau minta pensiun saja pulang kekampung halaman. Tian Seng-su mau mencaplok daerah shoa-rang atau tidak, biarkan sajalah. Pernikahan ini, tetap kita batalkan!"

"Pikiran wanita yang cupat!" teriak Sik Ko dengan marahnya, "Dengan susah payah kurebut kedudukan Ciat-tok- su ini, sekarang kau mau suruh aku lepaskan kedudukan ini untuk orang lain. Hm, hm, tanpa pangkat dan nama apa bisa mendapat kekayaan?" "Tapi bagaimana kau hendak mempertanggung jawabkan apnbila kelak putera Toan Kui-ciang bertanya padamu? Ingat, Toan Kui-ciang pun pernah melepas budi besar kepadamu. Dan urusan ini lambat atau laun tentu tak dapat mengelabui Hong-sian. biarpun aku tak bilang, kelak jika putera Toan Kui- ciang datang kemari, dia tentu akan mengatakannya juga. Dan bila Hong-sian sudah mengetahui, ia tentu akan mengutuk kau!!"

Air muka Sik Ko menjadi gelap, hawa pembunuhan merangsangnya. Dengan keras ia berseru: "Jika bocah dari keluarga Toan itu berani datang kemari menanyakan hal itu, tentu akan kubunuhnya!"

Kejut Sik-hujin bukan kepalang, serunya: "Ciangkun itu melanggar perikemanusiaan! Apa yang kulakukan ini barulah benar2 memikirkan kepentingan anak kita!"

"Persetan dengan perikemanusiaan segala!" sahut Sik Ko dengan gusar. "Aku berbuat demi kepentingan anak kita!"

"Kau hendak bunuh bakal suaminya, apakah hal itu kau anggap memikirkan kepentingan anak?" sahut Sik-hujin.

Sik Ko teitawa ejeknya: "Kau hanya memandang Toan Kui- ciang itu seorang baik? kau tak meneliti bagaimana asal keturunannya?"

"Semasa hidupnya orang2 menyebutnya sebagai Toan- tayhiap!" kata Sik-hujin.

"Berapakah harganya sebutan Tayhiap itu perkatanya?" Sik Ko megejek. "Tayhiap atau Siauhiap hanya merek kosong yang diberikan oleh orang persilatan saja. Paling2 mereka itu hanyalah bangsa manusia yang bergelandangan didunia persilatan!"

"Jangan kau memandang begitu rendah pada Toan- tayhiap. Taruh kata kau lupa akan budinya, tapi kau seharusnya ingat bahwa ia pernah membantu Tio Sun mempertahankan kota Sui-yang, jadi ia seorang yang berjasa kepada negara!" nyonya itu tetap tak mau kalah bicara.

Sik Ko tertawa, katanya: "Ai, Hujin mengapa kau begitu kolot? Dalam jaman kacau begini, siapa yang dapat merebut nama dan kekayaan, itulah yang disebut orang gagu. Apa itu segala macam teori kosong tentang 'tiong-gi' (kesetiaan dan kebajikan)? Apa sih yang dikata kejujuran? Tio Sun seorang pembesar yang setia, tapi buktinya sampai sekarang ia tak lebih hanya menjabat sebagai Thay-siu dari kota Sui-yang saja. Sejak menakluk pada kerajaan Tong, aku belum pernah menghadapi pertempuran besar, tapi aku tahu apa yang harus ku perbuat. Kuperjuangkan daerah kekuasaan, kukumpulkan anak buah tentaraku, hasilnya kini aku dapat menjabat sebagai Ciat-tok-su!"

Untuk sesaat Sik- hujin tak dapat menjawab, dengan berseri girang Sik Ko lanjutkan ocehanannya: "Anggap sajalah Toan Kui-ciang itu benar seorang Tayhiap yang gagah dan setia kepada negara, ya, tetapi bagaimana seorang Tayhiap dapat menandingi kedudukan Tian Seng-su sebagai Ciat-tok- su itu? Apalagi Toan Kui-ciang itu toh sudah meninggal. jangan2 puteranya yang tiada beribu bapa itu sudah jadi seorang gelandangan! Hm, hm, kita tidak menjodohkan puteri kita dengan putera seorang Ciat-tok-su, masakah kita malah memberikannya kepada seorang bocah gelandangan! Hm, hm, jika ia berani datang kemari, ya demi untuk kepetingan anak kita, terpaksa kubunuh dia nanti!"

Karena dirangsang oleh kemarahan tapi takut, sesaat Sik hujin tak dapat membantah kata-kata suaminya itu. Ia hanya menggerutu panjang pendek: "Ai Ciangkun, karena matamu silau pada harta kekayaan dan gila pangkat, lalu kau menghina pada orang. Tapi kurasa sifat anak kita itu tak seperti perangaimu!"

Mendadak Sik Ko tertawa gelak2, katanya kemudian. "Sampai saat ini ia tetap menganggap aku sebagai ayahnya sendiri. Apa yang ku perintahkan, ia turut. Apa kau katakan ia tak berperangai seperti aku? Jika tak percaya, biarlah sekarang kupanggilnya kemari, biar kusuruh ia mencaci-maki Toan Kui-ciang agar kau dapat mendengarnya!"

Begitulah Sik Ko bergirang bukan kepalang karena merasa dapat menundukkan sang isteri. Sudah tentu ia tak duga sama sekali, bahwa yang dimakinya sebagai bocah gelandangan putera Toan Kui-ciang yang bernama Toan Khik ya itu, sebenarnya pada saat itu berada diluar jendela kamarnya.

Tapi Toan Khik ya pun tak mendengar seluruh percakapan suami isteri itu. Ia agak terlambat datangnya, jadi  hanya dapat mendengar sebagian, yakni ketika Sik Ko memaki kalang kabut pada mendiang ayahnya. Tapi hal itu cukup membuat Toan Khik-ya naik pitam, hampir saja ia menerjang masuk, tapi syukur pikiran jernih dapat menguasai dirinya: "Tak ada gunanya juga kubunuh dia. Mengingat ia adalah ayah angkat Su Yak bwe, untuk sementara ini biarlah kuampuni jiwanya, coba saja bagaimana ia nanti dikemudian hari. Memang sudah lazimlah kalau kaum pembesar negeri itu tentu korup dan mementingkan diri sendiri mana aku dapat membunuh mereka yang berjumlah begitu banyak?"

"Semasa hidupnya mendiang ayahku juga tak suka mendendam. Dengan segala lapang hati beliau telah menolong keluarga Sik Ko. Aku hendak meneladani kepribadian ayah itu, tak bolehlah aku berlaku sempit dada !"

Memikir sampai disini, redalah kemarahan Toan Khik-ya. Tapi pada lain saat ia menimang pula : "Tadi ia katakan kalau Yak-bwe itu perangainya serupa dengan dia. benarkah ini. Ai, celaka, siapa yang dekat gincu tentu merah, yang dekat tinta tentu menjadi hitam. Diasuh oleh seorang ayah begitu macam mungkin Yak bwe akan memandang rendah padaku seorang bocah gelandangan ini! Memang benarlah ia sekarang adalah puteri dari seorang Ciat tok-cu. Untuk menjaga kehormatan, sudah selayaknya kalau menikah dengan putera seorang Ciat- tok su juga!"

Tiba pada dugaan semacam itu, perasaan Toan Khik-ya makin bertambah satu beban kegelisahan.

"Dengan susah payah kudatang kemari untuk mencarinya. Jika ia sampai memicingkan mata, menjebikan bibir, memandang sebelah mata padaku dan mendamperat aku dengan getas, bukankah diriku ini seperti dibanting kedalam jurang kehinaan!"

Pikiran anak muda itu makin melayang jauh. Ia membayangkan bagaimana tunangannya itu tiba2 muncul dihadapannya dengan tingkah laku yang congkak sembari bercekak pinggang, gadis itu memakinya : "Hah, bocah gelandangan dari mana ? Mengapa berani mati merangkai cerita kalau aku ini tunangannya sejak kecil ini ? Hm, masakan bocah gelandangan seperti macammu itu layak menjadi suamiku?"

Tiba2 lamunan Toan Khik-ya itu tersentak buyar oleh seruan Sik-hu-jin yang mamanggil Hong-sian.

"Bagus, lebih baik kuikuti budak itu ke-tempat Yak-bwe. Bagaimana keadaannya ? Hm, jika benar karena salah asuhan dan kini ia mewarisi perangai jahat seperti Sik Ko. maka akupun tak akan menghiraukannya lagi. Ia lebih baik begini !" pikir Khik-ya.

Benar ilmu Gin-kangnya belum memadai. Suhengnya yang dapat muncul lenyap seperti bayangan saja, namun iapun sudah dapat mencapai tingkatan cepat laksana angin. Demikian diam2 ia menguntit budak perempuan itu, siapa sudah tentu tak merasa dikuntit.

Disebuah kamar yang indah, berhentilah budak itu. Didalam kamar itu memancarkan sinar penerangan. Pada kain jendela, tampaklah sesosok bayangan dari seorang gadis. Hati Toan Khik-ya menjadi dak-dik-duk, berdebar2 tak keruan. Untuk pertama kali itulah ia bakal melihat wajah sang tunangan.

Dengan gunakan Gin-kang, Khik ya berindap-indap melesat kebelakang jendela dan bersembunyi didalam semak2 pohon. Ia menginap dicelah kain gordin jendela yang setengah tersingkap itu dan, duhai, matanya segera tertumbuk pada seorang nona yang amat cantik dalam pakaiannya yaug serba menyedapkan. Tapi yang mengherankan, wajah nona jelita suram muram seperti tertutup oleh awan kedukaan. Tangan nona itu sedang menggenggam sebuah tusuk kundai kemala yang bentuknya serupa benar dengan kepunyaannya.

Jantung Toan Khik-ya mendebar keras, pikirnya: "Mengapa ia menghadapi tusuk koa dai kumala itu dengan merenung? Apakah ia sudah mengetahui tentang riwayat tusuk kundai itu?"

Saat itu terdengar mulut sijelita berkata seorang diri: "Ai, aneh, mengapa mamah suruh aku mengeluarkan tusuk kundai ini dan selanjutnya suruh aku memakainya terus, tak boleh ditanggalkan lagi? Dan mengapa ia mengucurkan air mata dihadapan tusuk kundai ini? Apakah ia tetap terkenang akan Lu-ma? Ya memang Lu-ma selalu meninggalkan kesan pada kita, bukanlah ia hanya seorang mak-inang saja? Kenapa mamah memandang tinggi pada barang peninggalan Lu-ma?"

Walaupun kata2nya itu diucapkan dengan pelahan. namun dapatlah Toan Khik-ya mendengarnya dengan jelas. "Oh, kiranya benar seorang nona angkuh dan suka memandang rendah pada lain orang", demikian pikirnya.

Sudah tentu apa yang dinilai Toan Khik-ya itu hanya apa yang dilihatnya saja. Padahal Hong-sian itu memperlakukan anak inangnya itu sebagai ibunya, walaupun ia tak tahu  bahwa sebenarnya memang wanita itu adalah ibu-kandungnya sendiri.

Tiba2 pintu kamar diketuk oleh bujang perempuan tadi. "Apakah itu Jun-bwe? Mengapa malam? datang kemari?" tegur si nona.

Sambil melangkah masuk, budak itu berkata: "Nona, kau ini benar2 seorang yang menghargai kecintaan, Lu-ma sudah meninggal beberapa tahun, tapi kau masih mengenangkannya. Apakah kau sedih melihat tusuk-kundai peninggalannya itu? Ah, sudahlah, baik nona jangan bersedih aku membawa kabar girang bagimu."

Mulutnya menghibur, tapi anehnya tiba2 budak itu tampak muram wajahnya sendiri. Ia menghela napas, kemudian berkata lagi: "Ah, jika Lu-ma masih hidup, ia tentu akan girang sekali."

Hong-sian tertegun, ujarnya. "Jangan mengoceh tak keruan kau. Mengapa kau katakan aku akan girang?"

Budak itu tertawa : "Ai, nona masih belum mengetahui bahwa bingkisan orang sudah rampas didalam perjalanan."

"Bingkisan apa ?" seru Hong-sian

----------------------------------------------------

Jilid 1 Hal 49-50 robek

----------------------------------------------------

dengan siapa kau datang kemari ini, mengapa tak suruh dia masuk?"

Ternyata karena getaran sang hati, tanpa sadar Khik-ya telah menyentuh tangkai bunga hingga mengeluarkan suara berkeresekan.

Budak itu tersentak heran, jawabnya: "Hanya aku seorang diri, masakan bawa kawan?"

Belum habis kata2 bujang itu, Hong-sian sudah mendorong daun jendela dan sebat sekali dia sudah loncat keluar.

"Hai siapakah yang bersembunyi disitu?" bentaknya. Karena sudah tepergok. Toan Khik yapun tak mau main sembunyi lagi. Ia loncat keluar daii semak pohon lalu berkata dengan mengejek: "Kuhaturkan selamat pada nona yang akan mendapat jodoh seorang baik2. Tapi ku-kuatir ayah bundamu yang berada didalam baka itu, akan berduka hatinya!"

Mendadak ada seorang pemuda tak dikenal berdiri dihadapannya, kejut Hong-sian bukan kepalang. Buru2 ia cabut pedangnya dan membentak: "Apa katamu? Siapa kau ini, mengapa tengah malam buta berani menyelundup masuk kemari? Rasanya kau ini tentu bukan orang baik2, bukan bangsat tentu pencuri,"

Toan Khik-ya tertawa lebar, sahutnya : "Aku bukan orang baik2 bukan penjahat tentu pencuri? Haha luaskanlah hatimu memaki dengan kata2 apa saja! Nah, biar kuberitahukan padamu, aku ini putera dari Toan Kui-ciang!!"

Sepasang alis Hong sian berjungkat lalu mendamprat lagi. "Ha, benar, bukan orang baik2. Maling kecil, lihat pedangku!"

"Bagus, menyebut diriku maling kecil, maling kecil lebih buruk lagi dari gelandangan kecil," pikir Khik-ya sembari menghindar. Berturut2 ia menghindari tiga kali serangan pedang, setelah itu baru menegur. "Nona besar mengapa kau mengecap diriku sebagai seorang penjahat?"

Hong sian tertawa dingin, menyahut: "Naga tentu beranak naga, dan burung hong tentu beranak burung hong. Anak perampok kemana parannya lagi?"

Marahlah Toan Khik-ya dengan hinaan itu. "Kau menghina aku itu masih mending, tapi kau berani juga memaki orang tuamu, kau punya hm, memaki ayahku."

Hampir saja mulutnya mengatakan "kau punya mertua". Untung ia teringat agar lebih baik jangan mengatakan hal itu dulu, Hong-sianpun gusar, pikirnya: "Bangsat kecil ini benar2 kurang ajar, masakan arwah ayahnya seorang perampok dijadikan orang tuaku." seketika ia berseru makin bernapsu: "Menteri pemberontak, anak perampok, tidak layakkah  dimaki? Tetap akan kumaki ayahmu pejahat itu, nah, kau apa?"

Sudah tentu Toan Khik ya tak mengetahui mengapa Hong sian memaki ayahnya perampok dan dirinya sebagai keturunan penjahat itu. Padahal bukan tak ada sebabnya Hong-sian berbuat begitu. Itulah Sik Ko yang menjadi gara2nya. Kuatir keluarganya Toan akan mengutus orang untuk menarik janji pernikahan dengan Hong sian, maka Sik Ko lantas merangkai cerita. Kepada putrinya Sik Ko sering menceritakan tentang kejadian2 didunia persilatan. Ia katakan Toan Kui-ciang itu seorang penjahat yang ganas, kemudian dapat ditangkap oleh tentara negara dan dihukum mati.

Sik-hujin karena takut akan suaminya, jadi tak pernah menyebut2 nama Toan Kui ciang dihadapan puterinya itu. Jadi dalam pengetahuan Hong-sian, toan Kui-ciang itu adalah tokoh jahat seperti apa yang digambarkan Sik Ko sudah tentu terhadap sang ayah itu, Hong-sian tak ada alasan untuk tak mempercayainya.

Saking gusarnya panca indera Toan Khik-ya seperti mengeluarkan asap.

"Jika masih memaki lagi, tentu kutampar mulutmu!" bentaknya sembari secepat kilat merapat maju, terus ulurkan tangannya kemuka sinona.

Hong-sian terperanjat. Ia bermaksud menarik pedangnya untuk menghalau tapi sudah tak keburu. Untung Toan Khik-ya tiba2 merobah ingatannya. Pikirnya:

"Ah tidak boleh. Walau pun ia belum menikah padaku, tapi ia sudah dijodohkan menjadi isteriku! Sebelum janji perjodoan itu dibatalkan, turut kesopanan aku tak boleh memukulnya, Apalagi aku tak boleh dipengaruhi oleh nafsu amarah seketika lantas melupakan hubungan akrab dari keluarga Toan dan Su pada masa yang lampau."

Ternyata ilmu silat Hong-sian pun tidak lemah. Hanya sekejap saja Toan Khik-ya ragu2 tadi Hong-sian sudah lantas menyabat tangan sianak muda. Jika Toan Khik-ya tak cepat2 menarik tangannya, jarinya tentu sudah terpapas kutung.

Bermula karena melihat orang hanya bertangan kosong saja Hong-sian hanya bermaksud akan meringkusnya saja untuk diserahkan kepada ayahnya. Tapi setelah tadi hampir saja ia termakan tamparan sianak muda dan malu menjadi gusar. Pikirnya: "Ha, anak perampok ini lihay juga.! Ah, tolol benar aku ini mengapa akan memberi kelonggaran pada bangsa penjahat. Jika tak kuberi hajaran, seumur hidup aku tak dapat mencuci hinaan tadi!"

Hong-sian mewarisi Ilmu pedang dari Biau Hui sinni. Dalam gusarnya Hong-sian mainkan pedangnya dengan gentar untuk mengarah jalan darah yang berbahaya dari sianak muda. Benar ilmu gin-kang Toan Khik-ya cukup sempurna tapi dengan gunakan ilmu gong-chiu-jip-pek-jim ( dengan tangan kosong merampas senjata ) ia tetap tak mampu merebut pedang ceng-kong kiam Hong-sian. Paling2 Toan Khik-ya hunya dapat menjaga diri agar jangan sampai termakan pedang saja.

Seperti diketahui, sebenarnya anak muda itu mempunyai ribuan kata hendak diucapkan dihadapan jelita itu, termasuk keputusannya yang datangnya secara tiba2. yakni hendak membatalkan saja janji perjodohan itu. Tapi berhadapan dengan sinona yang seperti tengah kesurupan setan itu, mana ia mempunyai kesempatan untuk bicara?

Pada saat itu mendadak Toan Khik-ya balikkan tubuh  sambil kebatkan lengan bajunya. Sret, Hong-sian berhasil memapas secarik lengan baju sianak muda tapi pedangnya segera tergubat oleh lengan baju lawan. Dicobanya untuk menarik, tapi tak berhasil,

Toan Khik-ya menghela napas longgar, kemudian tertawa gelak2 :

"Nona kau keliru !"

Sebenarnya Hong-sian sudah kuatir, kalau2 sianak muda akan balas memukul, maka ia-pun menjadi tertegun demi anak muda itu hanya mulutnya saja yang berkata2.

"Sebagaimana kesalahanku ?" serunya.

"Turut ucapanmu itu tadi, air tentu mengalir kebawah. artinya bagaimana orang tuanya tentu bagaimana itu pula anaknya. Dalil itu salah. Dirimu sendiri itu, menjadi bukti yang nyata!" kata Khik-ya.

Sudah tentu Hong-sian tersentak heran, tanyanya. "Apa maksud kata2mu itu?"

"Ayah kandungmu sendiri adalah seorang manusia terpelajar, gagah perkasa dan arif bijaksana. Bahkan seorang lelaki jantan yang pantang perbuatan haram, tak gentar menghadapi ancaman, seorang berhati lurus dan mulia! Kau adalah puterinya, tapi mengapa sedikitpun kau tak mewarisi sifat2nya yang mulia itu?"

Setelah diangkat menjadi panglima daerah Sik Ko mempunyai kekuasaan besar. Sejak itu dirinya seolah2 dipagari oleh orang2 yang pandai menjilat. Sampai Hong-sian sendiri sudah merasa jemu mendengar puji sanjung dari kawanan penjilat itu. Tapi selama itu, tak pernah ia mendengar ada orang yang memuji2 seperti apa yang diucapkan Toan Khik-ya itu:

"Ayahku seorang Bu (militer), ia jarang sekali membaca buku. Pelajaran ilmu surat dan syair yang ku pelajari diwaktu kecil, adalah Lu-ma yang mengajarkan padaku. Sebagai seorang Ciat-tok-su, setiap hari ayah sibuk dengan urusan kantor, jadi tak dapat mengenal segala filsafat budi pekerti. Kata2 pujiannya tadi, tak tepat bagi ayah!" pikir Hong-sian.

Tapi dalam pada itu diam2 ia terperanjat melihat tutur kata sipenjahat kecil itu. Tanpa disadari ia bertanya: "Turut katamu tadi aku ini tak sepadan dengan ayahku, habis dalam pandanganmu, bagaimanakah diriku ini?"

"Kau? Ai, kau sudah diracuni Sik Ko. Turut penglihatanku, kau sudah berobah menjadi seorang siaujin yang tamak kekayaan. Kalau tidak tak nanti kau berpeluk tangan menunggu jadi menantu seorang Ciat-tok su, pula tak nanti kau memaki aku sebagai maling kecil!" jawab Toan Khik-ya.

Selebar muka Hong-sian merah padam dibuatnya. Dengan gusarnya ia menyemprot "Bicaramu ini pagi hitam sore putih. Baru saja mulutmu memuji ayah, kini lidahmu sudah berganti nada memakinya!"

"Memang benar, yang kupuji itu ialah ayah kandungmu yang asli dan yang kumaki ialah si Sik Ko! Bukankah tadi kau memaki ayahku? Kau memaki ayahku sebagai menteri pemberontak dan perampok. Padahal seharusnya kata-kata itu adalah buat Sik Ko! Dia pernah bertekuk lutut menghamba pada An Lok-san dan lagi ia justru berasal dari kalangan Lok- lim!"

Marah Hong-sian tak dapat dikendalikan lagi. Tak tunggu sianak muda menghabiskan kata2nya, ia sudah mengdamprat. "Ngaco-belo! Kalau bukan gila, tentulah kau memang sengaja hendak menghina kami ayah dan anak. Lihat pedangku!"

Dan sekali gertakan pedangnya dari libatan lengan baju ia lantas menusuk. Toan Khik-ya menghindar lagi, serunya lantang.

"Apakah kau masih tak jelas? Kau akui seorang penjahat sebagai ayah! Jika kau masih begitu lindung, ayah bundamu yang sudah meninggal itu tentu dapat meram dialam baka!" Dengan ucapan itu sudah dua kali Toan Khik-ya memperingatkan Hong-sian kalau ayah bundanya sudah meninggal. Pertama kali ketika ia memergoki Toan Khik-ya bersembunyi diluar kamar. Mungkin karena terkejut melihat seorang asing muncul dengan tiba2. Hong-sian buru2 mencabut pedang dan tak menghiraukan kata2 anak muda itu. Tapi untuk ucapan Toan Khik-ya yang terakhir ini, benar ia mendengarnya dengan jelas. Hatinya tergetar malu gusar dan heran.

Sambil menusuk, ia memaki: "Kurang ajar, Dah mengaku penjahat sebagai ayahmu!"

Sudah tentu Hong-sian tak percaya. Dalam gusarnya, ia putar pedangnya makin gencar

Oleh karena sibuk melayani, jadi Toan Khik-ya tak sempat bicara lagi.

Sekonyong2 terdengar suara Sik Ko membentak: "Hai, siapa itu ? Berani mati menyelundup kedalam gedung Ciat-tok su sini?"

Kiranya karena sampai sekian lama hong-sian tak datang, Sik Ko lantas lari menjenguknya. Demi melihat Hong-siau menghunus senjata dan tengah bertempur dengan seorang asing, kejutnya bukan kepalang.

"Yah, lekas kemarilah ! Ini ada seorang gila yang mengaku sebagai anaknya Toan Kui-ciang!" seru Hong-sian.

Bersirap darah didada Sik Ko demi mendengar seruan puterinya itu. Sebenarnya ia juga seorang jago pedang, tapi dalam beberapa tahun ini sesudah hidup mewah ia malas berlatih, jadi kepandaiannya pun berkurang banyak. Dengan tergopoh2 ia segera cabut pedangnya, tapi tak berani maju, melainkan berteriak2 memanggil orangnya.

Toan Khik-ya tertawa : "Hai jangan ribut-ribut, ini dia orangnya sudah datang !" Tiba2 anak muda itu berputar tubuh terus lari menghampiri Sik Ko, Hong-sian mengejarnya dan menyerangkan pedangnya sampai tiga kali. tapi sia-sia. Gerakan Toan Khik-ya teramat gesitnya. Dalam sakejap saja ia sudah tinggalkannya pula Hong-sian dibelakang terus menyerang kearah Sik Ko,

Sik Ko menangkis sembari main mundur. Sebenarnya jika ia beranikan diri, paling tidak ia tentu dapat bertahan sampai 10- an jurus dan saat itu Hong sian tentu sudah menyusul datang. Tapi dikarenakan belum2 ia sudah pecah nyalinya, permainan pedangnya menjadi kacau.

"Hendak melarikan diri? Hm, jangan harap ia dapat lolos dari terjangan Toan Khik-ya”. Tapi baru ia hendak menggerakkan pedang, Toan Khik-ya sudah mendahului mencengkeram siku lengannya terus dipencetnya.

"Sik-tayciangkun, bukankah kau menyatakan membunuh aku? Mengapa sekarang tak lekas2 turun tangan?" tanya Khik- ya dengan nada dingin.

Dipencet sikunya, seketika Sik Ko rasakan separuh tubuhnya menjadi linu kesemutan. Dengan nada gemetar ia meratap "Ya, aku mengaku bersalah. Toan Toan-kongcu,

ampunilah jiwaku !"

Toan Khik-ya merampas pedang Ciat-tok-su itu, lalu meludahinya, "Cis, kau manusia hina-dina yang lupa budi kebaikan, membunuh mu pun hanya membikin kotor tanganku saja !" maki Khik-ya sembari memberi persen beberapa kali tamparan kemuka pembesar itu.

Saat itu Hong-sian sudah tiba. Demi melihat ayahnya diperlakukan begitu, marahnya bukan main. Ia enjot tubuhnya melesat kemuka dan mendamprat. "Maling kecil, aku akan mengadu jiwa denganmu!!"

Sebenarnya setelah menampar Sik Ko, kemarahan Toan Khik-ya sudah tersirap. Tapi demi di maki sinona, amarahnya timbul lagi: Ia pun balas mendampratnya. "Baik, aku takkan peduli lagi kau anggap seorang penjahat menjadi ayahmu! Aku seorang maling kecil dan kau seorang nona terhormat, sejak ini jangan kau perdulikan aku dan kaupun tak menghiraukan aku lagi!"

Setelah membuang pedang Sik Ko, anak muda ini enjot tubuhnya melayang melampau pagar tembok. Pedang Sik Ko tadi menancap pada sebuah batu ditepi empang, tangkainya tak henti2nya bergoncang.

Hong-sian tersentak kaget. Buru2 ia memburu ketempat ayahnya: "Yah, kau bagaimana?"

Tapi mendadak Sik Ko menjerit satu kali lalu roboh  ketanah. Hong-sian ter-gopoh2 mengangkatnya. ia melihat muka sang 'ayah' itu bengap dan matang biru, napasnya tersengal2. seperti kerbau mendengus. Ciat-tok-su itu seperti seorang yang hilang ingatannya. Sudah tentu Hong sian  gusar, tapi juga lega karena di dapati sang 'ayah' itu tak terluka, cuma mukanya bengap. Ia mengira sang ayah itu hanya pingsan. Ya. betapa tidak? Seorang panglima yang biasanya disanjung hormat oleh orang, kini ditampar mukanya sampai beberapa kali oleh seorang pencuri kecil.

Sementara itu demi mendengar teriakan Sik Ko tadi, orang2 didalam gedung situ sama memburu datang. Ada yang berteriak2 menyerukan supaya si maling diringkus, ada yang bergegas hendak mengangkut Sik Ko, pun ada juga yang menangisi ribut tak keruan.

"Penjahat siang2 sudah kabur jauh, perlu apa kalian ribut2?

Lekas panggil Tay hu kemari!" bentak Hong-sian.

Tay-hu adalah tabib dalam istana atau tempat kediaman seorang pembesar tinggi, Saat itu Sik-hujinpun muncul. Mendengar suara tangisan orang, pucatlah wajah nyonya itu. Tergopoh2 ia menerobos kedalam kawanan bujang itu dan bertanya dengan gugup: "Ada urusan apa? Hai, mengapa Loya itu?" Hong-sian menghiburnya: "Ma, jangan gelisah. Ayah hanya pingsan saja tak mengapa, akupun sudah suruh panggil Tay- hu kemari!"

Setelah merabah hidung suaminya ternyata masih bernapas, legalah hati nyonya itu. Habis itu baru ia menanyakan apa sebabnya Sik Ko pingsan.

Disana sini segera terdengar kawanan bujang memberi keterangan yang berbeda2. Ada yang mengatakan: "Tadi ada penjahat masuk kesini tari sudah dihalau pergi oleh nona!!" Ada pula yang menerangkan: "Loya tadi bertempur dengan stpenjahat, mungkin Loya keliwat cape menggunakan tenaganya."

Mendengar laporan itu Sik-hujin terperanjat dan marah, dampratnya: "Kalian semua ini hanya kawanan  tukang gegares belaka. Mana ada penjahat masuk kesini, kalian tak tahu saja sekali hingga bikin kaget nona dan Loya saja."

"Ma, mereka tak dapat dipersalahkan. Penjahat itu lihay sekali!" kata Hong-sian.

"Siapa penjahat yang bernyali besar itu? Apakah kau masih ingat bentuk rupanya? Panggil kepala pengawal untuk menangkapnya!"

"Penjahat itu adalah anaknya Toan Kui-ciang. Ia amat tangguh sekali, dapat muncul lenyap menurut sesuka hatinya. Percuma panggil pengawal. ,"

Belum habis sinona menutur, Sik-hujin tampak seperti orang yang tiba2 terserang penyakit demam, tubuhnya menggigil, wajahnya pucat pasi. Dengan nada sember ia berkata: "Ah ia benar2 datang memenuhi janji!"

Hong sian buru2 memapak Sik hujin. Pikirannya menjadi gundah, tanyanya: "Mah, apa maksud katamu itu?"

Sik-hujin tenangkan goncangan hatinya. Sesaat ia tersadar akan kata2nya yang terluncur dari mulutnya tadi. Ia anggap urusan itu tak boleh diceritakan dihadapan orang banyak. Katanya: "Ah, tidak apa2. Tapi karena ketakutan. aku sampai mengoceh tak keruan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, setelah memegang kekuasaan militer, ayahmu telah membunuh banyak jiwa. Aku kuatir ada roh penasaran yang menagih jiwa padanya. Lekas angkat ayahmu kedalam."

Didalam Ciat-to-su ada seorang tabib selekasnya tabib itu segera dipanggil.

-o0odwo0o-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar