Panji Tengkorak Darah Jilid 29

Jilid 29 .

“Percuma,” kata Ki Gwat-wan, “Ilmu tutukannya istimewa sekali. Kepandaian kita tak mampu membukanya. Lebih baik kita tinggalkan saja!” Seng-wan menghela napas, “Bukan karena aku tak mau menolong kalian, tetapi benar-benar. ” habis berkata ia

terus mengikuti Gwat-wan pergi.

“Jangan terburu-buru,” tiba-tiba Siau-bun berseru, “Tahukah kau kemana perginya? Dan tahukah kau bagaimana keadaannya sekarang?”

Seng-wan terhenti.

“Mungkin kaupun tak tahu!” ujarnya.

“Hm, kita tahu sejelas-jelasnya, tetapi tak semudah begini memberitahukan padamu!” “Apa syaratnya?” tanya Seng-wan.

“Paling tidak kau harus berusaha membuka jalan darahku ini!” sahut Siau-bun.

Seng-wan mengerutkan dahi, “Kalau dapat membukanya tentu saat ini kalian sudah sembuh. Bukan karena tak mau membantu kalian, tetapi sesungguhnya aku tak mampu. ”

“Aku ada akal!” seru Siau-bun.

“Lekas katakan! Asal aku mampu tentu tak menolak!” kata Seng-wan.

Sejenak Siau-bun berdiam diri, ujarnya, “Asal kau dapat membuka jalan darah kami berdua, tentu akan kuberitahukan dimana Thian-leng berada. Tetapi aku hendak bertanya padamu!”

“Silakan.”

“Apa kau kenal Hok-mo-tong-cu?”

Seng-wan tertegun, “Tidak! Jangankan kenal, mendengar namanyapun belum pernah!”

Kata Siau-bun, “Dia mempunyai pukulan dan tutukan jari yang berhawa dingin. Dibanding dengan Sin-bu-Te-kun, Hok-mo-tong-cu lebih tinggi kepandaiannya. ”

“Apakah kau berkata dengan sesungguhnya?” Seng-wan makin heran. “Masakah aku berolok-olok!”

Seng-wan melirik kepada Gwat-wan, serunya, “Sin-bu Te-kun mendapat kesaktiannya dari kitab Im-hu-po-coan yang berinti tenaga Im-han (dingin). Kuingat dulu Sin-bu Te-kun pernah mengatakan bahwa dia hanya mendapat kitab Im hu-po-tong-cu. ”

“Hai, benar!” teriak Siau-bun, “dengan begitu ilmu kepandaian kalian sesumber dengan iblis itu. tentulah sedikit

banyak Sin-bu Te-kun telah memberi kalian pelajaran-pelajaran dasar?” “Tetapi hanya kulitnya saja!” sahut Seng-wan.

“Tak apa,” kata Siau-bun, “Ini kuberitahu. Tiap hari tolong kau mengurut-urut jalan darahku yang tertutuk itu sampai tiga jam. Paling lama dalam tiga hari, betapapun hebatnya ilmu tutukan itu, tentu akan terbuka juga. Maukah kalian meluluskan permintaan ini?”

Seng-wan mengerutkan dahi, ujarnya, “Jika permintaanmu itu keluar dari hati setulusnya, aku mau. Tetapi kalau hanya siasat, aku ”

“Adik, maukah kau mendengar nasehatku?” tiba-tiba Gwat-wan menyeletuk. “Silakan, masakah aku tak mau mendengar?“

Gwat-wan menggeleng-gelengkan kepala, “Kedua budak perempuan ini, hatinya sekejam ular. Menolong mereka mungkin akan mendatangkan bahaya. Menurut hematku, lebih baik kita ”

Siau-bun berteriak, “Walaupun kalian mempunyai hubungan kakak beradik, tetapi dengan kami adalah ipar. Jangan kau mengadu domba untuk meretakkan hubungan rumah tangga kami. Ensoh,” teriak Siau-bun kepada Seng-wan.

“Pok Thian-leng mengaku ayahku sebagai gihu dan ikut memakai she Pok. Dengan begitu kau adalah ensohku. !”

“Akupun saudara misan, jadi kau ensoh misanku. Apakah kau tega hendak meninggalkan tempat ini?” Bu-songpun ikut berseru.

Seng-wan memandang tacinya, “Karena ada jalan untuk menolong, aku harus berusaha melakukannya. Kalau tidak, bagaimana aku harus mempertanggung jawabkan apabila bertemu dengan Thian-leng?” Gwat-wan menghela napas dan tak berkata apa-apa lagi. Tak berani lagi ia berbicara. Ia lebih tua dari Seng-wan, tetapi karena Seng-wan sudah menikah dengan Thian-leng, iapun tak berani campur tangan menguasai adiknya lagi. Ia tak dapat mencegah Seng-wan menolong Siau-bun dan Bu-song yang merupakan adik Thian-leng.

Seng-wan segera menghampiri Siau-bun, ujarnya, “Sekarang aku hendak mulai menggunakan ilmu Hian-im-chiu- hwat untuk mengurut jalan darahmu yang tertutuk itu. Tetapi kau sendiripun harus mengerahkan lwekangmu untuk membantu dari dalam!”

Siau-bun tersenyum kemenangan. Sambil melirik kepada Gwat-wan, ia segera mengucapkan terima kasih kepada Seng-wan. Dan mulailah Seng-wan melakukan pengurutan. Siau-bunpun mengerahkan lwekang untuk membantu menerobos jalan darahnya yang tertutuk itu.

Dengan bermuram durja, Gwat-wanpun terpaksa mengurut Bu-song. Setelah hampir tiga jam lamanya, barulah pengurutan dihentikan. Kedua kakak beradik itu mandi keringat, napasnya terengah-engah. Tiga jam mengurut, cukup menghabiskan tenaga.

“Bagaimana sekarang?” tanya Seng-wan. Siau-bun tersenyum manis, “Boleh juga!”

“Bagus!” seru Seng-wan. “Tak perlu tunggu besok pagi, nanti saja akan kuurut lagi. Hanya harapanku, jangan kau

......mendendam!”

“Ah, enso, jangan mencurigai aku!” kata Siau-bun.

Ki Seng-wan tak menyahut. Ia memejamkan mata menjalankan pernapasan. Lewat lohor ia mendusin. “Taci, mari kita mengurut lagi!” katanya.

Gwat-wan tersenyum hambar, “Budak perempuan, kau benar-benar meletihkan aku!”

Namun sekalipun mulutnya bersungut, iapun segera mengurut Bu-song lagi. Kali ini pengurutan berjalan lebih payah. Selang sejam kemudian, kedua taci beradik Ki itu sudah mandi keringat. Dua jam lagi haripun sudah malam. Di luar angin malam menderu-deru, menambah keseraman suasana.

Wajah kedua taci beradik itu pucat, kedua bahunyapun mulai gemetar. Jelas bahwa mereka telah menguras seluruh tenaga dalamnya. Hampir mendekati tiga jam, rupanya Seng-wan tak kuat. Mulutnya gemetar dan tubuhnya terjerembab roboh.

“Adik! Adik...kau. !” Gwat-wan menghentikan urutannya, lalu merangkak menghampiri sang adik. Tetapi belum

sampai di tempat Seng-wan, iapun juga terjungkal roboh.

Suasana di dalam kuil menjadi sunyi-senyap. Entah berselang beberapa lama, tampak Siau-bun bergeliat duduk. Setelah memejamkan mata mengambil napas, ia tersenyum girang dan memandang kedua saudara Ki, lalu bangkit berdiri karena jalan darahnya telah terbuka.

Semula Bu-song masih menggeletak di tanah. Tetapi begitu melihat Siau-bun berdiri, iapun ikut bergerak. Ah, ternyata ia juga sudah sembuh.

“Cici Bun, kita sudah sembuh!” serunya girang.

Siau-bun tertawa, “Rencana kita semula ialah menipu mereka supaya datang kemari, lalu kita siksa, baru kemudian kita bunuh. Ah, siapa kira mereka malah berbalik menjadi penolong kita!”

Bu-song mengerutkan keningnya, “Lalu bagaimana tindakan kita sekarang?”

Sejenak Siau-bun merenung, ujarnya, “Karena mereka telah melepas budi, kita terpaksa memberi ampun jiwanya!”

Bu-song mendengus, “Uh, sayang aku tak pemurah hati seperti engkau! Dia telah merebut tunanganku. Kuanggap dia musuh bebuyutan. Dia atau aku yang berhak hidup di dunia!”

Walaupun kehabisan tenaga, tetapi panca indera kedua saudara Ki masih baik. Mereka terkejut mendengar ucapan kedua gadis itu. Seng-wan memaksakan diri berseru, “Taciku memang benar. Kalian ternyata memang bangsa ular berbisa. Jika tidak kami berdua yang menolong, masakah kalian bisa hidup. Kalau tidak dimakan binatang buas, tentu akan mati kelaparan!”

Siau-bun tertawa, “Ah, tidak begitu mengerikan! Sebelum pergi, iblis Hok-mo-tong-cu telah memakankan sebutir pil kepada kami. Pil itu dapat menahan lapar selama sepuluh hari!”

“Kalau begitu, kalian hendak mengapakan kami?” Seng-wan tertawa getir.

Jawab Siau-bun, “Kau adalah ensohku. Aku tak dapat mengapa-apakan kau. Tetapi ” ia mengedipkan mata, lalu

berkata pula, “Sebelum menikah dengan engkau, Pok Thian-leng sudah bertunangan dengan adik misanku ini. Sakit hati direbut suaminya, termasuk dendam yang hebat. Hal ini biarlah adikku yang mengambil keputusan!”

Bu-song tertawa riang, “Akupun bukan orang yang haus darah. Apalagi kalian sudah melepas budi kepadaku. Sedikit banyak tentu akan kubalas…..” ia berhenti sejenak, lalu ujarnya pula, “Sebenarnya kau harus menerima hukuman mati. Tetapi hukuman itu kutiadakan. Hanya akan kusuruh kalian menerima hukuman hidup!”

Seng-wan terkejut, serunya, “Jika hal itu dianggap bersalah, biarlah aku yang menanggung sendiri. Taciku ini tiada sangkut-pautnya. Hendak kau bunuh atau kau siksa, aku rela menerima asalkan jangan kau ganggu taciku ini!”

Bu-song diam beberapa saat. Siau-bun tersenyum, “Eh, tetapi jika ditinjau sedalam-dalamnya, tacimulah yang berdosa!”

“Ngaco!” teriak Seng-wan, “tacikulah yang menolong nona Lu dan dulupun belum pernah bersalah kepada kalian. Jangan mengada-ada kesalahan pada dirinya!”

Siau-bun tertawa, “Segala rencana adalah dia yang mengeluarkan. Masakah dia tak bersalah. ”

ia melirik Bu-song, katanya pula, “Sesungguhnya, biang keladinya ialah tacimu. Dalam hal hukuman, dia juga harus menerima. ”

“Gadis busuk!” damprat Seng-wan marah sekali, “jangan memfitnah orang sesukamu! Coba saja bagaimana kelak kau akan mempertanggung jawabkan perbuatanmu kepada kakekmu dan Pok Thian-leng!”

Siau-bun tertawa mengikik, “Tak usah kau pikirkan diriku. Akupun hanya mengatakan hal yang sebenarnya. Tentang bagaimana hukuman padamu, tetap kuserahkan pada adikku!”

Teriak Seng-wan, “Baik, anggap saja aku seorang buta. tetapi ingat, Jika kau tak membunuh aku, kelak pada suatu hari aku tentu akan membalas dendam, padamu. ”

Gwat-wan tertawa rawan, “Adik, sudahlah, jangan banyak bicara. Jatuh di tangan gadis yang sebuas itu, masakah kita dapat bicara tentang budi welas asih?”

Kemarahan Seng-wan tak dapat ditumpahkan. Ia berusaha sekuat-kuatnya untuk bergerak, tetapi ah…… kedua kaki tangannya lemas lunglai, tenaga dalamnya habis.

Ia sadar tak dapat memberikan perlawanan lagi. Akhirnya ia memejamkan matanya saja menunggu kematian.

“Adik Song, aku sudah memberi siksaan batin kepada mereka. Sekarang silakan kau memberi hukuman badan!” kata Siau-bun.

“Menurut pendapatmu, apakah iblis Hok Mo tongcu itu bisa kembali lagi ke sini atau tidak?” tanya Bu-song. Siau-bun menggelengkan kepalanya dan menyahut dengan yakin, “Tidak bisa!”

“Bagaimana kau bisa mengatakan begitu?”

“Bukankah Thian-leng mengatakan kitab pusaka itu berada di gunung Thay-heng-san? Kuduga Hok Mo tongcu tentu takkan balik ke sini lagi!”

“ Mengapa?” tanya Bu-song.

“Mungkin kau masih belum jelas. Apa yang disebut kitab pusaka peninggalan It Bi siangjin itu, terukir pada dinding goa rahasia di dalam telaga zamrud ”

“Jadi dia akan mengajak iblis itu ke dalam goa?” “Ya!”

Bu-song terkejut sekali, serunya, “Tetapi tangan dan kaki Thian-leng terikat dengan tali urat-ular. Jika Hok Mo tongcu berhasil masuk ke dalam goa Telaga zamrud dan dapat meyakinkan lukisan di dinding goa, bukankah. ”

”Siau-bun tertawa, “Kau tahu satu, tetapi tak tahu dua. Di dalam Telaga zamrud maish dijaga oleh seorang tokoh aneh. Dia juga banyak mempelajari ilmu peninggalan It Bi siangjin. Dia sudah mengangkat saudara dengan Thian- leng. Begitu masuk goa, Hok Mo tongcu tentu bakal dibekuk oleh murid It Bi siangjin itu. Maka kita tak perlu kuatir lagi!”

Bu-song tertawa riang, “Kalau begitu iblis Hok Mo tongcu itu pasti mampus dan takkan balik lagi ke sini. Di sini jarang didatangi orang. Bagaimana kalau kita tiru saja tindakan Hok Mo tongcu untuk menghukum mereka?”

Siau-bun tertawa, “Sayang kita tak mampu menutuk seperti Hok Mo tongcu!”

Bu-song mendengus, “Sekalipun bisa, tetapi kita takkan menyuruh mereka enak-enak tidur di lantai. Aku sudah mempersiapkan suatu rencana bagus. kita lakukan tutukan Tiam-hong-kian-jin-yok!”

Tiam-hong-kian-jin-yok artinya menutuk angin menyusupkan ke daging orang. 

Siau-bun tertegun, “Apakah itu? Apakah yang hendak kau rencanakan itu?”

Bu-song tak menyahut, melainkan mengeluarkan dua utas tali sebesar ibu jari. Direntangnya tali itu di hadapan Siau- bun.

“Tali ini terbuat dari sutera asli. Walaupun tak sesakti tali urat ularmu, tetapi dapat menahan tenaga meeka. Tiang penglari di atas itu rasanya tempat yang cocok untuk mereka beristirahat!”

Tak lama Bu-song telah melaksanakan rencananya. Kedua taci beradik Ki dikerek ke atas dan digantung pada tiang penglari dengan tubuh terikat. Tubuh mereka bergelantungan kian kemari mirip daging yang digantung di warung.

Ki Gwat-wan dan Ki Seng-wan memejamkan matanya. Tak sepatahpun mereka keluarkan erangan.

Setelah puas menertawakan pemandangan yang dianggap lucu, Siau-bun dan Bu-song segera menutup pintu dan melangkah keluar. Kala itu sudah lewat tengah malam.

Tantangan

“Taci Bun, kemanakah sekarang kita hendak pergi?” tanya Bu-song setelah menguap.

“Eng-hiong-tay-hwe sudah lewat beberapa hari. Saat ini kakek dan ayah tentu sudah meninggalkan Tiam-jong- san……”

“Sin-bu Te-kun sudah menantang. Sepuluh hari lagi akan menunggu mereka di Sin-bu-kiong. Mungkin mereka sudah menuju ke sana!” tukas Bu-song.

“Benar,” sahut Siau-bun, “bukan hanya mereka saja, rasanya Thian-leng pun juga akan ke sana……. eh, kalau berjumpa dengannya, kita harus merangkai cerita bohong untuk mengelabuinya!”

“Tetapi ia sudah tahu sendiri, bagaimana kita dapat membohonginya?” tanya Bu-song.

Siau-bun tertawa lagi. Tiba-tiba ia mendekati telinga Bu-song dan membisikinya. Bu-song serentak bertepuk tangan dan tertawa riang, “Bagus, kau sungguh pintar benar….. ayo kita cepat ke sana. Kini waktunya hanya tinggal satu hari saja!”

Menjelang tengah hari baru mereka tiba di kaki gunung Ceng-hun-san. Gunung itu tak berbahaya, tetapi puncak- puncaknya saling berdekatan.

Sambil memandang ke atas puncak, berkatalah Bu-song, “Pintar juga Sin-bu Te-kun memilih tempat. Jika dia tak temaha hendak merajai dunia persilatan, tentulah sudah hidup enak di tempat setenang ini!”

Siau-bun tertawa, “Eh, mengapa kau tiba-tiba punya lamunan begitu?”

Bu-song hanya tertawa dan terus berlari. Karena paham jalannya dan dengan menggunakan ilmu berlari cepat, mereka segera tiba di Sin-bu-kiong.

“Celaka……” tiba-tiba Siau-bun berhenti. “Mengapa?”

“Thian-leng bukan pemuda yang berhati sempit. Walaupun kita bertindak terlalu kejam padanya, tetapi kita pernah menolong jiwanya. Dia tentu tetap memperhatikan keselamatan kita!”

“Bukankah itu lebih baik?” seru Bu-song.

Siau-bun menghela napas, “Kalau sudah lolos dari Thay-heng-san, dia tentu segera ke Tiam-jong-san untuk menolong kita…..”

“Ai, benar!” Bu-song membanting-banting kaki, “begitu tiba di puncak Ceng-liong-nia, dia tentu akan mendapatkan perempuan hina itu. Dan perbuatan kita tentu akan diketahuinya….kita balik ke sana saja!”

Siau-bun menghela napas, “Ke sana paling tidak tentu memakan waktu empat hari. Dan lagi dia dengan kedua dara Ki itu, belum tentu masih ada di sana!”

Bu-song bingung, “Kalau begitu, bagaimana tindakan kita sekarang? Ai, harap kau cari rencana lagilah!” “Tetapi sudah begini, tak ada jalan lain lagi…..” Siau-bun tertawa tertawa getir.

“Eh, kakekku. Sekalipun kuminta bintang di langit, kakek tentu akan menuruti!” kata Bu-song dengan aleman. Siau-bun bertepuk tangan, “Kalau begitu jadilah. ” segera ia membisiki telinga Bu-song. Wajah si dara tampak

berseri.

“Ayo, kita lekas cari kakek!” serunya.

Kedua gadis itu segera meneruskan larinya. Tetapi mereka tidak menuju ke pintu gerbang Sin-bu-kiong, melainkan menyelinap ke dalam gerombol di samping gedung itu.

ooo0000ooo

Baru saja hari mulai gelap, istana Sin-bu-kiong sudah terang benderang dengan penerangan yang gemilang. Memang malam itu adalah hari ke sepuluh dari tantangan Sin-bu Te-kun kepada Thian-leng dan rombongannya.

Tetapi suasana dalam istana itu tampak sunyi saja. Berpuluh-puluh penjaga dengan menyelipkan senjata di pinggang tampak mondar-mandir berseliweran kian kemari. Seolah-olah sedang menghadapi kesibukan. Tetapi mereka diam, tidak menimbulkan suara berisik....

Di ruang tengah, penerangannya paling terang. Hanya sunyinya luar biasa. Sehingga apabila ada sebatang jarum jatuh ke lantai, pasti terdengar juga.

Di luar ruangan, berjajar dua deret pengawal tua berseragam baju ungu. Mereka membentuk diri dalam formasi burung garuda. Dengan senjata terhunus di pinggang masing-masing, tampaknya mereka gagah sekali.

Di dalam ruangan besar, tak tampak barang seorangpun juga. Tetapi di dalam bilik, sedang berkumpul belasan orang. Wajah mereka tampak tegang sekali. Rupanya mereka tengah berunding dengan suara seperlahan mungkin.

Di antara orang-orang yang tengah rapat itu, terdapat Sin-bu Te-kun, ketua Hek Gak, Bu Cui suseng, kedua Lam-yau dan Pak-koay, Ko Liu siangjin, Bok Sam-pi dan lain-lain.

Di antara sekian hadirin, hanya Bok Sam-pi yang tetap tenang wajahnya. Dia duduk dengan kepala menengadah. Tangannya memegang sebuah cawan arak yang tak hentinya diteguk.

Yang istimewa, jago tua itu tidak lagi telanjang badan, tetapi sudah mengenakan baju kapas yang kedombrongan, sehingga menutupi kedua lengannya.

Walaupun tenang, tetapi sebenarnya sikap dan tingkah laku Bok Sam-pi saat itu jauh lebih linglung dari beberapa hari yang lalu.

Selain orang itu, masih terdapat juga tiga orang aneh yang wajahnya mirip satu sama lain. Sama mengenakan pakaian putih, berambut merah. Tiga bagian seperti manusia, tujuh bagian menyerupai setan.

Ketua Hek Gak duduk di sudut dengan lunglai.

Tiba-tiba ia bangkit dan mondar-mondir, kemudian berkata perlahan-lahan kepada Sin-bu Te-kun, “Rencana kita hari ini harus berhasil, jangan sampai gagal. Apakah saudara Ki menganggap persiapan-persiapan sekarang ini sudah sempurna? Karena kalau sampai gagal, entah bagaimana kedudukan kita di hari-hari yang akan datang!”

Sin-bu Te-kun tertawa meloroh, “Seorang lelaki, hanya mempunyai dua pilihan. Gagal atau berhasil. Berhasil kita mulia, gagal kita binasa. Kalau yakin takkan berhasil, lebih baik kita lekas-lekas sediakan peti mati saja. Mengapa kau begitu kuatir ”

Sin-bu Te-kun berhenti sejenak, kemudian tertawa iblis, “Sebenarnya saudara Kongsun tak usah kuatir lagi. Sekalipun si tua Lu itu mengundang seluruh jago-jago persilatan, jangan harap mereka mampu keluar dari istanaku ini. !”

Perjanjian Sin-bu Te-kun

“Yang kutakuti bukan jago-jago persilatan lainnya, melainkan hanya Pok Thian-leng seorang!” kata ketua Hek Gak, “asal dia sudah lenyap, barulah kita dapat melaksanakan cita-cita… ”

Sin-bu Te-kun mengangguk.

“Benar. Tetapi ruang Thiau-hui-thia (pencuci dosa) yang telah kupersiapkan itu memakan waktu berpuluh tahun. Dibangun atas dasar Ngo-heng-ki-bun ( ilmu ajaib lima unsur ). Biar dia atau malaikat, asal berani masuk ke dalam ruang itu, tentu akan amblas nyawanya……”

Ketua Hek Gak mengerutkan alisnya.

“Rupanya saudara Ki mempunyai keyakinan besar. Kita pasti menang!”

Tetapi wajah Sin-bu Te-kun mengerut, ujarnya, “Menang atau kalah lebih baik jangan kita bicarakan dulu. Lebih dulu aku hendak memperingatkan engkau!” 

“Silakan!”

Sinbu Te-kun tertawa iblis, “Kuperingatkan padamu agar engkau jangan melupakan perjanjian kita di Tiam-jong- san…….”

Raja Sin-bu-kiong batuk-batuk sebentar, lalu katanya pula, “Apakah layak kalau sekarang kita menggunakan panggilan saudara?”

Ketua Hek Gak terkejut bukan kepalang. Tubuhnya menggigil seperti terserang demam.

“Harap Te-kun suka memberi ampun kesalahan hamba!” tersipu-sipu ia mengerang karena menahan kemarahan. Sin-bu Te-kun tertawa melorroh.

“Tahu akan kesalahan dan dapat merobah, adalah suatu berkah. Aku bukan manusia yang berhati sempit.” “Terima kasih Te-kun!” buru-buru ketua Hek Gak menyambut. Ia memberi hormat lalu mengundurkan diri.

Sambil mencekal serulingnya yang panjang, Bu Cui suseng tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. “Walaupun kita menderita kekalahan di Tiam-jong-san, tetapi saat ini kedudukannya sudah berobah. Aku berani mengatakan dengan bangga, seklaipun tak ada persiapan alat-alat rahasia dari Saudara Ki, tetapi jangan harap Pok Thian-leng dan gerombolan Lu tua itu dapat meninggalkan istana Sin-bu-kiong. ” katanya dengan tersenyum. Sejenak

mengedarkan pandangan matanya, ia berkata pula, “Mo-pak-sam-cat mana mau membiarkan orang terlepas dari cengkeramannya?”

Kiranya ketiga orang aneh yang berpakaian putih dan rambut merah itu adalah yang disebut Mo-pak-sam-cat ( tiga durjana dari padang pasir utara).

Mereka adalah orang-orang yang dibawa oleh Bu-cui suseng. Karena itulah maka Bu Cuui suseng berani menepuk dada. Diagulkannya kesaktian Mo-pak sam-cat yang garang untuk menonjolkan pahalanya dalam menghadapi kawanan Thiat-hiat-bun.

Mo-pak sam-cat menyambut dengan tertawa tajam. Serempak mereka berseru dengan nada yang menusuk, “Harap saudara-saudara jangan kuatir! Asal kami bertiga saudara ada di sini, sekalipun yang datang barisan dewa dari langit, tentu dapat tertangkap hidup. Kalau sampai mati, jangan anggap kami orang berilmu!”

Sin-bu Te-kun tersipu-sipu memberi hormat.

“Tentu, tentu! Begitu saudara bertiga berada di sini, hatiku setenang laut. Dan memang telah kupersiapkan perjamuan besar untuk merayakan jasa-jasa saudara!” katanya.

Setelah disentil secara halus oleh Sin-bu Te-kun, ketua Hek Gak tak berani membuka suara lagi. Tetapi diam-diam ia mendekati Bok Sam-pi.

“Bagaimana keadaan in-su sekarang?” tanyanya perlahan.

Bok Sam-pi mendengus, “Hm, aku tak kurang suatu apapun. Hanya jubah yang kupakai ini amat ketat!” “Meskipun ketat, tetapi besar gunanya. Baiklah suhu suka tahankan diri dulu!” kata ketua Hek Gak.

Bok Sam-pi mengangguk dan tetap enak-enak mengganyang makanannya.

Sekonyong-konyong… Genta bertalu nyaring. Semua orang yang sedang berkumpul dalam ruangan itu saling

berpandangan. Mereka hening seketika. Tak berapa lama terdengar derap orang masuk. Seorang anak buah Sin-bu- kiong dengan dandannya yang ringkas, melangkah masuk ke ambang pintu.

Anak buah itu bejongkok dan berseru dengan suara lantang, “Ingin memberi tahu kepada Te-kun bahwa tamu telah tiba!”

“Sebutkan siapa namanya!” teriak Sin-bu Te-kun.

Serentak anak buah itu menyahut dengan nyaring, menyebut nama-nama tetamu ynag datang: “Lu Liang-ong ketua partai Thiat-hiat-bun.

Pedang bebas Pok Thiat-beng. Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Li Cu-liong ketua partai Tiam jong-pay. Thiat-ik Sin- kay Auyang Beng. ”

“Cukup!” bentak Sin-bu Te-kun, “Katakan aku sendiri yang segera akan keluar menyambut!” Anak buah Sin-bu-kiong itu memberi hormat dan segera berlalu.

Sin-bu Te-kun memandang kepada hadirin dan mengulum senyum, “Kuminta sekalian saudara untuk menyertai aku menyambut tetamu kita!” 

Sin-bu Te-kun segera mendahului melangkah keluar. Sekalian hadirin pun segera mengikutinya.

Dari ruang yang mereka tempati tadi sampai ke pintu gerbang istana Sin-bu-kiong, tak kurang dari seratus tombak jauhnya. Sepanjang lorong yang mereka lalui tampak penjagaan yang kuat dari anak buah Sin-bu-kiong.

Pintu gerbang dibuka dan yang pertama kali melangkah masuk ialah si Jenggot perak! Di belakangnya mengikuti Pedang bebas Pok Thiat-beng, Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, ketua Tiam-jong-pay Li Cu-liong, Thiat-ik Sin-kay, si dara Pok Lian-ci, kedua Im Yang songsat dan beberapa pengikut.

Sin-bu Te-kun tertawa. Sambil memberi hormat berserulah Sin-bu Te-kun dengan nyaring, “Kalian benar-benar orang yang dapat dipercaya. Kuhaturkan selamat datang kepada tuan-tuan sekalian.”

Jenggot perak balas tertawa keras. “Ah, suatu kata sambutan yang terlalu berat bagi kami. Memang aku si orang tua ini senantiasa menjunjung kepercayaan. Pula. ”

Ia berhenti sejenak untuk mengedarkan matanya lalu berkata pula dengan perlahan, “Jika kami hari ini tak datang, dunia persilatan Tiong-goan tentu bakal menjadi duniamu!”

Wajah Sin-bu Te-kun agak berobah.

“Dengan penuh kehormatan telah kuberi sambutan, kuharap Lu lohiapsu suka berlaku sungkuan sedikit!”

Jenggot perak tertawa lebar. “Memang perangaiku sejak dulu selalu begitu, terus terang secara blak-blakan. Bicaraku selalu gamblang. Meskipun mungkin tak enak bagi pendengaran, tetapi. ”

Belum selesai ia berkata, tiba-tiba terdengar suara bentakan menggeledek, “Tutup mulutmu! Dengan mengandalkan usia tuamu, kau berani memandang rendah kepada kami tiga bersaudara?”

Yang berseru itu ialah Sitho Hong, saudara tertua dari tiga serangkai Mo-pak-sam-cat. Mereka berdiri di belakang Sin- bu Te-kun.

Jenggot perak meliriknya dengan dingin, serunya, “Kukira siapa, kiranya saudara Sitho dari Mo-pak sam-cat yang termashyur. !”

“Kalau sudah tahu nama kami, seharusnya kau berlaku sopan sedikit!” tukas Sitho Hong.

Jenggot perak tertawa datar, “Justru kebalikannya. Aku tak doyan kepada kawanan manusia dari padang pasir. ”

Sejenak matanya menegang, lalu berteriak sekeras-kerasnya. “Di hadapan kalian bertiga, jangan menganggap aku mengandalkan usia tua. Sekalipun setan-setan leluhurmu kau seret kemari, aku tetap akan menghajarnya. ”

Bukan kepalang marahnya ketiga Mo-pak-sam-cat.

“Bangsat tua, jangan menghamburkan lidah tajam! Kami bertigalah yang hendak menghajarmu lebih dulu!” serentak ketiga durjana itu mengapungkan tubuh. Begitu tiba di hadapan Jenggot perak, mereka serentak mengangkat tinju hendak menghantam.

“Tahan!” buru-buru Sin-bu Te-kun berseru dan menghadang di muka ketiga Mo-pak-sam-cat. “Harap saudara bertiga jangan berkelahi dahulu!”

Dengan congkak ketiga durjana itu menyahut, “Beta sabarnyapun tetap tak tahan mendengar ocehannya. Apakah saudara Ki hendak menyuruh kami menelan hinaan anjing tua itu?”

Sin-bu Te-kun mengerutkan alis. Buru-buru ia menggunakan ilmu menyusup suara kepada ketiga orang itu. “Urusan kecil tak dapat menahan diri, bisa mengakibatkan urusan besar terlantar! Harap saudara bersabar sedikit. Tunggu setelah mereka dapat ditangkap, kuserahkan kepada saudara yang menghukunnya. Masakah saudara takkan puas?”

Mo-pak Sam-cat mendengus, tetapi kerut di wajah mereka mulai longgar. Tanpa bicara apa-apa merekapun mundur dan berdiri di samping.

Jenggot perak hanya mengulum senyum saja. Dipandangnya ketiga Mo-pak-sam-cat itu dingin-dingin. Seolah-olah tak memandang mata sama sekali.

Sin-bu Te-kun memaksakan diri berlaku hormat selaku tuan rumah, ujarnya, “Pada pertemuan di gunung Tiam-jong- san, karena satu sama lain salah paham, maka tak menghasilkan apa-apa. Kita bubar dengan persaan tak puas. Hari ini akulah yang berganti menjadi tuan rumah. Harap tuan-tuan suka menghadiri dengan sepenuh hati. Kita sama- sama melaksanakan peraturan dunia persilatan, menjunjung kelakuan kaum berilmu……”

“Ah, tak usah bicara terlalu muluk-muluk!” tukas Jenggot perak, “mengapa tak meniru saja aku si orang tua yang suka bicara secara blak-blakan.”

Sin-bu Te-kun menelan kemarahannya.

“Lu lohiapsu memang seorang manusia bebas yang tak mau terikat peradatan. Sungguh sesuai dengan tingkah laku bangsa Ko-jin ( orang sakti)…” seru Sin-bu Te-kun, “tetapi ai, di sini bukan tempat yang layak untuk menyambut tamu. Mari silakan masuk!”

Ia terus menyisih ke samping untuk memberi jalan kepada rombongan tamu. Tetapi di luar dugaan, Jenggot perak hanya tertawa nyaring.

“Tak usah! Aku tak suka merepotkan kalian. Lebih baik tak masuk saja,” serunya.

Wajah Sin-bu Te-kun berobah seketika.

“Karena tuan-tuan sudah memberi muka padaku, maka sudah kusiapkan perjamuan sekedarnya untuk menyambut kunjungan tuan-tuan, Lu lohiapsu menolak?”

“Telah kukatakan tadi. Aku selalu bicara secara blak-blakan,” kata Jenggot perak, “ruang Thiau-kui-thia dalam istanamu itu penuh dengan alat perangkap dan perkakas rahasia. Sekali masuk tentu menemui kesukaran. Maka lebih baik aku tak masuk saja!”

Seketika wajah Sin-bu Te-kun berobah seperti kertas. Buru-buru ia batuk-batuk, ujarnya, “Lu lohiapsu mengolok- olok. ” ia berhenti sejenak, mengedipkan mata, lalu berkata pula, “adalah karena tuan-tuan mencurigai adanya alat-

alat perangkap dalam Thiau-hui-thia , maka silakan tuan mengutus orang untuk memeriksanya dulu!”

Kembali Jenggot perak tertawa keras, “Tak usah mengutus orang, tetapi aku sendiri cukup tahu tentang alat-alat rahasia!”

“Bagus,” seru Sin-bu Te-kun, “kalau begitu silakan Lu lohiapsu saja yang memeriksanya. ”

Jenggot perak menggeleng, “Sekalipun aku sudah kenyang dengan segala macam alat perangkap, tapi tentu tak berhasil mendapatkan jejak dalam ruang Thiau-hui-thia itu. ”

Sin-bu Te-kun mulai meradang, serunya, “Kalau begitu Lu lohiapsu sengaja hendak menghina dan memfitnah!”

Jenggot perak mengidarkan matanya memandang Mo-pak sam-cat, Lam-yau pak-koay, Ko liu sianjin, ketua Hek Gak dan Ang tim-gong-khek Bok Sam-pi.

“Apakah orang yang kau undang membantu sudah siap datang semuanya?” akhirnya ia berseru. Wajah Sin-bu Te-kun benar-benar merah padam.

“Beberapa saudara ini adalah orang-orang persilatan yang ternama. Mereka sengaja kuundang untuk ikut merundingkan kedudukan dunia persilatan. Mengapa kau menuduh mereka sebagai orang-orangku?” serunya.

Jenggot perak tertawa nyaring, “Membantumupun boleh, ikut merundingkan kedudukan dunia persilatanpun boleh. Yang kutanyakan, apakah mereka sudah berkumpul di sini semua?”

“Ini. aku tak suka menjawab!” Sin-bu Te-kun menjawab ketus.

Jenggot perak mendengus, lalu berpaling kepada rombongannya, ia berkata, “Apakah saudara-saudara kenal akan seorang ahli banguna bernama Cukat Jin, bergelar si Cakar langit.?”

Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay tampil ke muka, “Aku si pengemis tua ini termasuk orang yang tak punya kepandaian apa-apa. Tetapi aku kenal banyak sekali orang-orang yang ternama. Cukat Jin si Cakar langit itu memang tak terkenal di dunia persilatan. Kebanyakan orang tentu tak kenal. Tetapi bagiku si pengemis tua ini, dia bukanlah orang asing lagi!”

“Kalau saudara kenal, sukakah menceritakan dirinya dengan singkat?” seru Jenggot perak. Thiat-ik Sin-kay mengangguk.

“Cukat jin seorang yang berwatak aneh. Semasa mudanya pernah bertemu dengan orang sakti yang memberinya pelajaran tentang berbagai ilmu Ngo-heng-tun-kah ( ilmu lima unsur bumi), bangunan-bangunan rahasia. Pernah membuat goa di bawah gunung Lian-hoa-san yang diselesaikan hanya dalam waktu tiga hari saja. Padahal goa itu cukup untuk dimasuki lima ribu orang. Oleh karena itu ia digelari sebagai Pencakar langit atau jelmaasn dari Lu pan. Tentang dirinya. ”

“Cukuplah, terima kasih. ” tukas Jenggot perak dengan tertawa.

“Apakah Cukat Jin sianseng itu saat ini juga berada di sini?” tanyanya kepada Sin-bu Te-kun.

Sin-bu Te-kun paksakan menelan kemarahan, sahutnya, “Cukat Jin sianseng memang di sini. Tetapi karena perangainya aneh, tak suka menerima balas jasa dan tak senang mencampuri urusan dunia persilatan, maka dia tak mau keluar menyambut!”

Jenggot perak kembali berkata kepada Thiat-ik Sin-kay, “Jika Cukat Jin yang membuat alat perangkap dalam ruang Thiau-hui-thia di sini, dapatkah kita semua mengetahuinya?” Tanpa ragu-ragu Thiat-ik Sin-kay menjawab, “Dia mempunyai kepandaian yang luar biasa. Karyanya diatur sedemikian rupa sehingga tak mungkin diketahui orang. Kepandaian engkau dan aku tentang alat-alat rahasia yang hanya di kulit saja, tak mungkin mengetahui buatannya!”

“Apakah andaikata kita terjebak di situ, kita mampu lolos?” tanya Jenggot perak pula. Thiat-ik Sin-kay menggelengkan kepalanya, “Dikuatirkan sukar, sukar sekali. ”

Sekalian orang mendengar jelas percakapan antara kedua tokoh itu. Mau tak mau tergetar juga hati mereka.

Yang paling risih sendiri adalah Sin-bu Te-kun. Dia tak berhasil memikat rombongan tamunya masuk dan tak dapat juga mencegah percakapan mereka. Benar-benar ia sibuk seperti semut di atas kuali panas. Paling-paling ia hanya tertawa meringis seperti monyet makan terasi....

Akhirnya Jenggot perak menatap tajam kepadanya, “Jelaslah kini apa rencanamu. Hei, tak heran walaupun sudah menderita kekalahan di Tiam-jong-san, kau masih berani menantang lagi. Bahkan kaupun mengundang banyak bala bantuan. Kiranya kau sudah mempunyai tiang andalan yang hebat. Kau menyuruh Cukat Jin membuat alat-alat perangkap dalam Thiau-hui-thia untuk menjebak rombonganku. Dengan begitu jelas isi hatimu yang seganas serigala!”

Sebenarnya Sin-bu Te-kun sudah akan meledak marah, tetapi ia masih dapat menekan dan memaksakan tertawa, “Jika Lu lohiapsu tetap mengatakan begitu, akupun tak dapat berbuat apa-apa Ketika di Tiam-jong-san, yang

kutantang ialah Pok Thian-leng. Apakah Lu Lohiapsu akan menjadi saksi? Tetapi karena dia tak datang, maka tantangan ini mungkin akan diundur sampai lain kali ”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar