Panji Tengkorak Darah Jilid 28

Jilid 28 .

Kalau yang mengikuti dicengkeram kecemasan, yang diikuti sebaliknya malah riang gembira. Berjalan perlahan-lahan sambil bercakap-cakap. Bagaikan tingkah pemburu, mereka mengambil jalan di lereng gunung curam.

Thian-leng benar-benar tersiksa perasannya, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengikuti saja kurang lebih duapuluhan tombak di belakang mereka. Ketika matahari tenggelam, barulah kedua nona itu berhenti di sebuah kuil kecil.

“Cici, hari sudah malam, kita bermalam di kuil ini saja!” kata Bu-song.

Siau-bun mengangguk, “Baik, sehari suntuk perut kita tak terisi. Mari kita buat sate kelinci yang kutangkap di hutan tadi,” sahut Siau-bun.

Sambil bercakap-cakap diseling tertawa-tawa, kedua nona itu membuat api dan membakar kelinci. Tampaknya mereka riang gembira. Thian-leng yang bersembunyi di balik sebuah batu yang berada sepuluhan tombak di luar kuil, hanya mengigit jari saja. Bau sate kelinci yang dibawa oleh angin malam, benar-benar mengelitik perutnya. Air liurnyapun beberapa kali terpaksa ditelannya.

Tetapi karena sikap kedua nona yang begitu dingin, ia tak berani menghampiri ke dalam kuil. Terpaksa ia mengawasi mereka di luar saja.

Menjelang tengah malam, tak terdengar lagi percakapan kedua nona. Rupanya mereka tidur nyenyak di dekat api unggun. Sebaliknya Thian-leng tak berani memejamkan mata karena kuatir kedua nona itu lenyap.

Tiba-tiba dari dalam kuil terdengar suara helaan napas. Thian-leng terkejut. Jelas itulah suara helaan napas Bu-song. Benar-benar ia tak dapat mengendalikan diri lagi. Ia memberanikan diri menghampiri ke dalam kuil. Melangkah ke dalam ruangan kuil, barulah hatinya lega. Kedua nona itu tidur disamping api unggun.

“Adik Bun adik Song,” Thian-leng membangunkan dengan perlahan-lahan.

Siau-bun menggeliat bangun, “Eh, orang she Pok, mengapa kau kemari lagi?” “Apakah adik Song Sakit?” sahut Thian-leng.

Tiba-tiba dara itu mencelat bangun. “Aku sakit atau tidak, apa pedulimu,” ia tengkurap lagi. Thian-leng terkesiap, serunya, “Adik berdua mengapa kalian ini?”

Siau-bun tertawa tawar, “Apakah kau benar-benar menaruh perhatian kepada kami?” “Biarlah langit dan bumi menjadi saksi isi hatiku. Mengapa kau tak dapat memaafkan aku?” “Lalu mengapa kau. ?”

Thian-leng menghela napas, “Mengapa bisa terjadi hal itu, ah ”

Thian-leng masih menanyakan keadaan Bu-song.

“Jangan kuatir, dia hanya masuk angin karena mendongkol,” jawab Siau-bun. Ia memberi minum dara itu sebutir pil. Tak berapa lama dara itupun sudah dapat bangun. Tetapi ketika melihat Thian-leng ia segera melengos.

Sampai sekian saat Thian-leng terlongong-longong, baru ia dapat berkata, “Apakah kalian masih marah kepadaku?” “Seumur hidup membencimu, takkan kulupakan selama-lamanya!” teriak Bu-song dengan marah.

“Sekarang jangan turut campur urusan kami lagi!” celetuk Siau-bun.

Thian-leng menghela napas, “Jika kalian tak mau pulang, akupun takut menemui Lu dan Cu cianpwe dan ikut saja pada kalian terus!”

Siau-bun tertawa mengikik, “Percuma kau ikut, toh takan kupedulikan. ”

“Apakah kalian sungguh-sungguh membenci aku sedemikian rupa?” Thian-leng tertawa getir. “Coba katakan apa maksudmu mengintil aku?” Siau-bun tertawa dingin.

“Untuk minta kalian pulang!”

“Boleh tetapi paling tidak harus memenuhi sebuah syarat!” kata Siau-bun.

“Jangankan hanya sebuah, tujuh-delapan bahkan sepuluh syarat pun aku sanggup memenuhi!” sahut Thian-leng serentak.

Siau-bun tertawa, “Ah, sebenarnya bukan syarat yang sukar. Hanya asal kau mau mengatakan dengan sejujurnya!” “Ah, aku tak pernah bohong. Silakan adik Bun bertanya?” Siau-bun memberi lirikan kepada Bu-song, ujarnya, “Apakah pernikahanmu dengan Ki Seng-wan itu keluar dari setulus hatimu?”

“Bukan, tetapi karena didesak oleh ayahmu!” sahut Thian-leng tegas. “Kau tak cinta padanya?”

“Ini dia pernah menolong jiwaku dengan ilmu Hian-im-kiu-coan dan karena itu ia telah kehilangan kehormatannya,

maka ”

”Di mana ia sekarang?”

“Di rumah ayahmu di gunung Thay-heng-san!”

Siau-bun tertawa datar dan berpaling kepada Bu-song, “Adik, pertanyaanku sudah selesai.”

Bu-song mendengus, serunya. “Eh, sampai berapa jauh telah kau pelajari ilmu dalam kitab It Bi siangjin itu?” “Ah, belum seberapa,” sahut Thian-leng.

“Apakah ada ilmu mengobati binatang beracun jenis Tok-jong!” “Ada, tetapi aku belum sempat mempelajari.”

“Hm, pertanyaankupun selesai itu ada sisa sate kelinci, silakan makan!”

“Aku tak lapar!”

“Kau takut sate itu beracun?” Bu-song delikkan mata.

“Ah, adik Song terlalu menghina!” kata Thian-leng terus menyambar paha kelinci dan dimakannya.

Tetapi begitu daging kelinci masuk ke dalam perut, perutnya seperti diaduk. Serangkum hawa memuakkan menghambur ke atas. Kepalanya serasa pusing dan bluk jatuhlah ia tak sadarkan diri.

“Hola, taci, rencana kedua, berhasil!” Bu-song tertawa mengikik.

“Jangan lagi kedua, sampai habispun tentu berhasil!” sahut Siau-bun, “Mana ayam alasnya?”

Bu-song mengambil seekor ayam hutan dari meja. Kaki ayam itu diikat kencang. Siau-bun menyambut dengan gembira. Dirobeknya baju Thian-leng sedikit di bagian dada.

“Rencana ketiga mungkin tak berhasil!” tiba-tiba Bu-song berkata. “Apa sebabnya?” Siau-bun heran.

“Jika aku, tentu tak mau kemari!”

Siau-bun tertawa,“Sayang wanita itu tak secerdas kau. Jika ia tak datang. Aku berani memberikan kepalaku kepadamu!”

“Apa yang hendak kau tulis?”

“Sederhana saja, lihatlah!” Siau-bun segera menusuk ayam hutan dan memotes kepalanya. Kemudian ia menggunakan darah ayam itu untuk menulis di baju Thian-leng :

Kepada isteriku Seng-wan,

Aku terkena racun, jiwaku tak dapat tertolong.Entah siang entah malam tentu mati. Harap lekas datang ke puncak Ceng-liong-ma gunung Tiam-jong-san di kuil gunung. Thian-leng

Di belakang baju itu ditulis pula kata-kata, “Penting!”

“Wanita hina itu jika menerima surat ini tentu segera datang dan tentu menangis sedih,” kata Siau-bun.

“Ya,ya, kita lihat pertunjukan itu di sini. Kemudian kita cari akal lagi untuk menyiksanya lebih lanjut. Ah, cici benar- benar cerdik. eh, tetapi bagaimana mengirimkan surat ini?”

“Dia sekarang adalah ketua Kay-pang. Anak buah partai Kay-pang banyak sekali. Asal kita mencari seorang anak buahnya, surat berdarah ini tentu segera disampaikan pada penerimanya. ”

“Thay-heng-san jauh sekali. Taruh kata wanita itu segera berangkat paling tidak juga memakan waktu seminggu. Dalam jangka waktu sekian lama apakah takkan terjadi sesuatu?” Bu-song menyatakan kekuatirannya.

“Setelah menerima surat ini, dia tentu segera berangkat dan menempuh perjalanan siang malam. Mungkin dalam waktu tiga-empat hari tentu tiba di gunung Thay-heng-san. Tentang terjadinya perobahan, memang sukar diduga. Tetapi paling tidak pemuda ini tetap berada dalam tangan kita!”

“Benar, benar,” Bu-song tertawa, “ tetapi sampai berapa lama kekuatan obat tidur itu?”

“Jika orang biasa tentu tertidur selama sepuluh jam. Tetapi karena dia yang makan, mungkin hanya tahan dua jam saja.”

Bu-song tertawa. Tiba-tiba ia mainkan jarinya menutuki seluruh tubuh Thian-leng, “Nah, begini dia tentu tak berdaya lagi. Biarlah dia bangun tak jadi soal!”

“Mengapa?”

“Seluruh jalan darah di tubuhnya telah kututuki, hanya kutinggalkan jalan darah pembisu. Nanti kalau bangun, dia hanya dapat mendengar dan bicara tetapi tak dapat bergerak ”

“Mungkin tak semudah itu. ” di luar dugaan Siau-bun membantah.

“Eh, mengapa?” Bu-song terkejut, “apakah ada orang yang hendak melindunginya?”

“Bukan begitu maksudku,” Siaubun tertawa, “aku kuatir ilmu tutukanmu tak mempan kepadanya!”

Bu-song terkejut, “Ya, Ya, benar. Dia sudah mendapatkan pelajaran sakti dari It Bi siangjin. Mungkin dapat mengatasi tutukanku dengan mudah!”

Kedua nona itu menjadi bingung.

“Jika tak dapat melumpuhkan kepandaiannya atau memotong kedua kakinya, rasanya sukar untuk menguasai pemuda ini,” akhirnya Bu-song berkata.

“Ah, tidak sampai begitu,” Siau-bun menghibur, “meskipun kepandaiannya telah sempurna sehingga ia kebal di tutuk jalan darahnya, tetapi dia tentu tak berdaya apabila diikat dengan semacam tali istimewa. Misalnya tali dari urat ular atau ulat sutera dan sebagainya….”

“Tetapi benda itu sukar di dapat. Dan saat ini kita berada di tengah gunung yang terpencil. Kemana hendak kita cari?” bantah Bu-song

“Kalau kau dapat menyulap?”

“Menyulap?” Bu-song terkejut heran, “apakah kau sudah membawanya?”

Dari bajunya Siau-bun mengeluarkan dua kerat otot ular besar, serunya, “Telah lama kusimpan benda ini. Bukan karena khusus untuk menangkap pemuda ini, tetapi memang menjadi alat-alat yang kubekal. Ah, tak kira hari ini ada gunanya!”

“Memang banyak hal-hal yang tak terkira. Ayo, kita ikat saja dia!” seru Bu-song.

Dara itu segera menyambar tali dari Siau-bun, terus diikatnya tubuh Thian-leng sekencang-kencangnya.

“Sekarang kita harus cari anggota Kay-pang untuk mengirimkan surat ini kepada perempuan hina itu ” kata Siau-

bun.

“Aku yang menunggu di sini, silakan taci yang mencari!” kata Bu-song.

Setelah menyimpan robekan baju yang bertuliskan darah. Siau-bun segera pergi. Ia tak paham jalan di gunung situ apalagi di tengah malam. Hampir sejam lamanya baru ia dapat mencapai kaki gunung dan berhasil menemukan seorang anak buah Kay-pang.

Demi mendengar ketuanya sakit, pengemis itu pucat. Segera ia menyerahkan surat darah itu kepada kepalanya. Siau-bunpun bergegas-gegas kembali ke gunung. Tiba di kuil, hari sudah hampir terang tanah. Thian-leng pun sudah terjaga tetapi matanya tetap meram dan terdiam. Kedua belah pipinya terdapat jalur bekas merah biru, mulutnyapun berdarah. Terang bahwa dia menerima beberapa tamparan dari Bu-song.

Siau-bun mengerutkan dahi, “Perempuan hina itu tentu beberapa hari baru dapat tiba kemari. Tak perlu buru-buru menyiksanya. Jika dia sampai mati, urusan malah menjadi ”

“Dia pernah berjanji mengikat jodoh dengan aku. Sedang aku tak merasa kasihan sedikitpun kepadanya, mengapa kau berbalik hendak membelanya?” Bu-song melengking. Siau-bun tertawa dingin, “Banyak sekala hal-hal di dunia yang di luar dugaan manusia. Memang hati manusia sukar diduga. Dia sudah berjanji menikah dengan kau, mengapa bisa jatuh di pelukan lain orang. Sejak ini mungkin ”

Dada Bu-song berombak keras, “Tunggu kalau perempuan hina itu sudah datang, di hadapannya nanti tentu akan kubunuh lalu kucincang perempuan hina itu, barulah hatiku puas!”

“Apa katamu?” sekonyong-konyong Thian-leng membuka mata dan berteriak.

Bu-song terkesiap kaget. Katanya kemudian, “Aku tak bicara padamu, mengapa kau bertanya?”

Thian-leng menyahut, “Jika kalian membenci padaku, bunuhlah segera tetapi jangan memaki aku sebagai orang yang tak kenal budi. Ketahuilah ” ia berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Walaupun jagad raya tak terbatas luasnya,

tetapi kekuasan Thian tiada batasnya. Janganlah nona berdua lekas berputus asa!”

“Apakah kau hendak menasehati kami?” bentak Bu-song dengan marah. Plak ia memberi sebuah tamparan lagi.

Pipi Thian-leng makin bengap. Pemuda itu tak dapat menahan kemarahannya lagi, “Akulah yang buta sehingga tak dapat mengetahui bahwa kalian ternyata begini buas!”

“Hm, kau toh sudah mendapat ilmu sakti dari It Bi siangjin, mengapa tak mampu melepaskan diri dari ikatan tali saja? Ayo, mari kita bertempur!”

Thian-leng benar-benar marah sekali. Ia mulai meronta-ronta, mengerahkan tenaganya.

“Hi, hi, hi ,” Siau-bun tertawa, “tali itu walaupun tampaknya kecil tetapi tak mudah putus. Asal kau mampu memutuskannya, tak perlu bertempur lagi, aku dan adik Song segera akan bunuh diri!”

Thian-leng menghentikan usahanya. Memang tak perlu dinasehati, ia sudah mencoba kekuatan tali itu. Jika bukan tali dari urat ular, tentulah dari ulat Thian-jan yang jarang terdapat di dunia. Betapun saktinya tentu tak mungkin dapat memutuskan tali itu.

Ia menghela napas, serunya perlahan , “Bilanglah, apa maksud kalian ini?”

“Pada saatnya kau tentu tahu sendiri. Sekarang kau harus menderita beberapa hari dulu!” seru Bu-song. “Adik Song, kasih tahu dong!” Siau-bun tertawa.

“Mengapa?”

“Adik Song, kau toh seorang cerdik, mengapa harus kuterangkan lagi? Dia toh saat ini menjadi tawanan kita, takut apa kita kasih tahu padanya?”

Bu-song bertepuk tangan, serunya, “Ya, ya, benar. Toh perempuan hina itu baru empat-lima hari lagi datang. Kita beritahukan dia agar dia bisa merenungkan!”

Hati Thian-leng seperti disayat, serunya “Bilanglah, sebenarnya ”

Bu-song tertawa, “Biarlah kuberitahukan sekarang. Ki Seng-wan dalam empat-lima hari tentu datang kemari.” Thian-leng terkejut, “Bagaimana kau tahu?”

“Kamilah yang memanggilnya!” sahut Bu-song.

“Tak nanti dia menurut perintahmu, tentu takkan datang kemari,” jawab Thian-leng. “Jika ia tak datang, kau akan kubebaskan dan aku akan bunuh diri!” seru Bu-song. “Apakah yang kalian rencanakan ini?”

“Oh, kau sungguh-sungguh tak mengerti?” Bu-song tertawa.

Dipandangnya baju Thian-leng yang robek dan bangkai ayam hutan, lalu tertawa mengikik, “Kami telah membuat surat palsu yang ditulis dengan darah ayam. Dan telah menyerahkan surat itu kepada anak buah Kay-pang supaya diantarkan ke Thay-heng-san. Dalam surat itu kukatakan bahwa kau tengah meregang nyawa karena keracunan dan minta perempuan hina itu segera datang. ”

“Keji sekali!” damprat Thian-leng.

“Terhadap manusia rendah budi semacam kau, terpaksa harus dihadapi dengan siasat begitu. Tunggu saja pertunjukan yang lebih bagus bila perempuan hina itu sudah datang nanti.!”

Thian leng tak dapat berbuat apa-apa kecuali menghela napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa keganasan kedua nona itu disebabkan kekecewaan hatinya. Hati yang patah karena merasa dikhianati cintanya.... 

Diam-diam Siau-bun memperhatikan gerak-gerik pemuda itu. Ia tahu bahwa tindakannya terhadap pemuda itu terlalu ganas. Dan ia pedih sekali sebenarnya melakukan hal-hal yang di luar suara hatinya itu.

Haripun makin terang. Akhirnya Siau-bun menghela napas, “Adik Song aku lelah. Harap kau yang menjaga dulu.”

Memang Siau-bun letih. Letih tenaga dan hati. Sekalipun saat itu ia mendapat kemenangan, tetapi hatinya rawan sekali. Tak beberapa lama iapun jatuh tertidur.

Setelah memberi tamparan beberapa kali, hati Bu-songpun longgar sekali. Karena mengingat kuil di situ sunyi senyap dan tak mungkin terjadi apa-apa, maka iapun mulai layap-layap tidur.

Tiba-tiba pada saat ia meram-meram ayam, serangkum angin dingin menghambur dari belakang. Ia terkejut dan cepat loncat bangun tetapi sudah terlambat. Angin itu merupakan angin tenaga tutukan jari yang tak bersuara. Pada saat ia hendak menggeliat bangun, jalan darah bagian Ciang-tay-hiat sudah terkena. Bluk..... iapun jatuh terkulai......

Tetapi suara itu cukup membangunkan Siau-bun. Jelas dilihatnya bahwa seorang manusia aneh yang bermuka hitam sekali dan berambut putih, berpakaian warna merah tengah menutuk roboh Bu-song. Dan kini orang itu tengah menyerangnya.

Kejut Siau-bun bukan kepalang. Walaupun tengah tidur, tetapi suara yang timbul dari jarak beberapa puluh tombak jauhnya, dapat diketahuinya. Anehnya, manusia aneh itu muncul tanpa suara sama sekali, dan cara-cara serangannyapun luar biasa. Kalau Bu-song tak roboh tentu dia tak mendengar suara apa-apa.

Cepat-cepat Siau-bun menggelinding di lantai sampai lima tombak jauhnya, sehingga ia dapat terhindar dari serangan si orang aneh.

“Lekas bukakan ikatanku. Kau bukan tandingan orang itu!” terdengar Thian-leng berseru kepadanya. Tetapi Siau-bun tak menghirauka. Ia tahu bahwa manusia aneh itu tentulah seorang tokoh yang sakti. Cepat ia taburkan passer Tui- hong-kiong. Kaki, perut dan tenggorokan orang itu sekaligus diserangnya.

Tring, tring tring terdengar orang aneh itu mengekeh dan menangkis jatuh Tui-hong-kiong. Menyusul ia gerakkan

tangan kirinya. Dari kelima jarinya terdengar angin mendesis-desis menyambar ke arah Siau-bun.

Siau-bun terkejut dan tergopoh-gopoh loncat menghindar. Hanya sedikit memakai tenaga kaki, orang aneh itu sudah melesat ke tengah-tengah Siau-bun dan Thian-leng.

Karena tak dapat berkutik, Thian-leng hanya mengawasi kejadian itu dengan mata melotot.

Siau-bun mencabut pedang. Tiga buah jurus ia lancarkan ke arah manusia aneh itu. Suaranya menderu-deru, sinarnya berkelebatan laksana kilat menyambar. Jurus itu dinamakan Toh beng sam-kiam atau Pedang pencabut nyawa. Sejak kecil Siau-bun sudah meyakinkannya, sehingga sudah mendarah daging.

Orang aneh itu tetap tak memakai senjata. Dengan kesepuluh jarinya yang runcing seperti cakar besi, ia menyambar pedang Siau-bun.

“Siluman, kau hendak cari mampus!” teriak Siau-bun. Ia percepat gerak permainannya. Segulung sinar perak berhamburan menyilaukan mata.

Orang aneh itu tetap tak berkisar. Matanya berapi-api membentak, “Serahkan!” Hok Mo tongcu

Tring...tring. tahu-tahu pedang Siau-bun sudah berpindah ke tangan si orang aneh.

Kepandaian orang aneh itu benar-benar mengagumkan. Bukan hanya Siau-bun, Thian-leng pun yang masih terikat kaki dan tangannya juga tercengang-cengang.

“Budak perempuan, ayo keluarkan kepandaianmu lagi!” seru orang aneh itu seraya tertawa mengikik.

Siau-bun kaget dan marah sekali. Dengan berteriak kalap seperti orang gila, ia menaburkan tui-hong-kiong lagi.

“Eh, mainan anak kecil itu hendak kau pertunjukkan di hadapanku?” orang aneh itu tertawa gelak-gelak seraya menyapu dengan tangannya. Tring,..tring... tring. Tui-hong-kiong jatuh berhamburan.

“Silumankah engkau?” Siau-bun terlongong-longong kaget.

“Aku adalah naganya manusia, mengapa kau katakan siluman?” orang aneh berbaju merah itu tertawa.

“Siapakah kau!” Siau-bun membentak.

“Aku adalah Hok Mo tongcu. pernahkah kau mendengarnya?” 

“Apa itu? Siapa kenal dengan bangsa manusia tak ternama!”teriak Siau-bun.

Hok Mo tongcu atau kepala dari goa Hok-mo-tong, tertawa dingin, “Benar, aku memang bukan manusia ternama. Tetapi banyak sudah tokoh-tokoh terkenal yang menyembah kakiku. ” ia menyapu pandangannya kepada si nona,

lalu berkata pula, “Jadi kau tak memandang mata kepadaku?”

Siau-bun membelalakkan matanya. Thian-leng masih terikat, sedang Bu-song sudah tertutuk jalan darahnya. Menghadapi manusia setengah siluman yang berkepandaian sakti itu, ia benar-benar bingung.

“Oh, jadi kau menganggap dirimu sebagai tokoh nomor satu di dunia?” serunya sesaat kemudian. Hok-mo-tong-cu tertegun sejenak, ujarnya, “Sekalipun bukan begitu, tetapi hampirlah!”

“Lalu apa maksud kedatanganmu kemari!”

Orang aneh itu kembali tertegun. Tiba-tiba ia membentak keras, “Budak perempuan, kau terlalu lancang!”

Siau-bun tak menghiraukan dan melanjutkan kata-katanya, “Kalau kau menganggap dirimu tokoh nomor satu di dunia, beranikah kau bertanding dengan jagoku? Cukup tiga jurus saja. Asal kau mampu menerima pukulannya, aku sedia menyerah padamu!”

“Siapa?” dengus Hok-mo-tong-cu.

“Dia!” Siau-bun menunjuk pada Thian-leng.

Wajah si orang aneh yang hitam seperti pantat kuali tampak berobah. Pada lain saat ia tertawa nyaring, “Dia seorang pemuda yang lemah, bagaimana aku sudi bertanding dengannya?”

“Jangan pakai alasan ini-itu. Pokoknya, kau berani atau tidak!” teriak Siau-bun.

Mata Hok-mo-tong-cu berkeliaran, serunya mengejek, “Jika dia sakti, mengapa diringkus orang sampai tak berkutik?”

Siau-bun hendak membikin panas hati orang aneh itu sehingga memberi kesempatan padanya untuk membuka ikatan Thian-leng. Tetapi ternyata walaupun tampaknya ketolol-tololan, orang aneh itu cerdik juga. Dia tak kena diakali.

Thian-leng tak kurang gelisahnya. Tetapi karena masih terikat. Ia tak dapat berbuat apa-apa.

Pada saat itu Bu-songpun sudah berusaha keras untuk menyalurkan tenaga dalamnya. Tetapi sampai detik itu ia belum berhasil membuka jalan darah yang tertutuk.

“Heh, heh, budak perempuan, kau tunduk padaku atau tidak ?” tiba-tiba manusia aneh itu tertawa mengekeh. “Huh, siapa sudi mendengar ocehanmu. ” dengus Siau-bun. Ia terus hendak mengulur waktu sambil mencari akal.

Orang aneh itu menatap Siau-bun tajam-tajam. Tiba-tiba ia tertawa mengikik, “Budak perempuan, aku hendak bertanya padamu. Asal kau mau menjawab sejujurnya, tentu takkan kubikin susah. Tetapi kalau berani membohong, awas…., kalian tentu akan kusiksa satu demi satu!”

“Bertanyalah!” seru Siau-bun.

Hok –motong-cu melirik Thian-leng, serunya, “Apakah dia benar Bu-beng-jin yang telah mendapat ilmu pelajaran dari It Bi siangjin itu?”

“Hm, kini kau mulai membuka kartu,” kata Siau-bun. “Kalau benar bagaimana dan kalau bukan bagaimana pula?”

Hok-mo-tong-cu membentak, “Aku hanya minta kau menjawab sejujurnya. Jika kau banyak mulut, jangan sesalkan aku berlaku ganas. Tentu kuberi engkau sedikit hajaran. lekas bilang, apakah dia benar Bu-beng-jin?”

“Benar!” Siau-bun terkejut.

Hok-mo-tong-cu tertawa puas. “Benda apapun di dunia ini, tak ada yang kuinginkan, kecuali satu ialah kitab pusaka peninggalan It Bi siangjin… ” Ia berhenti sejenak lalu menyambung pula. “Apakah kitab itu berada padanya?”

“Mengapa kau tak tanya sendiri padanya?” balas Siau-bun.

Hok-mo-tong-cu tersenyum, “Kukira wanita mudah bicara terus terang… ”

“Mungkin kau buta!” Siau-bun tertawa mengikik. “Jangankan aku memang tak tahu, sekalipun tahu, jangan kau harap dapat mencari keterangan dariku.”

Hok mo-tong-cu marah, “Rupanya tulangmu keras sekali, budak! Jika tak kuberi hajaran tentu tak mau berkata terus terang!” tiba-tiba ia mencengkeram bahu Siau-bun.

Karena pedang dan senjata rahasianya tak berhasil, Siau-bun sudah putus asa. Dengan berteriak seperti orang gila ia menerjang manusia aneh itu. Tetapi ia terkejut sekali karena tahu-tahu tenaganya hilang. Yang dirasakan hanya angin dingin yang menghambur dari kelima jari Hok mo-tong-cu, tahu-tahu tenaganya terbawa hanyut. Dan yang lebih mengejutkan, jari-jari berhawa dingin dari Ho-mo-tong-cu itu langsung menusuknya.....

Siau-bun sudah kehilangan daya perlawanannya lagi. Ia mengerahkan tenaganya untuk bergulingan di tanah. Keadaannya benar-benar pontang-panting.

Sebenarnya Hok-mo-tong-cu tak bermaksud sungguh-sungguh untuk melukainya. Tetapi ia sengaja menggembor keras dan melesat mendekati. Tangannya diangkat hendak dihantamkan.

“Berhenti!” teriak Thian-leng.

Hok-mo-tong-cu tertawa sinis. Ia menghentikan tinjunya, “Heh, heh, kau hendak mengaku.”

Thian-leng berteriak, “Kau seorang tongcu, mengapa kau hendak menganiaya seorang anak perempuan,? Apakah kau tak malu kepada dirimu?”

“Selamanya aku hanya mementingkan tujuan!” Hok-mo tong-cu tertawa. “Manusia rendah!” damprat Thian-leng.

Menggunakan kesempatan mereka sedang berbicara, diam-diam Siau-bun beringsut ke dekat Thian-leng. Secepat kilat segera ia hendak membuka tali pengikat pemuda itu.

Tetapi hal itu tak dapat lepas dari mata Hok-mo-tong-cu. Dengan tertawa mengekeh, ia membalikkan tangannya. Serangkum asap putih menyembur ke arah Siau-bun. Tuk jalan darah Ciang-thay-hiat Siau-bun tertutuk.

Robohlah nona itu........

“Iblis tua, jangan melukainya!” teriak Thian-leng.

“Heh, heh, erat sekali hubungan kalian ini. Mereka berdua telah mengikatmu dan menyiksamu, tetapi kau masih begitu sayang kepada mereka, hm, jarang sekali ada orang semacam kau. ” Hok mo-tong-cu tertawa mengejek.

Sejenak memandang kepada ketiga anak muda yang terbaring di tanah, momok itu kembali berseru, “Karena kau begitu sayang kepada mereka, baiklah hendak kusiksa mereka supaya kau dapat menikmati!”

Ia menutup kata-katanya dengan mencengkeram bahu Siau-bun. Karena jalan darahnya tertutuk, Siau-bun tak dapat berbuat apa-apa. Ia meramkan mata menerima nasib....

“Jangan menyiksanya, baik, akan kuberitahukan padamu!” teriak Thian-leng. “Kau bawa?” Hok mo-tong-cu menghentikan tangannya.

“Tidak, tetapi aku dapat mengantarkan engkau!” sahut Thian-leng.

Hok-mo-tong-cu sangsi, “Tetapi ingat, jangan kau berani menipuku atau kalian bertiga tentu akan kusiksa sampai mati!”

“Bagaimana supaya kau bisa percaya?” “Bersumpahlah!”

Tanpa ragu-ragu Thian-leng segera mengangkat sumpah berat. “Dimana tempatnya?” Hok-mo-tong-cu tertawa puas.

“Sudah tentu berada di gunung Thay-heng-san!”

Hok-mo-tong-cu merenung sejenak, ujarnya. “Kalau siang malam menempuh perjalanan, lima hari baru sampai. Hm, tak apalah, karena kau sudah bersumpah, akibatnya kau tentu dapat membayangkan sendiri. ”

Thian-leng tertawa, “Sekali meluluskan sudah tentu takkan bohong. Lekas lepaskan aku dan marilah kita berangkat!”

Iblis Hok-mo-tong-cu tertawa mengekeh, “Budak, enak sekali kau bicara. Sekali kulepas, habislah segala jerih payahku.”

Ia mengeluarkan sehelai karung dari kain hitam, serunya, “Biarlah dalam beberapa hari aku memeras tenaga dan kaupun perlu menderita sedikit.” Habis berkata, ia terus menjinjing Thian-leng dan dimasukkan ke dalam karung, lalu dipanggulnya. Dalam keadaan begitu, tiada seorangpun yang mengira iblis itu tengah membawa karung berisi manusia.

Siau-bun dan Bu-song meskipun tak dapat berkutik, tetapi pikiran mereka masih tetap sadar. Mereka menyaksikan sendiri apa yang terjadi pada diri Thian-leng. Diam-diam timbullah rasa sesal mereka.

Tiba-tiba Hok-mo-Tong-cu menghentikan langkah dan berputar. Ia mengambil dua butir pil merah, serunya, “Jika gagal mendapatkan kitab pusaka It Bi siangjin, aku akan kembali menyembelih kalian. Tetapi pulang pergi kesana, paling tidak tentu memakan waktu sepuluhan hari. Agar kalian jangan sampai mati kelaparan, kuberi masing-masing sebutir pil tahan lapar.”

Ia menyusupkan pil itu ke mulut Siau-bun dan Bu-song.

“Kuil yang kalian pilih ini memang tepat sekali. Takkan ada orang yang datang kemari, takkan ada orang yang mengetahui kalian!”

Momok dari Hok-mo-tong itupun segera lenyap. Tak berapa lama haripun terang. Sinar matahari mulai merembes di celah-celah retakan dinding kuil, seolah berusaha menerobos masuk untuk membantu mengeringkan air mata yang membasahi pipi kedua dara itu.....

Siau-bun dan Bu-song membasuh muka mereka dengan kucuran air mata yang deras. Sampai lama mereka bungkam dibenam penyesalan.

“Taci, kita salah perhitungan!” kata Bu-song.

Siau-bun mendengus, “Bukan rencana kita yang salah, tetapi karena diganggu oleh kejadian yang tak terduga-duga!” Bu-song menghela napas, “Bagaimanapun juga, kita mencelakai orang akhirnya mencelakai diri kita sendiri ”

“Kau menyesal?”

Bu-song tertegun, serunya, “Aku tak menyesal. Yang penting sekarang kita harus mencari akal bagaimana supaya jangan tersiksa begini!”

“Jangan takut!” kata Siau-bun, “dia hanya menutuk jalan darah kita. Beberapa saat lagi kita tentu dapat terlepas!”

Bu-song tersenyum tawar. “Ah, percuma. Ilmu tutuk iblis itu berbeda dengan yang lain. Kalau tak percaya kau boleh coba!”

Siau-bun diam-diam mengerahkan tenaganya. Tetapi sampai sepeminuman teh lamanya belum juga ia berhasil membuka jalan darahnya.

“Bagaimana?” Bu-song tertawa rawan, “rupanya kita harus menunggu ajal dengan perlahan!”

Siau-bun pun tertawa sedih, “Ah, belum tentu. Kita toh masih mempunyai waktu lima hari. Perempuan hina Ki-seng- wan itu tentu datang kemari….”

“Itu lebih celaka lagi, ia tentu akan membunuh kita!” seru Bu-song.

Siau-bun menghela napas. “Apa boleh buat kalau memang harus begitu!”

“Manusia berdaya, Thian yang berkuasa. Taci Bun. Aku tetap menganggap rencana kita ini gagal.”

Siau-bun tak menyahut. Dan memang ia tak mempunyai bahan yang dapat dikatakan lagi. Adalah karena munculnya iblis Hok mo-tong itu maka rencananya gagal total, bahkan dirinya sendiripun celaka.

Kembali mereka berdiam diri.

Daerah gunung Ceng-liong-nia memang daerah terpencil, jarang didatangi manusia. Meskipun siang hari, tak tampak manusia atau binatang yang berkeliaran. Dan haripun berganti malam, berarti mereka telah tersiksa sehari.

Hari keduapun tak ada perobahan. Demikianpun ketiga dan keempat, hingga hari yang kelimapun tiba. Menjelang magrib, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki orang berlari-lari mendatangi.

“Dia datang. ” bisik Siau-bun.

“Tetapi agaknya bukan hanya seorang, apakah tidak ” baru Bu-song berkata sampai di situ, sesosok bayangan

warna ungu dan hijau menerobos ke dalam kuil. Ah, pendatang itu bukan lain Ki Gwat-wan dan Ki Seng-wan taci beradik.

Wajah mereka kumal penuh debu dan tampaknya letih sekali. Jelas bahwa mereka telah melakukan perjalanan jauh tanpa berhenti.

Begitu masuk ke dalam kuil, mereka terlongong-longong, Gwat-wan cepat menarik adiknya diajak keluar ke pintu lagi, serunya, “Adik, apa yang kukatakan ternyata benar. Pok siangkong mempunyai kepandaian yang sakti, mungkin dalam masa ini ia terhitung jago yang nomor satu. Tetapi mengapa bisa keracunan. Dan taruh kata keracunan, mengapa tidak diangkut pulang oleh anak buah Kay-pang? Melainkan hanya mengirim surat memanggil kau kemari. Dan lagi, bukankah dia bersama gihu menuju gunung Tiam-jong-san? Sekarang mengapa gihu tak tampak… ?”

Ki Seng-wan menghela napas, “Kita harus percaya apa yang nyata. Memang aku tak pernah berpikir begitu   jauh… ” ia melirik ke arah Bu-song dan Siau-bun lalu tertawa dingin. “Bangunlah! Karena kalian sudah berhasil

menipu kami berdua kemari, ayo bangun dan bereskan perhitungan. Mengapa kalian pura-pura menggeletak di situ?”

Tetapi Siau-bun dan Bu-song tak menyahut dan tak bergerak. Suatu hal yang menimbulkan keheranan kedua taci beradik Ki itu.

“Apa kalian bisu?” tegur Ki Seng-wan. Siau-bun dan Bu-song tetap membisu.

Walaupun marah tetapi diam-diam hati Ki Seng-wan lega juga. Ia tahu bahwa dirinya telah dijebak kedua dara itu. Tetapi karena Thian-leng tak berada di situ, berarti tentu selamat. Bahwa pemuda itu terkena racun, tentu isapan jempol saja.

“Takkan kubenci kalian asal kalian mau mengatakan dia sekarang?” katanya kepada Siau-bun dan Bu-song. Tetapi Gwat-wan cepat menarik adiknya, “Tak perlu tanya mereka, masakah kita tak mampu mencari sendiri?”

“Tetapi dunia begini luasnya, kemana kita harus mencari?” Seng-wan meragu.

Gwat-wan tertawa dingin, “Dia toh hadir dalam rapat Eng-hiong tay-hwe di gunung Tiam-jong-san. Kita kesana tentu dapat menemuinya. Paling tidak kita dapat bertanya pada orang!”

“Benar, benar. Ayo, kita kesana!” seru Seng-wan seraya terus hendak melangkah pergi. “Tunggu!” tiba-tiba Siau-bun berseru, “tak nanti kalian bisa mencari di sana!”

Seng-wan menghentikan langkah, “Eh, mengapa? Apa dia sudah pergi?” ditatapnya kedua dara itu tajam-tajam. “Hai, mengapa kalian terus-menerus berbaring di lantai saja?”

Bu-song mendengus, “Jika kami dapat bangun tentu tak mau membuang waktu bicara dengan engkau! Eh, coba kau tolong bukakan jalan darah Ciang-thay-hiat ini!”

Kini baru kedua taci beradik itu tahu akan keadaan kedua dara itu. Ki Seng-wan serentak hendak memberi bantuan.

“Tunggu dulu,” tiba-tiba Gwat-wan mencegah, “mereka membencimu setengah mati. Mereka telah menipu supaya kau datang kemari. Jika kau tolong mereka, bukankah seperti melepas naga ke dalam lautan? Apakah kita berdua dapat hidup?”

Setelah merenung beberapa saat, berkatalah Ki Seng-wan, “Kita harus dapat memaafkan orang, jangan orang yang memaafkan kita. Bermusuhan atau bersahabat tergantung dari anggapan mereka sendiri!”

Tanpa menghiraukan peringatan tacinya, Seng-wan segera menghampiri kedua dara itu. Gwat-wan menghela napas seraya menggelengkan kepala. Ia tahu watak adiknya yang sukar dicegah.

Dua buah tamparan berhasil membuka jalan darah Bu-song dan Siau-bun. “Apakah adik berdua tahu dimana dia sekarang?”

“Jika ingin menemuinya, harap ikut kami!” sahut Bu-song dingin. Terus ia hendak bangkit.

Ah. walaupun jalan darahnya sudah terbuka, tetapi tubuhnya masih tak dapat berkutik, seolah-olah seperti terikat

oleh tali. Juga Siau-bun serupa keadaannya. ooo000ooo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar