Panji Tengkorak Darah Jilid 25

Jilid 25 .

Raja kutu Coh Seng dan Wajah seribu pucat pasi. Setelah saling berpandangan, mereka terhuyung mundur. Genderang itu mempunyai pengaruh besar terhadap mereka. Dengan terhuyung-huyung kedua durjana itu lari menyembunyikan diri dalam kegelapan.

Setelah seruling sirap dan kedua durjana itu mundur, tamburpun perlahan-lahan lenyap. Suasana pun hening...........

Jenggot perak mengerutkan kening. Serunya tergagap, “Siapa. ?”

“Siapakah yang membunyikan tambur itu?” tanya Bu-song. Jenggot perak hanya menggeleng. “Masakah kakek yang banyak pengalamannya sedikitpun tak dapat meraba?” desak Bu-song.

Setelah merenung sejenak, berkatalah Jenggot perak, “Beberapa tahun yang lalu, kudengar di daerah Se-hek (Tibet) terdapat seorang tokoh wanita bergelar Sin-ku-sian-lo ( dewi tambur). Mungkin tambur itu mempunyai hubungan dengan wanita sakti itu. Tetapi kakek belum pernah mendengarnya!”

Diam-diam Jenggot perak teringat akan Bu-beng-jin. Nasib pemuda itu terletak di tangan si pemilik tambur. Karena jelas ketika di gunung Thay-heng-san, pembawa tambur itu tak lain tak bukan hanyalah seorang dara baju merah yang baru berumur belasan tahun. Tetapi, ah, mengapa dara itu tak muncul?

Juga Hun-tiong Sin-mo dan pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay bingung. Suara tambur itu terdengar jelas dan lenyap secara misterius. Tetapi yang jelas, suaranya hebat sekali, menggetarkan urat-urat jantung orang.

“Kek, di mana orang itu?” seru Bu-song pula.

“Mungkin ia tak mau menemui kita. atau mungkin ia mendapat perintah jangan menemui kita,” kata Jenggot

perak.

“Kakek kenal padanya?” Bu-song terkesiap.

Jenggot perak tertegun, “Baru kali ini kakek mendengar tambur, bagaimana aku tahu?”

“Kalau tak kenal, mengapa kakek bisa mengatakan dia mendapat perintah orang?” tanya Bu-song lagi. 

“Ah,. kakek hanya menduga saja,” Jenggot perak kewalahan.

“Lalu di mana dia? Mengapa tak menjumpainya?” “Bagaimana kakek bisa tahu?”

“Toh kakek mempunyai ilmu Melihat langit mendengar bumi?” desak si dara.

“Dia menggunakan ilmu Cian-li-yang-seng, ilmu Melihat langit mendengar bumi percuma saja!”

Bu-song tertawa dingin, “Ah, tak kira malam ini kita bertemu dengan tokoh-tokoh sakti. Tetapi sayang mereka tak mau unjuk diri!” Dengan kata-kata itu, ia hendak memancing supaya si pemukul tambur unjuk diri. Ia yakin kata- katanya tentu terdengar sampai beberapa puluh tombak.

Tetapi tetap tiada reaksi apa-apa.

“Sudahlah, budak, jangan ribut-ribut saja!” akhirnya Jenggot perak membentak.

Sebaliknya Bu-song malah penasaran, Dengan sekeras-kerasnya ia berteriak, “Huh, apa-apaan itu. Hanya ilmu memukul tambur saja masa hendak dibanggakan!”

Pemilik tambur sebenarnya masih bersembunyi di sekitar tempat itu. Waktu mendengar hinaan Bu-song, ia tak dapat menahan lagi. Serentak ia loncat melayang keluar dan muncul di hadapan Bu-song.

Bu-song terkejut bukan kepalang. Ternyata yang muncul di hadapannya itu hanya seorang dara belasan tahun yang memakai pakaian serba merah. Rambutnya dikepang dua, sepasang matanya yang bundar melotot marah kepada Bu- song.

Sambil menepuk-nepuk tambur kecil yang digendong di belakang punggungnya, dara itu melengking congkak, “Memang tamburku yang butut ini tak berguna, tetapi. ” ia mengerutkan keningnya menyengir, dan tiba-tiba

membentak, “Kau mempunyai berapa muka!”

Walaupun bernada marah, tetapi sikap dara itu wajar kekanak-kanakan sekali. Memang usianya baru sekitar dua belas-tiga belas tahun.

“Oh, aku tak menyangka kalau yang memukul tambur engkau.” seru Bu-song setelah hilang kejutnya. “Kau sangka siapa?”lengking si dara.

“Kukira tentu seorang yang tua, seorang kakek yang berwajah bengis. Ah, tak kira ternyata seorang adik yang manis dan lincah!”

“Eh, benarkah aku ini manis?” seru si dara.

Bu-song tertawa, “Benar, aku tak pernah memuji orang. Kalau kau mau, aku suka mengakumu sebagai adik!”

Dara itu memandang Bu-song dari ujung kaki sampai ke ujung kepala, kemudian tertawa, “Bagus, sekarang aku mempunyai tiga orang taci, seorang engkoh. ” setelah memainkan matanya yang bundar, dara itu berseru pula,

“Cici, aku bernama Pok Lian-ci. Siapakah namamu?”

Bu-song mengerutkan keningnya, “Hai, apakah ibumu,” “Sudah meninggal…!” sahut Pok Lian-ci dengan rawan.

“Meninggal?” Bu-song terharu juga. Maskah seorang dara yang masih begitu kecil sudah tak beribu lagi. Dan teringatlah ia akan nasibnya sendiri. Ayah bundanya sudah meninggal. Bu-beng-jin yang sudah berjanji pada kakeknya untuk dijodohkan padanya, ternyata hilang di gunung Thay-heng-san. Bu-song berlinang-linang……

“Eh, mengapa kau? Bagaimana aku harus memanggilmu?” seru si dara.

Bu-song tertawa rawan, “Tak apa-apa! Aku bernama Lu Bu-song. Kita senasib. Sejak kecil akupun sudah kehilangan ayah bunda dan ikut pada kakek. ” ia menunjuk pada Jenggot perak, “Kenalkanlah pada kakekku!”

Pok Lain-ci maju ke hadapan Jenggot perak, serunya, “Kek. eh, bagaimana aku memanggilmu?”

Jenggot perak tertawa meloroh, “Ya, ya dengan siapa kau datang ke Tiong-goan?”

“Dengan ayah!” sahut si dara. “Apakah ayahmu orang Mongol?” “Tidak, nenekku!”

“Nenekmu?” Jenggot perak terkesiap, “Kalau begitu, nenekmu tentulah Dewi Tambur!”

Pok Lain-ci bertepuk tangan, “Tepat sekali dugaanmu, kek! Selain tambur, nenek juga pandai meniup seruling, memainkan harpa dan lain-lain…. eh, apakah kakek kenal padanya?”

Jenggot perak menggelengkan kepalanya, “Telah lama kudengar namanya, tetapi tak pernah berjumpa muka. Apakah dia sehat-sehat saja?”

“Nenek sudah meninggal!” kembali wajah Pok Lian-ci mengerut rawan. Jenggot perak menghela napas. Tiba-tiba ia berseru, “Ayahmu?”

“Dia …. dia datang bersama aku…..” katanya tergagap. Dara itu tak dapat berbohong. Walupun sebenarnya ia tak mau mengatakan hal itu, namun tak dapat juga ia menyimpan rahasia.

“Dimana ayahmu? Mengapa tak ajak ia menjumpai aku!” Jenggot perak berseru tegang.

“Tidak!” seru Pok Lian-ci, “Ayah mengatakan, jika tak perlu tak mau menemui kakek. Sebenarnya aku tak boleh mengatakan tentang dirinya, karena kuatir kakek mendampratnya. !”

“Kalau begitu ayahmu itu. ”

“Juga tak boleh mengatakan namanya!” tukas Pok Lian-ci.

Mendengar itu Cu Giok-bun segera menghampiri. Dengan lemah-lembut dibelainya rambut Pok Lian-ci. Katanya halus, Nah, jika kau mengaku mempunyai taci, mempunyai kakak, akulah bibimu!”

Bibi!” seru Lian-ci tertawa riang.

Cu Giok-bun sejenak bertukar pandang dengan Jenggot Perak, lalu berkata kepada Lian-ci, “Nak, katakanlah siapa nama ayahmu. Kita sekarang orang sendiri!”

Pok Lian-ci mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali. Ia hendak mengatakan sesuatu, tetapi ragu-ragu. Akhirnya ia menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku tak boleh melanggar pesan ayah!”

Cu Giok-bun kewalahan. Katanya pula, “Bukankah ayahmu itu tokoh yang gemar memakai pedang besi, yang batangnya digantungi kantong kecil berbentuk hati. ”

“Benar!” teriak Pok Lain-ci serentak, “apakah bibi kenal padanya?”

Seketika berobahlah muka Cu Giok-bun, “Tidak, aku tak kenal. mungkin dulu pernah kenal, tetapi sekarang tidak!”

Pok Lain-ci memandang bibi itu dengan heran. Namun ia tak berani mengatakan apa-apa.

Siau-bun telah melihat perobahan airmuka ibunya. Begitupun pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay dan Lu Bu-song, tetapi mereka tak berani bertanya.

Adalah Jenggot perak yang memecah kebuntuan dengan berbatuk-batuk, ujarnya, “Eh, kau mempunyai seorang engkoh dan dua orang taci?”

Lian-ci tertawa, “Sekarang tambah dengan seorang taci lagi. tetapi ibuku hanya melahirkan seorang anak saja.

Yang lain adalah setelah aku datang ke Tiong-goan, aku mendapat engkoh dan taci angkat. ”

“Apakah engkoh angkatmu itu kau dapatkan di gunung Thay-heng-san?” tanya Jenggot perak. Lian-ci mengangguk.

Jenggot perak menghela napas. Tiba-tiba ia berpaling kepada Cu Giok-bun, “Urusan ini masih penuh tabir kegelapan, kau. ”

“Tujuh belas tahun telah lampau, masakah aku masih mndendam hal itu?” Cu Giok-bun tertawa.

Jenggot perak tertawa juga, “Itulah baik. Apabila dia benar Thiat-beng, tentulah dia juga menderita. Jika bertemu muka, kau harus mengalah. ” kata-kata itu ia ucapkan dengan ilmu Menyusup suara, sehingga orang lain tak

mndengarnya.

Cu Giok-bun tertawa rawan, “Memang , kini aku tahu bahwa dia bukan orang yang tak setia. Adalah karena perbuatan Ma Hong-ing yang mengadu domba sehingga kami suami isteri menjadi retak. ” ia tak dapat melanjutkan kata-

katanya karena tersekat rasa haru. Po Lian-ci bergantian memandang pada Jenggot perak dan Cu Giok-bun, serunya terbata-bata, “Bibi, kau kenapa?

Apakah kau juga mempunyai kesedihan?”

Cu Giok-bun menghela napas, “Nak, bibi hendak bertanya padamu, maukah engkau menjawab dengan terus terang?” Lian-ci mengangguk, “Asal jangan menanyakan nama ayahku, tentulah akan kuberi keterangan sejujurnya!”

“Tak usah kau katakan hal itu. Cukup asal kau jawab apakah yang kukatakan itu benar atau tidak!” Cu Giok-bun berhenti sejenak, lalu berkata pula, “Bukankah ayahmu bernama Pedang bebas Pok Thiat-beng?”

Gemetar tubuh si dara mendengar pertanyaan itu. Serunya terkejut, “Bibi,...kau. ?”

“Apa yang kukatakan itu benar atau tidak?” Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun mendesak. Lian-ci terengah-engah napasnya seperti orang menghadapi soal sulit.

“Benar sih benar, tetapi ayah melarang aku mengatakan!” sahutnya.

Cu giok-bun menghela napas, “Kalau kata-kataku itu benar, janganlah kau memanggilku bibi lagi, nak. ”

“Eh, habis bagaimana aku harus memanggil?” kata si dara gugup. “Panggil aku mamah!” seru Cu Giok-bun dengan nada mantap.

Bukan saja Lian-ci, tetapi Siau-bun dan Bu-song pun terbeliak kaget.

Siau-bun menarik ujung baju ibunya dan bertanya dengan tegang, “Mah, apakah ayah. ”

“Mungkin tak salah ” Cu Giok-bun menghela napas, “Kalau datang mengapa tak lekas menemui aku!”

“Mengapa aku harus menyebutmu mamah? Mamahku. sudah meninggal!“ teriak Lian-ci.

Cu Giok-bun tertegun, “Apakah ayahmu tak pernah menceritakan?”

Eng-hiong tay-hwe.

“Tidak!” Lian-ci menggelengkan kepala. Ia merenung sejenak lalu berkata pula, “Memang ibuku dulu pernah bercerita bahwa ketika tiba di daerah Se-hek, ayah sakit berat. Tubuhnya kurus kering seperti tulang terbungkus kulit. Sudah tiga hari menggeletak di tepi telaga. Jika tak ditemui ibu, ayah tentu sudah mati!”

Cu Giok-bun menghela napas. Ia membayangkan keadaan Pok Thiat-beng kala itu. Karena salah paham, Thiat-beng merantau ke Se-hek (Tibet). Bukan mustahil keadaannya menderita, jatuh sakit tiada yang merawat. Tentulah ia merasa berhutang budi pada puteri Dewi tambur yang menolongnya. Kemudian mereka tentu menikah. Hal itu mungkin juga karena Thiat-beng tentu masih mendendam kepadanya. Kemungkinan Thiat-beng tak mau mengatakan bahwa sebenarnya ia sudah menikah dengan Cu Giok-bun.

Beberapa saat Cu Giok-bun , Lian-ci, Jenggot perak dan yang lain-lain berdiam diri. Tiba-tiba terdengar bunyi lonceng dan tambur. Itulah tanda pembukaan rapat Eng-hiong-tay-hwe ( rapat besar orang gagah), akan dimulai.

Jenggot perak gelagapan, “Bun-ji, dalam beberapa hal Thiat-beng memang harus dikasihani. Dalam Eng-hiong-tay- hwe nanti, mungkin kau bisa berjumpa… ” ia berhenti sejenak, katanya pula, “Dahulu ayah yang menjodohkan.

Sekarang ayahpun tetap hendak berusaha supaya kalian suami isteri bisa berkumpul kembali.”

Tiba-tiba seorang lelaki berlari-lari mendatangi dan memberi hormat di hadapan Jenggot perak, “Subuh sudah lewat, apakah rapat akan dibuka menurut waktu yang telah ditetapkan?”

Orang itu ternyata Li Cu-liong, ketua partai Tiam-jong-pay yang menjadi anak angkat Jenggot perak. Dahi dan kepala ketua Tiam-jong-pay itu mandi keringat, sikapnya gugup dan gelisah. Tetapi ketika pandangannya tertumbuk pada si dara Pok Lian-ci, ia tertegun.

“Seorang ksatria harus memegang janji. Apalagi mengenai urusan yang sedemikian pentingnya. Rapat tetap dibuka tepat pada waktu yang telah ditetapkan!”

Li Cu-liong tersipu-sippu mengiyakan. Ia menerangkan bahwa saat itulah rapat sudah harus dimulai. “Apakah persiapan sudah lengkap semua?”

Li Cu-liong mengiyakan.

“Apakah para tamu sudah hadir semua?”

“Sudah tujuh-delapan bagian yang hadir, tapi……” ketua Tiam-jong-pay itu sejenak mengedipkan mata, katanya,”Rombongan Sin-bu-kiong dan Hek Gak belum tampak!”

Jenggot perak tertawa meloroh, “Jika mereka sungguh tak datang. Setelah mendapat persetujuan rapat, aku hendak mengajak sekalian tamu untuk ngeluruk ke Sin-bu-kiong dan Hek Gak………”

Jenggot perak segera mengajak rombongannya menuju ke lapangan, “Ayo kita bertemu dengan para ksatria dari delapan penjuru.!”

Bangsal pertemuan penuh dengan orang. Meja berhias hidangan-hidangan minuman arak dan makanan yang lezat. Perjamuan itu benar-benar meupakan pertemuan yang jarang terjadi selama beberapa puluh tahun. Sekalian orang gagah dari seluruh penjuru berkumpul menjadi satu, sama-sama menikmati hidangan dan menguji kesaktian.

Tetapi suasana perjamuan bukan diliputi oleh kegembiraan, melainkan kecemasan. Sekaligus ada beberapa ratus orang yang hadir, tetapi suasanya masih sunyi-sunyi saja.

Pol Lian-ci m emang masih kekanak-kanakan. Kalau orang-orang gelisah, sebaliknya dia malah gembira sekali. Sambil melonjak-lonjak seperti anak kecil, ia bertanya kepada Jenggot perak, “Kek, apakah hari kau mengadakan ulang tahun?”

Ia teringat dulu ketika neneknya merayakan ulang tahun, juga menyelenggarakan pesta besar. “Bukan ulang-tahunku, tetapi kakek sedang mengundang tamu!” Jenggot perak tertawa.

“Mengundang tamu?” Lian-ci heran.

Jenggot perak menyahut dengan nada mantap. “Adalah karena telah mengundang para tamu ini, maka kakek sampai perlu datang dari tempat yang jauh…..”

Walupun kata-kata itu ditujukan pada Lian-ci tetapi sebenarnya Jenggot perak hendak menumpahkan keresahan hatinya. Yang paling menjadi pikirannya ialah diri Bu-beng-jin. Jika pemuda itu muncul dalam perjamuan nanti, bagaimana reaksi Bu-song dan Siau-bun? Bagaimana ia akan menyelesaikan urusan mereka?

Dari keterangan Lian-ci tadi, jelas bahwa Bu-beng-jin telah ditolongnya. Kemungkinan pemuda itu akan datang bersama dengan Pok Thiat-beng.

Saat itu Jenggot perak sudah memasuki ruang pertemuan dan diantar oleh Li Cu-liong ke tempat duduk yang disediakan untuknya. Tempat duduk itu merupakan kursi pimpinan rapat. Letaknya di tengah. Di sebelah kanan dan kiri, terdapat dua buah kursi kosong. Itulah kursi yang diperuntukkan bagi Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak. Tetapi saat itu kedua tokoh tersebut belum juga muncul.

Sambil mengambil tempat duduk, jago tua itu bertanya kepada Li Cu-liong, “Karena gara-gara partai Ji-tok-kau, Wajah seribu sampai muncul. Selain itu apakah masih terdapat orang-orang yang patut dicurigai lagi?”

Li Cu-liong buru-buru menyahut, “Dalam rombongan partai Go-bi-pay terdapat dua orang paderi yang tak diketahui asal-usulnya. Lain-lain rombongan tak sempat menyelidiki….”

“Rapat boleh segera dimulai!” seru Jenggot perak.

Serentak Li Cu-liong loncat ke atas sebuah meja kosong dan mengumumkan bahwa rapat Eng-hiong-tay-hwe dibuka. Atas nama tuan rumah ia menghaturkan selamat datang kepada sekalian orang gagah. Ketua Tiam-jong-pay itu memeiliki tenaga dalam yang kuat. Suaranya terdengar nyaring dan jelas. Pidatonya mendapat sambutan hangat dari hadirin.

Tetapi tidak semua orang gagah yang hadir di situ, suka kepada Tiam-jong-pay. Mereka sudah mempunyai prasangka yang jelek terhadap Hun-tiong Sin-mo yang ganas. Hubungan yang rapat antara Hun-tiong Sin-mo dengan Thiat-hiat- bun dan Tiam-jong-pay, menimbulkan kecurigaan dalam hati mereka.

Di bawah meja tempat Li Cu-liong berdiri, tampak empat sosok mayat terbujur. Ketika itu Li Cu-liong menerangkan bahwa korban-korban itu adalah anak buah partai Tiam-jong-pay yang diracuni oleh partai Ji-tok-kau. Hadirin terdiam semua. Ada yang tak percaya, ada juga yang takut memberi pernyataan , karena kuatir membuat marah salah satu pihak.

Setelah Li Cu-liong turun, Jenggot perak bangkit dan mengangkat cawan arak mengajak sekalian hadirin minum, “Inilah yang pertama kali aku mengunjungi Tiong-goan. Pertama karena ingin menyaksikan keindahan tanah Tiong- goan yang termashyur dan kedua karena hendak mengikat persahabatan dengan para ksatria Tiong-goan. Maka dengan meminjam tempat di markas Tiam-jong-pay ini, aku menyelenggarakan perjamuan besar guna menghormati sekalian sahabat. Atas kesudian dan penghargaan saudara-saudara untuk memenuhi undanganku, kuhaturkan banyak terima kasih dan marilah kita minum untuk keselamatan kita bersama!”

Jenggot perak segera hendak mengantar cawan ke mulutnya, tetapi sekonyong-konyong terdengar suara orang membentak, “Tunggu!”

Suaranya lantang nyaring bagai genta bertalu. Sekalian hadirin tersentak kaget. 

Jenggot perak melirik. Seorang paderi gemuk bangkit di tengah-tengah hadirin dan berjalan ke muka. “Toa-suhu hendak memberi pelajaran apa?” tegur Jenggot perak.

Paderi itu tertawa dingin, “Ada beberapa hal yang lo-ni (paderi membahasakan dirinya) tak jelas, dan mohon saudara menjelaskan.”

“Dalam hal apa, silakan toa-suhu mengatakan,” kata Jenggot perak.

“Saudara adalah partai dari luar daerah. Tetapi saudara berani memaksa mengundang ksatria Tiong-goan berkumpul di sini. Ini sudah tak menghormat. Dan pula, pada malam sebelum pembukaan rapat, saudara telah membunuh empat puluh orang rombongan patai Ji-tok-kau. Tindakan itu jelas hendak saudara tunjukkan sebagai pameran kekuatan. Untuk mematahkan nyali sekalian ksatria. Untuk cara-cara yang serendah itu, apakah alasan yang saudara hendak kemukakan?”

Jemggot perak tertawa nyaring, “Akupun hendak bertanya sepatah kata padamu. Apakah kau bukan si Wajah seribu?”

Memang paderi gemuk itu bukan lain adalah si Wajah seribu yang telah menyamar. Setelah dipukul mundur oleh ilmu Tambur dara Pok Lian-ci, dia terus menyusup ke dalam rombongan partai Go-bi-pay.

Wajah seribu tertawa congkak, “Benar, matamu memang tajam benar. Kalau sudah mengenal aku, mengapa kau masih berlagak... ” Ia memandang ke empat penjuru lalu berseru keras, “Ho, apakah kau hendak mengelak dari pertanyaanku tadi?”

“Kalau kau sudah mengakui sebagai Wajah seribu, aku hendak bertanya sebuah hal lagi!” sahut Jenggot perak. “Silakan!”

“Dimanakah Sin-bu Te-kun sekarang?” “Mana aku tahu!” jawab Wajah seribu.

“Ada orang menyaksikan sendiri bahwa kau bersama Lam-yau, Pak-koay dan Bu-kiu su-seng telah menggabungkan diri pada Sin-bu-kiong!”

“Fitnah yang keji! Siapakah yang berani menghina aku begitu?” teriak Wajah seribu.

“Aku. !” sekonyong-konyong terdengar suara nyaring disusul dengan melesatnya sesosok bayangan ke tengah

gelanggang.

Hadirin sekalian terkejut. Itulah pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay. Sekalipun dalam dunia persilatan nama partai Kay- pang itu tak tinggi kedudukannya, tetapi termashyur sebagai partai yang jujur dan adil. Apalagi Thiat-ik Sin-kay adalah ketua angkatan terdahulu dari Kay-pang. Mereka yakin akan kesaksian ketua Kay-pang itu yang tentu tak bohong. Tetapi anehnya, soal masuknya Wajah seribu ke dalam Sin-bu-kiong itu tak banyak menimbulkan keheranan sekalian hadirin. Hal ini dikarenakan sebagian tokoh-tokoh yang hadir tak mempunyai dendam permusuhan dengan Sin-bu-kiong.

Wajah seribu tertawa, “Nah sekarang kau harus menjawab pertanyaanku tadi!”

Jenddot perak berseru dengan nyaring, “Sekalipun kebinasaan rombongan partai Ji-tok-kau itu karena perbuatan Raja kutu Coh Seng, tetapi kaulah yang menjadi biang keladinya. Coh Seng hanya menerima perintahmu saja. Adapun mengenai kedatanganku di Tiong-goan, memang mempunyai dua tujuan. Pertama, hendak mengikat persahabatan dengan kaum ksatria daerah Tiong-goan dan kedua, hendak membantu ksatria Tiong-goan membasmi dua benggolan yang mengancam keselamatan dunia persilatan. !”

“Siapakah yang kau maksudkan dengan dua benggolan itu?”

“Hek Gak dan Sin-bu-kiong… !” sahut Jenggot perak. “Yang pertama adalah seorang durjana ganas. Sepal terjangnya

pada enam puluh tahun berselang tak mudah dilupakan sekalian kaum persilatan. Kini dengan tipu daya, dia berhasil mengikat Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi. Membangun markasnya di gunung Tang-san dan bermaksud hendak menguasai dunia persilatan. Sedangkan Sin-bu-kiong pun lebih licik dan hina lagi. Dia memfitnah dan memalsukan panji Tengkorak darah agar kaum persilatan membenci Hun-tiong Sin-mo. Dengan memperoleh dukungan sekalian kaum persilatan, dia hendak membasmi Hun-tiong-san dan kemudian merajai dunia persilatan.

Apabila kedua durjana ini berhasil melaksanakan rencananya, kaum persilatan pasti akan melewati hari-hari yang menyedihkan!”

Mata Wajah seribu berkeliaraan ke empat penjuru. Ia tertawa senyaring-nyaringnya, “Apakah sekalian hadirin percaya pada ocehan si tua bangka ini?”

Para hadirin tak berani menjawab. Mereka takut menderita akibat yang tak diinginkan. Seketika berobahlah muka si Wajah seribu, “Soal ini baiklah kita tangguhkan dahulu. Sekarang aku hendak bertanya padamu. ” ia berhenti untuk tertawa, kemudian melanjutkan pertanyaannya, “Apakah kau mengundang Hun-tiong

Sin-mo?”

Jenggot perak terkesiap, kemudian menyahut samar-samar, “Benar!” “Apakah saat ini dia juga hadir?”

“Tentu saja!” sahut Jenggot perak.

Keterangan ketua Thiat-hiat-bun itu menimbulkan kegemparan dalam rapat. Sekalian orang saling pandang- memandang, tetapi mereka tak atahu yang manakah tokoh Hun-tiong Sin-mo itu.

Kecuali beberapa gelintir tokoh persilatan, boleh dikata kaum persilatan pada umumnya menganggap Hun-tiong Sin- mo itu sebagai tokoh dalam dongeng yang ajaib. taks eorangpun yang pernah melihat wajahnya.

Juga Wajah seribu tak henti-hentinya menyapukan mata ke empat penjuru. Serunya pula, “Kalau dia benar sudah hadir, mengapa tak diperkenalkan dengan sekalian hadirin?”

“Apa gunanya diperkenalkan? Apakah kau bersedia menempurnya sampai mati?” sahut Jenggot perak.

Wajah seribu berobah air mukanya. Pada lain saat ia tertawa congkak, serunya “Memang aku mempunyai maksud begitu!”

“Karena kau sendiri yang meminta, biarlah kukabulkan permintaannmu itu!” tiba-tiba terdngar lengking suara wanita. Dan pada lain saat Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun melayang di hadapan Wajah seribu.

Terdengar seruan tertahan dari mulut Wajah seribu dan teriakan gemuruh dari para hadirin. Hampir mereka tak percaya bahwa momok yang begitu disohorkan karena keganasannya, ternyata hanya seorang wanita yang bertubuh langsing kecil.

Sesaat terbangun dari ketegunan. Wajah seribu menghambur tertawa nyaring, “Siapa kau? Anak perempuan dari Hun-tiong Sin-mo atau cucunya atau… ”

“Aku inilah Hun-tiong Sin-mo!” bentak Cu Giok-bun.

Masih Wajah seribu tertawa gelak-gelak, “Aneh, siapakah yang tak tahu kalau Hun-tiong Sin-mo seorang lelaki tinggi besar? Mengapa kini berobah menjadi seorang wanita……”

Cu Giok-bun tertawa dingin, “Di hadapan sekalian ksatria dari seluruh penjuru, biarlah kusingkapkan rahasia ini. Hun- tiong Sin-mo Teng Ih-hui adalah mendiang guruku. Sebelum menutup mata, beliau telah menurunkan seluruh kepandaiannya padaku. Beliau meninggalkan pesan bahwa turun temurun, kaum Hun-tiong-san hanya boleh mempunyai seorang murid tunggal dan pewaris itu harus tetap memakai nama Hun-tiong Sin-mo, serta tinggal di gunung Hun-tiong san. Maka… ”

Sekalian orang gagah terlongong-longong mendengar keterangan itu. Mereka setengah tak percaya.. “Ngaco belo, keterangan itu sukar kupercaya!” teriak Wajah seribu.

“Kalau tak percaya, mengapa kau tak mencoba?” Cu Giok-bun tertawa dngin.

“Baik, memang aku ingin menguji kesaktian kaum Hun-tiong-san yang dishorkan itu!” Wajah seribu tertawa seraya bergeser maju. Ia tetap tak percaya yang dihadapannya itu adalah Hun-tiong Sin-mo. Maka iapun bersikap acuh tak acuh.

“Tetapi Hun-tiong-hu mempunyai sebuah peraturan. JIka bertempur dengan orang, tak pernah membiarkan orang itu hidup!”

“Asal kau mempunyai kemampuan begitu, matipun aku rela!” teriak Wajah seribu. Tiba-tiba ia menamparkan tangannya dan serentak dengan itu tubuhnya bergoyang dan pecah menjadi beberapa sosok bayangan.

Sekalian hadirin tercengang kaget.

“Baik, akan kupenuhi keinginanmu!” teriak Hun-tiong Sin-mo seraya menghantam. Yang dituju hanya sesosok bayangan saja. Padahal beberapa bayangan berhamburan menerjangnya, sehingga sekalian hadirin sama mengucurkan keringat dingin.

Dess… terdengar bunyi mendesis dan beberapa sosok bayangan itupun lenyap. Cu Giok-bun dan Wajah seribu sama- sama tegak di tempat masing-masing. Tampaknya pertukaran pukulan itu berimbang kekuatannya.

Wajah Cu Giok-bun dingin membeku, serunya, “ Enam puluh tahun lamanya, belum pernah peraturan Hun-tiong-hu dilanggar. Coba saja, apakah kau mampu melanggar peraturan itu!” 

Kelima jarinya dipentang dan dicengkeramkan kepada lawan…

Wajah seribu baru saja mengadu pukulan dan sadarlah ia akan tenaga lawan. Meskipun pukulan lawannya tak membuatnya mundur, tetapi ia cukup tergetar hatinya.

Jelas tenaga pukulan lawan itu mengandung daya dorong yang luar biasa……

Sebelum ia sempat menilai lebih jauh, cengkeraman jari Cu Giok-bun sudah merangsaknya. Tampaknya gerakan wanita itu biasa dan perlahan., tetapi sebenarnya Cu Giok-bun tengah melancarkan jurus yang sangat ganas.

Wajah seribu tak berani berayal, cepat ia hendak menangkis, tetapi ia terlambat. Ilmu yang paling diandalkan hanyalah Pek-pian-mo-ing, merobah diri menjadi seratus bayangan. Tetapi ia lupa bahwa lawan mahir juga dalam ilmu melihat langit mendengar bumi, maka Pek-pian-mo-ing tak berguna sama sekali.

Cu Giok-bun kali ini telah melancarkan serangan yang sangat telengas sekali. Jauh lebih hebat dari pukulan-pukulan yang dilepaskan Jenggot perak tadi.

Seketika Wajah seribu merasakan dadanya sakit sekali. Tak dapat ia bertahan lagi. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah dan sempoyongan hendak jatuh.

Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun meloncat maju dan menyusuli pula dengan sebuah tamparan. Segumpal sinar merah menghambur, disusul dengan segulung asap.

Sebelum Wajah seribu sempat mengerang, ia sudah roboh di tanah menjadi sesosok tubuh yang telah hangus…..

Hun-tiong Sin-mo telah menggunakan ilmu pukulan Cek-koay-ciang yang dilampiri tenaga penuh. Pukulan pusaka Hun-tiong-hu yang tak pernah gagal selama enampuluh tahun.

Sebenarnya Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun sudah gemas dengan tingkah laku Wajah seribu yang telah membakar markas besar Tiam-jong-pay. Tetapi karena selama itu ayahnya yang menghadapiny, ia tak mau menyinggung perasaan ayahnya dan membiarkan sang ayah yang menyelesaikan.

Tetapi kini di hadapan ratusan ksatria dari seluruh penjuru, Wajah seribu berani meremehkan dirinya, benar-benar tak dapat diberi ampun lagi. Untuk menegakkan kewibawaan Hun-tiong-hu yang sudah enam puluh tahun merajai dunia persilatan, Cu Giok-bun terpaksa harus membunuh lawannya.

Pemandangan yang sengeri itu membuat sekalian hadirin serentak berdiri. Mereka terkejut melihat kesaktian Hun- tiong Sin-mo yang sedemikian hebatnya. Kini baru mereka terbuka matanya, bahwa Hun-tiong Sin-mo yang disohorkan itu ternyata memang tidak bernama kosong.

Jerit teriakan kaget-kaget ngeri, berkumandang memenuhi gelanggang pertempuran!

Bahkan Jenggot perak sendiripun tak urung terkesiap dalam hati. Ia tak menyangka kalau anak perempuannya itu memiliki ilmu pukulan yang sedemikian saktinya.

“Ayah tak mengira kalau Hun-tiong Sin-mo memiliki pukulan yang sedemikian saktinya. !”

(bersambung ke jilid 26)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar