Panji Tengkorak Darah Jilid 24

Jilid 24 .

Si Wajah Seribu!

Jenggot perak tercengang. Apa yang dikatakan Bu-song memang mungkin. Meskipun ada Thiat-hiat-bun, Hun-tiong Sin-mo, Tiam-jong-pay dan jago-jago sakti, tetapi tiada pimpinan yang cakap. Jika menderita serangan dari luar, tentu markas akan kacau balau. Jika sampai terjadi hal itu, bagaimana nanti pertanggungan jawab mereka dalam pertemuan besok pagi? Bukankah mereka akan kehilangan muka?

Karena gugup, tanpa menunggu perintah Jenggot perak lagi, sekalian orang segera lari serabutan menuju ke markas. Jenggot perak hendak menyusul, tetapi tiba-tiba terdengar suara mengiang di telinganya, “Ah, sudah terlambat Lu tua! Kalian kali ini tentu akan hancur lebur! ”

Menyusul kata-kata itu, terdengar ledakan keras diiringi dengan muncratnya nyala api ke udara.

“Celaka, kekalahan kali ini benar-benar hebat. ” Jenggot perak menghela napas. Ia segera mencelat keluar sambil

menamparkan kedua tangannya. Serangkum hawa dingin berhamburan keluar dan apipun mulai reda.

Tetapi ledakan itu rupanya berasal dari bahan peledak. Sekalipun api dapat dipadamkan, tetapi sebagian besar dari markas telah hancur berantakan.

Jenggot perak menghela napas dalam-dalam dan membanting-banting kaki, “Ah, tak kira aku bakal mengalami kekalahan di Tiong-goan. Kemana hendak kutaruh mukaku besok di hadapan sekalian orang gagah?”

Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa nyaring memecah angkasa. Seorang wanita tua bertubuh pendek gemuk loncat keluar dari lautan api. Bukan kepalang terkejutnya sekalian orang. Perempuan tua itu dapat berjalan di tengah api tanpa merasa apa-apa.

“Kek, siapakah dia? Manusia atau setan?” Bu-song berseru kaget.

Jenggot perak sendiripun tertegun. Cepat-cepat ia berpandangan sejenak dengan Thiat-ik Sin-kay, lalu ia balas tertawa nyaring, serunya, “Ah, saudara lincah benar. Belum sempat aku keluar menyambut, saudara sudah tiba!”

Perempuan tua itu tertawa mengekeh, “Oh, kau kenal juga diriku?”

Jenggot perakpun tertawa, “Sekalipun kenalanku tidak banyak, tetapi terhadap tokoh ternama seperti saudara, mungkin aku akan kenal.... Kalau tak salah saudara ini tentu Cian-bin Cuncia Auyang teng. ”

Perempuan tua bertubuh gemuk pendek itu memang Cian-bin cuncia atau rahib wajah seribu Auyang Teng.! “Ah, matamu ternyata masih awas Lu tua,” Rahib wajah seribu tertawa.

Bu-song dan Siau-bun terkejut mendengar nama rahib tua itu. Juga Li Cu-liong dan Cu Giok-bun pun tak terkecuali. Baru saja tadi mereka mendapat berita dari para pengintai dan dalam beberapa kejap saja

Rahib seribu wajah sudah muncul. Juga ilmu berjalan di tengah api yang diperagakan tadi benar-benar menakjubkan. “Maaf, karena satu dan lain hal, aku tak dapat menyambutmu dengan penuh kehormatan,” Jenggot perak tertawa. 

“Disambut atau tidak, aku tak pusing. Tetapi apakah satu dan lain hal yang kau katakan itu? Katakanlah!” seru si wajah seribu.

“Kesatu, seorang lelaki jantan mengapa mengenakan pakaian wanita? Orang begitu aku paling muak. Kedua, kalau toh datang, datanglah dengan terang-terangan, tak perlu main sembunyi-sembunyian macam bangsa perampok yang membakari rumah rakyat! Terhadap orang begitupun aku paling benci sekali. Ketiga, kabarnya kau sudah menggabung pada Sin-bu-kiong, rela menjadi anak buah Song-bun Kui-mo. Ah, dalam hal ini aku tak berani campur tangan…..”

“Cukup! Terhadap orang semacam aku, mengapa kau berani berkata begitu keterlaluan!” marahlah Si wajah seribu seketika.

Jenggot perak tertawa mengejek, “Sebenarnya gerak-gerikmu banyak sekali yang memalukan, tetapi enggan kukatakan. Cukup dengan beberapa hal yang kukatakan tadi, cukuplah sudah untuk meremehkanmu. Maka selain tak memberi penyambutan yang pantas, juga malam ini aku hendak mengadu kekuatan dengan kau, siapa yang nanti lebih kuat!”

Wajah-seribu tertawa mengekeh, “Baiklah, memang aku selalu bertindak menurut kemauanku sendiri, tak peduli orang senang atau tidak senang. Jika kau mengehendaki begitu, akupun tak keberatan.!”

Habis berkata begitu ia mencelat sampai tujuh-delapan tombak dan pada lain saat lenyap dari pemandangan. “Kek, iblis itu memuakkan sekali. Mengapa kau biarkan dia pergi?” teriak Bu-song.

Jenggot perak tertawa, “Mungkin tak semudah itu kita menundukkan dia!”

Baru ia mengucapkan begitu, tiba-tiba terdengar suara orang mengucap salam. Suaranya

lantang nyaring, berasal dari arah sebelah kiri. Dan pada lain saat muncullah seorang imam tua bertubuh kurus kering.

Kembali Bu-song dan Siau-bun menjerit kaget.

“Hai, imam hidung kerbau, dari mana kau?” serentak Bu-song berseru. “Eh, budak perempuan, apa kau lupa?” imam tua itu tertawa meloroh.

Jenggot perak tertawa dingin, “Cian-bin cuncia, betapapun kau hendak unjuk kepandaianmu menyaru, jangan harap kau dapat mengelabui mataku!”

“Hai, apakah dia si Wajah seribu?” Bu-song menjerit kaget.

“Benar,” kata Jenggot perak, “dia memang mahir dalam hal itu. Sebentar menjadi lelaki sebentar jadi perempuan atau sesaat seorang paderi, pada lain saat seorang rahib. Tubuhnyapun dapat berobah menjadi gemuk-pendek, kurus-kering, tinggi-besar menurut kemauannya! Tetapi kakekmu tak nanti dapat dikelabuinya!”

Memang imam tua itu adalah si Wajah seribu, ia tertawa terkial-kial, “Lu tua, kau memang hebat, dapat mengenali diriku!”

Bu-song, Siau-bun dan Li Cu-liong terkesiap. Jika bukan Jenggot perak yang mengatakan, tentu mereka takkan percaya. Apa yang dilihat memang berbeda sama sekali. Yang tadi seorang perempuan gemuk pendek, kini seorang imam tua bertubuh tinggi kurus. Kalau tadi seorang rahib, kini seorang imam....

Kebakaran dari bahan peledak itu telah menimbulkan kerusakan besar. Beberapa bagian dari gedung markas Tiam- jong-pay telah ambruk. Kamar rahasia yang dibuat berunding oleh Jenggot perak tadipun hancur. Beberapa penjaga regu Pik-ih-tiang-hoat dari Hun-tiong-hu menjadi korban. Kesemuanya itu adalah perbuatan si Wajah seribu...

Dengan gusar berserulah Jenggot perak, “Ayo suruh kawan-kawanmu keluar. Kita putuskan dulu siapa di antara kita yang lebih unggul. ”

Wajah seribu tertawa keras, “Kawan? Hm, masakah kau tak pernah mendengar bahwa aku selalu bergerak seorang diri?”

“Baik, katakan apa tujuanmu kemari!”

“Aku senang melihat keramaian yang bakal diadakan di sini. Sekalipun kau lupa mengundang aku, aku tetap akan datang sendiri. Kenbakaran markasmu itu adalah selaku hukuman kecil untuk kelalaianmu mengundang aku!”

Ketua Tiam-jong-pay tak dapat menahan amarahnya lagi. Sambil loncat ke muka, ia mendamprat, “Iblis tua, jangan ngaco belo di sini, serahkan jiwamu!” kata-katanya ditutup dengan sebuah pukulan.

Bukannya menghindar atau menangkis atau balas memukul, sebaliknya Wajah seribu itu hanya tertawa gelak-gelak. Tetapi pada saat tinju Li Cu-liong tiba, entah bagaimana tiba-tiba Wajah seribu hilang lenyap. Ketua Tiam-jong-pay itu terkejut hingga membuatnya terlongong-longong seperti melihat hantu.

Dan alangkah kagetnya ketika sesaat kemudian ia melihat dua orang Wajah seribu berdiri di kanan kirinya….

Ketua Tiam-jong-pay tak mau dibuat permainan. Dia ayunkan kedua tinjunya memukul ke kanan dan ke kiri. Terdengar kedua Wajah seribu itu tertawa gelak-gelak dan sekonyong-konyong lenyap!

Li Cu-liong tertegun. Hai…… tiba-tiba ia terbeliak kaget sekali. Kini bukan hanya dua, tetapi empat orang Wajah seribu yang berdiri mengepungnya dari empat jurusan….!

Li Cu-liong menyadari bahwa di antara keempat Wajah seribu, hanya satulah yang tulen. Yang tiga hanya bayangan kosong. Tetapi pengertian itupun tak banyak membantunya, karena ia tak tahu yang manakah yang tulen dan yang palsu.

Selagi ia bingung, tiba-tiba keempat Wajah seribu itupun sudah menyerangnya. Li Cu-liong kaget. Serentak iapun menghantam mereka. Ia menggunakan seluruh tenaganya untuk menyambut serangan mereka. Pikirnya, asal dihantam serempak saja, tentu beres. Yang tulen kena, yang palsu ambyar.

Tetapi perhitungannya meleset. Adalah karena ia menyerang dengan tenaga penuh, kerugian yang dideritanyapun makin besar. Tampaknya ia sedang menghadapi serangan empat orang musuh, tetapi ketika saling bentur pukulan, ternyata hanya tiga musuh yang menyerang.

Ketua Tiam-jong-pay itu tak sempat memikirkan apa-apa lagi. Kemarahannya makin meluap-luap. Dengan kalapnya dihantamnya pula sang musuh dengan tenaga berlipat ganda. Ah. segera ia menyadari kalau termakan tipu Wajah

seribu. Ketiga musuh yang dihantamnya itu hanya bayangan belaka. Dengan begitu tenaga pukulannya tadi hanya penghamburan yang sia-sia. Dan karena memukul sasaran kosong, mau tak mau keseimbangan tubuhnyapun goyah. Ia terperosok ke muka. Dan sebelum ia sempat memperbaiki posisinya, sesosok tubuh sudah melesat sambil menghantamnya.

Itulah Wajah seribu yang asli!

Pada saat Li Cu-liong terancam maut, bertindaklah Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Sambil menunjukkan jarinya ke muka, ia membentak, “Siluman, jangan terlalu liar!”

Mengira orang sudah tak berdaya, Wajah seribu segera hendak memberi pukulan maut kepada Li Cu-liong. Pukulannya dilancarkan cepat dan ganas.

Tetapi tutukan jari maut Hun-tiong Sin-mo pun sakti sekali. Walaupun dari jauh, tetapi angin tenaganya bagaikan kilat menyambarnya. Wajah seribu kaget. Untuk menyelamatkan jiwanya, terpaksa ia loncat menghindar.

Li Cu-liong diam-diam mengeluh. Dengan keringat bercucuran, ia loncat mundur. Wajahnya tersipu-sipu merah. Sampai beberapa saat ia terlongong-longong. Seumur hidup belum pernah ia mengalami peristiwa aneh sedemikian rupa.

Di sana Hun-tiong Sin-mo pun agak terkesiap. Meskipun tutukan jari maut itu bukan merupakan ilmu simpanannya, tetapi Wajah seribu dapat menghindar dengan begitu mudah, mau tak mau membuat Hun-tiong Sin-mo tercengang juga. Karena sejak belasan tahun, belum pernah terdapat orang yang mampu lolos dari tutukan jarinya. Dan belum pernah ada yang selamat. Kalau tidak mati, tentu menderita luka parah.........

Tetapi kekagetan Wajah seribu pun tak kalah besarnya. Di dalam dunia persilatan, tak ada orang yang sekali gebrak dapat mengundurkannya. Sebelumnya ia tak percaya, tetapi apa yang dialaminya saat itu, benar-benar membuatnya seperti orang bermimpi!

Hun-tiong Sin-mo bersikap seperti tak minat bertempur. Sehabis berhasil menolong Li Cu-liong iapun segera loncat mundur pula.

Tetapi sikap itu bahkan membangkitkan kemarahan Wajah seribu. Dengan murka ia membentak, “Perempuan hina, jika malam ini tak kuhancurkan tubuhmu, aku tak mau meningalkan Tiam-jong-san ini!”

“Oh, mungkin tak mudah bagimu untuk meninggalkan gunung ini!” Hun-tiong Sin-mo membalas.

Wajah seribu pun segera merangsek. Tubuhnya pecah berkembang menjadi tujuh-delapan sosok bayangan. Hun- tiong Sin-mo tak gentar. Ia hendak menyambut, tetapi dicegah Jenggot perak, “Giok-bun, belum saatnya kau turun tangan, ayah masih dapat melayaninya!”

Ia menutup kata-katanya dengan sebuah pukulan. Terdengar suara ledakan keras. Pasir dan batu berhamburan. Ke tujuh-delapan sosok bayangan itupun lenyap. Yang tampak hanya seorang Wajah seribu terhuyung-huyung melangkah ke belakang.

Kiranya Jenggot perak telah berhasil menghantam dadanya. Tetapi dia sendiripun menderita juga. Tenaga tolakan yang dilancarkan Wajah seribu membuat Jenggot perak juga terhuyung-huyung sampai tiga langkah. Jago Thiat-hiat- bun itu tertegun. Ia merasa sekali ini benar-benar mendapat tanding.

Dengan penasaran Jenggot perak maju pula mengirim sebuah pukulan ke punggung lawan!

Wajah seribu mengeluh kaget. Cepat ia menggoyangkan tubuhnya, seketika pecahlah tubuhnya menjadi belasan sosok bayangan yang bagaikan pinang dibelah dua semuanya. Mereka bergerak-gerak mengepung Jenggot perak.

Jenggot perak mendengus. Ia menarik pukulannya untuk melindungi tubuh. Ia tegak berdiri tak mau bergerak lagi, tetapi diam-diam mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk melapis diri.

Dalam beberapa saat, belasan sosok bayangan Wajah seribu itupun lenyap. Kini tampaklah ia tegak berdiri beberapa langkah di hadapan Jenggot perak.

Dengan mata berkilat-kilat Wajah seribu menatapnya, “Lu tua, mengapa kau diam saja? Takutkah kau kepadaku?” Jenggot perak tertawa keras, “Pernahkah kau mendengar cerita orang, kepada siapa aku pernah merasa gentar?” Wajah si Wajah seribu berobah gelap, “Kalau begitu, mengapa kau tak bergerak? Lebih baik kau menyerah sajalah!” “Memang aku sengaja mengalah supaya kau menyerang dulu!” sahut Jenggot perak.

“Binatang tua yang sombong, kau berani menghina aku!” Wajah seribu berteriak seraya menggerakkan kedua tangannya. Gayanya mirip hendak menampar, tetapi juga seperti hendak menutuk. Tampaknya hendak mencengkeram, tetapi juga menyerupai orang hendak meremas. Secepat kilat tangannya sudah menjulur ke muka Jenggot perak. Berbareng itu sekonyong-konyong tubuhnya pecah menjadi tiga-empat sosok bayangan.

Seketika itu Jenggot perak seperti diserang oleh banyak Wajah seribu. Sukar dibedakan mana yang palsu dan mana yang sungguhan.

Jago Thiat-hiat-bun itu tegak laksana sebuah gunung. Pada saat serangan itu tiba, barulah ia bergerak dengan tak terduga-duga. Sekonyong-konyong ia menamparkan tangannya ke kanan dan ke kiri. Tar... tar.., terdengar letupan keras dan bayangan yang menyerupai Wajah seribu itupun lenyap seketika, berganti dengan Wajah seribu asli yang terhuyung-huyung sampai empat-lima langkah.

Jenggot perak sendiripun terhuyung tiga langkah ke belakang. Ia merasakan darah dalam tubuhnya agak bergolak. Sekilas pandang memang tampaknya Jenggot perak yang lebih unggul!

Wajah seribu mengerutkan dahi dan termangu sampai beberapa saat, serunya kemudian, “Setan tua, bagaimana kau dapat membedakan diriku dengan bayanganku?”

“Hm, masakah permainan anak kecil semacam itu dapat mengelabui aku. ” Jenggot perak tertawa gelak-gelak,

“tetapi memang ilmu ginkangmu patut dipuji!”

“Ilmu Pek-pian-mo-ing ( bayangan setan seratus macam) ku tiada duanya di dunia persilatan. Mana hanya mengandalkan ilmu ginkang saja?”

Jenggot perak tertawa pula, serunya “Mungkin kau belum tahu bahwa aku si tua ini memiliki ilmu Melihat langit mendengar bumi? Betapapun kau hendak merobah dirimu menjadi apa saja, memang pada detik permulaan mungkin dapat mengelabui mataku, tetapi beberapa saat kemudian, tentu kuketahui juga. ”

“Melihat langit mendengar bumi?“ Wajah seribu berseru kaget. “Ho, kau belum pernah mendengar ilmu itu?”

“Tetapi ilmu itu kan kekuatannya hanya tertuju pada jarak luas dan jauh, bagaimana kau dapat meneropong ilmu sakti Pek-pian-mo-ing ku?”

Jenggot perak tertawa nyaring.

“Sebenarnya ilmu Pek-pian-mo-ing itu hanya suatu ilmu ginkang yang tinggi. Bayang-bayangmu itu hanya kosong. Dengan ilmu Melihat langit mendengar bumi, sudah tentu dapat kuteropong mana dirimu yang asli, mana yang palsu. Mengapa kau heran. ”

Wajah seribu meringkikkan tawa hantu.

“Silakan kau kerahkan seluruh kepandaianmu. Tetapi malam ini adalah malam kejatuhanmu. Besok pagi, jangan harap kau dapat membuka rapat para orang gagah. !”

Tambur Mukjijat.

“Oh, mungkin kau tak mempunyai kemampuan begitu!” sahut Jenggot perak. 

Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay dan Hun-tiong Sin-mo tak ikut bicara. Mereka berdiri di samping mendengarkan percakapan Jenggot perak dan si Wajah seribu dengan penuh perhatian.

Kebakaran di markas besar Tiam-jong-pay pun sudah reda. Tetapi asap masih bergulung-gulung memekatkan udara. Banyak anak buah Thiat-hiat-bun, Hun-tiong-hu dan Tiam-jong-pay yang menjadi korban. Tetapi sebagian yang dapat lolos keluar. segera tenang kembali.

Saat itu sudah terang tanah. Pertemuan besar para orang gagah, segera akan tiba waktunya. Menilik letak pesanggrahan tempat menginap para tamu itu tak jauh di muka markas Tiam-jong-pay, maka kebakaran di markas itu tentu diketahui oleh para tamu. Tetapi anehnya, pesanggrahan para tamu itu tampak sunyi-sunyi saja.

Ketua Tiam-jong-pay Li Cu-liong mulai gelisah. Ia mencuri kesempatan untuk bertanya pada Jenggot perak dengan ilmu menyusup suara, “Hari sudah terang tanah, pertemuan akan segera dimulai. Rupanya durjana ini hendak mengulur waktu supaya pertemuan tak dapat berlangsung tepat pada waktunya….” Ia melirik memandang ke empat penjuru, lalu berkata pula, “Menurut pendapat anak, lebih baik kita lekas bertindak menyingkirkan durjana ini. Tak perlu kita menghiraukan tata kehormatan kaum persilatan lagi!”

“Pertemuan tetap akan dibuka tepat pada waktunya! Serahkan momok ini padaku, kau lekas atur prsiapan pertemuan itu. Apakah meja kursi sudah diatur menurut rencana!” sahut Jenggot perak dengan ilmu menyusup suara juga.

Li Cu-liong mengerutkan alis, ujarnya, “Tetapi durjana ini licin sekali, apakah ayah…..”

“Jangan banyak bertanya lagi, aku dapat mengatasinya!” tukas Jenggot perak dengan ilmu menyusup suara. Kemudian ia berganti nada dengan bentakan biasa, “Lekas kerjakan persiapan yang perlu!”

Li Cu-liong mengiyakan lalu pergi. Wajah seribu berpaling memandang markas Tiam-jong-pay yang menderita kerusakan. Ia tertawa mengejek.

Sejenak melirik pada pengemis Thiat-ik Sin-kay dan Hun-tiong Sin-mo, tiba-tiba Jenggot perak membentak lawannya, “Hai, iblis tua, kalau membawa kawan, suruh mereka unjukkan diri!”

Wajah seribu terbeliak, teriaknya, “Aku selalu bekerja seorang diri, tak pernah kubersekongkol dengan orang. Jangan banyak curiga!”

“Kek, bolehkah aku bicara?” mendadak Bu-song maju selangkah. Jenggot perak berpaling, “Eh, kau melihat hantu apa lagi?”

Dara itu tertawa melengking, “Durjana ini seolah-olah membanggakan keagungan dirinya, tetapi sebenarnya dia seorang hina! Percvuma kau tanya ini itu padanya, bunuh sajalah!”

Bukan kepalang marahnya Wajah seribu, teriaknya, “Kau berani menghina aku, budak? Kaupun takkan menjadi mayat utuh. ” tiba-tiba ia menampar.

“Iblis hina, kau tak malu mengganas pada seorang anak perempuan!” iapun menyongsongkan pukulannya.

Karena ilmu Pek-pian-mo-ing ( seratus bayangan iblis) tak mempan, Wajah seribu menggunakan pukulan biasa. Plak. terdengar letupan keras dari dua pukulan yang beradu. Debu dan tanah berhamburan. Kedua tokoh itu

mundur beberapa langkah. Sekalipun tampaknya Jenggot perak menang angin, tetapi kekuatan mereka berimbang.

Sesaat berdiri tegak, Wajah seribu tertawa nyaring.”Setan tua, kecuali kalian maju berbareng, jangan harap dapat menangkan aku!”

“Aku paling benci main keroyok. Mari kita bertanding satu lawan satu!” Jenggot perak marah sekali.

Wajah seribu tertawa, “Aku tak suka menggunakan kekerasan. Membunuh engkaupun tak ada gunanya. Cukup asal jiwamu tak tenteram, aku sudah puas!”

“Kau benar, iblis!” tiba-tiba Bu-song menyeletuk, “hanya sayang tipu muslihatmu itu tak berguna. Pertemuan orang gagah takkan terpengaruh oleh pengacauanmu!”

Wajah seribu tertawa sinis, “Orangnya kecil tetapi mulutmu besar! Coba katakan, siasatku apa yang gagal?”

Bu-song tertawa dingin, “Menghadapi seorang manusia rendah semacam engkau, perlu apa memakai akal!” Tiba-tiba ia menantang, “Apakah kau berani bertempur sejurus saja denganku?”

“Kau berani menantang aku?” Wajah seribu tertawa menghina. “Kau sudah mendapat kehormatan!” Bu-song mengejek.

Wajah seribu melangkah maju, bentaknya ,“Aku mengalah tiga jurus untukmu. ” dari tubuhnya mengepul asap tipis. Ia bersiap menerima serangan.

Bu-songpun dengan tenang segera mencabut pedang dari belakang bahunya.

“Budak, kakekmu di sini, jangan lancang!” serentak Jenggot perak membentak si dara. “Iblis tua ini kelewat sombong. Aku hendak mewakili kakek menghajar adat padanya!”

“Jangan ngaco, lekas enyah!” bentak Jenggot perak. Kemudian ia menyusuli dengan ilmu menyusup suara, “Dia seorang tak perlu dikuatirkan, tetapi Lam-yau (siluman selatan), Pak-koay (manusia aneh dari utara) dan Bu-cui-su- seng (pelajar tak berdosa) tentu juga berada di sekitar tempat ini…….”

“Dan si Raja kutu Coh Seng , eh, mengapa kakek melupakannya?” tukas Bu-song dengan ilmu menyusup suara.

“Benar,” sahut Jenggot perak, “orang itu dapat meluputkan diri dari ilmu Melihat langit mendengar bumi, tentulah sakti sekali. Jauh beberapa kali saktinya dari berpuluh tahun yang lalu. Kakek harus hati-hati menghadapi mereka. Mengapa kau hendak sembrono, ayo lekas menyingkir!”

“Bagaimana kakek hendak menghadapi meeka!” tanya Bu-song.

Jenggot perak tertegun. Memang pertanyaan sang cucu itu tepat sekali. Baru ilmu Pek-pian-mo-ing atau Seratus wajah tanpa bayangan dari si Wajah seribu saja sudah cukup memusingkan, apalagi ditambah dengan beberapa tokoh lagi. Tetapi bagaimanapun ia harus bertindak.

Pertandingan tadi menunjukkan bahwa kekuatannya berimbang dengan si Wajah seribu. Untuk menundukkan tokoh ini, ia harus menggunakan waktu sedikitnya sejam. Ah, terlalu lama.

“Jangan kuatir, kakek mempunyai rencana.” akhirnya ia menghibur si dara.

Bu-song cebikan bibirnya, “Tindakanku ini justru hendak membantu kakek. Hendak kupancing mereka keluar baru kita hancurkan!”

Ia tahu jelas suasana saat itu. Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay, Hun-tiong Sin-mo, Cu Siau-bun dan tokoh-tokoh lainnya, terpancang oleh Jenggot perak. Tanpa perintah jago tua itu, mereka tak berani bertindak.

Tetapi tampaknya Jenggot perak tak punya rencana apa-apa. Kalau terus-menerus hanya tantang-tantangan begitu saja, tentulah pertemuan para orang gagah tak dapat berlangsung!

“Bagaimana akalmu hendak memancing mereka?” tanya Jenggot perak.

Bu-song tertawa, “Ini…..sekarang tak dapat kukatakan dulu! Tetapi paling tidak hendak kuberi hajaran dulu pada momok ini, syukur kalau dapat membunuhnya! Dengan begitu gerombolan mereka tentu keluar semua!”

Jenggot perak mengelus-elus jenggotnya. Beberapa saat ia tak dapat bicara. Ia percaya akan kecerdasan bocah perempuan itu. Sekalipun tindakannya kali ini sangat berbahaya, tetapi ia berada di sana. Setiap saat tentu dapat memberikan pertolongan apabila perlu.

Melihat Jenggot perak dan Bu-song bicara dengan ilmu menyusup suara, Wajah seribu hanya tersenyum ewa saja. Setelah beberapa saat, baru ia melengking , “Eh, sudah berunding beres atau belum?”

Jenggot perak menyahut dingin, “Karena cucuku ingin sekali mendapat pelajaran dari engkau, maka kali ini aku memberikan kelonggaran padanya!”

Wajah seribu tertawa gelak-gelak, “Aku seorang yang ganas, sekali turun tangan kalau sampai cucumu mati, harap jangan salahkan aku!”

“Iblis tua, mungkin kau tak mempunyai kemampuan berbuat begitu!” Bu-song melengking marah. “Silakan kau mulai!” Wajah seribu tertawa mengejek.

Bu-song tertawa gemerincing. Ia memutar pedangnya, tetapi ia berpaling melirik pada Siau-bun.

Siau-bun tegak berdiri di tempat. Hanya mulutnya menyungging senyuman. Diam-diam ia menggunakan ilmu menyusup suara kepada si dara, “Bertindaklah, jangan kuatir! Aku tahu maksudmu!”

“Kau pintar juga!” sahut Bu-song juga dengan ilmu menyusup suara. Dan mulailah ia melancarkan serangannya….

Wajah seribu tertawa mengekeh. Sekali kedua bahunya bergoyang, terpecahlah dirinya menjadi tiga-empat sosok bayangan yang menyerangnya dari empat penjuru.

Bu-song seorang dara yang cerdik. Serangannya ini hanya serangan kosong. Ia tahu bahwa menghadapi si Wajah Seribu, tak boleh menggunakan kekerasan melulu, tetapi harus pakai tipuan. Maka ia menggunakan ilmu Suara di timur serangan dari barat.

Begitu perhatian lawan tercurah pada serangan pedang, secepat kilat tangan kiri Bu-song menaburkan senjata rahasia Hong-thau-kiong ( passer kepala burung Hong).

Sekalipun Bu-song tak dapat membedakan mana bayangan lawan yang tulen dan mana yang palsu, tetapi empat batang passer yang ditaburkan itu kiranya cukup untuk menghancurkan keempat sosok bayangan itu.

Untuk memperoleh hasil yang mengesankan, ia menggunakan ilmu timpuk yang paling ganas. Tiap-tiap passer itu sengaja diarahkan untuk mencari mata si bayangan.

Seketika terdengar raung kemarahan yang hebat dan lenyaplah ke empat sosok bayangan itu.

Sama sekali Wajah seribu tak menduga bahwa Bu-song akan menggunakan senjata rahasia, karena itu ia agak lengah. Dan juga ia tak tahu bahwa ilmu menimpuk Hong-thau-kiong dari partai Thiat-hiat-bun hebat sekali. Seratus kali timpuk, tentu seratus kali kena. Dan masih ada kelemahan bagi Wajah seribu, ialah bahwa telinga, mata, hidung dan lubang-lubang tubuh manusia itu paling sukar untuk disaluri tenaga dalam. Betapapun lihainya si Wajah seribu, namun tak dapat ia mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian-bagian itu. Untung dia banyak pengalaman. Pada detik- detik maut henak merenggut nyawa, masih dapat memiringkan kepalanya sedikit ke samping, sehingga matanya terhindar dari kehancuran. Namun tak urung, sudut matanya tetap termakan passer si dara...

Wajah seribu menggerung laksana harimau terluka. Sebelum ia sempat mencabut passer yang menancap di ujung matanya, sekonyong-konyong angin berkesiur dan serangkum benda mengkilap menyambar mukanya!

Tetapi yang menaburkan senjata rahasia kali ini bukan Bu-song, melainkan Siau-bun. Nona itupun tak ketinggalan. Ia menaburkan tiga batang passer Tui-hong-kiong ( passer pemburu angin). Sebelum si Wajah seribu berdiri tegak, Siau-bun sudah membarengi. Dalam hal menimpuk, Siau-bun tak kalah sebatnya dengan Bu-song. Betapapun lihaynya Wajah seribu, namun sukar untuknya menyingkir.

Dalam usahanya yang terakhir, ia masih dapat menyelamatkan bagian berbahaya dari tubuhnya. Bahunya sebelah kanan menjadi mangsa Tui-hong-kiong. Sakitnya bukan kepalang, sehingga hampir saja ia terjungkal roboh. Ia terhuyung-huyung empat lima langkah ke belakang. Bahu kanannya tak dapat digerakkan lagi......

Tui-hong-kiong merupakan senjata pusaka Hun-tiong-san. Sekalipun tak dilumuri racun, tetapi senjata rahasia itu dibuat sehalus rambut. Begitu menyusup ke dalam jalan darah, sang korban pasti mati seketika!

Setitikpun Wajah seribu tak pernah bermimpi, bahwa hari ini ia bakal jatuh di tangan dua orang anak perempuan. Saking marahnya tubuhnya sampai menggigil dan mulut meraung-raung. Tetapi sudut matanya yang kiri sakit sekali , begitu pula bahu kanannya seperti putus rasanya......

“Sasaran tepat, sayang tak dapat menembus ulu hatinya!” Bu-song berpaling dan berseru kepada Siau-bun. “Apa perlu ditambahi lagi?” sahut Siau-bun dengan tertawa.

Buru-buru Bu-song menggunakan ilmu menyusup suara, “Tadi saja sudah menyalahi peraturan kakek. Kalau tak percaya, boleh coba lagi, lihat saja kakek akan menghajarmu atau tidak!”

Siau-bun terkejut. tetapi secepat itu ia insyaf. Mungkin yang dikatakan si dara itu benar. Jenggot perak, kakek mereka memang seorang tua yang aneh perangainya.

Siau-bun tertawa tawar, serunya dengan ilmu menyusup suara, “Tadi aku hanya bermaksud membantumu saja. Jika aku tak turun tangan, iblis tua itu tentu dingin saja menghadapi passer Hong-thau-kiong mu. Mungkin. ”

“Tak usah kau bicara semerdu itu, aku tak menerima bantuanmu!” sahut Bu-song dengan dingin.

“He, kuterangkan sedikit,” sahut Siau-bun, “sebelum kau turun tangan, tentulah kau sudah mengetahui bahwa aku tentu akan membantumu. Dengan begitu barulah kau berani berkata besar di depan kakek!”

“Benar,” Bu-song tertawa, “hal itu didasarkan pada watakmu. Kutahu kau tentu takkan melepaskan kesempatan untuk mendirikan pahala!”

“Salah!” Siau-bun tertawa. “Ha?” Bu-song terkesiap.

“Kau melupakan Lam-yau, Pak-koay, Bu-cui-su-seng dan raja kutu Coh Seng?” seru Siau-bun.

Bu-song tertegun. Diam-diam ia mengakui kelalaiannya.

Kalau tokoh-tokoh itu memang datang dan bersembunyi, setelah tahu kawannya terluka, tentulah segera akan muncul. Tetapi mengapa mereka tak menampakkan diri?

Sekilas merosotlah ambisi Bu-song. Tadi ia berani membuka mulut besar di hadapan Jenggot perak, bahwa ia tentu dapat memikat gerombolan Wajah seribu keluar.

Tetapi buktinya, tak seorangpun dari gerombolan lawan yang muncul... Di sana tampak Wajah seribu berkeliaran memandang ke empat penjuru. Begitu dilihatnya Jenggot perak dan tokoh- tokoh lainnya tak bergerak, barulah ia agak tenteram dan segera meramkan matanya untuk menyalurkan tenaga dalam. Ia hendak memulihkan bahunya yang mati rasa itu.

Bu-song memandang lawannya dengan tajam. Tiba-tiba ia melengking dan menerjangnya.

“Eh, bocah perempuan, partai Thiat-hiat-bun tak pernah menyerang orang yang sedang terluka. Tak boleh mencari kemenangan secara curang. !” tiba-tiba Jenggot perak berseru.

“Kek, sekarang aku tak sempat memberi penjelasan padamu!” teriak si dara yang terus melanjutkan serangannya. Dara baju merah

Jenggot perak berteriak mencegah, tapi tak berbuat apa-apa. Sementara si Wajah seribu masih meram sambil menyalurkan tenaga dalam. Tampaknya ia tak melawan...

Pada saat pedang akan menusuk tubuh Wajah seribu, tiba-tiba sesosok bayangan melayang dari udara. Seorang yang bertubuh pendek seperti semangka, tetapi luar biasa cepatnya sekali ulurkan tangan, telah mencengkeram pedang si dara.

Bu-song seorang dara yang cekatan dan cedas. Meskipun tengah menusuk, tetapi diam-diam ia sudah memperhitungkan tentu bakal ada orang yang akan menolong Wajah seribu. Secepat kilat ia menggeliatkan mata pedang dan membabat pergelangan tangan orang itu. Berbareng itu tangan kirinya menimpukkan tiga batang passer....

Orang itu tertawa meloroh seraya turun ke bumi. Sepasang tangannya mengibas. Terdengar dering pedang tertampar dan gemerincing tiga batang passer jatuh berhamburan!

Bu-song terkejut bukan kepalang. Ia mundur tiga langkah.

Terhindar dari maut, Wajah seribu marah bukan kepalang. Pada saat Bu-song menyurut mundur, sekonyong-konyong Wajah seribu mengayunkan tubuhnya mencengkeram si dara dengan sepuluh jarinya yang dipentangkan.

Kali ini dia tidak menggunakan ilmu Pek-pian-mo-ing, melainkan menggunakan ilmu nyata. Sekali gerak ingin menghancurkan tulang-belulang si dara.

Memang bukan olah-olah kepandaian Wajah seribu. Jika orang lain, bahunya tentu sudah lumpuh. Paling tidak harus istirahat beberapa hari baru sembuh. Tetapi dalam waktu singkat ia sudah dapat menyembuhkannya seperti sediakala. Bahkan dapat digunakan untuk menyerang.

Sebenarnya ketika Bu-song menyerang tadi, ia bukan sekali-kali meramkan mata menunggu nasib. Ia sudah tahu bahwa dalam saat-saat genting, kawannya tentu akan muncul. Dan dugaannya ternyata benar. Begitu si pendek muncul dan mengundurkan Bu-song, terus disusuli lagi dengan taburan asap hitam.

Kini keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Kalau tadi Wajah seribu yang terancam, sekarang Bu-songlah yang terancam. Dua tokoh sakti berbareng menyerangnya.

Melihat itu tak dapat Hun-tiong Sin-mo tinggal diam lagi. Serentak ia melepaskan pukulan Cek-koay-ciang kepada si orang pendek. Demikian pun Jenggot perak. Ia menghantam Wajah seribu.

Terdengar suara mendesis macam api meranggas.

Itulah suara dari pukulan Cek-koay-ciang. Asap yang dihamburkan si orang pendek itu adalah asap beracun. Tetapi ketika terhantam pukulan panas Cek-koay-ciang, seketika asap itu menjadi menjadi hangus dan membumbung ke udara.

Tidak cukup hanya membuyarkan asap saja, tenaga pukulan Cek-koay-ciang juga masih dapat membuat si orang pendek terpental sampai tujuh-delapan langkah jauhnya.

Jenggot perak pun berhasil. Sekalipun luka Wajah seribu sudah sembuh, tetapi menghadapi pukulan maut dari ketua Thiat-hiat-bun, ia harus menelan pil pahit. Memang kepandaiannya kalah setingkat dari Jenggot perak, apalagi ia baru saja sembuh dari luka di bahunya. Wajah seribu terhuyung sampai lima langkah. Wajahnya pucat lesi, darah dalam tubuhnya bergolak-golak......

Jenggot perak hanya tersurut mundur selangkah. Sikapnya biasa seperti tak mengalami apa-apa. Kini jelaslah sudah kekuatan mereka.

Wajah seribu dan orang pendek itu saling berpandangan.

“Coh Seng, sungguh beruntung dapat berjumpa!” tiba-tiba Jenggot perak berseru tertawa.

Ah, kiranya orang pendek itu si Raja kutu Coh Seng. Selain mahir dalam ilmu pengetahuan jenis kutu-kutu beracun, Coh Seng pun memiliki sebuah ilmu yang dapat membuat tulang-belulangnya sekeras baja.

Itulah sebabnya maka passer Hong-thau-kiong yang dilepaskan Bu-song tak mempan. 

Pada saat Coh Seng hendak bicara, tiba-tiba terdengar suara seruling melengking di udara. Jenggot perak terkesiap. Buru-buru ia berpaling dan menyuruh rombongannya menyalurkan tenaga dalam melawan lengkingan seruling.

Sepintas lalu, suara seruling itu seperti alunan suling biasa. Tetapi lagu yang ditiupnya sangat memikat hati. “Tentulah Bu-cui Su-seng yang meniup seruling itu. Lekas, jangan sampai terpikat oleh suara seruling. ” pengemis

Thiat-ik Sin-kay pun memberi peringatan kepada rombongannya.

Sekalian orang menurut. Jenggot perak memang hebat. Selain dapat membentengi diri dari lengkingan seruling, ia masih dapat membagi perhatiannya untuk menjaga gerak-gerik Coh Seng dan Wajah seribu.

Suara seruling tetap melengking-lengking. Tiba-tiba suaranya berobah menjadi menyeramkan, seperti burung hantu berbunyi di tengah malam. Rupanya si peniup menggunakan ilmu Cian-li-yang-seng ( dari ribuan li meniup seruling). Betapapun lihaynya ilmu Melihat langit mendengar bumi dari Jenggot perak, namun tak berhasil mengetahui di mana beradanya si peniup seruling itu.

Jenggot perak, Thiat-ik Sin-kay dan Hun-tiong Sin-mo masih dapat bertahan. Tapi Bu-song dan Siau-bun harus menderita. Beberapa saat kemudian, kedua nona itu hampir tak tahan lagi.

Kedua anak perempuan itu mulai berkunang-kunang matanya, semangatnya mulai limbung. Suara seruling itu serasa menembus ke dalam ulu hati, meremas-remas jantung. Menangis tak dapat mengeluarkan air mata, tertawa tak dapat bersuara.

Jenggot perak tahu keadaan kedua anak perempuan itu, tetapi ia tak dapat menolong. Ia sendiri sedang berjuang mempertahankan diri.

Hari makin terang. Pertemuan makin mendesak waktunya. Tuan rumah terancam kemusnahan!

Sekonyong-konyong terdengar tambur bertalu-talu nyaring.

Jenggot perak mengerang. Ia kaget-kaget gembira. Suara tambur itu tak asing baginya. Teringatlah ia ketika melihat Bu-beng-jin bertempur dengan Bok Sam-pi di gunung Thay-heng-san, tambur itupun terdengar. Hanya bedanya bunyi tambur itu keras sekali, jauh lebih nyaring dari ketika di Thay-heng-san.

Aneh! Begitu tambur menderu, serulingpun sirap seketika. (bersambung ke jilid 25)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar