Panji Tengkorak Darah Jilid 22

Jilid 22 .

“Kang Thian-leng? Ah, merdu juga kedengarannya,” tiba-tiba dara itu berseru gembira, “begini saja, kuanggap kau sebagai kaka angkatku. Kau pakai saja she keluarga kami, mau?”

“Tentu saja aku suka mendapatkan seorang adik seperti kau. Ya, ya, baiklah. Tapi siapakah namamu?”

“Kau setuju?” dara itu melonjak-lonjak gembira sekali seperti anak kecil mendapat permen, “keluargaku orang she Pok. Namaku Pok Lian-ci, tetapi ayah selalu memanggilku Ang-ko ( si merah). Kau pun boleh panggil Ang-po saja!” 

Baru Thian-leng hendak membuka mulut, tiba-tiba seorang sasterawan melangkah masuk. Pedang bebas.

“Kau sudah pulang, yah!” teriak Ang-ko seraya menubruk dada sasterawan setengah umur itu. “Dia sudah sadar dan kuangkat sebagai engkoh. Kau tetntu suka, bukan?”

Sasterawan setengah umur itu tertawa. Dibelainya rambut si dara itu dengan penuh kasih,“Sudahlah jangan ribut- ribut. ”

Mata sasterawan itu itu menuju ke Thian-leng yang gagal bangun. Tangan dan kaki Thian-leng lemas tak bertenaga. terpaksa ia rebah lagi.

“Pok cianpwe, maaf aku tak dapat bangun menghaturkan hormat. ” serunya.

Sasterawan itu melangkah ke muka pembaringan dan memberi isyarat tangan, “Tak apa, tidur sajalah!”

Kini barulah Thian-leng dapat memandang jelas wajah sasterawan itu. Seorang lelaki cakap dan berwibawa. Hidung mancung, mulut lebar, mata bundar dengan sepasang alis tebal. Hanya sayang pada gumpalan alisnya terdapat dekik warna gelap dan kerut-kerut tanda ketuaan. Seri wajahnya sunyi dan rawan.

Thian-leng menghaturkan terima kasih atas pertolongan si dara.

“Aku paling tak suka dengan peradatan-peradatan kesungkanan… ,”sahut sasterawan itu. Ditatapnya wajah Thian-

leng, tegurnya, “Siapakah namamu?”

“Dia bernama Kang Thian-leng, tetapi katanya nama itu palsu dan tak dipakainya lagi. Karena sudah jadi engkoh angkat, diapun memakai she keluarga kita.” si dara menyeletuk.

‘Jangan ribut saja, nak… ” ayahnya mendamprat halus. Ia minta maaf kepada Thian-leng atas keliaran Ang-ko.

“Tetapi wanpwe sendiri menerima dengan senang hati.”

“Ah, kau tentu terpaksa karena sungkan,” tukas sasterawan itu.

“Tidak, memang wanpwe sendiri senang dengan setulusnya. Kalau Pok cianpwe mengatakan begitu, berarti cianpwe tak mau menerima diri wanpwe!”

Sasterawan itu terpaksa mengalah. Kemudian ia menanyakan diri anak muda itu. Thian-leng menuturkan riwayat hidupnya dengan terus terang.

“Dulu aku sedih karena tak punya she, tetapi kini aku girang sekali memakai she Pok. Pok Thian-leng!” kata Thian- leng.

Sasterawan setengah tua itu menghela napas dalam-dalam. “Nak, tahukah kau siapa aku…?”

“Aku Pendekar pedang bebas Pok Thiat-beng,” tanpa menunggu jawaban Thian-leng, sasterawan itu memberi keterangan sendiri.

“Oh. ” Thian-leng mendesah, “seharusnya aku dapat menduga,” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Sanubarinya penuh sesak dengan rasa kaget dan girang.

Ia teringat akan pesan Toan-jong-jin Cu Giok-bun untuk mencari pendekar pedang itu. Kini bukan saja telah bertemu, bahkan dipungut sebagai anak angkat. Dengan begitu Toan-jong-jin pun menjadi ibu angkatnya. Tak tahu ia bagaimana perasaan hatinya kala itu. 

Menurut keterangan Nyo Sam-koan, sepasang suami isteri Pok Thiat-beng dan Toan-jong-jin itu retak hubungannya akibat salah paham. Dan hal itu akibat rencana busuk yang dilakukan oleh Ma Hong-ing.

Kini jelaslah sudah bahwa setelah meninggalkan Toan-jong-jin, Pok Thiat-beng mengembara ke luar perbatasan (daerah Tibet), bertemu Sin-ko-Sian-lo (Dewi tambur, nenek si dara Ang-ko), menikah dengan anak perempuannya dan mendapat seorang puteri, yakni si Ang-ko. Setelah Sin-ko Sian-lo dan ibu si Ang-ko meninggal dunia, maka Pok Thiat-bengpun lalu membawa anaknya kembali ke Tiong-goan pula.

Timbul pertanyaan dalam hati Thian-leng. Apakah Pok Thiat-beng mengetahui tentang drama salah paham antara ia dengan Toan-jong-jin? Dan kembalinya jago pedang itu ke Tiong-goan apakah karena teringat akan Toan-jong-jin atau hendak menundukkan dunia persilatan Tiong-goan lagi?

Sejenak Thian-leng memandang Ang-ko. Wajah dara yang sedemikian kekanak-kanakan itu, tak mungkin mengetahui sekian banyak rahasia dalam diri ayahnya.

Pesan dari Toan-jong-jin yang sedianya hendak dikatakan kepada Pok Thiat-beng, entah bagaimana, Thian-leng ragu- ragu mengatakan.

“Gihu (ayah angkat), aku hendak mohon tanya sedikit hal!” akhirnya Thian-leng membuka mulut. “Silakan!”

“Pernahkah gihu mengunjungi puncak Giok-lo-hong di gunung Heng-san?”

Mendengar itu Ang-ko tercengang. Tak tahu ia apa maksud pertanyaan engkoh angkatnya itu. Pok Thiat-beng pun terkesiap lalu menyahut dengan terbata-bata, “Giok.... lo..... hong. ”

“Aneh sekali pertanyaanmu, nak!” serunya pula.

Dengan wajah dan nada bersungguh-sungguh, Thian-leng menyusuli bertanya pula. “Apakah dahulu gihu pernah berjanji dengan seorang sahabat untuk pesiar ke puncak Giok-lo-hong?” Habis berkata Thian-leng diam-diam melirik kepada Ang-ko.

Seketika berobah wajah Pok Thiat-beng. Segera ia megerti apa maksud Thian-leng. Setelah merenung sejenak, ia berpaling kepada Ang-ko yang terlongong-longong, “Coba tengoklah kedua taci beradik Ki, apakah nasi sudah masak?”

“Ya, ya, kalian hendak bicara rahasia yang tak boleh kudengarkan… ” Ang-ko mencibirkan bibir. Dara yang masih

kekanak-kanakan itu tiba-tiba bertepuk tangan dan tertawa. “Ai, benar… benar, aku memang hendak memberitahukan kedua cici itu!”

Setelah puterinya pergi, Pok Thiat-beng segera meminta Thian-leng bicara. “Sudah beberapa kali aku bertemu dengan gibo (ibu angkat)….”

“Maksudmu Giok-bun, apakah dia tak kurang suatu apapun?” belum Thian-leng menyelesaikan kata-katanya, Pok Thiat-beng sudah menukasnya.

“Beliau baik-baik saja,” buru-buru Thian-leng menyahut, “hanya saja beliau setiap saat selalu mengenangkan gihu. Karena kejadian yang lalu itu ternyata hanya suatu kesalah-pahaman saja. ”

“Bagaimana kau tahu?” Pok Thiat-beng mengerutkan dahi.

“Aku pernah bertemu dengan Nyo Sam-koan di dalam penjara Sin-bu-kiong. Dialah yang menceritakan hal itu.” jawab Thian-leng.

Pok Thiat-beng diam, hatinya bergolak-golak.

“Gi-bo suruh aku mencari berita di mana gihu berada.” kata Thian-leng pula, “apabila bertemu supaya menyampaikan pesan beliau agar gihu suka menemuinya di puncak Giok-lo-hong. ” ia berhenti sejenak, katanya pula. “Gi-bo tak

mau mengatakan dirinya dengan terus terang dan menyamar sebagai seorang nenek berambut putih yang bernama Toan-jong-jin. Tetapi dari pesan itu dapatlah kuketahui bahwa beliau memang sungguh-sungguh terkenang pada gi- hu!”

Pok Thiat-beng menundukkan kepala, karena ia malu diketahui bahwa dua butir air mata telah mengalir dari pelupuk matanya. “Apakah ia benar telah melupakan peristiwa yang lampau?” katanya dengan suara tersekat. “Apakah gi-hu masih menyangsikan hati gi-bo?”

Pok Thiat-beng menghela napas, “Tidak, aku tak menyangsikannya, tetapi aku ….. telah berbuat hal yang menyalahinya. Pada waktu itu seharusnya aku menyelidiki dulu dan selama tujuh belas tahun itu seharusnya aku mencarinya…..dan.. dan….akupun telah menikah lagi…..”

Setelah berhenti beberapa saat, barulah jago pedang itu berkata pula, “Karena itu, maka aku tak berani bertemu muka dengannya!”

“Aku berani memastikan bahwa tak sedikitpun gi-bo pernah melupakan gi-hu. Sudah tentu beliau tidak marah kepada gihu. Tahukah gi-hu bahwa beliau tinggal…..” tiba-tiba Thian-leng tak melanjutkan kata-katanya. Karena ia merasa salah omong. Dia sendiri tak tahu di mana tempat tinggal Toan-jong-jin dan Cu Siau-bun. Teringat nona itu, hatinya terasa tersayat dan pikirannya segera melayang ke peristiwa yang dialami baru-baru ini. Ketika ia pingsan dalam adu tenaga dalam dengan Bok Sam-pi, ia ingat si Jenggot perak masih tantang-tantangan dengan ketua Hek Gak. Siau- bun dan kedua suami isteri Im Yang song-sat bersembunyi di sekitar tempat itu. Tetapi ketika ia sadar, orang-orang itu sudah lenyap…..

“Setelah kuajak Ang-ko kembali ke Tiong-goan, aku menetap di gunung Thay-heng-san. Meskipun mendengar juga sedikit tentang diri gi-bomu, tetapi belum mendapat bukti-bukti yang jelas. Karena itulah aku tak menemuinya!”

“Apakah di sini masih termasuk lingkungan Thay-heng-san?”

Pok Thiat-beng mengangguk, “Gunung Thay-heng-san luasnya sampai beratus-ratus li.Tempat ini termasuk daerah pinggirannya!”

“Apakah gi-hu tak pernah berjumpa dengan ketua Thiat-hiat-bun si Jenggot perak itu?” tanya Thian-leng.

“Aku tak tahu bagaimana pandangannya terhadap diriku. Tetapi karena aku menikah dengan gi-bomu hanya setahun lalu berpisah, mungkin dia ( Jenggot perak ) tak dapat memaafkan aku….”

“Asal dapat bertemu dengan orang tua itu, tentu dapat menanyakan tempat tinggal gi-bo. Dan jika gi-hu dapat bersatu lagi dengan gi-bo, beliau tentu girang sekali dan takkan membenci gi-hu!” kata Thian-leng

Pok Thiat-beng mondar-mandir dalam ruangan sambil menggendong tangan.

“Ah, temponya terlalu lama, delapan bulan siapa tahu……” tiba-tiba Thian-leng membuka mulut lagi, tetapi secepat itu pula ia berhenti. Rupanya ia merasa kelepasan omong.

“Selain itu, masih ada satu daya……” tiba-tiba Pok Thiat-beng berkata sambil tertawa rawan. “Bagaimana?” tanya Thian-leng.

Pok Thiat-beng menghela napas. “Menurut apa yang kuketahui, gi-bomu telah pergi ke gunung Tiam-jong-san….” Diam-diam Thian-leng mengakui ketepatan kata-kata ayah angkatnya itu.

“Jika aku ke Tiam-jong-san juga, mungkin dapat menjumpai gi-bomu. Akan kujelaskan salah paham yang dulu dan melepaskan rinduku kepada puteri Siau-bun. Tetapi… ”

Mendengar itu hati Thian-leng gelisah sekali. Ternyata Pok Thiat-beng sudah mengetahui tentang kejadian di luaran. Apakah jago itu mengetahui juga tentang hubungannya dengan Siau-bun?

“Kalau begitu, silakan gi-hu segera menuju ke Tiam-jong-san saja.” Thian-leng tak menghiraukan dirinya. Pokoknya asal kedua suami isteri itu dapat bersatu padu lagi.

Pok Thiat-beng menghela napas, “Tetapi aku masih mempunyai keresahan, ialah tentang Ang-ko… Selama ini dia tak

kuberitahukan hal itu, bahkan mendiang mamanyapun tidak tahu. Mungkin perasaan anak itu akan tersinggung… ”

“Ang-ko cerdas dan lapang hati. Biarlah aku yang memberitahukan hal itu, rasanya dia tentu. ” belum selesai

Thian-leng berkata, Pok Thiat-beng sudah menukas, “Baik, aku akan ke Tiam-jong-san, tetapi,. ah, nanti saja bila

lukamu sudah sembuh. Sesudah tahun baru , baru aku berangkat!” 

“Tak usah gi-hu tunggu aku, silakan berangkat sendiri…..”

“Keputusanku sudah tetap, jangan banyak bicara lagi!” berkata Pok Thiat-beng, “kau menderita luka dalam yang parah, masih memerlukan perawatan yang teratur. mereka datang!” tiba-tiba Pok Thiat-beng berseru.

“Yah, nasi sudah masak. hari ini engkoh Leng pun boleh makan nasi!”, masih di luar kamar si dara Ang-ko sudah

berteriak. Dan sesaat kemudian muncullah ia bersama dua orang nona yang membawa hidangan.

Kejut Thian-leng bukan kepalang. Kedua nona itu bukan lain ialah Ki Gwat-wan dan Ki Seng-wan. Dan kedua nona itupun girang karena Thian-leng sudah sadar. Mereka mencuri lirik sejenak, lalu menunduk tersipu-sipu.

Adalah Thian-leng yang menegur dulu, menanyakan keadaan mereka selama ini dan luka Ki Seng-wan.

Ki Seng-wan tak mau menjawab. Ia mengunjukkan sikap dingin. Ki Gwat-wan yang menuturkan bahwa mereka ditolong dan disembuhkan Jenggot perak, tetapi ditinggalkan begitu saja, hingga di temukan dan dibawa pulang oleh Pok Thiat-beng.

“Untunglah Pok tay-hiap memungut kami sebagai anak angkat, sehingga kini kami mempunyai tempat meneduh yang tetap. Oleh karena usia kami lebih tua, baiklah kau panggil taci kepada kami!” kata Ki Gwat-wan lebih lanjut.

“Baiklah,” Thian-leng tertawa meringis, “nanti setelah lukaku sembuh, tentu akan kuberi hormat kepada taci berdua!” Dia percaya keterangan nona itu tentu tak bohong.

“Dulu aku seorang diri, sekarang aku mempunyai seorang engkoh dan dua orang taci….” Ang-ko berseru dengan melonjak-lonjak kegirangan. Ia mendekap dada ayahnya, “Yah, kaupun harus bergembira!”

Sekalipun berseri girang, namun lekuk alis jago pedang itu mengerut kedukaan yang dalam. “Setelah berpisah, apakah kau masih ingat kepada kami berdua?” tiba-tiba Ki Gwat-wan bertanya. “Aku....uh, siaote (adik) ” Thian-leng berkata tersekat-sekat.

“Hai, mengapa kau tersendat-sendat? Lekas bilang, kau pernah teringat kedua taci ini atau tidak?” tiba-tiba Ang-ko membentak.

Thian-leng sebenarnya sukar untuk mengutarakan hal itu. Terus terang sejak berpisah, ia tak ingat lagi kepada kedua nona Ki itu.

“Sejak berpisah, aku selalu menghadapi bahaya maut, sehingga tak pernah mengingat mereka lagi… ” akhirnya

Thian-leng terpaksa menerangkan.

Ki Gwat-wan tertawa dingin, “Sekalipun tidak menghadapi bahaya maut, masakah kau mau mengingat kita berdua… karena kami berdua ialah anak angkat dari Song-bun-Kui-mo Ki Pek-lam!”

“Ah, janganlah terlalu menyiksa diriku… ”

Gwat-wan tak menghiraukan anak muda itu. Tiba-tiba ia berlutut di hadapan Pok Thiat-beng. Sudah tentu Pok Thiat- beng tersipu-sipu mengangkatnya bangun, “Kalau ada persoalan, katakanlah… ”

Dengan masih berlutut Ki Gwat-wan menyurut mundur selangkah, serunya, “Ada sebuah hal tak penting yang anak hendak mohon gi-hu memberi keputusan!”

“Katakanlah!”

Ki Seng-wan yang sedang mengemasi piring mangkok, kaget tak terkira, “Cici… ”

“Mengapa? Apakah tak boleh kukatakan?” balas Ki Gwat-wan.

Ki Seng-wan tersipu-sipu malu, ujarnya rawan, “Perlu apa mengungkit hal yang sudah lampau?”

“Apa? Hal yang sudah lampau? Tetapi hal itu menyangkut nasibmu. Sekalipun kau sanggup menderita, tetapi aku sebagai taci tak dapat melihat kau tersiksa!” 

Ki Seng-wan jengah dan menundukkan kepala.

“Eh, apa saja? Bilanglah, nanti dapat kuputuskan!” desak Pok Thiat-beng.

“Tentang diri adik Seng-wan itu. Pada suatu hari ketika lewat di lembah Hong-lim-koh, kami melihat sesosok. ” ia

berhenti sejenak, melirik ke arah Thian-leng, katanya pula, “ dikata mayat, tapi sebenarnya masih hidup. Hanya orang itu sudah sehari semalam menggeletak di muka lembah. Kaki tangannya kaku, napasnya hampir habis. Paling banyak dia hanya dapat hidup sejam dua jam lagi. ”

Thian-leng terbeliak. Teringat ia akan peristiwa dahulu itu.

“Orang itu ternyata menderita pukulan dahsyat dari Cong-hou-hwat Sin-bu-kiong yang brnama Ni Jin-hiong. Organ dalamnya goncang, darah bergolak, napas hampir putus. Benar keadaannya menyedihkan sekali!” kata Ki Gwat-wan pula. Tiba-tiba ia menuding pada Thian-leng, “Orang itu adalah dia!”

“Jadi …… kalian berdua yang menolong aku?” Thian-leng tersekat-sekat. Memang pada saat itu ketika tersadar ia mendapatkan dirinya berada dalam biara rusak. Karena tubuhnya tertutuk, ia tak tahu kalau dihantam Ni Jin-hiong.

“Aku sih tak punya hati sebaik itu. Jika menurut kehendakku mungkin saat ini kau sudah menjadi tumpukan tulang. ” Gwat-wan tertawa dingin.

“Lalu siapakah yang menolongku?” Thian-leng heran.

“Adikku. ” sahut Gwat-wan dengan nada berat, “dengan ilmu Hian-im-kiu-coan adikku telah mengorbankan

kesuciannya hingga dapat menolong jiwamu!”

Thian-leng mendengus. Wajahnya pucat, serentak ia hampir pingsan. “Hian-im-kiu-coan……?” Pok Thiat-beng mengerutkan kening.

“Apakah gi-hu tahu cara pertolongan dengan ilmu Hian-im-kiu-coan itu?” tanya Ki Gwat-wan. Pok Thiat-beng mengangguk, “Sudah tentu… aku tahu!”

“Adik Seng-wan telah menolong jiwanya, untuk itu ia tak berkeberatan menyerahkan kehormatannya. Bagaimanakah baiknya, harap gi-hu suka memberikan pertimbangan,” kata Gwat-wan pula.

Ki Seng-wan meringkuk di ujung dinding. Wajahnya merah sekali. Sedang Ang-ko melongo, sebentar memandang ke sana, sebentar melihat ke sini. Ia tak tahu apa itu Hian-im-kiu-coan.

Thian-leng seperti dipalu kepalanya. Matanya berkunang-kunang, dadanya serasa sesak, napas sukar dihembus. Benar-benar ia tak percaya apa yang diceritakan nona itu. Lu Bu-song dan Cu Siau-bun, sudah membuatnya pusing. Sekarang tampil lagi seorang Ki Seng-wan, amboi……

Ki Seng-wan masih tetap berlutut dan Pok Thiat-beng terdiam. Ruangan hening lelap. “Gwat-wan …. bangunlah!” beberapa saat kemudian Pok Thiat-beng berseru. “Sebelum gi-hu memberi keputusan, aku takkan bangkit,” sahut Gwan-wan.

Pok Thiat-beng mengerang, “Ah..kau…menyiksa aku… ” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya, karena pikirannya

benar-benar limbung.

“Cici, hidangan sudah dingin, engkoh akan kuberi makan!” tiba-tiba Ang-ko melengking.

“Tak usah, mungkin dia tak bernapsu makan malam ini. Mari kita ke ruang belakang!” sahut Ki Gwat-wan. Ia terus ajak dara itu menuju keluar.

Tak berapa lama, ruangan itu menjadi sunyi. ooo000ooo

Waktu berjalan laksana anak panah terlepas dari busur. Cepat sekali tahun barupun sudah tiba. Sejak partai Thiat-hiat-bun, Sin-bu-kiong dan Hek gak berhadapan di gunung Thay-heng-san tanpa hasil apa-apa, dunia persilatan aman tenang.

Pembunuhan yang dilakukan oleh tokoh misterius yang selalu meninggalkan tanda panji tengkorak darah pun sudah dua bulan lebih tak mengganas lagi.

Tetapi benarkah begitu? Tidak, tidak! Ketenangan itu hanyalah suatu persiapan dari banjir darah yang akan melanda dunia persilatan!

Sebenarnya kaum persilatan sedang membayang-bayangkan suatu malapetaka besar. Cemas mereka membayangkan, sekali peristiwa itu meletus, maka dunia persilatan akan dilanda oleh gempa hebat yang mungkin akan merobah wajah dunia persilatan seluruhnya.

Ah, benarlah. Bayang-bayang itu akhirnya menjadi kenyataan……

Rencana dari ke sembilan partai persilatan, untuk menantang Hun-tiong Sin-mo bertempur di puncak gunung Bu-san telah dibatalkan. Tetapi sebagai gantinya, mereka telah menerima undangan dari ketua partai Thiat-hiat-bun untuk menghadiri rapat-besar kaum gagah di gunung Tiam-jong-san. Undangan itu tersebar luas. Bukan hanya terbatas pada ke sembilan partai persialtan saja, bahkan kelompok perguruan yang ternama dan berpengaruh di setiap daerah sama mendapat undangan.

Rapat pertemuan orang gagah itu akan diselenggarakan di markas partai Tiam-jong-pay pada bulan satu tanggal lima belas. Disebut perjamuan, tetapi tak ada acara hidangannya. Baru pertama kali itu dalam sejarah dunia persilatan menerima undangan yang seaneh itu. Dan perhatian kaum persilatan segera tertumpah pada markas Hun-tiong-hu!

Apakah tokoh Hun-tiong Sin-mo yang menjagoi dunia persilatan selama enam puluh tahun itu juga menerima undangan? Dan kalau menerima apakah dia akan menghadiri?

Pecah berita yang menambah keseraman suasana. Yakni ada orang yang menyaksikan sendiri pihak Hun-tiong-hu telah menyebar anak buahnya berbondong-bondong menuju ke gunung Tiam-jong-san. Rombongan anak buah Hun- tiong-hu itu mengenakan pakaian aneh dari berbagai corak.

Inilah yang menimbulkan berbagai tafsiran. Kalau Hun-tiong Sin-mo benar-benar mau menghadiri pertemuan di Tiam- jong-san itu, mengapa tak datang saja dengan terang-terangan, tetapi mengirim anak buahnya secara rahasia….

Berita yang lebih mengejutkan lagi telah tersiar, bahwa rombongan Hun-tiong-hu itu telah disambut dengan penuh penghormatan oleh pihak Tiam-jong-pay.

Memang telah diduga semula bahwa antara Hun-tiong-hu, Thiat-hiat-bun dan Tiam-jong-pay mempunyai hubungan yang erat.

Dunia persilatan hiruk-pikuk dalam topan desas-desus. Tetapi anehnya ke sembilan partai persilatan tampaknya tenang-tenang saja dan tak mengadakan reaksi apapun.

Setelah Hun-tiong-hu, sasaran kedua yang diperhatikan kaum persilatan ialah Sin-bu-kiong.

Peristiwa Sin-bu Te-kun dihajar oleh Bu-beng-jin di gunung Thay-heng-san telah menjadi buah pembicaraan luas di kalangan persilatan. Bahwa Bu-beng-jin telah menerima ilmu pelajaran dalam kitab peninggalan It Bi siangjin pun telah diketahui oleh kaum persilatan.

Dengan adanya peristiwa itu, kaum persilatan menganggap bahwa undangan Thiat-hiat-bun untuk mengadakan pertemuan orang gagah di gunung Tiam-jong-san itu, bagi Sin-bu-kiong benar-benar suatu tamparan yang hebat!

Apakah Sin-bu-kiong akan menghadiri rapat itu? Ah, kali ini Sin-bu-kiong benar-benar dihadapkan pada persoalan yang pahit. Kalau tak hadir, tentu dianggap menyerah kalah. Namun kalau hadir, tentu akan menghadapi bahaya kekalahan yang fatal.

Pihak pengundang ialah Thiat-hiat-bun, sebuah partai persilatan yang kuat dan berpengaruh. Apa lagi dibantu oleh Hun-tiong Sin-mo, ah, benar-benar ngeri.

Seluruh perhatian dunia persilatan tercurah pada pertemuan besar di Tiam-jong-san. Walaupun lambat, tetapi akhirnya haripun merayap terus. Akhirnya………….

Bulan satu tanggal lima belas telah tiba.

Hari itu adalah malam widadari ( malam sehari sebelumnya ) dari rapat besar orang gagah di gunung Tiam-jong- san….

Heboh!

Tanggal satu bulan satu.

Gunung Tiam-jong-san ramai sekali. Orang datang berbondong-bondong dari seluruh penjuru. Kesibukan tampak nyata. Mulai dari markas besar Tiam-jong-pay yang terletak di muka puncak Lok-he-hong sampai turun ke kaki gunung, telah dihias dengan lampu warna-warni yang gilang-gemilang.

Di muka markas Tiam-jong-pay, juga didirikan bangsal penginapan untuk para tetamu. Tiam-jong-san saat itu benar- benar tenggelam dalam lautan kesibukan yang luar biasa.

Perjamuan atau pertemuan orang gagah yang diselenggarakan saat itu, bukan saja merupakan lembaran baru dari sejarah partai Tiam-jong-pay, tapi juga merupakan peristiwa besar yang terjadi di dunia persilatan!

Para tokoh-tokoh gagah dari empat penjuru gunung dan delapan pelosok daerah di seluruh negeri, sama datang hadir.

Anak buah Tiam-jong-pay bekerja keras dan teratur, sehingga banjir tamu itu dapat diatur rapi.

Yang datang termasuk ke sembilan partai persilatan, kelompok-kelompok perguruan dari tiap-tiap daerah, pemimpin- pemimpin piau-kiok (pengantar barang), jago-jago ternama sampai pada pendekar-pendekar yang tak begitu terkenal. Mereka terdiri dari segala lapisan. Kaum paderi, biarawati (nikoh), imam, pengemis, lelaki, perempuan, tua dan muda.

Telah dituturkan bahwa sekalipun tempat pertemuan diadakan di gunung Tiam-jong-san, tetapi yang menjadi tuan rumah ialah partai Thiat-hiat-bun yang dipimpin oleh Jenggot perak Lu Liang-ong. Ketua Tiam-jong-pay, yakni Poh-ih siu-su Li Cu-liong hanya merupakan salah seorang anak buah dari Jenggot perak.

Banyak tafsiran dan dugaan telah dilontarkan. Tetapi sedikit orang yang tahu bagaimana sesungguhnya hubungan antara ketua Thiat-hiat-bun dengan ketua Tiam-jong-pay itu. Mengapa Li Cu-liong begitu menghormat sekali terhadap Jenggot perak Lu Liang-ong….

Yang tahu akan rahasia mereka hanyalah sedikit sekali, bahwa Li Cu-liong itu sebenarnya adalah anak angkat dari Lu Liang-ong.

Partai Thiat-hiat-bun ternyata mengerahkan seluruh anak buahnya. Selain ke empat Su-kiat, ke tiga puluh enam Thian-kong dan ke tujuh puluh dua Te-sat, masih ada juga ratusan jago-jagonya yang berada di Tiam-jong-san. Mereka ikut dalam mendirikan perkemahan, menjaga keamanan dan menyambut tamu.

Sekilas pandang, pertemuan itu merupakan suatu perjamuan besar. Suatu pesta ria antara kaum persilatan. Tetapi sebenarnya pertemuan itu membawa arti yang besar. Merupakan suatu pertemuan yang memastikan. Barangsiapa yang berhasil merajai pertemuan itu, dialah yang akan dinobatkan sebagai yang dipertuan dalam dunia persilatan!

Untuk menjaga keamanan , selain petugas-petugas yang mengadakan perondaan, dibentuk pula sebuah regu rahasia. Regu ini mengenakan pakaian serba putih, rambut terurai dan serba menyeramkan.

Gerak-gerik merekapun serba misterius. Sebentar tampak, sebentar lenyap. Mereka tak ditempatkan di suatu tempat tertentu dan tak diketahui jumlahnya. Tetapi setiap orang merasa bahwa setiap sudut dari daerah Tiam-jong-san, selalu terdapat bayangan mereka. 

Siapakah regu rahasia itu?

Bagi setiap orang persilatan yang hadir dalam pertemuan itu segera mencium bau. Regu rahasia itu bukan lain adalah jago-jago dari Hun-tiong-hu yang berilmu tinggi.

Apakah Hun-tiong Sin-mo juga hadir?

Adanya regu rahasia dari Hun-tiong-hu itu menyebabkan setiap tamu tak berani sembarangan bergerak kemana- mana. Mereka takut menghadapi hal-hal yang tak diinginkan.

Perhatian para tamu beraalih pada lain sasarn.

Mengapa sampai detik itu pihak Sin-bu-kiong dan Hek Gak tak tampak muncul? Soal Sin-bu Te-kun dan Hek Gak telah menjadi bahan pembicaraan para tamu.

Hjek Gak muncul kembali setelah memendam diri selama enam puluh - tujuh puluh tahun. Kembalinya Hek Gak di dunia persilatan itu tentu dengan tujuan besar, dan tujuan besar itu jelas ditunjukkan pada hiasan pagar tembok markasnya.

Di sekeliling pagar tembok markas Hek Gak, penuh digantung patung-patung tokoh persilatan yang ternama. Tokoh- tokoh itulah yang hendak dilenyapkan. Dan sekali muncul, ketua Hek Gak tentu sudah mempersenjatai diri dengan ilmu kepandaian yang sakti.

Antara lain misalnya, cukup dengan mengandalkan tenaga dari Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi yang menjabat sebagai Cong-hou-hwat Hek Gak saja, cukuplah sudah menundukkan jago-jago persilatan yang manapun juga. Munculnya Hek Gak benar-benar merupakan ancaman besar di dunia persilatan.!

Sementara mengenai diri Sin-bu Te-kun, dia sebenarnya adalah Song-bun Kui-mo, salah seorang dari kui-mo yang pernah menggetarkan dunia persilatan. Di samping Hek Gak, Sin-bu-kiong pun merupakan momok yang menyita perhatian besar.

Membicarakan Hek Gak dan Sin-bu Te-kun, orang tak dapat lepas dari membicarakan Hun-tiong Sin-mo. Selama lebih dari enam puluh tahun lamanya, setiap bulan sembilan tanggal lima belas, markas Hun-tiong-hu selalu menerima kedatangan jago-jago yang hendak menantang bertempur. Selama enam puluh tahun, entah sudah berapa banyak jago-jago yang harus menderita kekalahan pahit. Mereka yang berani datang, tentu tak pernah pulang lagi!

Selama enam puluh tahun, Hun-tiong Sin-mo telah menjagoi dunia persilatan. Beberapa bulan yang lalu, di dunia persilatan telah timbul kehebohan. Di sana-sini timbul pembunuhan dan pembunuhnya meninggalkan Panji tengkorak darah.

Rakyat dan dunia persilatan gentar. Mereka membenci Hun-tiong Sin-mo yang diduga tentu melakukan keganasan itu.

Adalah karena pernah dikalahkan Hun-tiong Sin-mo, maka Hek Gak segera bertapa selama enam puluh tahun. Dia hendak menuntut balas atas kekalahannya dari Hun-tiong Sin-mo yang telah membuat cacat tubuhnya.

Pihak Sin-bu-kiong selalu menjaga perdamaian dengan kaum persilatan. Beberapa bulan yang lalu, mereka telah menerima undangan dari pihak Siu-lim-pay untuk bersama-sama mengeroyok Hun-tiong Sin-mo.

Sekalipun akhirnya rencana itu batal karena adanya undangan rapat orang gagah oleh Thiat-hiat-bun ini, namun takkan berobah sifatnya. Dalam pertemuan maut kali ini, tentu akan terjadi pertempuran maut yang menentukan.

Ditinjau dari perkembangan selama ini, posisi Hun-tiong Sin-mo tidak menguntungkan. Ke sembilan partai besar, Sin- bu-kiong dan Hek Gak memusuhinya.

(bersambung ke jilid 23)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar