Panji Tengkorak Darah Jilid 21

Jilid 21 .

Sin-bu Te-kun seperti jago yang keok. Tetapi dari kerut di wajahnya, ia tetap menyungging senyum misterius. Ia tak mau segera angkat kaki, tetapi masih bertanya pula, “ Aku masih hendak bertanya lagi!”

“Silakan!”

“Dalam dua hari ini, kau memperoleh apa saja?” “Ini. ”

“Suatu rahasia yang tak dapat kau katakan?” Sin-bu Te-kun menegas.

Thian-leng tertawa menghamburkan kemarahannya. “Aku tak takut mengatakan padamu. Dengarlah! Aku sudah memperoleh ajaran It Bi siansu!”

Kejut Sin-bu Te-kun seperti disambar petir sehingga ia terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Juga sekalian orang yang hadir di situ, kecuali Jenggot perak Lu Liang-ong, memekik kaget.

“Kau sudah menyebut dirimu sebagai muridnya?” seru Sin-bu Te-kun.

Tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa gelak-gelak, “Baiklah, hari ini aku mengaku kalah. Sisa yang delapan jurus lagi, kutunggu kedatanganmu di istana Sin-bu-kiong. Tetapi apabila kau tak datang, tetap akan kucari engkau kemanapun.!”

“Hm, sekalipun tanpa pertadingan seratus jurus itu, akupun akan tetap hendak menuntut balas untuk Oh se-Gong-mo cianpwe. Sin-bu-kiong akan kuratakan dengan tanah!”

Sin-bu Te-kun tak mau banyak bicara lagi. Ia memutar tubuh lalu melesat pergi tanpa mengucapkan apa-apa kepada ketua Hek Gak. Rombongan orang Sin-bu-kiongpun segera mengikuti.

Kepergian mereka diantar oleh gelak tertawa Jenggot perak yang dalam keheningan malam seperti menyambar- nyambar di angkasa. Puas tertawa, ia menegur ketua Hek Gak, “Eh, Kongsun loji, kaupun seharusnya angkat kaki juga!”

“Tidak!” di luar dugaan, ketua Hek Gak tertawa sinis.

Jawaban itu membuat Jenggot perak terbeliak, “Jadi kau tetap hendak bertanding?” Ketua Hek Gak menyahut dengan congkak, “Kiranya belum perlu kuturn tangan sendiri!” Kini sadarlah Jenggot perak, “Hm, kau pintar sekali memainkan swipoamu, tetapi ”

“Cong-hou-hwat!” ketua Hek Gak serentak berteriak memanggil Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi.

“Ya!” Bok Sam-pi cepat tampil ke muka. Saat itu ia sedang dirangsang oleh pembius ingatan. Matanya berapi-api, tetapi terhadap ketua Hek Gak ia bersikap patuh.

Thian-lengpun sadar. Ketua Hek Gak tak berani menghadapinya, tetapi hendak menyuruh Bok Sam-pi yang maju.

“Hajar budak kurang ajar itu!” tiba-tiba ketua Hek Gak memberi perintah, “tetapi ingat, hanya boleh bertempur satu jurus. Tanpa perintah, jangan lanjutkan jurus kedua!”

“Hamba mengerti!” sahut Bok Sam-pi.

Dengan perutnya yang buncit, jago tua itu loncat ke depan Thian-leng, bentaknya, “Mana budak perempuan itu?” Thian-leng tertegun, serunya, “Perlu apa kau tanyakan dia?”

“Aku hendak menuntut balas padanya. Ia berani menghina aku!”

Thian-leng tertawa dingin, “Kalahkan dulu aku baru kau dapat menemuinya. Jika tidak, selakan kau tunggu di pintu akhirat saja!”

Marah Bok Sam-pi bukan kepalang, sehingga gelap seperti besi. Ia mengulurkan tangan kanannya. Telapak tangannya yang bundar seperti kipas mulai diangkat ke atas.

Seketika daun-daun pada gerombol pohon yang terpisah dua tombak jauhnya sama berderak-derak bergoncangan keras.

Diam-diam Thian-leng terkejut. Pikirnya, “Ah, kepandaian orang tua ini lebih hebat dari pada Sin-bu Te-kun!” Segera ia memasang kuda-kuda. Tangannyapun mempersiapkan pedang. Ia tak berani memandang ringan lawan.

Melihat sikap dan perawakannya, Bok Sam-pi seperti seorang gendut yang tak mengerti ilmu silat. Tiba-tiba ia hentikan tinjunya di atas.

“Jika kau menyerahkan budak perempuan itu, kau akan kubebaskan dari pertempuran ini!” serunya.

“Kalah menang belum ketentuan, bagaimana kau mengira aku akan kalah?” seru Thian-leng dengan garang. “Di kolong langit, siapakah yang dapat menandingi aku? Apakah kau berani dengan aku?” teriak Bok Sam-pi.

Thian-leng tertawa getir. Memang kata-kata Bok Sam-pi itu benar. Dalam jaman itu, jangankan dapat mengalahkan, sedangkan orang yang dapat melayani Bok Sam-pi sampai belasan jurus saja , sudah jarang didapat. Sayang jago yang sedemikian saktinya itu kini hilang ingatannya, sehingga kepandaiannya digunakan orang untuk melakukan kejahatan.

Diam-diam Thian-leng telah membulatkan tekad. Pertempuran saat itu merupakan mati hidup baginya. Dari pada mati konyol, lebih baik menyerang dulu. Siapa tahu ia akan dapat mengeusai keadaan.

“Karena lo-cianpwe tetap hendak menempurku, maaf, aku hendak menyerang dulu!” teriak Thian-leng seraya menutup dengan serangan. Memukul dengan tangan kiri dan menebas dengan pedang di tangan kanan. Pukulan kiri untuk menahan gerakan Bok Sam-pi dan pedang untuk menusuknya.

Tetapi hasil serangannya itu, tak seperti yang diharapkan. Begitu pukulan saling beradu, tangan Thian-leng lekat dengan tinju Bok Sam-pi. Berhamburan gelombang tenaga dalam yang hebat. Masing-masing berusaha untuk menindas lawannya. Dan ini menggagalkan rencana Thian-leng untuk menggunakan pedang, karena ia harus mencurahkan seluruh tenaganya untuk menghadapi tekanan Bok Sam-pi. Walaupun mencekal pedang, tetapi tak berguna. Dan karena ia menggunakan tangan kiri menghadapi tangan kana Bok Sam-pi, ia menderita.

Melihat itu Jenggot perak mengerutkan dahi. Ia merasa gelisah sekali. Adu tenaga dlam merupakan pertandingan yang mengerikan. Lebih hebat daripada pertempuran biasa. Sekali tenaga dalam beradu, sukar dhentikan sebelum ada salah satu yang remuk. Dari posisinya, jelas bahwa Thian-leng di bawah angin. Tetapi apa daya, ia tak dapat berbuat apa-apa untuk menolong........

Ketua Hek Gak juga tak kurang terkejutnya. Adanya tadi ia membatasi Bok Sam-pi supaya bertempur sejurus saja, adalah karena takut terjadi pertandingan adu tenaga dalam. Dan ternyata kekutiarannya itu terjadi. Kalau Bok Sam-pi menang, bukan saja dapat menindas partai Thiat-hiat-bun, tetapi juga sekaligus dapat merebut kitab pusaka It Bi siangjin. Hek Gak akan menguasai dunia persilatan!

Tetapi apabila kalah, akibatnya tak dapat dibayangkan. Hek Gak pasti akan dilenyapkan dan Thiat-hiat-bun akan menguasai dunia persilatan Tiong-goan. Sakit hati Hek Gak kepada Hun-tiong Sin-mo, takkan terbalas selama- lamanya.

Rombongan Sin-bu-kiong sudah mengundurkan diri. Kini tinggal Hek Gak yang berhadapan dengan Thiat-hiat-bun. Dan kitab pusaka It Bi siangjin jelas jatuh ke tangan pemuda itu. Diam-diam ketua Hek Gak membuat kesimpulan; pertempuran saat itu akan membawa akibat hebat, tetapi juga akan membuahkan keuntungan luar biasa. Mati hidup tergantung dari hasil pertempuran saat itu!

Dahi ketua Hek Gak bercucuran keringat. Matanya tak berkedip mengawasi Bok Sam-pi.

Siau-bun dan Im Yang songsat yang bersembunyi di balik geombol pohon juga gelisah sekali. Sekeliling penjuru hening seketika.

Wajah Bok Sam-pi dan Thian-leng berobah merah gelap. Tubuh mereka menghamburkan asap tipis. Pertanda bagaimana dahsyatnya adu tenaga dalam itu berlangsung. Masing-masing telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Selang sepeminum teh lamanya, wajah mereka berobah biru gelap, kemudian hijau lalu pucat lesi. Tubuh mereka mandi keringat, mata berkedip-kedip dan bahu bergetaran. Demikianlah detik demi detik berlangsung. Keadaan mereka makin menyeramkan. Rupanya mereka bertekad hancur bersama-sama……

Sekonyong-konyong terdengar bunyi genderang. Datangnya secar tiba-tiba, nadanya tak begitu keras. Tetapi bunyi genderang itu mengandung kekuaan gaib yang dapat menyedot pikiran dan semangat orang. Termasuk Jenggot perak, ketua Hek gak dan Siau-bun, serta Im Yang songsat yang tak kuasa membebaskan diri dari pengaruh suara genderang itu. Buru-buru Jenggot perak menyalurkan tenaga dalamnya untuk menenangkan semangatnya.

Tung…. terdengar pula genderang itu meletup. Kali ini lebih hebat dari tadi.

“Celaka, malam ini habislah riwayat kita.” diam-diam Jenggot perak menghela napas. betapapun ia berusaha untuk menolak, namun talu genderang itu tetap melengking tajam menembus dinding pertahanannya. Dadanya terasa sesak, darah bergolak keras, sehingga kakinya pun terhuyung. Orang yang tak tinggi kepandaiannya, pasti akan binasa seketika itu juga.

Thian-leng dan Bok Sam-pi masih terbenam dalam adu tenaga dalam. Rupanya mereka tak menghiraukan perobahan yang terjadi di sekelilingnya. Tiba-tiba genderang itu makin gencar. Tung...tung....tung.....tung deras bagaikan

hujan dicurahkan. Bluk, bluk, bluk. satu demi satu anak buah Thiat-hiat-bun dan Hek Gak susul menyusul roboh ke

tanah.. Dan paling akhir adalah ketua Hek Gak sendiri serta Jenggot perak yang tak dapat bertahan lagi. Keduanya jatuh terduduk di tanah. Bagaimana keadaan Bok Sam-pi dan Thian-leng, tak dapatlah mereka mengetahui lebih jauh.

Ternyata Thian-leng dan Bok Sam-pi pun mengealami nasib yang hebat. Pada saat genderang bertalu gencar, keduanya terlempar sampai dua tombak jauhnya dan tak ingat diri lagi.

Sebenarnya mereka sudah tak kuat lagi. Tetatpi emreka memaksakan diri untuk bertempur terus. Sampai akhirnya, habislah sudah pertahanan mereka. Pancaran tenaga dalam mereka menimbulkan tenaga membalik yang membuat mereka terpental.......

Pada saat lapangan penuh dengan tubuh orang-orang yang menggeletak pingsan, sesosok tubuh kecil melesat keluar dari dalam hutan. Orang itu mengenakan pakaian warna merah. Dandanannya seperti seorang wanita. Di belakang punggungnya menggemblok sebuah genderang kecil. Sepintas pandang ia mirip dengan nona rombongan main sulap yang suka mempertunjukkan permainan di jalan-jalan.

Usianya paling banyak baru sebelas-duabelas tahun. Seorang dara belia yang berwajah cantik berseri. Dalam pakaian warna merah makin menonjollah kecantikannya!

Begitu lari ke tengah lapangan, ia celingukan kian kemari. Orang-orang yang menggeletak itu tak dihiraukan. Begitu matanya tertumbuk pada Thian-leng, segera ia menyambar tubuh pemuda itu terus dibawa lari. Hanya dalam dua lompatan saja, dara tak dikenal itu sudag lenyap dalam kegelapan malam.....

Sekalian orang tak mengetahui apa yang terjadi pada saat itu. Satu-satunya yang samar-samar masih dapat melihat ialah Jenggot perak Lu Liang-ong. Namun karena tenaganya punah dan kaki tangannya lemas, ia tak dapat berbuat apa-apa.

Berselang beberapa saat, Jenggot perak loncat bangun. Dialah orang pertama yang dapat bangun. Kemudian ketua Hek Gak, lalu keempat su-kiat dari partai thiat-hiat-bun. Sejam kemudian barulah anak buah Thiat-hiat-bun dan hek gak.

Jenggot perak tegak berdiam diri. Tampaknya seperti menyalurkan tenaga dalam untuk memulihkan diri. Tetapi sebenarnya ia tengah merenung keras. Pikirannya bekerja keras untuk mencari tahu siapakah dara berbaju merah itu. Jelas bahwa bunyi genderang itu mengandung tenaga dalam yang tinggi sekali. Dan yang paling istimewa, dara itu pandai sekali menyusupkan bunyi genderangnya di kala pikiran oeang sedang kosong. Andaikata dalam keadaan biasa, tidak sedan mencurahkan perhatian pada Bok Sam-pi dan Thian-leng yang sedang mengadu tenaga dalam, mungkin ia dan jago-jago Thiat-hiat-bun tak semudah itu dijatuhkan oleh genderang si dara.

Namun ia tetap mengagumi si dara. Dara itu baru berumur duabelasan tahun, tetapi sudah sedemikian hebat, apalagi orang tuanya, tentulah sakti luar biasa. Betapapun Jenggot perak menggali ingatannya, namun tak dapat juga ia mengetahui siapa gerangan si dara itu.

Saat itu sekalian orang pun sudah lama sadar. Tetapi mereka terkesima. Tiba-tiba ketua Hek Gak lari menubruk tubuh Bok Sam-pi. “Bok cong houhwat, suhu. “ melihat keadaan gurunya ia tak tahan lagi berteriak-teriak seperti orang

kalap.

Kaki dan tangan jago tua itu kaku. Daya menolak dari tenaga dalam thian-leng telah membuat organ dalam tubuhnya terluka parah. Wajahnya pucat seperti kertas, napasnya lemah. Keadaannya seperti lilin yang tertiup angin……

Ketua Hek gak berbalik diri dan menatap Jenggot perak, serunya, “Mana orangmu?” “Lenyap!” sahut Jenggot perak lesu.

“Lenyap!” ketua hek gak tersentak kaget. Gurunya terluka parah dan pemuda itu lenyap. Apakah pemuda itu benar- benar lebih sakti dari Bok Sam-pi?

Dan… dan bunyi genderang tadi! Mengapa begitu hebat perbawanya sehingga dapat merobohkan sekalian orang.

Ajaib sekali! Siapakah gerangan yang membunyikannya? 

Ketua Hek Gak pun tak lepas dari mencari-cari. tetapi ia pun tak dapat menduga-duga siapakah si pemukul genderang ajaib itu. Hanya satu hal yang melegakan hatinya, ialah orang itu terang tak bermusuhan dengan pihak Thiat-hiat-bun maupun Hek Gak.

Kelegaan hatinya hanya sesaat, karena pada lain saat timbullah kecemasannya pula. Tiang andalannya ialah Bok Sam-pi. Kini gurunya itu terluka parah, apabila Jenggot perak memerintahkan anak buahnya menyerang, bukankah......

“Apa yang terjadi malam ini benar-benar di luar dugaan!” ia tutup kecemasan hatinya dengan tertawa terpaksa. “Benar,. memang tak terduga-duga, ” sahut Jenggot perak dengan tertawa lesu juga. Tiba-tiba ia menyadari

maksud ketua Hek Gak. Buru-buru ia menyusuli kata-katanya, “Tak nanti aku menyerang secara hina, silakan kalian

pergi!”

Lega hati ketua Hek Gak, serunya, “Bagaimanapun juga Hek Gak dan Thiat-hiat-bun tak dapat hidup bersama. Kelak kita selesaikan perhitungan lagi!”

Jenggot perak tertawa hambar, “Berani masuk ke daerah tionggoan, berati berani menangung resikonya. Di mana dan kapan saja aku selalu melayani kehendakmu!”

“Ingatlah, kelak Hek Gak tentu akan mencucui bersih hinaan dua hari dua malam ini!” ketua Hek gak tertawa dingin. Habis itu segera ia mengajak anak buahnya pulang. Bok Sam-pi disuruhnya digotong.

“Tunggu!” tiba-tiba Jenggot perak membentak.

“Eh, apakah kau menyesal?” ketua Hek Gak mendengus geram.

Jenggot perak tertawa, “Kau mengukur baju orang dengan badanmu sendiri! Sekali kukatakan boleh pergi, tentu takkan kurintangi lagi. tetapi… ” ia tertegun sejenak, katanya pula. “Tahun depan bulan satu tanggal lima belas,

aku hendak menyelenggarakan rapat besar orang gagah di gunung Tiam-jong-san. Hendak kuundang sahabat- sahabat dunia persilatan Tiong-goan. Kuharap kau juga hadir!”

Ketua Hek Gak tertegun, ujarnya, “Asal kau masih dapat hidup sampai saat itu, aku pasti datang!” Jenggot perak tertawa, “Akan kuberi kesempatan besar, tentulah kau datang!”

“Kesempatan apa yang kau berikan padaku itu?” ketua Hek Gak heran.

“Kabarnya kau mempunyai rencana hendak melenyapkan sembilan partai dan semua tokoh-tokoh dunia persilatan. Apabila kuundang mereka semua, bukankah kau mempunyai kesempatan untuk melaksanakan cita-citamu itu?”

“Kau kira aku tak mampu melaksanakan?“ merah muka ketua Hek Gak.

Jenggot perak tertawa, “Mampu atau tidak, saat itu baru dapat dibuktikan. Silakan pergi, jangan tunggu lama-lama di sini. Siapa tahu nanti hatiku berobah!”

Dengan menahan kemarahan, ketua Hek Gak segera melanjutkan perjalanan. Kini yang tinggal di lapangan hanyalah rombongan Thiat-hiat-bun. Setelah merenung beberapa lama, Jenggot perakpun hendak mengajak rombongannya pergi.

Tiba-tiba muncul tiga sosok bayangan. Walaupun terpisah berpuluh-puluh tombak jauhnya, namun dengan ilmu Melihat-langit-mendengarkan-bumi, dapatlah ia menangkap gerak-gerik mereka. Seharusnya ia tahu bahwa ketiga orang itu Siau-bun dan kedua suami isteri Im Yang songsat. Tetapi karena seluruh perhatiannya ditumpahkan pada kejadian di lapangan, maka ia tak mengetahui tempat persembunyian mereka.

Siau-bun melangkah perlahan-lahan ke hadapan ketua Thiat-hiat-bun. Jenggot perak risih dibuatnya. Ia tahu Siau- bun itu cucunya, tetapi tak pernah sang cucu itu menatapnya begitu rupa. Belum sempat ia memikirkan bagaimana menghadapi cucu itu, tiba-tiba Siau-bun sudah berlutut di hadapannya, “Kek… ”

Jenggot perak tertawa meloroh dan segera mengangkat bangun nona itu, “Ah, kau…… sudah tahu bukan?” “Aku bukan seorang tolol. Tetapi …… selama kakek tak mau mengakui diriku, akupun tak mau minta kasihan!” “Tetapi mengapa sekarang kau menemui diriku?” Jenggot perak tertawa.

„Ah, karena kakek tak suka melihatku, akupun hendak pergi saja!“ Siau-bun terus hendak berputar diri.

Jenggot perak terkejut dan buru-buru mengibaskan lengannya. Segulung tenaga lunak seperti menahan langkah Siau-bun. Siau-bun tak dapat bergerak dan memang sebenarnya ia tak bersungguh-sungguh hendak pergi.

“Kakek tak mau mengakui aku, perlu apa menahan?” lengkingnya dengan sikap aleman. “Siapa bilang kakek tak mau mengakui kau?”Jenggot perak tertawa. Tiba-tiba iamenarik nona itu ke dalam pelukannya. Dibelai-belainya rambut dara itu dengan penuh kasih sayang. Dan tanpa dapat ditahan dua butir air mata mengucur keluar dari kelopak jago tua itu..................

Sekalian anak buah Thiat-hiat-bun dan kedua suami isteri Im Yang songsat hanya mengawasi adegan itu tanpa berani berkata apa-apa.

Sampai beberapa lama kemudain barulah Siau-bun melepaskan diri dari pelukan kakeknya itu. “Kek. , ” serunya lembut.

“Hm……”

“Aku hendak bertanya padamu.” “Bilanglah!”

“Kemankah Bu Beng-jin?”

“Bu Beng-jin?” Jenggot perak terbeliak, “mengapa kau menaruh perhatian pada Bu Beng-jin?”

Merahlah seketika wajah Siau-bun, “Aku……….aku sudah berjanji untuk sehidup semati dengannya… ”

Jenggot perak seperti disengit kalajengking. Wajahnya berobah seketika. “Aha? Katakan sekali lagi!” teriaknya.

oo000000oo Dara baju merah

“Dia...... dia telah setuju memperisterikan aku. Sudah selayaknya aku menanyakannya. !” Siau-bun menjawab

terbata-bata, “dengan kepandaian kakek yang sakti, tentulah tahu ke mana perginya tadi?“

Wajah Jenggot perak pucat lesi, serunya agak gugup, “Dia dibawa lari oleh seorang dara baju merah!”

Siau-bun pun terbeliak kaget, “Apa? Dibawa lari orang?”

“Benar, dia telah dilarikan… tetapi rupanya orang itu tak bermaksud jahat dan memang bermaksud

menolong… ”

“Dengan ilmu Mendengar bumi, bukankah kakek dapat mengetahui kemana larinya? Siapakah dara itu?” “Kakekpun telah menyelidiki… Tetapi genderang dara itu telah menghanyutkan pikiran kakek, sehingga ia sempat

melaksanakan rencananya. ketika kakek dadar dara itu telah jauh sekali… ”

“Lantas kakek tak menghiraukan lagi nasibnya?”

“Kutanggung pemuda itu tentu takkan mati……Ah, jangan banyak bertanya ini itu dulu. Aku hendak bertanya padamu… tetapi jangan bohong!”

“Silakan!”

“Bilakah pemuda itu mengadakan perjanjian hidup dengan engkau?”

“Hanya beberapa hari yang lalu….” Siau-bun mengedipkan matanya sambil menggelendot manja di dada Jenggot perak.

Sambil mengenang peristiwa malam sumpah hidup bersama Thian-leng, nona itu berkata dengan berbisik-bisik, “Pada malam itu kami menginap di hotel Bu-khek-can. Karena kamar tinggal satu, terpaksa kami pakai….”

“Hai, kalian sudah tidur sekamar?” Jenggot perak berteriak kaget.

Siau-bun hanya mendengus, “Bukan hanya sekamar, melainkan juga seranjang….” Rambut Jenggot perak berdiri seketika. Tiba-tiba ia menggeram keras, “Celaka!” “Mengapa celaka? Apakah kakek tak suka?” Siau-bun heran.

“Jangan memutus omonganku!” bentak Jenggot perak, “kau yang memikat pemuda itu atau dia yang memikatmu, bilanglah dengan jujur!” Wajah Siau-bun memerah, “Kau anggap aku anak perempuan yang bagaimana. Mengapa kau masih tak sungkan menanyakan begitu? Aku….. aku tak mau hidup lagi, kek!” tiba-tiba ia menangis dan mengayunkan tangannya hendak menampar batok kepala sendiri.

Sudah tentu Jenggot perak gelagapan dan cepat mencegahnya. Siau-bun menangis tersedu-sedu.

“Ah, akulah yang bersalah. Kukuatir kelak masih akan timbul kesulitan lagi!” Jenggot perak menghela napas. Sambil meronta dari pelukan kakeknya, Siau-bun berseru, “Kakek bersalah? Akan timbul kesulitan?”

Kembali Jenggot perak menghela napas. Mulutnya berkomat-kamit sberkata seorang diri, “Kenal orangnya tak kenal hatinya. Tak kira anak itu ternyata seorang pemuda hidung belang!”

Siau-bun pura-pura tak mendengar. Tiba-tiba ia bertanya ,”Apakah kakek tahu di mana ibu berada?”

Jenggot perak gelagapan, “Kemarin malam ia mengantarkan ketua Tiam-jong-pay Lu Cu-liong pulang ke Tiam-jong- san!”

“Apakah kakek tahu jelas?”

“Pada saat Thiat-hiat-bun mengepung Sin-bu-kiong dan Hek Gak, ibumu masih sempat menggunakan ilmu menyusup suara untuk bercakap-cakap dengan aku.”

“Kalau begitu aku hendak mencarinya!” kata Siau-bun.

Sejenak Jenggot perak melirik Im Yang song-sat, lalu menggunakan ilmu menyusup suara kepada Siau-bun, “Saat ini jago-jago Hun-tiong-mo-hu sudah berbondong-bondong menuju ke Tiam-jong-san. Kakek bermaksud untuk menyelesaikan pergolakan dunia persilatan Tiong-goandalam rapat besar yang akan kuadakan pada tahun depan, bulan satu tanggal lima belas. Baiklah kalau kau hendak menyusul ibumu ke sana. Beritahukan kepada ibumu tentang urusanmu itu, terserah bagaimana ia hendak memberi keputusan. Kakek tak dapat mengurusi kesulitan-kesulitan begitu……” Jenggot perak berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Tentulah kau belum memberitahukan hal itu kepada ibumu?”

Siau-bun tertawa mengikik, “Beliau sudah tahu!”

“Sudah tahu?” kembali jenggot perak terbelalak kaget, “ dia setuju?”

“Masakah kakek tak kenal akan perangai ibu? Jika ia tak setuju, masakah aku berani… ”

“Ya, ya…. mungkin hal ini sudah suratan takdir. Kukuatir kalian akan menghadapi kehebohan!” Jenggot perak tertawa datar.

“Apa? Aku tak mengerti masksud kakek. ”

“Sudahlah, jangan banayk bertanya lagi, berangkatlah sekarang juga!” buru-buru Jenggot perak membentak untuk menutupi kekagetannya.

Diam-diam Siau-bun girang. Dalam gelanggang asmara, ia telah berhasil memakan jurus kedua. Betapapun Jenggot perak sudah mengikat Thian-leng supaya bersumpah memperisterikan Lu Bu-song, tetapi sampai babak ini, mau tak mau ia tentu terpaksa harus menyerahkan Thian-leng padanya.

Tetapi saat itu Siau-bun tetap gelisah. Siapakah dara baju merah yang melarikan Thian-leng itu.

Apakah maksudnya? Namun ada sedikit hal yang melonggarkan perasaan Siau-bun, ialah Thian-leng tentu tak mati. Dengan terpilihnya pemuda itu sebagi pewaris It Bi siang-jin, tentulah sudah diramalkan jelas bahwa pemuda itu takkan berumur pendek.....

“Selamat tinggal kek, harap kakek baik-baik menjaga diri.” Siau-bun terus melangkah pergi. Im Yang song-sat pun segera mengikutinya.

“Tunggu!” Tiba-tiba Jenggot perak berseru. Siau-bun terpaksa berhenti. Jenggot perak melesat ke depannya. “Kakek hendak memberi pesan apa lagi?”

Wajah Jenggot perak mengerut tegang,“Adik misanmu Lu Bu-song saat ini juga berada di gunung Tiam-jong-san!” “Sejak kecil kita tak pernah berjumpa. Kali ini kita tentu dapat bermain-main dengan gembira!”

“Sejak kecil ia sudah kehilangan ayah bunda dan ikut aku sampai besar. Dia,,,,, sungguh kasihan sekali!” kata Jenggot perak dengan nada berat.

Siau-bun tertegun. Tak tahu ia apa yang tersembunyi dalam kata-kata kakeknya itu. Namun ia segera menjawab dengan hati lapang, “Harap kakek jangan kuatir, aku tentu ekan memperlakukannya dengan baik sebagai adikku sendiri!”

Jenggot pertak mengangguk-angguk, “Selain itu, kau ,” ia bersangsi sejenak, katanya pula, “Urusan dengan

budak itu jangan kau katakan padanya!” “Mengapa ?” Siau-bun kaget.

Jenggot perak menghela napas, “Jangan mendesak aku, pokoknya kau harus ingat permintaanku ini!” Siau-bun tak mau mendesak. Ia pura-pura mengerti, Baik kek. Apakah masih ada pesan lain lagi?”

“Masih,” kata jenggot perak, “karena sejak kecil adik misanmu itu kumanjakan, perangainyapun kurang baik. Kau lebih besar, sebagai cici harap kau suka mengalah sedikit… ”

“Tentu kek, tentu,” sahut Siau-bun.

Jenggot perak menghela napas lagi, “Sudahlah, kau boleh pergi!”

Dengan diikuti kedua suami isteri Im Yang song-sat, Siu-bun segera pamit. Dalam beberapa loncatan saja mereka sudah lenyap.

Jenggot perak menghela napas. Iapun segera memberi isyarat kepada anak buahnya. Tetapi langkah kakinya terasa berat. Selangkah demi selangkah ia berjalan seperti orang kehilangan semangat.

Keempat Su-kiat, ketiga puluh enam Thian-kong, ketujuh puluh dua Te-sat dan anak buah Thiat-hiat-bun tahu juga akan kesulitan yang dihadapi ketuanya. tetapi mereka tak berani mengucapkan apa-apa.

Rombongan Thiat-hiat-bun berbopndong-bondong menuruni gunung Thay-heng-san. Saat itu haripun sudah fajar. oo0000000oo

Thian-leng yang pingsan karena terluka dalam itu, setelah berselang beberapa lama, barulah dapat juga tersadar. Samar-samar ia masih ingat akan peristiwa yang dialami tadi. Pada saat tenaga dalamnya hampir habis, tiba-tiba terdengar genderang dipukul dan tak ingatlah lagi ia apa yang terjadi selanjutnya……

Tubuhnya terasa panas ketika sinar matahari menimpa ke mukanya. Ia paksakan membuka matanya, tetapi pandangannya masih sayup, tenaganya seperti lenyap.

Sekonyong-konyong ia loncat hendak bangun, ah… kepalanya terasa berat sekali dan iapun terpaksa harus

telentang di pembaringan lagi. Tak tahu ia saat itu berada di mana.

Ia paksakan diri merentang mata lebar-lebar. Walaupun keadaan sekelilingnya masih gelap, tetaoi lama kelamaan dapat juga ia melihat agak terang.

Didapatinya dirinya berada di sebuah rumah gubuk yang serba sederhana perabotannya, tetapi cukup bersih. Ia sedang terlentang di atas sebuah ranjang kayu. Sinar matahari pagi tumpah ruah menyinari matanya. Ah, itulah ebabnya ia merasa panas seperti terbakar!

Gubuk itu tertutup rapat. Tiada seorangpun ada di situ. “Heran, siapakah yang menolongku ini?” demikian pertanyaan yang meliputi pikirannya.

Tiba-tiba ia terkejut sekali. matanya tertumbuk pada sebuah genderang kecil yang tergantung di sudut dinding. Pikirannya segera melayang-layang.

“Apakah pemilik gubuk ini, benar-benar dia. ”, baru ia memikir sampai sampai di situ, tiba-tiba pintu dibuka orang.

Samar-samar Thian-leng melihat seorang dara berbaju merah menerobos masuk. Usianya baru belasan tahun, rambut dikuncir, kulit mukanya berwarna merah segar. Dalam pakaian warna merah, dara itu tampak menyala sekali.

“Kau sudah bangun?” dara itu terkejut begitu melihat Thian-leng tersadar. “Adik kecil, di manakah aku ini, aku. ”

“Jangan banyak bicara dulu, minumlah obat ini,” kata si dara itu seraya menghampiri. ternyata ia membawa sebutir pil putih dan disisipkan ke mulut Thian-leng.

Dara itu lincah dan ramah. Thian-leng menerima saja. Pil terus ditelannya. “Eh, kau minum pil tanpa diantar air?” dara itu tertawa bertepuk tangan. “Jam berapakah ini?” tanya Thian-leng.

“Hampir tengah hari!” “Sudah berapa lamakah aku tidur di sini ”Thian-leng menggeliat bangun.

“Berapa lama… kau sudah hampir sebulan lebih di sini. Dan baru sekarang kau dapat membuka mata.”

“Sebulan lebih?”teriak Thian-leng, “jangan bergurau!” Ia merasa pertempurannya melawan Bok Sam-pi baru kemarin malam.

“Sungguh,” kata dara itu dengan nada sungguh-sungguh, “sekarang sudah akhir bulan sebelas,s ebulan lagi bakal tahun baru… ” tiba-tiba wajah dara itu berseri girang, serunya, “Tahun baru yang lalu, hanya aku dan ayah yang

merayakan. Tetapis ekarang kita akan merayakan dengan ramai. Selain kau, juga kedua enci Ki juga. ”

“Maaf, aku tak dapat melewatkan tahun baru di sini. Aku masih punya banyak urusan dan harus segera pergi,” tukas Thian-leng.

“Mana bisa,” dara itu tertawa, “lukamu masih belum sembuh. Lewat tahun baru, baru kau sembuh sama sekali!” Kembali Thian-leng terbeliak kaget. Ia menghela napas, “Apakah ayahmu yang menolong aku?”

“Aku sendiri!”

“Kau?” Thian-leng menatap dara itu tajam-tajam, lalu melirik pada genderang di dinding, “Genderang itu kepunyaanmu?”

“Ya, peninggalan dari nenekku… eh, tahukah kau siapa nenekku?”

Thian-leng menggelengkan kepala.

“Dulu semasa hidupnnya, nenek telah membuat nama yang termashyur sekali, digelari sebagai Sin-ko-sian-poh,….” dara itu memandang sejenak wajah Thian-leng. Rupanya ia yakin Thian-leng tentu akan menunjukkan kekaguman.

Tetapi di luar dugaan Thian-leng

menggelengkan kepala. Ia tak kenal siapa Sin-ko-sian-poh ( Dewi genderang sakti ) itu.

“Ibuku juga sudah meningal dunia,” kata dara itu dengan rawan, “Aku hanya hidup bersama kakek. Kakek membawaku ke Tiong-goan!”

“Oh, kau bukan orang Han?”

“Bukan, tetapi kakek bangsa Han. aku berasal dari daerah ajauh, di padang pasir yang tak dihuni orang. Dari sana

kemari memerlukan perjalanan tiga hari tiga malam.”

Mendengar cerita itu, diam-diam timbullah rasa kasihan Thian-leng pada si dara. Neneknya pasti mati kemudian ibunya. Dia kini hidup sebatang kara ikut pada kakeknya. Ah, nyata di dunia ini banyak sekali manusia-manusia yang menderita!

“Ayahmu?” tanyanya.

“Dia sedang keluar mengurus suatu hal, mungkin juga segera akan pulang,” dara itu buru-buru menyahut, “eh siapakah namamu? Bagaimana seharusnya aku memanggilmu?”

Thian-leng mengerutkan alisnya, “Aku tak punya nama , panggil saja Bu-beng-jin. ”

“Ih, mengapa orang tak punya nama, bohong!” dara itu melengking.

Thian-leng menghela napas, “Tidak, aku tak bohong. Memang dulu aku punya nama, tetapi nama itu palsu. , ah,

jika kututurkan hal itu kepadamu, kaupun tentu tak mengerti juga. ”

“Ih, mengapa nama ada yang palsu? Siapakah nama palsumu itu?” si dara semakin heran. “Namaku yang palsu itu Kang Thian-leng.”

( bersambung ke jilid 22 )
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar