Panji Tengkorak Darah Jilid 20

Jilid 20 .

Dalam beberapa detik saja Thian-leng telah berhasil mengalahkan tiga orang tokoh persilatan yang ternama. Thian- leng makin heran. Ia mengkombinasikan jurus ilmu pedang Toh beng-sam-kiam dengan sedikit jurus It bi-bu-cui. Ia merasa selama dua hari ini tak ada perobahan yang menyolok. Tetapi apa yang dihasilkan, benar-benar membuatnya seperti bermimpi.

Thian-san Siu-sin diam-diam menyadari apa yang terjadi pada anak muda itu. Ia mencuri lirik pada Tiang Pek cinjin. Pertapa itupun mengetahui apa yang dipikirkan Thian-san Siu-sin. Jelas si anak muda telah mendapat ilmu pelajaran dari It Bi. Mundur malu, maju gentar. Tetapi, ah… anak muda itu baru mempelajari dua hari saja. Bagaimanapun tentu belum sempurna latihannya. Kalau tak segera ditumpas, kelak tentu semakin sukar. Tiang Pek cinjin membalas isyarat Thian-san Siu-sin dengan tatapan mata.

Segera Thian-san Siu-sin tertawa sinis dan melangkah maju ke hadapan Thian-leng.

“Sebenarnya aku tak mau bermusuhan dengan orang. Baiklah saudara jangan mendesak, benar-benar aku tak membawa kitab pusaka itu!” Thian-leng memberi peringatan.

“Ah, Bu Beng tayhiap salah paham….” Thian-san Siu-sin kedipkan mata, “setiap pusaka tentu mencari pemilik yang tepat. Aku tahu diriku tak berjodoh, takkan melanggar garis alam.” Mulutnya berbicara begitu, tetapi dia tetap melangkah maju. Siau-bun yang berdiri di samping, tahu maksud orang, namun ia hanya ganda tertawa saja.

“Kalau cunkia tak bermaksud begitu, baiklah segera tinggalkan tempat ini….”

Thian-san Siu-sin cepat-cepat menukas, “Aku hanya akan bertanya padamu……” ia sudah berada dua meter di hadapan Thian-leng. Juga Tiang Pek cinjin yang berada di belakang Thian-leng, berkisar merapat di belakang Thian- leng.

“Aku tak bermusuhan kepada kalian berdua. Sedapat mungkin jangan kita bertempur lagi. Silakan bertanya, akupun segera angkat kaki dari sini!” sahut Thian-leng.

Tiba-tiba Tiang Pek cinjin memberi isyarat mata kepada Thian-san Siu-sin.

“Aku ingin bertanya apakah Bu Beng tayhiap sudah mendapatkan kitab pusaka itu atau belum?” tanya Thian-san Siu- sin pula.

“Walaupun aku sudah mendapat ilmu ajaran It Bi siansu, tetapi. ” Thian-leng mengerutkan alis.

Suami isteri Im Yang songsat dan paderi Ko Bok yang masih duduk di tanah, mengerang

kaget mendengar kata-kata si anak muda. Serentak Thian-san Siu-sin menyeletuk, “Siansu , apakah ?”

“Aku sudah bersumpah di hadapan layon It Bi siangjin untuk menjadi murid pewaris angkatan kedua, maka. ”

“Oh, jadi tadi Bu Beng tayhiap telah menggunakan ajaran It bi-bu-cui?” Thian-san Siu-sin berseru kaget.

Thian-leng seorang pemuda yang jujur. Karena melihat keramahan Thian-san Siu-sin, iapun menjawab dengan terus terang. Tetapi di luar dugaan, sekonyong-konyong Thian-san Siu-sin memukulkan kedua tangannya. Seluruh tenaganya ditumpahkan dalam pukulan dahsyat yang di arahkan ke dada si anak muda!

Berbareng dengan itu Tiang Pek cinjin segera bergerak secepat kilat menyerang punggung Thian-leng. Dua tokoh kenamaan, pada jarak yang dekat dan waktu yang bersamaan telah menyerang dengan seluruh tenaganya.

Bagaimana akibatnya benar-benar tak dapat dibayangkan!

Thian-leng kaget sekali. Di luar kesadarannya, rasa kaget itu telah membangkitkan tenaga dalam. Dua hari belajar dalam goa rahasia telaga zamrud benar-benar membuat Thian-leng seorang manusia baru. Kini ia telah memiliki semacam tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi, sehingga setiap saat daapt dikembangkan. Serangkum hawa hangat serentak menghambur dari tubuhnya.

“Uh….” terdengar jeritan tertahan dari kedua orang itu ketika pukulan mereka terpental oleh tenaga dorongan yang tak tampak. Dan serentak dengan itu, Thian-leng pun membalas. Ia memukul Thian-san Siu-sin dengan pukulan Lui- hwe-ciang dan menebas Tiang Pek cinjin dengan ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam. Terdengar jeritan ngeri dari tiga sosok tubuh yang terlempar sampai setombak jauhnya. Tiang Pek cinjin pecah perutnya, ususnya berhamburan keluar. Thian-san Siu-sin terkapar di tanah tanpa berkutik lagi. Dan yang ketiga ialah paderi Ko Bok yang remuk lengannya.

Waktu melihat Thian-san Siu-sin dan Tiang Pek cinjin menyerang Thian-leng, ia yakin anak muda itu tentu akan terbekuk dan kitab pusaka pasti jatuh ke tangan kedua tokoh itu. Dalam keadaan lengannya masih kesemutan, ia tetap bernafsu untuk ikut merebut kitab.

Segera ia menghantam Thian-leng dengan tinju kirinya. Tetapi akibatnya mengerikan sekali. Thian-leng berputar dan menyongsong dengan pukulan. Tubuh paderi Ko Bok laksana layang-layang putus talinya, ia terlempar sampai setombak lebih. Separoh badan gosong, tulang remuk dan jiwanyapun melayang….

Sepasang suami isteri Im Yang songsat menjerit ngeri dan mundur beberapa langkah. Thian-leng memandang terlongong-longong ke arah ketiga mayat yang menjadi korbannya itu. Ia benar-benar seperti bermimpi………….

“Adik Bun, apakah ini benar-benar terjadi?” beberapa saat kemudian ia bertanya.

Siau-bun tertawa sedap.”Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang, kau sudah tergolong jago nomor satu atau dua dalam dunia persilatan! Kau tentu sudah mengetahui apa manfaat pelajaran yang kau yakinkan dalam dua hari itu!”

Di luar dugaan Thian-leng malah menghela napas dan segera mengajak Siau-bun berjalan. Ia tak tahu apakah ia harus bergembira atau bersedih. Apa yang dicita-citakan selama ini telah tercapai. Seharusnya ia bergembira, tetapi entah bagaimana terharu sekali. Hampir tak dapat ia menahan air matanya.

“Ah, masih ada dua orang pengganggu lagi!” tiba-tiba Siau-bun berseru seraya melirik kepada sepasang suami isteri Im Yang songsat yang berlumuran darah.

Thian-leng tak setuju atas tindakan Siau-bun yang sering main bunuh orang. Ia tak mau mengganggu jiwa suami isteri itu. Tiga jiwa tadi sudah cukup mengerikan.

“Eh, apa mereka mau melepaskan engkau?” Siau-bun tertawa ketika Thian-leng hendak melanjutkan langkah.

“Sudah tiga jiwa melayang, apakah……” belum lagi ia menyelesaikan kata-katanya, kedua suami isteri Im Yang menghampirinya. Bluk…, serta merta kedua suami isteri ganas itu berlutut di hadapan Thian-leng.

“Silakan pergi, aku bukan orang yang suka mengganas!” Thian-leng berseru heran.

Kedua suami isteri itu saling berpandangan. Si wanita berseru, “Kami berdua sekali-kali bukan takut mati. Tetapi kami mohon Bu Beng tayhiap suka menerima kami.”

“Menerima apa? Sebagai murid?” Thian-leng heran. Ia duga kedua suami isteri itu masih tak mau mundur untuk mencari kitab pusaka.

Yang-sat Go Goan-pa cepat berseru, “Seumur hidup kami suami isteri belum pernah tunduk pada orang lain, tetapi terhadap Bu Beng tayhiap kami benar-benar kagum sekali. Mohon Bu Beng tayhiap suka menerima kami sebagai budak. Kami rela melayani tayhiap

seumur hidup!”

“Ah jangan!” buru-buru Thian-leng berseru, “aku masih muda dan masih mempunyai tugas berat. Aku tiada tempat tinggal menentu dan tak mau kuseret kalian turut menderita. Dan yang ketiga. ”

“Jika tayhiap menolak, lebih baik kami bunuh diri saja. ” tiba-tiba kedua suami isteri itu menukas dan berbareng

bersikap hendak menghantam ubun-ubun kepala mereka.

“Tunggu!” Thian-leng cepat mencegah, “kita bicara dulu!” Ia berpaling kepada Siau-bun dan menegur, “Adik Bun, mengapa tak mau mencegah mereka?”

Nona itu tertawa menyengir,”Segala urusan aku bersedia memberi pendapat, kecuali dalam hal ini,” ia deliki mata kepada anak muda itu, serunya lebih lanjut,”Mereka menyatakan bersungguh hati hendak menghamba, menerima atau tidak terserah padamu. Jika kukatakan supaya ditolak saja, mereka tentu akan mendendam padaku, hal ini. ”

“Nona mengerti jelas, “buru-buru suami isteri itu menghadap ke arah Siau-bun, “bahwa kami bersungguh hati hendak menjadi hamba tayhiap. Kami harap bantuan nona untuk menganjurkan tayhiap supaya sudi menerima permintaan kami. Dahulu kami telah bersumpah, kalau tak dapat menjadi jago nomor satu di dunia, kami rela menjadi budaknya saja atau lebih baik mati!”

“Telah kukatakan,” Siau-bun tertawa sinis, “aku tak mau campur urusan ini. Lebih baik kalian langsung menanyakan padanya, mungkin....... Bu Beng tayhiap bukan orang yang suka mengecewakan harapan orang, mungkin saja. ” ia

tertawa.

Dengan girang kedua suami isteri itu segera mendesak Thian-leng pula.

“Aku mempunyai kesulitan yang sukar kukatakan,” akhirnya Thian-leng menyahut.

Yang-sat Go Goan-po menghela napas panjang. “Ah, kalau begitu, hambapun tak berani memaksa. Ah,…” ia berpaling kepada isterinya, “kita terpaksa harus melaksanakan sumpah kita dahulu!”

Sahut si isteri Im-sat dengan menghela napas, “Apa boleh buat, kita tak dapat berbuat apa-apa!”

“Yang jelek adalah nasib kita,” kata Yang-sat Go Goan-po dengan nada rawan, ia mengangkat tinjunya lagi ke atas. “Selamat tinggal isteriku, kutunggu kau di pintu akhirat!” Ia segera ayunkan tinjunya.

Benar-benar Thianleng kaget tak terkira. Ia tak mau melihat korban yang keempat. Tanpa disadari, ia ulurkan tangannya menyambar lengan Yang-sat Go Goan-po. Go Goan-po meronta-ronta, “Lepaskan tayhiap, karena tayhiap tak mau menerima permintaan kami lebih baik kami mati saja. Apa artinya kami hidup di dunia lagi, lebih baik…..” ia meronta-ronta seperti orang kalap hendak bunuh diri.

“Mengapa kau begitu keras kepala. Ketahuilah kalau kalian ikut padaku, lebih banyak menderita daripada bahagia. ”

“Tetapi itu sudah menjadi sumpah kami. Untung celaka kami sudah bersedia!” si wanita Im-sat menyeletuk.

Kembali Thian-leng memandang ke arah Siau-bun, tapi nona itu hanya tertawa mengikik tak mengacuhkan. Akhirnya Thian-leng mengalah, “Baiklah, kuterima permintaan kalian, tetapi. ” tiba-tiba ia berobah nada bengis, “Lebih

dahulu kalian harus berjanji tak boleh melakukan kejahatan lagi. Segala hal harus berunding padaku. ”

“Sudah tentu hamba tak berani bertindak sendiri. Dalam segala hal, biar kecil maupun besar tentu akan menjalankan perintah tuan!” buru-buru kedua suami isteri itu menyatakan.

Thian-leng menghela napas. Terpaksa ia menerima kedua suami isteri itu menjadi budaknya, walaupun sebenarnya ia tak suka.

“Aku harus memberi selamat padamu. ” Siau-bun tertawa, “pertama atas pengangkatanmu sebagai ketua partai

pengemis dan kini mendapat pengabdian dari dua orang tokoh berilmu… ”

“ Kau harus memaklumi keadaanku… ” Thian-leng tertawa meringis dan terus melanjutkan langkah. Siau-bun dan

kedua suami isteri Im Yang song-sat mengikuti.

Di luar lembah rombongan pengemis yang dipimpin Lau Gik-siu tentu akan menyambut kedatangannya dengan gembira. Demikian pikir Thian-leng. Tetapi ternyata ia tak melihat barang seorangpun pengemis.

“Lau tongcu....Lau ......tong. cu,” demikian Thian-leng meneriaki Lau Gik-siu. Tetapi suaranya tak menyahut,

orangpun tak tampak. Thian-leng gelisah.

“Eh, mengapa kau ini?” tegur Siau-bun.

“Sebagai ketua kaypang, aku belum pernah mendirikan jasa apa-apa terhadap partai. Kini kelihatannya malah membuat mereka tertimpa bahaya. Bukankah perbuatanku ini merugikan Kay-pang?” Thian-leng membanting-banting kaki.

“Bagaimana kau tahu mereka terancam bahaya?” Siau-bun balas bertanya. “Kalau tidak terserang bahaya, mengapa mereka tak berada di sini?”

Siau-bun tertawa, “Sudah dua hari kita meninggalkan tempat ini. Apakah kau kira mereka mau menunggu di sini? Siapa tahu mereka sudah pulang ke sarangnya!”

“Ah, kau tak mengetahui tata tertib Kay-pang!” Thian-leng penasaran, “ketua memerintahkan mereka menunggu di sini, biarpun menghadapi bahaya apa saja, mereka tentu tetap menunggu di sini. Itulah sebabnya. ”

“Sekalipun benar mereka tertimpa bahaya, apakah penyesalanmu ini dapat menolong ? Apalagi di sekitar sini tiada terdapat sesosok mayatpun. Juga tidak ada tanda-tanda bekas pertempuran.” sejenak Siau-bun memandang Thian- leng dengan tajam, serunya pula, “Mungkin mereka ditipu anak buah Sin-bu-kiong supaya pergi ke lain tempat atau mungkin anak buah Kay-pang itu memang sudah tertangkap musuh. Tak perlu bingung-bingung, yang penting kita harus mencari jejak mereka!”

Thian-leng tergerak hatinya. Tiba-tiba ia menarik tangan si nona terus diajak berlari menuju ke tempat barisan partai Thiat-hiat-bun.........

Penyesalan.

Kini Thian-leng bukanlahThian-leng pada dua hari yang lalu. Betapapun Siau-bun dan kedua suami isteri Im Yang song-sat hendak menyusul, tetapi tetap ketinggalan beberapa tombak di belakang anak muda itu.

Pada saat itu barisan partai Thiat-hiat-bun terlihat. Teganglah hati Thian-leng. Sekalipun masih terpisah pada jarak puluhan tombak, tetapi Thian-leng dapat melihat jelas. Sesaat kemudian Siau-bun dan Im Yang song-satpun tiba. Merekapun mengetahui apa yang telah terjadi di dalam barisan Thiat-hiat-bun saat itu.

Tokoh-tokoh sakti dari partai Thiat-hiat-bun, Sin-bu-kiong dan Hek Gak, semua lengkap berkumpul di tengah lapangan.

Dari wajah mereka terlihat rupanya mereka sedang menghadapi suatu masalah berat. Tiba-tiba Thian-leng dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang mengherankan. Si gendut Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi berada di samping Tokko Sing ( algojo Hek Gak).

“Adik Bun, bukankah Bok cianpwe telah kau beri minum pil? Mengapa dia. ” baru Thian-leng bertanya dengan ilmu

menyusup suara, Siau-bun sudah menukas. “Mestinya pil itu dapat menyembuhkan ingatannya yang linglung. Hanya ada dua kemungkinan. Dia telah diberi racun ganas, atau entah diapakan oleh ketua Hek Gak!”

Thian-leng menghela napas. Kalau ketua Hek Gak benar-benar telah merusak urat syaraf jago tua itu, sukarlah untuk menyembuhkannya lagi.

Ketiga partai yang hadir di lapangan itu tak kurang dari dua tiga ratus orang banyaknya. Sekalipun belum ada tanda- tanda petempuran tetapi suasananya tegang sekali.

“Telah membuat saudara menunggu sampai dua hari dua malam. Sekarang apakah hendak bubaran?” tiba-tiba

Jenggot perak Lu Liang-ong berseru.

Sin-bu Te-kun segera menggembor, “Lu loji, tak kuhiraukan segala apa lagi kecuali hendak bertempur denganmu. Di dunia persilatan hanya terdapat satu, ada Thiat-hiat-bun tak ada Sin-bu-kiong, ada Sin-bu-kiong tak ada Thiat-hiat- bun!”

Lu Liang-ong tertawa acuh tak acuh, “Oh, jadi kedatanganmu ke gunung Thay-heng-san sini untuk hal itu?”

Sin-bu Te-kun terbeliak diam. Matanya berkeliaran menyapu ke sekeliling. Dilihatnya rombongan Hek Gak hadir lengkap. Agak legalah hati Sin-bu Te-kun.

“Apakah maksud kedatanganku kemari, tak perlu kauresahkan. Yang jelas, sekarang kita selesaikan dulu persoalan kita!” serunya dengan dingin.

“Bagaimana dengan kitab pusaka It Bi siangjin? Tidak kuatir didahului orang lain?” Jenggot perak tertawa mengejek.

“Dengarlah!” seru Sin-bu Te-kun dengan suara mantap, “sekalipun orang yang mempunyai peta telaga zamrud itu sudah berhasil mendapatkan kitab pusaka, tetapi jangan harap dia bisa lolos dari gunung ini!”

Ucapan itu mengandung maksud bahwa Sin-bu Te-kun telah memerintahkan anak buahnya untuk menghadang semua jalan di Thay-heng-san. Karena ketua Hek Gak juga mempunyai kepentingan dalam memburu kitab itu, ia hanya mendengus saja. Rupanya ia mempunyai rencana juga.

Jenggot perak Lu Liang-ong tetap ganda ketawa, “Berulang kali kukatakan, aku tak bermaksud bermusuhan padamu. Juga telah kujanjikan akan membantumu dalam rapat tokoh persilatan nanti supaya kau berhasil melaksanakan cita- citamu. Tetapi eh, mengapa kau selalu bersikap memusuhi aku saja?”

“Hm, aku sudah kenyang makan tipu muslihatmu! Jangan harap kau dapat meninabobokan aku lagi!” Sin-bu Te-kun menggerung.

“Jadi kau tetap hendak bermusuhan dengan Thiat-hiat-bun?” “Sedikitpun tak salah!”

“Jika tak dapat menahan diri dalam urusan kecil, tentu akan menderita kerugian dalam urusan besar. Apakah kau tak akan menyesal?”

Sin-bu Te-kun benci setengah mati kepada ketua Thiat-hiat-bun itu. Seolah-olah kalap hendak menempur Thiat-hiat- bun. Tetapi di kala mendengar penegasan Lu Liang-ong itu hatinya berdebar keras.

Di sampingnya ialah Kongsun Bu-wi, ketua Hek Gak yang berambisi besar. Bukan saja dia hendak memburu kitab pusaka, tetapi juga hendak merebut kedudukan kepala dunia persilatan. Jika ia bertempur dengan ketua Thiat-hiat- bun, tentulah keduanya menderita kehancuran. Dan...ah. siapa lagi yang akan memperoleh keuntungan kalau tidak ketua Hek Gak yang licin dan ganas itu....

“Aku bertekad hendak menempur Thiat-hiat-bun, bagaimana dengan saudara Kongsun. ”, baru ia hendak mencari

penegasan pada Kongsun Bu-wi, ketua Hek Gak itu sudah menegas,”Aku bersedia berdiri di belakangmu saudara Ki!”

Diam-diam ketua Hek Gak itu girang dan mengharapkan agar Sin-bu-kiong lekas bertempur dengan Thiat-hiat-bun. Kebalikannya hati Sin-bu Te-kun seperti disiram air. Kemarahannya pun mereda. Kalau toh hendak bertempur, paling tidak ia harus menarik supaya pihak Hek Gak ikut serta dengan serempak.

Rupanya jenggot perak dapat membaca isi hati kedua tokoh itu. Tiba-tiba ia berseru dengan nada bengis, “Aku si orang tua tak suka ribut-ribut, kalau kalian memang belum mengambil keputusan, silakan merundingkan kembali!” Habis berkata ia memberi isyarat dengan kebutan lengan baju. Jago-jago Thiat-hiat-bun yang terdiri dari empat su- kiat, tigapuluh enam Thian-kong dan tujuhpuluhdua Te-sat segera pecahkan diri dalam dua formasi deretan. Mereka berjajar mengawal ketuanya.

Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak terkejut. Merekapun segera memberi isyarat kepada anak buahnya supaya bersiap. Rombongan jago Sin-bu-kiong dan Hek Gak segera berbondong-bondong merintangi rombongan Thiat-hiat-bun.

Jenggot perak tertawa meloroh. Ia mengebutkan lengan bajunya lagi dan rombongan anakbuahnya segera berhenti. Gerakan mereka rapih sekali. Jelas mereka telah terlatih baik. Seratus orang lebih dapat bergerak dengan serempak.

“Lu loji, aku tak sudi menelan tipumu lagi. Barisanmu itu mungkin tak sempat main-main lagi di hadapanku!” seru Sin-bu Te-kun.

“Andaikan barisan itu hancur, tetap kau ini kuanggap sepi. ” seru Lu Liang-ong sambil menatap tajam kepada Sin-bu

Te-kun dan ketua Hek Gak. “Kita akan bertempur satu lawan satu atau secara keroyokan? Silakan kau memilih, kalau tidak. ah, aku tak punya waktu lagi menemani kalian! ”

“Kau mau pergi?” seru Sin-bu Te-kun.

“Tidak semudah itu kawan!” ketua Hek Gak pun menambahi.

Namun Jenggot perak tetap sabar, serunya,“Kalau begitu harap kalian segera mengatakan caranya bertempur. Aku si orang tua tentu takkan mengecewakan harapan kalian!”

“Aku mempunyai rencana, entah saudara Kongsun. ” kata Sin-bu Te-kun kepada ketua Hek Gak.

“Thiat-hiat-bun berani masuk ke wilayah Tionggoan, tentu tak bermaksud baik. ”

“Salah!” Jenggot perak menukas. “Penyelenggaraan rapat orang gagah itu adalah sebagai suatu penghormatan kepada ksatria-ksatria Tionggoan. ” ia tertawa. “Tetapi sayang, di antaranya masih terdapat tokoh yang tak

kupandang sebelah mata. Yang satu dari Sin-bu-kiong dan yang satu dari Hek Gak!”

Bukan kepalang marahnya Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak. Seru Sin-bu Te-kun kepada ketua Hek Gak, “Kita berdua masing-masing menempur si Lo tua itu satu jurus, kemudian silakan cong-houhwat Ang-tim gong-khek (

Bok Sam pi) menempurnya sejurus. Jadi tua bangka itu harus bertempur tiga jurus. Kalau dia kalah dua jurus. ”

Sengaja kata-kata itu diucapkan dengan keras agar Jenggot perak mendengar. Sebelum selesai, Jenggot perak sudah menukas, “Jika aku si tua ini sampai kalah dua kali, aku segera meninggalkan Tionggoan dan Thiat-hiat-bun takkan muncul lagi di masyarakat..... 

Sudahlah, jangan diperpanjang lagi. Aku setuju dengan cara itu, tetapi….bagaimana kalau aku yang menang?”

Sin-bu Te-kun gelagapan. Buru-buru ia berpaling kepada ketua Hek Gak, “Bagaimana pendapat saudara Kongsun?”

Sebenarnya ketua Hek Gak tak menyetujui usul Sin-bu Te-kun. Tetapi ia tiba-tiba mendapat pikiran. Ia merasa kepandaiannya masih kalah dengan Sin-bu Te-kun. Ia harus mengadu Sin-bu Te-kun dengan Jenggot perak.

Andaikata Sin-bu Te-kun yang menang, ia akan mengajukan gurunya. Tetapi kalau Jenggot perak yang menang, ia nanti akan mencari alasan untuk membatalkan perjanjian.

Tertawalah ia dengan sinis, “Lo tua berjanji akan pergi dari Tionggoan kalau sampai kalah. Kitapun juga demikian. Kalau sampai kalah, kita harus mengasingkan diri takkan muncul lagi di dunia persilatan. Adil bukan?”

Jenggot perak mengangguk-angguk tertawa puas, “Aku tak berani meminta lebih dari itu. Perjanjian itu kita resmikan… ” ia mengisar maju selangkah, serunya, “Aku si orang tua harus menghadapi tiga lawan. Siapakah yang

lebih dulu hendak menjadi lawanku?”

Cepat ketua Hek Gak menyahut, “Nama Sin-bu-kiong sudah termasyhur di dunia persilatan, sudah tentu aku tak berani melancangi!”

Diam-diam Sin-bu Te-kun mendamprat kelicikan ketua Hek Gak. Namun iapun sgera melangkah ke hadapan jago Thiat-hiat-bun, serunya, “Baiklah, aku akan mohon sejurus pelajaran darimu!”

Dalam kitab pusaka Im-hu-po-kip, ilmu jari Hiat-im-ci termasuk yang paling hebat sendiri. Dan ilmu itu telah dilatihnya dengan sempurna. Apabila kelima jarinya digerakkan, hebatnya bukan kepalang. Betapapun lihaynya Jenggot perak, pun tentu akan kalah.

Sin-bu Te-kun menutup kata-katanya dengan sebuah jurus jurus Ngo-hian-ki-hwat atau lima jari serentak menyambar. Jenggot perak tertawa. Ia menamparkan tangannya ke kanan. Tar..........

Keduanya adalah tokoh kelas satu. Gerakan mereka cepat dan dahsyat. Dalam lingkungan satu tombak, bumi terasa bergetar! Tetapi ketika kedua jago itu belum beradu pukulan, sekonyong-konyong terdengar lengking bentakan orang, “Tahan!”

Sesosok tubuh menyela di tengah kedua tokoh itu. Jenggot perak dan Sin-bu Te-kun serentak menyurut mundur beberapa langkah. Seorang pemuda berbaju biru tegak berdiri dengan gagahnya. Jenggot perak girang, Sin-bu Te- kun terkejut dan sekalian orang berteriak kaget. Itulah Thian-leng!

Mereka melihat gerakan pemuda itu jauh bedanya dengan dua hari yang lalu.

“Hai budak, apakah kau hendak melanjutkan pertempuran kita lagi?” teriak Sin-bu Te-kun.

“Benar, memang aku hendak melanjutkan pertempuran kita yang belum selesai itu,” seru Thian-leng. Sin-bu Te-kun membelalakkan matanya, “Eh”, rupanya dalam dua hari ini kegagahanmu bertambah……”

“Tahu sendiri sajalah, ” Thian-leng tertawa dingin, lalu memberi hormat kepada Jenggot perak, “Wanpwe telah berjumpa ”

Maksudnya hendak menjelaskan tentang si dara Lu Bu-song, tetapi Jenggot perak segera menukas dengan ilmu menyusup suara, “Mengapa kau mengganggu pertempuranku dengan iblis tua ini?”

Thian-leng menyahut juga dengan ilmu menyusup suara, “Wanpwe hendak mewakili. ”

“Mana kau sanggup menandinginya?”

“Terus terang, wanpwe telah mendapatkan ilmu ajaran It Bi siangjin!” Jenggot perak tersentak kaget, “Apakah kitab itu ada padamu?” “Tidak, pelajaran itu dilukis di tembok!”

“Tetapi kau hanya belajar dua hari, mana dapat mempelajari dengan mahir?” Jenggot perak menegas, walaupun tadi telah diketahui jelas betapa jauh bedanya gerakan pemuda itu sekarang.

“Harap locianpwe jangan kuatir, wanpwe sanggup menandinginya,” sahut Thian-leng dengan yakin. “Baik, cobalah,” Jenggot perak tertawa riang.

Di antara sekalian orang yang berada di situ, adalah Ang-tim gong-khek Bok Sam-pi yang paling tegang. Ia masih ingat ketika di dalam Hek Gak dijatuhkan oleh anak perempuan kawan pemuda itu.

Segera ia hendak melangkah maju, tetapi ketua Hek Gak cepat-cepat membisikinya. Bok Sam-pi terpaksa menahan kemarahannya.

Di manakah Siau-bu dan kedua suami isteri Im Yang song-sat? Ternyata mereka bersembunyi untuk menunggu perkembangan.

Sebagai seorang tokoh yang berpengalaman. Sin-bu Te-kun sudah menaruh kecurigaan atas sikap Thian-leng yang begitu garang. tentu pemuda itu telah mendapat apa-apa yang luar biasa. Namun ia tak percaya bahwa hanya dalam dua hari saja, pemuda itu dapat berganti tulang. Bagaimanapun ia tentu dapat menguasainya.

“Lu tua, hendak menerencanakan apa kau dengan budak hina itu? Bagaimana dengan acara kita?” tegurnya ketika melihat Jenggot perak bertukar cakap dengan Thian-leng.

Jenggot perak tertawa, “Aku hendak menarik diri!”

“Menarik diri?” Sin-bu Te-kun terkejut, “hai, apakah kau menyesal karena takut mati di tangan orang Sin-bu-kiong?” “Kuwakilkan pada anak muda ini, aku cukup menonton di samping saja.” sahut Jenggot perak.

“Budak itu?” Sin-bu Te-kun tertawa mengejek.

“Iblis tua, jangan temberang!” bentak Thian-leng seraya melangkah maju.

“Baiklah, takkan kutolak maksudmu, tetapi. ” Sin-bu Te-kun tertawa. Ia berkata kepada ketua Hek Gak, “dengan

anak itu aku mempunyai taruhan seratus jurus. Masih sepuluh jurus belum selesai. Maksudku hendak menyelesaikan perjanjian itu, baru kemudian memberesi Lu tua. ”

“Terserah saja pada saudara Ki, aku menurut,” tukas ketua Hek Gak. Justru itulah yang dikehendakinya. Serentak ia mundur ke samping.

Sin-bu Te-kun membuat garis lingkaran lagi di tanah, kemudian ia berdiri di tengah-tengahnya. “Budak, ayo seranglah!”

“Aku tak sudi bertanding dengan cara begitu lagi!” Thian-leng tertawa hina. “Apa ? Kau hendak menunda lagi?” teriak Sin-bu Te-kun gusar.

“Sama sekali tidak! Aku menghendaki pertempuran secara adil!” “Adil?”

“Benar, kita adu pukulan atau senjata secara berimbang!” “Kau gila!” teriak Sin-bu Te-kun.

Thian-leng berseru nyaring, “Di hadapan sekalian orang gagah pada malam ini, jika dalam sepuluh jurus aku kalah, aku akan tetap melaksanakan perjanjian tempo hari. Tetapi jika kau yang kalah, janganlah menyesal!“

Sin-bu Te-kun mengerutkan alis. Tak habis herannya melihat sikap pemuda itu, tetapi cepat ia merobah dugaan. Kemunculan Thian-leng dalam gerakan yang sebat sekali tadi dan kasak-kusuknya dengan Jenggot perak, tentu mengandung sesuatu yang luar biasa.

Tetapi betapapun juga, hanya dalam dua hari saja masakah pemuda itu dapat berobah menjadi sakti sekali. Andaikata Thian-leng benar-benar telah mendapatkan warisan kitab pusaka It Bi siangjin, pun dalam waktu dua hari saja apa yang dapat dicapainya.

“Baik, baik, aku menurut saja kehendakmu budak!” ia segera tertawa mengejek. Segera ia melangkah keluar dari garis lingkaran , serunya, “Seranglah!”

Thian-leng mendengus hina, “Hm, iblis tua, jangan sombong kau, hati-hatilah!”

Peringatan itu ditutup dengan sebuah gerakan menampar. Tamparan itu menggunakan jurus Lui-hwe-ciang. Jurus yang sudah diketahui jelas oleh Sin-bu Te-kun. Karena waktu pertandingan sembilan pulu jurus yang lalu, tanpa balas menyerang, Sin-bu Te-kun dapat menghindari seluruh serangan Lui-hwe-ciang dari Thian-leng.

“Oho, permainan lama kau keluarkan lagi. Apakah kau sudah bosan hidup. ”ejeknya. Ia yakin sekali gerak tentu

dapat memunahkan serangan anak muda itu.

Ia hendak membunuh pemuda itu. Maka sekali gerak ia menggunakan ilmu Kin-na-chiu. Pil Pahit!

Kin-na-chiu adalah ilmu tangan kosong untuk merampas senjata atau meringkus lawan. Sin-bu Te-kun sekali gerak hendak mencengkeram lengan kanan Thian-leng. Tetapi baru tangannya bergerak setengah jalan, ia terkejut. Ia merasakan jarinya seperti tercengkam api dan lengannya seperti dirayapi aliran tenaga panas yang menyerang dadanya…

Sebagai seorang tokoh sakti, ia cukup paham apa artinya itu. Nyata kepandaian anak muda itu sepuluh kali lipat dari yang dulu! Ya, memang demikianlah. Ilmu Lui-hwe-ciang memang dapat membakar hangus organ dalam tubuh orang dan dapat memusnahkan tenaga lawan.

Gerakan Kin-na-chiu Sin-bu Te-kun tadi telah menimbulkan reaksi hebat. Dia seperti membentur tenaga membalik yang hebat, sehingga di luar kehendaknya, tubuhnya terhuyung. Untunglah ia cepat-cepat loncat ke samping. Karena gerakannya itu secepat angin, maka pukulan Thian-leng menghantam tempat kosong dan……… Bum. Sebuah batu besar yang berada beberapa langkah di sebelah depan berguguran hancur. Dan serentak dengan itu berhembuslah angin panas keseluruh penjuru. Sekalian orang sama terkejut!

Pukulan Thian-leng itu memancarkan hawa panas. Sedemikian panasnya hingga batupun berguguran lumer. “Budak, dalam dua hari ini apa yang kau ketemukan?” teriak Sin-bu Te-kun dengan wajah pucat.

Thian-leng sendiri juga terkejut atas hasil pukulannya itu. Hampir ia sendiri tak percaya. Memang yang dilancarkan itu ialah pukulan Lui-hwe-ciang ( api geledek). Tetapi perbawanya jauh sekali bedanya dengan yang dulu.

“Tak perlu kau tanyakan. ”

“Jurus kesatu. !” Jenggot perak tertawa menghitung.

“Ya, masih ada sembilan jurus lagi. Dan kali ini silakan kau yang menyerang dulu!” seru Thian-leng.

Sin-bu Te-kun masih tercekam dalam keheranannya. Ia sudah terlanjur mengumbar kata-kata besar. Terpaksa ia harus bertindak. Setelah menenangkan semangat, ia mengembor dan mendorongkan kedua tangannya.

Itulah baru pertama kali ia menggunakan pukulan dalam kitab pusaka Im-hu-po-kip dengan sepasang tangan. Biasanya dengan satu tangan saja, cukuplah ia mengalahkan lawan. Kali ini ia gemas sekali.

Tetapi Thian-leng sudah mendapat kepercayaan atas kemampuannya. Iapun juga segera menyongsong dengan kedua tangannya. Dess… ketika dua pasang tinju saling beradu, bukan ledakan keras yang terdengar, melainkan suara

mendesis macam api tersiram air. Tinju mereka saling melekat. Sampai lama barulah mereka sama menarik diri, menyurut tiga langkah ke belakang.

“Dua!” kembali jenggot perak menghitung.

Wajah Sin-bu Te-kun pucat seperti kertas. Darahnya serasa bergolak. Matanya berkunang-kunang gelap. Bumi yang dipijaknya serasa berputar, bluk, akhirnya ia jatuh ke tanah.

Juga Thian-leng tak kurang penderitaannya. Wajahnya menguning pucat, darahnya bergolak dan hampir saja ia rubuh. Untunglah ia dapat mempertahankan diri. Setelah menyalurkan napas beberapa saat, ia sudah pulih kembali.

Maju lagi ke muka Sin-bu Te-kun, ia menantang , “Ayo, serang lagi!”

Adu tenaga tadi menghasilkan keduanya sama-sama menderita luka dalam. Seharusnya mereka perlu beristirahat beberapa saat untuk memulihkan diri. Bahwa Thian-leng dalam beberapa kejap saja sudah berani menantang lagi, benar-benar mengejutkan orang.

Bahkan Sin-bu Te-kun sendiri juga seperti melihat hantu di siang hari. Ia mundur beberapa langkah.....

“Iblis tua, masih delapan jurus lagi, ayo silakan menyerang lagi!” seru Thian-leng. Sin-bu Te-kun paksakan tertawa, “Aku hendak mengajukan sebuah usul. ”

“Katakan!” Thian-leng heran.

“Sisa delapan jurus supaya ditangguhkan dulu, karena. kaupun pernah meminta begitu!” kata Sin-bu Te-kun

dengan kemalu-maluan. 

Thian-leng kaget. Jelas bahwa sekarang Sin-bu Te-kun jeri padanya. Sebenarnya ia ingin

menghancurkan si iblis saat itu juga. Tetapi dulu ia pernah mengajukan usul begitu. Di hadapan sekalian orang gagah, terpaksa ia meluluskan usul Sin-bu Te-kun.

“Baiklah, aku setuju. Pergilah. !” akhirnya ia memberi jawaban.

(bersambung ke jilid 21)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar