Panji Tengkorak Darah Jilid 19

Jilid 19 .

Tetapi ah, tak mungkin. It Bi siangjin tentu sudah tidak ada di dunia lagi. Kedua anak muda itu tak melanjutkan lagi kata-katanya. Mereka malu sendiri.

Pertapa itu tetap ganda tertawa, “It Bi siangjin sudah beratus tahun wafat. Mana orang mati bisa hidup kembali? Aku. ”

Siau-bun pun tertawa, serunya, “Kiranya karena mengagumi kepribadian It Bi siangjin maka to-tiang pun memakai nama itu. ”

Pertapa itu melirik sejenak kepada Siau-bun, ujarnya, “Benar, kau pandai sekali. Memang karena aku adalah pemuja yang mengagumi sekali riwayat It Bi siangjin. Untuk mengabadikan, kupakai nama It Bi. ”

“Tetapi kepandaian dan perbawa to-tiang rasanya tak kalah dengan It Bi siangjin. ”

Pertapa itu menghela napas, “Ah, tetapi ada beberapa hal yang kalian tak tahu. ”

Cepat Siau-bun pun menukas, “Kalau tak salah, di sekitar tempat ini tentulah merupakan telaga zamrud seperti yang dimaksud dalam peta. Usaha Sam-chiu Sin-kun Ki Bu-sin mencuri peta dan menyelundup kemari, juga telah kau ringkus!”

Thian-leng terbeliak kaget. Juga It Bi berobah wajahnya, “Kau mengetahui banyak hal, darimana kau tahu?” Siau-bun tersenyum, “Terus terang saja , aku hanya menebak.”

“Menebak?”

“Ya,” sahut Siau-bun, “toh soal itu sudah jelas. Menilik keadaan lembah Pak-bong-kiap yang begini seram, tak mungkin dijadikan tempat tinggal. To-tiang menyebut diri sebagai It Bi, tetapi di sini tak ada pusaranya. To-tiang membuat rumah di sini tentulah ada maksudnya. Sesudah mencuri peta, Samchiu Sin-kun terus menuju kemari. Kesemuanya itu cukup membuktikan bahwa tempat ini merupakan tempat penyimpanan kitab pusaka It Bi siangjin. Totiang tepat pada waktunya datang menolong kami berdua, tentulah telah dapat meringkus Sam chiu Sin-kun. ”

Thian-leng terkesiap dan berpaling. Tampak di balik tirai penutup pintu kamar, dua buah paha orang menjulur di tanah. Tentu orangnya sudah ditutuk jalan darahnya, dan jelas orang itu tentu Sam-chiu Sin-kun.

Siau-bun tertawa tawar, “Benar, karena Sam-chiu Sin-kun kena kau tutuk, barulah aku dapat menduga tempat ini. Tetapi ada beberapa hal yang tak kumengerti.”

“Dalam hal apa, silakan bertanya!”

“Yang kuherankan, mengapa kau sebarkan peta itu ke dunia sehingga menimbulkan perebutan. Kitab itu mungkin

sejak dulu sudah berada di tanganmu eh, ilmu sakti yang kau pertunjukkan tadi, mungkin termasuk salah satu ilmu

dalam kitab itu?”

It Bi kerutkan kening menghela napas, “Hm, sekalipun otakmu cerdas, tetapi kau tetap tak dapat menerka hal itu!” 

“Apakah kau belum mendapatkan kitab It Bi siangjin itu?” “Sudah!” sahut It Bi.

Mendengar itu hampir saja Thian-leng pingsan. Harapan untuk mendapatkan kitab”itu hilanglah sudah. Dia tak mempunyai harapan lagi untuk mengalahkan Sin-bu te-kun dan ketua Hek Gak.

“Setelah mendapat kitab itu, mengapa totiang perlu mengadakan lelucon lagi? Perlu apakah totiang memikat orang datang kemari. ”

Dengan wajah membesi It Bi menyahut, “Telah kukatakan bahwa ada beberapa hal yang kalian tak mengerti ” ia

berhenti sebentar, ujarnya pula, “Berpuluh tahun yang lalu, aku bersama Sip U jong telah mendapatkan peta itu. Kami kemari dan berhasil mendapatkan tempat penyimpanan kitab.”

“Tetapi kabarnya Sip U-jong telah dianiaya Sin-bu Te-kun sehingga kepandaiannya hilang. Kalau benar sudah mendapatkan kitab itu, masakah Sin-bu Te-kun dapat melukainya?”

It Bi mengerutkan alis, “Itu terjadi sebelumnya. Memang Sip U-jong menaruh harapan dapat menuntut balas. Ia meyakinkan isi kitab dengan sungguh-sungguh, tetapi pada akhirnya ia menyadari bahwa peryakinannya itu keliru semua. ”

“Keliru bagaimana?” Thian-leng terkejut.

It Bi tertawa masam, “Ilmu ajaran It Bi siangjin itu dalam sekali, tak mudah dipelajari sembarang orang. Baru tiga hari berlatih Sip U-jong telah mengalami co-hwe-jip-mo ( salah latihan dan merusak diri), sehingga menyebabkan ia kehilangan semua kepandaiannya. Tetapi ia akhirnya dapat mempelajari sedikit ilmu meramal……”

Kini tergeraklah hati Thian-leng, “Ilmu apakah yang tertulis dalam kitab pusaka itu?”

It Bi melanjutkan penuturannya, “Aku lebih beruntung sedikit dari Sip U-jong. Sedikit banyak aku berhasil mempelajari kepandaian istimewa. Karena merawat Sip U-jong, kuhentikan latihanku. Dan secara kebetulan hal itu

……”

“Berapa lamakah totiang mempelajari?” tukas Thian-leng. “Satu hari!”

“Satu hari?” Thian-leng berteriak kaget, “berapakah hasil dari pelajaran sehari saja? Tetapi ilmu kepandaian yang totiang miliki… ”

It Bi tertawa, “Jika aku temaha dan belajar ngotot seperti Sip U-jong, tentu akupun akan mengalami nasib seperti dia, menjadi orang yang cacat!”

Heran Thian-leng tak terkira. Masakah belajar sehari saja sudah dapat memiliki kepandaian sesakti itu. “Berapa bagiankah yang totiang dapat pelajari?” tanyanya.

“Hanya sepersepuluh bagian saja!”

Thian-leng dan Siau-bun hampir tak dapat mengendalikan kekagetannya. Benar-benar sukar dapat dipercaya. Hanya mempelajari sepersepuluh bagian saja sudah sedemikian hebatnya. Bagaimanakah kalau sudah mempelajari seluruhnya.

“Sudahlah, jangan mengganggu , biarkan totiang melanjutkan ceritanya,” kata Siau-bun.

It Bi tertawa, tuturnya, “Ilmu pelajaran dalam kitab It Bi bu-cui itu sekalipun tak sukar dipelajari, tetapi setiap bagian mempunyai keistimewaan sendiri. Jika tidak mempunyai tulang yang bagus, tak mungkin dapat mempelajari. Setelah Sip U-jong menyadari hal itu, dia menjadi putus asa. Tetapi dia tak dapat berdaya apa-apa lagi…”

It Bi berhenti sejenak menghela napas, lalu meneruskan lagi, “Akhirnya kita mencapai persetujuan. Peta dia yang membawa untuk mencari orang yang dapat menerima warisan It Bi siangjin. Agar jerih payah pertapa itu jangan terbuang sia-sia, tetapi terus menerus dapat berkembang di dunia! Sementara aku yang telah beruntung mendapatkan sebuah ilmu dari kitab itu, menjaga tempat penyimpanan kitab di sini. Pertama , menjaga jangan sampai tempat ini diketahui orang. Kedua, andaikata peta yang dibawa Sip U-jong itu dirampas orang, aku dapat mengejar penjahat itu lagi! Ah, tak kira belasan tahun kita berpisah, sampai sekarang… ” It Bi berhenti sejenak

untuk mengambil napas, katanya pula, “Beruntunglah akhirnya Sip U-jong telah berhasil menyelesaikan harapan kita berdua. Dia dapat memilih orang yang tepat. Ketahuilah, bagiku mengalahkan tiga barisan tentara adalah mudah. tetapi untuk mencari tunas yang sungguh-sungguh berbakat, sukarnya seperti mencari jarum di lautan. Tulang rangka seperti yang kau miliki itu, barulah benar-benar dapat menerima pelajaran sakti dari kitab It Bi bu-cui!”

It Bi menutup penuturannya dengan melepaskan pandangan mata menatap wajah Thian-leng. Kemudian ia tertawa gelak-gelak.

Tersipu-sipu Thian-leng menyahut dengan rendah hati, “Wan-pwe hanya seorang pemuda biasa, mungkin tak dapat memenuhi harapan totiang dan Sip lo-cianpwe. Dan lagi wanpwe… ” ia berpaling memandang Siau-bun, “Jika

bukan… nona Cu yang menolong, mungkin saat ini wanpwe sudah mati. Maka paling tidak wanpwe minta supaya

nona Cu juga diperbolehkan mempelajari kitab itu bersama-sama… ”

Siau-bun tertawa mengikik, “Sudahlah, jangan ngelantur. Bukankah tadi totiang sudah mengatakan, Ilmu itu tak boleh dipelajari sembarang orang. Apalagi mendiang It Bi siangjin tentu menghendaki bahwa setiap jaman hanya seorang ahli waris saja… ”

“Benarlah,” It Bi tertawa, “tetapi kaupun termasuk tunas yang berbakat hebat. Hanya sayang… ”

“Sayang bagaimana?” buru-buru Thian-leng merebut pertanyaan.

Adalah karena ia merasa berhutang budi kepada Siau-bun, maka sedapat mungkin ia hendak membagi rejeki besar itu kepada si nonan. Ia gembira kalau Siau-bun juga mendapat ilmu kesaktian yang hebat.

It Bi menghela napas, “Ah, ilmu pelajaran dalam kitab itu tidak sesuai diyakinkan oleh kaum wanita!” Thian-leng melongo.

Siau-bun tertawa acuh tak acuh, “Huh, andaikata sesuai untuk kaum wanita, akupun tak ngiler. Karena aku sudah mengangkat sumpah di hadapan suhu bahwa aku akan bersetia kepada sumber ajarannya. Tak boleh berguru pada lain orang,” Siau-bun melanjutkan pula. 

Kamar Rahasia.

It Bi tertawa gelak-gelak, “Bagus,… kalau begitu. Tetapi kau belum memberitahukan namamu lho!” serunya kepada

Thian-leng.

Thian-leng tertegun, jawabnya, “ Maaf, aku masih bernama Bu-beng-jin. ”

“Hai, aneh,” It Bi terbelalak, “Apakah kau seorang anak yatim piatu?”

Thian-leng menghela napas. Iapun lalu menuturkan rahasia yang menyangkut dirinya. It Bi mengerutkan dahi. Ia hanya geleng-geleng kepala saja. Kemudian menghela napas. “Kelak apabiila kau sudah berhasil meyakinkan ilmu kesaktian itu, tentu kau dapat mengusut riwayat dirimu!”

Ia bangkit dan mengajak mereka mengikutinya. Pertapa aneh itu menuju ke ruang sebelah kiri. Thian-leng dan Siau- bun pun segera ikut.

Kamar itu gelap gulita, tetapi berkat lwekangnya yang tinggi, dapatlah kedua anak muda itu melihat jelas. Di tengah ruangan seperti terdapat sebuah lubang terowongan selebar dua meter.

“ Itulah pintu masuk dari apa yang dihebohkan orang dalam peta Telaga zamrud. Dulu setelah kubuka, aku terus tinggal di sini , tak pernah pergi kemanapun juga,“ kata It Bi seraya masuk ke dalam terowongan itu.

Thian-leng dan Siau-bun tetap mengikuti. Terowongan itu dalamnya seperti sumur, mempunyai titian batu yang menurun. Diam-diam Thian-leng menghitung titian itu. Jumlahnya tak kurang dari 200 buah undakan. Dasar terowongan itu merupakan sebuah dataran yang terang. Luasnya puluhan tombak. Baik atap maupun lantainya terbuat dari batu seluruhnya. Benar-benar merupakan sebuah bangunan yang besar dan megah.

Diam-diam Thian-leng mengagumi kehebatan mendiang yang telah menciptakan bangunan sedemikian hebatnya. 

“Menurut catatan dalam kitabnya. Ruangan ini dibuat sendiri oleh mendiang It Bi siangjin dalam waktu tiga hari!” tiba-tiba It Bi berkata.

“Hai. tak mungkin!” Thian-leng berseru kaget.

“Seorang yang berilmu sakti, apapun dapat dilakukan. Mungkin batu-batu raksasa ini hanya sebagai benda tak berarti bagi almarhum, ” tukans Siau-bun.

“Benar,” It Bi tertawa, “baginya ruang ini masih belum menyulitkan…… eh, tahukah kalian apa guna ruangan ini?”

Thian-leng menggelengkan kepala. Tetapi Siau-bun segera menanggapi, “Ruang rahasia ini tentu mempunyai alat dan pintu rahasia. Tanpa melihat pada peta, tak mungkin orang bisa keluar. Rupanya It Bi siangjin seorang ahli bangunan yang cerdik!”

“Benarlah,” seru It Bi, “ruang ini mempunyai delapan buah pintu rahasia. Hanya ada sebuah pintu hidup yang boleh dimasuki….” ia menutukkan jari pada ujung dinding batu yang sebelah kanan. Terdengarlah bunyi berdrak-derak dan terbukalah sebuah lubang pintu, It Bi melangkah masuk, Thian-leng dan Siau-bun mengikuti terus.

Melintasi pintu itu, mereka berada di sebuah ruang batu yang terang benderang. Sekeliling dindingnya penuh brtaburan mutiara. Mutiara-mutiara itulah yang memancarkan cahaya cemerlang.

Thian-leng dan Siau-bun terkejut ketika matanya tertumbuk pada sebuah peti mati yang terletak di tengah ruangan. Peti mati itu terbuat dari batu mustika. Di depannya tercantum sebuah tong-pay ( nisan dari logam). Tong-pay itu bertuliskan beberapa huruf yang ditulis dengan guratan jari.’Tempat arwah It Bi siangjin’.

It Bi segera berlutut dan menyuruh kedua anak muda itu berlutut juga. Mereka bersujud dengan khidmat. It Bi bangkit, tetapi ketika Thian-leng hendak bangkit, It Bi melarangnya.

“Mendiang It Bi siangjin telah meninggalkan pesan, bahwa barang siapa mendapat harta peninggalannya, harus menjaga seumur hidup dan melaksanakan cita-citanya.” kata It Bi dengan nada bersungguh-sungguh. “Surat pesanan itu ditanam di bawah. Karena kurang hati-hati ketika menggalinya, surat itu hancur. Tetapi yang penting, ada dua hal dalam surat itu. ”

It Bi berhenti sejenak, katanya pula, “Lebih dulu kau harus mengangkat sumpah untuk menjaga dan melaksanakan pesan almarhum, barulah kau dapat menjadi pewaris It Bi siangjin yang nomor dua dan menjadi muridnya… ”

“Tetapi totianglah yang menemukan suratnya. Seharusnya totianglah yang menjadi pewarisnya yang kedua. Aku rela menjadi pewaris nomor tiga….”

“Tidak!” tukas it Bi. “Sekalipun aku beruntung menemukan peninggalannya, tetapi aku bukanlah pewaris seperti yang dikehendakinya. Apalagi yang kupelajari hanya sepersepuluh kepandaiannya, mana berani mengaku sebagai pewarisnya. Memang akupun sudah mengangkat sumpah di hadapan jenasahnya. Tetapi bersumpah untuk menjaga tempat ini sampai nanti mendapatkan orang yang tepat. Setelah kuserahkan semua peninggalannya, barulah aku pergi. Aku beruntung Sip U-jong akhirnya menemukan kau… ”

Thian-leng mendengarkan dengan tegang.

“Dua buah pesan penting itu, pertama harus orang yang jujur, berjiwa ksatria dan mempunyai cita-cita untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Kedua, dia harus memilih pewaris dengan hati-hati, agar ilmu pelajaran It Bi siangjin akan terus berkembang selama-lamanya!”

Serta merta Thian-leng mengucapkan sumpah, “ Tecu (murid) bersumpah di hadapan arwah siangjin, akan taat melaksanakan pesan sampai mati. Kalau sampai berkhianat dan ingkar, biarlah mendapat kutukan yang berat dari Tuhan!”

“Cukup! Bebanku kini sudah impas separoh. mari ikut!” kata It Bi terus menuju ke belakang peti mati. Di situ

terdapat sebuah meja dan ranjang, serta beberapa kursi. Tempatnya bersih. Pada dinding tengah terdapat dua buah gelang batu mustika. It Bi menarik gelang sebelah kanan dan terbukalah sebuah pintu rahasia. Ternyata di situ terdapat pula sebuah kamar rahasia.

“Kamar ini adalah tempat penyimpanan pusaka It Bi siangjin, masuklah!,”seru It Bi yang tegak berdiri di ambang pintu rahasia. 

Tanpa bersanggsi lagi Thian-leng segera melangkah masuk. Tetapi baru kakinya melalui pintu, sekonyong-konyong pintu itu menutup. It Bi telah menggerakkkan alat penutup pintu.

Kejut Thian-leng bukan buatan, “Totiang! Totiang……!” ia berteriak sekuat-kuatnya, tetapi tiada sahutan sama sekali. Dicobanya untuk mendorong pintu itu, tetapi..ah… pintu itu tak bergeming sama sekali. Walaupun mendorong sekuat tenagapun tetap tak berhasil.

Pada lain saat ia sadar. Mungkin It Bi memang sengaja menutup pintu agar Siau-bun tak ikut masuk. Karena yang diperbolehkan mempelajari ilmu kitab pusaka itu hanya dia seorang. Tetapi ia memikirkan nona itu. Siau-bun telah menemaninya menempuh bahaya, sekarang setelah mendapat rejeki, ditinggal begitu saja di luar. Ah…. namun ia tak berdaya.!

Ruang itu tak seberapa luasnya, kira-kira hanya seluas dua tombak. Empat dinding ruang dilekati belasan mutiara yang cukup memancarkan terang.

Tetapi yang membuat Thian-leng heran ialah, ruang itu tak terdapat apa-apa. Sebuah ruang yang kosong melompong tanpa isi.

Setelah merenung beberapa saat, barulah Thian-leng tersadar. Kiranya pada empat dinding ruang itu terdapat guratan lukisan dan huruf. Ah, kini barulah ia menyadari. Kitab pusaka It bi-bu-cui itu bukanlah semacam kitab yang dapat dibawa kemana-mana, melainkan tulisan-tulisan yang diguratkan pada tembok!

Thian-leng segera memulai meneliti tulisan di tembok itu. Makin lama ia makin seperti tenggelam dalam lautan yang tiada dasarnya. Dipelajarinya gerak kaki dan tangan sesuai dengan petunjuk-petunjuk tulisan di tembok. Entah berapa lama ia terbenam dalam keasyikan belajar itu, ketika tiba-tiba terdengar bunyi berderak-derak dan pintu batu terbuka.......

“Sudah dua hari, berapa bagiankah yang sudah kau pelajari?” It Bi tegak di ambang pintu dengan tersenyum. “Ah, mungkin baru seperempat bagian!”

Memang Thian-leng baru dapat mempelajari sebuah dinding saja. Masih ada tiga buah dinding yang belum dipelajari.

“Cukup dengan sebuah dinding saja, mungkin kau sudah tak ada tandingannya!” seru Siau-bun yang berdiri di belakang It Bi.

“Memang, kepandaianmu sekarang sudah lebih unggul setingkat daripadaku.” kata It Bi.

“Ah, mana mungkin. Aku hanya mempelajari dua hari, masakah sudah sedemikian rupa hebatnya,” Thian-leng tak percaya.

“Sebentar kau tentu mengetahui sendiri. Sekarang aku hendak bicara padamu, mari kita keluar!”

Thian-leng keluar dan It Bi pun menutup pintu rahasia itu lagi. Kemudian Thian-leng menanyakan apa yang hendak ditanyakan It Bi.

It Bi berkata, “Sejak kau mengangkat sumpah di hadapan arwah It Bi siangjin, kau sudah menjadi murid pewaris kedua. Saat ini aku kalah tingkatan dan tunduk pada perintahmu. Maka tak usah kau berlaku menghormat lagi padaku. ”

“Ah, tanpa bantuan totiang mana aku dapat menemui rejeki yang sedemikian besarnya ini,” buru-buru Thian-leng merendahkan diri.

Siau-bun juga turut memperkuat pernyataan Thian-leng dan menganggap pertapa itu adalah penolong yang berbudi.

“Aku bukan menolong, tetapi melaksanakan tugas dalam pesan It Bi siangjin,” kata It Bi kemudian dengan nada bersungguh-sungguh. “Jadi sesungguhnya akulah yang harus berterima kasih padamu.”

“Tetapi bagaimanapun aku tetap menghormat totiang sebagai guru,” Thian-leng membantah.

Keduanya sama tak mau mengalah. Siau-bun tertawa geli, “Ah, kalau terus menerus berdebat tentu takkan putus- putusnya. Aku mempunyai usul.” “Ya, ya silakan nona bilang.”

“Kusulkan baiklah kalian berbahasa sebagai kakak dan adik saja,” kata Siau-bun.

Masih It Bi kurang puas dan mengatakan hal itu masih melanggar tata tertib. Tetapi Thian-leng segera menjura memberi hormat dan menyebutnya ‘totiang toako’ atau engkoh imam. Akhirnya It Bi terpaksa menerima. Sejak saat itu keduanya sling memanggil kakak adik.

“Tadi aku sedang mempelajari ilmu pelajaran It Bi siangjin, mengapa toako memanggilku keluar?” tanya Thian-leng.

“Sudah dua hari kau berada di situ, apakah kau tak lapar?” It Bi tersenyum. Peringatan itu serentak membuat perut Thian-leng berkeruyuk.

“Sudahlah, makan dulu baru nanti sambung bicara lagi!” seru Siau-bun.

“Nanti dulu, ijinkanlah aku merenungkan sekali lagi pelajaran dalam ruang itu agar tak lupa….”

“Tunggu,” buru-buru It Bi mencegah, “walaupun hanya seperempat bagian, tetapi isinya sudah mencakup ilmu yang sakti. Yang tiga bagian itu kebanyakan hanya ilmu meramal dan ilmu perbintangan saja. Baiklah kau berhenti dulu. Setelah meyakinkan sempurna, barulah kau mulai mempelajari lanjutannya.!”

Setelah berunding banyak tentang rencana yang akan datang, akhirnya diputuskan, Thian-leng boleh pergi. Setahun kemudian harus kembali lagi ke goa itu. Mereka segera keluar ke dalam pondok lagi. Sam-chiu Sin-kun masih menggeletak di lantai tak berkutik.

Ketika keluar dari Telaga zamrud, haripun sudah tengah malam. Kiranya sudah dua hari dua malam Thian-leng masuk ke dalam goa Telaga zamrud. Ia masih belum yakin bahwa kepandaian yang dipelajarinya selama dua hari itu akan dapat mengalahkan Sin-bu Te-kun dan kepala Hek Gak….

“Menurut ukuran kepandaianmu sekarang, kau lebih sakti beberapa kali dari dua hari yang lalu. Apakah saat ini kau tak mendengar atau melihat sesuatu?” tiba-tiba Siau-bun menegur.

Thian-leng seperti disadarkan. Ia kaget-kaget girang ketika merasakan lembah yang diselimuti kepekatan kabut malam itu, tidaklah segelap dalam pandangannya. Seluas satu li, ia dapat melihat dan mendengarkan suara yang betapa kecilpun.

Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan ilmu menyusup suara. “Apakah kau dapat mendengar pada jarak duapuluhan tombak….”

“Lupakah kau akan ilmuku Melihat langit mendengarkan bumi?” Siau-bun tersenyum. “Orang yang diam-diam menguntit kita ini tentulah...”

“Sudah tentu Im Yang songsat dan lainnya. Mungkin selama dua hari ini mereka tetap berkeliaran di sekeliling lembah, tetapi mereka takut kepada It Bi. ” kata Siau-bun.

Thian-leng berkobar nyalinya. Inilah saatnya ia hendak menguji ilmunya. Segera mereka meneruskan perjalanan. Tak berapa lama tibalah mereka di mulut lembah Pak-bong-kiap. Thian-leng segera mempercepat langkahnya. Ia ingin segera bertemu dengan rombongan Kay-pang.

Baru melintasi mulut lembah, tiba-tiba muncullah lima orang yang mengepung mereka dari lima jurusan.

Mereka ialah Im Yang song-sat suami isteri, Thian-san Siu-sin, paderi Ko Bok dan imam Tiang Pek cinjin. Thian-leng pun lantas bersiap diri.

“Eh, apakah kalian belum pergi?” acuh tak cuh Siau-bun menegur mereka. “Berikan!” bentak paderi Ko Bok.

“Berikan apa?” sahut Siau-bun. “Kitab pusaka It Bi siangjin!”

“Si pertapa busuk itu telah membawa kalian ke dalam sarangnya sampai dua hari. Tentulah memberikan kitab itu kepadamu!” teriak Thian-san Siu-sin.

“Dia hanya menjamu kita dengan hidangan yang lezat. Maksudnya begitu kalian sudah pergi, barulah melepaskan kita lagi.” jawab Siau-bun.

“Ngaco!” bentak Tiang Pek cinjin, “Sam-chiu Sin-kun ditutuk jalan darahnya. Terowongan goa dalam sekali, tentulah Telaga zamrud berada di situ! Kau masih menyangkal!”

“Oh, kiranya kalian telah menjenguk pondok itu?” Siau-bun tertawa.

“Benar di situ tentulah tempat penyimpanan pusaka It Bi siangjin!” seru Tiang Pek cinjin.

“Kalau sudah menduga begitu, mengapa kalian tak mengambilnya? Mengapa menunggu di situ saja?”

Merahlah wajah pertapa Tiang Pek, ia berpaling kepada paderi Ko Bok , “Budak perempuan ini bermulut tajam, tak perlu berdebat dengannya. Kita mulai menggeledahnya saja!”

“Benar, mari mulai sekarang juga!” paderi Ko Bok menggerung.

“Jangan terburu-buru. ” teriak Siau-bun sehingga kelima jari Ko Bok yang sudah direntang hendak mencengkeram si

nona itu terpaksa dihentikan.

“Asal kalian mau menyerahkan dengan baik, tentu kami lepaskan kalian pergi. ”

“Apakah kalian tentu harus mendapatkan benda itu?” Siau-bun tertawa terpaksa. “Sudah tentu!”

Tiba-tiba Siau-bun menuding ke arah Thian-leng, serunya. “Kitab pusaka berada padanya. Minta saja!” Thian-leng terkesiap, serunya.”Mengapa adik Bun……”

Siau-bun tertawa mengikik, “Kau mengaku atau tidak, mereka tetap menghendaki….”

“Benar, kita harus mendapatkan sekarang juga!” bentak paderi Ko Bok seraya berputar merangsek Thian-leng. Melihat itu kedua suami isteri Im Yang song-sat, Tiang Pek cinjin dan Thian-san Siu-sin pun menyerbu Thian-leng.

“Adik Bun, kau tahu jelas aku tak membawa apa-apa, mengapa kau katakan kitab itu berada padaku?” Thian-leng menyesali Siau-bun.

Namun nona itu hanya tertawa, “Kita berada selama dua hari dalam goa telaga zamrud, apakah mereka mau percaya kita tak membawa apa-apa?”

“Sudah tentu tidak percaya!” teriak paderi Ko Bok.

Pun Thian-san Siu-sin mengancam, “Budak, rupanya kau memang ingin menjadi penghuni peti mati. Kalau tak diberi sedikit rasa tentu belum kapok… ” kemudian ia berseru kepada lainnya. “Harap saudara-saudara menyingkir dulu,

biar aku yang membekuk budak ini!”

Tiang Pek cinjin tertawa sinis dan loncat merintangi, “Tak usah saudara mencapekan diri, aku sendiri cukup membereskannya!”

Ternyata tokoh-tokoh itu sama mengerti. Mereka tahu jelas sampai di mana kepandaian Thian-leng dan Siau-bun ini. Salah seorang dari mereka itu sudah cukup untuk meringkus anak muda itu. Hal itu menimbulkan perebutan. Mereka saling berebut hendak menangkap Thian-leng yang dikira tentu menyimpan kitab pusaka.

Thian-leng masih meragu. Ia hendak segera meloloskan diri dan yang kedua ia masih belum yakin akan kepandaian yang dipelajarinya selama dua hari itu.

“Eh, mengapa kau masih ragu-ragu? Inilah saat yang tepat untuk menguji kepandaianmu!” teriak Siau-bun.

Thian-leng tertawa meringis. Kalau kepandaiannya ternyata gagal menghadapi kelima durjana itu, paling banyak itu hanya mati. Baginya kematian tak terlalu dipersoalkan. Tetapi bagaimana dengan tugas yang diletakkan di bahunya oleh para cianpwe yang melepas budi kepadanya itu? Bagaimana dengan warisan dari It Bi saingjin dan sebagainya!

Tetapi ia tak diberi kesempatan untuk bersangsi lagi. Sekonyong-konyong paderi Ko Bok menyelonong maju mencengkeram dadanya. Seketika marahlah Thian-leng. Pedang dilintangkan ke dada untuk menjaga diri, dengan tangan kiri ia balas menghantam Ko Bok.

Mempelajari ilmu silat It Bi siangjin yang luar biasa dalamnya itu, tak mungkin selesai dalam waktu dua hari saja. Untunglah berkat otaknya yang terang, Thian-leng dapat mengingat semua pelajaran itu. Kini dicobanya menggunakan salah satu jurus dari It bi bu-cui.

Paderi Ko Bok termasuk tokoh yang jarang tandingannya. Dia yakin cengkeramannya itu tentu berhasil meremukkan dada si anak muda. Tetapi apa yang diperolehnya benar-benar di luar dugaannya!

Memang diketahuinya juga Thian-leng balas memukul. Tetapi gerakannya itu adalah sebuah gerakan ilmu silat yang sederhana saja. Diam-diam ia geli dan melipatgandakan tenaga cengkeramannya.

Tamparan Thian-leng tepat sekali mengenai siku lengan lawan. Cepat dan aneh sekali gerak tamparan itu sehingga musuh tak sempat menghindar lagi. Menjeritlah paderi Ko Bok seperti babi yang disembelih. Lengannya serasa putus dan tubuhnyapun terlempar…

Sekalian orang terbeliak kaget. Bahkan Thian-leng sendiripun terkesima. Sebenarnya ia hendak menggunakan ilmu pukulan Lui hwe ciang. Adalah karena paderi Ko Bok menyerang secara cepat, ia tak sempat mengembangkan Lui hwe caing dan terpaksa mainkan gerakan menampar itu. Sedikitpun ia tak menyangka bahwa ia dapat menggulingkan lawannya secara begitu gemilang.

“Ayo, siapa lagi yang berani maju?” Siau-bun melengking.

Sepasang suami isteri Im Yang songsat menyambut dengan gemboran keras dan bergerak menerjang. Keduanya tahu apa yang diderita paderi Ko Bok, tetapi mereka masih tetap yakin, apabila menyerang secara cepat tentu dapat membuat si anak muda tak berkutik. Dan telah menjadi tekad mereka, lebih baik mati daripada tak mendapatkan kitab pusaka.

Thian-leng menyapu dengan pedangnya. Ia menggunakan jurus Hong-ki-hun-yong atau Angin meniup awan berkembang. Sebuah jurus dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam ajaran wanita sakti Toan-jong-jin. Tetapi di luar kemauannya, ia telah mainkan salah sebuah jurus dari ilmu ajaran It Bi siangjin.

Tampak segumpal sinar pedang berhamburan memenuhi udara. Sesaat kemudian terdengar jeritan dan Im Yang songsat pun tehuyung-huyung mandi darah. Si lelaki yang bernama Go Goan-pa, lengan kirinya tergores ujung pedang dan si perempuan yang bernama Po Giok-kang pun menderita luka di perutnya.

(bersambung ke jilid 20)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar