Panji Tengkorak Darah Jilid 18

Jilid 18 .

Thian-leng meringis. Ia tahu sampai di mana kelihayan otak si nona itu. Cara-cara meloloskan diri dan mengocok Kongsun Bu-wi ketua Hek Gak dengan gurunya si Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi, cukup membuktikan betapa cerdas nona itu.

Setelah kedua anak muda itu merenung lama, barulah tiba-tiba Siau-bun berkata pula, “Sam-chiu-Sin-kun pasti bersembunyi di balik pohon, kuyakin pendengaranku tak salah. Menurut pendapatku, kepandaiannya tak ungkul dari kau. Dapatkah kau dalam tiga jurus serangan mendadak, membuatnya tak berdaya?”

Dian-diam Thian-leng memperhitungkan. Jaraknya dengan pohon itu hanya sepuluhan tombak. Dua kali lompatan ia dapat mencapai. Dengan ilmu pukulan Lui-hwe-ciang dan ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam, rasanya ia tentu mampu mengatasi Sam-chiu Sin-kun.

Kalau perlu bunuh saja orang itu, karena ia benci dengan perbuatannya!

“Baik, aku sanggup! Tetapi ” ia meragu, “tetapi bagaimana kalau orang-orang itu menyerang aku…”

“Sudah tentu mereka akan menyerangmu. Tetapi janganlah kau hiraukan mereka.” jawab Siau-bun, “yang penting kau harus segera melukai Sam-chiu Sin-kun dan menyeretnya ke tengah tumpukan batu dan mengambil peta lalu memasukkan ke dalam sepatu…”

“Ya, ya, hal itu mudah. tetapi…  ”

“Ilmuku menimpuk panah Tui-hong-kiong dan ilmu pedang, mungkin masih dapat menghalangi mereka. Begitu kau berhasil mendapat peta itu, berhasillah kita!” 

Masih Thian-leng bersangsi, ujarnya, “Pengejar-pengejar itu tentu bertekat mati-matian merebut peta. Apabila kita berdua tak sanggup melawan mereka, apakah akhirnya……”

“Kekuatiranmu memang beralasan. Menurut peneropongan yang kulakukan dengan ilmu Melihat langit mendengar bumi, mereka masing-masing memiliki ilmu yang tinggi dan mungkin kita tak mampu menandingi…..”

“Kalau begitu apa gunanya!?”

Siau-bun tertawa, “Tetap ada gunanya. Segala sesuatu bukanlah tergantung kenyataan semata-mata, tetapi pada kecerdikan!” Ia berhenti sejenak, melepaskan pandangan mata, kemudian berkata pula, “Kita akan membentuk barisan, menjebak mereka agar saling bunuh sendiri!”

“Oh,” Thian-leng melongo, “tetapi bagaimana caranya?”

Siau-bun tersenyum simpul, “Biarkan mereka saling merebut peta itu sendiri seperti anjing merebut tulang. ” ia

segera mengeluarkan sehelai kain. Setelah dilipat lalu diberikan kepada Thian-leng.

“Begitu kau berhasil mengambil peta dan menyusupkan ke dalam sepatu, segera kau lemparkan kain itu kepadaku…”

“Bagus!” Teriak Thian-leng girang, “bukankah maksudmu supaya mereka mengira buntalan kain itu berisi peta, sehingga mereka lalu rebutan sendiri?”

Siau-bun mengangguk, “Begitulah! Setelah mereka saling merebut, kita angkat kaki dengan lenggang kangkung, tapi kau….” dipandangnya anak muda itu dengan cemas.

“Jangan kuatir,” kata Thian-leng dengan tenang, “asal Sam-chiu Sin-kun benar-benar berada di balik pohon, tentu aku akan dapat melakukan rencana kita itu dengan berhasil!”

Siau-bun menyuruh anak muda itu segera bersiap-siap. Thian-leng menyisipkan kain ke lengan baju, menyiapkan pedang dan mengerahkan seluruh semangatnya. Begitu Siau-bun memberi perintah, segera anak muda itu mengenjot kakinya, bagaikan seekor burung alap-alap, ia melayang ke arah pohon!

Berebut peta!

Memang tepat sekali dugaan Siau-bun. Di belakang ketiga pohon besar tampak sesosok bayangan putih. Punggung orang itu menempel pada batang pohon.

Walaupun belum jelas apakah orang itu benar Sam-chiu Sin-kun yang mencuri petanya, Thian-leng segera melancarkan pukulan dahsyat dan serangan pedang secepat-cepatnya dan sedahsyat-dahsyatnya.

Sungguh aneh sekali. Orang itu tak menghindar maupun menangkis. Sebuah pukulan dan tiga tebasan pedang Thian- leng tepat jatuh di tubuhnya. Dan tanpa mengerang serta menggeliat, rubuhlah orang itu.

Walaupun heran, tetapi Thian-leng tiada tempo untuk memeriksa, Cepat-cepat ia mengangkat tubuh orang itu terus dibawa loncat ke tengah gundukan batu. Thian-leng telah menunaikan tugas sesuai rencana!

Tetapi pada saat Thian-leng menginjak batu dan hendak menggeledah, kejutnya bukan kepalang. Tiga sosok tubuh serempak bersuit dan mencelat keluar dari tiga penjuru. Siau-bun sudah memperhitungkan hal itu. Maka berbareng dengan tibanya orang-orang itu, iapun sudah menyerang dengan pukulan dan timpukan panah Tui-hong-kiong.

Ketiga orang itu rupanya tahu jelas dengan kelihayan Tui-hong-kiong. Mereka menyurut mundur dan mengebut dengan lengan bajunya. Adalah karena sedetik rintangan itu, cukuplah sudah bagi Thian-leng untuk menyelinap ke tengah gundukan karang.

Dalam pada itu Siau-bun sudah melolos pedang dan menyerang dua orang musuh. Pedang nona itu merupakan pasangan dari pedang Thian-leng. Walaupun pendek, tetapi sinarnya dapat memancar sampai beberapa meter. Juga ilmu pedang yang dimainkan adalah Toh-beng-sam-kiam. Hanya bedanya Siau-bun lebih unggul setingkat dalam peryakinan.

Dua orang yang menyerang dari samping kiri terdiri dari seorang lelaki dan seorang wanita. Umurnya di antara empat puluh tahun. Wajahnya buruk. Yang lelaki beralis tebal, mata besar mulut lebar. Yang perempuan daging mukanya menonjol macam setan malam.

Kedua orang itu mengebutkan lengan bajunya menampar pedang Siau-bun. Seketika Siau-bun merasa seperti ditiup angin dingin. Terpaksa ia menarik pulang pedangnya dan berputar menyerang lawan yang dari samping kanan. Orang itu seorang tua berjenggot kuning.

Orang tua itu sebenarnya hendak memburu Thian-leng , tetapi karena dihalangi Siau-bun terpaksa berhenti. Marahlah orang tua itu.

“Budak perempuan, apa kau bosan hidup?” serunya seraya menusukkan sebuah jari ke pedang si nona. Siau-bun terkejut. Tusukan jari itu hebatnya bukan kepalang, sampai mengeluarkan suara mendesing yang tajam sekali. Siau-bun hendak menarik pulang pedangnya, tetapi

tusukan jari orang tua berjenggot cepatnya bukan main. Tring….. ujung pedang mendering keras dan seketika itu Siau-bun rasakan lengan kanannya kesemutan. Pedangnya hampir mencelat ke udara. Kuda-kuda kakinya tergempur dan terhuyunglah ia sampai 3-4 langkah ke belakang.

Di sebelah belakang ia disambut oleh seorang paderi dan seorang imam. Si paderi membawa pedang dan si imam mencekal senjata sekop.

Siau-bun tak berdaya merintangi lagi. Lelaki dan wanita jelek tadipun sudah memburu Thian-leng. Thian-leng terancam bahaya!

Adegan itu berlangsung hanya dalam sekejap saja. Pada saat Thian-leng melemparkan tubuh tawanannya ke tengah gundukan batu, penyerang-penyerangnyapun sudah tiba. Thian-leng tercengang.

“Tolol, mana peta itu!” serentak Siau-bun meneriaki si anak muda.

Thianleng gelagapan. Tanpa berpikir panjang lagi, segera ia melemparkan bungkusan kain, “Adik Bun, lekas sambutlah!”

Si paderi dan si imam yang sudah tiba di muka Siau-bun tertegun. Adalah si imam yang lebih dulu tertawa gelak- gelak, terus mengenjot tubuhnya melayang di udara dan segera menyambar bungkusan kain. Begitu menyambuti bungkusan, ia melambung terus sampai setinggi-tingginya, bergeliatan dan meluncur sampai beberapa tombak jauhnya. Dia yakin peta Telaga zamrud sudah dikuasainya!

“Hai, to-heng, tunggulah!” si paderipun mengenjot tubuhnya ke udara mengejar si imam.

Si orang tua berjenggot kuning dan sepasang lelaki perempuan berwajah buruk tadi, sebenarnya sudah tiba di muka Thian-leng dan hendak menyambarnya. tetapi timbulnya perobahan yang mendadak itu membuat mereka kaget bukan kepalang.

Si orang tua jenggot kuning secepat kilat menarik pulang tangannya terus mencelat ke udara, “Coba saja kalau kau mampu lepas dari tangan Thian-san Siu-sin ( Dewa hewan dari gunung Thian-san)!”

Juga sepasang lelaki perempuan berwajah buruk yang agaknya seperti sepasang suami istri itu bergerak aneh sekali. Mereka tak menghiraukan Thian-leng lagi. Tiba-tiba si lelaki menyambar paha kiri si perempuan, terus dilemparkan ke udara seraya berseru, “Di hadapan Im-yang Song-sat, kalian berani main gila!”

Tubuh wanita itu meluncur laksana anak panah. Dalam sekejap saja sudah melampaui si orang tua berjenggot kuning, terus mengejar si paderi dan si imam.

Setelah melemparkan tubuh si perempuan, lelaki itupun melambung ke udara. Demikian timbullah kejar mengejar di antara lima orang. Dalam sekejap saja mereka sudah meluncur enam puluhan tombak jauhnya.

Sesaat kemudian terdengarlah suara letupan dari pukulan beradu, disusul dengan gemuruh pohon tumbang dan batu meledak pecah. Jelas bahwa mereka telah saling memukul.

Siau-bun cepat meloncat ke hadapan Thian-leng, “Lekas lari, mereka…..” Tetapi Thian-leng tetap tegak seperti patung.

“Hai bagaimana? Apakah peta itu. belum kau dapatkan?”

Thian-leng menghela napas panjang, “Silakan lihat sendiri!” Ia menunjuk pada tubuh tawanannya yang sudah terkapar tak bernyawa di antara gundukan batu.

Cepat Siau-bun memeriksa dan secepat itu pula ia termangu terkesima. Ternyata yang dibunuh Thian-leng itu bukan Sam-chiu Sin-kun, bukan pula manusia, melainkan orang-orangan dari batu dan dahan pohon, tetapi dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai seorang manusia, lengkap dengan panca indra dan jenggot panjang. Di tempat segelap itu, apalagi pada malam hari, orang tentu keliru menyangkanya sebagai manusia!

Dan yang istimewa lagi, orang-orangan itu dibalut dengan tali sutera yang ulet sekali. Maka tiga buah tusukan pedang Thian-leng dan sebuah pukulannya tadi tak berhasil menghancurkan orang-orangan itu!

“Rase tua yang licin sekali. Dia-benar-benar lihay mengatur siasat!” Siau-bun membanting-banting kaki. “Tetapi dari mana ia membuat orang-orangan ini? Apakah sebelumnya kau tak mengetahui?”

Siau-bun hanya menghela napas, “Setan tua itu memang licin sekali. Bodoh sekali kalau ia membuat orang-orangan itu dari lain tempat. eh, apakah kau tak memperhatikan kaki pohon itu? Di situlah ia mempersiapkan orang-

orangannya!” Memang di bawah ketiga pohon tua tadi tampak ranting dan dahan pohon berhamburan.

“Dia sudah tahu kalau dikejar orang, maka sengaja ia berhenti di sini. Diapun sudah memperhitungkan bahwa pengejar-pengejarnya itu tentu saling menunggu siapa yang berani bergerak dulu. Hal itu tentu memakan waktu cukup lama. Maka enak saja ia membuat orang-orangan itu. Karena kesemuanya itu sudah diperhitungkan lebih dahulu, maka sebelumnya iapun sudah membawa pakaian, rambut dan jenggot palsu!”

“Pengejar-pengejarnya itu hanya terpisah sepuluhan tombak jauhnya. Apakah ia tak takut dipergoki?”

“Sudah tentu ia menyembunyikan diri sedemikian rupa agar jangan sampai ketahuan kalau sedang membuat orang- orangan. Ilmu sakti apapun juga hanya terbatas mengetahui bahwa ia bersembunyi di balik pohon. Tetapi apa yang tengah dikerjakan tentu tak dapat diketahui. Setelah selesai, orang-orangan itu disandarkan ke batang pohon dan ia sendiri diam-diam sudah menyelinap pergi. Benar-benar hebat rase tua itu!”

Thian-leng heran dan menanyakan apakah ilmu Melihat-langit mendengar-bumi si nona tak dapat mengetahui kalau pencuri itu lolos.

“Ah, akupun kena dikelabui. Kukira orang-orangan itu adalah dia, maka yang kuperhatikan hanya itu saja,” Siau-bun menghela napas lagi.

Thian-leng meringis. Sekarang soal yang harus dipecahkan ialah ke manakah gerangan larinya penjahat itu? Menilik kelihayan Sam-chiu Sin-kun mencopet peta dan meloloskan diri dari kepungan , jelas bahwa orang itu memiliki otak luar biasa. Kalau ia berhasil mendapatkan kitab pusaka, tentulah dalam waktu singkat ia sudah berhasil mempelajari isinya. Apabila hal itu sampai terjadi, betapa besar bencana yang bakal menimpa dunia persilatan!

Pikiran Thian-leng melayang-layang dilanda badai kegelisahan. Sementara itu Siau-bun mondar-mandir memeriksa bekas-bekas di bawah pohon. Yang dapat diketemukan hanyalah hamburan ranting-ranting dan daun pohon, tetapi bekas telapak kaki orang sama sekali tak tampak.

Beberapa saat kemudian Thian-leng bertanya apakah Siau-bun mendengar sesuatu. Nona itu termenung sebentar lalu menggelengkan kepala, “Ah, mungkin bangsat tua itu sukar diketemukan lagi!”

“Ah, kitab pusaka It Bi siangjain tentu akan dimilikinya!” Thian-leng berteriak kaget.

“Habis?” Siau-bun mengangkat bahu, “dengan kecerdikannya bangsat tua itu tentu berhasil menemukan tempat kitab itu!”

Thian-leng membanting-banting kaki, “Celaka, kalau kitab pusaka itu didapat manusia semacam itu, berarti malapetaka bagi dunia persilatan!”

“Apa mau dikata, mungkin sudah suratan takdir,” sahut Siau-bun lesu, “mungkin dunia persilatan memang harus mengalami banjir darah!”

Thian-leng merasakan bumi yang dipijaknya seperti bergoyang. Ingin ia mati saja saat itu. Bayang-bayang Oh-se Gong-mo, Tui-hun Hui-mo dan tabib Sip U-jong bermunculan di kalbunya. Mereka menuding-nuding kepada Thian- leng, seolah hendak menuntut janji pemuda itu.

Pada lain saat terbayang pula budi kebaikan Hun-tiong Sin-mo memberinya obat dahulu, Toan-jong-jin memberi pedang dan ilmu pedang, pengangkatannya sebagai ketua partai Pengemis, serta budi kebaikan yang dilimpahkan si Jenggot perak dan cucu perempuannya Lu Bu-song….

Untuk membalas budi dan melaksanakan harapan mereka yang telah memberi kepercayaan kepadanya hanyalah disandarkan pada kitab pusaka. Tetapi.. ah

peta itu telah hilang. Dia adalah manusia yang berdosa. Berdosa karena menghancurkan harapan mereka. Ia harus mati untuk menebus dosa itu…..

“Ayo, kita pergi!” tiba-tiba Siau-bun menarik lengannya. “Apakah kau sudah mendapatkan ssesuatu jejak?”

“Tidak… tetapi kalau tidak pergi kita tentu terancam bahaya!”

“Kenapa?” Thian-leng masih bertanya.

“Suara pertempuran sudah berhenti, jelas bahwa mereka tentu sudah mengetahui bahwa buntalan kain itu bukan peta. Sebentar lagi mereka tentu kembali mencari kita……”

“Tetapi kita sendiri juga tertipu. Asal kita terus terang menceritakan. ”

“Mereka jago-jago sakti dan belum ketahuan dari golongan mana. Paling tidak mereka tetap akan menuntut karena kau telah menipunya. Jika bertempur, kita tentu menderita. Lebih baik kita lari dulu baru nanti kita mengatur rencana lagi!” 

“Baik, marilah. ,” baru Thian-leng mengucapkan itu, tiba-tiba terdengar suara bentakan bengis, “Huh, kalian mau

lari?”

Kejut Thian-leng dan Siau-bun bukan kepalang. Di empat penjuru telah mengepung kelima orang yang merebut kain tadi.

“Budak bernyali besar!” bentak si imam sembari menimpukkan kain kepada Thian-leng, “Kau berani menipu aku berarti bosan hidup! Kau belum mendengar siapa Tiang Pek cinjin?”

Thian-leng menyahut dengan angkuh, “Sekali-kali aku tak bermaksud menipumu. Apalagi aku sendiri juga kena ditipu orang!”

Ia menunjuk pada orang-orangan yang terkapar di tanah, serunya, “Silakan lihat!”

Tiang Pek cinjin melemparkan pandangan ke benda itu. Di luar dugaan ia berpaling kepada si paderi, “Bagaimana ini?”

Paderi Ko Bok juga seorang paderi ganas yang berpuluh tahun memendam diri. Ia menggaruk-garuk telinga, “Aneh, memang aneh. Kemana si tua Sam chiu Sin kun itu?”

Rupanya ia mempunyai hubungan baik dengan Tiang Pek cinjin.

Siau-bun tertawa getir, “Cuwi tentulah para cianpwe dari dunia persilatan. Sebaiknya segera melakukan pengejaran pada Sam chiu Sin-kun, jangan buang waktu!”

Thian-san Siu sin si tua jenggot kuning mendengus, “Hm, jangan kira kau dapat mengelabui kami lagi! Dengan tipu muslihatmu yang licik, kau telah menipu kita, kemudian di sini kau lakukan sulapan. Aku sudah tua, masakah kena diingusi seperti anak kecil!”

Sepasang suami isteri berwajah buruk segera ikut membentak, “Memang benar! Lekas serahkan peta itu, nanti kalian boleh bebas pergi!”

Turut campurnya kedua suami isteri yang bergelar Im Yang song-sat itu membuat si paderi dan si imam gusar sekali.

“Jika peta telaga zamrut sampai jatuh ke tangan kalian, aku paderi Ko Bok dan imam Tiang Pek segera akan bunuh diri saja!” bentak paderi Ko Bok.

“Mau bunuh diri atau tidak, itu urusanmu sendiri. Tetapi peta itu harus menjadi milik kami suami isteri!” sahut Im Yang song-sat.

“Mungkin keinginanmu itu sukar terlaksana!”

“Silakan saja kalau mau mencoba!” sahut Im Yang song-sat. Ketegangan merebak. Kedua pihak saling bersiap.

“Nanti dulu!” tiba-tiba si jenggot kuning Thian-san Siu-sin mencegah.

“Jenggot kuning, tak usah kau campur mulut, kau tak berhak ikut menginginkan peta!” bentak Im Yang song-sat.

Juga paderi Ko Bok mengenyahkan jenggot kuning, “Menyingkir sajalah kau ini. Atau akan kuremukkan dulu tulang- belulangmu yang bangkotan itu!”

Didamprat kedua belah pihak, Thian-san Siu-sin tertawa sinis, “Kalian begitu congkak terlalu tak memandang mata padaku Thian-san Siu-sin. Aku bukan seorang pengecut, tetapi……” sejenak ia memandang Thian-leng, lalu berseru pula, “Coba jawab, di mana peta itu sekarang?”

“Tentu pada budak itu!” sahut Im Yang song-sat.

Thian-san Siu-sin tertawa, “Kalau begitu mengapa tak tunggu setelah peta ketemu baru kalian bertempur lagi?”

Paderi Ko Bok dan imam Tiang Pek saling tukar isyarat mata. Ko Bok berseru, “Baik, kami setuju dengan usulmu itu!”

“Begitu peta diketemukan, segera kita rundingkan cara pertempuran. Siapa yang menang paling akhir, dialah yang berhak memiliki peta itu!” imam Tiang Pek menambah.

“Baik, kami suami isteri yang menggeledah budak itu!” tiba-tiba Im Yang song-sat mencelat ke arah Thian-leng. Siau-bun yang tengah memutar otak mencari akal terkejut sekali. Cepat ia menimpukkan dua buah tui-hong-kiong.

Tetapi Im Yang song-sat sudah melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam. Mereka tak mengacuhkan tui-hong-kiong

si nona dan tetap hendak mencengkeram Thian-leng. Tring.... tring. tui-hong-kiong berdenting mencelat ke udara. Kejut Thian-leng bukan kepalang. Segera ia memukul

dengan tangan kiri dan menyabet dengan pedang di tangan kanan. Seluruh tenaga ditumpahkan pada serangan itu. Terdengar letupan dahsyat dan tiba-tiba terjadilah peristiwa yang mengejutkan….

Pemilik Peta

Thian-leng sudah nekad. Bahwa timpukan panah Siau-bun dapat dipentalkan begitu mudah, sadarlah ia bahwa kedua suami isteri itu jago-jago sakti yang luar biasa. Iapun menyadari bahwa serangannya itu mungkin akan mengalami nasib serupa. Tetapi biarlah… Daripada mati konyol, lebih baik ia hancur lebur melawan….

Tetapi di luar dugaan, timbul suatu hal yang menggemparkan. Terdengar letupan keras, disusul dengan mencelatnya kedua suami isteri jahat itu sampai beberapa meter jauhnya.

Thian-leng terkejut. Jelas ia merasa bahwa ujung pedangnya belum menyentuh tubuh lawan. Dan jelas bahwa tadi ada serangkum tenaga dahsyat meniup sepasang suami isteri itu. Tetapi ia tak tahu siapa dan tenaga apa yang sedemikian luar biasa itu.

Bahkan karena terjadi begitu mendadak serta secepat kilat, Thian-san Siu sin, Ko Bok dan Tiang Pek pun tak tahu apa yang telah terjadi. Momok-momok itu terlongong-longong terkesima.

Dan kejut mereka makin menjadi, ketika tahu-tahu di belakang Thian-leng muncul seorang tua dengan dandanan seperti pertapa.

Rambut dan jenggotnya yang menjulai panjang berwarna putih seperti salju. Jubahnya berwarna kuning menyentuh sampai ke tanah. Kemunculan pertapa itu benar-benar seperti dewa turun ke bumi.

Terjungkalnya kedua suami isteri Im Yang song-sat tadi hanyalah karena dikebut dengan lengan jubahnya. Dan kedatangannya yang sama sekali tak diketahui oleh jago-jago yang berada di situ benar-benar menggemparkan sekali.

Im Yang song-sat babak belur. Untung mereka tinggi kepandaiannya. Secepat itupun sudah loncat berdiri lagi. Tetapi mereka masih terlongong-longong terkesima. Mereka tak mengerti mengapa tahu-tahu bisa mencelat jatuh bangun….

Pertapa jubah kuning itu tertawa meloroh, “Siapa lagi yang tidak terima?”

Sekalian orang terbeliak. Sesaat kemudian paderi Ko Bok mengucapkan salam keagamaan, “Omitohud! Siapakah kau? Apakah hendak ikut campur dalam urusan ini?”

“Aku hanya perlu meminta keterangan, kalian terima atau tidak?” pertapa jubah kuning itu menyahut lain.

Merahlah mata paderi Ko Bok mendapat hinaan semacam itu, bentaknya, ”Selama keluar dari pertapaan, belum pernah aku menyerah pada orang lain.”

Kata-kata itu ditutup dengan tusukan ujung tongkatnya kepada si pertapa jubah kuning. Ia insyaf bahwa pertapa itu bukan tokoh sembarangan, maka serangannyapun harus yang istimewa. Tusukan ujung tongkat disaluri dengan tenaga dalam penuh!

Tetapi ia hanya memperhitungkan kekuatan sendiri. Tadi kekalahan Im Yang song-sat adalah karena mereka belum bersiap dan tak menduga atas serangan gelap tersebut. Tetapi serangannya dengan jurus Ting-hong-koan-jit ( bianglala menutup mentari) ini, telah dilampiri dengan tenaga dalam dahsyat dan dilancarkan dengan keras. Sekali ia dapat menjatuhkan pertapa itu, dapatlah ia menguasai semua tokoh-tokoh di situ dan peta itupun tentu menjadi miliknya!

Ujung tongkat sudah meluncur ke arah dada si pertapa. tetapi anehnya pertapa itu tetap diam saja, seolah-olah membiarkan ujung tongkat menusuk dadanya. Melihat itu diam-diam paderi Ko Bok girang sekali. Ia melipat gandakan saluran tenaga dalamnya.

“Hidung kerbau, serahkanlah jiwamu!” serunya dengan garang. Tetapi belum habis kata-katanya ia sudah mendelik kaget.

Ujung tongkat yang tepat mengenai dada si pertapa, tiba-tiba menemui tempat kosong. Padahal jelas dilihatnya pertapa itu tadi tetap tegak berdiri di hadapannya. Dan karena menusuk angin, paderi Ko Bok terdorong ke muka. Buru-buru ia hendak membalik tubuh. Tetapi bukan main kagetnya ketika dilihatnya pertapa itu tegak lagi di hadapannya dan mendorongkan tangannya.

“Ilmu siluman….!” Ko Bok memekik kaget. Tetapi ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tubuhnya mencelat ke udara. Dan serupa dengan Im Yang song-sat, iapun terbanting sampai dua tombak jauhnya!

Bantingan itu jauh lebih hebat dari Im Yang song-sat. Kalau suami isteri Im Yang song-sat hanya babak belur, paderi Ko Bok harus meringis seperti monyet makan terasi. Mata berkunang-kunang, kepala pusing tujuh keliling dan tulang- tulang seperti remuk-redam.

Masih untung pertapa jubah kuning itu tak mau menggunakan tenaga besar, sehingga Ko Bok terhindar dari luka dalam. Ia terpaksa bangun perlahan-lahan.

Pertapa tua itu tertawa tergelak-gelak. Tiba-tiba ia melesat ke tempat Thian-san Siu-sin, tegurnya, “Mungkin kau agak penasara?”

Thian-san Siu-sin melongo dan menyahut tergagap, “Aku...” belum sempat ia melanjutkan jawaban, tiba-tiba pertapa itu mengebutkan lengan jubahnya, bret….. Thian-san Siu-sin terkejut, cepat-cepat ia menangkis dengan tangan kanan. Uh…..kebutan lengan jubah pertapa itu menerbitkan tenaga luar biasa. Bukan saja tangkisan Thian-san Siu-sin lenyap tenaganya, pun tubuh jago Thian-san itu mencelat terbanting ke tanah!

Thian-leng dan Siau-bun tercengang terkesima. hampir mereka tak percaya apa yang disaksikannya.

Im Yang song-sat, paderi Ko Bok dan Thian-san Siu-sin adalah tokoh-tokoh persilatan yang sakti. Kesaktian mereka hampir menyamai Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak. Tetapi berhadapan dengan pertapa jubah kuning, mereka diperlakukan seperti anak-anak kecil saja. Sungguh ajaib sekali!

Setelah memberi hajaran kepada ke empat orang itu, pertapa baju kuning itu segera menghampiri Tiang-Pek cinjin. Paderi itu tegak berdiri seperti patung. Nyalinya sudah hancur berantakan ketika pertapa itu mendatanginya.

Pertapa itu tertawa tergelak-gelak, “ Kau dan aku sama-sama murid Sam Ceng. Perlukah kita mengukur kepandaian?” Tiang Pek cinjin gelagapan. Serunya tergugu, “ Tidak…… tidak usahlah. Pe…..ta

Telaga zamrud silakan kau ambil…….”

“Kau pandai melihat gelagat!” pertapa itu tertawa. Tiba-tiba ia ajukan langkah seraya berseru kepada Thian-leng, “Ikut aku!”

Thian-leng tak kenal siapa pertapa ajaib itu dan apakah maksud kedatangannya. Jika pertapa itu juga bertujuan merebut peta telaga zamrud, habislah segala harapannya. Ia tegak termangu-mangu.

“Mari kita pergi!” tiba-tiba Siau-bun menggunakan ilmu menyusup suara. Dan sekali melesat nona itu sudah mendahului.

Thian-leng tertegun. Buru-buru ia menyahut dengan ilmu menyusup suara, “Jika pertapa itu bermaksud buruk, jangan harap kita dapat lolos!”

“Tetapi bagaimanapun tetap lebih baik daripada kita menunggu kematian di sini!”

Thian-leng anggap kata-kata si nona itu tepat, peristiwa saat itu tentu akan menambah kebencian Im Yang song-sat dan lain-lain kepadanya. Begitu pertapa itu pergi, mereka tentu akan menumpahkan kemarahan kepadanya. Apalagi tadi jelas didengarnya pertapa itu mengajaknya pergi. Tanpa bersangsi lagi, iapun segera mengikuti Siau-bun.

Im Yang song-sat, Thian-san Siu-sin, Ko Bok dan Tiang Pek cinjin tak berani berkutik merintangi Thian-leng. Begitu pertapa itu sudah lenyap dari pandangan mata, barulah kelima tokoh itu saling berpandangan. Kemudian merekapun melangkah ke dalam lembah.

Lembah itu penuh dengan jalan berliku-liku yang panjang. Diselimuti dengan kabut malam yang tebal, sukar mengetahui arah yang harus dituju. Kelima tokoh itu tak mengerti di mana mereka berada.

Pertapa jubah kuning itu berjalan dengan melenggang, tetapi cepatnya bukan main. Thian-leng dan Siau-bun mengerahkan seluruh kepandaiannya berjalan cepat barulah mereka dapat mengejar pertapa itu. Kejut kedua anak muda itu tak terperikan.

Kira-kira dua li jauhnya, tiba-tiba dari kejauhan tampak selarik sinar lampu dan pertapa itupun berseru, “Sudah sampai!”

Sekonyong-konyong ia enjot tubuhnya melambung dan melayang seperti seekor burung garuda. Hanya dalam dua tiga lompatan, pertapa itu sudah berada pada jarak tiga empat tombak jauhnya.

“Apakah kita berjumpa dengan dewa?” tanya Thian-leng dengan heran.

“Jangan melantur,” sahut Siau-bun, “cepatkan langkah mengejarnya, tentu tahu jelas tentang dirinya!” Thian-leng dan Siau-bun segera percepat larinya.

Dalam sekejap saja mereka sudah mencapai tempat yang berlampu itu. Semula Thian-leng kira tempat itu tentu

sebuah biara. Kemungkinan tentulah tempat tinggal pertapa jubah kuning. Tetapi ternyata tempat itu merupakan sebuah gubuk kecil. Pintunya terbuka lebar. Di tengah ruangan terdapat sebuah lampu, selembar permadani dan pertapa itu sudah tampak duduk bersila di atasnya.

Begitu masuk, Thian-leng dan Siau-bun segera menghaturkan terima kasih kepadanya. “Terima kasih atas budi pertolongan to-tiang. Aku…..”

Pertapa itu tertawa tergelak-gelak. Sepasang matanya dipentang lebar-lebar. Dua larik sinar tajam segera tertuju pada kedua anak muda itu. Akhirnya pertapa itu melekatkan pandangannya pada Thian-leng, “Apakah peta itu kau terima dari Sip U jong?” tegurnya.

Thian-leng tertegun, ujarnya, “Benar, tetapi peta itu dicopet orang, tak berada padaku lagi!”

Pertapa itu memandang tajam. Sekujur tubuh Thian-leng dijelajahinya. Beberapa saat kemudian terdengar ia berbicara seorang diri, “Ah, Sip tua itu benar-benar jeli matanya!”

Thian-leng tidak mengerti apa yang dikatakan si pertapa. Saking tak tahan ia memberanikan diri bertanya, “Mohon to-tiang suka memberitahukan nama gelaran to-tiang. Terhadap peta itu…….” Ia tak melanjutkan kata-katanya.

Kedatangan pertapa itu terang dapat menyelamatkan jiwanya dari ancaman kelima pengejarnya. Mengapa ia harus menanyakan lagi?

Perta itu hanya ganda tertawa dan menyahut seenaknya, “Aku It Bi…..”

Thian-leng dan Siau-bun seperti mendengar petir menyambar di tengah hari, serunya, “Jadi to-tiang ini It Bi siangjin…..!”

(bersambung ke jilid 19 )
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar