Panji Tengkorak Darah Jilid 16

Jilid 16 .

Belum selesai ucapannya, tiba-tiba kelima sosok bayangan tadi melesat keluar dari hutan. rupanya mereka bertemu rintangan.

“Sahabat manakah yang di depan itu?” salah seorang berseru dengan nada berat.

Terdengar suara sahutan disertai tawa dingin, “Mengapa bukan kau yang melapor dirimu terlebih dahulu?”

Kelima orang itu terbeliak. Orang yang berseru tadi kembali berseru pula, “Kami adalah orang Sin-bu-kiong, mohon tanya siapa saudara?”

“Thiat-hiat-bun!” sahut suara itu. 

Kelima orang itu mengeluh kaget dan menyurut langkah, “Thiat-hiat-bun sudah datang?”

Sebagai jawaban, sebuah pukulan dilayangkan. Kelima orang itu sama sekali tak menyangka. Mereka menangkis kalang kabut, namun tetap harus terhuyung-huyung beberapa langkah. Pukulan orang Thiat-hiat-bun itu keras sekali.

“Ha,ha, ha,, murid-murid Sin-bu-kiong hanya gentong kosong semua. Masakah dengan kepandaian begitu berani unjuk muka di sini?” orang Thiat-hiat-bun itu tertawa mengejek.

Thian-leng dan Siau-bun terkejut girang. Buru-buru mereka mencuri lihat. Di sebelah sana tampak kelima orang Sin- bu-kiong itu tengah berhadapan dengan seorang lawan yang menyebut dirinya Thiat-hiat-bun. Dia seorang tua dalam jubah pertapaan. Sikapnya berwibawa.

Tiba-tiba dari dalam hutan melesat keluar lagi tiga orang yang menggabung di sebelah orang tua itu. Salah seorang segera menegur rombongan orang Sin-bu-kiong.” Di mana Poh-ih-siu Li ciangbun sekarang?”

Setelah menenangkan diri, kelima orang Sin-bu-kiong itu segera menyahut. “Sayang kalian datang terlambat. Dia sudah menyerah!”

Marah sekali keempat orang Thiat-hiat-bun itu. Serempak mereka membentak seraya menghantam, “Kalau begitu kamu harus mengganti jiwa!”

Seorang Thiat-hiat-bun saja sudah cukup ngeri, apalagi empat orang. Kelima orang Sin-bu-kiong mundur seraya memberi isyarat tangan, “Tahan dulu!”

Keempat orang Thiat-hiat-bun itu hentikan pukulannya, “Lekas bilang!” “Mohon tanya nama saudara-saudara?”

Orang Thiat-hiat-bun tertawa, “Pernahkah kamu dengar tentang Thiat-hiat Su-kiat?”

“Thiat-hiat Su-kiat?” kelima orang Sin-bu-kiong menjerit kaget dan buru-buru hendak melarikan diri. Thiat-hiat Su- kiat artinya Empat pahlawan partai Thiat-hiat-bun.

Tetapi Thiat-hiat Su-kiat bergerak secepat kilat. Terdengar deru angin bagai gunung roboh menyambar kelima orang itu. Orang Sin-bu-kiong pun terpaksa mengadakan perlawan. Mereka sebenarnya juga jago kelas satu dalam istana Sin-bu-kiong. Tetapi terhadap keempat Su-kiat, jauhlah kepandaiannya. Dalam waktu singkat, kelima orang Sin-bu- kiong itupun tercancam maut.

Tiba-tiba sesosok bayangan merah melesat. Seorang tua bertubuh kecil kurus melayang dari udara dan menangkis serangan keempat Su-kiat. Bum….terdengarlah letusan dahsyat dan debu berhamburan….

Keempat Su-kiat itu tersentak kaget. Mereka dapatkan selain luar biasa kuatnya, tenaga pukulan orang tua pendek itupun mengandung tenaga Imhan ( dingin ), yang menusuk sampai ke tulang, sehingga menyurutkan tenaga keempat Su-kiat sampai beberapa bagian. Penyurutan tenaga itu membuat kuda-kuda kaki mereka tergempur mundur beberapa langkah.

Pendatang baru itu bukan lain Sin-bu Te-kun sendiri. Tetapi dia juga tak terlepas dari rasa kaget. Sejak mempelajari ilmu kesaktian dari kitab Im-hu-po-tian, ia anggap dirinya tiada yang menandingi lagi. Tetapi diam-diam ia masih kuatir terhadap partai Thiat-hiat-bun.

Peristiwa si jenggot Perak Lu Liang-ong mengacau istana Sin-bu-kiong belum cukup meyakinkan Sin-bu Te-kun tentang kepandaian orang Thiat-hiat-bun. Dia belum bertempur resmi dengan ketua Thiat-hiat-bun. Bahwa ternyata keempat Thiat-hiat Su-kiat yang tentunya lebih rendah kepandaiannya dari ketua Thiat-hiat-bun, mampu menahan pukulannya dan bahkan adu pukulan itu membuat darahnya bergolak-golak, benar-benar membuat Sin-bu Te-kun terkejut bukan kepalang.

Seketika berkobarlah nafsu membunuh dalam hatinya. Diam-diam ia mengerahkan tenaga dalam dan berdiri tegak. Begitu keempat Su-kiat maju menyerang, hendak ia sambut dengan pukulan Hiam-im-ciang yang ganas sekali.

Thiat-hiat Su-kiat pun termangu heran. Mereka diperintahkan oleh ketua Thiat-hiat-bun untuk menolong Lu Bu-song yang ditawan dalam penjara istana Sin-bu-kiong. Memang telah diketahui bahwa istana Sin-bu-kiong itu penuh dengan naga dan harimau, juga ketua Sin-bu-kiong itu memiliki kepandaian yang tiada taranya. Tetapi mereka tak sampai membayangkan kalau raja Sin-bu-kiong itu ternyata sedemikian saktinya. Tenaga pukulan mereka berempat dapat ditolak mundur olehnya.

Namun keempat Su-kiat itu juga tokoh-tokoh kenamaan. Setelah saling memberi isyarat, mereka serempak maju memukul.

“Tahan!” sekonyong-konyong terdengar suara bentakan dari udara. oo000oo

Bahasa Singa dan Naga

Bentakan itu bagaikan petir menyambar pecah anak telinga. Sin-bu Te-kun terkejut juga. Sedang keempat Su-kiat mundur beberapa langkah.

Seorang tua bertubuh kokoh kekar dengan jenggot berkelap-kelip seperti perak melayang turun dari udara. Dia tegak di tengah-tengah kedua pihak yang hendak bertempur.

Girang Thian-leng bukan kepalang. Itulah si Jenggot Perak Lu Liang-ong , ketua Thiat-hiat-bun.

“Adu tenaga yang tadi sudah cukup!” jago Thiat-hiat-bun itu tertawa meloroh. Ia mengurut-urut jenggot dan menatap Sin-bu Te-kun. “Cukuplah kiranya kau menikmati rasanya orang Thiat-hiat-bun!”

Wajah Sin-bu Te-kun berobah gelap, serunya dengan geram. “Lu tua, jangan terlalu menghina orang!”

Ia menengadah sambil bersuit panjang. Nadanya aneh dan seram. Begitu berhenti bersuit, tiba-tiba muncullah serombongan orang Sin-bu-kiong, antara lain Co sucia dan Yu sucia. Kepala Cong houhwat yang baru dan berpuluh- puluh pengawal baju ungu. Mereka berdiri di belakang Sin-bu Te-kun.

“Aha, apakah semua kochiu Sin-bu-kiong sudah lengkap?” Jenggot perak tertawa.

Sahut Sin-bu Te-kun sinis, “Lengkap atau tidak, tetapi rasanya cukup sudah untuk menghadapi Thiat-hiat-bun!” Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa meloroh, “Kukuatir kau salah hitung……” tiba-tiba ia bertepuk tangan.

Seketika dari dalam hutan samping berbondong-bondong muncul puluhan orang Thiat-hiat-bun. Di antaranya terdapat juga ke tiga puluh enam Thian-kong dan ke tujuh puluh dua Te-sat dari Thiat-hiat-bun.

Thian-kong dan Te-sat merupakan kedudukan yang tinggi dalam partai Thiat-hiat-bun. Ke tiga puluh enam Thian- kong itu mengenakan pakaian ringkas warna biru dan ke tujuh puluh dua tokoh Te-sat berpakaian kuning. Masing- masing bersabuk kong-pian atau ruyung emas seperti cemeti.

Sin-bu Te-kun terbelalak, serunya, ”Lu tua, kiranya kau merencanakan hendak menancapkan kaki di Tiong-goan !”

Jenggot perak tertawa datar. “Daerah di Lam-hong sudah cukup luas, perlu apa aku menginginkan daerah Tiong-goan lagi…”

“Kalau tidak bermaksud begitu, mengapa jauh-jauh datang kemari dengan membawa seluruh anak buahmu? Bukankah hendak memusuhi pihak Sin-bu-kiong?” tukas Sin-bu Te-kun.

Jenggot perak tertawa nyaring, ”Telah kukatakan bahwa aku ingin pesiar menikmati pemandangan alam di sini. Kalau kau katakan memusuhi pihak Sin-bu-kiong, mungkin itu hanya kebetulan saja….”

“Bagaimana kau katakan kebetulan saja?”

“Kebetulan karena mengetahui perbuatan-perbuatan Sin-bu-kiong yang melampaui batas hendak menguasai dunia persilatan. Aku si orang tua merasa gatal. Inilah yang kumaksud dengan secara kebetulan itu!”

Rambut Sin-bu Te-kun menjinggrak. Mulutnya memekik makian, “Lu tua yang licik! Terang kau hendak menancapkan kaki di Tiong-goan, sebaliknya malah menuduh pihakku yang salah!” Ia berhenti sejenak, serunya pula, “Bukankah kau hendak ke Tiam-jong-san? Mengapa datang ke Thay-heng-san sini?”

Jenggot perak tertawa keras, “Pertanyaan itu seharusnya kuajukan kepadamu. Bukankah kau hendak membalas sakit hati ke Tiam-jong-san? Mengapa kau datang kemari?” 

“Aku mengejar jejak ketua Tiam-jong-pay Li Cu-liong. Kini dia sudah kutawan dan hendak kutuntut dosanya mengapa berani membunuh orang Sin-bu-kiong!”

Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa tenang. “Akupun kemari karena hendak membebaskan ketua Tiam-jong-pay itu. Jika tak kau bebaskan, jangan harap ada seorangpun Sin-bu-kiong yang dapat meninggalkan tempat ini!”

Tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa sekeras-kerasnya. “Lu tua, terlebih dahulu aku hendak minta penjelasan padamu!” “Silakan!”

“Ketua Tiam-jong-pay Li Cu-liong itu pernah apa dengan engkau? Mengapa kau begitu ngotot hendak melindunginya?”

Jenggot perak tertegun. Sampai beberapa saat barulah ia menjawab. “Telah kukatakan tadi bahwa aku bertindak semata-mata demi keadilan. Apalagi aku hendak meminjam markas Tiam-jong-san untuk menjamu sekalian orang gagah di Tiong-goan. Sudah tentu tak dapat kubiarkan tuan rumah dicelakai orang lain!”

“Huh, belangmu telah kuketahui sejak semula. Perlukah kukatakan sejelas-jelasnya?” ejek Sin-bu Te-kun tajam. Lu Liang-ong tertegun. Ditatapnya Sin-bu Te-kun tajam-tajam.

Sin-bu Te-kun melanjutkan ucapannya dengan riang, “Siapakah ketua Tiam-jong-pay itu? Oh, tak lain tak bukan anak asuh Thiat-hiat-bun, putera angkat Lu Liang-ong ketua Thiat-hiat-bun! Tiga tahun yang lalu ia diselundupkan ke Tiong-goan, masuk ke dalam partai Tiam-jong-pay. Setahun lalu berhasillah dia diangkat sebagai ketua Tiam-jong- pay. Benar tidak?”

Jenggot perak mengangguk, “Apa yang benar takkan kusangkal. Kau memiliki sumber berita yang hebat!”

Sin-bu Te-kun tertawa gembira,”Pengakuanmu merupakan bukti yang tak dapat dibantah lagi. Lebih dahulu kau suruh muridmu merebut kedudukan salah sebuah partai besar Tiong-goan, kemudian menjadikan Tiam-jong-san sebagai markas untuk menguasai dunia persilatan Tiong-goan. Jelas bukan?”

Di luar dugaan Jenggot Perak tertawa dan menghela napas longgar. Diam-diam ia girang karena yang diketahui Sin- bu Te-kun hanyalah sampai di situ saja.

“Apakah tuduhanmu itu benar atau tidak, aku takkan mewajibkan diriku untuk membantahnya….” ia berhenti sejenak lalu berkata pula. “Sekarang kita selesaikan dulu persoalan ini. Jika kau mau percaya padaku, hapuslah permusuhan dengan persahabatan. Kelak dalam perjamuan para orang gagah di Tiam-jong-pay, akan kubantu engkau untuk mencapai kedudukan ketua dunia persilatan Tionggoan!”

“Ooo, Lu tua, betapapun lincah lidahmu, tak nanti aku jatuh ke dalam perrangkapmu lagi!” dengus Sin-bu Te-kun. “Jadi kau menghendaki kekerasan?”

“Sebenarnya tidak!” sahut Sin-bu Te-kun, “asal kau segera ajak anak buahmu pulang ke Lam-hong, akupun takkan memusuhi Thiat-hiat-bun lagi!”

“Jika aku keberatan?”

“Terpaksa kita selesaikan dengan pedang!”

Jenggot perak tertegun. Tiba-tiba ia tertawa, “Oho, makanya kau begitu bernyali besar. Kiranya sahabatmu datang juga!”

Berbareng dengan ucapan itu muncullah serombongan orang. Pemimpinnya seorang bungkuk, kakinya pincang dan lengan buntung, tetapi gerakannya lincah sekali. Ia tertawa mengekeh tak jauh dari tempat Sin-bu Te-kun.

Pemilik Hek Gak, Kongsun Bu-wi! Dia datang bersama puluhan su-cia Hek Gak. tetapi yang paling mengejutkan orang ialah ikut sertanya Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi!

Di tempat persembunyiannya, Thian-leng tegang sekali. Ia tahu sampai di mana kesaktian Bok Sam-pi. Ngeri ia membayangkan bagaimana akibatnya kalau Jenggot Perak Lu Liang-ong sampai kena diadu dengan Bok Sam-pi… 

Ketua Hek Gak tertawa tajam, “Maaf, maaf, aku datang terlambat!”

“Kalau mataku si orang tua ini tak salah lihat, kaulah yang datang paling pagi di sini. Hanya saja kau tak mau unjuk diri, melainkan bersembunyi dulu.” Jenggot perak tertawa.

Merah padam wajah ketua Hek Gak, serunya, ”Jangan jual ketuaanmu di sini! Setiap berkata tentu tak lupa menyebut ‘aku si orang tua’! Kau hendak menakut-nakuti atau menjual lagak?”

Jenggot perak tetap tertawa, ”Dalam hal umur sebenarnya kau lebih tua dari aku. Tetapi dalam sejarah hidupku, aku tak pernah jatuh di tangan orang. Tak seperti kau seorang tua yang sudah hidup tujuh puluhan tahun masih tak berani unjuk muka!”

Marah ketua Hek Gak bukan kepalang. Sampai rambutnya jigrak, mata mendelik. “Seoarng lelaki tak mau bergerak sembarangan. Akan menunggu sampai saatnya baru bertindak. Asal dapat mencuci bersih hinaan yang lampau, tetap berharga sebagai insan persilatan sejati….!”

“Sayang dalam kehidupanmu sekarang kau tak sempat mencuci hinaan itu!” dengus jenggot Perak. “Cong houhwat!” teriak ketua Hek Gak serentak.

“Ya, aku di sini!” Bok Sam-pi tampil menyahut.

Jenggot perak terkejut melihat perawakan orang yang gendut perutnya tapi tangkas sekali. “Hajar orang tua yang tak tahu adat itu!” teriak ketua Hek Gak.

“Hamba menuruuut…….,” Bok Sam-pi mengucapkan kata’menurut’ itu dengan panjang karena matanya memandang wajah Jenggot Perak tajam-tajam. Sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba sudah berganti nada.

“Murid!” serunya.

Ketua Hek Gak tercengang, tegurnya, “Hai, mengapa kau memanggilku begitu?” Bok Sam-pi mendengus, “Mengapa tak boleh?”

“Panggilan murid dan guru hanya apabila kita berdua saja. Atau di kala sedang mengajar kepandaian. Saat ini aku sebagai ketua hek Gak yang sedang ngeluruk keluar. Yang ada hanyalah antara pemimpin dan anak buah. Kaupun harus berbahasa begitu!” sahut ketua Hek Gak.

Bok Sam-pi kurang senang, “Persetan, di dalam dan di luar Hek Gak apa bedanya?”

Ketua Hek Gak Kongsun Bu-wi menghela napas. “Kejayaan Hek Gak memang tergantung tenaga suhu, tetapi…..” “Murid!” Bok Sam-pi berteriak menukas.

“Eh, suhu hendak memberi pesan apa?” terpaksa ketua Hek Gak mengalah.

Bok Sam-pi menuding pada Jenggot Perak, serunya, “Orang tua itu berwajah terang. Kita harus bersahabat dengannya, mengapa kau hendak memusuhi?”

Kongsun Bu-wi mengerutkan dahi, “Tetapi hati orang siapa tahu, suhu. ”

“Masakah suhu bisa salah lihat? Kau berani membantah perintahku?” Bok Sam-pi memekik.

“Ya, ya, murid menurut.” ketua Hek gak tak berdaya lagi. Ia memberi isyarat kepada Tokko Sing yang berdiri di belakang, serunya, ”Sudah saatnya suhu minum arak. Apakah minumannya dibawa?”

Tokko Sing segera mengatakan bahwa hidangan untuk guru besar Bok Sam-pi sudah disiapkan.

“Bagus, aku hendak minum tiga cawan dulu, baru istirahat sebentar. Urusan di sini kuserahkan padamu!” mendengar arak, selera Bok Sam-pi pun berontak. Dengan khidmat ketua Hek Gak mengiyakan. Tokko Sing pun segera mengiring Bok Sam-pi untuk minum arak. Begitu jago tua itu angkat kaki, ketua Hek Gak segera mengambil sebutir pil hitam dan menyerahkan pada salah seorang pengawal. Ia membisiki beberapa patah kata. Pengawal itu mengangguk dan segera pergi.

Selama itu Jenggot perak hanya diam saja mengawasi gerak-gerik kedua suhu dan murid itu. Setelah Bok Sam-pi pergi, barulah ia tertawa gelak-gelak, “Apakah artinya pertunjukan ini?”

Wajah ketua Hek Gak memerah, “Jangan banyak bicara, sebentar kau tentu merasakan sendiri!” “Bagaimana andaikata pil hitammu itu tak manjur?” Jenggot perak tertawa mengolok.

Berobahlah seketika wajah ketua Hek Gak , “Pil itu adalah penguat tubuh. Setiap minum arak tentu dicampurkan. Jangan mengoceh tak keruan!” bentaknya murka.

“Aneh, aneh,” Jenggot perak tertawa sinis, “aku toh tidak mengatakan pil itu obat bius atau obat kuat. Mengapa kau kalang kabut memberikan penjelasan…. “ ia tertawa meloroh, “siapa berbuat tentu merasa. Kira-kira tentu begitulah keadaanmu!”

Menyala mata ketua Hek Gak. rupanya ia hendak menyerang. Namun si Jenggot Perak tetap acuh tak acuh. Sebaliknya para anggota rombongannya, keempat Thiat-hiat Su-kiat dan ke tiga puluh enam Thian-kong serta ke tujuh puluh dua Te-sat sudah mengepal-ngepal tinju siap hendak menyerang.

Suasana menjadi tegang!

Tiba-tiba ketua Hek Gak mendapat pikiran. Ia berpaling ke arah Sin-bu Te-kun dan memberi anggukan kepala. “Ah, sahabatku, sudah lama kita tak berjumpa!”

Sin-bu Te-kun yang sejak tadi hanya mengawasi ramai-rami itu balas tertawa, “Berpuluh tahun tak bertemu, tentulah kepandaian saudara makin sakti.”

“Ah, mana dapat menyamai Te-kun….” ketua Hek Gak merendah.

“Aha, tak usah main sandiwara, ”Jenggot perak menyeletuk tertawa, “rasanya memang sudah ada sekongkolan di antara kalian berdua.”

“Lu tua, jangan memfitnah orang!” bentak Sin-bu Te-kun.

Lu Liang-ong mengurut-urut jenggotnya yang putih mengkilap. Ia tertawa riang, “Sin-bu-kiong dan Hek Gak masing- masing mempunyai cita-cita hendak mencaplok dunia persilatan. Kalau dua ekor srigala saling berebut tulang, akhirnya tentu cakar-cakaran sendiri!”

“Tua bangka Lu, jangan mengadu domba!” bentak ketua Hek Gak, “Jangan bermimpi kau dapat menipu kami…. ” ia berpaling ke arah Sin-bu Te-kun. “Thiat-hiat-bun berani masuk ke wilayah Tiong-goan, ini suatu penghinaan bagi kita. Tidakkah kita bersatu mengusirnya?”

Sin-bu Te-kun mengangguk, “Baik, silakan Kongsun-heng menghajarnya, aku bersumpah membantu sepenuh tenaga. Malam ini jangan sampai ada seorang Thiat-hiat-bun yang lolos… !”

“Bagus, bagus!” Jenggot perak tertawa gelak-gelak, “ maju keroyokan atau satu lawan satu, Thiat-hiat-bun siap melayani. Tetapi sayang tidak semudah itu kawan….. !”

ooo000ooo

Barisan darah besi.

Sin-bu Te-kun mengekeh tertawa, “Apa ? Pihakku tak mampu melawan?”

Jenggot perak tertawa, “Mampu atau tidak soal kedua. Hanya dikuatirkan tak ada orang yang berani bertempur!”

Kembali kepala Hek Gak memperdengarkan tertawa sinis, “Aku tak percaya Thiat-hiat-bun sedemikian menyeramkan. Toh kau juga tak memiliki tiga buah kepala dan enam lengan ! Percaya bahwa orang-orangku tentu dapat melenyapkan partai Thiat-hiat-bun! ”

Jenggot perak maju selangkah, tertawa mengejek, “Mengapa kau tak turun tangan?” iapun bersiap menunggu serangan.

Dengan sebelah tangan yang tinggal satu, ketua Hek Gak segera hendak menyerang. tetapi secepat itu pula segera menurunkan tangannya lagi. Tertawa sinis dan mundur selangkah!

Jenggot perak menyambutnya dengan tertawa panjang.

“Telah kuperhitungkan dengan masak. Kalau Hek Gak berani bertempur dengan Thiat-hiat-bun, keduanya pasti hancur. Dengan begitu cita-citamu hendak merajai dunia persilatan tentu berantakan….”

Jenggot perak menatap wajah kepala Hek Gak dengan tajam, serunya pula, “Tetapi aku si orang tua mengerti tentang ilmu melihat tampang orang. Telah kuketahui isi hatimu. Tak nanti kau mau menguntungkan orang lain dan merugikan diri sendiri. Tak nanti kau sudi menyerahkan kekuasaan dunia persilatan kepada Sin-bu-kiong. Itulah sebabnya maka kutahu kau pasti tak berani menempur aku!”

“Ngaco!” serentak ketua Hek Gak membentak dengan wajah pucat.

Tetapi Jenggot perak tak menghiraukan. Kembali ia beralih memandang Sin-bu Te-kun, serunya, “Sekalipun siasatmu mengadu domba berhasil dijalankan. Thiat-hiat-bun dan Hek Gak hancur kedua-duanya, tetapi Sin-bu-kiong pun masih tak dapat menguasai dunia persilatan, karena kau masih mempunyai seorang musuh besar!”

Sekarang giliran Sin-bu Te-kun yang mendelik. Memekiklah ia, “Sin-bu-kiong bersumpah tak mau hidup sekolong langit dengan Thiat-hiat-bun! Andaikata saudara Kongsun ketua Hek Gak mau melepaskan engkau, tetapi aku Sin-bu Te-kun tetap akan menghancurkanmu!”

Jenggot perak tertawa, “Inginkah kau mendengar siapakah musuhmu itu?” “Sebutkan!” teriak Sin-bu Te-kun gusar.

“Hun-tiong Sin-mo!”

“Huh, Hun-tiong Sin-mo sudah ibarat ikan dalam jaring. Pasti segera mampus!” Sin-bu Te-kun menggeram.

Jenggot Perak tertawa nyaring, “Ah, kata-katamu ini agak sombong….” ia berhenti sejenak, serunya pula, “Kau telah membuat Panji Tengkorak Darah palsu untuk melakukan pembunuhan besar-besaran. Fitnah itu telah menimbulkan kemarahan besar pada sembilan partai, sehingga mereka menantang Hun-tiong Sin-mo untuk bertempur di puncak Sin-li-hong. Hal ini membuktikan bahwa kau jeri terhadap Hun-tiong Sin-mo!”

“Ngaco! Seumur hidup aku tak pernah takut kepada siapapun juga!” teriak Sin-bu Te-kun.

Jenggot Perak geleng-geleng kepala, “Jika kau tak takut, sejak dulu-dulu kau tentu sudah ke Hun-tiong-san menantangnya! Perlu apa kau gunakan siasat memfitnah sehingga menimbulkan kemarahan sembilan partai.?”

Tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa seram, serunya sengit, “Apakah hubunganmu dengan Hun-tiong Sin-mo…?”

Sekonyong-konyong Sin-bu Te-kun tak mau melanjutkan kata-katanya, tetapi diam-diam ia gunakan ilmu menyusup suara kepada Jenggot Perak, “Ho, tua bangka, jangan kira aku tak tahu bahwa Hun-tiong Sin-mo sudah mati karena diracun anak perempuanmu. Mungkin aku tahu lebih banyak dari kau…..”

Jenggot perak berobah wajahnya. Tetapi pada lain saat ia sudah tertawa lagi. “Kau tahu atau tidak, itu tak ada kepentingannya. Sekarang aku hendak minta kepadamu menyerahkan dua orang budak Thiat-hiat-bun yang melarikan diri, yaitu Nyo Sam-koan dan Ma Hong-ing. Jika bukan karena mereka berdua, tak nanti kau tahu tentang urusan ini!”

Kata-kata Jenggot Perak itu tidak diucapkan dengan ilmu menyusup suara, melainkan dengan suara biasa. Sudah tentu hal itu terdengar jelas oleh Kongsun Bu-wi ketua Hek Gak. Tetapi ketua Hek Gak ini tak mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Maka iapun hanya terlongong-longong saja!

Wajah Sin-bu Te-kun membesi, segera ia berseru kepada ketua Hek Gak, “Selama Thiat-hiat-bun masih ada, kita tak dapat hidup tenang. Marilah kita bersatu padu untuk membasminya!”

Diam-diam ketua Hek gak sudah mempunyai rencana sendiri. Segera ia menyahuti, “Memang akupun sudah mempunyai pikiran begitu, maka silakan Te-kun segera memberi perintah!” Tetapi Sin-bu Te-kun tak segera bertindak, ia hanya memandang ke sekeliling penjuru dengan sikap meragu. Sebaliknya ketua Hek Gak juga hanya mulutnya saja yang setuju akan ajakan Sin-bu Te-kun, tetapi iapun tak mau memerintahkan kepada anak buahnya menyerang. Dengan begitu kedua-duanya saling tunggu menunggu.....

Setelah menunggu sekian lama tiada yang menyerang, Jenggot Perak tertawa nyaring, “Aha, ramalanku selalu manjur! Sudah kuketahui bahwa baik Sin-bu-kiong maupun Hek Gak tentu tak ada yang berani membentur    perutku. ” sejenak ia kedipkan mata, katanya pula, “Aku masih memepunyai sebuah pertanyaan lagi pada kalian.”

Karena kelemahannya diketahui, Sin-bu Te-kun dan Hek Gak hanya meringis saja. Maju gentar, mundurpun sukar. “Katakanlah!” seru mereka serempak.

“Tanpa bersepakat, kalian datang ke gunung Thay-heng-san sini,” Jenggot perak tertawa, “Apakah maksudnya?” Pertanyaan ini membuat Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak melongo.

“Tak lain tak bukan adalah karena peta Telaga Zamrut dan kitab pusaka It Bi Siangjin!” seru Jenggot Perak dengan suara datar.

Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak seperti disengat kalajengking kagetnya. Baru mereka hendak membuka mulut, tiba-tiba dari kejauhan terdengar berisik suara orang.

Jenggot perak masih tetap tertawa, “Dewasa ini di dunia persilatan timbul beberapa panji kekuatan yang hebat. Masing-masing belum diketahui siapakah yang paling unggul ! Hun-tiong- san, Sin-bu-kiong, Hek Gak dan pihakku Thiat-hiat-bun serta partai-partai besar di dunia Tiong-goan. Masing-masing mempunyai sumber kepandaian sakti yang berlain-lainan. Boleh dikata mutu kepandaian mereka hampir berimbang, maka tak ada pihak manapun yang dapat merajai dunia persilatan. Hanya ada satu jalan yang dapat mengatasi. Barang siapa yang berhasil mendapatkan kitab pelajaran dari It Bi siangjin barulah dia akan menjadi jago yang tiada tandingannya di dunia persilatan…”

Jenggot Perak tertawa mengekeh, serunya pula, “Kita saling bertempur, sebenarnya termasuk urusan kecil. Yang penting ialah mencari kitab pusaka itu. Peta Telaga zamrud telah muncul kembali di dunia dan tempat persembunyian kitab pusaka itu ialah di gunung ini. Kalian tentu mendengar suara orang berisik tadi bukan ? Nah, itulah rombongan orang yang mencari kitab pusaka. Apabila kitab sampai jatuh di tangan mereka, dikuatirkan Sin-bu-kiong maupun Hek Gak akan lenyap dari dunia persilatan selama-lamanya!”

Mendengar uraian itu, pucatlah seketika wajah Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak. Sin-bu Te-kun berusaha untuk menenangkan kegelisahannya.

“Lu loji, ” ia tertawa sinis, “Apakah kedatanganmu juga bukan karena hendak mencari kitab pusaka itu?”

“Aku?” sahut Jenggot Perak dengan dingin, “jika aku memang bermaksud hendak mengambil kitab itu, mungkin kalian tak mempunyai kesempatan untuk mendapatkannya lagi!”

“Heh, heh,” ketua Hek Gak tertawa mengekeh, “Lu tua, kau terlalu memandang tinggi dirimu!”

Sambil berkata itu diam-diam lengan tunggal ketua Hek Gak itu dilambaikan ke belakang. Empat orang sucia (jago) Hek gak yang berada di belakang ketuanya mengerti isyarat itu. Segera mereka menyelinap pergi.

Tetapi perbuatan itu tak lepas dari mata Sin-bu Te-kun. “Eh, apa maksud saudara Kongsun menyuruh anak buahmu pergi?” tegurnya.

Wajah Kongsun Bu-wi ketua Hek Gak memerah, serunya, “Suruh mereka lihat apakah suhuku sudah minum arak atau belum?”

Namun jawaban itu disambut dengan tertawa sinis oleh Sin-bu Te-kun. Kepala istana Sin-bu-kiong itupun segera lambaikan tangannya. Dua orang sucia yang berada di kanan kirinya segera mengundurkan diri. Mereka mengajak belasan anak buah baju ungu pergi menyusul keempat sucia Hek Gak.

Jenggot Perak tertawa berderai-derai sampai lama, serunya, “Hanya mengirim sekian orang untuk menjaga pihak yang mencari kitab, mungkin takkan berhasil. Kecuali kalian mengerahkan anak buah secara besar-besaran, mungkin ada harapan. Hanya saja. ”

Tiba-tiba jago Thiat-hiat-bun itu melambaikan tangannya dan berseru, “Hanya saja, ah, kalian saat ini sukar untuk meloloskan diri….” ooo00000ooo Barisan Thiat-hiat-tin

Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak tercengang!

Tiba-tiba Jenggot perak lambaikan tangan. Dari empat penjuru segera muncul Empat Su-kiat, tiga puluh enam Thian- kong dan tujuh puluh dua Te-sat. Mereka memecah diri membentuk sebuah lingkaran seluas berpuluh tombak.

Rombongan Sin-bu-kiong dan Hek Gak terkepung di tengah-tengah.

Sin-bu Te-kun tertawa nyaring, “Aha, Lu tua, kau hendak main apa ini ?”

Jenggot perak balas tertawa, “Cuma akan meminta kalian merasakan kenikmatan barisan Thiat-hiat-tin!”

“Oh, hanya sebuah barisan sekecil ini mana dapat mengepung rombongan Hek Gak dan Sin-bu-kiong!” ketua Hek Gak berseru mengejek.

Jenggot perak ganda tertawa, “Sekurang-kurangnya dalam waktu dua puluh empat jam, kalian tak dapat lolos dari tempat ini!”

Semula Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak tak mengacuhkan. Pikir mereka tentu dapat menerobos dari barisan Thiat- hiat-tin. Tetapi apa yang tampak di hadapannya, membuat mereka terkejut….

Memang tampaknya barisan itu tiada yang aneh. Tetapi setelah persiapan selesai, semua orang Thiat-hiat-bun itu sama mengeluarkan asap kuning. Asap itu keluar dari lengan baju, celana dan leher baju mereka. Rupanya obat telah disimpan dalam dadanya lebih dahulu, kemudian ditekan keluar dengan tenaga dalam.

Asap kuning makin lama makin tebal. Di bawah teriakan-teriakan Jenggot perak, anggota-anggota Thiat-hiat-bun itu segera berputar-putar membuat lingkaran. Asap bergulung-gulung menghambur ke tengah.

Sin-bu Te-kun gugup dan segera memerintahkan anak buahnya, “Terobos keluar!” dan ia sendiri mendahului menerobos keluar barisan.

Tetapi serempak dengan gerakan Sin-bu Te-kun, terdengarlah lengking tertawa panjang. Serangkum tenaga kuat segera menghambur. Kiranya tenaga kuat itu berasal dari Jenggot Perak yang segera mendorong dengan kedua tangannya.

Marahlah Sin-bu Te-kun. Sewaktu masih melayang di udara, ia geliatkan kedua tangannya memukul dengan pukulan Hiam-im-ciang. Hiam-im-ciang yang telah diyakinkannya dengan sempurna. Jauh sekali bedanya dengan Hiam-im- ciang yang digunakan oleh Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing.

Tetapi sebelum kedua tenaga pukulan itu beradu, sekonyong-konyong Jenggot Perak melambung ke udara sampai beberapa tombak. Dengan tertawa meloroh, ia membentak, “Awas, kedua matamu!” Dengan kecepatan seperti kilat menyambar, ia timpukkan dua buah benda mengkilap ke arah Sin-bu Te-kun.

Sin-bu Te-kun hendak menjajalkan tenaga Hiam-im-ciangnya dengan tenaga lawan. Tetapi di luar dugaan, lawan telah menarik balik pukulannya. Ia terkejut dan buru-buru menukik ke bawah, tetapi teriakan Jenggot Perak itu, telah membuatnya kaget sekali.

Ia tahu bahwa ilmu kepandaian orang Thiat-hiat-bun menimpuk senjata rahasia, hebat sekali. Seratus kali menimpuk, seratus kali tentu kena. Apalagi saat itu ia tengah menukik di udara. Sukar sekali untuk menghindari ancaman musuh. Serentak teringat ia akan peristiwa di istana Sin-bu-kiong yang lalu. Jenggot perak pernah melepaskan dua buah panah yang menembus kedua bahunya!

Dalam keadaan yang tak berdaya itu Sin-bu Te-kun hanya dapat menutupkan kedua tangannya untuk melindungi mukanya. Untung Jenggot Perak tak menggunakan ilmu Penyesat suara, yakni suaranya terdengar di sebelah timur, tetapi orangnya berada di barat. Dan timpukannya itu memang hanya ditujukan ke arah muka orang. Maka terhindarlah muka Sin-bu Te-kun dari dua buah panah Hong-thau-kiong.

Sin-bu Te-kun rasakan tangannya seperti digigit ular. Begitu menginjak tanah segera ia kibaskan panah itu.

“Lu tua, aku bersumpah tak mau hidup bersama engkau! Hari ini kau atau aku yang mati!” teriaknya dengan marah. Seluruh tenaga dalamnya segera dikerahkan, ia bertekad hendak adu jiwa dengan ketua Thiat-hiat-bun. Tetapi apa yang dilihatnya saat itu benar-benar membuatnya kaget seperti patung!

Bukan saja Jenggot Perak lenyap dari pandangan, juga seluruh anggota Sin-bu kiong dan ketua Hek Gak serta rombongannya pun tak kelihatan lagi bayangannya!

Sin-bu Te-kun dapatkan dirinya seolah-olah hanya seorang diri dalam lautan asap warna kuning. Sedemikian tebal asap itu mengembang sehingga tak dapat lagi ia melihat jari-jari tangannya. Dan yang lebih mengerikan lagi ialah saat itu hidungnya mencium bau wangi. Karena curiga kalau-kalau bau itu mengandung racun, buru-buru ia menutup jalan darah penting pada tubuhnya. Kemudian ia menyalurkan tenaga dalamnya untuk mengetahui apakah tubuhnya sudah kemasukan racun atau belum.

Tengah ia meramkan mata menyalurkan tenaga dalam, tiba-tiba terdengar suara tertawa memanjang. Digoda begitu, meluaplah amarah Sin-bu Te-kun. Ia meloncat ke udara sampai tiga tombak tingginya dan menggerung seperti harimau kelaparan, “Lu tua, keluarlah, mari kita bertanding selaksa jurus!”

Jenggot perak tertawa nyaring, “Aku sudah tua tak punya selera lagi untuk berkelahi. Yang kusuka ialah melihat orang kelabakan seperti ikan dalam jaring...” ia berhenti sejenak lalu berseru pula, “Ki Pek-lam, bukankah kau sudah mempelajari kitab Im-hu-po-kip sampai paham? Dalam dunia persilatan jarang terdapat orang yang dapat menandingimu! Barisan sekecil ini masakah mampu mengepungmu? Ayo, mengapa kau tak gunakan kesaktianmu membobolkan barisan ini?”

Sin-bu Te-kun berkeliaran memandang empat penjuru. Tetapi asap yang demikian tebal tak dapat ditembus dengan matanya. Ia tak tahu di mana Jenggot Perak berada! Dan yang menjengkelkan, suara Jenggot Perak itu sebentar terdengar dekat sebentar jauh. Sukar diduga tempatnya yang pasti.

Tetapi Sin-bu Te-kun sudah terlanjur mengumbar kemarahan. Dengan meraung keras ia berseru, “ Lu tua, kau kira aku benar-benar tak dapat lolos dari barisanmu ini?” Sin-bu Te-kun menumpahkan kemarahannya dengan sepuluh kali pukulan yang dilontarkan berturut-turut! Pukulan itu ditujukan ke empat penjuru. Cepat dan dahsyatnya bukan kepalang!

(bersambung jilid 17 )
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar