Panji Tengkorak Darah Jilid 15

Jilid 15 .

Thian-leng pucat. Kalau benar dicuri orang tua itu tentulah sukar mencarinya. Ia tak ingat lagi bagaimana potongan mukanya, kecuali hanya jenggot orang tua itu sudah putih, umurnya sekitar tujuh puluhan tahun, berpakaian seperti orang pertapaan. Tetapi siapa nama dan tempat tinggalnya, sama sekali tak diketahuinya. Jaraknya sudah berselang tiga jam, kemanakah harus mencarinya?

Makin terang pikiran Thian-leng menyoroti diri orang tua itu lebih jauh. Jelas orang itu seorang kaum persilatan yang sengaja berpura-pura sakit. Ia kena dipancing mentah-mentah.

Celaka! Jika orang itu kaki tangan Sin-bu Te-kun atau golongan jahat, bukankah ia berdosa terhadap It-bi siang-jin pencipta peta itu? Makin merenung makin kalaplah Thian-leng...

Siau-bun menghela napas, “Sekarang bukan saatnya mengeluh. Yang penting kita harus berdaya!” “Bagaimana caranya?” Thian-leng menukas.

“Kalau begitu apakah kau hendak mati saja?” Siau-bun menyentil tajam, “putus asa berarti membunuh semua daya upaya!”

Kata-kata itu membuat Thian-leng tergerak. Ia membenarkan si nona. Sekalipun bunuh diri, urusan itu tetap tak tertolong. Akhirnya ia menanyakan pendapat si nona.

Kata Siau-bun, “Bahwa It-bi siangjin telah meninggal di gunung Thay-heng-san dengan menyembunyikan kitab pusakanya, telah diketahui lama oleh orang persilatan!”

Thian-leng mengiyakan, “Benar, tetapi Thay-heng-san demikian luasnya, apakah kita harus menggali tiap jengkal tanahnya! Kalau tidak sesukar itu, tentulah kitab itu tak berharga!”

“Apakah tujuan orang yang mencuri peta itu?” tiba-tiba Siau-bun menyeletuk. “Sudah tentu hendak meyakinkan isinya!”

“Kalau begitu, dia tentu akan menuju ke gunung Thay-heng-san…..” “Oh…. “ Thian-leng mengerang. “Masih ingatkah kau akan wajahnya?”

“Hanya samar-samar, tetapi kalau berjumpa muka tentu dapat mengenalnya!” Siau-bun menghela napas, “Sekalipun tipis harapannya, tetapi tiada jalan lain!” “Jadi adik Bun Juga. ”

“Sudah tentu aku pergi, ayo berangkat sekarang juga!” oo000oo

Liu-ke-cip merupakan sebuah kota kecil di kaki gunung Thay-heng-san. Perdagangan kota itu cukup ramai karena merupakan pusat lalu lintas keluar masuk gunung Thay-heng-san.

Sepasang muda-mudi tampak berjalan perlahan-lahan memasuki Liu-ke-cip. Kecakapan si pemuda dan kecantikan si pemudi memikat orang-orang yang berada di jalan. Tetapi mereka tak menghiraukan perhatian orang-orang. Si pemuda tampak murung wajahnya, si pemudi bersikap diam. Mata si pemuda tak henti-hentinya berkeliaran memandang orang-orang yang ditemuinya. Tetapi selalu kecewa.

Tiba-tiba seorang pengemis tua lewat di samping pemuda itu dan berhenti. Ketika pengemis itu melihat thong-pay (lencana tembaga) yang terpampang pada dada si pemuda, ia terbeliak kaget. Setelah memandang ke sekeliling, barulah pengemis itu mendekati si pemuda, bisiknya, “Bolehkan aku bicara sebentar pada tuan?”

Gerak-gerik pengemis itu memang telah diperhatikan si pemuda. Si pemudipun serentak gunakan ilmu menyusup sura bertanya kepada kawannya, “Apakah orang ini?”

“Bukan,” pemuda itu gelengkan kepala. Kemudian ia minta si pengemis menjelaskan semuanya. Pengemis tua tampak gelisah, ujarnya, “Tetapi di sini kurang leluasa bicara, sebaiknya. ”

Sejenak pemuda itu melirik ke arah si pemudi, lalu anggukkan kepala, “Baiklah silakan menunjukkan tempatnya.”

Pengemis itu bersikap menghormat sekali. Ia segera berjalan lebih dahulu. Tak berapa lama kemudian mereka tiba di luar kota dan masuk ke dalam sebuah biara tua. Karena terlantar, biara itu menjadi pusat tempat tinggal kaum pengemis.

Arca-arca dalam biara itu jungkir balik berserakan tak teratur. Sarang galagasi tampak di mana-mana, tetapi pada meja sembahyang terdapat sebuah lampu yang masih memancarkan cahaya redup.

“Katakanlah apa maksud bapak ini,” kata si pemuda.

“Terlebih dahulu hamba mohon tanya nama tuan?” jawab si pengemis dengan nada menghormat. “Aku Bu-beng-jin, “ sahut si pemuda yang bukan lain ialah Thian-leng.

Pengemis itu terbeliak, “Lencana Kiu-pang tong pay yang Bu-beng siauhiap bawa itu, entah berasal dari mana?” “Jadi bapak membawa kami kemari ini, untuk urusan itu?” tegur Thian-leng.

Lencana yang tergantung pada lehernya itu adalah pemberian Thiat-ik-sin-kay ( pengemis sakti berbulu besi ) Auyang Beng. dia tak menaruh perhatian kepada benda itu, maka tanpa disadari digantungnya lencana itu pada lehernya.

Sama sekali tak disangkanya bahwa benda itu telah menimbulkan perhatian pengemis tua itu. Seketika wajah pengemis tua itu berobah gelap, serunya, “Ya, harap siauhiap. ”

“Lencana ini pemberian seorang cianpwe. Jika bapak suka pada benda ini, ambillah. ”

“Tidak.. .tidak!” pengemis tua itu tersipu-sipu menolak. “ Hamba tak berani mengambilnya… tetapi sukalah siauhiap

memberitahukan nama cianpwe itu?”

“Orang she Auyang bernama Beng, Orang persilatan memberi gelar nama Thiat-ik-sin-kay. Kenalkah bapak padanya?” Tiba-tiba pengemis itu bercucuran air mata dan serentak jatuhkan diri berlutut seraya berseru nyaring, “Murid Kay- bun yang menjabat ketua Letong, yakni Lau Gik-siu menghaturkan hormat kepada ketua!” “Apa?. jangan berolok-olok!” Thian-leng berseru kaget.

Pengemis tua itu tak menghiraukan jeritan si anak muda dan berseru dengan nada bengis, “Ketua telah datang, mengapa kalian tak lekas-lekas memberi hormat!”

Terdengarlah suara pekik bergemuruh dan berpuluh-puluh pengmis tampak muncul dari balik ruang, mereka serempak berlutut di hadapan Thian-leng dan berseru, “Kami sekalian menghaturkan hormat kepada ketua!”

Thian-leng bingung tak keruan. Tak tahu ia bagaimana harus menghadapi puluhan pengemis itu. Ia banting-banting kaki.

“Ah, wajiblah kuberi selamat padamu, ih, ternyata kau juga seorang ketua!”Siau-bun tertawa ringan.

“Hai, mengapa kau juga memperolok diriku… ” Thian-leng makin kelabakan. Tiba-tiba ia ingat akan kecerdikan si

nona. Ditatapnya nona itu dengan pandangan minta bantuan, “Bagaimana nih, “ ia tertawa masam. “Kan baik?” Siau-bun tertawa

Melihat si nona tetap berolok, segera Thian-leng menarik Lau Gik-siu bangun, bentaknya, ”Apa-apaan ini? Lekas terangkan yang jelas, atau aku segera tinggalkan tempat ini!”

Lau Gik-siu kembali menjura dengan hormat sekali, ujarnya.”Apakah ketua tahu di mana berjumpa dengan Thiat-ik- sin-kay?”

“Tolol, aku bukan ketua kalian. Aku tak peduli siapa itu Thiat-ik sin-kay!” “Tetapi sekarang kau adalah ketua kami!” Lau Gik-siu berkata dengan yakin. “Mengapa?”

“Karena kau sudah menerima lencana Kiu-pang thong-pay dari kakek guru kami!”

“Kiu-pang-thong-pay Thiat-ik Sin-kay, aku tak peduli! Jika karena gara-gara lencana ini, sekarang aku kembalikan saja kepadamu!” Thian-leng terus menarik lencana dari lehernya, diberikan kepada Lau Gik-siu.

Tiba-tiba Siau-bun menepuk bahu Thian-leng,”Tak dapatkah kau menimbang lagi?”

Thian-leng menarik pulang tangannya. Dilihatnya nona itu memberinya sebuah lirikan yang memperbesar semangat. Rupanya nona itu tak menentang atas dijadikannya Thian-leng sebagai ketua partai pengemis.

Akhirnya ia geleng-geleng kepala dan menghela napas. Gerutunya seorang diri, “Mengapa nasibku penuh dnegan peristiwa-peristiwa aneh. ”

“Eh, apa kau hendak membairkan mereka berlutut terus?” tegur Siau-bun.

Memang saat itu berpuluh-puluh pengemis masih berlutut di hadapannya. Terpaksa ia menyuruh mereka bangkit. Merekapun menurut dan berdiri di samping.

“Murid telah menerima berita rahasia yang dibawa burung. Kakek guru Thiat-ik-sin-kay menyuruh kami beramai- ramai menunggu di sini untuk menyambut kedatangan ketua baru. Ternyata hal itu benar.” kata Lau Gik-siu.

“Apakah kedudukan Thiat-ik-sin-kay dalam partai kay-pang?” buru-buru Thian-leng minta keterangan. “Ahli waris dari angkatan yang dulu, tetapi kini menjadi kakek guru kaum kami!”

“Lalu kemana ketuamu itu?”

“Beberapa hari yang lalu telah menigngal dunia di bawah lambaian Panji Tengkorak Darah!” “Panji Tengkorak Darah?” “Ya, atau berarti mati di tangan Hun-tiong Sin-mo!”

“Kaum jembel tersebar di seluruh negeri. Pengaruhnya tentu besar, masakah tak dapat memeriksa berita yang palsu dan benar?”

Lau Gik-siu tertegun, ”Maksud nona...?”

“Panji Tengkorak darah itu palsu!” Siau-bun berseru pula dengan tegas. “Palsu?”

“Ya. Hanya bikinan dari orang Sin-bu-kiong belaka. Untuk mengelabui mata dunia persilatan. Dia memfitnah Hun- tiong Sin-mo agar dibenci oleh dunia. Kemudian dapatlah ia mengeduk keuntungan dari kekeruhan itu. Memang dia telah mainkan sebuah tipu muslihat yang luar biasa pintarnya!”

Seluruh mata pengemis ditumpahkan ke arah Thian-leng. Seolah-olah mereka hendak meminta tanggapan Thian- leng.

“Ya, memang benar!” tanpa ragu-ragu Thian-leng serentak memberi pernyataan.

Terdengar gemuruh sorak para pengemis, “Mohon ketua suka memberi keputusan untuk membalaskan sakit hati mendiang pangcu!”

“Tentu…. “ tiba-tiba ia tertegun sejenak, “atas kepercayaan Thiat-ik-sin-kay dan dukungan saudara-saudara sekalian, aku akan mencurahkan segenap tenaga untuk membalaskan sakit hati almarhum ketua kalian!”

Terdengar tempik sorak gegap gempita. Dari pernyataan itu jelaslah bahwa Thian-leng sudah menerima pengangkatannya sebagai ketua Kaypang. Ternyata pengemis-pengemis

yang berkumpul di situ adalah ketua-ketua daerah dari berbagai tempat. Atas petunjuk Thiat-ik-sin-kay, mereka berbondong-bondong menuju ke gunung Thay-heng-san menunggu kedatangan ketua baru.

Tetapi perhitungan Thiat-ik-sin-kay itu meleset sedikit. Dia memperhitungkan di kala

Thian-leng tiba di gunung Thay-heng-san itu tentu sudah memperoleh kitab pusaka dan harta karun. Siapa tahu ternyata peta itu telah hilang dan kedatangan Thian-leng hanyalah hendak menyelidiki jejak si orang tua yang telah mencuri peta.

Tiba-tiba Siau-bun gunakan ilmu menyusup suara membisiki Thian-leng, “Anggota Kay-pang tersebar luas di seluruh negeri. Pengaruhnya tentu luas sekali. Oleh karena kini kau telah menjadi ketua mereka, mengapa tak memberitahukan kehilangan peta itu kepada mereka dan memerintahkan mereka mencarinya?”

Thian-leng anggap pernyataan nona itu tepat. Segera ia menarik Lau Gik-siu ke samping dan membisikinya perlahan- lahan. Wajah Lau Gik-siu berobah membesi. Pengemis tua itu mengangguk-angguk, “Murid segera akan menyebar pengumuman ke seluruh daerah. Begitu ada berita tentu akan segera memberi laporan pada pangcu. Tetapi saat ini

pangcu hendak pergi ke. ?”

“Aku hendak menjelajahi gunung ini. Urusan partai yang penting-penting untuk sementara ini kaulah yang mengurusi.” sahut Thian-leng.

Serta-meta Lau Gik-siu mengiyakan. Ia berlutut di hadapan Thian-leng diikuti oleh berpuluh-puluh pimpinan cabang kay-pang di daerah-daerah. “Memujikan pangcu selalu diberkahi keselamatan dalam perjalanan!”

Thian-leng tak tahu harus bertindak bagaimana menyambut penghormatan itu. Akhirnya ia mnyuruh mereka bangun, kemudian mengajak Siau-bun meninggalkan biara itu. Mereka hendak buru-buru mencapai puncak gunung untuk menikmati pemandangan matahari terbit.

Sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam melesat ke dalam hutan. Gerakannya gesit sekali, pasti seorang tokoh persilatan.

“Adik Bun, tolong gunakan ilmu Melihat-langit-mendengar-bumi.”

“ Hanya karena seorang ya-heng-jin ( orang persilatan yang berjalan tengah malam) lantas menggunakan ilmu tersebut, sungguh keterlaluan.”

Tetapi kata-katanya itu terputus oleh terdengarnya jeritan ngeri menyayat hati yang berasal dari arah hutan. Itulah jerit pembunuhan!

Cepat sekali Thian-leng segera ajak Siau-bun. Bahkan ia sudah mendahului loncat menuju ke dalam hutan. Begitu tiba, hidungnya mencium bau darah…..

“Jangan kesusu! Hati-hati terhadap perangkap orang!” Siau-bun memberi peringatan dengan ilmu menyusup suara. Thian-leng mencabut pedang dan berjalan dengan hati-hati. Apa yang dilihatnya membuat bulu romanya berdiri….

Di tengah hutan situ tampak belasan mayat berserakan mengerikan. Hampir Thian-leng muntah karena tak tahan baunya. Mayat-mayat itu tak utuh, tangan, kaki, lengan, paha, badan dan kepala mereka hancur lebur, ada yang terpisah badan. Usus dan otak berhamburan keluar. Ya, pendeknya mayat-mayat itu seperti dicincang-cincang sehingga tak dapat dikenali lagi.

Tiba-tiba Thian-leng melihat ada seorang yang sekalipun tubuhnya sudah tak keruan tapi dadanya masih berkembang kempis tanda masih bernapas. Buru-buru dihampirinya orang itu. Seorang muda yang cakap. Keadaannya payah sekali, tetapi ia masih dapat paksakan dirinya brseru, “Di muka puncak Co-gan-hong…..!” Habis mengucapkan, orang itu pingsan tak ingat diri lagi.

Thian-leng menempelkan tangannya ke perut orang itu. Ia menyalurkan tenaga dalamnya untuk menolong. Tak berapa lama orang itupun dapat menghela napas lagi.

“Apa maksudmu tadi?” tegur Thian-leng.

Dengan susah payah, orang itu berkata, “Pertempuran besar segera terjadi. Ketua kami di…… kurung oleh beberapa orang tak dikenal………lekas….lekas bantu!”

Thian-leng tercengang. Ia berpaling kepada Siau-bun. Nona itupun tampak mengerutkan dahi. Thian-leng menyalurkan tenaga dalamnya lagi kepada orang itu. Setelah orang itu sadar lagi, buru-buru ditanyanya, “Siapakah mayat-mayat ini. Siapa yang membunuhnya?” 

“Orang-orang partaiku. ”

“Apa partai perguruanmu itu?” tanya Thian-leng.

Orang itu sudah tak kuat lagi, namun hatinya keras sekali. Dengan seluruh sisa tenaganya, ia membuka mata dan memandang Thian-leng.

Thian-leng tak tahu apakah orang itu dapat melihatnya jelas, tetapi yang jelas ia mendengar mulut orang itu mengucapkan beberapa patah kata lemah, “ Tiam...jong. ”

“Tiam-jong?” tiba-tiba Siau-bun melonjak kaget. Demikian pula Thian-lengpun tak kurang kagetnya. Teringat ia akan si Jenggot Perak ketua Thiat-hiat-bun yang mengundang sekalian orang gagah datang ke gunung Tiam-jong-san.

Teringat juga betapa ketua Sin-bu-kiong telah menyatakan bahwa dalam tiga hari nanti ia akan ngeluruk ke Tiam- jong-san.

Dan saat ini anak buah Tiam-jong-pay telah dibunuh musuh yang tak dikenal dan ketua merekapun telah dikurung oleh orang! Thian-leng meminta penjelasan lagi, tapi ternyata orang itu sudah putus nyawanya......

Wajah Siau-bun berobah pucat sekali. Jelas bahwa ia sangat dipengaruhi oleh kejadian saat itu. Buru-buru ia mengajak Thian-leng, “Ayo, cepat ke Co-gan-hong!”

“Di manakah letak puncak itu?” tanya Thian-leng.

“Masakah kau lupa akan ilmuku Melihat-langit-mendengar-bumi… ” dan tanpa menunggu jawaban si anak muda lagi,

Siau-bun terus lari mendahului.

Tampaknya Siau-bun paham sekali akan jalan di gunung itu. Kira-kira berlari satu li, tampak sebuah puncak gunung yang menjulang tinggi ke langit.

“Tentu puncak Co-gan-hong, “ kata Siau-bun. Thian-leng melihat puncak itu penuh dengan lereng dan tebing yang curam, tetapi tak tampak barang seorangpun di sana. Siau-bun membaringkan diri memasang telinga.

“Bagaimana?” tanya Thian-leng.

Siau-bun mengerutkan dahi, “Aneh, seluas limapuluhan tombak tak terdengar suara orang!”

Tetapi ucapannya itu terputus oleh suara tertawa nyaring bernada sinis. Siau-bun dan Thian-leng tersentak kaget. Orang itu muncul tanpa suara sama sekali. Dan serentak dengan tertawa itu, orangnya pun terdengar berseru mengejek, “Oho, jangan-jangan ilmumu Melihat langit mendengar bumi tak mempan lagi!”

Kedua muda mudi itu cepat memutar ke arah datangnya suara. Ah, seorang lelaki bertubuh kurus pendek dalam pakaian merah yang berlapis mantel biru. Dia memelihara jenggot kambing.

Sin-bu Te-kun!

Thian-leng segera meraba pedangnya. Ia siap sedia menghadapi momok itu. Namun Sin-bu Te-kun hanya ganda tertawa, “Buyung, apakah hal yang paling dihormati kaum persilatan?”

Thian-leng malu dan marah sekali. Tahulah ia di mana jatuhnya perkataan orang. Seketika merah padamlah air mukanya.....

oooo00000oooo Empat Serangkai

Siau-bun tertawa hina, “Baiklah aku mewakilinya berbicara. Yang paling dihormati kaum persilatan ialah kepercayaan dan kebajikan. Benar tidak?”

Sin-bu Te-kun tertegun. Matanya berkilat-kilat menyapu si nona. Pada lain kilas ia tertawa membatu, “Nona seorang yang tangkas bicara, tak kecewa menjadi ratu kembang, pendekar wanita.”

“Ah, jangan kelewat memuji… ”

Tiba-tiba Sin-bu Te-kun alihkan pandangan ke arah Thian-leng, “Buyung, eh, Bu-beng-tay-hiap, setujukah kau dengan kata-kata nona tadi?”

Wajah Thian-leng membesi. Rasa malu bercampur marah membuatnya tak dapat bicara.

“Bu-beng-tay-hiap tak suka menerima budi orang, anggaplah aku yang mewakilinya bicara!” Siau-bun tertawa tawar. “Akan kudengarkan dengan khidmat!” ejek Sin-bu Te-kun.

Sejenak Siau-bun melirik Thian-leng lalu berkata dengan tenang, “Bukan saja menjunjung kepercayaan dan kebajikan, Bu-beng-tay-hiap pun paling konsekwen melaksanakan kedua hal itu!”

Sin-bu Te-kun mendelikkan mata kepada Thian-leng. Tiba-tiba ia tertawa nyaring. Seketika berhamburan dering ringkik bagai petir menyambar anak telinga. Kumandangnya menggelegar ke seluruh lembah…..

“Setan tua, pertandingan seratus jurus itu hanya tipu muslihatmu belaka….!” tiba-tiba Thian-leng membentaknya.

“Taruh kata benar suatu tipu muslihat, mengapa kau sampai kena tertipu? Apakah kau seorang anak kecil atau kau menyesal sekarang?” Sin-bu Te-kun tertawa hina.

“Apakah aku menyatakan menyesal? Seorang lelaki sekali berkata tentu tak mau menjilatnya lagi. Apalagi aku sudah bersumpah kepada langit….”

“Kalau begitu, sepuluh jurus yang terakhir… ?”

“Kau sudah sedia melanjutkan ?” Thian-leng menjamah pedangnya.

Sin-bu Te-kun tertawa sinis. Ia lingkarkan jari telunjuknya ke arah tanah dan terbentuklah sebuah lingkaran di tanah. Tubuhnya yang kecil kurus berada di tengah lingkaran. “Aku sudah siap!”

Diam-diam Thian-leng telah mengambil keputusan. Jika dalam sembilan jurus ia tak berhasil merebut kemenangan, maka satu jurus terakhir akan digunakan untuk membunuh diri. Betapapun halnya, ia tak sudi jatuh ke tangan Sin-bu Te-kun.

Tiba-tiba terdengar suara Sin-bu Te-kun dalam ilmu menyusup suara, melengking di telinga Thian-leng, “Buyung, hendak kugunakan sepuluh jurus ilmu silat yang paling sakti untuk menghindari seranganmu. Harap kau perhatikan dengan seksama. Mungkin di kemudian hari akan banyak berguna padamu!”

Thian-leng tergerak hatinya. Teringat ia ketika melakukan pertempuran sembilan puluh jurus dengan Sin-bu Te-kun tempo hari. Banyak sekali ilmu pelajaran silat yang aneh dan sakti telah didapatnya dari raja Sin-bu-kiong itu. Dan ketika berada dalam penjara Cui-lo, Nyo Sam-kui berpesan dengan wanti-wanti agar ia suka melatih ilmu pelajaran dari Sin-bu Te-kun itu.

Dan kini kembali Sin-bu Te-kun menyuruh ia memperhatikan jurus-jurusnya. Jelas bahwa momok itu sengaja hendak menurunkan pelajaran padanya. Ah, sungguh aneh!

Tiba-tiba ia teringat bagaimana Lu Bu-song memutuskan perundingannya dengan Sin-bu Te-kun untuk menetapkan perjanjian seratus jurus pertempuran itu. Apakah Sin-bu Te-kun benar-benar bermaksud hendak mengambilnya sebagai ahli waris?

Ah, tidak, tidak……

“Ayo, mulailah buyung!” tiba-tiba Sin-bu Te-kun membentaknya.

Thian-leng tersentak kaget dari lamunan. Ternyata walapun tangan sudah menjamah pedang, tetapi tak segera dicabut. Cepat ia mencabut pedang dan segera hendak menyerang. Tetapi secepat itu juga Siau-bun membentaknya perlahan.

“Hai, perlu apa kau turut campur?” bentak Sin-bu Te-kun dengan murka.

Siau-bun tersenyum, “ Memang tak ada hubungan apa-apa. Aku tak mau merintangi kalian melanjutkan pertempuran, tetapi aku perlu memperingatkan dulu pada Bu-beng-tay-hiap!”

Thian-leng tertegun, serunya kemudian, “Seorang lelaki tak serakah hidup, tak gentar mati. Karena aku sudah terlanjur berjanji, maka tak ada jalan lain kecuali harus menempurnya. Jika gagal kematianlah yang menjadi bagianku. Tak nanti aku sudi jatuh ke tangan setan tua itu!”

Siau-bun gelengkan kepala, “Justru hal itu yang hendak kuingatkan kepadamu. Sekalipun kau sudah bertekad begitu, tetap kau tak kenal siapa lawanmu itu. Sekali sudah menghendaki mengambil kau sebagai murid, maukah ia membiarkan kau bunuh diri?”

Nona itu berpaling kepada Sin-bu Te-kun, “Maaf karena menelanjangi rencanamu. Kau tentu tahu ia tak sudi menjadi muridmu dan akan bunuh diri. Tetapi dengan kepandaianmu kau pasti dapat mencegahnya. Dengan selesainya pertandingan seratus jurus itu, tentu kau yakin dia akan menurut perintahmu.”

Thian-leng tersentuh hatinya. Diam-diam ia mengakui ucapan si nona itu memang benar. Memang mudah sekali bagi Sin-bu te-kun hendak mencegah ia bunuh diri.

Dalam pada itu tampak Sin-bu Te-kun marah sekali, serunya mengekeh, “Anggaplah ucapanmu itu benar, lalu bagaimana……” ia melirik tajam kepada Thian-leng, serunya, “Apakah kau hendak membatalkan pertandinagn ini?”

Thian-leng terpaku tak dapat bicara.

Siau-bun tertawa mengejek, “Kau mau menghabiskan urusan ini atau tidak, Bu-beng-tay-hiap kelak tetap akan mencarimu untuk membikin perhitungan ….”

Tergerak sekali semangat Thian-leng mendengar ucapan itu. Dia telah menyanggupi Oh-se Gong-mo untuk menuntut balas pada Song-bun-kui-mo atau Sin-bu Te-kun sekarang…. Tetapi ia kalah sakti dengan musuh itu dan kini masuk ke dalam perangkapnya. Tidak hidup juga tidak mati….

“He, he…” Sin-bu te-kun mengekeh tertawa, “Ucapan nona memang tepat sekali, lalu….” 

“Sisa pertandingan ini diundur lagi sampai lain waktu!” Siau-bun cepat menanggapi.

Thian-leng terkesiap. Tempo hari Lu Bu-song pun mencegah diteruskannya sisa sepuluh jurus itu. Sekarang Siau-bun pun demikian.

Sin-bu te-kun marah sekali, “Seharusnya pertandingan seratus jurus itu diselesaikan pada saat itu juga. Toh sudah diundur sekali, rasanya sukar untuk menundanya lagi. ” cepat ia berpaling kepada Thian-leng dan berseru

menantang, “Hai, Bu-beng-tay-hiap, mengapa tak segera menyerang?”

Merah padam muka Thian-leng tetapi segera ia menyahut lantang, “Saat ini aku tak mempunyai selera bertempur, maka harus. ”

“Toh baru diundur satu kali masakah tak boleh sekali lagi. ” Siau-bun tertawa.

“Salahmu mengapa kau lalai pada waktu permulaannnya!” kata Sin-bu Te-kun kepada Siau-bun.

“Dalam sumpah, tak diterangkan bahwa pertandingan harus diselesaikan dalam satu saat. Tak disebutkan pula kalau hanya boleh diundur satu kali!” sahut Siau-bun.

Marah Sin-bu Te-kun bukan kepalang. Ia tertawa meringkik, “Kalau begitu, jangan salahkan aku seorang yang ganas…”

“Mau apa kau?” tegur Siau-bun.

Sin-bu Te-kun mendesah. “Akan kucincang tubuhmu lebih dahulu, baru nanti kulanjutkan pertempuran dengan budak itu!”

Siau-bun tertawa nyaring. “Oh, jadi kau hendak bertempur melawan aku!”

“Terhadap seorang budak perempuan seperti kau, tak perlu menggunakan kata-kata bertempur. Jika mau membunuhmu adalah semudah membalikkan telapak tanganku ini!” seru Sin-bu Te-kun dan tanpa tampak bergerak, tiba-tiba ia sudah melesat ke hadapan Siau-bun. Kelima jari tangannya segera dicakarkan….

Bukan main terkejutnya Thian-leng. Sekalipun ia tahu kepandaiannya kalah jauh dengan Sin-bu Te-kun, namun untuk menolong Siau-bun ia tak segan mengadu jiwa. Dengan sepenuh tenaga ia siapkan Lui-hwe-sin-ciang dengan tangan kiri, sedang tangan kanan siap mencabut pedang.

Tetapi anehnya Siau-bun tampak tenang-tenang saja. Bahkan sama sekali tak mengacuhkan Sin-bu Te-kun.

Nona itu tertawa hambar, “Sayang saat ini aku tak gembira bertempur dengan engkau. Apalagi kuperhitungkan kau tentu tak berani membunuhku!”

Kata-kata gagah itu membuat Sin-bu Te-kun tertegun, serunya geram,”Kau sudah yakin? Bagaimana kau tahu aku akan memberi ampun kepadamu?”

“Siapa sudi menerima pengampunanmu?” Aku hanya mengatakan bahwa pada saat ini kau tentu tak berani membunuhku!” kata Siau-bun.

Ucapan nona itu ditutup dengan menaburkan tangannya ke udara. Seutas sinar merah segera menghambur. Cepat sekali Sin-bu Te-kun sudah menyambut benda yang dilontarkan si nona itu. Hanya yang jelas benda itu bukanlah sejenis senjata rahasia. Tetapi untuk keheranannya begitu memeriksa benda itu terbeliak mata Sin-bu Te-kun..

“Kau ternyata. ” mulutnya terbuka.

Thian-leng tak dapat mendengar apa yang dikatakan Sin-bu Te-kun lebih jauh, karena pada saat itu juga Siau-bun segera mengajaknya pergi,” Jangan lupa tujuan kita, ayo kita berangkat!”

Sekalipun menurut ajakan si nona, namun Thian-leng tak mau tinggalkan kewaspadaan. Ia terus memandang lekat- lekat kepada Sin-bu Te-kun sembari melangkah mundur. Aneh sekali Sin-bu Te-kun sama sekali tak merintanginya.

Tiba-tiba raja Sin-bu-kiong itu berseru sinis, “Kasih tahu pada ibumu, keputusanku untuk menguasai dunia persilatan sudah lenyap! Jika dia mau bekerja sama, tentu kubagi rata kedudukan itu, tetapi kalau tidak. ” 

Thian-leng hanya samar-samar menangkap arti kata-kata itu, tapi ia tak sempat merenungkan lebih jauh karena ia sudah diseret sampai tujuh delapan tombak jauhnya oleh Siau-bun.

“Apakah yang kau lemparkan tadi sehingga membuat ia ” ia hendak minta keterangan.

“Saat ini kita berada dalam kepungan orang Sin-bu-kiong,” Siau-bun memutus, “iblis tua itu setiap saat dapat berobah haluan. Lebih baik kita lekas pergi dari sini!”

Thian-leng terpaksa menurut. Dalam beberapa kejap saja, mereka sudah tiba di dalam sebuah hutan di kaki gunung. Suasana malam sunyi sekali.

Siau-bun menggunakan ilmu menyusup suara,”Tempat ini tampaknya sunyi senyap, tetapi sebenarnya penuh dengan naga dan harimau!”

Diajaknya Thian-leng bersembunyi di sebuah gerumbulan pohon. Diam-diam Thian-leng heran mengapa ia tak melihat barang seorangpun manusia. “Apakah tempat ini benar Co-gan-hong?” tanyanya.

Siau-bun mengiyakan.

“Katanya ketua Tiam-jong-pay dikepung di sini, tetapi mengapa sepi-sepi saja, apakah….”

“Memang seperti orang Sin-bu-kiong yang mengepung, tetapi kurasa pertempuran ini tidak terbatas hanya antara Tiam-jong-pay dengan Sin-bu-kiong saja… ”

“Oo, masih ada lain partay…” “Tunggu saja sebentar lagi…!”

Thian-leng tak habis herannya. Banyak nian keanehan yang dijumpainya. Tiba-tiba dari dalam hutan muncul lima sosok bayangan hitam. Gerakan mereka gesit sekali, tentulah jago-jago silat yang sakti.

Karena mencurahkan pandangannya kepada Sin-bu Te-kun, maka Thian-leng tak dapat melihat jelas kelima bayangan itu. Ia menanyakannya kepada Siau-bun.

“Akupun tak tahu golongan mana mereka itu,” jawab Siau-bun, “tetapi yang jelas di hutan ini penuh tokoh-tokoh persilatan dari segala penjuru dunia. ”

“Mengapa aku tak dengar apa-apa? Apakah karena kau menggunakan ilmu Melihat-langit-mendengar bumi… ”

“Tetapi sampai saat inipun aku tak mendengar apa-apa,” sahut Siau-bun, “ini membuktikan mereka itu memiliki kepandaian sakti. Dan lagi karena terhalang lamping gunung, sehingga tak mudah tertangkap suaranya…. ”

“Bagaimana, apa sudah kedengaran apa-apa?” tanya Thian-leng sesaat kemudian.

“Sekeliling penjuru ini penuh dengan orang. Entah apakah yang mereka tunggu,” kata Siau-bun, “Celaka, kedatangan kita mungkin sudah diketahui, lebih baik… ”

(bersambung jilid 16 )
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar