Panji Tengkorak Darah Jilid 14

Jilid 14 . 

Thian-leng cemas, “ Kalau begitu bukankah …. ?”

“Segala apa kita harus menyesuaikan dengan gelagat, tak usah kau cemas!” tukas Siau-bun.

Pada saat itu dua orang pengawal Hek Gak muncul dengan membawa baskom air dan tempat api. Siau-bun dengan tertawa-tawa segera menyerahkan Ban-lian-liong-cu kepada Kongsun Bu-wi, ujarnya, “Silakan mencobanya di hadapan hadirin!”

Kongsun Bu-wi menyambuti. Matanya tak berkedip memandang mustika itu. Wajahnya menampilkan nafsu memiliki. “Rupanya ada rasa dalam hatimu untuk memiliki mustika itu, eh?” Siau-bun tertawa mengolok.

Kongsun BU-wi merah mukanya, “Jangan mengukur baju orang menurut ukuranmu sendiri!” serunya.

Siau-bun tertawa gelak-gelak, “Jika kau tak mendustai batinmu, saat ini kau merasa gelisah kalau mustika itu sampai teremas hancur oleh gurumu. Karena dengan begitu kau tentu tak dapat memilikinya!”

Karena malu, marahlah Kongsun Bu-wi, “Ngaco! Orang macam apakah diriku? Masakah sebutir mustika macam begitu saja dapat menggerakkan keinginanku!?”

Alis Siau-bun menjungkit, “Sudahlah , jangan coba sangkal isi hatimu, toh tiada yang tahu!”

Wajah ketua Hek Gak berobah makin gelap. Segera ia lemparkan Ban-lian-liong-cu ke dalam baskom air. Serentak terdengarlah pekik kaget dari sekalian orang. Begitu tercebur air, mustika itu seperti membelah air. Di Sekeliling mustika air sama menyiah beberapa dim jauhnya.

Wajah Kongsun Bu-wi makin gelap. Ia ambil mustika keluar. Jelas ketika memasukkan tangan ke dalam basko, ujung bajunya itu terendam air. Tetapi anehnya setetes airpun ujung bajunya tak basah dan mustika Ban-lian-liong-cu kering kerontang.

“Bagaimana… ” ujar Siau-bun seraya maju menghampiri.

Kongsun Bu-wi terpukau tak dapat menjawab. Serentak ia lemparkan mustika ke dalam anglo api. Kembali mata ketua Hek Gak terbelalak. Anglo yang penuh dengan api membara, tersiak oleh Ban-lian-liong-cu. Ujung baju Kongsun Bu-wi yang masuk ke dalam api tidak terbakar sama sekali. Bahkan tangannya yang memegang anglo itu sedikitpun tak terasa panas.

Akhirnya ketua Hek Gak menarik pulang tangannya. Sejenak ia memuaskan pandangannya ke arah mustika itu, baru diberikan lagi kepada Siau-bun, ujarnya,” Mustika ini memang benar Ban-lian-liong-cu yang asli, sekarang boleh kau serahkan kepada suhu!”

Dengan tersenyum Siau-bun menyambutnya.

“Serahkan padaku, lekas. Aku tak sabar lagi menunggu!” tiba-tiba Bok Sam-pi berteriak.

Siau-bun memutar dirinya menghadapi, ujarnya, “Baik, kita bicarakan dahulu secara jelas. Barang siapa kalah tak boleh ingkar janji!”

“Kurang ajar, kau anggap aku ini orang apa? Masakah aku sudi ingkar janji padamu ! » Bok Sam-pi marah-marah.

Namun si nonan masih tetap tersenyum simpul, ujarnya. “Pertanyaan lo-cianpwe itu sudah cukup menjadi jaminan!” Ia segera angsurkan mustika Ban-lian-liong-cu kepada Bok Sam-pit.

Begitu menyambuti mustika, sejenak Bok Sam-pi memepermainkannya. kemudian tiba-tiba ia menjepit mustika itu dengan jari tengah dan jari telunjuk, lalu tertawa gelak-gelak, “Sebenarnya aku tak sampai hati menghancurkan mustika ini….!”

Thian-leng seperti disadarkan. Ia merasa dapat menduga rencana yang dijalankan Siau-bun. Jika Bok Sam-pi sampai tak rela meremas hancur mustika itu, berarti ia kalah dan dapatlah Siau-bun lolos dari neraka Hek Gak. Demikianlah dugaannya. Tetapi ternyata dugaan itu meleset………

“Tetapi jika tak kuremas hancur, berarti aku menyerah kalah padamu,budak perempuan! dengan begitu bukankah aku…..bukankah ….” tiba-tiba Bok Sam-pi bersungut-sungut. Ia tak melanjutkan kata-katanya lebih jauh, tetapi mulai kencangkan kedua jari yang menjepit Ban-lian-liong-cu…….

Wajah thian-leng berobah seketika. Sejenak ia berpaling memandang Siau-bun tetapi nona itu tampak tenang-tenang saja. Sedikitpun tak menunjukkan rasa cemas.

Saat itu tampak wajah Bok Sam-pi agak mengeras tegang. Sepasang matanya terpentang lebar. Kedua tulang pelipisnya mulai menonjol, begitu pula dahinya. Jelas menunkukkan bahwa ia menghadapi kesukaran!

Melihat itu Kongsun Bu-wi dan sekalian anak buahnya tampak tegang. Mata mereka mengikuti lekat-lekat pada mustika yang terjepit di tengah kedua jari tangan Bok Sam-pi.

Wajah Bok Sam-pi makin tegang. Warnanya berobah merah seperti darah, giginya mengerut kencang. Inilah yang pertama kali ia menghadapi kesulitan besar dan kekalahan. Siau-bun tersenyum datar. Ia acuh tak acuh.

Dalam pada itu, sang waktupun merayap terus dengan cepat. Tak terasa sudah sejam lamanya Bok Sam-pi melakukan taruhannya. Tangan kanannya tampak gemetar, dahinya mengucurkan butir-butir keringat sebesar biji kedele. Warna wajahnya yang merah padam berobah biru gelap. Nyata dia sedang mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk meremas Ban-lian-liong-cu.

Akhirnya… ia menghela napas, “Aku tak dapat memijat hancur mustika ini. Ya, aku menyerah kalah!” ujarnya disertai helaan napas rawan.

Kongsun Bu-wi seperti mendengar halilintar berbunyi di tengah hari. Buru-buru ia maju melangkah, “Tidak, suhu belum kalah!”

Bok Sam-pi menghela napas, “Bagaimana tidak kalah?”

“Karena mustika itu memang luar biasa kerasnya. ” ia lepaskan lirikan tajam kepada Siau-bun, katanya pula, “Jika

dia mampu meremasnya hancur, barulah benar-benar dia menang. Tetapi jika dia tak dapat, berarti seri. Pertandingan ini tiada yang kalah atau menang dan boleh diganti dengan cara lain.”

“Benar, benar.” Bok Sam-pi seperti disadarkan. Segera ia berikan Ban-lian-liong-cu kepada Siau-bun. “Sekarang kau yang meremasnya!”

Siau-bun tak ragu-ragu menyambuti mustika itu. Ia tertawa mengejek Kongsun Bu-wi. “Memang telah kuduga kau akan mengajukan usul ini!”

Sejenak Siau-bun mengepal-ngepal mustika di dalam telapak tangan, setelah itu dijepit dengan jari telunjuk dan jari tengah. Serunya kepada Bom Sam-pi, “Silakan Cianpwe melihat dengan betul!”

“Tentu, ayo pijitlah!” Bok Sam-pi mengangguk, mengira nona itu tentu tidak dapat. Kongsun Bu-wi tertawa yakin. Tetapi pada lain kejap, suara tertawanya sirap ditelan kekagetan. Ketua Hek Gak itu terlongong-longong

melongo. lutnya ternganga!

Jelas terngiang di telinganya suatu suara letupan kecil. Mustika Ban-lian-liong-cu yang terjepit di jari Siau-bun itu pecah berhamburan......

Sekalian orang menjerit kaget! Benar-benar sukar dipercaya. Ketua Hek Gak berdenyut-denyut kepalanya, bumi yang dipijaknya serasa berputar. Ceng-ceng yang tengah belutut di depan ranjang, bangkit serentak! Wajahnya penuh diliputi seri kegirangan. Dipandangnya Siau-bun dengan lekat.

Tiba-tiba Bok Sam-pi menjerit, “Sudahlah, sudahlah, aku kalah… ”

“Tidak suhu, kau tetap belum kalah!” Kongsun Bu-wi berseru. “Mengapa tidak?” sahut Bok Sam-pi.

Ketua Hek Gak tertaw sinis.” Dengan susah payah suhu memijat, tetapi gagal. Mengapa dia hanya sekali pijat saja sudah dapat menghancurkan? Bukankah kau lebih sakti dari dia? Bukankah dia tentu menggunakan tipu muslihat!”

Perut Bok Sam-pi yang gendut tampak terkial-kial karena menahan gejolak perasaan. tetapi tak tahu bagaimana hendak menumpahkan. Marahkah atau sedihkah? Siau-bun tertawa dingin, ujarnya kepada Bok Sam-pi, “Ketika kupijit Ban-lian-liong-cu bukankah cianpwe mengawasi dengan jelas?”

“Benar…..” Bok Sam-pi menyahut terpaksa. “Apakah aku menggunakan ilmu sihir?” “Rasanya eh…. tidak…”

“Dengan begitu lo-cianpwe rela mengaku kalah?” kata Siau-bun dengan nada serius. “Ya, aku menyrah kalah!”

“Tidak , suhu tak boleh menyerah kalah, jika. ” cepat-cepat ketua Hek Gak menukas. Tetapi secepat itu pula Siau-

bun segera berseru keras kepada Bok Sam-pi, “Jika lo-cianpwe tak suka mengaku kalah, sayapun tak dapat berbuat apa-apa. Tetapi bagi martabat lo-cianpwe dalam dunia persilatan, tidaklah layak untuk menelan ludah lagi!”

“Siapa bilang aku menelan ludah?” Bok Sam-pi murka.

“O, kalau benar cianpwe tak ingkar janji, marilah sekarang kita laksanakan perjanjian kita!” desak Siau-bun. “Perjanjian apa ?” Bok Sam-pi mengerutkan dahi,

“Ah, apakah lo-cianpwe benar-benar pelupa sekali?”

Bok Sam-pi mendengus, “Karena kau yang menang, maka segala macam hukuman

yang hendak kujatuhkan padamu itu batal semua. Kalian boleh keluar dari istana Hek Gak sini. Apakah ini tidak cukup? Apakah masih hendak suruh aku menganar kalian?”

Cepat Siau-bun menanggapi, “Itulah! Memang ada dua buah urusan kecil yang memerlukan persetujuan lo-cianpwe!” Bok Sam-pi mendengus lagi, “Tidak bisa, aku ini orang macam apa, masakah kau suruh mengantarkan!”

Siau-bun tertawa dingin, “Jika cianpwe menganggap dirimu sebagai ksatria sejati, haruslah berjiwa ksatria!”

Marah Bok Sam-pi tak tertahan lagi. Segera ia mengangkat tangannya hendak menghantam. Tetapi Siau-bun acuh tak acuh. Melihat itu Bok Sam-pi menghentikan tinjunya dan perlahan-lahan menurunkan lagi. Keriput kemarahannya perlahan-lahan kendor, berganti kerawanan. Akhirnya menghela napaslah ia, “Baik, akan kuantar kalian keluar dan sebutkanlah kedua tuntutanmu itu.”

“Kesatu, serahkan cucumu Bok Ceng-ceng itu kubawa pergi. Kedua , minumlah sebutir pil dariku.” “Kau hendak suruh aku minum pil? Perlu apa?” Bok Sam-pi melongo.

“Supaya jiwamu lekas melayang,” sahut Siau-bun tenang. “Hm, apakah tiada jalan lain lagi?” dengus Bok Sam-pi.

“Perangaiku sama dengan perangaimu. Apa yang kukehendaki, tentu harus kulaksanakan. Atau lebih baik kau ingkar janji dan bertempur dengan aku lagikah?” Siau-bun mengejek.

Bok Sam-pi menggelengkan, “Baik, kuterima kedua syaratmu itu. Akan kuantarkan kalian keluar dari sini dan kuminum pil mautmu itu… !”

“Tunggu !” sekonyong-konyong Kongsun Bu-wi menjerit.

Siau-bun melirik tajam kepada ketua Hek Gak itu serunya, “Telah kukatakan padamu tadi bahwa ada suatu saat kau pasti menyesali perbuatanmu selama ini, nah, bagaimana sekarang?”

“Tak mudah kaulaksanakan kemauanmu itu!” ketua Hek Gak menggeram. “Ah, belum tentu. Segala apa yang akan terjadi semua di luar dugaanmu. ” Menjeritlah ketua Hek Gak itu dengan kalap, “Jika kau sampai mampu keluar dari istana ini akan kurayakan dengan bunuh diri!”

Tiba-tiba ketua Hek Gak itu berpaling ke arah Bok Sam-pi dan membentak, “Bok conghouhwat!”

Mendengar itu kejut Bok Sam-pi bukan kepalang. Segera ia hendak berlutut memberi hormat. Tetapi secepat itu juga Siau-bun sudah membentaknya, “Nanti dulu!”

“Jangan menjual muslihat!” bentak ketua Hek Gak murka.

Siau-bun menyambutnya dengan tertawa dingin, “Justru kebalikannya! Aku hanya hendak melucuti kedokmu selama ini, hanya sayang….” ia tertawa mengikik, ujarnya pula, “Segala tipu muslihatmu itu gagal semua!”

“Apa maksudmu!” bentak ketua Hek Gak.

“Kau hendak menggunakan pengaruhmu sebagai ketua untuk memaksa Bok Lo-cianpwe tunduk kepadamu bukan?”

“Istana Hek Gak mempunyai tata tertib yang keras. Walaupun beliau menjadi guruku, tetapi karena beliau menjabat sebagai Conghouhwat, maka wajib menurut perintahku!” sahut ketua Hek Gak dengan congkak.

“Tanpa kau sadari, dalam babak ini kau sudah mengaku kalah!” Siau-bun tertawa. “Bagaiman kalahnya?”

“Tadi Bok-locianpwe sudah menyatakan bahwa malam ini tiada lagi garis pemisah antara ketua dan anak buah, melainkan beliau berbicara dalam kedudukan sebagai guru dengan murid. Bukankah hal itu sudah merupakan kekalahan bagimu?”

“Benar, benar! Malam ini kaulah yang seharusnya mendengar perintahku!” Bok Sam-pi seperti disadarkan.

Serentak berobahlah cahaya muka Kongsun Bu-wi. Giginya terdengar bercatrukan menahan kemarahan. Tetapi ia tak dapat membantah sepatah pun juga.

Thian-leng kagum sekali atas kecerdikan si nona. Tiba-tiba Siau-bun gunakan ilmu menyusup suara berseru kepadanya, “Siap-siaplah, kita segera akan angkat kaki dari sini!”

Thian-leng terkesiap. Cepat ia bersiap dengan pedang dan mengerahkan tenaga Lui-hwe-ciang. Apabila anak buah Hek Gak berani merintangi, ia hendak adu jiwa dengan mereka.

Siau-bun perlahan-lahan menghampiri kehadapan Bok Sam-pi, ujarnya, “Lo cianpwe marilah kita pergi!” “Baik, “ Bok Sam-pi tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengiyakan.

Tiba-tiba Siau-bun gunakan ilmu menyusup suara kepada si jago tua itu,” Muridmu itu sukar diraba hatinya. Jika lo- cianpwe tak siap sedia, dia tentu diam-diam akan memerintahkan supaya menutup jalan dan menggerakkan perkakas rahasia. Mati bagi kami anak-anak yang tak bernama ini tak mengapa. Tetapi betapa besar akibatnya bagi kebesaran nama lo-cianpwe!”

“Beralasan juga ,” dengus Bok Sam-pi.

“Apa kata mereka kepada suhu?” ketua Hek Gak berseru kaget. Bok Sam-pi deliki mata, teriaknya, “Kemarilah!”

“Suhu hendak memberi pesan apa?” Kongsun Bu-wi makin kaget.

“Aku kuatir kau nanti diam-diam menyuruh orang menjalankan perkakas rahasia, hal itu pasti akan menjatuhkan namaku!”

“Apakah suhu percaya?” ketua Hek Gak kaget bercampur marah.

Bok Sam-pi tertegun. Tetapi pada lain saat ia menjawab tanpa ragu-ragu. “Percaya saja. Kutahu apa yang dapat kaulakukan….” ia berhenti sejenak lau melanjutkan pula. “Karena itu hendak kupelintir dulu urat pergelangan tanganmu agar hatiku tenteram!”

Seketika berobahlah wajah ketua Hek Gak. Kakinya terhuyung mundur beberapa langkah. Maksudnya ia akan loncat keluar ruangan. Tetapi Siau-bun cepat menyentaknya, “Eh, jangan coba kabur, ya! Bok lo-cianpwe sepuluh kali lipat dari kepandaianmu. Dalam jarak seratus tombak, beliau masih dapat menangkapmu!”

Bok Sam-pi tokoh yang sudah limbung otaknya seperti disadarkan. Bentaknya murka, “Apa? Kau hendak lari?” Berbareng itu ia ulurkan tangan mencengkeram.

Rencana Kongsun Bu-wi untuk melarikan diri dan mempersiapkan perkakas rahasia dalam istana itu menjadi berantakan. Selagi ia termangu, Bok Sam-pi sudah menamparnya. Sebagai murid ia tahu sampai di mana kesaktian gurunya itu. Tak berani ia menangkis melainkan mandah mengikuti gerak cengkeraman gurunya, mencelat ke hadapan Bok Sam-pi.

Gemuk sekalipun potongan tubuhnya, tetapi tangan Bok Sam-pi tangkas bukan kepalang. Secepat kilat ia sudah mendcengkeram pergelangan tangan Kongsun Bu-wi.

Ketua Hek Gak itu menumpahkan kemarahannya kepada Siau-bun, “Cu Siau-bun, ingatlah, lambat atau cepat ada suatu hari tulang belulangmu tentu akan kuremukkan!”

Cu Siau-bun hanya ganda tertawa, “Nanti saja kita bicara lagi apabila hari itu sudah tiba...”

Setelah itu ia berpaling kepada Ceng-ceng yang masih tercengang-cengang, “Nona Bok, marilah kita pergi!”

Ceng-ceng seperti orang dibangunkan dari mimpi, serta merta ia mengikuti di belakang Cu Siau-bun yang berjalan keluar. Sementara itu Bok Sam-pi tampak seperti orang yang limbung. Dengan masih mencekal lengan Kongsun Bu- wi, ia tak berkata sepatahpun juga. Ia juga tak sejenakpun melihat pada cucunya. Ia berjalan seperti orang kehilangan semangat.

Demikianlah kelima orang itu segera beriringan melintasi jalanan istana yang penuh liku-liku. Tok-ko Sing dan berpuluh-puluh pengawal baju hitam hanya mengawasi saja. Mereka tak berani bertindak apa-apa, karena tahu ketuanya sudah dalam penguasaan.

Tak lama kemudian tibalah mereka di luar pintu gerbang Hek Gak. Siau-bun berseru kepada Bok Sam-pi, “Bok Lo- cianpwe, kini sudah berada di luar istana. Boleh suruh mereka pulang!”

“Hm, ya benar, kata-kata itu beralasan...” sahut Bok Sam-pi seperti membeo saja. Segera ia melepaskan cekalan dan menyuruh Kongsun Bu-wi pergi.

Tanpa disadari, Bok Sam-pi sudah dikuasai oleh Siau-bum. Ia menurut saja apa yang dikatakan nona itu.

Kongsun Bu-wi menghamburkan napas untuk melonggarkan dadanya yang sesak dengan kemarahan. Setelah melirik buas ke arah Thian-leng , Siaubun dan Ceng-ceng, tanpa berkata apa-apa ia segera ayunkan tubuhnya melesat pergi.

Setelah ketua Hek Gak itu lenyap, Siau-bun menghela napas lega. Ia segera keluarkan sebuah botol kecil. Ia mengambil sebutir pil berwarna putih seperti salju.

“Lo-cianpwe, silakan minum!” serunya. Bok Sam-pi tersentak kaget, “Pil beracun?”

Dengan wajah bersungguh-sungguh, berkatalah Siau-bun, “Karena lo-cianpwe tak beruntung kalah dengan aku, janganlah menghiraukan lagi pil ini obat beracun atau bukan, tetapi makanlah saja!”

Bok Sam-pi mengangguk-angguk, “Benar, benar, kata-kata itu memang beralasan!” Menyambut pil, terus ditelannya. Melihat itu Ceng-ceng mengucurkan air mata, ratapnya, “Apakah kau benar-benar hendak meracuni kakekku!

Sebenarnya kakek itu seorang baik. Adalah sejak menjadi Cong-houhwat dari Hek Gak, barulah ia berobah seperti

orang limbung begitu!”

Siau-bun menjawab dengan ilmu menyusup suara. “Kesemuanya itu telah kuketahui. Pil itu bukan pil beracun, tetapi pil penenang urat syaraf. Mudah-mudahan ia akan mendapatkan kesadaran pikirannya lagi!” 

“Silakan lo-cianpwe pulang kalau mau pulang, ” kata Siau-bun sesaat kemudian.

“Pulang?” Bok Sam-pi gelagapan. Tiba-tiba ia duduk di tanah, ujarnya. “Aku hendak menunggu kematian di sini!” Siau-bun tak dapat menahan gelinya, “Terserah kalau kau tahan menunggu di sini!”

Bok Sam-pi terbelalak, teriaknya, “Apakah bekerjanya racunmu itu perlahan-lahan?” “Mungkin sekitar 10 hari baru terasa!”

“Sepuluh hari…… ?” Bok Sam-pi mengerutkan dahi.

“Jika kepandaianmu memang tinggi sekali, mungkin dua puluh sampai tiga puluh hari baru bisa bekerja. Atau mungkin juga seumur hidup takkan bekerja!”

Bok Sam-pi menghela napas, “Budak perempuan, kau sangat menyiksa diriku….”

Siau-bun ganda tertawa, “Menurut pendapatku, lebih baik cianpwe pulang ke dalam istana lagi tentu lebih leluasa.”

Bok Sam-pi benar-benar seperti seekor ayam jago yang jinak! Dengan langkah berat dan menundukkan kepala ia melangkah kembali ke istana Hek Gak.

“Eh, mengapa adik Bun melepaskannya?” Thian-leng terheran-heran.

“Penyakit apa yang sebenarnya diderita itu dalam waktu yang singkat tak mungkin kuketahui. Yang kuberikan padanya tadi hanyalah pil biasa. Dapat tidaknya pil itu menyembuhkannya, aku atk berani memastikan. Sesudah minum pil itu memang seharusnya ia beristirahat beberapa hari barulah terasa khasiatnya. Maka kurasa lebih baik kulepaskan pulang saja!”

Selanjutnya Siau-bun menerangkan bahwa apabila pikiran jago tua itu sudah pulih kembali, tanpa harus diberi petunjuk, tentu akan menyadari apa yang telah terjadi atas dirinya selama ini. “Dia tentu akan membuat perhitungan dengan Kongsun Bu-wi!” kata Siau-bun.

Thian-leng kagum sekali atas kecerdikan nona itu. “Tetapi bagaimana dengan mutiara Ban-lian-liong-cu itu...?”

Siau-bun merogoh ke dalam baju mengeluarkan kotak berisi mutiara itu. “Apakah kau ingin melihat mutiara ini lagi!” katanya.

“Memang aku tak percaya kalau adik rela menyerahkan mutiara itu kepadanya. Kupercaya mutiara itu tentu masih berada dalam tempatnya, bukan?”

“Tentu, tetapi. ” Siau-bun tertawa, “sungguh berbahaya sekali pertunjukan tadi. Sekali mereka mengetahui

permainanku itu, kita tentu akan menjalani hkuman ngeri!”

“Tetapi memang benar-benar aku tak tahu permainan apa yang adik pertunjukkan tadi?”

Siau-bun tertawa geli, “Sebenarnya jika kuterangkan tentu tak ada hal yang patut diherankan! Selain mustika Ban- lian-liong-cu itu, aku masih mempunyai sebutir mutiara yang serupa besar dan warnanya dengan Ban-lian-liong-cu itu. Pun kudapatnya juga berbarengan waktunya, hanya saja mutiara itu tak berharga sama sekali. Hanya bedanya yang asli itu licin dan yang palsu suram. Mustika yang licin kuberi minyak dan kupasang pada rambutku. Sekalipun Bok lo-cianpwe itu sakti tetapi dia sudah dibikin limbung pikirannya oleh ketua Hek Gak, sehingga tak dapat memperhatikan palsu tidaknya mustika itu.

Pada saat kuterima Ban-lian-liong-cu dari tangan Bok lo-cianpwe, segera kutukar dengan mustika yang palsu. Maka sekali pijat saja hancurlah mutiara itu. !”

Kini mengertilah Thian-leng mengapa Siau-bun dapat memijat hancur mutiara yang dikira Ban-lian-liong-cu. Makin dalam rasa kagum dan hormat Thian-leng terhadap si nona yang dalam saat-saat menghadapi bencana maut dapat bersikap tenang sekali.

Siau-bun lalu berkata kepada Bok Ceng-ceng, “Adik Ceng, tahukah kau mengapa kubawa kau keluar dari istana Hek Gak.?” Ceng-ceng mengangguk, “Kini aku tahu apa sebab kakek tak menghiraukan diriku bahkan ada kala begitu membenci dan ingin membunuhku. Setelah terjadi peristiwa ini, ketua Hek Gak tentu akan benci padaku, kemungkinan besar tentu akan membereskan diriku...” habis bekata dara itu segera berlutut di depan Siau-bun dan Thian-leng, ujarnya, “Terimalah hormat dan terima kasihku atas pertolongan tuan berdua!”

Siau-bun buru-buru menilakan bangun, “Jangan terlalu banyak peradatan, aku tak berani menerima kehormatan yang demikian besar.”

Sejenak dara itu melirik pada Thian-leng lalu menanyakan apakah hubungan antara Siau-bun dengan Thian-leng.

Tiba-tiba Siau-bun mencopot kain kepalanya dan tersenyum, “Adik Ceng, lihatlah, aku juga seorang anak perempuan seperti engkau!”

Ceng-ceng memekik kaget dan terlongong-longong.

“Kita berjumpa dalam keadaan menderita kesusahan, berarti kita ini mempunyai jodoh, “ Siau-bun tertawa ramah, ”sekiranya adik tak menolak, aku ingin mengangkat saudara denganmu, entah…..”

“Kalau taci tak menolak diriku, sungguh besar sekali rejekiku!” Bok Ceng-ceng berteriak menukas.

Begitulah maka kedua nona itu segera melakukan upacara sederhana mengangkat saudara. Siau-bun lebih tua setahun dari Ceng-ceng. Selanjutnya kedua nona itu berbahasa taci dan adik. Thian-leng memberi selamat kepada mereka.

Perkenalan singkat yang berakhir dengan angkat saudara itu ternyata memuaskan kedua nona itu. Mereka merasa cocok satu sama lainnya. Tak putus-putusnya mereka saling menuturkan tentang riwayat hidupnya selama ini. Begitu uplek mereka bercakap-cakap sehingga Thian-leng seolah-olah tak diacuhkan…

“Adik Ceng, apakah kau suka melakukan sebuah hal untukku?” tanya Siau-bun.

Ceng-ceng terbeliak, “Mengapa taci begitu sungkan terhadapku? Silakan taci mengatakan, tentu akan kulakukan sekalipun harus menerjang lautan api!”

Siau-bun tertawa, “Ah, urusan itu tak begitu menyeramkan! Aku hanya minta tolong supaya kau mengantarkan suratku kepada seorang keluarga yang sudah berpisah selama dua tahun!”

“Di mana tempat tinggalnya?” tanya Ceng-ceng.

Siau-bun mendekat dan membisiki telinga adik angkatnya, Ceng-ceng mengangguk.

“Sampai berjumpa,” ia mengambil selamat berpisah dan tanpa mengacuhkan Thian-leng, terus saja ia melangkah pergi.

Thian-leng tercengang, tetapi ia tak mau bertanya.

Siau-bun melirik tertawa, “Aku mempunyai rencana supaya ia pergi. Kau takkan menyalahkan aku bukan?”

“Ah, mengapa adik Bun mengatkan begitu. Aku selalu mengagumi apa yang kau lakukan, apalagi aku tak mempunyai hubungan apa-apa dengan nona itu!”

“Fui, jangan berlagak. Masakah kau dapat melupakannya?” olok Siau-bun.

Diam-diam Thian-leng menghela napas. Ah, wanita, wanita. Masakah baru saja berkenalan sudah dicemburui. Kalau seorang nona yang berpandangan luas seperti Siau-bun masih dihinggapi perasaan begitu, apalagi nona-nona lainnya.

“Ah, aku hanya berolok-olok saja, mengapa kau begitu sungguh-sungguh?” Siau-bun tertawa.

Nona itu segera mengangsurkan sebuah benda. Ketika Thian-leng menyambuti, ia mengerang tertahan.

Kiranya Giok-ti-tho atau peta Telaga Zamrud! Sebelum masuk ke dalam istana Hek Gak, peta itu diserahkan kepada Siau-bun. Maksudnya agar si nona jangan turut masuk ke dlam istana. Apabila dirinya sampai tertimpa musibah. peta itu tetap berada di tangan Siau-bun. Tetapi ternyata si nona nekat ikut.

Kini badai telah berlalu. Mereka selamat dan peta pun kembali...... ooo0000oooo Lenyap tanpa bekas

“Terserah kau, “ kata Siau-bun ketika menjawab pertanyaan Thian-leng tentang tempat tujuan yang hendak mereka tempuh. Tetapi sekalipun mulut mengatakan begitu, nona itu sudah mendahului ayunkan langkah.

Agak bingung rupanya Siau-bun mengenai tempat yang hendak dituju. Ada tempat yang ia merasa tak leluasa kalau mengajak pemuda itu. Ada pula tempat yang ia sendiri tak suka pergi. Dan yang paling menjadi pemikirannya ialah tentang Lu Bu-song. Bagaimanakah ia nanti menghadapi dara itu apabila bersua kembali.....

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara orang merintih. “Tidakkah adik Bun mendengar suara rintihan. ?”

“Eh, kau ini bagaimana. Dengan ilmu Melihat langit-mendengar bumi, bukan saja mendengar jelas, akupun bahkan dapat melihatnya. Itu kan hanya seorang yang kebetulan lewat di sini merasa tak enak badan maka beristirahat di bawah pohon. Mengapa kita ribut-ribut?” sahut Siau-bun.

Thian-leng tersentak diam. Tetapi baru beberapa tombak jauhnya, ia melihat seorang tua bersandar pada sebatang pohon. Orang itu mendekap perutnya sambil merintih-rintih. Tanpa menghiraukan bagaimana reaksi Siau-bun lagi, terus saja Thian-leng menghampiri tempat orang itu.

“Apakah lo-cianpwe sakit? Perlukah kubantu?” tanyanya.

Orang tua itu terus merintih-rintih. Tubuhnya terhuyung-huyung seperti tak kuat lagi menyandar pada pohon. Buru- buru Thian-leng memapahnya, “Lo-cianpwe, maukah kuajak ke kota terdekat mencari tabib?”

Tiba-tiba orang tua itu meronta dari pegangan si anak muda, “Tak usah., penyakitku ini memang sering kumat, sebentar tentu sembuh!”

Thian-leng mengerutkan dahi. Ia merasa kasihan melihat seorang tua berpenyakitan berjalan seorang diri di malam buta. Tetapi ia terpaksa tak dapat memikirkan diri orang tua itu lebih lanjut, karena Siau-bun tak mengacuhkan sama sekali dan tetap berjalan terus. Sebentar saja nona itu sudah belasan tombak jauhnya.

“Terima kasih.... atas……perhatian ..tuan… kepadaku… si orang tua ini!” kata si orang tua dengan suara lemah.

Thian-leng hanya dapat menghela napas dan segera meninggalkan orang tua itu. Ternyata Siau-bun lambat sekali jalannya, seperti sengaja hendak menunggunya. Begitu si anak muda tiba, segera ia cebikan bibir dan menertawakannya, “Uh, ternyata kau seorang manusia yang berhati mulia!”

Tak tahu Thian-leng bagaimana harus menanggapi ucapan si nona. Artinya seperti orang memuji tetapi nadanya sinis sekali.

Saat itu hari sudah menjelang terang tanah. Angin terasa dingin. Sesaat kemudian Thian-leng menanyakan apakah si nona tidak dingin.

“Badan memang dingin, tetapi hatiku terasa hangat,” Siau-bun memberi sebuah lirikan kepada pemuda itu. Gelora darah muda telah mendorong si nona menghampiri Thian-leng dan terus menjatuhkan diri di dada. Thian-leng terpaksa menyanggapi. Mereka berjalan sambil berpelukan.

Fajar hampir tiba. Tiba-tiba Thian-leng menjerit kaget, “Celaka!” “Mengapa?” Siau-bun tersentak kaget.

Wajah Thian-leng tampak pucat, suaranya terbata-bata, “Pe….ta…… i….itu. ” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya,

karena sibuk menggerayangi seluruh pakaiannya.

“Tenang,” Siau-bun kerutkan dahi,” katakanlah perlahan-lahan.” Masih Thian-leng banting-banting kaki, “Peta Telaga zamrut. ” “Apa? bagaimana dengan peta itu? Bukankah telah kau simpan dalam bajumu?” Siau-bun gugup. Thian-leng menghela napas, “Benar, tetapi sekarang tak ada lagi!”

“Apa? Peta itu hilang?” Siau-bun melonjak kaget.

“Tentu jatuh, mari kita balik mencarinya,” seru Thian-leng. Demikianlah keduanya segera balik menyusur sepanjang jalan yang dilaluinya tadi. Kalau thian-leng mati-matian mengamat-amati setiap benda yang tampak menggeletak di jalan, tidak demikian dengan Siau-bun. Nona itu diam-diam sudah membatin. Ia tahu bahwa pencariannya itu tentu akan sia-sia. Tak mungkin sebuah peta pusaka yang sudah disimpan sedemikian hati-hati, dapat jatuh di jalan. Dan andaikata benar-benar jatuh, tentulah juga sudah ditiup angin. 

Kurang lebih dua jam lamanya mereka mencari, tetapi tetap tidak berhasil menemukan apa-apa. Saking jengkelnya Thian-leng hendak nekad mati. Siau-bun juga tak kurang gelisahnya. Kalau peta pusaka itu sampai jatuh di tangan orang Hek Gak atau Sin-bu Te-kun, hebatlah akibatnya.

Tiba-tiba Siau-bun mebanting-banting kaki, “Celaka, peta itu tidak jatuh tetapi terang dicuri orang!”

“HA? Dicuri orang?” Thian-leng tercengang. “Sejak keluar dari istana Hek Gak, kita toh belum berjumpa dengan siapa- siapa. Apalagi peta itu kusimpan hati-hati di dalam bajuku, bagaimana bisa dicuri orang...” ia berhenti seketika, seolah-olah seperti orang tersadar, “Adik Bun maksudkan si orang tua berpenyakitan itu tadi?”

“Siapa lagi kecuali dia!” kata Siau-bun dengan nada berat. (bersambung ke jilid 15)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar