Panji Tengkorak Darah Jilid 11

Jilid 11 .

“Dia?” Thian-leng berseru kaget, “bukankah dia mendapat kecelakaan di gunung Thay-heng-san. ”

“Tidak, dia masih hidup. ” sahut Cu Siao-bun dengan nada rawan.

( Catatan: Cu Siao-bun adalah gadis baju merah yang bercakap-cakap dengan Thian-leng saat itu. Sedang Cu Siau- bun adalah pemuda berwajah pucat yang dijumpai Thian-leng ketika keluar dari gunung Hun-tiong-san. Agar tidak membingungkan, maka digunakan ejaan Siao untuk si gadis dan Siau untuk si pemuda – Pen).

Tiba-tiba terlintaslah sesuatu dalam benak Thian-leng, Cu Siao-bun dan Cu Siau-bun. Namanya hampir sama dan wajahnya serupa. Mengapa gadis Siao-bun membawakan surat pemuda Siau-bun? Aneh....

“Mungkin kau merasa heran, bukan ? “ tegur Cu Siao-bun. “Ya,...... apakah nona ”

Siao-bun tertawa, “Sebenarnya tiada hal yang perlu diherankan. Cu Siau-bun adalah engkoh. jadi wajar kalau sama wajahnya…. “

“O, kiranya nona adik dari saudara Cu, maaf!” Thian-leng seperti tersadar. Selanjutnya Thian-leng segera menanyakan berita pemuda Cu Siau-bun.

“Dia masih hidup di dunia, tetapi. ” Siao-bun tak melanjutkan kata-katanya. Dengan pandangan rawan ia menatap

Thian-leng.

“Dia. dia bagaimana?” Thian-leng gelisah.

“Segera akan mati!”

“Hai. !” thian-leng menjerit, “ Di mana sekarang ia?”

“Apakah kau ingin menemuinya?” tanya Siao-bun.

“Ya, engkoh nona itu telah banyak melepas budi padaku. Sudah tentu aku harus menjenguknya!”

“Rupanya engkohku juga selalu teringat padamu. Kini ia berada dalam rumah penginapan Ih-hian di kota Ceng-liong- tin. Kira-kira dua ratus li dari sini. ”

“Jangankan hanya dua ratus li, sekalipun ribuan li aku tetap akan menjumpainya,” sahut Thian-leng.

Tampak wajah Siao-bun tertawa girang, ujarnya dengan tertawa, “Jika kau memang bermaksud begitu, silakan lekas ke sana. Kalau tidak dikuatirkan kau tak dapat bertemu dengan engkohku lagi selama-lamanya!”

“Maaf, aku segera hendak ke sana!” Thian-leng terus memutar tubuh melesat pergi.

Siao-bun memandang bayangan pemuda itu dengan terlongong-longong. Tiba-tiba wajahnya mengerut keras, ujarnya seorang diri, “Lu Bu-song, sekalipun kau ini adik misanku, tetapi dalam hal ini aku tak dapat mengalah padamu!”

ooooo00000ooooo

Thian-leng menggunakan ilmu lari cepat. Ia ingin segera dapat menyusul si dara Bu-song, kemudian baru menuju ke kota Ceng-liong-tin menjenguk Cu Siau-bun yang sakit keras. Kepada pemuda wajah pucat itu, Thian-leng juga berhutang budi. Adalah pemuda itu yang membebaskan dirinya dari kepungan delapan anak buah Sin-bu-kiong ketika Thian-leng baru keluar dari markas Hun-tiong Sin-mo. Adalah pemuda itu juga yang menunjukkan tentang tipu muslihat Ma Hong-ing yang mengaku jadi ibunya itu….. Masih banyaklah kebaikan-kebaikan yang diunjukkan pemuda Cu Siau-bun itu kepadanya. Kini pemuda itu menderita sakit berat, entah besok entah sore akan meninggal dunia. Ia ingin sekali menemui pemuda itu. Tetapi …ah, ia mendongkol benar kepada Bu-song. Ia segera perkencang larinya seraya berteriak-teriak, “Adik Song….. Lu….

Bu…..song…..!”

Namun bayangan dara itu tak tampak sama sekali. Seluas puluhan li telah dijelajahi, tetapi ia tak berhasil mencari dara itu.

“Celaka, dia tentu marah dan pulang melapor pada kakeknya!” diam-diam ia mengeluh.

Ketika ia sedang gelisah, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah suara helaan napas panjang. Dan matanya segera melihat sesosok tubuh manusia tengah berlutut di bawah sebuah pohon besar. Ketika dihampiri, ternyata hanya seorang pengemis tua yang sudah putih rambutnya. Wajahnya kumal penuh debu. Pengemis itu duduk bersandar pada batang pohon, sebatang tongkat bambu terletak di sampingnya.

Sekalipun lelah, namun terpaksa ditegurnya juga pengemis itu. “Mengapa lo-cianpwe seorang diri berada di hutan sunyi ini, apakah. ”

Thian-leng bersedia memberi pertolongan apabila pengemis tua itu memerlukan bantuan. Tetapi kata-katanya itu terputus oleh rasa kaget. Pengemis tua itu tiba-tiba membuka matanya. Dua larik sinar berkilat-kilat tajam memancar. Itulah pancaran sinar mata dari seorang ahli tenaga dalam yang hebat.

“Maaf, kalau aku mengganggu lo-cianpwe!” buru-buru Thian-leng berseru seraya memberi hormat lalu pergi. “Tunggu!” sekonyong-konyong pengemis itu berseru. Thian-leng terpaksa hentikan langkahnya.

“Berjam-jam kudengar kau menjerit-jerit seperti anak ayam mencari induknya. Sekarang baru kau minta maaf, apakah tidak terlambat?” dengus pengemis tua itu.

Thian-leng mengerutkan kening. Pikirnya, pengemis ini benar-beanr liar sekali. Ia bermaksud baik, mengapa malah disemprot?

“Aku tak tahu kalau lo-cianpwe sedang beristirahat di sini, maaf! “ terpaksa Thian-leng meminta maaf lagi, lalu melangkah pergi.

Tetapi baru beberapa langkah, kembali pengemis tua itu membentaknya, “Kembali!”

Kali ini Thian-leng tak mau. Ia hanya menyahut tawar, “Aku toh sudah minta maaf padamu!”

Pengemis tua itu tertawa gelak-gelak, “Dalam satu perahu sama-sama mendayung, adalah sudah menjadi suatu keharusan. Kita bertemu di sini, boleh dikata mempunyai jodoh. Paling tidak harus saling memberitahukan nama, baru kau pergi……” pengemis tua itu berhenti sejenak dari ocehannya. Sebelum Thian-leng menyahut, ia sudah lanjutkan kata-katanya lagi, “Aku si pengemis tua ini orang she Auyong, bernama tunggal Beng. Atas kecintaan dari sahabat-sahabat persilatan, aku diberi gelar Thiat-ik Sin-kay ( Pengemis sakti berbulu besi ). Dan kau?”

Thian-leng tertegun, serunya, “Aku yang rendah sampai sekarang belum mempunyai nama. Untuk sementara aku memakai nama Bu-beng-jin!”

Bu-beng-jin artinya ‘Orang yang tak punya nama’.

Auyong Beng tertawa gelak-gelak, “Bu-beng-jin, ah, bagus juga nama itu……” Thian-leng hanya tertawa masam. Sambil berputar ia terus hendak berlalu lagi….

“Sebenarnya aku hendak tidur, tetapi terganggu dengan jerat-jeritmu tadi. Karena sudah terlanjur terjaga, mari kita omong-omong!”

Thian-leng menolak, “Tidak-tidak! Karena masih mempunyai urusan penting, maaf, aku tak dapat menemanimu!”

Pengemis sakti tertawa meloroh, “Meskipun kau tetap hendak pergi, tetapi juga tak perlu terburu-buru begitu. Kalau kita omong-omong barang dua tiga patah kata lagi, toh takkan membuatmu rugi bukan?”

Thian-leng kerutkan dahi, serunya, “Lo-cianpwe hendak memberi pesan apa, silakan lekas mengatakan saja!” 

“Tadi kau jerat-jerit tak keruan itu hendak mencari siapa saja?” “Ini …. seorang adik perempuan …… adik angkatku!”

“Adik angkat...? Berpuluh-puluh tahun si pengemis tua ini berkelana di dunia persilatan, tak pernah aku bicara bohong, tak pernah aku menyombongkan diri. Dengan begitu barulah aku dapat memenangkan ”

Merah padam seketika wajah Thian-leng, “Itu urusanku pribadi, harap lo-canpwe jangan mendesak!”

Kembali pengemis tua itu tertawa keras, “Baik, aku takkan menanyakan urusan pribadi. Bu-beng-jin, rupanya jodoh kita hanya sampai di sini saja. Karena kau mempunyai urusan lain, silakan pergi!”

Thian-leng tak mau banyak cakap. Setelah memberi hormat, segera ia memutar diri dan melangkah pergi. Tetapi baru beberapa langkah, kembali ia harus berhenti lagi. Kiranya ia mendengar pengemis tua itu berkata seorang diri, “Ah, Sip Uh-jong, Sip Uh-jong, kematianmu sungguh mengenaskan sekali.”

Buru-buru Thian-leng balik dan bertanya, “Apakah lo-cianpwe kenal pada Sip lo-cianpwe? Apakah dia. ”

“Mengapa kau tanyakan dia?” wajah Pengemis sakti mengerut gelap. “Terus terang beliau telah banyak melepas budi padaku!”

“O, kiranya kau masih ingat budi? Sayang sahabatku itu sudah mati!” “Benarkah? ” Thian-leng menegas.

“Aku pengemis tua tak pernah bohong!” sahut si pengemis. Namun Thian-leng masih tetap meminta keterangan yang jelas.

“Sahabatku itu dan Tui-hun Hui-mo telah ditutuk jalan darahnya oleh isteri Sin-bu Te-kun. Setelah mereka tak berdaya lalu dibakar!”

Thian-leng pening kepalanya mendengar cerita itu. Samar-samar ia masih ingat akan peristiwa yang telah lalu. Ia anggap keterangan si pengemis itu tentu benar.

“Agaknya lo-cianpwe tahu banyak perihal beliau, apakah lo-cianpwe… ”

“Aku tak punya keistimewaan apa-apa. Tetapi segala peristiwa di dunia persilatan, baik kecil maupun besar, tak nanti luput dari pendengaranku. Maukah kau mendengar peristiwa-peritiwa itu semua?”

“Tak usah, aku percaya penuh pada lo-cianpwe. Aku hanya mengutuk diriku sendiri yang tak punya kepandaian tinggi hingga tak mampu membalaskan sakit hati Sip lo-cianpwe. ”

Pengemis sakti menghela napas, “Benar, meskipun kau sudah meyakinkan ilmu pukulan Lui-hwe-sin-ciang dengan hebat, tetapi hawa dalammu masih kalah jauh dari Sin-bu Te-kun, si Jenggot perak Lu Liang-ong, Hun-tiong Sin-mo dan lain-lain, kecuali ”

“Kecuali bagaimana? Mengapa Lo-cianpwe tak melanjutkan kata-kata?”

Pengemis sakti perdengarkan tawa yang dalam, ujarnya, “Sip U-jong paham ilmu meramal. Tak nanti ia biarkan peta telaga Zamrut itu terbakar bersamanya. Jika sudah memberimu pil Kong-yang-sin-tan, masakah tidak peta itu sekalian?”

“Apa kata lo-cianpwe?” ulang Thian-leng.

“Aku tahu segala apa, tetapi soal peta itu benar-benar aku masih gelap. Sip U-jong memiliki selembar peta Telaga Zamrut. Sebelum ia menutup mata apakah tak diserahkan padamu?”

Thian-leng pun kerutkan dahi. “Sesaat setelah meminum pil Kong-yang-sin-tan, karena tak kuat menahan rasa panas, akupun pingsan sampai lama. Bagaimana dengan nasib Sip lo-cianpwe saat itu aku tak tahu. Begitu pula dengan peta itu!” “Aneh, masakah peta itu turut terbakar……?” gumam pengemis sakti. Beberapa saat kemudian baru ia berkata pula, “Beberapa tahun yang lalu di dunia persilatan telah muncul seorang tokoh baru yang mengejutkan. Kepandaiannya luar biasa. Tokoh-tokoh kelas satu yang berhadapan dengan orang itu hanya seperti anai-anai yang menerjang api. Belum pernah ada seorangpun jago persilatan yang mampu melayani lebih dari tiga jurus….”

“Siapakah tokoh itu?” seru Thian-leng serentak. “It Bi siangjin!” sahut si pengemis.

“It Bi siangjin….. ?” Thian-leng mengulang heran. Ia tak tahu siapa tokoh itu.

“It Bi siangjin adalah seorang pertapa aneh. Tak suka bergaul dengan orang. Sudah berpuluh tahun ia berkelana untuk mencari seorang yang dipandang dapat menjadi murid penggantinya. Tetapi tak ada yang dicocoki, sehingga karena putus asa, ia menguburkan kitab dan pedang pusaka Liong-coan-po-kiam …….”

“O, jadi Telaga Zamrut itu tempat kuburan pusaka!” seru Thian-leng.

“Benar, asal mendapat petanya, tentu dapat mencari pusaka-pusaka terpendam itu.” Pengemis sakti mengatakan, “ kitab pusaka itu ditulis sendiri oleh It Bi siangjin, berisi seluruh ilmu kepandaiannya. Kalau berhasil meyakinkan , Sin- bu te-kun, Hun-tiong Sin-mo, Lu Liang-ong, ya… pendek kata siapapun tentu tak menang……, sayang sekali kalau sampai turut terbakar !”

“Bagaimana lo-cianpwe tahu peta itu berada pada Sip lo-cianpwe ? Dan mengapa Sip lo-cianpwe tak berusaha mencari pusaka itu?”

“Berita itu sudah lama tersiar di dunia persilatan, jadi tak mungkin bohong. Sip U-jong sudah dipunahkan kepandaiannya oleh musuh, maka percuma ia mendapat kitab itu, toh tak dapat meyakinkan lagi. Ia hendak menyerahkan kitab itu kepada orang yang dianggapnya berbakat bagus, agar dapat membalaskan sakit hatinya. Sip U-jong seorang yang pandai meramal, licin dan pandai tentang obat-obatan beracun. Sekalipun ilmu silatnya sudah punah, tetapi bertahun-tahun ia dapat mempertahankan peta itu dari sergapan orang. Ditilik dari akal muslihatnya, tak mungkin peta itu sampai jatuh di tangan Te-it Ong-hui. Maka kusangka kaulah yang diberi peta itu !”

“Tetapi aku tak tahu menahu tentang peta itu dan Sip lo-cianpwe pun tak pernah mengatakannya !” sahut Thian-leng. Pengemis sakti tercengang. Menilik kesungguhan wajah si anak muda, ia percaya Thian-leng tentu tak bohong.

Sampai beberapa lama ia berdiam diri.

“Hai, apakah kau pernah memeriksa tubuhmu ?” tiba-tiba ia tersadar. “Memeriksa tubuh ? Perlu apa ?” Thian-leng melongo.

“Setelah minum pil, bukankah kau lantas pingsan? Pun pada saat Te-it Ong-hui tiba, ia tak sempat menggeledah badanmu. Siapa tahu Sip U-jong diam-diam menyelinapkan peta itu dalam tubuhmu!”

Walaupun kurang percaya, tetapi Thian-leng anggap tiada jeleknya ia memeriksa tubuhnya. Dan memang sejak meninggalkan lembah Hong-lim-koh, tak pernah ia memeriksa pakaiannya. Pun ketika Ki Seng-wan melakukan pengobatan Hiam-im-kiu-coan, meskipun pakaian Thian-leng itu dibuka tetapi nona itupun tak sempat memeriksa.

“Hai,………!” tiba-tiba Thian-leng berseru tertahan.

Ketika tangannya merogoh kantong, ia menyentuh sebuah bungkusan kertas. Buru-buru ditariknya keluar……. “Oho, tepat sekali dugaanku!” Pengemis sakti berteriak kaget.

Thian-leng tegang sekali. Ia tak tahu bahwa kantongnya berisi sebuah bungkusan kain yang sudah kumal. Dengan berdebar-debar ia membuka lipatan kain itu. Ah……. hampir ia menjerit kegirangan. Sebuah peta yang penuh dengan jalur-jalur goresan. Di sebelahnya tertulis tiga buah huruf Giok-ti-tho ( peta telaga zamrut)!

Tetapi yang membuat Thian-leng terkejut ialah sebaris tulisan di balik peta itu. Tulisan itu ditulis dengan darah, berbunyi :

“Hun-tiong dan Song-bun kedua durjana, adalah musuh bebuyutanku. Aku mati dibunuh Ma Hong-ing, supaya membalaskan sakit hatiku. Jangan lupa……” 

Thian-leng menggigit gigi kencang-kencang.

“Bu-beng-jin, kuhaturkan selamat padamu!” tiba-tiba pengemis sakti berseru “……asal kau memperoleh pusaka itu, kelak kau tentu menjadi tokoh utama di dunia persilatan. Untuk menuntut balas sakit hati Sip U-jong adalah semudah orang membalikkan telapak tangan!”

Thian-leng tak berkata-kata. Hatinya penuh dengan rasa haru dan dendam. Sip U-jong bukan saja memberinya minum pil Kong-yang-sin-tan, tetapi juga menyerahkan peta. Ia harus menunaikan pesan tokoh yang bernasib malang itu, menuntut balas pada Hun-tiong Sin-mo, Song-bun Kui-mo dan Ma Hong-ing. Dan memang Song-bun Kui- mo yang kini menjelma menjadi Sin-bu Te-kun itu adalah manusia yang harus dilenyapkan demi keselamatan dunia persilatan! Tetapi yang dua orang itu….. ya, Hun-tiong Sin-mo telah menyembuhkan lukanya, Ma Hong-ing kemungkinan adalah ibunya sendiri! Hendak dibunuhkah kedua orang itu?

Tidak…..! Ia tak dapat membunuh orang yang telah melepas budi padanya. Dan sebelum asal-usul dirinya diketahui, ia tak dapat membunuh Ma Hong-ing dulu. Karena kalau-kalau wanita itu benar ibu kandungnya….

Benak Thian-leng penuh dengan berbagai persoalan yang rumit, sehingga untuk beberapa saat lamanya ia hanya tegak terlongong-longong saja.

“Lekas simpan peta itu! Kalau aku seorang temaha, mungkin peta itu tentu sudah pindah ke tanganku!”tiba-tiba Pengemis sakti memperingatkan.

Tetapi di luar dugaan Thian-leng malah mengangsurkan peta itu kepada si pengemis, “Aku tak tertarik dengan peta ini. Kalau lo-cianpwe menghendaki, ambillah!”

Kalau tak mengambil peta itu berarti bebas dari kewajiban melaksanakan pesan Sip U-jong. Dmeikianlah jalan pikiran Thian-leng.

“Kau gila…..?” teriak si pengemis.

“Jika memperoleh pusaka kau bakal menjadi tokoh silat nomor satu! Tak seorang persilatan pun yang tak mengiler dengan peta itu, tetapi mengapa kau. ”

Thian-leng hanya menghela napas, “Aku masih muda dan kurang pengalaman, mungkin tak layak mendapat kitab pusaka itu. Lo-cianpwe lebih ternama dan lebih berpengalaman, bukankah. ”

“Tidak! Tidak!” Pengemis sakti menolak tegas. “Aku si pengemis tua tak mau melanggar kemauan alam! Apalagi pilihan Sip U-jong tentu tak salah. Dia tentu sudah memperhitungkan bahwa bukan saja kau dapat melaksanakan pesannya, juga dapat pula memikul beban kewajiban menjaga keselamatan dunia persilatan. Aku si pengmis tua ini tak punya rejeki sedemikian besar !”

Thian-leng terpaksa menyimpan lagi peta itu, kemudian ia minta diri. “Apakah kau hendak mencari adik angkatmu itu lagi?” tanya si pengemis. Thian-leng mengiyakan.

“Aku si pengemis tua bersedia mewakili pekerjaanmu itu tetapi .... kau harus segera menjenguk sahabatmu yang

sakit keras itu. Sudah, jangan membuang waktu lagi ”

Thian-leng tersirap kaget. Mengapa pengemis itu tahu urusan itu pula? “Apakah lo-cianpwe yakin berhasil mencari nona Lu itu?”

“Jangankan dia, sekalipun kau suruh cari seekor semut di ujung langit, aku tentu sanggup mengerjakannya!”

“Aku seorang yang tahu membalas budi dan dendam. Atas budi lo-cianpwe kelak aku tentu membalasnya. Sekalipun lo-cianpwe suruh aku menyebur ke dalam lautan api, tentu aku tak menolak !”

“Bagus, bagus. “ si pengemis tua tertawa, “aku memang tak mau bekerja percuma. Setiap bantuan yang kuberikan, tentu kuminta balas. Sekarangpun aku hendak minta balas padamu!”

“Lo-cianpwe hendak suruh apa?” Thian-leng tercengang. 

“Tidak menyuruh melainkan hanya meminta kau meluluskan dua buah hal!” “Silakan mengatakan.”

Seketika wajah Pengemis sakti berobah serius, ujarnya dengan nada sungguh-sungguh, “Pertama, mulai saat ini jangan kau berbahasa ‘lo-cianpwe’ lagi kepadaku. Aku akan memanggilmu ‘laote’ (adik) dan kau panggil aku ‘laoko’(kakak)!”

“Aku terpaksa menurut, laoko, ”segera Thian-leng mengganti panggilannya, “dan apakah permintaan laoko yang kedua itu ?”

Pengemis sakti tertawa aneh, “Yang kedua, kuminta kau menyimpan sebuah barangku. Harus kau pakai selama- lamanya dan jangan sampai hilang !”

Diam-diam Thian-leng geli-geli heran. Mengapa memberi barang saja harus pakai perjanjian? Dan mengapa harus suruh memakai seumur hidup?

“Baiklah , laoko!” sahut Thian-leng.

Pengemis sakti tersenyum. Segera ia mengeluarkan sebuah benda. Dengan hati-hati benda itu dikalungkan pada leher Thian-leng.

“Lencana ini, meskipun tak berharga, tetapi merupakan barang pusakaku. Harap jangan dibuang!” pesannya.

Benda itu ternyata sebuah lencana berukirkan beberapa batang bambu yang malang-melintang. Lencana itu diikat dengan sebuah kalung kecil.

Thian-leng tak tahu apa guna dan arti lencana bergambar bambu itu. Namun karena sudah berjanji ia biarkan saja lencana itu dipasangkan si pengemis pada lehernya.

Sebelum pamit pergi, Thian-leng sekali lagi menyampaikan permintaan supaya si Pengemis Sakti bulu-besi suka mengusahakan mencari Lu Bu-song.

Si Pengemis sakti menyanggupi. ooo000ooo

Ah, kau. !

Dengan menggunakan ilmu lari cepat, dalam setengah hari saja dapatlah Thian-leng mencapai seratus li. Pikirannya masih penuh dengan bermacam perasaan.

Ia tak mengira Sip U-jong dan Tui-hun Hui-mo mati begitu mengenaskan. Lebih-lebih tak menyangka kalau Sip U- jong diam-diam menyerahkan peta pusaka kepadanya. Jika berhasil mendapatkan kitab pusaka dan meyakinkannya, kelak ia bakal menjadi tokoh nomor satu di dunia persilatan. Dengan begitu dapatlah ia melakukan segala rencananya.

Hari kedua tibalah ia di kota Ceng-liong-tin, sebuah kota yang terletak di tepi sungai Hong-ho. Kota itu merupakan lalu lintas perdagangan yang ramai. Pertama-tama Thian-leng mencari keterangan tentang rumah penginapan Ih- hian. Ternyata rumah penginapan itu terletak di sebuah jalan kecil yang sepi. Rumah itu sepi tetamu. Diam-diam ia heran mengapa Cu Siau-bun memilih rumah penginapan yang sedemikian jorok dan kecil Apakah sahabatnya itu kehabisan uang?

Ketika ia masuk, ruangan suram penerangannya. Setelah bertanya pada pelayan, ia segera menghampiri sebuah kamar. Di dalam kamar itu hanya terdapat meja dengan sebuah kursi dan sebuah ranjang bambu. Di antara lampu yang redup tampak sesosok tubuh pemuda membujur di atas ranjang. Wajah pemuda itu pucat. Begitu melihat kedatangan Thian-leng, pemuda itu berusaha menggeliat bangun. Tetapi ia mengerutkan dahi dan rebah lagi, rupanya ia tak kuat bangun.

Melihat itu Thian-leng terharu sampai menitikkan dua tetes air mata, serunya teriba-iba, “ Cu-heng, Cu-heng kau

masih ingat padaku!”

Pemuda itu yang bukan lain memang Cu Siau-bun, memaksakan diri memandang Thian-leng, “Kau…. Kang-heng…..

aku menunggumu setengah mati!” Thian-leng menghela napas, “Aku bukan she Kang, Cu-heng tentunya tahu. Sampai saat inipun aku belum tahu asal- usulku, …… tetapi bagaimana dengan penyakit Cu-heng?”

“Ah, mungkin tiada pengharapan lagi…..!” Cu Siau-bun tersenyum hambar, “dalam saat-saat terakhir dapat melihat kau…. dapatlah aku mati dengan puas!”

“Tidak, akan kuusahakan sekuat tenaga untuk menyembuhkan Cu-heng…..” Thian mendekap kedua bahu sahabatnya. Tiba-tiba ia teringat, “Apakah Cu-heng tahu tentang tabib Thay-gak Sian-ong di gunung Thay-san? Kabarnya ia seorang tabib yang pandai. Mari kuantar Cu-heng ke sana!”

Tetapi Cu Siau-bun menolak, “Percuma, penyakitku ini sudah bertahun-tahun. Obat dari tabib itu takkan menolong jiwaku!”

“Lu lo-hiapsu ketua Thiat-hiat-bun juga pandai ilmu pengobatan. Aku kenal baik padanya, kalau dia mau tentu dapat menyembuhkan Cu-heng!”

Sekalipun mulut mengatakan begitu, tapi dalam hati Thian-leng gelisah. Ia belum yakin si Pengemis sakti dapat mencari Lu Bu-song. Kalau dara itu belum diketemukan, ketua Thiat-hiat-bun tentu marah.

Selain itu iapun memikirkan tentang pernyataan Sin-bu Te-kun yang hendak menggempur Tiam-jong-san. Belum tentu dugaan Lu Bu-song bahwa Sin-bu Te-kun tentu tak berani menyerang Tiam-jong-san itu yang benar. Kalau Sin- bu Te-kun benar-benar membuktikan ancamannya, bukankah berabe membawa orang sakit kepada ketua Thiat-hiat- bun yang sedang bertempur dengan Sin-bu-kiong itu ?

“Itupun sia-sia saja,” tiba-tiba kedengaran Cu Siau-bun menolak. “Telah kukatakan bahwa penyakit ini telah kuidap lama sekali. Tiada seorangpun yang dapat mengobati, kecuali. ”

“Kecuali bagaimana harap Cu-heng katakan. Asalkan dapat menyembuhkan penyakit Cuheng, apapun aku sanggup melakukan!”

Wajah Cu Siau-bun menebar warna merah, serunya, “Apakah….. kau…. sungguh….”

“Seorang lelaki rela berkorban untuk sahabatnya!” seru Thian-leng dengan tegas. “Asal Cu-heng bisa sembuh aku rela mengorbankan apa saja….!Eh, apakah Cu-heng masih ingat perjanjian kita di lembah Sing-sim-kiap dahulu?”

“Tiada sedetikpun aku melupakan perjanjian itu. Hanya … mungkin bisa terlaksana besok pada penitisan kita lagi!”

Kembali Thian-leng menghiburnya dan memberi pernyataan lagi. Kemudian dengan suara berbisik-bisik ia menerangkan bahwa ia telah mendapat peta Telaga zamrut. Apabila ia berhasil menemukan kitab pusaka itu, tentulah cita-cita mereka berdua bakal tercapai!

“Benarkah ucapanmu itu?” Cu Siau-bun menegaskan girang-girang kaget.

Segera Thian-leng mengeluarkan peta, serunya, “Lihatlah peta ini, Cu-heng… !” serunya. Cu Siau-bun

memperingatkan supaya sahabatnya itu jangan bicara keras-keras, karena dinding itu bertelinga. Kemudian ia menyuruh Thian-leng menyimpannya lagi.

“Tadi Cu-heng mengatakan ada cara yang dapat menyembuhkan penyakitmu, entah apakah… ”

Wajah Cu Siau-bun berobah merah, ujarnya tersipu-sipu, “Sekalipun ada, tetapi tentu membuat kau menderita… ”

Thian-leng menyatakan bahwa ia bersedia melakukan apa saja asal penyakit sahabatnya itu sembuh.

Akhirnya Cu Siau-bun terpaksa berkata dengan nada jengah, “Sejak kecil tubuhku telah terkena semacam racun. Racun itu kecuali dengan cara pengobatan Goan-yang-sam-hwe ialah menggunakan sari perjakamu untukmu mengenyahkan racun, tiada lain jalan lagi!”

Thian-leng pun merah mukanya. Ia tahu bahwa Goan-yang-sam-hwe itu memang suatu cara pengobatan yang mujarab. Ibarat dapat merebut jiwa manusia dari cengkeraman iblis maut. Tetapi cara itu berarti suatu pengorbanan kehilangan perjakanya. Namun dalam menghadapi saat-saat seperti itu, pikirannya hanya ditujukan untuk menolong sang sahabat saja, maka iapun terpaksa meluluskan juga.

Demikian kedua pemuda itu hendak melakukan pengobatan istimewa. Pada detik-detik di mana keduanya sudah siap melaksanakan, terdengar Cu Siau-bun menghela napas, “Apakah kau bersungguh hati hendak menolong jiwaku?”

“Eh, mengapa Cu-heng masih berkata begitu?” “Apakah kau takkan menyesal?”

“Menyesal? Mengapa harus menyesal?”

“Jika kau mengetahui bahwa aku….” Cu Siau-bun berhenti sejenak, “andaikata kau mendapatkan ada sesuatu yang mengejutkan pada diriku, apakah kau tetap……”

“Ah, mengapa Cu-heng masih tak percaya!” Thian-leng heran.

“Bukan tak percaya, tetapi kuatir kau…..” tiba-tiba suara dan tubuh Cu Siau-bun gemetar, ujarnya, “Aku…..aku….sebenarnya……”

“Kau seorang ….. gadis!” Thian-leng menjerit kaget, “kau ini Cu Siao-bun, kau ternyata tak sakit!”

“Ya, benar, aku… ,” Cu Siau-bun menangis sedih. Sementara Thian-leng tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia

kehilangan kata-kata. Seharusnya ia pagi-pagi tahu bahwa Cu Siau-bun itu ialah Cu Siao-bun juga. Mengapa ia begitu naif sampai kena dikelabui?

Tetapi haruskah ia mendamprat gadis itu?

Tidak! Walaupun bagaimana yang telah terjadi, ia tak dapat menyalahkan nona itu. Adalah karena dirundung oleh badai asmara, maka nona itu sampai nekat melakukan hal-hal yang sebenarnya kurang senonoh. Ya, tak sangsi lagi. Adalah karena pengaruh asmara terpendam yang meledak di sanubari nona itu. Jelas sudah bahwa nona itu memang sangat mencintainya......

Baik rupa maupun kepandaian, memang Cu Siau-bun merupakan gadis idaman yang sukar dicari keduanya. Ia tentu bahagia mempunyai seorang isteri yang begitu menyayang. tetapi dapatkah ia memperisterikannya? Tidak! Ia telah meluluskan pada si Jenggot Perak Lu Liang-ong untuk mengambil Lu Bu-song sebagai isteri. Ia tak dapat melanggar sumpahnya. Tetapi, tetapi.... ah, ia telah melanggar kesucian Cu Siau-bun. dapatkah hal itu dipertanggung-

jawabkan???

“Kau benci padaku?” karena melihat Thian-leng membisu, Cu Siau-bun memberanikan diri menegur.

Thian-leng gelagapan menyahut, “Tidak! Aku …merasa mengecewakan kau…. “ ia menghela napas panjang, “Karena aku tak dapat memperisteri kau!”

Cu Siau-bun tertawa rawan, “Kutahu, tak dapat kusesalimu!”

Tetapi dalam hati nona itu telah memutuskan. Ia hendak berjuang mengalahkan Lu Bu-song untuk merebut Thian- leng. Dan kini dalam babak pertama, ia sudah menang…..

Sekonyong-konyong sebuah benda berkelap-kelip macam seekor kunang-kunang menghampiri tempat lilin dan tiba- tiba membentur sumbu lilin. Seketika lilinpun menyala dan serentak dengan itu terdengar suara berbisik, “Menghadapi seorang nona cantik, mengapa kasak-kusuk dalam kegelapan!”

Thian-leng dan Siau-bun tersentak kaget! (bersambung ke jilid 12)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar