Panji Tengkorak Darah Jilid 09

Jilid 9 .

Thian-leng pura-pura meramkan mata, napas terengah-engah macam orang yang sudah lemas-lunglai. tetapi diam- diam ia siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan!

Begitu pintu batu terbuka, maka empat orang penjaga berpakaian ungu segera menerobos masuk. Dua diantaranya segera terjun ke dalam air dan melepaskan tali pengikat kedua tangan Thian-leng. Kemudian tanpa berkata apa-apa, kedua penjaga itu segera memapah Thian-leng keluar.

Thian-leng masih pura-pura seperti orang yang tertutuk jalan darahnya. Ia menggelendot pada kedua penjaga itu. Tetapi begitu tiba di depan kedua penjaga yang lain, tiba-tiba ia melepaskan dua buah pukulan. Karena jaraknya teramat dekat, apalagi tak mengira sama sekali, maka kedua penjaga itupun tak sempat menghindar lagi. Kedua penjaga itupun bagaikan layang-layang yang putus talinya mencelat keluar. Sebelum kedua penjaga itu sempat mengerang, kepala mereka terbentur pada tembok. Benak mereka berhamburan keluar karena dinding kepalanya hancur. Dan yang lebih menyeramkan lagi, pukulan Lui-hwe-ciang yang yang dilepaskan Thain-leng itu telah

membakar hangus tubuh kedua korbannya. Serentak terhamburlah bau daging terbakar yang menusuk hidung!

Kedua pengawal yang menyeret Thian-leng tadi terperanjat sekali. Tetapi cepat sekali Thian-leng sudah mencabut pedangnya. Sebelum kedua penjaga itu sempat menyerang, tahu-tahu tubuh mereka sudah tertebas. Dalam sekejap mata saja, keempat penjaga itupun sudah menjadi setan penghuni penjara air!

Setelah membereskan keempat penjaga, Thian-leng segera hendak loncat keluar. Tetapi sekonyong-konyong terdengar bentakan keras. Dari sebelah kanan dan kiri pintu batu, muncullah dua penjaga lagi yang serentak menerkamnya. Tetapi pada saat itu Thian-leng sudah mendapat hati. Ia tak mau menghindar, sebaliknya malah membolang-balingkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Kedua penjaga itu menggembor keras, namun mereka terpaksa loncat mundur seraya merogoh ke dalam bajunya. Rupanya mereka mengambil senjata rahasia.

Thian-leng tak gentar. Ia serang kedua lawannya itu.

“Tahan!” tiba-tiba sebelum Thian-leng menerjang, terdengar sebuah bentakan dahsyat. Nadanya berat penuh dengan hamburan tenaga dalam yang hebat.

Kedua penjaga itupun mundur. Juga Thian-leng tertegun dan membatalkan serangannya. Ketika mengawasi siapa pendatang baru itu, kejutnya bukan kepalang.

Ternyata di sebelah luar dari penjara air, tampak muncul serombongan orang yang dikepalai oleh Sin-bu Te-kun sendiri!

Yang membuat Thian-leng terkejut bukanlah kepala dari Sin-bu-kiong itu, melainkan munculnya seorang tua berjenggot putih yang berada di samping Sin-bu Te-kun. Itulah Lu Ling-ong , ketua Thiat-hiat-bun yang bergelar si Jenggot Perak.

Tersipu-sipu Thian-leng memberi horamat kepada jago tua itu, “ Locianpwe… ” 

Jenggot Perak Lu Liang-ong tertawa gelak-gelak, “Ah, tak usah banyak peradatan! Mana cucu perempuanku?”

“Ia bersama diriku telah dijebloskan ke dalam penjara air, tetapi diambil pergi oleh dua penjaga lagi, entah di mana… ” sahut Thian-leng.

“Bagaimana, apakah kau tetap menyangkal?” segera Jenggot Perak Lu Liang-ong menegur Sin-bu Te-kun.

Sin-bu Te-kun tertawa sinis, “Sejak semula memang tak kusangkal hal itu. Cucumu telah mendapat pelayanan istimewa dari istana kami. Makan dan oakaian tak kekurangan, harap Lu lo-hiapsu jangan kuatir!”

Lu Liang-ong mendengus, “Hm, jika tak salah anak itu tentu sudah dimasukkan ke dalam penjara Si-lo, kaki tangannya dirantai. Apakah itu yang kausebut sebagai pelayanan istimewa?”

Sin-bu Te-kun tampak agak terkejut, namun segera menghamburkan tawa sinis. “Memang begitu. Tetapi bagaimana lo-hiapsu tahu?”

Lu Liang-ong tertawa dingin, “Salahmu sendiri, mengapa kurang luas pengalaman. Apakah kau tak pernah mendengar tentang ilmu ‘melihat ke langit-mendengar bumi’ dari Thiat-hiat-bun. ?”

Jago tua itu sejenak keliarkan matanya, lalu berkata pula, “Terus terang, segala sesuatu yang terjadi dalam istana sekecil ini, tentu tak terlepas dari pengetahuanku!”

Sin-bu Te-kun tertawa lepas, “Di dalam kitab Im-hu-po-coan juga terdapat semacam ilmu begitu, hanya namanya yang berlainan, ialah Liok-ji-thong-leng ( enam telinga menembus alam ). Rasanya tak lebih rendah dari ilmu Lu lo- hiapsu. ”

Ketua Thia-hiat-bun tertawa misterius, “Berapa jauhnya ilmu Liok-ji-thong-leng itu dapat menangkap suara?” “Seluas tiga li dapat membedakan langkah kaki orang!” jawab Sin-bu Te-kun dengan bangga.

Lu Liang-ong tertawa tergelak-gelak. Lama sekali belum berhenti, Sin-bu Te-kun memgerutkan alis. “Mengapa? Apakah lo-hiapsu terserang penyakit?”

Ketua Thiat-hiat-bun terpaksa berhenti tertawa, ujarnya, “Aku tak sakit melainkan menertawakan pengalamanmu yang sedemikian dangkal itu. Hanya dapat menangkap suara sejauh tiga li saja mengapa sudah dibanggakan?”

Merah padam muka Sin-bu Te-kun atas hinaan itu. Rasa malu merobah menjadi gusar, “Coba katakan sampai di mana kelihayan ilmu ‘Melihat langit mendengar bumi’ mu itu?”

“Seluas lima belas li aku dapat mendengarkan angin berhembus, rumput bergoyang dan serangga beringsut!” sahut ketua Thiat-hiat-bun.

Seketika berobahlah wajah Sin-bu Te-kun, namun ia masih bersikap tenang. Serunya dengan tertawa dingin, “Kata- kata besar itu biasanya hanya untuk menggertak orang saja!”

Tiba-tiba Jenggot Perak Lu Liang-ong picingkan matanya sehingga menjadi selarik garis kecil. Ia memandang dinding penjara air lalu berkata dengan perlahan, “Saat ini aku dapat melihat apa yang terjadi di sekeliling delapan li…”

“Apa yang kau lihat?” tanya Sin-bu Te-kun dengan nada mengejek.

“Ada dua anak buahmu yang saat ini tengah bertempur dengan orang sakti. Yang seorang terbunuh dan yang seorang lari……”

“Omong kosong!” teriak Sin-bu Te-kun.

Jenggot Perak Lu Liang-ong tertawa, “Omong kosong atau benar, nanti dapat dibuktikan! Untung masih ada seorang yang hidup. Asal kakinya panjang (bisa lari cepat), tentu dia bisa selamat kembali ke istana Sin-bu-kiong!”

Muka Sin-bu Te-kun sebentar pucat sebentar merah. Mulutnya tak dapat berkata apa-apa. Thian-leng pun hanya tercengang-cengang saja mendengarkan percakapan itu.

Ketua Thiat-hiat-bun hanya ganda tertawa. Sebentar-bentar mengedipkan mata ke arah Thian-leng. Sikapnya lucu sekali. Karena sampai sekian lama Sin-bu Te-kun tak bersuara, akhirnya ketua thiat-hiat-bun itu tertawa, “Dari ribuan li jauhnya aku sengaja perlukan datang mengunjungi Sin-bu-kiong. Entah apakah saudara bermaksud hendak bersahabat atau bermusuhan dengan pihakku?”

Sin-bu Te-kun menjawab dengan nada dingin, “Bersahabat bagaimana? Bermusuhan bagaimana?”

“Jika menghendaki permusuhan, partai Thiat-hiat-bun pun tak takut kepada istana Sin-bu-kiong! Anggota-anggota Thiat-hiat-bun saat ini sedang berbondong-bondong kemari. Sekali kau sudah memaklumkan permusuhan, segera orang-orangku siap bertempur sampai ludas….”

“Kalau Sin-bu-kiong sudah berani memikul tanggung jawab mempersatukan dunia persilatan, sudah tentu tak gentar terhadap sebuah gerombolan di daerah perbatasan yang menyebut dirinya sebagai partai Thiat-hiat-bun….” Sin-bu Te-kun berhenti sejenak, katanya pula, “Hanya saja, telah kuperhitungkan bahwa Lu lo-hiapsu tak nanti berbuat demikian. Karena cucu kesayanganmu itu saat ini berada dalam tanganku. Jika kau sungguh mengandung masksud bermusuhan, lebih dahulu cucumu yang tersayang itu….”

Sin-bu Te-kun tertawa meloroh. Ia tak menyelesaikan perkataannya, karena sudah cukup jelas. Si dara Bu-song akan dijadikan barang tanggungan untuk menggertak Jenggot Perak Lu Liang-ong.

Di luar dugaan, ketua Thiat-hiat-bun yang berjenggot putih mengilap itu tertawa lebar, serunya, “Aku tak ambil pusing dengan cucuku itu. Anak itu memang besar kepala dan manja, biarlah ada orang yang memebrinya hajaran. Andaikata sampai dibunuh orangpun malah meringankan bebanku dari rongrongannya. Bunuhlah, aku malah berterima kasih padamu ! ”

Sin-bu Te-kun terkejut mendengar ucapan jago tua itu. Serunya sesaat kemudian, “ Kalau bersahabat lalu bagaimana

? ”

Sambil mengusap-usap jenggotnya yang putih mengilat, Lu Liang-ong tertawa, “ Kalau bersahabat, baiklah kau adakan perjamuan untukku dan anak ini. Aku telah memutuskan untuk mengadakan sebuah Eng-hiong-tay-hwe ( pertemuan besar orang gagah ) di gunung Tiam-jong-san. Akan kuundang seluruh sahabat persilatan untuk hadir. Kemudian pada saat itu tentu kubantu usahamu untuk merebut kedudukan sebagai Bu-lim-beng-cu ( pemimpin kaum persilatan ). Setelah selesai barulah aku pulang ke King-lam. Bukankah hal itu sesuai dengan kehendakmu ? ”

”Tiam-jong-san?” Sin-bu Te-kun menegas.

“Ketua partai Tiam-jong-pay adalah sahabat lamaku. Karena aku tak punya banyak kenalan di tionggoan, maka terpaksa aku hendak pinjam tempatnya di gunung Tiam-jong-san ….ini……mengapa tak leluasa?”

Sin-bu Te-kun tertawa sinis, “Sekalipun kurang leluasa, tetapi mengapa aku takut? Jika Lo-hiapsu bermaksud sungguh-sungguh hendak mengadakan pertemuan besar itu, sudah tentu aku akan hadir. Entah kapankah kiranya pertemuan itu akan diadakan?”

“Tahun depan tanggal lima belas bulan satu.”

“Pertengahan bulan satu?” gumam Sin-bu Te-kun, “mengapa harus pada tanggal itu?” “Mengapa tak boleh pada tanggal itu ? »balas Lu Liang-ong tertawa.

Rupanya Sin-bu Te-kun merasa kelepasan omong. Buru-buru ia batuk-batuk dan berkata. “Bulan satu tanggal lima belas adalah hari dari sembilan partai besar mengundang Hun-tiong Sin-mo untuk mengadu kepandaian di puncak Sin-li-hong gunung Busan. Pada saat itu semua tokoh persilatan sama berkumpul di Jwan-tang. Kemungkinan besar tentu tak ada yang memenuhi undangan ke Tiam-jong-san!”

Ketua Thiat-hiat-bun tertawa lebar. “Tak usah saudara meresahkan hal itu. Ke sembilan partai besar itu pasti akan merobah tanggal undangannya kepada Hun-tiong Sin-mo!”

“Kenapa?” Sin-bu Te-kun tertegun.

Jenggot Perak Lu Liang-ong tertawa, “Karena Hun-tiong Sin-mo sudah menerima undanganku!” Kembali Sin-bu Te-kun tersentak kaget, serunya, “Bagaimana dengan ke sembilan partai besar?” “Bagaimana kalau kuserahkan kepada saudara untuk mengundang mereka?” Lu Liang-ong tertawa.

Lagi-lagi wajah Sin-bu Te-kun berobah, ujarnya, “Selama ini Sin-bu-kiong tak mempunyai hubungan dengan ke sembilan partai besar. Msing-masing menuntut jalannya sendiri-sendiri. Permintaan lo-hiapsu ini, aku……”

“Ah janganlah menolak, “Lu Liang-ong tertawa, “tentang hubungan Sin-bu-kiong dengan ke sembilan partai besar....

tak perlu disinggung-singgung. ”

Dan belum lagi Sin-bu Te-kun menyahut, ketua Thia-hiat-bun itu sudah menyeletuk pula, “ Eh, bagaimana sikap kita ini? Bermusuhan atau bersahabat?”

Sin-bu Te-kun mendengus dengan geram. Tiba-tiba ia berputar tubuh dan memberi perintah kepada anak buahnya supaya menyiapkan perjamuan. Kemudian tanpa menghiraukan Lu Liang-ong dan Thian-leng serta keempat penjaga yang terbunuh mati dalam penjara air, ia segera melangkah pergi......

“Buyung, kau tentu lapar, mari kita suruh dia menjamu dulu!” Jenggot Perak Lu Liang-ong menarik tangan Thian- leng. oooo0000ooooo Mengadu Kesaktian

Ketika menghadapi meja perjamuan yang tumpah ruah penuh dengan segala macam hidangan lezat, Jenggot perak Lu Liang-ong segera gunakan ilmu menyusup suara membisiki Thian-leng, “Buyung, tak usah sungkan. Hidangan tak ada racunnya, makanlah sepuasnya. Habis makan baru kita pergi…..”

Kala itu mereka berada dalam sebuah ruangan yang indah hiasannya, menghadapi meja yang penuh hidangan dan dilayani oleh berpuluh bujang wanita. Lu Liang-ong bersikap sebebas-bebasnya. Tanpa dipersilakan oleh Sin-bu Te- kun lagi, segera ia menyambar cawan arak, terus diteguk habis.

Melihat sikap jago tua itu, diam-diam Thian-leng gelisah. Iapun gunakan ilmu menyusup suara, “Locianpwe, cucumu nona Lu…….”

“Hai, apakah kalian berdua…..?” Lu Liang-ong tertawa mengikik lalu meneguk cawannya lagi.

Melihat kedua tamunya saling menggunakan ilmu menyusup suara untuk bercakap-cakap, timbullah kecurigaan Sin- bu Te-kun. Namun ia pura-pura tak melihatnya. Seolah-olah tak terjadi suatu apapun, ia tetap perintahkan pelayan- pelayan untuk menuangkan arak dan menghidangkan makanan yang lezat-lezat.

“Nona Lu masih berada dalam penjara Si-lo, bagaimana kita bisa tinggalkan tempat ini?“ kembali Thian-leng bertanya dengan ilmu menyusup suara.

“Budak itu memang kelewat liar, biarlah ia rasakan sedikit penderitaan!” Lu Liang-ong tetap acuh tak acuh.

Jawaban itu membuat Thian-leng heran sekali. Sikap manja dari dara itu tenttulah karena jago tua itu kelewat menyayangnya. Mengapa tiba-tiba sekarang tak dipedulikan?

Tatkala ia hendak membuka mulutnya lagi, tiba-tiba seorang penjaga istana masuk menghadap Sin-bu te-kun. Dengan tergagap-gagap orang itu memberi hormat kepada pemimpinnya.

“Ada urusan apa?” bentak Sin-bu Te-kun.

Penjaga tua waju ungu itu memandang sejenak kepada Thian-leng dan Lu Liang-ong, tampaknya ia kurang leluasa bicara.

Melihat itu Lu Ling-ong mengulum tawa. Ia meneruskan makan dan minum seenaknya. “Tak apa-apa, katakanlah!” kembali Sin-bu Te-kun berseru.

Mendengar perintah barulah si baju ungu berani berkata dengan suara perlahan, “Dua orang murid dari paseban Hian- tian telah bertempur dengan musuh di luar istana, satu meninggal satu terluka…….”

Serentak bangkitlah Sin-bu Te-kun dari tempat duduknya, “Di mana terjadinya peristiwa itu?” serunya dengan gusar. “kira-kira tiga belas li jauhnya……”

Tiba-tiba Lu Liang-ong menyeletuk, “Berita yang kau bawa itu bukan hal yang baru! Tadi akupun sudah mengatakan kepada Te-kun kalian!”

Wajah Sin-bu Te-kun seperti direbus, serunya nyaring,” Siapakah orang yang berani mencabut kumis harimau itu?” “………………..Tiam-jong-pay…….” sahut pengawal baju ungu dengan tergagap.

“Tiam-jong-pay…!” Sin-bu te-kun berseru tertahan. Kemudian ia berpaling kepada Lu Liang-ong, “Bukankah tadi Lu lohiapsu mengatakan bahwa nanti bulan satu tanggal lima belas akan mengadakan rapat besar kaum gagah di gunung Tiam-jong-san? Mengapa sekarang mendadak orang Tiam-jong-pay berani mengganggu istanaku ini….?”

Lu Liang-ong tertawa, “Apakah kau menuduh aku hendak mengadu domba?”

“Memang sukar untuk dikata.” sahut Sin-bu Te-kun, “namun sekali Sin-bu-kiong sudah berani mencita-citakan menguasai dunia persilatan, sudah tentu tak takut pada siapa saja….”

Lu Liang-ong hanya tertawa hambar. Dia tak mau menyahut tetapi gunakan ilmu menyusup suara kepada Thian-leng, “Buyung, sudahlah, jangan pikirkan apa-apa. Makanlah sekenyangmu, habis itu kita pergi!”

Memang Thian-leng merasa lapar. Iapun segera menurut perintah jago tua itu.

Masih penjaga baju ungu itu berkata dengan terbata-bata, “Karena hal ini. menyangkut ke sembilan partai, maka

hamba mohon Te-kun sudi memberi petunjuk. ” Sin-bu Te-kun mendengus, ujarnya sambil mengerutkan dahi, “Segera lepaskan burung merpati supaya membawa surat kepada ketua Tiam-jong-pay Poh-ih-siau-su Li Cu-liong agar dalam waktu tiga hari mengantarkan anak buahnya yang bersalah itu kemari menerima hukuman. Kalau tidak, akan kukerahkan anak buah Sin-bu-kiong untuk meratakan markas Tiam-jong-pay!”

Serta merta pengawal baju ungu itu mengiyakan dan minta diri. Pada saat itu Jenggot Perak Lu Liang-ong pun sudah kenyang melalap hidangan. Sambil mengusap-usap mulut, ia berkata, “Jangan lupa bahwa aku sudah meminjam tempat Tiam-jong-san untuk mengadakan pertemuan besar. Takkan kubiarkan tempat itu dirusak orang. Jika saudara sungguh-sungguh. ”

“Kalau begitu Lu lo-hiapsu hendak mewakili pihak Tiam-jong-pay untuk mempertanggung jawabkan peristiwa itu?” tukas Sin-bu Te-kun.

“Maksudku,” kata Lu Liang-ong, “kalau hendak membikin perhitungan, baiklah ditangguhkan sampai pertemuan besar itu selesai diadakan.”

“Jika aku tak setuju?”

“Sekali partai Thia-hiat-bun masuk ke daerah iong-goan, tentu takkan membiarkan namanya jatuh! Dimulai dari aku si orang tua, seluruh anggota Thiat-hiat-bun menyatakan berdiri di belakang Tiam-jong-pay!”

Mata Sin-bu Te-kun meliar buas, serunya, ”Jangan lupa bahwa hidup matinya cucumu itu masih berada dalam tanganku!”

Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa meloroh, “Telah kukatakan tadi, membunuh budak perempuan itu berarti mengurangi bebanku. Silakan bunuh saja. ” ketua Thai-hiat-bun itu berpaling kepada Thian-leng,

ujarnya, “Buyung, apa sudah kenyang? Mari kita kita pergi!”

Mimik Sin-bu Te-kun berobah gelap, serunya, “Kuhormati pribadi Lu lo-hiapsu, tetapi hal itu bukan berarti aku takut padamu atau gentar terhadap partai Thiat-hiat-bun. ”

“Ah, kau keliwat merendah!” Lu Liang-ong tertawa sambil mengurut jenggot peraknya yang putih mengkilap. Ia bangkit hendak angkat kaki. Thian-leng pun mengikuti tindakan jago tua itu. Ia berdiri tetapi diam-diam salurkan tenaga dalam untuk berjaga-jaga.

Wajah Sin-bu Te-kun makin merah, bentaknya dengan bengis, “Tua bangka Lu, jika dalam waktu tiga hari Tiam-jong- pay tak menyerahkan orangnya, bukan saja cucu perempuanmu akan kubunuh, gunung Tiam-jong-san pun akan kubumi-hanguskan!”

Enak saja ketua Thiat-hiat-bun itu menyahut, “Akan kusampaikan ucapanmu itu kepada Tiam-jong-pay. Mau bersikap musuh atau sahabat, terserah saja padamu. Atau menyelesaikan dulu pertentangan antara Sin-bu-kiong dengan Tiam-jong-pay, kemudian baru mengadakan pertemuan besar tokoh-tokoh persilatan pun baik saja. Atas

kerepotanmu menjamu hidangan tadi, nanti Tiam-jong-san tetntu akan membalasnya, nah, selamat tinggal!” Habis berkata jago tua itupun segera melangkah pergi.

“Nanti dulu!” tiba-tiba Sin-bu Te-kun menghadang.

“Apa ? Apakah sekarang mau menantang berkelahi ?“ tegur Lu Liang-ong dengan nada berat. Sin-bu Te-kun tertawa sinis, “Aku bukanlah orang yang tak menghormati peraturan, tetapi…“

Ia menunjuk pada Thian-leng, “Anak muda itu telah mengucap sumpah, akan bertempur melawan aku sampai seratus jurus. Sekarang masih kurang sepuluh jurus yang belum diselesaikan. Tambahan pula, tindakannya membunuh ke empat anak buahku tadipun memerlukan ia harus tinggal di sini dulu ! “

Mata Jenggot perak Lu Liang-ong berputar sebentar, lalu katanya, “Selain paham dalam ilmu ‘melihat-langit- mendengar-bumi’, aku si orang tua ini juga mempunyai semacam kesaktian. Apakah kau ingin mengenalnya ? “

Sin-bu Te-kun terbeliak mendengar jawaban orang yang menyimpang dari pertanyaan tadi, serunya , “Masakah kau hendak mengunjuk kepandaian di hadapanku ? “

Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa gelak-gelak, “Benar, aku si orang tua memang bermaksud demikian…… “ ia mengedipkan mata, “Hanya pertunjukan itu memerlukan lapangan yang luas ! “

Sampai berapa jauh kesaktian jago Thiat-hiat-bun itu, ingin juga Sin-bu Te-kun untuk menjajakinya. Setelah merenung sejenak, berkatalah ia, “Halaman di ruang muka luasnya duapuluhan tombak, bagaimana kalau kau berikan pelajaran padaku di situ saja ? “

Lu Liang-ong melirik ke arah ruang dalam, ujarnya, “ Dua puluh tombak cukuplah…. “ ia tarik tangan Thian-leng, “Untuk mempertunjukkan ilmu gaib itu, harus ada seorang pembantu. Tolong kau bantu!”

Terpaksa Thian-leng mengiyakan. Sin-bu Te-kun makin heran. Segera ia ayunkan langkah menuju keluar halaman. Sekeliling halaman penuh dengan anak buah Sin-bu-kiong yang siap sedia dengan senjatanya. Jelas bahwa sebelumnya memang Sin-bu Te-kun sudah mempersiapkan penjagaan yang kuat.

Setelah tiba di tengah halaman, dengan masih memimpin tangan Thian-leng, berserulah Jenggot perak Lu Liang-ong dengan nyaring, “Aku si orang tua hendak mempertunjukkan sebuah ilmu permainan yang cukup memesonakan.

Nanti semua serangga yang berada seluas sepuluh tombak tentu mati. Maka kuharap kalian menyingkir agak jauh sedikit!”

Sin-bu Tekun ganda tersenyum, tetapi diam-diam hatinya kebat-kebit. Segera ia memberi perintah supaya anak buahnya mundur sedikit. Merekapun menyingkir sampai batas sepuluh tombak. Dengan penuh perhatian ia mengikuti apa yang akan terjadi.

Ketua Thiat-hiat-bun tertawa riang, serunya, “Apa yang kupertunjukkan disebut Sin-liong-sam-sian ( naga sakti tiga kali muncul ), suatu ilmu meringankan tubuh yang istimewa…” Tiba-tiba ia menggunakan ilmu menyusup suara kepada Thian-leng, “Perhatikanlah pohon besar yang berada di sebelah selatan tiga puluh tombak dari sini itu! Itulah tempat pertama munculnya Sin-liong sam-sian…”

Thian-leng sudah mempunyai rabaan, ia menyahut dengan ilmu menyusup suara juga, “Tetapi kepandaianku masih rendah, dikuatirkan tak dapat mengikuti lo-cianpwe…”

Tiba-tiba Sin-bu Te-kun berseru dengan agak marah, “Bagaimanakah kehebatannya ilmu meringankan tubuh itu! Lu lo-hiapsu, apakah kau hendak menggunakan kesempatan…”

Jenggot perak Lu Liang-ong tidak memperdulikan kata-kata Sin-bu Te-kun. Segera ia menarik Thian-leng seraya membentaknya, “Naiklah!”

Thian-leng sudah dapat menagkap maksud Lu Liang-ong. Maka diam-diam ia sudah kerahkan seluruh tenaganya. Begitu ditarik segera ia enjot tubuhnya ke udara. Ditambah dengan tarikan Lu Liang-ong tadi, maka meluncurlah tubuh keduanya bagai meteor yang melesat di udara. Tepat mereka hinggap di puncak pohon yang berada tiga puluh tombak jauhnya seperti yang ditunjuk si Jenggot perak tadi.

Bukan kepalang marahnya Sin-bu te-kun mengetahui dirinya ditipu mentah-menatah. Segera ia menggerung keras dan hendak enjot tubuhnya mengejar. Tetapi secepat itu terdengarlah Lu Liang-ong membentaknya, “Awas, panah Hong-thau-kiong ku akan mengambil kedua matamu!”

Ketua Thiat-hiat-bun itupun mengayunkan tangan kanannya. Walapun kemarahannya menyala-nyala, tetapi Sin-bu Te-kun cukup mengetahui kelihayan panah Hong-thau-kiong dari Thiat-hiat-bun yang tak pernah luput. Segera ia mendorong dengan kedua tangannya dan dengan meminjam tenaga dorongan itu ia apungkan tubuhnya sampai beberapa meter ke udara.

Di luar dugaan, taburan Lu Liang-ong itu hanya gertakan kosong. Kembali Sin-bu te-kun termakan tipu. Ia harus berjumpalitan di udara untuk menghindari angin kosong !

Dalam pada itu Lu Liang-ong pun tertawa geli. Katanya kepada Thian-leng, “Buyung, tempat munculnya Sin-liong- sam-sian yang kedua ialah pada puncak lereng yang tinggi itu. Kali ini kita harus loncat sampai empat puluhan tombak. Slain tenagaku, kau sendiripun harus gunakan tenaga!”

Thian-leng kerahkan seluruh tenaga ke arah kedua kakinya. Begitu ditarik Lu Liang-ong segera ia loncat mengikutinya. Pada saat itu Sin-bu Te-kun menyadari dirinya tertipu, segera ia enjot tubuhnya mengejar ke puncak pohon, tetapi saat itu Lu Liang-ong dan Thian-leng sudah berada di puncak tingkat ( loteng ) yang tinggi. Loteng itu merupakan tingkat yang tertinggi dari gedung Sin-bu-kiong. Dari situ dapat melihat seluruh bangunan istana Sin-bu- kiong. Di sebelah selatan kira-kira lima puluh tombak, terdapat dinding tembok. Apabila melintasi dinding tembok itu, maka sudah dapat keluar dari Sin-bu-kiong.

Diam-diam Thian-leng gelisah. Lima puluh tombak bukan jarak yang mudah dilompati. Apalagi seluruh anak buah Sin- bu-kiong pun sudah beramai-ramai mengepung dengan membawa obor. Bahkan saat itu Sin-bu te-kun sendiri juga sudah mengejar.

“Buyung, tempat ketiga dari munculnya Sin-liong-sam-sian ialah dinding tembok sebelah selatan itu. Kali ini kita harus loncat lima puluh tombak jauhnya…”

“Lo-cianpwe, ini tak mungkin… ”

“Di dunia tiada hal yang tak mungkin! Apakah kau hendak suruh aku si orang tua begini menggendongmu!” bentak ketua Thiat-hiat-bun dengan murka. Berabreng dengan itu terdengar gemboran keras dari Sin-bu Te-kun yang melayang mengejar.

Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa mengejek, “Tolol, lihatlah Hong-thau-kiong makan kedua matamu!” ia ayunkan tangan kanannya.

Sin-bu Te-kun tak percaya kalau orang benar-benar hendak menimpuknya. Dan kedua kalinya ia sedang dirangsang kemarahan, maka tanpa menghiraukan suatu apapun, ia terus melayang. Dan memang selama itu tak terjadi apa- apa. Bahkan ketika hampir dekat ia seilangkan kedua tangannya untuk melindungi mata. Begitu tiba segera ia hendak menghantam remuk lawan!

Tiba-tiba terdengar Lu linag-ong tertawa gelak-gelak. Ternyata ancamannya kali ini bukan gertakan kosong tetapi sungguh-sungguh. Hanya saja yang diarah bukan mata melainkan kedua bahu orang.

Panah rahasia yang berkepala burung Hong dari partai Thiat-hiat-bun itu sudah bertahun-tahun menggetarkan dunia persilatan. Tak pernah panah itu gagal memenuhi tugasnya. Cikal bakal pendiri Thiat-hiat-bun yang dulu merendam panah itu dalam racun. Setiap korban tentu binasa. Tetapi untunglah ketua Thiat-hiat-bun yang sekarang tak mau melanjutkan warisan itu. Ia melarang panah diberi racun dan tak boleh sembarangan digunakan. Maka sekalipun panah Hong-thau-kiong termasuk salah satu dari tiga-senjata-rahasia ampuh dalam dunia persilatan, tetapi yang binasa karena panah itu boleh dikata tak ada!

Setelah menghisap ilmu kepandaian dalam kitab pusaka Im-hu-po-kip, Sin-bu Te-kun bercita-cita hendak menguasai dunia persilatan. Memang telah didengarnya juga tentang panah sakti dari Thiat-hiat-bun itu, tetapi dalam hati ia tak tunduk. Adalah karena hendak menggunakan tenaga partai Thiat-hiat-bun, maka ia tetap bersabar terhadap tingkah laku ketua Thiat-hiat-bun.

Tetapi kini setelah dirinya dipermainkan begitu rupa oleh Lu Liang-ong, tak dapat lagi ia menahan kemarahannya. Persetan dengan panah hong-thau-kiong!

Alangkah terkejutnya ketika menghadapai tipu orang yang licin. Ia tak menyangka bahwa yang di arah lawan bukan kedua matanya, melainkan bahu. Dalam keadaan di dirinya melayang di udar, betapapun lincahnya namun Sin-bu te- kun tak berdaya menghindari timpukan jago thiat-hiat-bun. Juga ternyata cara Lu Liang-ong menimpukkan panahnya itu luar biasa anehnya. Aum suaranya berada di sebelah barat, tetapi yang diserang di sebelah timur. Terpaksa Sin-bu Te-kun hanya kerutkan gigi untuk menerimanya! Seketika ketua Sin-bu-kiong itu merasakan bahunya sakit sekali.

Dua batang Hong-thau-kiong tepat menyusup ke jalan darah bahu kanan kirinya!

Saat itu Sin-bu Te-kun hanya terpisah dua tombak dari puncak loteng tertinggi. Walaupun panah Hong-thau-kiong itu tak sampai membuatnya tak dapat berkutik, namun karena jalan daranya terkena, maka mau tak mau sekujur tubuhnya terasa kesemutan, tangannyapun tak leluasa digerakkan lagi. Tak ampun lagi ia meluncur turun bagaikan seekor burung alap-alap yang terkena anak panah….
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar