Panji Tengkorak Darah Jilid 08

Jilid 8 .

Kenangan Bayangan orang-orang itu lalu-lalang di benak Thian-leng. Kepada mereka ia mempunyai budi dan dendam yang belum lunas.

Akhirnya setelah hatinya tenteram, ia tersenyum kepada Bu-song, ”Bagaimana luka nona?”

Bu-song tertawa getir, ”Lukaku tak menguatirkan, tetapi yang penting bagaimana kita keluar dari tempat ini...?”

“Tak usah nona kuatir, “Thian-leng paksakan tertawa menghiburnya, “lebih baik kita beristirahat mengembalikan semangat dulu. Setelah itu baru kita berusaha!”

Bu-song mengiyakan, kemudian balas menanyakan luka pemuda itu, Thian-leng mengatakan tak berbahaya.

Biji mata Bu-song yang berkilau-kilau laksana bintang kejora menatap tajam pada Thian-leng, ujarnya,”Mungkin kau. masih mendongkol padaku?”

Thian-leng tertegun, “Eh, mengapa nona mengatakan begitu, mana aku berani. ”

“Sewaktu di biara rusak, aku memang agak galak, tetapi. ” tiba-tiba ia menghambur tertawa tak melanjutkan

ucapannya lagi.

Thian-leng menyeringai. Untung karena gelap kerut wajahnya tak kelihatab Bu-song. Ia terbatuk-batuk sebentar, lalu menjawab, “Nona tak bersalah, memang aku sendiripun juga tidak benar!”

“Ih, kau ini kiranya...... seorang yang lemah lembut… ”

Thian-leng tersipu-sipu . Buru-buru ia mengulang anjurannya agar nona itu suka mengumpulkan semangatnya.

“Tak perlu menyalurkan lwekang, nanti saja setelah berada di neraka kalian boleh melakukan hal itu!” tiba-tiba terdengar suara tertawa sinis.

Thian-leng terbeliak kaget! Walaupun tak tampak orangnya, tapi ia kenal suara ketawa itu sebagai suara Ni Jin-hiong. Buru-buru Thian-leng kerahkan lwekangnya siap sedia. Tetapi ia menderita luka parah, geraknya agak ayal. Seketika ia rasakan punggungnya kesemutan dan tahu-tahu jalan darahnya kena tersambar angin tutukan jari Ni Jin-hiong.

Bu-songpun mengalami nasib serupa.

Pada lain saat Ni Jin-hiong muncul. Sambil menyambar pedang salah seorang pengikutnya, segera ia tebaskan kepada kedua anak muda itu.........

Sekonyong-konyong pada detik-detik maut hendak merenggut jiwa kedua anak muda itu, terdengarlah derap kaki bergegas mendatangi. Berbareng dengan itu terdengar suara bentakan nyaring, “Te-kun memberi perintah, semua orang yang menyelundup ke dalam istana harus ditangkap hidup-hidup, tak boleh dibunuh. Tawanan harus segera dijebloskan ke dalam penjara Cui-lo. Kedua penjaga Co-yu sucia diwajibkan mengawasi!”

Ni Jin-hiong terpaksa menarik pulang pedangnya dan banting-banting kaki. Namun ia tak berani membantah. Sesaat kemudian orang itu terdengar menyelinap pergi lagi.

“Jebloskan ke dalam penjara Cui-lo!” Ni Jin-hiong berseru dengan tak bersemangat.

Beberapa penjaga tampil menjerat Thian-leng dan Bu-song. Karena jalan darahnya tertutuk, Thian-leng tak dapat berbuat apa-apa. Lapat-lapat ia mendengar Ni Jin-hiong memberi perintah kepada salah seorang pengawal, “Aku hendak melapor pada Te-kun. Kalian harus hati-hati menyerahkan kedua tawanan ini kepada Co dan Yu kedua sucia!”

Pada lain saat Ni Jin-hiongpun lenyap. Tampak di sebelah muka terdapat sebuah pintu batu yang tertutup rapat. Di kedua sampingnya diterangi oleh empat batang lilin yang sebesar lengan anak kecil.

“Apakah yang kau bawa itu kedua tawanan tadi?” tiba-tiba terdengar suara bentakan keras. Dua penjaga tua yang bertubuh kurus dan gemuk muncul dari kiri-kanan pintu.

Rombongan yang membawa Thian-leng dan Bu-song serempak menyahut, “Benar, atas perintah Te-kun, tawanan ini supaya diserahkan kepada su-cia berdua!”

Penjaga yang bertubuh gemuk dan kurus itu brseru, “Baik, jebloskan ke dalam!”

Terdengar suara berdrak-derak dan kedua daun pintu batu itupun perlahan-lahan terbuka. Di dalam pintu ternyata merupakan sebuah kubangan seluas sepuluh tombak, penuh digenangi air busuk. Baunya menusuk hidung. Di tengah kubangan terdapat beberapa tiang batu yang ujungnya diberi gelang baja besar.

Rombongan pengawal segera mengikat Thian-leng dan Bu-song. Kedua anak itu diikat pada gelang baja. Dengan demikian Thian-leng dan Bu-song dibenam dalam kubangan air itu sebatas dada. Kedua tangan mereka diikat pada tiang batu. Keadaannya tak berdaya sama sekali karena jalan darah mereka tertutuk….

Selesai mengikat, rombongan pengawal segera pergi dan pintu batupun tertutup pula. Kini di dalam penjara Cui-lo hanya tertinggal kedua anak muda itu. Lama sekali keduanya tak dapat bicara. Akhirnya Thian-lenglah yang mulai membuka mulut, “Nona Lu……… lukamu…..”

Bu-song tertawa getir, “Jiwapun belum tentu selamat, mengapa masih menyibuki luka!”

Pedih hati Thian-leng, katanya dengan rawan, ”Mati tak kusayangkan, tetapi tak seharusnya kurembet nona…..” Bu-song menghela napas, “Aku tak sesalkan kau, biarlah kita serahkan pada nasib!”

Habis berkata dara itu pejamkan mata, Thian-lengpun ikut terbenam dalam renungan.

Sesaat sunyi senyap dalam penjara air. Dari berpuluh-puluh tonggak batu yang berada dalam kubangan air busuk itu, semua kosong kecuali terisi mereka berdua.

Dinding tembok penjara itu terbuat dari batu yang tebal, hanya bagian wuwungan atas diberi berpuluh lubang kecil untuk udara. Penjara air yang sekokoh itu masih dijaga pula oleh dua penjaga yang bertubuh gemuk dan kurus…..

Gelap makin gelap!

Perlahan-lahan Thian-leng mengedarkan pandangannya memandang sekeliling tempat itu. Diam-diam ia mengeluh. Jangankan dirinya diikat pada tonggak batu, sekalipun dibebaskan tetap sukar sekali untuk lolos dari penjara air yang sedemikian kokohnya.

Kubangan air busuk sekali hawanya. Sedemikian busuk sampai membuat orang hampir muntah. Bu-song mengkertak gigi, dahinya mengerut dan tak henti-hentinya tubuhnya bergetar. Jelas dara itu tengah berjuang menahan derita kesakitan.

Melihat itu Thian-leng makin pedih, serunya, “Nona Lu…..”

Bu-song menghela napas, menyahut perlahan, “Hmm……” Thian-leng hendak menghibur dara itu, tetapi sesaat tak tahulah ia bagaimana hendak mengucapkan kata-katanya. Mulutnya bergerak-gerak, tetapi tak jelas apa yang dikatakan.

”Kau hendak berkata apa, mengapa tak jadi?” dengus Bu-song.

Kini Thian-leng yang menghela napas, ”Semua adalah salahku, sehingga menyebabkan nona ikut menderita. Aku. minta maaf!”

“Apakah cukup dengan permintaan maaf saja?” dengus Bu-song pula.

Thian-leng tertegun ujarnya, “Jika berhasil lolos dari neraka ini, kelak aku tentu akan membalas budi nona. tetapi jika tak beruntung mati di sini, biarlah dalam penjelmaan kelak kubalas budi nona!”

Mendengar ucapan itu lupalah sejenak Bu-song akan penderitaannya. Matanya berkilat-kilat menatap Thian-leng. “Jika kita tidak mati, bagaimana kau hendak membalas budi padaku?”

Setitikpun Thian-leng tak menyangka bahwa si dara akan mengutarakan pertanyaan semacam itu. Ia tertawa rawan dan cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, “Yang penting sekarang kita harus berdaya mencari jalan lolos. Entah bagaimana dengan luka nona sekarang. ?”

“Tidak, kau harus mengatakan hal itu. Setelah itu baru kita bicarakan lain-lainnya!” si dara bersikukuh.

Thian-leng kerutkan alis, ”Jika beruntung tak mati di sini, apapun yang nona hendak perintahkan padaku, tentu aku sanggup melaksanakan, sekalipun harus terjun ke dalam lautan api !”

”Hanya begitu?” Bu-song agak kurang puas.

Diam-diam Thian-leng membatin. Anak perawan ini aneh sekali. Budi dibalas budi adalah sudah layak. Mengapa masih ngotot, apa yang dikehendaki lagi?

“Maaf, aku tak dapat memikirkan, bagaimana cara membalas budi yang memuaskan nona, hanya saja. aaa, tak

peduli nona akan menitahkan apapun, tentu kululuskan!”

Kini barulah Bu-song tersenyum puas, ujarnya, “Mulutmu yang mengatakan sendiri, kelak janganlah menyesal!” “Apakah aku ini orang yang tak pegang janji? Nona. ”

“Aku percaya padamu. Tak usah berkata lagi. ” tukas Bu-song. “Coba terka, apa yang hendak kuminta darimu?”

Kembali Thian-leng tertegun, “Bagaimana aku tahu hati nona? Tetapi pokoknya apapun yang nona katakan, pasti kulakukan dengan sepenuh tenaga. Tentu takkan mengecewakan!” 

Tiba-tiba mata Bu-song berkilat-kilat penuh sinar harapan hidup dan mulutnya tersekat-sekat berkata, “Aku .......

menghendaki kau seumur hidup. ”

Sekonyong-konyong terdengar pintu batu berderak-derak terbuka sehingga Bu-song tak dapat melanjutkan kata- katanya. Kedua anak muda itu cepat berpaling. Ternyata pintu penjara air itu terbuka lebar. Penjaga gemuk dan kurus yang disebut Co sucia dan Yu sucia itu tegak berdiri di ambang pintu.

“Bawa anak perempuan itu!” serunya dengan bengis. Dua penjaga berpakaian hitam muncul menghampiri Bu-song. Mereka membuka ikatan si nona lalu menyeretnya pergi.

“Kalian hendak membawa aku kemana?” karena jalan darahnya tertutuk, Bu-song tak dapat berbuat apa-apa kecuali menjerit-jerit.

“Jangan ribut!” bentak kedua pengawal gemuk dan kurus, “sebentar kau tentu tahu sendiri!”

“Aku tak mau pergi!” Bu-song menjerit-jerit, “kalau mau membawa aku, bawalah pemuda itu juga. ”

Si gemuk dan si kurus tertawa tergelak-gelak, “Aneh, apakah enaknya dibenam dalam air busuk dengan tangan diikat? Sebentar kau akan ke tempat bahagia. ”

“Awas jangan sampai melukainya. ,” kedua sucia memberi perintah bengis. Kedua anak buah baju hitam

mengiyakan. Mereka menggusur Bu-song keluar. Lenyapnya suara tertawa dari kedua su-cia gemuk kurus dibarengi dengan tertutupnya pintu baru.

Masih terdengar suara Bu-song yang penghabisan kalinya, “Kang Thian-leng, jika aku tak mati, aku tentu datang menolongmu, kau. ” Hanya itu suara yang dapat diteriakkan si dara karena sekejap kemudian suaranya telah

lenyap ditelan tertutupnya pintu batu.

Hati Thian-leng pun ikut tenggelam. Kemanakah mereka hendak membawa si dara? Akan dibunuh atau dilepaskan? BetapaThian-leng berusaha untuk menganalisa, namun tak dapat ia membuat kesimpulan.

Penjara airpun kembali dalam kegelapan. Kini hanya berisi Thian-leng seorang. Badannya yang terikat dan rasa sakit pada luka-lukanya, tak dihiraukan sama sekali. Ia masih dapat bertahan. Tetapi derita batin memikirkan keselamatan Bu-song jauh lebih menyiksa hatinya. Dalam kemarahan yang tak berdaya itu, hampir putuslah segala harapan.

Betapa inginnya saat itu ia segera mati saja! Ya, hanya kematianlah yang kiranya dapat membebaskannya dari penderitaan semacam itu.

Sekilas kemudian, terlintas suatu percikan sinar terang dalam otaknya. Mati, ya, kematian memang enak, memang satu-satunya cara untuk membebaskan penderitaan.

Tetapi hal itu hanyalah suatu penghindaran diri dari kenyataan. Suatu pengelakan dari tanggung jawab.

Suatu perbuatan pengecut dari manusia yang tak berani menghadapi kenyataan hidup. Bukankah ia seorang jantan ? Mengapa ia takut menanggung segala akibat perjalanan hidupnya ?

Sesaat tenanglah pikirannya. tetapi ketenangan itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Karena segera pikirannya terlintas pula oleh bayangan Lu Bu-song. Adalah karena hendak menolong dirinya, maka dara itu sampai menyelundup masuk ke dalam istana Sin-bu-kiong. Jika dara itu tak muncul, mungkin saat ini ia sudah menjadi budak pengikut Sin-bu Te-kun atau mungkin sudah menjadi mayat!

Memang perangai dara itu agak kemanja-manjaan dan congkak. Tetapi betapapun ia telah menolong jiwanya. Telah mempertaruhkan jiwanya sendiri untuk melepaskannya dari belenggu perbudakan Sin-bu Te-kun. Adalah sudah menjadi kewajibannya untuk balas budi menolong si dara dari cengkeraman iblis-iblis Sin-bu-kiong.

Mengapa dara itu dibawa pergi kalau tidak akan dibunuh? Memikirkan hal itu kembali hati thian-leng tegang sekali. tetapi pada lain saat ia teringat bahwa Bu-song adalah cucu kesayangan dari ketua partai Thiat-hiat-bun. Kakek berjenggot perak ketua partai Thiat-hiat-bun adalah seorang tokoh sakti. Mungkin tentu dapat menolong cucunya.

Sesaat cemas, sesaat terhibur. Pikiran Thian-leng teraduk-aduk oleh berbagai lamunan. Entah berapa lama ia berada dalam gelombang kecemasan yang pasang surut tak henti-henti melanda batinnya. Sekonyong-konyong ia dikejutkan oleh suatu suara yang mencurigakan. Suara itu terdengar lemah sekali hingga hampir tak tertangkap oleh telinga andaikata tak secara kebetulan Thian-leng dapat mendengarnya. Suara itu lemah dan sebentar-sebentar lenyap.

Cepat-cepat Thian-leng pusatkan seluruh perhatiannya. Ia memandang ke sekeliling penjara dengan seksama. Ah, dinding tembok itu terbuat dari batu yang kokoh dan licin. Tak tampak barang sedikitpun retakan ataupun liang. Tak mungkin suara orang dapat menembus ke dalam. ia mendongak memandang pada langit-langit ruangan, tak memungkinkan juga ditembus suara.

Thian-leng pejamkan mata. Diam-diam ia menertawakan dirinya yang sudah kacau. Paling-paling suara itu tentu berombaknya air busuk dalam kubangan. Teringat akan air, iapun menunduk memandang ke permukaan air.

Permukaan air tenang sekali, sedikitpun tidak beralun. Apalagi di dalam air yang sedemikian busuknya, tak mungkin terdapat mahluk hidup. 

Tiba-tiba ia tersentak kaget lagi. Mau tak mau ia harus mempercayai pendengaran telinganya. Ya, terdengar pula suara lemah itu. Malah kini lebih dari yang tadi. Ia yakin tentu tak salah dengar. Jelas bahwa suara itu merupakan suara erang seruan seseorang. Ah, tak salah lagi !

Satu-satunya jalan yang dapat ditembusi ialah dari lubang-lubang kecil pada langit-langit ruang penjara. Maka kali ini ia hentikan pernapasan dan mendongak ke atas mendengarkan dengan penuh perhatian. Ah, benarlah. Suara lemah itu terdengar jelas…..

Sayup-sayup terdengar suara seorang tua yang parau, “Nak, apakah kau mendengar suaraku….?”

Girang Thian-leng tak terkira, segera ia menyahut. “Ya, mendengar. Siapa kau?” karena meluapnya rasa girang, Thian-lengpun menghamburkan suaranya dengan keras sehingga ruang penjara air itu seolah-olah terselubung oleh suara kumandangnya yang bergema lama.

Ketika suara Thian-leng sudah lenyap, terdengar pula suara parau itu, “Nak, jangan keras-keras, aku tak dapat mendengar dan lagi akan menarik perhatian penjaga!”

“Cianpwe, di manakah kau?” Thian-leng segera merobah suaranya seperlahan mungkin.

Orang tak dikenal itu menghela napas, “Aku berada di ruang penjara Si-lo ( Penjara maut), di sebelah penjara air……” Penjara Si-lo…… ! Thian-leng berseru kaget, ‘’ Bilakah cianpwe dijebloskan mereka?”

Orang itu mengerang sejenak, ujarnya, “Tujuh belas tahun yang lalu… ”

“Tujuh belas tahun yang lalu?” kembali Thian-leng terkejut, ‘’siapakah nama locianpwe.. ?”

Kata-kata tujuh belas tahun itu memberi getaran keras pada perasaan Thian-leng. Ia mendapat firasat bahwa pada masa itu telah terjadi suatu peristiwa yang tak wajar dan peristiwa itu mempunyai sangkut-paut dengan dirinya.

Orang itu berhenti sejenak, kemudian katanya pula, “Nak, jangan banyak tanya dulu. Bagaimana keadaanmu sekarang?”

Thian-leng tertawa getir, “Jalan darahku tertutuk, kedua tanganku diikat dan aku dijebloskan dalam penjara air yang berdinding kokoh. Locianpwe, kiranya engkau tentu dapat membayangkan keadaanku itu!”

“Yang kutanyakan ialah lukamu!” cepat orang itu menyeletuk.

“Sekalipun menderita luka, tetapi aku telah mendapat peruntungan yang luar biasa dari seorang sakti. Tenaga dalamku telah digembleng sehingga luka yang kuderita ini tak menjadi soal.”

“Dapatkah kau menguasai ilmu mengerahkan lwekang untuk membuka jalan darah yang tertutuk?” tanya orang itu pula.

Thian-leng tertegun, ujarnya, “Ini…. ini aku belum pernah mencoba!” “Sekarang kau boleh mencobanya!”

Masih Thian-leng meragu, serunya, “Locianpwe, sukakah kau memberitahukan namamu yang mulia?” “Jangan banyak mulut!” orang itu membentak marah, “ lekas cobalah!”

Thian-leng tak berani banyak bicara lagi. Ia anggap perkataan orang tak dikenal itu memang benar. Siapa tahu jika memang dengan pengerahan tenaga lwekang dapat membuka jalan darahnya yang tertutuk, bukankah itu suatu pertolongan yang besar? Segera ia mengerahkan semangat dan pusatkan seluruh perhatiannya. Setelah tenaga itu terpusat, segera ia salurkan ke arah jalan darahnya yang tertutuk. Tetapi secepat itu ia merasakan suatu penderitaan yang hebat. Tulang-tulangnya serasa ditusuk senjata tajam. Sakitnya bukan kepalang sehingga ia mengerang.

“Ah, aku tak dapat melakukan,” rintihnya. “Karena takut sakit?” orang itu mengejek.

Thian-leng tak dapat menyahut. Diam-diam ia malu dalam hati.

Tiba-tiba terdengar keluh orang itu, “Ah, mungkin aku salah menilai orang. Hm, kita sudahi saja pembicaraan sampai di sini!”

Bukan kepalang terkejutnya Thian-leng, serunya tersipu-sipu. “Locianpwe…. Locianpwe. …”, tetapi betapapun ia meneriaki, tak terdengar suara sahutan. Rupanya orang itu benar-benar marah, tak mau lagi bicara padanya.

Terdorong oleh rasa malu dan gugup, ia segera menggertak gigi dan mengerahkan seluruh lwekangnya untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk itu. Sekali…. dua kali… tiga kali…. ia tahan segala kesakitan, terus menggempurkan lwekangnya.

Sampai pada putaran yang ke sembilan kali, terdengarlah tulang-tulangnya berkerotokan dan jalan darahnya yang tertutuk itupun …terbuka!

Girang Thian-leng bukan kepalang! Tetapi saat itu ia merasa letih sekali. Tulang-tulangnya serasa lunglai, kepalanya mandi keringat, napas terengah-engah.

Sekonyong-konyong terdengar pula orang tak dikenal itu tertawa perlahan. “Bagaimana nak?” “Aku berhasil melakukan……” sahut Thian-leng terengah-engah.

“Ah, nyata kau tak mengecewakan harapanku!” “Tetapi….”

“Tetapi bagaimana?”

“Karena terikat oleh kulit ular , sekalipun jalan darahku sudah terbuka, tetapi belum dapat memutuskan tali pengikat itu!”

Orang di dalam penjara air itu tertawa, “Tak perlu kuatir! Cobalah kau ulangi lagi jurus-jurus yang kau pelajari dari Sin-bu Te-kun itu!”

Kembali Thian-leng terkejut. Memang selama bertanding dengan Sin-bu Te-kun, karena Sin-bu Te-kun bergerak perlahan, maka dapatlah ia mempelajari jurus gerakannya yang luar biasa. Tetapi yang membuat pemuda itu tak habis heran, orang yang telah dijebloskan ke dalam penjara maut selama tujuh belas tahun, mengapa tahu kalau ia habis bertempur dengan Sin-bu Te-kun?

“Cianpwe, rupanya kau mengetahui segala apa, mengapa… ”

“Jangan banyak bicara ?” tiba-tiba orang itu menukas, “lekas turut perintahku ini!”

Thian-leng yang sudah mengenal akan perangai orang, terpaksa tak berani membantah. Segera ia ulangi menjalankan jurus-jurus dari permainan Sin-bu Te-kun. Makin lama makin terlelap ia dalam ilmu permainan yang luar biasa itu.

Entah berapa lama ia terbenam dalam permainan itu. Satu demi satu, dari jurus ke jurus, telah dimainkan sampai selesai. Setelah inti pelajaran itu dicamkan benar-benar, barulah ia berkata, ’’Locianpwe, telah kupelajari pelajaran itu dengan paham !’’

Dengan suara menghibur, orang aneh itu berseru, “ Bagus, sekarang kau boleh bertanya!” Buru-buru Thian-leng menanyakan nama orang aneh itu.

“Nyo Sam-koan!” sahut orang itu serentak. “Ha….? Mohon locianpwe mengatakan sekali lagi!”

Dengan tegas orang itu mengulangi lagi ,”Nyo… Sam….. Koan……”

Thian-leng merasakan jantungnya hampir melompat ke luar. Darahnya serasa membeku dan dengan suara lemah- lunglai ia berseru, “Kalau begitu, locianpwe ini adalah Sin-bu-kiong Te-it Ong-hui punya……”

“Benar, Ma Hong-ing memang semula adalah istriku!”

Makin terengah napas Thian-leng seketika. Serunya , “Pada tujuh belas tahun berselang, bukankah kau pernah mempunyai seorang putera? Mengapa kau sekarang dijebloskan dalam penjara maut ini?”

Nyo Sam-koan tertawa getir, “Nak, akan kuceritakan padamu dengan perlahan-lahan. Tetapi yang jelas, aku bukanlah ayahmu……! Siapa ayahmu aku sendiri tak jelas….! Mungkin kau anaka pungut Ma Hong-ing atau mungkin anak orang lain yang dicuri… ‘’

Dada Thian-leng berombak keras menahan gelombang perasaannya yang bergolak-golak. Namun ia tahankn diri tak mau menyambung bicara.

Kata Nyo Sam-koan pula, “Sekarang aku sudah berumur tujuh puluh lima tahun. Dahulu sejak kecil aku menjadi bujang dari keluarga Pok di Lulam. Keluarga Pok termasyhur sebagai tokoh silat yang dihormati orang. Aku disuruh melayani puteranya yang bernama Pendekar pedang bebas Pok Thiat-beng… ”

“Pok Thiat-beng……!” menjeritlah Thian-leng dengan terkejut. Bukankah Pok Thiat-beng itu orang yang hendak dicari wanita sakti Toan-jong-jin? Apakah hubungan mereka berdua? Dan apa sangkut pautnya dengan dirinya… 

“Jangan keburu memutuskan omonganku dulu, nak. Dengarlah ceritaku lebih lanjut….” kata Nyo Sam-koan dengan suara lemah, “Pok kongcu itu seorang pemuda yang gagah perwira. Ia bercita-cita hendak menjelajahi dunia, maka diajaknyalah aku mengembara, mengunjungi tempat-tempat termasyhur…..

Peristiw itu terjadi pada delapan belas tahun yang lalu. Pada waktu itu, aku baru berumur enam puluh tahunan. Karena selama menjadi bujang keluarga Pok aku juga diajari ilmu silat, mak tubuhku masih tampak segar kuat. Dan kala itu Pok kongcu baru berumur duapuluh tahunan. Karena tertarik dengan kemasyhuran alam daerah selatan, maka kami segera menuju ke selatan. Sebulan kemudian tibalah kami di daerah Ling-lam….” Nyo Sam-koan berhenti sejenak untuk mengatur napasnya.

“Lalu?” desak Thian-leng.

“Mungkin seharusnya Pok kongcu jangan pesiar ke Ling-lam. Karena hal itulah maka sampai menimbulkan bermacam kejadian yang berbelit-belit!”

“Memang Pok kongcu memiliki kepandaian silat yang hebat, sehingga dalam usia kurang dari dua puluh tahun saja dia sudah merupakan tokoh silat yang termasyhur di dunia persilatan Tiong-goan. Sebagai anak muda, tak lepas Pok kongcu dari rasa bangga. Julukan Siau-yau kiam-khek (Pendekar pedang bebas) itu dia sendirilah yang mengumumkan. Selama dalam pengembaraan itu, tak sedikit sahabat-sahabat persilatan yang coba-coba hendak menjajal kepandaian Pok kongcu. Tetapi rata-rata mereka hanya mampu melayani Pok kongcu sampai sepuluh jurus saja. Tak seorangpun dari tokoh persilatan yang tak mengagumi ilmu pedang Pok kongcu! Tetapi setiba di Liang-lam, terjadilah suatu peristiwa yang luar biasa. Pok kongcu telah ketemu batunya…. »

‘’Apakah dia dikalahkan orang ?’’ Thian-leng tak dapat menahan diri lagi.

“Benar!” sahut Nyo Sam-koan. “Bahkan menderita kekalahan yang mengenaskan. Baru bertempur tiga jurus saja, pedangnya telah dimentalkan jauh, lengan kanannya terluka. Sekalipun lawan tak bermaksud melukainya sungguh- sungguh, namun hal itu dianggapnya suatu penghinaa yang hebat!”

Thian-leng dapat memahami. Memang seorang tokoh persilatan, menganggap nama itu jauh lebih berharga dari jiwa. Apalagi seorang pemuda yang tinggi hati macam Pok Thian-beng. Tidak sampai tiga jurus sudah dikalahkan orang,benar-benar lebih baik mati saja.

“Siapa lawannya yang begitu lihai itu?” tanya Thian-leng. “Thiat-hiat-bun!” sahut Nyo Sam-koan.

“Thiat-hiat-bun?” untuk kesekian kalinya Thian-leng berjingkrak kaget.

“Lawannya itu hanya seorang dara yang baru kira-kira berumur enam belas tahun. Puteri kesayangan dari Lu Liang- ong, ketua partai Thiat-hiat-bun sendiri!” kata Nyo Sam-koan lebih lanjut.

Hati Thian-leng bergelombang keras. Seketika teringatlah dia akan si dara Bu-song. Bu-song ialah cucu si Jenggot Perak Lu Liang-ong, ketua Thiat-hiat-bun. Kalau begitu bukankah yang mengalahkan Pok Thiat-beng itu ibu dari Bu- song?

Sesaat kemudian Nyo Sam-koan berkata pula, “Seteloah menderita kekalahan itu, Pok kongcu segera hendak membunuh diri. tetapi ah… rupanya masih panjang lelakonnya. Ternyata dara yang mengalahkan Pok kongcu itu

malah jatuh cinta padanya….!”

”Apakah mereka lalu menikah?” seru Thian-leng.

“Ya,” jawab Nyo Sam-koan, “tiga hari kemudian disaksikan oleh ketua Thiat-hiat-bun Lu Liang-ong, mereka terangkap menjadi suami isteri, bersumpah sehidup semati… !”

Kembali pikiran Thian-leng melayang-layang. Wanita sakti Toan-jong-jin minta padanya supaya mencarikan jejak Pedang bebas Pok Thiat-beng. Dalam ucapan wanita itu seperti tersimpan urusan cinta. Tetapi si Patah hati itu kini sudah merupakan seorang nenek berumur tujuh-delapan puluh tahun. Rasanya tentu bukan puteri dari ketua Thiat- hiat-bun. Memikir sampai di situ, peninglah kepala Thian-leng…..

“Siapa nama gadis yang menikah dengan Pok Thian-beng itu?” tanyanya. “Lu Giok-bun !” jawab Nyo Sam-koan.

Thian-leng hanya mendesis. Ia tetap merasa terbungkus dalam halimun kegelapan…

Dua gembong bertemu.

“Meskipun Pok kongcu sudah menikah dengan nona Lu, tetapi ia tak mau menetap di daerah Ling-lam. Setelah beberapa bulan kemudian ia pamit pada ayah mertuanya dan membawa isterinya pulang ke utara.

Nona Lu mempunyai seorang pelayan perempuan yang semestinya ditinggal di rumah untuk melayani Lu Liang-ong. Tetapi bujang perempuan itu dengan sangat meminta pada nona Lu supaya diperbolehkan mengikutinya. Katanya ia ingin melayani nona majikannya selama-lamanya. Sekalipun terharu atas kesetiaan bujang itu, namun nona Lu tak meluluskan, karena mengingat kepentingan ayahnya nanti.

Di luar dugaan bujang itu menyatakn bahwa ia jatuh cinta padaku dan ingin menjadi isteriku…..” “Sungguh baik sekali!” seru Thian-leng.

“Baik sih baik, tetapi akhirnya menjadi buruk…..” “Apakah budak perempuan itu…..”

“Ialah Ma Hong-ing yang menjadi Teit Ong-hui dari Sin-bu Te-kun sekarang!” ia menutup kata-katanya dengan helaan napas.

“Lo-cianpwe, lekas lanjutkan ceritamu!” Thian-leng tak sabar lagi.

“Baik, “ kata Nyo Sam-koan, “atas permintaan yang sangat dari Ma Hong-ing, akhirnya nona Lu meluluskan Ma Hong- ing jadi dinikahkan dengan aku lalu diajak pulang ke rumah Pok kongcu. Tetapi sebelum sempat pulang ke Lu-lam, di tengah jalan telah timbul peristiwa….”

“Karena tujuan semula Pok kongcu hendak pesiar, maka iapun mengajak isterinya berbulan madu dahulu, pesiar ke berbagai tempat yang indah alamnya. Maka kurang lebih delapan bulan lamanya, barulah kami tiba di daerah Su- chuan. Waktu itu nona Lu dan Ma Hong-ing masing-masing sudah mengancdung. Karena kuatir tak keburu mencapai rumah , maka Pok kongcu segera mengutus aku untuk memberi kabar dulu ke lu-lam. Pok kongcu dan isteri terpaksa tinggal di Su-chuan menunggu kelahiran….”

“Pergi pulang ke Lu-lam itu memakan waktu delapan bulan lebih. Ketika aku kembali ke Su-chuan, nona Lu dan Ma Hong-ing pun telah melahirkan anak. Nona Lu melahirkan seorang puteri dan Ma Hong-ing seorang lelaki….”

Nyo Sam-koan berhenti sejenak untuk mengatur napas. Tiba-tiba ia berseru, “Anak lelaki itu ialah Kau!”

Jantung Thian-leng berdebar keras, serunya, “Kalau begitu apakah kesemuanya ini benar? Ma Hong-ing adalah ibu kandungku dan kau..... adalah ayahku. ”

Nyo Sam-koan tertawa getir, “Tidak, yang jelas aku bukanlah ayahmu!” “Hai, bagaimana kau begitu yakin?” seru Thian-leng.

“Karena …. karena aku tak pernah meniduri Ma Hong-ing!” “Hai. ! Bagaimana ia bisa hamil?”

“Ini. ada dua kemungkinan. Pertama, dia pura-pura hamil. Pada saatnya melahirkan, dia diam-diam menculik

bayi dari salah seorang penduduk yang tinggal di dekat desa situ. ”

“Ah, jadi ........ aku ini anak curian. ?” Thian-leng mengeluh.

Nyo Sam-koan menghela napas, ujarnya pula, “Dan kemungkina kedua, Ma Hong-ing hamil sungguhan!” “Dengan siapa?” seru Thian-leng.

“Dia berjinah dengan orang lain!”

Darah Thian-leng serasa membeku. Kalau benar begitu, ia seorang anak haram. Hai…. tiba-tiba ia teringat akan tingkah laku Ma Hong-ing. Apakah ...... apakah dia berjinah dengan Ni Jin-hiong? Ah. kalau begitu, Ni Jin-hiong

itukah ayahnya...? Sungguh ngeri. !

Kesimpulan ini lebih banyak mendapat tempat dalam pikiran Thian-leng. Karena kalau tidak, perlu apa Ma Hong-ing pura-pura hamil lalu mencuri bayi orang? Kemungkinan pertama itu, rasanya lebih tidak masuk akal. Mungkin Ma Hong-ing takkan berbuat begitu!

Jika benar ia itu putera Ni Jin-hiong, ah. ! Tak tahu bagaimana perasaan Thian-leng saat itu. Yang nyata ia kepingin

segera mati saat itu juga!

Kembali suara parau dari Nyo Sam-koan terdengar pula, “Nak, tak usah kau resah. Macan betina yang buas, tetap takkan memakan anaknya. Tetapi melihat tindakan Ma Hong-ing yang dengan berbagai tipu muslihat hendak membunuhmu, membuktikan bahwa kau bukanlah anak kandungnya. !”

Thian-leng menghela napas, “Namun andaikata benar mereka itu ayah bundaku, akupun ”

“Justru hal itulah yang harus kau selidiki sampai jelas!” tukas Nyo Sam-koan. Thian-leng tertawa getir, “Lo-cianpwe, silakan melanjutkan lagi!” Nyo Sam-koan menarik napas, ujarnya, “Pada saat aku kembali ke Su-chuan, terjadilah suatu peristiwa yang tak terduga-duga…..” ia berhenti sejenak untuk menggali ingatan. Kemudian melanjutkan, “ Saat itu tengah malam buta. Tiba-tiba kudengar percekcokan mulut antara Pok kongcu dengan nona Lu. Baru pertama kali itu sejak menikah mereka cekcok. Yang pertama, tetapi juga yang terakhir!

Semula hanya dengan suara perlahan, tetapi makin lama makin keras dan nyolot. Ketika aku menyadari bahwa keduanya sudah sama-sama naik darah, segera aku bergegas keluar hendak meramaikan. Tetapi sudah terlambat. Kedua suami isteri itu sudah bertempur!

Mereka sama-sama memiliki kepandaian sakti. Betapapun usahaku hendak melerai, namun tak berdaya juga. Pok kongcu dapat melukai lengan kiri nona Lu, tetapi nona Lu pun dapat menusuk dadanya. Sepasang suami isteri yang saling mencintai satu sama lain, pada saat itu telah berobah menjadi dua musuh yang mendendam. Akibatnya telah menimbulkan peristiwa-peristiwa yang menyedihkan sekali…..

Akhirnya Pok kongcu marah dan tinggalkan isterinya. Dan nona Lu pun membawa puterinya itu pergi. Sepasang burung merpati, kini saling terbang tercerai-berai. ”

“Urusan apakah yang menyebabkan mereka sampai terpecah-belah begitu macam?” tanya Thian-leng.

Kali ini Nyo Sam-koan menghela napas panjang, ujarnya, “ Semula aku sendiripun tak tahu persoalannya. Tetapi akhirnya ku ketahui juga. Kiranya wanita busuk Ma Hong-ing itulah yang menjadi gara-garanya. Dia telah mengatur siasat mengadu domba… ”

“Bagaimana caranya mengadu domba?”

“Di hadapan Pok kongcu ia merangkai cerita bahwa sewaktu masih gadis di Liong-lam, nona Lu sudah mempunyai kekasih. Juga sebaliknya di depan nona Lu, Ma hOng-ing menggosok-gosok bahwa Pok kongcu itu sebenarnya sudah mempunyai isteri di rumah!”

“Masakan kedua suami isteri itu begitu mudah saja memercayai cerita itu?” seru Thian-leng.

“Ah, Pok kongcu dan nona Lu sama-sama masih muda. Darah mereka mudah meluap. Apalagi karena rasa cintanya, mereka mudah dihinggapi rasa cemburu. Pada saat masing-masing menganggap bahwa orang yang dicintainya itu ternyata sudah mempunyai kekasih, meletuslah perang mulut yang berakhir dengan pecahnya istana kasih yang mereka bentuk selama itu. Perempuan busuk Ma Hong-ing memang lihay. Selain cerita, iapun dapat menunjukkan beberapa bukti untuk memperkuat ceritanya itu. Demikianlah akhirnya kedua suami isteri itu berpisah……”

Thian-leng termenung mendengar kisah-kasih yang tragis itu. Tiba-tiba ia teringat pada si wanita Patah Hati. Mengapa wanita aneh itu memakai nama Toan-jong-jin? Bukan tidak ada sebabnya ia menggunakan nama itu! Dan kalau menilik gerak-geriknya, kecuali hanya umurnya yang berbeda, wanita itu menyerupai benar dengan Lu Giok- bun. Hal ini........

“Begitu mengetahui persoalannya, “ tiba-tiba lamunan Thian-leng terbuyar oleh kata-kata Nyo Sam-koan pula, “segera kususul Pok kongcu. Kepadanya kujelaskan bahwa sebenarnya nona Lu tak bersalah, tetapi. ” Nyo Sam-

koan tertawa rawan dan tak melanjutkan kata-katanya.

Thian-leng dapat meraba apa yang telah terjadi. Namun dicobanya berkata juga, “Bukankah akhirnya kau kena diringkus Ma Hong-ing dan dijebloskan ke dalam Sin-bu-kiong sini……”

“Benar!” sahut Nyo Sam-koan, “ternyata orang-orang Sin-bu-kiong sudah memasang pengaruh sampai di Suchuan. Mereka diam-diam sudah mengepung tempat tinggal Pok kongcu… ” ia berhenti sejenak, katanya pula, “tetapi

sampai sekarang ini aku belum jelas kapankah Ma Hong-ing itu mulai mengadakan hubungan rahasia dengan Sin-bu Te-kun dan akhirnya menjadi Te-it Ong-hui?”

Cerita itu telah memberi banyak pengetahuan pada Thian-leng. Tetapi juga lebih mempertebal kabut rahasia yang menyelimuti asal-usul dirinya.

“Lo cianpwe, apakah selama tujuh belas tahun ini kau dijebloskan dalam penjara air ini?” tanyanya.

“Ya,” Nyo Sam-koan mengiyakan, “mereka telah melumpuhkan kepandaianku. Kedua kakiku dirantai sehingga setapakpun aku tak dapat keluar dari penjara air ini. Selama tujuh belas tahun aku tak pernah melihat sinar matahari lagi!”

“Tetapi mengapa lo-cianpwe tahu semua kejadian dalam istana Sin-bu-kiong ini?” Mengapa lo-cianpwe tahu aku. ”

Nyo Sam-koan menukas tertawa, “Memang sudah selayaknya kau heran! Dahulu aku pernah menerima ajaran ilmu gaib dari nona Lu yang disebut ilmu Melihat-langit-mendengarkan-bumi…”

“Melihat langit mendengarkan bumi?” Thian-leng menegas.

“Apabila ilmu itu diyakinkan sampai sempurna, maka apa yang terjadi di daerah seluas sepuluh li, apakah itu angin meniup atau rumput bergoyang, kita dapat mendengarkan dengan jelas!”

“Tetapi bukankah kepandaian lo-cianpwe sudah dilumpuhkan? Mengapa bisa meyakinkan ilmu itu?” “Ilmi itu tak memerlukan suatu tenaga dalam, melainkan hanya konsentrasi hati, pikiran dan indra. Selama tujuh belas tahun disekap di sini, tak henti-hentinya kulatih ilmu itu.

Baru setahun yang lalu aku berhasil mencapai kesempurnaan. Tetapi penangkapan pendengarankupun hanya mencapai seluas satu li saja. Maka apa yang terjadi dalam istana ini tentu tak terluput dari pendengaranku. Di luar istana, aku masih belum mampu menangkapnya!”

Kata Thian-leng dengan tegas, “Apabila aku berhasil lolos dari penjara air sini, aku tentu berdaya menolong lo cianpwe. Tetapi bagaimana cara memecahkan penjara Si-lo itu? Apakah di situ tak dipasangi alat rahasia?”

“Jangan!” sahut Nyo Sam-koan, “jika kau berhasil lolos, harus segera tinggalkan Sin-bu-kiong untuk menyiapkan rencana menghancurkan Sin-bu Te-kun. Yang perlu kau ketahui, penjara Si-lo ini adalah pos terpenting dalam istana Sin-bu-kiong. Bukan hanya penuh dengan alat rahasia, tapi juga dijaga keras oleh sejumlah besar jago-jago tangguh. Jangan sekali-kali gegabah ke tempat berbahaya ini. !”

Nyo Sam-koan berhenti untuk menghela napas, ujarnya pula, “Apalagi selama disiksa tujuh belas tahun ini, kini diriku hanya tinggal serangka tulang. Sekali melihat sinar matahari, mungkin aku tak tahan. Bisa buta atau mati seketika!”

Thian-leng hendak menyambung, tetapi Nyo Sam-koan meneruskan kata-katanya, “Eh, ada orang datang! Mungkin ada bintang penolong datang. Ingat-kata-kataku tadi. Segera tinggalkan tempat ini dan teruskan usahamu untuk menumpas Sin-bu Te-kun. Setelah itu barulah kau perlahan-lahan menyelidiki asal-usulmu..!”

Serentak Thian-leng meminta agar Nyo Sam-koan menceritakan bagaimana ia dapat dijebloskan ke dalam penjara Si- lo, tetapi Nyo Sam-koan sudah menukasnya.

“Orang yang datang itu sudah tiba di luar penjara air, sudahlah, jangan banyak cakap lagi!” serunya. Kata-kata Nyo Sam-koan terputus oleh bunyi berderak-derak dari pintu batu yang terpentang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar