Panji Tengkorak Darah Jilid 07

Jilid 7 .

Thian-leng dan Bu-song terkejut juga. Mereka tak menyangka bahwa Cu Siau-bun akan berbuat begitu. Mereka buru- buru menghampiri Ma Hong-ing.

Cu Siau-bun sendiri walaupun sudah memutuskan untuk membunuh Ma Hong-ing, tetapi dikala melontarkan jarum entah bagaimana hatinya keder, tangannya lemas sehingga agak mencong.

Sebelum Thian-leng dan Bu-song menolong, Ma Hong-ing sudah dapat berdiri sendiri. Meskipun punggungnya tertusuk tiga batang jarum hingga tembus sampai ke dada, tetapi karena tangan Cu Siau-bun mencong, maka tidak sampai mengenai jalan darah yang berbahaya.

Ma Hong-ing pucat seperti kertas, setelah terengah-engah sebentar, ia menatap Cu Siau-bun, ”Kau. sungguh

ganas. ”, tiba-tiba wajahnya berobah dan berkata pula tergagap, “tetapi tak dapat mempersalahkan engkau. Aku

...aku memang pantas mati dan seharusnya mati di tanganmu !” selanjutnya ia berbicara tak jelas sehingga

Thian-leng dan Bu-song tak mendengar apa yang dikatakan itu.

Cu Siau-bun pun juga. Ia tak dapat berkata sepatahpun. Perasaan hatinya berkecamuk keras. Tak tahu ia apakah tindakannya itu benar atau salah. Ia hanya merasa mempunyai keharusan untuk membunuh wanita itu. Ia hanya menuruti suara hatinya, bahwa wanita itu tak boleh hidup bersama-sama di dunia!

Tetapi mengapa pada detik-detik ia melaksanakan keputusannya itu mendadak sontak tangannya lemas, hatinya goncang? Hal itu ia tak tahu, tak mengerti apa sebabnya!

Thian-leng menghela napas kecil, serunya tersekat, “Kau… terluka?”

Tiba-tiba Ma Hong-ing membeliakkan matanya dan menyahut dingin, “Aku tidak mati! Tak usah kau tanyakan!”

Thian-leng terkesiap. Ia tercengang. Wanita di hadapannya itu, sungguh seorang wanita yang misterius. Kalau menurut Toan-jong-jin, Ma Hong-ing adalah ibu kandungnya. Tetapi mengapa wanita itu sedemikian dingin sikapnya. Mengapa wanita itu menganggap dirinya seolah-olah sebagai musuh bebuyutan? Kapankah ia dapat menyingkap tabir yang menyelimuti dirinya? Thian-leng tercekam dalam kabut misterius yang makin gelap!

Ma Hong-ing mendekap dada menahan sakit. Tetapi wajahnya kembali membesi, dengusnya, “Ayo, jalan lagi….!”

Dengan terhuyung-huyung wanita itu melanjutkan perjalanan lagi. Diam-diam Cu Siau-bun menyesal. Tanpa bicara apa-apa, ia mengikuti.

Tak lama kemudian tibalah mereka di muka sebuah pintu besi yang menutup jalanan. Ma Hong-ing segera memijat sebuah alat yang berbentuk seperti gelang kecil. Terdengarlah bunyi berderak-derak dan terbukalah seketika sebuah pintu kecil. Pintu itu hanya cukup dimasuki seorang. Pun tidak bisa masuk dengan tegak, tetapi harus membungkuk.

“Sekeluarnya dari lorong berdinding besi ini kita bakal tiba di luar istana yang gelap pintunya!” kata Ma Hong-ing sambil mendahului jalan.

Kali Cu Siau-bun tak bersangsi. Ia terus mengikuti saja. Tetapi baru ia melangkah melalui pintu besi itu, tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa yang mengejutkan!

Habis melalui pintu besi, Ma Hong-ing segera berhenti menjaga di samping pintu. Karena mengira Ong-hui hendak melindungi sampai rombongan muda-mudi itu selamat melalui pintu besi, maka tanpa curiga apa-apa Cu Siau-bun pun segera ayunkan langkah.

Demikianlah Thian-leng dan Bu-songpun segera mengikuti tindakan dara baju merah itu. Begitu Cu Siau-bun sudah masuk, maka Thian-leng dan Bu-song pun melangkah maju ke pintu. Sekonyong-konyong Ma Hong-ing mengangkat tangannya menghantam kepada kedua muda-mudi itu.

Daarr…. karena tak menyangka, Thian-leng dan Bu-song termakan pukulan Hian-im-ciang dari Ma Hong-ing dengan jitu. Tubuh kedua anak muda itu serasa dilanda oleh hawa dingin, darah merekapun bergolak sehingga terhuyung- huyung mundur beberapa langkah. Dan pada saat itu tiba-tiba pintu besi tertutup pula. Thian-leng dan Bu-song baru hendak berusaha memperbaiki keseimbangan tubuh, sekonyong-konyong tanah yang mereka injak itu amblas dan terceburlah mereka ke dalam sebuah lubang jebakan yang gelap….

Cu Siau-bun kaget sekali. Buru-buru ia hendak menerjang keluar untuk menolong Thian-leng, tapi sudah terlambat. Pintu besi itu sudah tertutup. Ternyata pintu itu ditutup oleh dua orang penjaga.

Pada saat melontarkan pukulan, Ma Hong-ing memberi isyarat kepada kedua penjaga supaya segera menutup pintu….

Kini Ma Hong-ing mendekap dadanya yang terluka dengan kedua tangannya. Rupanya karena menggunakan banyak tenaga untuk memukul, maka lukanyapun goncang. Mulutnya gemetar dan tiba-tiba ia muntahkan segumpal darah segar!

“Apakah Ong-hui masih ada perintah?” kedua pengawal baju biru segera menanya.

Ma Hong-ing mengembalikan napasnya dulu. Ia paksakan untuk berdiri tegak, serunya. “Cabut pedang!”

Kedua pengawal saling berpandangan. Tampaknya mereka tekejut, tetapi tak berani membantah. Keduanya segera mencabut pedang masing-masing.

“Bunuh diri kalian sendiri!” Kembali Ma Hong-ing memberi perintah singkat. Berobahlah wajah kedua pengawal itu. Mereka kembali berpandangan satu sama lain. “Kalian berani membantah?” bentak Ma Hong-ing.

Kedua pengawal itu mengangkat kepala, serunya dengan gemetar, “Hamba merasa tak berdosa, mohon Ong-hui suka melimpahkan ampun!”

Ma Hong-ing mendengus, “Membunuh kalian mengapa harus membuktikan kesalahanmu…..” berkilauan mata Ma Hong-ing memancarkan hawa pembunuhan, bentaknya, “Jika kesabaranku habis, mungkin kalian tak mempunyai kesempatan untuk melakukan perintah bunuh diri lagi!”

Wajah kedua pengawal itu pucat pasi. Namun tanpa ayal lagi mereka segera menusukkan pedang ke dadanya sendiri. Terdengar dua sosok tubuh mengelepar jatuh ke tanah. Kedua pengawal itupun melayang jiwanya.

Ma Hong-ing terengah mengembalikan napasnya, lalu menunjuk ke muka, “Kita jalan lagi! Di sanalah pintu Kian-kwan yang gelap! Lewat pintu itu sudah di luar istana Sin-bu-kiong.”

Tiba-tiba Cu Siau-bun mencabut pedang dan diancamkan ke dada Ma Hong-ing, bentaknya, “Lekas buka pintu besi itu!”

Dingin-dingin Ma Hong-ing menyahut, “Dibukapun tak ada gunanya. Anak itu sudah terjerumus ke dalam neraka di bawah tanah. Mungkin saat ini kedua budak itu sudah mati! Kalau masih hiduppun tentu sudah dibunuh penjaga di situ!”

“Perempuan siluman, mengapa kau begitu ganas?” saking geramnya geraham Cu Siau-bun sampai bercatrukan.

Sebaliknya Ma Hong-ing malah tenang sekali sahutnya, “Tidak kenapa-kenapa! Tak kuijinkan kau mencintai budak lelaki itu. Kecuali membunuhnya rasanya tiada cara lain lagi……”

Cu Siau-bun tiba-tiba memutar tubuhnya. Ia memukul dan menebas pintu besi itu. Tetapi betapapun ia habiskan tenaganya, pintu besi itu tak bergeming sedikitpun jua. Matanya yang mengembang air mata menyinarkan gelora pembunuhan yang menyala-nyala. Cepat ia berputar dan mengancamkan pedangnya ke dada Ma Hong-ing lagi, bentaknya, “Jika kau tak mau membuka pintu besi ini, segera akan kubunuh!”

Ma Hong-ing tak mau melawan. Ia memeramkan mata dan menantang, ”Kalau mau membunuh, silakan ! Tetapi jangan harap kau dapat menyuruh aku membuka pintu itu…”, ia berhenti sejenak untuk mengatur napasnya lagi, kemudian berseru pula, ”Mungkin aku sudah diharuskan mati di tanganmu. Dan memang hanya mati di tanganmu baru tenteram hatiku….. ”

Lagi-lagi Cu Siau-bun tekejut. Tampaknya wanita itu memang mempunyai hubungan rahasia dengan dirinya. Membayangkan hal itu, ngerilah hatinya. Benaknya penuh lalu –lalang renungan……”Ah, lebih baik kubunuh saja! Hanya kalau wanita ini mati, maka barulah rahasia itu terkubur selama-lamanya,” Akhirnya keputusan untuk melenyapkan wanita itu timbul kuat kembali.

Sebenarnya ia tak tahu apakah rahasia terpendam itu. Hanya ia merasa bahwa hal itu tentu tak menguntungkan dirinya, “Bunuh, bunuhlah saja….!” demikian sang hati meronta-ronta mendesak sang pikiran yang masih ayal.

Tiba-tiba dengan sekuat tenaga, ia menusuk dada Ma Hong-ing sekuat-kuatnya. Dan Ma Hong-ingpun hanya memeramkan mata menyerahkan jiwanya….

Sekonyong-konyong pada detik ujung pedang menyentuh dada Ma Hong-ing, Cu Siau-bun merasa lengannya seperti ditarik oleh suatu tenaga kuat yang tak kelihatan. Terkejutnya bukan kepalang. Cepat-cepat ia berpaling ke belakang dan lemas lunglailah api pembunuhan yang membakar hatinya itu.

Entah kapan dan bagaimana caranya, tahu-tahu seorang wanita tua berambut putih dan wajahnya sudah keriput tampak tegak berdiri di belakangnya. Seperti seekor domba yang melihat induknya, maka Cu Siau-bunpun segera loncat menubruk ke dada wanita itu seraya menangis, “Mah….”

Wanita itu membelai rambut Cu Siau-bun. “Apakah kau menderita kesukaran nak?” “Dia…… dia mungkin telah dicelakai mereka!” Cu Siau-bun tersedu-sedu.

“Dia….. dia siapa?”

“Kang Thian-leng………,” sahut Cu Siau-bun. “Mah kemanakah kau tadi? Mengapa tak membantu kami?”

Wanita itu mengerutkan dahi, “Sekarang belum saatnya aku menunjukkan diri. Aku hendak menyelidiki secara diam- diam, baru nanti turun tangan menyelesaikan seluruh persoalan….”

“Tetapi karena kau tak mengamat-amati kami, Kang Thian-lengpun mati…..”, tenggorokannya tersekat isak tangisnya sehingga tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Kemudian ia menyusupkan kepalanya ke dada sang ibu dan meratap iba. “Kalau dia mati, akupun tak mau hidup lagi!”

“Nak, janganlah kau mengucapkan kata-kata yang melemahkan semangat hidupmu. Apalagi budak itu belum tentu terus begitu cepat mati….!”

“Bagaimana mamah tahu?”

“Lupakah kau bahwa aku mengerti juga tentang ilmu meramal ?” ”Apakah kau telah melihat nasibnya?”

Wanita itu paksakan tertawa, “Tak usah diramal lagi, jelas bahwa wajahnya tak memantulkan tanda kenaasan!” Agak longgar hati Cu Siau-bun, namun ia tetap mendesak ibunya, “Kalau begitu baiklah kita lekas menolongnya!” “Tak perlu, karena tentu sudah ada orang yang menolongnya!” wanita itu tersenyum.

“Aku tak percaya,” Siau-bun menyengit, “mungkin saat ini dia sudah meninggal!” “Percayalah omonganku, nak! Tadi aku telah berjumpa dengan seseorang!” “Siapa?”

“Ka……kekmu!”

“Kakek….?” Siau-bun tertegun, “Mengapa mamah tak pernah mengatakan sebelumnya? Apakah beliau sakti?” Ibunya tak suka banyak omong. Ia menghela napas perlahan.

“Mamah mempunyai alasan yang sukar diutarakan. Baiklah kau jangan banyak tanya lagi!” “Apakah kakek yang menolongnya?”

“Tidak, tetapi aku dan kekekmu telah mempersiapkan rencana untuk menolongnya. Jangan kuatir!”

Siau-bun tertegun diam. Sekalipun hatinya belum longgar seluruhnya, tetapi terhadap ibunya ia menaruh kepercayaan besar. Ia percaya setiap patah kata dari ibunya seperti orang memuja dewa.

Ibunya seorang wanita yang keras tetapi mengasihinya dan terutama sang ibu itu tak pernah berbohong. Sekalipun manja tetapi Siau-bun mengindahkan ibunya.

Wanita itu menghela napas. Tiba-tiba ia melangkah maju menghampiri Ma Hong-ing. Betaknya, “Apakah kau masih kenal padaku……?”

ooo000oooo Sejak wanita itu muncul, Ma Hong-ing terlongong-longong berdiri di samping. Ditatapnya wanita tua itu dengan penuh perhatian. Diam-diam ia terkejut. Kalau tak salah ia seperti kenal siapa wanita itu. Namun tak dapat ia membuktikan dugaannya itu.

Baru setelah wanita itu membentaknya, Ma Hong-ing gelagapan, serunya, ”Kau……kau..ini……!”

Wanita tua itu mendengus dingin. Tiba-tiba ia mengusap mukanya. Hai….. kulit mukanya bergulung seperti dikupas. Ah….. , kiranya ia memakai kedok dari kulit orang. Dan hilangnya muka orang tua berwajah keriput itu, tampaklah wajahnya yang asli.

Seorang wanita yang cantik sekali. Walaupun usianya sudah mendekati tiga puluh enam-tiga puluh tujuh tahun, namun kecantikannya masih memancar gilang-gemilang….

Ma Hong-ing terbeliak kaget, serunya tergugu, “Ah, kiranya memang kau ….Cu Giok-bun!”

Wanita yang ternyata bernama Cu Giok-bun itu terpukau dalam badai perasaan yang melanda hatinya. Dia tegang, hatinya bergolak-golak!

“Tujuh belas tahun tak bertemu, ternyata kau masih dapat mengenali diriku,” akhirnya meluncurlah kata-kata dari mulutnya.

“Jangankan tujuh belas tahun, tujuh puluh tahunpun aku tetap mengenalimu. Siang malam aku selalu terkenang padamu…….” Ma Hong-ing menjerit geram. “Ya, ingin sekali kumakan dagingmu, membeset kulitmu!” tiba-tiba Ma Hong-ing menjerit pula dengan kalap.

Cu Giok-bun mengerutkan alisnya, “Itulah sebabnya aku sengaja datang kemari! Mengapa kau membenci aku? Mengapa kau tak sayang menyuruh puteramu mati bersamaku…” sejenak ia menggerakkan matanya, kemudian melanjutkan berkata pula, “Ingatlah, bahwa kita pernah tinggal bersama selama delapan tahun. Hubungan kita selama itu cukup baik, aku tak pernah memperlakukan kau secara tak baik dan kaupun tak pernah mendendam padaku. Mengapa… ”

Kata-katanya terputus oleh derai tertawa Ma Hong-ing yang melengking panjang penuh kecongkakan.

“Mengapa? Karena hendak membalas sakit hati!” bentak Ma Hong-ing, “selama delapan tahun kusiksa diriku menjadi budakmu karena hendak mencari kesempatan membalas sakit hati. Sayang selama itu tak pernah kudapatkan kesempatan itu…”

“Sebelum menjadi pelayanku, kau toh belum kenal padaku? Mengapa kau mempunyai dendam sakit hati?” Cu Giok- bun mengerutkan dahi.

Kembali Ma Hong-ing tertawa menyombong.

“Mungkin kau memang lupa. Kau telah membunuh ratusan jiwa manusia, sudah tentu tak teringat akan peristiwa kecil itu… ” seru Ma Hong-ing,”tetapi yang jelas, seluruh empat belas jiwa keluargaku, telah mati di tanganmu!”

Wajah Cu Giok-bun mengerut gelap, serunya sengit, “Meskipun sejak kecil aku sudah belajar silat, tetapi belum pernah membunuh seorang manusia. Apalagi ketika kau menjadi pelayanku, aku masih kecil, mana dapat membunuh orang!”

“Memang bukan tanganmu yang membunuh! “ teriak Ma Hong-ing makin sengit, “tetapi ketahuilah bahwa ‘lidah itu lebih tajam daripada pedang’. Mungkin keluargaku mati karena pengaruh lidahmu!”

Cu Giok-bun makin heran, serunya, ”Aku sungguh tak ingat hal itu. Lebih baik segera jelaskan. Jika benar aku yang membunuh keluargamu, silakan kau melakukan pembalasan dendam sesukamu!”

Ma Hong-ing tertawa hina, “Aku tak suka bicara yang tak berguna! Saat ini aku jatuh di tanganmu, adalah nasibku yang jelek. Jika kau takut terancam bahaya di kemudian hari, lekas bunuh aku!”

Cu Giok-bun tertawa getir, “Telah kukatakan, tak tahu aku di mana letaknya permusuhan kita ini. Perlu apa aku harus membunuhmu……” matanya berkilat-kilat dan nadanya berubah serius. “Aku ingin mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Apakah dendammu kepadaku itu ? Mengapa kau mati-matian hendak mencari balas padaku? Mengapa kau tahu bahwa aku adalah Hun-tiong…., “ tiba-tiba ia mengganti kata-katanya, “Tuduhanmu aku takut menerima pembalasanmu, sungguh menggelikan. Asal kau mau mengatakan sejujurnya, segera aku angkat kaki dari sini.

Silakan kau mengatur rencana pembalasanmu. Aku Cu Giok-bun setiap saat dan di manapun saja selalu bersedia menerima kedatanganmu!”

Lagi-lag Ma Hong-ing tertawa angkuh, ”Karena tak dapat melakukan pembalasan, maka biarlah urusan yang kau ingin tahu itu menyiksa batinmu. Betapapun kau hendak bertanya, jangan harap aku sudi mengatakan !”

Alis yang melengkung indah di dahi Cu Giok-bun menjungkat ke atas. Bentaknya, “Aku tak mau membunuhmu, tetapi hendak menyuruhmu merasakan siksaan. Coba saja sampai berapa lama kau mampu bertahan….”

Tiba-tiba Cu Giok-bun mencengkeram bahu Ma Hong-ing. Ma Hong-ing tetap diam saja tak mau menghindar. Hanya tubuhnya bergoyang-goyang dan tiba-tiba ia muntah darah. Ia menjamah sebatang pohon kecil untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Dengan susah payah barulah ia dapat berdiri tegak pula. Tangan Cu Giok-bun yang sudah diulur terpaksa ditarik kembali.

“Siau-bun , apakah kau melukainya…. ? ” serunya kepada si dara baju merah.

Siau-bun mengangguk. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa kasihan kepada Ma Hong-ing. Timbullah rasa simpatinya kepada wanita yang terluka itu.

“Mah, ampunilah dia!” serentak ia mintakan kebebasan kepada ibunya.

Cu Giok-bun merenung. Sejenak kemudian berseru bengis, “Kalau begitu terang Thian-leng adalah puteramu. Tetapi mengapa kau begitu tega menyuruhnya mati?”

“Mah, dia bukan putera wanita ini. Aku mempunyai beberapa bukti!” tiba-tiba Siau-bun menyeletuk. “Siau-bun, jangan banyak mulut!” bentak Cu Giok-bun dengan suara tegang.

Sambil menahan rasa sakit, Ma Hong-ing kertak giginya memaksakan diri berseru, ”Puteraku sendiri atau bukan , bukanlah urusanmu! ”

Cu Giok-bun menghela napas longgar.

”Kalau begitu pemuda itu benar-benar anak kandungmu sendiri?” serunya.

Ma Hong-ing menengadahkan kepalanya dan tertawa congkak. Serunya, “Kalau benar, mau apa? ”

Cu Giok-bun tertawa dingin, “Kalau begitu, pertanyaanku cukup sampai sekian saja. Apakah dendammu kepadaku itu tepat atau palsu, aku tak mau membunuhmu. Aku hendak menunggu kau datang untuk menuntut balas….”

“Siau-bun , mari kita pergi,” ia berpaling dan ajak si dara baju merah.

”Pergi…..?” Siau-bun cebikan bibir, “Apakah tak dapat menolongnya dan membawanya keluar bersama?” Cu Giok-bun berobah dingin wajahnya, “Nak, kau jangan terlalu manja. Mamah sudah mengatur…..”

Kata-kata Cu Giok-bun terputus oleh munculnya tiga sosok bayangan yang melayang dari atas. Cu Siau-bun terkejut. Ternyata yang datang itu ialah Ni Jin-hiong dengan kedua orang pengawal baju ungu. Ketiga orang itu sama menghunus pedang.

Ketika melihat seorang wanita cantik, Ni Jin-hiong terkesiap. Tetapi pada lain saat ia membentak,” Siapa kau…….?” Cu Giok-bun mendengus hina, “Kau tak layak bertanya!”

Ni Jin-hiong mengerutkan alis, berpaling kepada Ma Hong-ing, “Hai, apakah Ong-hui terluka?” Ma Hong-ing tampak gugup, “Lepaskan mereka, kau ….. mengapa datang …. kemari?”

“Hamba mendapat perintah Te-kun, tak boleh melepaskan orang. Karena tugas, terpaksa hamba tak dapat meluluskan perintah Ong-hui,” sahut Ni Jin-hiong. Habis itu ia mengumpulkan tenaga dan sekoyong-konyong menghantam.

Kedua pengawal baju ungupun , yang satu hendak menyerang punggung Cu Giok-bun, yang satu hendak menerjang Cu Siau-bun.

“Berhenti! Kalian bukan tandingannya!” tiba-tiba Ma Hong-ing membentak keras.

Ni Jin-hiong tertawa congkak, “Tak peduli dia orang bagaimana, sekali jatuh ke dalam tanganku, tentu tamat riwayatnya.”

Di dalam tertawa itu, ia sudah mengerahkan lwekang ke tangannya. Dengan sekuat tenaga ia menghantam. Sebagai kepala penjaga istana Sin-bu-kiong, sudah tentu Ni Jin-hiong terpilih sebagai jago yang paling tinggi sendiri kepandaiannya. Ilmu pukulan lwekang dingin Hian-im-ciang telah diyakinkan dengan sempurna.

Ia tak kenal siapa wanita pertengahn umur yang cantik itu. Tetapi ia yakin wanita itu tentu tak kuat bertahan dalam tiga buah jurus serangannya. Bahkan mungkin sekali pukulan saja, wanita itu sudah mampus. Maka dengan keyakinan itulah ia tak menghiraukan peringatan Ma Hong-ing. Cu Giok-bun hanya tertawa dingin. Sikapnya acuh tak acuh.

Diam-diam Ni Jin-hiong terkesiap. Buru-buru ia melipatgandakan lwekang yang dilontarkan pada pukulannya itu. Seketika berhamburan semacam hawa dingin-dingin seram. Adalah ketika tenaga dingin itu menyambar ke muka Cu Giok-bun, barulah wanita itu menggerakkan tangan menyongsong ke muka. Berbareng dengan itu tangan kirinya dibalikkan ke belakang untuk menutuk kedua pengawal baju ungu yang menyerang dari belakang itu.

Seketika terdengar erang rintihan perlahan dan timbullah beberapa peristiwa mengejutkan!

Sama sekali Ni Jin-hiong tak mengetahui ilmu pukulan apa dan tenaga apa yang dilancarkan si wanita itu, tetapi ia merasa suatu aliran hawa panas melanda semacam banjir lahar. Bukan saja lwekang dingin Hian-im-sicang sirna seketika, bahkan hawa panas itu masih menembus menyerang dadanya! Ia terkejut sekali.

Saat itu baru ia menginsyafi kalau berhadapan dengan seorang wanita sakti. Buru-buru ia hendak menghindar, tetapi sudah tak keburu lagi. Dadanya merasa di tampar taufan panas, darahnya bergolak dan tubuhnya serasa dibakar. Tak mampu lagi ia berdiri tegak. Tubuhnya terhuyung-huyung mundur sampai beberapa langkah. ‘Huak….’ segumpal darah panas muntah dari mulutnya…..

Kedua pengawal baju ungu lebih mengenaskan lagi keadaannya. Keduanya hanya dapat mengerang perlahan sebentar, karena batok kepalanya keburu pecah. Otaknya berhamburan kemana-mana. Mereka rubuh menjadi setan tanpa kepala….

Ternyata sebelum pukulan mereka melayang, tutukan jari Cu Giok-bun tadi telah menghamburkan angin keras. Sekeras palu besi yang menghantam kepala mereka. Betapapun kerasnya batok kepala, tetapi tetap hancur diadu dengan palu besi!

Sekali gerak Cu Giok-bun dapat melukai kepala penjaga Sin-bu-kiong dan membunuh dua orang pengawal, benar- benar menakjubkan. Wanita cantik itu tampak tegak berdiri, seolah-olah tak terjadi apa-apa.

Tanpa menghiraukan bagaimana jadinya, Ni Jin-hiong segera memeramkan mata menyalurkan darahnya. Untung Cu Giok-bun tak mau berlaku ganas. Dipandangnya kepala penjaga istana Sin-bu-kiong itu dengan tertawa hina.

Beberapa kejap kemudian, Ni Jin-hiong merasakan darahnya sudah normal kembali. Begitu membuka mata ia segera berseru, “Terima kasih atas kemurahan hatimu tak mau menyerang lagi. Tetapi hinaan hari ini kelak pasti aku membalasnya. Harap tinggalkan namamu!” 

Cu Giok-bun hanya perdengarkan tawa hina tak mau menyahut.

Tiba-tiba Ma Hong-ing menghela napas dan menyeletuk, “Dia adalah tokoh terkenal jaman ini, Hun-tiong Sin-mo!” “Hun-tiong Sin-mo…..!” Ni Jin-hiong menjerit kaget. Ia terhuyung-huyung beberapa langkah lagi.

“Hun-tiong Sin-mo, mengapa dia….”

“Hari ini kuberi ampun kalian, tetapi…….” tiba-tiba Cu Giok-bun berseru bengis, “jika berani membocorkan rahasia ini, segera akan kuhancur leburkan tubuh kalian!”

Ni Jin-hiong seketika lemas lunglai macam balon kempes. Hampir saja ia putus jantungnya. Ia sadar bahwa cita- citanya untuk menuntut balas tentu hanya menjadi lamunan kosong belaka.

Kembali Cu Giok-bun perdengarkan tawa hina. Ia menarik Siau-bun,”Ayo, kita pergi!”

Walaupun segan, namun Siau-bun tak dapat membantah lagi. Sekali enjot tubuh, kedua ibu dan anak itu lenyap dari pandangan !

Ni Jin-hiong melirik ke arah kedua pengawal yang sudah menjadi mayat itu, mulutnya mengoceh seorang diri, “Hun- tiong Sin-mo….mengapa hanya seorang wanita yang begitu cantik…. ?” Tiba-tiba ia berpaling ke arah Ma Hong-ing, “Benarkah keteranganmu ini?”

Ma Hong-ing menyahut hambar, “Bukankah dulu pernah kukatakan padamu?”

Ni Jin-hiong mengerutkan alis, “Kau hanya mengatakan kalau mempunyai dendam permusuhan besar dengan Hun- tiong Sin-mo, tetapi tak pernah menerangkan bahwa Hun-tiong Sin-mo itu hanya seorang wanita, apalagi masih muda……”

Ia termenung sejenak, ujarnya pula, “Menurut cerita, Hun-tiong Sin-mo itu sudah berusia sembilan puluhan tahun dan lagi dia itu seorang lelaki. Adik Ing, bagaimanakah hal ini...”

Agak tak sabar Ma Hong-ing menjawab, “Hal itu sekarang enggan aku menceritakan. Apalagi sekalipun kuterangkan juga tak dapat sejelas-jelasnya.” Ia tertawa rawan, serunya, “Apakah anak itu sudah kau bunuh?”

“ Belum …….”Ni Jin-hiong terkejut, “pada saat hendak kubunuh, tiba-tiba Te-kun mengirim perintah anak itu harus ditangkap hidup-hidup dan tak boleh dibunuh, maka…..”

Seketika pucat pasilah wajah Ma Hong-ing, serunya gugup, “Di mana dia sekarang?” “Di dalam penjara Cui-lo (penjara air). tetapi Te-kun telah menitahkan kedua Su-cia untuk melihatnya !” “Celaka! Urusan kita tentu bakal ketahuan Te-kun……” Ma Hong-ing menghela napas.

Mendengar itu pucatlah wajah Ni Jin-hiong, ia menggelengkan kepalanya, ” Sekalipun budak itu tidak menceritakan urusan kita kepada Te-kun. Tetapi peristiwa malam ini, tentu sukar kita pertanggung jawabkan kepada Te-kun.

Menilik gelagat, dikuatirkan…… ” ia tak melanjutkan kata-katanya melainkan menghela napas panjang.

”Kalau begitu kita harus mencari akal, masakah kita mandah saja menunggu hukuman Te-kun…..” kata Ma Hong-ing. Tiba-tiba mata Ni Jin-hiong berkilat, serunya, ”Sekarang hanya ada sebuah akal. Kita tinggalkan istana ini!”

“Kau maksudkan melarikan diri?”

“Benar, kita lari sejauh-jauhnya. Tinggalkan segala dendam permusuhan, mencari tempat yang sunyi, jauh dari masyarakat ramai……”

“Mungkin tidak leluasa! Apalagi aku…..”

”Adik Ing, kalau terlambat tentu kasip. Mungkin Te-kun akan keluar sendiri…… percayalah, adik Ing, marilah kita lewatkan sisa hidup kita….. ”

Tiba-tiba kata-kata Ni Jin-hiong itu terputus oleh sebuah suara yang bernada dingin, ”Siapa yang kau sebut adik Ing itu?”

****** Penjara Air

Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing terkejut. Tubuh mereka menggigil gemetaran. Suara itu datangnya secara tiba-tiba sekali. Baru sekejap mata Ni Jin-hiong tadi berpaling ke belakang, tetapi tak melihat suatu apappun. Baru ia bicara dengan Ma Hong-ing tahu-tahu terdengarlah suara dari sampingnya. Ketika Ni Jin-hiong memandang dengan seksama, kejutnya bukan alang kepalang !

Seorang pendek kurus, berjenggot kambing dan mengenakan jubah warna merah, tengah berdiri tak jauh di sebelahnya!

Itulah Sin-bu Te-kun!

Mata Sin-bu Te-kun berkilat-kilat memancarkan api memandang kepada Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing. Tiba-tiba ia membentak, ”Mengapa tak menjawab pertanyaanku itu?”

Semangat Ni Jin-hiong serasa terbang, mukanya pucat seperti mayat. Serta merta ia berlutut dan meratap, “Hamba pantas dibunuh….!”

Ma Hong-ing pun wajahnya seputih kertas. Ia segera berlutut di hadapan Sin-bu Te-kun dan meratap tangis, ”Hamba

…. tersesat. Mohon demi mengingat kecintaan sebagai suami isteri, sukalah mengampuni jiwaku ! Selanjutnya aku……. ”

Wajah Te-kun membesi, “Bukankah kalian hendak melarikan diri ke tempat jauh? Ayo, pergilah sekarang juga!” Ni Jin-hiong yang masih berlutut tak henti-hentinya merintih-rintih, “Hamba memang harus mati…….!”

Ma Hong-ingpun segera memeluk kaki kanan Sin-bu te-kun dan menangis tersedu-sedu, meratap memohon ampun.

Sin-bu Te-kun sejenak menengadahkan kepala, serunya, ”Dengan kesaktian yang merajai empat lautan, aku bermaksud hendak menguasai dunia persilatan. Tetapi tak terduga, peristiwa yang memalukan ini telah menimpa diriku… !”

Dipandangnya kedua lelaki perempuan itu. Serunya geram, “Yang satu permaisuri tersayang dari Te-kun, yang satu kepala penjaga istana Sin-bu-kiong yang paling kupercaya. Ah, ternyata mereka telah melakukan perbuatan zinah. Kedua-duanya telah menghianati aku….”

Tiba-tiba ia menutup dampratannya itu dengan sebuah tendangan. Terdengar jeritan ngeri dari tubuh Ma Hong-ing yang terlempar di udara. Bum…. ia jatuh dua tombak jauhnya, sejenak meronta lalu tak berkutik lagi….

Sin-bu Te-kun rupanya masih belum puas. Ia kibatkan dua buah jari tangannya, yang satu ke arah Ni Jin-hiong, yang satu pada Ma Hong-ing.

Ni Jin-hiong tak berani begerak. Ia mandah punggungnya ditutuk. Seketika ia merasakan tubuhnya kesemutan lalu terkapar di tanah!

“Bawa kedua anjing ini ke dalam penjara Si-lo. lain hari aku sendiri yang hendak memberi hukuman kepada mereka!” Dua pengawal baju ungu segera tampil. Mereka mengangkut tubuh Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing menuju ke pintu besi. Pada lain saat, pintu besi itupun tertutup lagi.

Suasana di luar pintu besi kembali diselubungi oleh kesunyian. Mayat dari kedua pengawal baju biru yang disuruh bunuh diri oleh Ma Hong-ing dan dua pengawal baju ungu yang dibunuh oleh Cu Giok-bun masih malang melintang di tanah…..

Sekarang marilah kita ikuti Thian-leng dan Bu-song yang jatuh ke dalam liang jebakan itu.

Akibat pukulan Ma Hong-ing, kedua anak muda itu telah menderita luka yang tak ringan. Darah mereka serasa bergolak-golak. Untung lwekang mereka cukup kokoh.

Pada saat menerima pukulan, mereka segera mengerahkan tenaga untuk menahan, sehingga pukulan lwekang Ma Hong-ing yang mengandung racun Im-han (dingin) itu tak sampai menembus ke dalam tulang.

Lubang perangkap itu cukup dalam. Adalah karena lwekangnya buyar, Thian-leng tak dapat memusatkan pertahanan diri lagi. Ia coba kerahkan sisa tenaga untuk memusatkan ketenangan pikirannya ketika sang tubuh meluncur turun ke bawah.

Diam-diam ia menghitung jarak luncurannya itu. Kira-kira limapuluhan tombak, tiba-tiba kakinya menginjak tanah lunak, macam gundukan pasir. Sekalipun begitu, toh ia masih merasakan kepalanya pening sekali. Sampai beberapa saat ia tak dapat bangkit.

Api kebencian membakar hatinya. Tak mungkin Ma Hong-ing itu ibunya. Macan yang buaspun tak akan memakan anaknya. Ma Hong-ing ternyata lebih buas dari macan. Apalagi selama berkumpul tujuh belas tahun itu, seingatnya ia tak pernah berbuat salah terhadap ibunya itu. Ah, benarkah wanita itu ibunya….?

Tiba-tiba ia teringat kepada Bu-song. Bukankah tadi nona itu juga terkena pukulan Ma Hong-ing dan bersama-sama jatuh ke dalam lubang jebakan ini?

“Nona Lu……,” serentak berteriaklah ia memanggil. Tiada suatu sahutan.

Thian-leng tergetar. Ia mengulangi lagi berteriak lebih keras, “Nona Lu! No…na..Lu..!” Tetap tiada sahutan.

Mulailah Thian-leng memandang ke sekeliling tempatnya. Agaknya ia berada di dalam sebuah sumur besar yang dalam sekali. Di sekeliling penjuru tak tampak barang sepercik sinar. Gelap, gelap sekali di sekelilingnya.

Bahkan ketika memandang ke tangannya, tak dapat ia melihat jari tangannya sendiri….

Beberapa saat kemudian, lapat-lapat ia seperti mendengar suara napas orang merintih. Ia terkejut girang. Buru-buru ia paksakan diri merangkak menghampiri. Kira-kira setombak jauhnya, dilihatnya memang Bu-song adanya. Tetapi betapa terkejutnya ia ketika diperhatikannya tubuh nona itu mandi darah. Rupanya ia menderita luka yang lebih parah lagi. Ternyata tempat nona itu jatuh selain pasir juga terdapat kerikil yang tajam. Pinggang dan kaki nona itu pecah-pecah berdarah. Untung hanya luka luar, namun cukup membuatnya pingsan beberapa saat sehingga tak mendengar panggilan Thian-leng.

“Nona Lu!” kembali Thian-leng memanggilnya.

Bu-song berusaha untuk mengangkat kepalanya dan menyahut limbung. “Di manakah kita sekarang?” “Dalam sebuah lubang jebakan yang berpuluh-puluh tombak dalamnya!”

“Ah, mungkin kita akan mati di sini, " Bu-song menghela napas. Thian-lengpun rawan hatinya. Meskipun tak takut mati, tetapi ia kecewa dengan kematian cara begitu.

Ia masih belum mengetahui asal-usul dirinya. Tugas yang diletakkan oleh beberapa tokoh kepadanya,belum terpenuhi. Kalau harus mati pada saat dan seperti itu, bagaimana ia tak kecewa?

Bayang-bayang dari Oh-se Gong-mo, Hun-tiong Sin-mo, Cu Siau-bun, Tui-hong Hui-mo, Sip uh-jong, kedua taci beradik Ki, mulai berlalu-lalang di benaknya. Mereka telah melimpahkan budi dan menitipkan harapan kepadanya agar membalaskan sakit hati terhadap Sin-bu Te-kun. Belum cita-cita itu terlaksana, kini ia sudah terjeblos dalam lubang jebakan maut. Dan yang mencelakainya ialah Ma Hong-ing!

Siapakah Ma Hong-ing itu sebenarnya? Apakah wanita itu ibunya atau bukan…..?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar