Panji Tengkorak Darah Jilid 05

Jilid 5

Nyali Thian-leng turun dengan drastis. Jurus yang paling istimewa telah digunakan, namun tak dapat menyentuh secarik pakaianpun dari Sin-bu Te-kun. Iblis itu seakan-akan memiliki kesaktian dapat membuka langit menyusup bumi. Suatu gambaran muram terlintas dalam benak Thian-leng. Kekalahan mulai membayang di mukanya, dan apakah hukuman yang akan dijatuhkan Sin-bu Te-kun kepadanya nanti..

Namun karena sudah mengucapkan sumpah, apapun hukuman itu, ia harus menerima dengan rela, dan untuk itu ia tak menyesal sedikitpun juga. Tetapi ada suatu hal yang menjadi pemikirannya. Dengan kesaktian itu, jelas bahwa Sin-bu Te-kun mudah sekali untuk membunuhnya. Mengapa ia perlu mengusulkan pertaruhan seganjil itu? Apakah yang tersembunyi di balik tindakan Sin-bu Te-kun yang aneh itu?

Tetapi ah, apa pedulinya dengan itu. Toh ia sudah mengambil keputusan. Apabila dalam jurus ke sembilan puluh sembilan nanti ia tetap gagal, segera ia hendak bunuh diri....

“Hai budak, masih ada sembilan puluh enam jurus lagi, mengapa tak lekas menyerang? tiba-tiba Thian-leng dikejutkan oleh tertawa mengejekdari Sin-bu Te-kun.

Tertawa itu membangkitkan kemarahan Thian-leng. Serentak ia menyerang lagi dengan pukulan dan pedang.

“Lima!” kembali terdengar Sin-bu Te-kun menghitung. Disusul lagi dengan seruan berturut-turut, “Enam ! “…. “Tujuh ! “…….“Delapan ! “….Sembilan ! “… Sepuluh ! “

Thian“-leng seperti orang kalap. Tinju dan pedang dilancarkan sederas-derasnya. Cepat sekali lima puluh jurus sudah berlangsung. Pukulannya memang sedahsyat gunung rubuh, dan tebasan pedangnya segencar hujan mencurah.

Namun Sin-bu Te-kun yang bertubuh pendek kurus itu tetap seperti bayangan saja. Jelas tampaknya ujung pedang sudah menusuk kena, tetapi entah bagaimana tiba-tiba meleset lagi ke samping. Kedua kaki momok itu seolah-olah berakar di tanah !

Thian-leng tersentak kaget demi mendengar Sin-bu te-kun menghitung sampai lima puluh jurus. Serempak ia menghentikan serangannya. Kini jelas seperti burung dara terbang di siang hari, bahwa ia akan kalah.

Sin-bu Te-kun tertawa sinis, “Separoh dari seratus jurus telah selesai, ternyata harapanmu memang tipis sekali ! “

Thian-leng mengkal dan gusar sekali, gelisah dan gugup. Badannya terasa dijepit oleh dua buah batu karang yang membuatnya tak dapat bicara lagi. Tiba-tiba ia menyadari suatu kekeliruan. Serangan secara kilat memang hebat sekali. Tetapi ia tak dapat melihat bagaimana cara lawan menghindarkan diri. Masih ada kesempatan lima puluh jurus untuk mengganti siasat baru.

Keputusan itu dimulai dengan sebuah serangan perlahan menusuk ke dada lawan. Bahkan kali ini tidak menurut tata cara ilmu pedang lagi. toh Sin-bu Te-kun hanya membela diri dan tak boleh balas menyerang !

Perobahan siasat itu telah memberinya hasil seperti yang diharapkan. Pada saat ujung pedang menuju ke dada, tampak tubuh Sin-bu Te-kun bergeliatan dan pada saat itu mengeluarkan semacam tenaga lwekang lunak untuk mendorong ujung pedang ke samping, sehingga pedang itu lewat di sisinya dan orangnya berkisar ke samping!

Kini jelaslah bagi Thian-leng! Tadi karena ia menyerang secara cepat sehingga tak mengetahui gerak lawan. Kiranya kini ketahuanlah bahwa Sin-bu Te-kun bukan malaikat atau menggunakan ilmu sihir, melainkan menggunakan gerakan tubuh dan tenaga lwekang juga. Hanya gerakan dan lwekang itu memang tepat sekali digunakannya.

“Lima puluh satu…. “ seru Sin-bu Te-kun. “… Hai budak, kau sungguh cerdik ! “

Thian-leng seolah-olah tak mendengar pujiannya, seluruh perhatiannya terpesona melihat keindahan jurus-jurus gerakan Sin-bu Te-kun yang luar biasa. Habis menyerang, diam-diam Thian-leng mencatatnya dalam hati.

Selanjutnya menyeranglah ia dengan perlahan-lahan. Baik memukul maupun menusukkan pedang, ia gunakan gerakan perlahan sekali. Begitu pula arah dan bagian tubuh lawan yang diserang, selalu diganti-ganti. Dengan demikian dapatlah ia mengetahui lebih banyak lagi tentang jurus-jurus Sin-bu te-kun yang ajaib.

Thian-leng tak menghiraukan lagi bahwa berturut-turut Sin-bu Te-kun terus menghitung dari lima puluh dua, limapuluh tiga , terus naik ….nalk… sehingga menjadi jurus ke sembilan puluh….

Thian-leng seakan-akan mabuk dan lupa segalanya. Seluruh pikirannya tertumpah mengikuti gerak-gerik Sin-bu Te kun yang aneh itu. Memang demikianlah orang yang mempelajari ilmu silat. Apabila menyaksikan suatu ilmu silat baru yang luar biasa anehnya, tentu akan tertarik perhatiannya. Dan Thian-leng pun seperti orang yang kena sihir! Ia lupa bahwa sepuluh jurus lagi akan selesailah pertandingan itu dengan membawa kekalahan baginya.

Tiba-tiba terdengar suara bentakan lantang di tengah udara, “Budak tolol, masih tak berhenti?”

Sesosok bayangan kuning melesat dan tahu-tahu muncullah seorang dara yang cantik sekali. Kemunculannya yang begitu mendadak dan cepat itu bukan saja mengejutkan Thian-leng, juga Sin-bu te-kun tercengang. Bagi Thian-leng merupakan suatu keuntungan karena saat itu tersadarlah ia dari pesonanya. Ia gelagapan. Ya, sepuluh jurus lagi dan ia harus bunuh diri karena menderita kekalahan!

Dipandangnya dara itu, amboi itulah dara yang dijumpainya di biara tempo hari. Ya, si dara baju kuning yang

angkuh dan menjengkelkan! Dan serempak dengan itu, teringatlah Thian-leng pada wanita sakti Toan-jong-jin. Kemanakah gerangan perginya wanita itu. Mengapa sampai sekian lama tak juga wanita itu unjuk diri?

Tiba-tiba ia berpaling ke arah gerombolan pohon. Ah, gerombol itu sunyi senyap saja. Hanya ada dua kemungkinan, Toan-jong-jin masih bersembunyi di situ tapi tak berani bergerak atau memang sudah pergi.

Si dara melirik Thian-leng dan tersenyum tawa.

“Bagus, dalam satu malam ini rupanya banyak tamu berkunjung. Entah bagaimana harus…. “tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa. “Apakah kalian datang bersama?" tiba-tiba ia memebentak.

“Hm, siapa kenal padanya? Siapa datang bersamanya?” dengus dara itu.

Mendengar itu Thian-leng kerutkan alis. Ia mendongkol dengan sikap acuh tak acuh dara angkuh itu, namun diam- diam ia berterima kasih juga. Karena kemunculan dara itu telah membuatnya menyadari kenyataan yang dihadapi saat itu.

“Namamu?” seru Sin-bu Te-kun pula. “Lu Bu-song ! “ sahut si dara.

Sin-bu Te-kun kedipkan mata, serunya tersekat, “Lu Bu-song ?. Kau ini…. “

“Kalau tak dapat mengingat, baik tutup saja mulutmu ! “ lengking si dara.

Sin-bu Te-kun tersenyum, “Tetapi dari gerakan-gerakanmu datang kemari, tentulah kau seorang yang mempunyai nama besar juga, mungkin…. “ Sin-bu Te-kun sengaja tak mau melanjutkan kata-katanya dan segera mengganti dengan pertanyaan, “Katakan maksud kedatanganmu ! “

“Untuk menelanjangi akal bulusmu ! “ seru si dara.

Sin-bu Te-kun marah, “Aku selalu bertindak dengan terang-teranga, mengapa….“

Ia tak dapat meneruskan kata-katanya karena terputus oleh ketawa Lu Bu-song yang nyaring dan panjang. “Apa yang kau tertawakan ? “ tegur Sin-bu Te-kun.

Lu Bu-song berhenti tertawa dan menyahut, “Katakan saja apa rencanamu terhadap dirinya. ? “ Di kala mengucapkan kata-kata terakhir si dara kembali melirik ke arah Thian-leng. Setelah itu cepat-cepat berpaling ke muka lagi.

Sin-bu Te-kun tertawa sinis, “Apakah kau dengan dia…… ? “

“Aku hanya membicarakan persoalan, jangan banyak bicara yang tak berguna ! “ bentak si dara.

Sin-bu Te-kun tertawa, “Dia berani masuk ke Sin-bu-kiong dan membunuh belasan penjaga. Menurut peraturan Sin- bu-kiong, harus dijatuhi hukuman mati. Tetapi aku justru membebaskannya dari hukuman itu dan melainkan mengajaknya taruhan bertanding dalam seratus jurus. Itulah suatu kemurahan besar….“

Bu-song cebikan bibirnya, “Ucapan yang indah merdu, sayang keluar dari mulutmu ! Kecuali budak goblok itu, siapapun tentu tak percaya ! “

Thian-leng mendelik, mukanya merah padam.

“Menurutmu, bagaimanakah muslihatku itu ? “ Sin-bu Te-kun berseru marah.

Tangkas sekali dara baju kuning itu menjawab. ”Sebelumnya kau sudah mengetahui sampai di mana tingkat kepandaiannya. Meskipun kuat, tapi tidak dahsyat. Meskipun aneh, tapi tidak sempurna. Dengan kepandaianmu, terang kau dapat mengalahkannya dalam seratus jurus. itulah maka kau lantas pura-pura jual kemurahan hati.”

“Aku dapat membunuhnya dengan seketika, perlu apa harus mengatur tipu muslihat!” “Justru di situlah letak rahasia muslihatmu!”

“Jelaskan!”

“Untuk menundukkan orang, harus menundukkan hatinya. Sekalipun kau tak dapat menundukkan hatinya, tapi kau akan membuatnya menyerah tanpa syarat, karena kau tahu dia tentu tak mau ingkar janji, seorang yang keras hati….”

“Aku tak mengerti omonganmu!”

“Melakukan sumpah, mengadakan pertandingan seratus jurus. Ya, entah apa saja yang kau usulkan dia tentu menerima, karena dia tak mau menjilat ludahnya. Apalagi selama pertandingan seratus jurus itu berlangsung, sengaja kau memberi pelajaran, sehingga dia makin jinak dalam cengkeramanmu ! ” ”Perlu apa aku membutuhkannya?”

“Bakat bagus, sukar dicari. Mungkin kau hendak mengambilnya sebagai murid untuk menjadi pewarismu!” Tiba-tiba Sin-bu te-kun tertawa keras. Lama kumandangnya bergema di seluruh istana.

“Salahkah bicaraku?” tegur Bu-song.

”Benar…….benar….” tiba-tiba Sin-bu Te-kun berhenti tertawa dan maju selangkah, kemudian tertawa sinis, “kecerdasanmu menggembirakan hatiku. Akupun ingin sekalian memungutmu menjadi putri angkat!”

“Tak sudi!” dengus si dara.

Wajah Sin-bu Te-kun membesi seketika, serunya bengis. ”Apa yang kuhendaki harus tercapai, kalau tidak, lebih baik kuhancurkan saja. Membiarkan seorang seperti kau hidup di dunia, berarti menanam bahaya di kemudian hari. Jika kau tak mau menjadi anak pungutku, lebih baik kuhancur-leburkan tubuhmu saja ! ”

”Masakah kau berani!” lengking Bu-song.

”Masakah kau mampu bertanding dengan aku?” Sin-bu Te-kun marah.

Bu-song tertawa hina, ”Mungkin aku tak menang, tetapi sekalipun bisa menang, akupun tak sudi mengotorkan tangan bertanding dengan manusia semacam kau…… ” sejenak ia kedipkan mata, serunya pula, ”Barangkali kau lupa namaku!”

Sin-bu Te-kun terkesiap, ujarnya, “Tidak, aku tak lupa, tetapi karena kau berani masuk ke istanaku, kalau kubunuhpun kakekmu yang tersayang itu juga tak dapat berbuat apa-apa terhadap aku…!”

Lu Bu-song tetap tertawa hina, “Kakekku seorang memang tak perlu kau takuti. Tetapi beliau adalah ketua dari sebuah perkumpulan besar. Dan saat ini beliau mengajak rombongan tokoh-tokoh sakti masuk ke Tionggoan. Mungkin dalam waktu yang singkat akan menyelenggarakan suatu Eng-hiong-tay-hwee ( pertemuan besar para orang gagah), untuk menguji kepandaian dengan jago-jago persilatan dari daerah Tionggoan. Nah, hal itu besar sekali pengaruhnya terhadap kewibawaanmu.

Menjadi musuh atau menjadi kawan, tergantung pada tindakanmu……” – ia berhenti sejenak, lalu berkata pula. “ Jika berhasil mendapat dukungan partai Thiat-hiat-bun, tentu mudah sekali hendak menguasai dunia persilatan Tiong- goan. Namun jika menempatkan Thiat-hiat-bun sebagai musuh, mungkin namamu akan hancur di dalam sampah.

Paling tidak kedua-duanya tentu sama menderita kerugian besar!”

Thian-leng tergetar hatinya. Kini baru ia tersadar kalau hampir saja masuk ke dalam perangkap Sin-bu Te-kun. Jika ia melaksanakan keputusannya untuk bunuh diri, bukankah akan sia-sia saja pengorbanannya itu?

Dan kini tahu juga ia bahwa orang tua jenggot perak yang menjadi ketua partai Thiat-hiat-bun itu ternyata kakek si dara baju kuning. Eh, mengapa dara itu juga menyelundup ke Sin-bu-kiong? Ia mempunyai rencana sendiri atau memang hanya hendak menolongnya?

Mengapa? Ya, Mengapa? Apakah dara itu… ?

Dan yang paling meresahkan hatinya ialah, bahwa penyaluran lwekang 18 tahun dari Oh-se Gong-mo dan ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam dari wanita Toan-jong-jin, ternyata tak dapat mengapa-apakan Sin-bu Te-kun. Taruh kata nanti ia dapat keluar dari Sin-bu-kiong, tetapi cita-citanya untuk melakukan pembalasan akan kabur selama- lamanya.

Tampak Sin-bu Te-kun mengerutkan alisnya, merenungkan ucapan si dara. Beberapa jenak kemudian tiba-tiba ia tertawa sinis, “ Ha, budak perempuan, meskipun otakmu cerdas sekali, bicaramu sangat tajam, tetapi kali ini kau salah hitung!”

“Salah hitung!?” Bu-song terkesiap.

Sin-bu Te-kun tertawa keras, “Kakekmu itu menyayangi dirimu melebihi jiwanya sendiri. Segala permintaanmu tentu dituruti!”

“Boleh dikata begitulah!” sahut Bu-song.

Sin-bu te-kun makin gembira, “Kalau begitu akupun tak mau membunuh, tetapi juga tak akan melepaskanmu. Hendak kukurung kau dalam istanaku sini….”

Bu-song tersentak kaget. Memang ia tak memperhitungkan kemungkinan itu.

Melihat perubahan wajah si dara, tertawalah Sin-bu te-kun, “Dengan barang tanggungan dirimu, masakah kukuatir kakekmu takkan menurut perintahku!” 

Sejenak saja mengedipkan mata, Bu-song sudah mendapat ketenangannya lagi, serunya tawar, “Jika kemungkinan itu aku tak dapat memperhitungkan, aku benar-benar seorang goblok!”

“Andaikata dapat memikirkan, pun apa gunanya. Asal kau terkurung dalam istana ini, sekalipun kakekmu mempunyai tiga kepala dan enam lengan, juga tentu takkan berani main-main mempertaruhkan jiwamu !” Sin-bu Te-kun tertawa sinis.

”Untuk menghadapi kemungkinan itu, aku telah mengatur persiapan!” dengus Bu-song. Sin-bu Te-kun tertegun, serunya, ”Coba katakanlah ! ”

Senaknya saja Bu-song berkata, “Pertama, jika kau berani menyerang aku, akupun segera memberikankan tanda…..” “Begitu kakekmu tiba, kau sudah menjadi tawananku!” Sin-bu Te-kun tertawa.

”Tentulah kau kenal pada Thiat-hiat Su-kiat dari Thiat-hiat-bun? ” seru Bu-song. Thiat-hiat Su-kiat artinya Empat tokoh gagah dari partai Thiat-hiat.

”Kalau tahu lalu bagaimana ? ” jawab Sin-bu Te-kun.

”Sedang aku yang masuk ke sini orang-orangmu tak mengetahui, apalagi Thia-hiat Su-kiat yang jauh lebih lihay dari aku, mungkin…..”

Kali ini Sin-bu Te-kun terbeliak, serunya, ”Kau maksudkan…. ”

”Thia-hiat Su-kiat datang bersama aku. Mereka menjaga keselamatanku secara diam-diam. Asal kau berani bertindak, merekapun tentu akan turun tangan!”

“Hm, Thiat-hiat Su-kiat mau menggertak aku?” tukas Sin-bu Te-kun.

”Mungkin tidak mampu. Tetapi sekurang-kurangnya mereka tentu melibat kau dalam pertempuran seru mengobrak- abrik istanamu. Selain itu……. ” sejenak Bu-song kerlingkan ekor mata, katanya pula, ”Kakekku akan memimpin rombongan tiga puluh enam Thian-kong dari tujuh puluh dua Te-sat ( nama-nama tingkatan tokoh-tokoh dalam Thiat- hiat-bun ) untuk mengurung istana Sin-bu-kiong.

Begitu di dalam istana timbul gerakan, mereka tentu segera menerjang masuk. Siapa tahu istanamu ini akan diratakan, paling tidak tentu akan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membangunnya lagi. Dan kemungkinan juga akan meludaskan jiwamu sekali…”

Tampaknya Sin-bu Te-kun percaya akan ancaman si dara. Hatinya gelisah. Mengingat bahwa kedua anak muda itu toh mampu menyelundup dari penjagaan Sin-bu-kiong, Sin-bu Te-kun jengkel dan marah. Namun sebagai rase tua yang berpengalaman, ia tak mau menunjukkan kegentarannya. Segera ia berpaling dan berseru kepada Thian-leng, ”Pertandingan kita tadi, masih kurang sepuluh jurus. Ayo, lekas selesaikan, karena aku hendak segera membereskan budak perempuan itu….”

Sin-bu Te-kun melangkah ke dalam lingkaran dan tegak menunggu serangan. Hal itu menggelisahkan Thian-leng. Ia sudah melakukan sumpah dan menyatakan janji. Tak dapat ia menarik omongan lagi. Apalagi pertandingan sudah berjalan sembilan puluh jurus. Tetapi jika melanjutkan pertandingan, hasilnya sudah jelas.

Thian-leng seperti limbung, namun ia tetap maju menghampiri dan siap menyerang Sin-bu Te-kun lagi.

Bu-song mengikuti gerak-gerik pemuda itu. Setelah Thian-leng hendak menyerang, barulah ia berteriak, “Bu-beng- jin, apakah kau sungguh hendak jadi budaknya seumur hidup!”

Thian-leng tertegun serunya, “Janji sudah diucapkan, laksana kuda terlepas dari kendali. Bagaimana akibatnya, bukan soal. Aku hanya hendak melaksanakan janji!”

Bu-song mendengus, “Goblok, apakah kau tak dapat tak melanjutkan pertandingan itu?” “Ini…. ini….” kening Thian-leng mengerut.

Sin-bu Te-kun tertawa hina, “Hm, menolak melanjutkan pertandingan berarti ingkar janji.”

“Sebagai putra persilatan, sudah tentu dia tak mau ingkar janji menolak pertandingan!” sahut Bu-song. ”Habis mengapa kau banyak mulut!” bentak Sin-bu Te-kun.

Bu-song tertawa dingin, ”Aku hanya menganggap dia goblok sekali. Toh bisa saja dia minta pertandingan itu diundur!”

Thian-leng seperti orang tersadar dari mimpinya. Cepat ia menanggapi, “Benar, di dalam perjanjian tak disebut bahwa pertandingan itu harus selesai dalam saat itu juga. Maka sisa sepuluh jurus, lain hari saja kita lanjutkan. Tuanmu hendak pergi dulu!” 

Jenggot kambing Sin-bu Te-kun menjengit , bentaknya, “Ngaco…..!” jubahnya mengembung, darahnya memancar keras. Ia marah sekali dan hendak menghantam Thian-leng.

“Eh, kau mau naik pitam ? Lupa malu mau menyerang ? ” Bu-song menertawakan.

Gemetar tubuh Sin-bu Te-kun karena marahnya. ” Ya, aku tak peduli bagaimana akibatnya, malam ini aku hendak membunuhmu budak !” Habis berkata segera ia mengangkat lengannya.

”Hai, jika urusan kecil tak dapat menahan hati, urusan besar tentu kapiran. Apakah kau benar-benar mau turun tangan tanpa pertimbangan lagi?”

Wajah Sin-bu Te-kun berobah seketika. Ia termangu-mangu.

Tiba-tiba terdengar tiga kali lengking genta bertalu. Seketika berserilah wajah Bu-song, serunya, “Nah, itulah kakekku sudah datang.”

Seketika alis Sin-bu Te-kun mengerut cekung. Dengan mata berapi dibakar kemarahan dan kebencian dipandangnya si dara. Habis itu tanpa berkata apa-apa, ia terus melesat pergi.

Rupanya tiga kali lengking genta tadi merupakan pertandaan penting. Maka tanpa menghiraukan kedua anak muda itu, Sin-bu te-kun segera meninggalkan mereka.

Dengan muka tersipu-sipu malu, Thian-leng segera menghaturkan terima kasih, ”Terima kasih, nona….” ooo0000ooo

Si dara merah

Pipi Bu-song bersemu merah. Diliriknya pemuda itu dengan setengah menyesali, “Aku hanya secara kebetulan saja lewat di sini. Sekali-kali bukan sengaja datang untuk menolongmu...” tiba-tiba ia hentikan kata-katanya. Ia merasa makin memberi penjelasan makin ketahuan kalau ia memang datang memberi pertolongan.

Sebenarnya Thian-leng tak menaruh perhatian akan hal itu. Kini ia memandang ke arah gerumbul pohon tempat ia bersembunyi tadi. Cepat ia lari menghampiri. Ah, ternyata Toan-jong-jin tak berada di situ.

“Siapa yang kau cari?” tegur Bu-song.

”Tidak apa-apa…… eh kalau nona datang bersama rombongan, mengapa ………”

Cepat Bu-song gunakan ilmu menyusup suara menukasnya, “Apa yang kukatakan tadi hanya gertakan kosong saja. Thia-hiat Su-kiat dan kakekku tidak tahu kepergianku!”

Thian-leng kerutkan dahinya, “Mengapa nona menempuh tempat yang berbahaya ini. Andaikan terjadi sesuatu…” “Aku menuruti kesukaan hatiku, apa pedulimu!” Bu-song tertawa.

Thian-leng tertegun. Dara itu memang centil sekali, pintar mendamprat orang. Ujarnya, “Kalau begitu, momok itu tentu akan kemari lagi, lebih baik nona lekas tinggalkan tempat ini. Aku sudah terlanjur masuk ke sarang hantu, tak mau kupergi tanpa hasil. Sekurang-kurangnya hendak kutemui Te-it Ong-hui itu!”

Bu-song tertawa dingin, “Kalau kau tak pergi, perlu apa mengusir aku….” tiba-tiba ia merasa kelepasan omong lagi, mukanya merah. Diam-diam ia jengkel terhadap dirinya sendiri. Ia seorang dara yang centil, tetapi mengapa selalu limbung terhadap pemuda itu. 

Syukur Thian-leng tak mengetahui hal itu. Ia mengerutkan sepasang alisnya, “Aku memikirkan kepentingan nona, karena kakek nona…”

Hampir Bu-song tak dapat menahan gelinya.

Jika tadi ia terlambat datang menelanjangi muslihat Sin-bu Te-kun, mungkin pemuda itu sudah menjadi seorang budak belian yang terbelenggu kemerdekaannya.

“Sekalipun aku dapat menerobos penjagaan Sin-bu-kiong yang kuat, tetapi untuk keluar tidaklah semudah itu. Dikuatirkan momok itu sudah menyiapkan jago-jagonya untuk menutup semua jalan keluar!”

“Maksud nona, apakah……?” Thian-leng mengerutkan kening.

“Lebih baik kutemui Te-it Ong-hui juga, mari kita bersama-sama mencarinya!” dengus Bu-song.

Thian-leng cukup kenal perangai si dara. Terpaksa ia menuruti saja. Tetapi baru beberapa langkah, kembali ia bersangsi. Gerumbul pohon cemara yang lebat dan gedung yang pintunya tertutup rapat itu, menurut Toan-jong-jin bukanlah wisma Ing-jun-wan, tetapi sebuah tempat yang berbahaya sekali. Thian-leng hentikan langkah, berdiri terlongong-longong! “Bah, goblok, bagaimana kau?” Bu-song tak dapat menahan tertawanya lagi.

Sebenarnya jengkel juga Thian-leng selalu dimaki goblok itu. Namun karena mengingat budi terpaksa ia menahan sabar. Ujarnya, “Aku hendak mencari tempat kediaman Te-it Ong-hui, tetapi tak tahu yang mana!”

“Gedung dalam istana Sin-bu-kiong tak terhitung jumlahnya. Kamarnya ribuan buah. Sudah tentu sukar mencarinya, apalagi para penjaganya tentu tak akan membiarkan kau mencari satu persatu.”

“Kalau demikian, bukankah…..”

“Mumpung Sin-bu Te-kun menyambut tamu di luar, kita berusaha menerobos. Kalau tidak tentu sukar meloloskan diri!”

Thian-leng gelengkan kepala, “Sudah terlanjur masuk ke sini, tak dapat aku pergi dengan begitu saja!” Thian-leng mengucapkan kata-katanya dan lantas melangkah ke muka.

Bu-song deliki mata dan menggeram.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar