Panji Tengkorak Darah Jilid 03

Jilid 3

Di kaki puncak gunung, terdapat sebuah gubuk. Tak jauh di belakang gubuk itu, sebuah air terjun tengah mencurah, dikelilingi oleh pohon-pohon yang rindang. Sekilas alam pemandangan di situ mirip dengan sebuah lukisan.

“Ah, tentulah itu tempat kediaman Sip-locianpwe,” Thian-leng menduga-duga. Dan segera ia menghampiri. Karena hiruk-pikuknya gemuruh air terjun maka kedatangannya tak menimbulkan kecurigaan orang. Begitu tiba di gubuk segera ia melongok ke dalam jendela.

Sebuah gubuk yang reyot. Di sana-sini tampak celah-celah lubang. Di dalam ruangan hanya terdapat sebuah meja dan sebuah bale-bale terbuat dari papan. Di atas rumput kering diperuntukkan alas bale-bale itu, duduklah seorang tua yang sudah putih rambutnya. Paling tidak dia tentu sudah berumur 80 tahun. Tubuhnya kurus tetapi seri wajahnya masih segar kemerah-merahan.

Agak curiga Thian-leng dibuatnya. Tui-hun Hui-mo mengatakan bahwa pendengaran Sip U-jong itu luar biasa tajamnya. Setiap orang berada pada jarak 10 li jauhnya, tentu sudah diketahuinya. Tetapi mengapa sampai ia menghampiri jendela, tetap tak diketahui?

Tiba-tiba penghuni gubuk tersenyum. Ia menarik meja di hadapannya dan dari tumpukan rumput ia mengambil beberapa benda mirip potongan kulit dan tulang kura-kura. Benda-benda itu diletakkan di atas meja.

Itulah mirip dengan barang permainan kanak-kanak dan Thian-leng pun mengerutkan kening keheranan.

Orang tua itu sibuk menjalankan benda-bendanya, sebentar ke timur sebentar dipindah ke barat. Tiba-tiba ia mengerutkan alis dan berkata seorang diri: “Satu ke timur satu ke selatan. Dua setan menghadang jalan … ah, habislah permainan kali ini …”

Thian-leng terbeliak kaget.

“Swan (tenggara) putus, Khian (barat laut) kering. Li (selatan) berair, Khun (timur laut) banjir. Mengejutkan tetapi tak berbahaya …” kata orang tua itu pula. Kemudian berhenti diam lagi. Tiba-tiba ia berseru kaget: “Macan putih muncul di Te-hu (gedung residen). Naga sembunyi di ujung langit. Di dalam bahaya melahirkan gajah jahat, ah, mungkin urusan besar kapiran!”

Thian-leng mendengarkan ocehan orang tua aneh itu setengah mengerti setengah tidak. Ketika hampir menemukan pemecahan artinya, tiba-tiba orang tua berambut putih itu melambaikan tangannya berseru: “Masuklah, anak muda!”

Bukan main kejutnya Thian-leng. Karena jelas bahwa orang tua itu melambai kepadanya. Akhirnya dengan berdebar- debar ia melangkah masuk.

“Nak, telah lama kutunggu engkau!” orang tua itu

Thian-leng tersipu-sipu memberi homat: “Apakah locianpwe Sip …”

“Benar, aku memang Sip U-jong. Telah kuketahui maksud kedatanganmu ..” “Locianpwe seorang penjelmaan dewa?”

“Bukan, aku hanya mengerti ilmu perbintangan (falak) saja, bukan dewa …” ia mengeluarkan sebuah holou (buli-buli) warna kuning emas. Dengan hati-hati sekali dituangnya sebutir pil sebesar ujung jempol tangan, warnanya merah. Pil itu diberikan kepada Thian-leng.

“Inilah pil Kong-yan-sin-tan yang dibuat rebutan orang persilatan. Lekas telanlah!”

“Tidak, tidak! Wanpwe …” Thian-leng menolak. Ia terkejut dengan peruntungan yang diperolehnya begitu mudah. Dan diapun tak mau merebut Tui-hun Hui-mo yang sudah 3 tahun mengejar pil itu.

Sip U-jong tertawa tergelak-gelak: “Tiga puluh tahun yang lalu aku mengadakan perjanjian dengan Oh-se Gong-mo. Kuperhitungkan waktu perjanjian itu ialah hari ini …”

“Apakah 30 tahun yang lalu locianpwe sudah mengetahui kedatangan wanpwe hari ini?”

“Bukan begitu. Hanya kala itu sudah kuketahui aku tak berjodoh dengan Oh-se Gong-mo tetapi berjodoh dengan pewarisnya …”

“O, memang aku datang kemari untuk pil ini, tetapi …”

“Tadi biji Kwa-jio (papan untuk meramal) mengunjukkan bahwa banyak bahaya segera akan muncul, setiap saat akan terjadi perobahan. Lekas minumlah pil itu!”

“Wanpwe …” masih Thian-leng bersangsi. Tiba-tiba terasa ada angin menyambar dari belakang. Ia hendak berputar diri tetapi sudah terlambat. Punggungnya sudah ditutuk orang. Seketika tubuhnya tak dapat berkutik lagi. Di luar dugaan Sip U-jong tetap tenang-tenang saja.

“Mengejar aku 3 tahun, maksudmu hanya untuk pil itu!” serunya tawar.

Pendatang itu tertawa tergelak-gelak: “Benar, tetapi aku bukan manusia yang temaha. Saat ini aku sudah merobah pikiran …” ia berhenti sejenak. “Kau dan aku sepaham, lekas berikan pil itu kepadanya!”

Kiranya pendatang itu ialah Tui-hun Hui-mo!

Sip U-jong tertegun, ujarnya: “Sekalipun ramalanku tepat, tetapi hati orang sukar diduga. Sungguh tak kusangka- sangka …” – ia gelengkan kepala menghela napas: “Buyung ini lapang dada, dia hendak menyerahkan pil itu kepadamu dan tetap menolak tak mau menelannya. Aku tak berdaya memaksanya …”

“Mudah!” sahut Tui-hun Hui-mo seraya menutuk tenggorokan Thian-leng sehingga mulut anak muda itu menganga. Sip U-jong cepat memasukkan pil ke mulut Thian-leng. Setelah itu Tui-hun Hui-mo baru membuka lagi jalan darah Thian-leng yang tertutuk.

Thian-leng tak dapat berbuat apa-apa kecuali berlutut menghaturkan terima kasih kepada kedua orang aneh itu. Tiba- tiba ia menjerit, loncat beberapa meter ke udara dan jatuh berguling-guling mendekap perutnya. Kiranya pil itu mulai bekerda. Perut Thian-leng serasa terbakar api, organ dalam tubuhnya serasa disayati sehingga ia menjerit- jerit seperti babi disembelih!

“Pil itu telah kubuat selama 50 tahun. Untuk menjaga pil itu aku sampai menelantarkan ilmu silat. Montang-manting lari ke mana-mana sehingga hampir kehilangan jiwa! Ah, tak kira pil itu sedemikian mencelakakan orang …”

Tui-hun Hui-mo tertawa: “Tetapi kuharap kau membuat 2 butir, biar aku turut merasakan bagaimana sakitnya!”

Sip U-jong tertawa perlahan: “Kau dan aku sudah ibarat senja hari, biarlah kita titipkan harapan kita di atas bahunya saja …!” – ia berhenti untuk menghitung-hitung dengan jarinya. Tiba-tiba ia terkejut: “Celaka, musuh mendesak, jalanan lembah sudah tertutup! Bagaimana ini!”

“Apakah mereka orang Sin-bu-kiong?” Tui-hun Hui-mo terkejut juga.

“Ini sukar diperkirakan, hanya dalam ramalanku mengunjuk bahaya keludasan …” menunjuk pada Thian-leng, ia berkata pula: “Sekalipun dia sudah minum pil itu, tetapi dalam waktu sejam belum dapat menghadapi musuh. Jika tak beruntung, mungkin kita sukar lolos dari kehancuran. Jerih-payahku selama berpuluh-puluh tahun akan ludas dalam sehari saja …”

“Kau mengerti ramalan, mengapa tak mengetahui keadaan mereka?” kata Tui-hun Hui-mo.

“Hai, benar, mengapa aku begini limbung …” Sip U-jong seperti orang disadarkan. Segera ia memeriksa wajah Thian- leng. Saat itu Thian-leng sudah tak menggeliat-geliat, hanja keningnya masih bercucuran keringat panas. Sebenarnya jalan darah utama Seng-si-hian-kwan dalam tubuh Thian-leng sudah tertembus. Jalan darah ini merupakan “pintu” terakhir dari suksesnya suatu peryakinan lwekang. Selama jalan darah itu tak dapat terbuka, orang tetap tak mampu mencapai kesempurnaan lwekang. Tidak banyak tokoh-tokoh persilatan yang telah tertembus bagian jalan darah Seng-si-hian-kwan.

“Ah, mungkin pilihanku salah. Seumur hidup aku menderita kekecewaan!” sesaat kemudian Sip U-jong berseru sambil membanting-banting kaki.

“Apakah usianya tak panjang?” Tui-hun Hui-mo terkejut.

Sip U-jong gelengkan kepala: “Ini sukar dikatakan. Hanya perjalanan hidupnya memang penuh kesulitan, selalu tertimpa bahaya maut. Jika tak ketemu bintang penolong mungkin dia takkan hidup panjang …” ia berhenti sejenak, katanya: “tetapi yang kukuatrkan bukan hal itu. Dia seorang anak

keras kepala, mungkin tak dapat memenuhi harapanku dengan lancar …”

“Aku tak tahu apa isi harapanmu itu, tetapi tentulah ada hubungannya dengan Hun-tiong Sin-mo dan Song-bun Kui- mo!” seru Tui-hun Hui-mo.

Sip U-jong menggeram: “Isteri dan puteriku telah dibunuh Song-bun Kui-mo, masakan kau tak mendengar hal itu!” Tui-hun Kui-mo tertawa: “Asal anak itu masih bisa hidup saja, jangan kau kuatirkan hal itu …” Tiba-tiba ia bertanya: “Kelinci yang licin masih punya 3 liang. Selain timur, selatan, apakah tak ada lain jalan lagi?”

“Kau takut mati?” Sip U-jong tertawa.

Tui-hun Hui-mo mendengus: “Yang mengerti gelagat dan bertindak tepat barulah seorang gagah. Berani mati atau takut mati, bukanlah halangan.”

Sip U-jong gelengkan kepala: “Tetapi sekarang sudah terlambat …” baru ia mengucap, tiba-tiba terdengar lengking suara seperti denging nyamuk menyusup telinga: “Benar, memang sekarang sudah terlambat!”

Kejut Sip U-jong dan Tui-hun Hui-mo tak kepalang. Melihat ke arah datangnya suara, tampak seorang wanita mengenakan kerudung muka sudah memasuki pintu gubuk. Di belakangnya diiring oleh 4 bujang wanita berbaju biru.

Mereka datang tanpa menimbulkan suara apa-apa. Bahwa seorang tokoh sakti macam Tui-hun Hui-mo sampai tak mengetahui sama sekali kedatangan rombongan wanita itu, memang mengherankan sekali!

Cepat Tui-hun Hui-mo menghadang di muka Thian-leng, tegurnya dengan nada bengis: “Siapa kalian ini? Perlu apa kemari?”

Wanita berkerudung itu tertawa dingin: “Matamu buta, sampai tak kenal siapa aku …”

“Persetan kau ini siapa, lekas keluar dari pondok ini, atau …” “Atau bagaimana?” tantang wanta itu.

“Mayatmu jadi bubur daging!”

“Mengapa kau tak lekas turun tangan?” wanita itu mengikik. Peta Telaga Zamrud.

Memang Tui-hun Hui-mo sudah memutuskan. Rombongan wanita itu terang bukan manusia baik. Lebih cepat ia turun tangan, lebih baik. Tak usah mengalami pertempuran yang lama. Ia menggerung keras dan mendorong ke muka.

Wanita berkerudung itu tetap berdiri. Kedua tangan disembunyikan dalam lengan baju. Sikapnya tenang-tenang saja. Begitu Tui-hun Hui-mo bergerak, iapun segera ulurkan jarinya menutuk.

Sebagai tokoh kedua dari Su-mo dahulu, ia malang-melintang tanpa tanding. Setiap pukulan Tui-hun-sin-ciang (pukulan sakti pengejar nyawa) meluncur tentu ada orang yang terluka. Yang rubuh di tangannya entah sudah berapa banyak.

Tahu bahwa wanita yang dihadapinya itu bukan tokoh sembarangan, maka sekali gebrak Tui-hun Hui-mo pun gunakan ilmu simpanan Tui-hun-sinciang dalam jurus yang paling dahsyat, yakni Ngo-gak-kie-pheng (5 gunung berbareng meletus). Pukulan dahsyat dilambari dengan tenaga penuh. Dahsyatnya bagaikan gunung Thay-san rubuh


Menurut perkiraannya, pukulan itu tentu akan menghancurkan si wanita, sekurang-kurangnya tentu dapat melukainya, paling tidak pasti membuatnya terpental mundur beberapa langkah. Kemudian ia akan menyusuli dengan Lian-hoan-sam-ciang (3 pukulan berantai). Tanggung tentu menang!

Tetapi apa yang disaksikan, benar-benar tak diduganya sama sekali. Wanita berkerudung itu gunakan jarinya untuk menyambut. Gilakah barang kali wanita itu. Memang tenaga tutukan jari itu tajam sekali tetapi mana dapat diadu dengan tenaga pukulan. Kecuali memang wanita itu bermaksud hendak berjibaku atau sama-sama remuk. Tetapi anehnya wanita itu tak mengunjuk sikap hendak mengadu jiwa.

Di saat Tui-hun Hui-mo tercengang, angin tutukan jari dan angin pukulannya telah beradu! Aneh, aneh … angin keras yang menghambur dari pukulannya itu ketika beradu dengan tutukan jari, berobahlah seperti api disiram air. Hilang lenyap segala daya tenaga pukulan itu. Bahkan tak berhenti sampai di situ saja. Tui-hun Hui-mo merasa tersembur oleh aliran hawa dingin yang keras sekali sehingga darahnya serasa bergolak. Pemusatan tenaganya seolah-olah buyar ambyar …

“Hian-im-ci!” serentak berteriaklah Tui-hun Hui-mo dengan wajah pucat.

Wanita itu menarik jarinya, tertawa: “Setan tua, sekarang kau sudah tahu siapa aku?”

Tui-hun Hui-mo mengerut gigi kencang-kencang, geramnya: “Sin-bu-kiong! Kau Song-bun Kui-mo punya …”

“Kau berani menyebut nama Te-kun yang dulu? Dosamu sudah tak dapat diberi ampun!” seru wanita berkerudung itu. Tiba-tiba Tui-hun Hui-mo tertawa keras: “Tekun? Ha, ha, kau tentulah permaisuri Ong-hui-nya?” “Te-it Ong-hui!” sahut wanita itu dengan nada angkuh, bangga.

Tui-hun Hui-mo berhenti tertawa, serunya: “Bilang apa maksudmu kemari?”

“Kesatu, untuk mengambil jiwa kalian berdua setan tua!” jawab Te-it Ong-hui atau isteri pertama dari Song-bun Kui- mo yang berganti gelar menjadi Sin-bu Te-kun atau raja dari istana Sin-bu-kiong. “Kedua, membawa anak itu!”

Tiba-tiba Sip U-jong yang sedjak tadi masih tetap duduk di atas bale-bale, berseru: “Ah, tak semudah itu!”

Te-it Ong-hui tertawa mengekeh: “Sebelum Te-kun mendapat kitab Im-hu-po-kip saja kau sudah dipukulnya terkencing-kencing sehingga kepandaianmu lenyap. Apa yang hendak kau andalkan berani menolak perintah Te-kun sekarang?”

Habis berkata Te-it Ong-hui segera menghampiri bale-bale. Seketika itu timbullah kenekadan Tui-hun Hui-mo. Pada saat wanita itu bergerak ke tempat Sip U-jong, iapun segera lepaskan hantaman dari samping.

Tetapi Te-it Ong-hui acuh tak acuh.

“Setan bernyali besar, kau berani kurang ajar kepada Ong-hui?” dua orang bujang wanita segera membentak seraya kebutkan Hud-tim.

Sekalipun mengetahui gerakan kedua bujang wanita itu luar biasa cepat dan aneh, tetapi karena mereka hanya bujang, Tui-hun Hui-mo tak memandang mata. Dia tetap menyerang Te-it Ong-hui.

Tetapi untuk itu ia harus membayar mahal. Kebutan kedua bujang itu ternyata seperti ribuan anak panah menyambar. Bukan saja tenaga pukulan Tui-hun Hui-mo buyar, pun dia malah tersambar hawa dingin yang menyerang masuk ke tulang-tulang sehingga tak dapat menguasai diri lagi terhuyung-huyung tiga - empat langkah!

Dalam pada itu Sip U-jong pun berbareng timpukkan sebuah benda bersinar merah kepada muka si wanita berkerudung. Meski tenaganya sudah punah, tetapi ia masih mahir menimpuk.

Te-it Ong-hui tertawa mengikik seraya ulurkan jarinya menjepit. Enak dan mudah sekali ia menyambut timpukan itu. Benda merah terjepit dengan tepat. Tetapi seketika itu Te-it Ong-hui menjerit kesakitan …

Kiranya benda merah itu bukan senjata rahasia apa-apa, melainkan seekor … ular kecil yang berwarna merah. Panjangnya hanya 3 dim. Begitu dijepit dengan jari, ular itu melingkar lalu mematuk telapak jari Te-it Ong-hui!

Te-it Ong-hui kebaskan ular yang mematuknya dan menutuk hingga mati. Dan cepat-cepat ia tutuk jarinya sendiri karena tahu bahwa ular itu berbisa.

“Setan tua, kau mempunyai nyali!” bentaknja dengan gusar.

Sip U-jong tertawa nyaring: “Itu adalah ratu ular. Betapa hebat kepandaianmu jangan harap kau bisa hidup!”

Te-it Ong-hui menggeram: “Kalau mati aku akan mati dengan meram. Di dalam kitab Im-hu-po-kip, terdapat pelajaran tentang ilmu racun. Betapa hebatnya ilmu racun dari Hwat-hun-nio, namun tak nanti mampu membunuh aku …”

Hwat-hun-nio artinya Dewi Awan Merah, sejenis ular kecil yang luar biasa berbisanya. Sekali gigit tentu matilah korbannya!

“Sip U-jong,” seru Te-it Ong-hui pula, “tahukah kau selain kedua benda itu, apalagi yang hendak kuganjar padamu?” Sip U-jong terkejut namun ia berlaku tenang. Toh paling banyak hanya mati. “Entah, aku tak tahu apa rencana keganasanmu itu?”

Te-it Ong-hui tertawa dingin: “Sebelum mati kau harus menyerahkan sebuah benda padaku!” “Benda apa, aku seorang jembel, apa yang dapat kuberikan kepadamu!” dengus Sip U-jong. “Berikan peta Giok ti tho (Telaga Zamrud )?” Te-it Ong-hui berseru bengis

“Giok ......ti ........tho………… bagaimana kau tahu ” Sip U-jong menyahut.

Te-it Ong-hui tertawa: “Soal sepenting itu mana mungkin mengelabui Sin-bu-kiong …” lalu ia melanjutkan pula: “Baik Sin-bu-kiong maupun Hun-tiong Sin-mo atau tokoh-tokoh persilatan lain, mengetahui bahwa engkau mendapat peta mustika itu dari seorang cianpwe yang aneh, sekarang peta harus menjadi milik Sin-bu-kiong!”

Sip U-jong mendengus: “Memang peta itu pernah jatuh di tanganku, tetapi … karena seumur hidup aku tak mempunyai harapan meyakinkan ilmu silat lagi, maka untuk menghindarkan tangan orang jahat kubakar saja peta itu!” 

Te-it Ong-hui tertawa mengekeh: “Dibakar …? Jika kau mau menyerahkan dengan baik-baik, akan kuberi kemurahan agar mayatmu tetap utuh, jika tidak …”

“Kalau begitu, tunggulah sebentar …” seru Sip U-jong seraya merogoh sebuah bungkusan kain dari kantongnya. Setelah dibuka, di antaranya terdapat sehelai kertas putih yang kumal. Mungkin karena tuanya maka kertas itu berobah kuning.

Te-it Ong-hui puas. Baru ia hendak ulurkan tangan, tiba-tiba secepat kilat Sip U-jong merobek-robek kertas itu menjadi berkeping-keping. Tetapi Te-it Ong-hui pun dapat bergerak sebat. Cepat luar biasa, ia merebut sisa peta itu dari Sip U-jong.

“Setan tua licik,” bentaknya dengan geram sembari menampar, “Bum” … Sip U-jong terpental serta bale-balenya hancur berantakan!

Hati-hati sekali Te-it Ong-hui mengumpulkan robekan kertas tadi. Setelah diperiksa sejenak lalu dibungkus dan disimpan dalam bajunya. Tetapi di saat ia hendak memasukkan robekan peta ke baju, kedua bahunya gemetar. Kejutnya bukan kepalang. Ketika memeriksa ternyata jari yang digigit ular Hwat-hun-nio itu sudah melepuh (bengkak) dan berwarna ungu gelap. Ia mengerut geram. Cepat ia menelan sebutir pil lalu meramkan mata menjalankan peredaran darahnya.

Di lain pihak, Tui-hun Hui-mo telah didesak ke pojok oleh kedua bujang perempuan. Tui-hun Hui-mo keluarkan seluruh kepandaian dan tenaganya, tetapi tiap kali tentu dihapus oleh kebutan hud-tim kedua bujang itu. Makin Tui- hun Hui-mo kalap dan menggerung-gerung seperti macan mencium darah, makin dia kelabakan tak keruan!

Untung juga karena agaknya kedua bujang itu belum menerima perintah Te-it Ong-hui, maka sampai sekian lama mereka belum mau melukai lawan.

Kedua bujang yang lain, melihat Te-it Ong-hui terluka, segera menghampiri dan menjaga di sampingnya.

Sementara Sip U-jong saat itu menggeletak berlumuran darah. Mati tidak hidup pun tidak. Ia keraskan hati mengerahkan seluruh sisa tenaganja untuk menggelinding ke dekat Thian-leng. Sejenak ia mengembalikan napasnya yang terengah-engah dan sekalian melihat suasana. Tampaknya Te-it Ong-hui sedang bersemedhi dan keempat bujangnya sedang sibuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Jadi tak ada orang yang memperhatikannya. Tiba- tiba ia merogoh sehelai bungkusan kain. Ia mengusap darah di mulut dengan kain itu lalu menulisnja dengan beberapa kata. Setelah itu cepat-cepat ia masukkan kain itu ke dalam baju Thian-leng.

Rupanya pekerjaan-pekerjaan itu telah memakan tenaganya yang terakhir. Karena setelah selesai iapun lantas terkulai rubuh di tanah …

Kira-kira sepeminum teh lamanya, Te-it Ong-hui pun bangkit. Serunya: “Jun-hong, He-liok, bawalah anak itu!” Kedua bujangpun segera mengangkat Thian-leng lalu diseretnya keluar. Tiba-tiba Thian-leng meronta. Keringatnya sudah berkurang dan layap-layap ia sudah mendapat kesadaran pikirannya kembali. Kedua bujang itu tak menyangka-nyangka bahwa pemuda yang tampaknja tak berkutik itu akan berontak sehebat itu. Meskipun kedua bujang itu anak buah Te-it Ong-hui yang paling terpercaya, tetapi toh tak kuat menahan tenaga si anak muda.

Mereka melengking kaget dan terlempar di tanah.Cepat mereka merangkak bangun tetapi tenaganya sudah lemah. Menandakan bahwa mereka menderita luka dalam yang tak ringan.

Penghamburan tenaga itu, sebaliknya malah membuat Thian-leng makin sadar. Ia celingukan memandang ke sekeliling. “Ini … ini bagaimana?” katanya penuh keheranan.

Tiba-tiba Tui-hun Hui-mo yang terpojok di sudut ruangan, berteriak keras: “Bu-beng-jin, bunuh …”

Ia tak dapat melanjutkan ucapannya karena saat itu Te-it Ong-hui sudah mendahului menutuk dada Thian-leng. Pemuda itu baru saja mulai tersadar tetapi belum pulih ingatannya. Tahu-tahu ia rasakan dadanya ampek dan bluk … jatuhlah pula ia ke tanah!

“Lekas bawa dia pergi!” seru Te-it Ong-hui. Kedua bujang segera menyeret lagi pemuda itu. Setelah mereka pergi barulah Te-it Ong-hui loncat ke muka Tui-hun Hui-mo.

“Jui-kiok, Tong Jing, mundurlah!” serunya. Kedua bujang itupun segera mundur.

Kini berhadapan Tui-hun Hui-mo dengan Te-it Ong-hui. Menghadapi bahaya yang lebih besar, sebaliknya Tui-hun Hui- mo malah lebih tenang. Tertawalah ia nyaring-nyaring: “Siluman perempuan, mungkin hari ini kau dapat bersuka-ria, tetapi lambat atau cepat kau tentu takkan terlepas dari kehancuran?”

Murka benar Te-it Ong-hui, dampratnya: “Sebenarnya mengingat hubunganmu dengan Sin-bu Te-kun pada masa dahulu hendak kuberimu ampun. Tetapi ternyata kau cari mati sendiri. Baiklah, akan kusempurnakan engkau!”

Tui-hun Hui-mo menyahut dengan menggerung keras, menghantam sekuat-kuatnya dengan kedua tangannya. Tetapi Te-it Ong-hui ulurkan jarinya seraya membentak: “Hai, setan tua, mengapa tak kenal gelagat!”

Tidak terdengar suara letupan apa-apa, tidak pula benturan pukulan. Tetapi tahu-tahu tenaga pukulan Tui-hun Hui- mo buyar dan tubuh tokoh itupun terkulai. Hanya sebuah erang tertahan yang terdengar, kemudian putuslah jiwa Tui- hun Hui-mo.

Ternyata Te-it Ong-hui telah melancarkan jurus Ngo-hian-ki-poh atau lima utas sutera berhamburan. Salah sebuah jurus yang paling maut dari ilmu Hian-im-ci.

Jangankan tubuh manusia, batupun tentu hancur menjadi tepung …

Te-it Ong-hui menyongsong kematian Tui-hun Hui-mo dengan tertawa dingin. Setelah itu ia menutuk Sip U-jong. Tubuh tokoh itupun terguling-guling seperti bola. Diapun menerima kematian yang mengenaskan!

Begitu melangkah keluar, Te-it Ong-hui melihat keempat bujang kepercayaan sudah berjajar-jajar sambil mencekal Thian-leng. Sebelum pergi Te-it Ong-hui membakar gubuk itu. Ia tersenyum menyaksikan kedua sosok mayat yang menggeletak dalam gubuk itu. Setelah puas barulah ia ajak keempat bujangnya pulang.

Tetapi ketika tiba di mulut lembah, tiba-tiba terdengar suara bentakan dari dalam hutan: “Ong-hui berhentilah!” Sesosok bayangan laksana burung elang, melayang keluar …

Te-it Ong-hui tertegun kaget. Pendatang itu seorang bertubuh tinggi besar, jubah warna ungu, menyanggul mantel warna kuning. Jenggotnya menjulai sampai ke dada, romannya gagah-perkasa.

“Cong-hou-hwat Ni Jin-hiong menghaturkan hormat kepada Ong-hui,” seru orang itu. “Mengapa … kau kemari?” tegur Te-it Ong-hui.

Ni Jin-hiong tertawa sinis: “Te-kun memerintahkan begitu!”

Te-it Ong-hui agak tergetar. Ia terkejut namun ia berlaku setenang mungkin: “Mengapa dia tahu aku kemari?” Kembali Ni Jin-hiong tertawa sinis: “Terus terang saja, hambalah yang melaporkan!”

“Manusia bosan hidup!” damprat Te-it Ong-hui marah sekali, “mengapa kau memberitahu padanya?”

“Ong-hui tinggalkan istana, bukan hal yang biasa. Karena tugas, hamba tak berani …” “Rubah yang licin!” tukas Te-it Ong-hui, “lekas katakan apa maksudmu?”

Sejenak Ni Jin-hiong sapukan mata ke arah empat bujang, ujarnya: “Bolehkah … aku mendapat kebebasan bicara?”

“Mereka adalah orang kepercayaanku. Segala urusanku, mereka tahu. Masakan kau tak tahu?”

Kali ini Ni Jin-hiong tertawa keras: “Baiklah. Terlebih dahulu aku hendak menghaturkan selamat kepadamu!” “Dalam hal apa?” Te-it Ong-hui kerutkan alis.

“Kau sudah mendapatkah peta Telaga Zamrud, apakah itu tak layak mendapat pemberian selamat?” “Ah, kau …”

“Dapatkah kau mengelabui aku?” ejek Ni Jin-hiong. Di luar dugaan tiba-tiba ia menyambar siku lengan kiri Te-it Ong- hui, kemudian tangan kirinya menarik kain kerudung yang menutupi wajah Te-it Ong-hui.

Sebuah wajah tersembul. Sebuah wajah yang cantik sekali. Sayang sudah agak setengah tua. Kira-kira berumur 35- an tahun lebih.

Keempat bujang terbeliak kaget. Cepat mereka mengepung Ni Jin-hiong. Ni Jin-hiong tersenyum dingin dan perkeras cengkeramannya. Karena menahan kesakitan, Te-it Ong-hui pucat wajahnya. Segera ia memberi perintah supaya keempat bujangnya mundur. Terpaksa keempat bujang itupun mundur.

“Ma Hong-ing, sekarang kau tentu mau mengatakan!”

Te-it Ong-hui merandek sejenak, sahutnya: “Benar, memang peta itu telah berada dalam tanganku!”

Ni Jin-hiong kendorkan cengkeramannya, tertawa: “Sejak saat ini, dunia persilatan bakal menjadi milikmu dan milikku

…”

“Tetapi Te-kun …”

“Asal sudah menyimpan kitab pusaka dari It Bi Sianjin itu, masakan kau takut dimakan Te-kun?” Ni Jin-hiong mendengus. 

“Tetapi …” masih Te-it Ong-hui atau Ma Hong-ing bersangsi.

Ni Jin-hiong deliki mata: “Tetapi apa? Apakah kau masih sayang dengan kedudukanmu sebagai Ong-hui?”

“Mengapa kau menuduh begitu? Kita …”

Ni Jin-hiong tertawa meloroh: “Adik Ing, jangan kuatir. Aku Ni Jin-hiong bukan Song-bun Kui-mo yang memelihara tiga sampai empat orang isteri …”

“Masakan kau berani!” dengus Ma Hong-ing.

Masih Ni Jin-hiong lanjutkan rayuannya: “Adik Ing, sebenarnya aku hanya mencintaimu seorang. Apabila aku sampai berhasil merajai dunia persilatan, hanya kau seorang yang kujadikan isteriku!”

Merah selebar wajah Ma Hong-ing. Sambil menunjuk ujung hidungnya ia melengking: “Kutu busuk, mulutmu selalu berbalut gula …”

“Berikan!” Ni Jin-hiong angsurkan tangan. “Apa?” Ma Hong-ing terkesiap.

“Apa lagi kalau bukan peta Telaga Zamrud!” “Apakah kau menyuruh kuserahkan padamu?”

Ni Jin-hiong tertawa berat: “Paling tidak kita harus memeriksanya dan mempelajari letak tempat itu!”

Ma Hong-ing merenung sejenak kemudian mengeluarkan bungkusan kain yang berisi robekan peta Giok-ti-tho. Mereka berdua segera asyik memeriksa peta itu. Tiba-tiba wajah Ni Jin-hiong berobah.

“Palsu!” serunya dengan putus asa.

Juga Ma Hong-ing mengerut gigi, menggeram sengit: “Bangsat tua itu sungguh menjengkelkan sekali, aku termakan tipunya … Celaka, kitab pusaka It Bi Sianjin takkan muncul di dunia lagi!” – Ma Hong-ing membanting-banting kaki.

“Mengapa?” tanya Ni Jin-hiong.

“Bangsat tua Sip U-jong telah menipu aku dengan menyerahkan peta yang palsu. Yang tulen tentu masih berada padanya!”

“Ya, benar. Lekas tangkap si tua celaka itu, peta tentu masih berada di tangannya!” “Dia telah kubunuh!” Ma Hong-ing gelengkan kepala.

“Kalau begitu carilah mayatnya!”

Sahut Ma Hong-ing dengan nada lemah: “Mayatnya sudah hangus jadi abu!” “Kau bakar?”

Hampir pingsan Ma Hong-ing mengalami kegoncangan batin yang sedemikian hebatnya.

Plak … Sekonyong-konyong Ni Jin-hiong menampar pipi Ma Hong-ing. Lima buah telapak jari darah segera menghias pipi wanita itu. Namun ia tak mau berusaha membalas melainkan terhuyung-huyung jatuh ke tanah. Untung dua bujangnya cepat menyanggapi.

“Wanita busuk bagus sekali kerjaanmu …” Ni Jin-hiong masih marah.

Ma Hong-ing agak meramkan mata tak mau menyahut. Ni Jin-hiong menghela napas panjang, ujarnya pula: “Kau dan aku rupanya memang sudah ditakdirkan menjadi budak. Dengan hilangnya kesempatan kali ini, seumur hidup jangan harap kita dapat meloloskan diri dari cengkeraman Song-bun Kui-mo …”

Berhenti sejenak, ia membentak pula: “Mengapa tak lekas kembali ke istana? Jika dia mengetahui hubungan kita, mungkin kedudukan jadi hamba sajapun kita tak dapat menikmati!”

Ma Hong-ing menghela napas kecewa, serunya lemah kepada bujang yang berada di belakangnya: “Bawa budak itu lekas!”

Dua bujang segera menyeret Thian-leng. Tetapi baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba Ni Jin-hiong membentak marah: “Berhenti …!”

Tanyanya kepada Ma Hong-ing: “Apakah itu budak Kang Thian-leng yang kau pelihara selama 17 tahun?” Ma Hong-ing mengangguk.

“Budak itu sudah tak berharga lagi, perlu apa kau bawa pulang?”

“Hun-tiong Sin-mo pernah membebaskan dan menolongnya, mungkin …” tiba-tiba Ma Hong-ing berhenti sejenak, gelengkan kepala, “ah, tetapi terserah padamulah. Aku tak peduli!”

“Lepaskan saja!” tiba-tiba Ni Jin-hiong membentak keras kepada kedua bujang. Kedua bujang yang mencekal Thian- leng itupun segera lepaskan tawanannya dan loncat menyingkir. 

Karena jalan darahnya masih tertutuk, ketika dilepaskan, Thian-leng hendak rubuh lagi. Tetapi pada saat tubuhnya melorot jatuh, Ni Jin-hiong telah membarengi dengan sebuah hantaman dahsyat … Hantaman itu disertai dendam kebencian!

Bum … karena tak dapat berkutik, maka Thian-leng terlempar seperti layang-layang putus. Setelah berjumpalitan di udara beberapa kali lalu jatuh dua puluhan tombak jauhnya!

Ni Jin-hiong yakin anak muda itu tentu sudah mati, maka iapun tak mau memeriksanya lagi.

Ma Hong-ing atau isteri dari Sin-bu Te-kun yang ternyata main gila dengan Ni Jin-hiong, mengawasi kesemua itu dengan menghela napas perlahan. Ia tak dapat berbuat apa-apa terhadap kepala penjaga Sin-bu-kiong itu.

Demikian dengan diantar oleh keempat bujang kepercayaannya, Ma Hong-ing atau Te-it Ong-hui segera tinggalkan tempat itu.

Sejenak Ni Jin-hiong kerutkan alis. Kemudian iapun turun gunung juga …

*** Pengorbanan.

Keesokan hari menjjelang magrib, tampak dua buah tandu melintas di muka lembah Hong-lim-koh. Tandu yang dipikul oleh berpuluh orang tua baju biru, berjalan perlahan-lahan menyusur lamping gunung.

Tiba-tiba dari tandu yang di sebelah muka terdengar perintah berhenti. Seorang gadis berpakaian hijau keluar dari tandu itu. Ia menghampiri sebuah semak pohon.

Tandu yang di belakangpun berhenti. Yang keluarpun seorang dara yang lebih muda dari gadis tadi. Bajunya warna ungu.

“Ci, kau melihat apa?” serunya.

“Lihatlah kemari!” seru gadis baju hijau yang dipanggil taci itu.

Ketika menghampiri, dara itu melihat seorang pemuda baju biru menggeletak di tengah semak dengan tubuh berlumuran darah. Tampaknya pemuda itu sudah mati beberapa waktu yang lalu.

“Perlu apa kita nonton sebuah mayat?” kembali dara itu menggerutu. Gadis baju hijau tersenyum: “Sudahkah kau melihat jelas wajahnya?”

Rupanya dara itu muak melihat mayat. Serunya: “Perlu apa melihat mayat yang begitu ngeri?”

“Eh, kita pernah kenal, cobalah periksa!” seru si gadis.

Adiknya terkejut. Ketika ia memandang dengan seksama, menjeritlah ia: “Hai … dia …!” – ia terus lari menghampiri. Dara itu ialah puteri kedua dari Sin-bu Te-kun yakni Ki Seng-wan. Dan si gadis ialah tacinya Ki Gwat-wan. Dan pemuda yang terkapar mati itu bukan lain Kang Thian-leng.

Beberapa kali Ki Seng-wan berjumpa dengan pemuda itu. Walaupun dalam kedudukan bermusuhan tetapi dalam sanubari dara itu telah bersemi suatu bibit perasaan cinta. Maka betapalah kejut dan sedih hatinya ketika menyaksikan pemuda idam-idamannya itu mati.

“Oh, mengapa kau mati begini mengenaskan …” dara itu berjongkok menangis di samping mayat Thian-leng. “Budak tolol, apa-apaan kau ini? … Apakah kau benar-benar mencintainya?” Ki Gwat-wan kerutkan dahi.

Namun dara itu diam mematung. Matanya tak berkedip memandang tubuh Thian-leng yang berlumuran darah itu. Ia tak menghiraukan ucapan kakaknya.

“Hm, ternyata budak ini sungguh-sungguh telah …” gerutu Ki Gwat-wan. Ia gelengkan kepala menghela napas kemudian menarik lengan baju Ki Seng-wan. “Ajo, kita pergi …”

Ki Seng-wan gelagapan: “Tidak, aku tak pergi.”

Ki Gwat-wan kaget: “Tidak berangkat? Lalu hendak mengapa kau …? Eh, apakah kau hendak turut bela pati?” “Sekurang-kurangnya aku harus menguburnya dengan baik,” sahut Ki Seng-wan. Dipandangnya sang kakak. “Ci, maukah kau berjalan lebih dulu …”

“Dulu ketika terjadi peristiwa di Hong-ho, jika bukan berhasil merampas panji tengkorak dari tangannya (Thian-leng), kita berdua tentu sudah diganyang Hun-tiong Sin-mo. Sekarang kalau kita melanggar peraturan lagi, ayah tentu marah pada kita …” Tiba-tiba Ki Seng-wan menangis: “Aku tak peduli. Biarlah segala apa aku sendiri yang menanggung, takkan merembet taci!”

Ki Gwat-wan mendengus: “Budak tolol, bukan karena aku takut terembet, tetapi …” – ia berhenti sebentar: “Ong-hui dan cong-hou-hwat tidak berada dalam istana. Kemungkinan besar mereka memergoki kita di sini, tentu hebat akbatnya. Lebih baik kita segera berangkat saja!”

Ki Seng-wan tetap dengan kemauannya sendiri. Dengan sebilah dahan kayu segera ia menggali liang. Ki Gwat-wan jengkel sekali, tetapi terhadap adiknya yang begitu keras kepala, ia tak dapat berbuat apa-apa.

Ki Gwat-wan memandang wajah pemuda itu. Ah, memang seorang pemuda yang cakap. Sebenarnya sayang kalau mati. Pun Hun-tiong Sin-mo pernah menolongnya? Mengapa sekarang mati di sini? Siapa pembunuhnya? Apa hubungannya dengan Hun-tiong Sin-mo?

Tiba-tiba ia terbeliak kaget. Bahu Thian-leng tampak bergerak-gerak. Bukankah pemuda itu sudah mati? Ia tak percaya pada matanya dan memandang dengan tak berkedip. Tiba-tiba ia berteriak kaget: “Hai, dia … hidup!”

“Apa?” Ki Seng-wan tertegun. “Dia … agaknya bisa bergerak!”

Berdebar keras hati Ki Seng-wan mendengar keterangan itu. Segera ia menghampiri dan mengamat-amati dengan penuh perhatian. Ah, benar, benar. Thian-leng tampak menggeliat-geliat, hidungnya kedengaran bernapas. Bukan kepalang girang dara itu.

“Kang …Kang Siangkong, Kang Siangkong …” cepat ia berjongkok membisiki telinga pemuda itu. Namun Thian-leng diam saja.

“Benar dia belum mati tetapipun tak dapat hidup lebih lama lagi … lebih baik lekas menguburnya saja!” seru Ki Gwat- wan.

Tiba-tiba Ki Seng-wan berlutut di hadapan tacinya, menangis: “Cici, tolonglah dia!” “Mana bisa?”

“Di dalam Sin-bu-kiong, selain ayah, hanya kaulah yang mengerti ilmu pengobatan …”

Ki Gwat-wan menyurut mundur, bentaknya: “Budak gila, cukup sudah kau merecoki aku. Dalam urusan ini aku tak dapat meluluskanmu!”

“Walaupun bagaimana aku meminta, kau tetap tak mau meluluskan?” Ki Seng-wan mengusap air mata.

“Tidak ada kompromi lagi!” sahut Ki Gwat-wan dengan tegas.

“Baik, toh aku juga sudah bosan hidup …” sejenak Ki Seng-wan menarik napas lalu berseru pula: “Cici, harap kau … menjaga diri baik-baik …!”

“Budak tolol, hendak mengapa kau?” teriak Ki Gwat-wan terkejut.

Ki Seng-wan tak menyahut melainkan ayunkan tangannya ke batok kepalanya sendiri. Cepat Ki Gwat-wan mencekal tangan adiknya: “Seng-wan, kau memang terlalu!”

“Ci, apakah kau meluluskan?” Ki Seng-wan berlinang air mata.

Ki Gwat-wan menghela napas. Ia berpaling kepada pengawalnya: “Dua puluh li ke selatan ialah desa Liu-ke-ci. Tunggulah kalian di sana!”

Sebelum pengawal itu berlalu, ia memberi pesan supaya jangan menguwarkan kepada siapapun apa yang terjadi saat itu.

“Adikku, kita makin mendalam di lingkungan bahaya!” katanya kepada Ki Seng-wan.

“Semua kemarahan dan hukuman ayah, biarlah aku yang menanggung!” sahut Ki Seng-wan. “Sudahlah,” kata Ki Gwat-wan, “tetapi menolong pemuda itu bukan hal yang mudah …” “Tetapi aku sanggup melakukan apa saja,” seru si dara.

“Begitu mati-matian kau mencintainya. Tetapi setelah dia hidup kembali, apakah dia akan membalas cintamu? Hm, mungkin dia akan membalikkan muka padamu!”

“Hal itu tak kuhiraukan. Yang penting, dia harus ditolong!” sahut Ki Seng-wan dengan mantep.

“Baik, angkatlah!”

Ki Seng-wan segera mengangkat tubuh Thian-leng mengikuti Ki Gwat-wan. Ternyata Ki Gwat-wan menuju ke sebuah kuil rusak yang terletak di kaki puncak. Ia menyuruh adiknya meletakkan si pemuda dalam sebuah ruangan gelap. Kemudian ia sendiri duduk di ambang pintu dengan membelakangi tubuh.

“Apakah cici merobah keputusan?” tegur Ki Seng-wan.

Ki Gwat-wan tertawa getir: “Kalau mau menolong, hanya kau sendiri yang harus turun tangan. Aku tak dapat …” ia mengeluarkan sebuah bungkusan kain dan mengangsurkan kepada Ki Seng-wan. “Pakailah ketiga jarum ini!”

“Cici …”

“Lepaskan pakaiannya!”

“Apa? Melepaskan pakaiannya?” Ki Seng-wan kaget.

“Ya! Kau harus menusuk ke 72 jalan darahnya. Kalau tidak, walaupun sembuh, dia bakal jadi seorang invalid!” “Aku … tidak bisa!”

“Kalau begitu, mari tinggalkan saja!” terus Ki Gwat-wan hendak bangkit pergi.

“Ci … ci … apakah tak ada lain jalan lagi?” Ki Seng-wan berseru kebingungan.

“Tidak ada …” katanya dengan serius: “Telah kukatakan tadi bahwa memang tak mudah untuk menolongnya. Karena nantinya akan meminta pengorbanan dirimu. Lebih baik jangan …”

Ki Seng-wan tak menyahut tetapi terdengar suara pakaian dibuka. “Ci … ci …” seru dara itu dengan gemetar.

“Apakah sudah kau lepaskan semua?” “Su … dah …!”

“Baik, rebahkan dengan terlentang. Siapkan tusukan jarum pertama … Tusuk jalan darah Kian-li-hiat di dadanya, kemudian jalan darah Gi-tay-hiat di perutnya. Setelah keluar darah baru berhenti … Yang ketiga, tusuk jalan darah than-tiong-hiat. Cabut jarum kesatu dan tusuk 3 kali jalan darah Ciang-tay-hat. Jika mengalirkan darah hitam, barulah kau berhenti …”

Dengan gemetar Ki Seng-wan melaksanakan petunjuk-petunjuk tacinya. Untung karena ia mengerti letak jalan darah pada tubuh manusia, dengan menahan rasa malu dan jengah, terpaksa ia kerjakan.

Kira-kira setengah jam selesailah ke 72 buah jalan darah Thian-leng ditusuki jarum. Kalau semula tubuhnya pucat lesi seperti mayat, kini sudah tampak kemerah-merahan.

“Coba periksa apakah mulutnja berbusa!” kembali Ki Gwat-wan berseru.

“Ada … keningnya berkeringat juga!” sahut Ki Seng-wan. “Tetapi mengapa ia masih belum tersadar?”

“Tadi hanya membuka jalan darahnya yang tertutuk, agar darahnya mengalir. Dia menderita luka dalam yang parah, mana bisa sembuh begitu cepat!” djawab Ki Gwat-wan.

“Lalu …?”

“Buka pakaianmu juga!” tiba-tiba Ki Gwat-wan memberi perintah. “Ai … pakaianku?” Ki Seng-wan menjerit kaget.

“Kecuali menggunakan cara Tay-hwe-yang-sut dalam ilmu Hian-im-kiu-coan, tak ada lain cara lagi. Sudah terlanjur begini, apakah kau hendak membatalkan?”

“Tetapi aku …”

“Untuk menolongnya, tak ada lain jalan kecuali harus mengorbankan diri!” tukas Ki Gwat-wan.

Akhirnya terpaksa Ki Seng-wan menurut. Yang disebut pengobatan menurut Hian-im-kiu-coan itu ialah menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh si sakit melalui anggauta kelamin. Memang ilmu pengobatan cara kuno, aneh tetapi mustajab. Dan Ki Seng-wan seorang dara yang masih suci terpaksa harus mengorbankan kesuciannya demi menolong pemuda yang dikasihinya.

Setengah jam kemudian, berserulah Ki Gwat-wan: “Cukup, biarkan dia beristirahat!”

Memang saat itu wajah Thian-leng tampak berobah agak segar dan hidungnya mulai bernapas. Ki Seng-wan buru- buru mengenakan pakaian dan memakaikan pakaian si anak muda lagi. Setelah itu dipapahnya pemuda itu duduk. Memang dahi Thian-leng mulai mengucurkan keringat. Dia sudah dapat melakukan pernapasan sendiri, tetapi matanya masih meram.

Sebenarnya pukulan Ni Jin-hiong tadi pasti menghancur-luluhkan tubuh Thian-leng. Untunglah karena sudah mendapat saluran lwekang dari mendiang Oh-se Gong-mo dan menelan pil Kong-yan-sin-tan, dia dapat terlindung dari bahaya kematian. Tusuk jarum dan pengobatan Hian-im-kiu-coan makin melancarkan darahnya. Sekalipun pikirannya masih belum sadar tetapi ia sudah dapat bernapas dengan baik.

“Kang Thian-leng, telah kuserahkan kehormatanku kepadamu. Seluruh kebahagiaan hdupku tergantung padamu …” diam-diam Ki Seng-wan berdoa. Ia menghampiri tacinya dan menanyakan keadaan pemuda itu: “Bukankah dia sudah tak berbahaya?”

“Dia telah memperoleh rejeki yang luar biasa. Mungkin orang yang seumur hidup meyakinkan ilmu silat, belum tentu bisa mencapai kesempurnaan lwekang seperti dia. Masakan begitu cepatnya ia sembuh …!” sahut Ki Gwat-wan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa paling banyak dalam waktu sejam lagi Thian-leng tentu sudah dapat bergerak seperti biasa.

“Ci, mari kita pergi!” tiba-tiba Ki Seng-wan berkata.

“Pergi?” Ki Gwat-wan heran. “Setelah kau korbankan kesucianmu, lalu begitu saja meninggalkannya? Kalau kau memang mencintainya, mengapa tak kau nyatakan kepadanya agar memperisteri kau?”

“Memperisteri aku …?” Ki Seng-wan tersenyum redup, “dia adalah musuh dari Ong-hui. Meskipun kita ini anak angkat dari ayah tetapi tak lain tak bukan hanya sebagai budak saja. Coba pikirkan, layakkah itu?”

“Hm, baru sekarang kau sadar tetapi sudah terlambat,” Ki Gwat-wan mengeluh.

Ki Seng-wan tundukkan kepala berbisik: “Telah lama kuketahui hal itu, tetapi aku tak dapat tak menolongnya. Ci, kau tak mungkin dapat mengerti hal itu!”

“Tak mungkin mengerti? Hm, kau benar-benar budak yang paling tolol di dunia!” “Sudahlah, mari kita pergi!” Ki Seng-wan menahan air mata.

Apa boleh buat, terpaksa Ki Gwat-wan bangkit dan mengikuti sang adik melangkah keluar. Sekonjong-konyong ia tertegun. Cepat ia menarik tangan adiknya: “Sst, lekas sembunyi di belakang arca itu!”

Ki Seng-wan juga kaget. Cepat ia mengikuti tacinya loncat ke belakang patung besar yang menempel pada meja sembahyang di ruang tengah. Arca malaekat itu tinggi dan besar, cukup melindungi kedua gadis itu dari penglihatan orang.

Sesaat kedua gadis itu bersembunyi, beberapa sosok bayangan melesat masuk. Empat orang yang masuk lebih dulu, ialah kawanan bujang perempuan baju biru. Cepat-cepat mereka menyapu ruang tengah lalu berjajar di kedua samping sambil mencekal kebut hudtim.

Tak lama masuklah seorang wanita memakai kerudung muka. Ah, itulah Te-it-ong-hui atau Ma Hong-ing. Kedua taci- adik Ki melihat jelas. Mereka gelisah sekali. Apalagi kalau memikirkan keadaan Thian-leng yang tengah menjalankan pernapasan itu. Sekali diketahui Ma Hong-ing, pasti akan dibunuh.

Kedua gadis itu tak dapat berbuat-apa-apa kecuali menantikan perkembangan dengan hati berdebar-debar …

***

Rahasia di balik rahasia.

Rupanya Te-it Ong-hui Ma Hong-ing sedang gelisah menunggu kedatangan seseorang. Kegelisahan itu menyebabkan perhatiannya tak sampai pada tindakan memeriksa ruang situ. Sehingga dengan demikian, ia tak mengetahui bahwa di dalam ruang itu terdapat tiga insan lainnya.

Tak berapa lama tiba-tiba di luar terdengar suitan panjang berasal dari jarak beberapa li jauhnya. Tetapi ketika suitan kedua terdengar lagi, ternyata sudah berada di depan kuil. Kecepatan gerak orang itu sungguh hebat sekali!

Seorang tua berjenggot putih dengan jubah warna ungu, melangkah masuk. “Bagaimana kabarnya?” Te-it Ong-hui serentak menyambutnya dengan pertanyaan.

Orang tua itu ternyata Ni Jin-hiong, kepala pegawal Sin-bu-kiong. Ia tertawa sinis, ujarnya: “Coba katakan dulu, bagaimana kau akan berterima kasih padaku?”

“Gila, masakan hal itu perlu meminta pernyataanku lagi? Apa yang harus kuterima kasihi? Tubuhku dan hatiku seluruhnya telah kuserahkan padamu, mengapa masih meminta aku berterima kasih lagi …”

Berhenti sejenak, Te-it Ong-hui berkata pula: “Jika orang-orang Thiat-hiat-bun (partai Darah Besi) benar-benar masuk ke daerah Tionggoan, tentu dapat menjumpai Sin-bu Te-kun. Kita berdua jangan harap dapat lolos dari tangan maut Te-kun!” 

Tersirap darah kedua taci-beradik Ki mendengar pembicaraan itu. Sungguh tak terlintas dalam pemikiran mereka bahwa ternyata Te-it Ong-hui dan cong-hou-hwat Ni Jin-hiong mempunyai hubungan rahasia. Tetapi siapakah yang disebut partai Thiat-hiat-bun itu? Apa hubungannya dengan Ong-hui?

“Eh, apa-apaan kau begini gelisah?” terdengar Ni Jin-hiong berkata.

“Apakah kabar itu tidak benar dan Thiat-hiat-bun belum masuk ke Tionggoan?” seru Ong-hui.

“Thiat-hiat-bun benar memang masuk ke Tionggoan tetapi tak terdengar bahwa orang she Pok itu juga ikut serta. Mungkin hendak menyelidiki tentang keadaan dunia persilatan di Tionggoan …”

“Bukan begitu! Meskipun Siau-yau-kiam-khek (pendekar pedang bebas) Pok Thiat-bing belum pergi ke markas Thiat- hiat-bun dan Thiat-hiat-bun sendiripun juga bukan datang kemari karena urusan itu, tetapi toh kedatangannya ke Tionggoan itu akan membangkitkan lagi kejadian pada 17 tahun yang lalu …”

“Adik Ing,” Ni Jin-hiong tertawa, “kau terlalu meremehkan diriku. Jika kuminta kau jangan kuatir, sudah tentu aku telah menyiapkan rencana yang tepat …”

“Coba katakanlah rencanamu itu!”

“Sebaiknyalah kalau Thiat-hiat-bun tidak masuk ke Tionggoan. Tetapi kalau mereka datang, tentu akan mengalami kehancuran total sehingga partai itu pasti akan lenyap selamanya …”

“Apakah kau mempunyai rencana sedemikian hebatnya?” tanya Ong-hui. Ni Jin-hiong tertawa bangga: “Kau sudah tak percaya lagi kepadaku?”

Te-it Ong-hui Ma Hong-ing menghela napas: “Bukan tak percaya lagi melainkan urusan ini maha penting, sekali salah tindak, akibatnya …”

“jika peta Telaga Zamrud belum terbakar, tak sampai kita begini resah …” ia menghela napas lalu membisiki ke dekat telinga Ma Hong-ing. Wanita itu mengangguk dan mengulum seri kegirangan.

“Teserah padamu, sudah beberapa hari aku pergi, harus lekas-lekas pulang,” katanya. Ia bangkit tetapi tiba-tiba hentikan langkah lagi. Matanya berkeliaran menyapu ke sekeliling ruang lalu membentak kepada keempat pelayannya. “Apakah kalian sudah memeriksa seluruh sudut kuil ini?”

Salah seorang dayang yang bernama Jun Hong tampil ke muka dan menjatakan bahwa karena sudah terlalu rusak, merekapun menduga tentu tak terdapat penghuninya.

Kiranya Ma Hong-ing telah melihat bekas-bekas gurat lukisan pada lantai di ambang pintu. Itulah perbuatan Ki Gwat- wan yang pada waktu keisengan menunggu Ki Seng-wan mengobati Thian-leng dengan ilmu Hian-im-kiu-coan, telah mencorat-coret lantai.

“Kelengahan kecil berarti malapetaka besar! Jika di dalam ruang ini terdapat orang. Te-kun tentu bakal mendengar. Kita sekalian tentu akan hancur-lebur!”

Sesaat Ni Jin-hiong terkejut tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak: “Kau memang terlalu berhati-hati, tetapi peristiwa di sini tak nanti sampai bocor keluar!”

Ni Jin-hiong tertawa sinis lalu melangkah ke ruang dalam. Sekonyong-konyong dua bayangan melesat keluar dari balik arca.

“Aha, kiranya kalian berdua,” Ni Jin-hiong menyurut kaget. Seketika dahinya mengerut kebuasan tetapi pada lain saat ia segera memberi hormat kepada kedua nona yang menjadi puteri dari majikannya itu.

Te-it Ong-hui Ma Hong-ing merah-padam selebar wajahnya. Dan kedua taci-beradik Ki pucat lesi.

“Menghaturkan hormat kepada Ong-hui,” mereka berdua segera maju dan berlutut di hadapan Ma Hong-ing. Kepala menunduk tak berani memandang.

Ke 10 jari tangan Ma Hong-ing bergetaran gemetar. Sampai beberapa saat baru ia berkata: “Kalian berani mati, berani mencuri dengar aku …” – tetapi karena ia merasa bertindak serong, maka terpaksa ia tahan kemarahannya.

“Anak memang bersalah,” sahut kedua taci-beradik Ki. “Karena kebetulan lewat di sini kami hendak melepaskan lelah. Tak tahu Ong-hui …”

Ki Gwat-wan mengangkat kepala memandang Ma Hong-ing, serunya dengan lemah: “Ong-hui senantiasa menyayang pada anak berdua. Kami berdua adalah buah hati Ong-hui …” – Ucapan itu mengandung maksud bahwa mereka berjanji takkan memberitahukan kepada Te-kun. Ma Hong-ing agak bersangsi. Sebenarnya ia tak menyayang sungguh-sungguh kepada kedua puterinya itu, maka iapun tak percaya kedua gadis itu akan menyimpan rahasia. Tetapi jika membunuh mereka, Te-kun tentu akan marah sekali.

Ni Jin-hiong juga gelisah. Tiba-tiba ia memberi kedipan mata kepada Ma Hong-ing kemudian gunakan ilmu menyusup suara: “Adik Ing, kita harus bertindak cepat dan tepat. Perlukah mereka dibiarkan hidup?”

“Tetapi kalau dibunuh, Te-kun tentu bisa menyelidiki. Sekali ketahuan …” sahut Ma Hong-ing. “Mengapa pikiranmu selimbung itu?”

“Limbung bagaimana? Aku tak mengerti!”

“Kabarnya Hun-tiong Sin-mo sudah meninggalkan gunung, mengapa kita tak gunakan siasat adu domba?”

“Tetapi aku tak mempunyai panji Tengkorak Darah yang asli!” “Kebetulan sekali aku memperoleh sebuah!” kata Ni Jin-hiong.

Ma Hong-ing girang sekali. Kemudian ia memberi perintah kepada kakak-beradik Ki dengan nada bengis: “Kalian membunuh diri sendiri atau perlu dibantu orang!”

“Terserah pada Ong-hui!” seru kedua nona.

Ma Hong-ing berseru bengis: Ni Cong-hou-hwat!” Ni Jin-hiong tertawa meloroh: “Hamba siap!”

“Toa-kongcu dan ji-kongcu melanggar kesalahan yang tak berampun. Siaplah melaksanakan hukuman …”

Kedua gadis saling berpandangan. Mereka insyaf kalau tak mungkin lolos dari kematian. Tiba-tiba Ki Gwat-wan loncat bangun dan tertawa nyaring penuh kerawanan. Dipandangnya Ma Hong-ing si ibu angkat dengan tajam, serunya menantang: “Apakah Ong-hui tetap hendak menghukum mati kami berdua? Kami tak berani membangkang, tetapi apakah dosa kami?”

Berobah seketika wajah Ma Hong-ing.

“Kau berani menantang aku …?” tiba-tiba ia menampar muka Ki Gwat-wan. Plak … pipi kiri nona itu membengkak merah, darahnya mengucur.

Ni Jin-hiong tertawa mengekeh. Segera ia melesat hendak turun tangan. Merah-padam selebar muka Ki Gwat-wan menerima tamparan itu. Dadanya berombak-ombak menahan dendam kemarahan.

Segera Ki Seng-wan merangkak maju dan menangis merintih-rintih. “Harap Ong-hui jangan marah. Biarlah anak membunuh diri saja untuk membalas budi …” – ia berhenti sejenak, katanya pula: “Tetapi mohon Ong-hui suka memberi kelonggaran untuk anak menggali liang kubur sendiri!”

Kiranya nona itu hendak memancing Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing keluar dari kuil agar jangan mengetahui diri Thian- leng.

Ma Hong-ing memandang kepada Ni Jin-hiong, meminta pendapatnya.

Kepala pengawal Sin-bu-kiong itu tertawa hambar: “Usah ji-kongcu kuatir. Kedua kongcu adalah puteri Te-kun yang kami hormati. Sudah tentu nanti jenazah kongcu berdua akan kami bawa pulang ke Sin-bu-kiong dengan segala upacara!”

“Benar, nanti akan kita atur selayaknya!” kata Te-it Ong-hui.

Ki Gwat-wan memberi lirikan kepada adiknya. Matanya memancar pembunuhan. Maksudnya mengajak sang adik bersama-sama turun tangan. Lebih baik melawan daripada mati konyol. Tetapi Ki Seng-wan membalas dengan pandangan putus asa dan pasrah nasib.

Ki Gwat-wan menghela napas. Tiba-tiba ia berteriak dengan marah: “Aku Ki Gwat-wan, sebagai putera-puteri persilatan tak takut mati. Tetapi kalau harus mati di tangan kalian, penghianat dan wanita cabul, benar-benar penasaran sekali!”

Ia menutup kata-katanya dengan sebuah loncatan menerjang Te-it Ong-hui.

“Cici …!” Ki Seng-wan menjerit kaget. Namun Ki Gwat-wan sudah mengambil keputusan untuk mengadu jiwa. Seluruh tenaganya ditumpahkan pada pukulan yang diterjangkan itu. Sekalipun ia menginsyafi bahwa kepandaiannya masih kalah, namun ia masih mempunyai harapan. Selagi Te-it Ong-hui belum bersiap, hendak diterjangnya. Jika berhasil melukainya, matipun puas.

Tetapi Te-it Ong-hui Ma Hong-ing hanya mendengus. Secepat kilat ia kebutkan lengan baju. Pukulan dan terjangan Ki Gwat-wan serasa terbentur ke dalam sebuah jaring yang lunak sehingga buyarlah dayanja. Tubuh nona itu terpental mundur, bum … ia membentur kaki tembok!

Ma Hong-ing segera hendak menyusuli pula dengan sebuah hantaman dan Ni Jin-hiong pun membarengi memukul dari samping. Mereka berdua merupakan jago kelas satu dalam Sin-bu-kiong.

Sekonjong-konyong sewaktu jiwa Ki Gwat-wan terancam maut, sesosok bayangan hitam melesat ke dalam ruangan dan tahu-tahu setiup tenaga dahsyat melanda pukulan kedua tokoh itu. Bum … terdengar ledakan keras. Tiang bergetar, atap berhamburan jatuh dan seketika ruangan itu terasa panas sekali!

Bukan main kagetnya Ma Hong-ing dan Ni jin-hiong. Mereka serempak menyurut tiga langkah ke belakang. Lebih besar lagi kaget mereka setelah mengetahui siapa penyerangnya itu. Hampir mereka tak percaya pada matanya. Mulut mereka ternganga …

Kiranya pendatang itu ialah Kang Thian-leng, pemuda yang telah mati dibunuh Ni Jin-hiong. Bukan saja pemuda itu hidup kembali bahkan ilmu pukulan Lui-hwe-ciangnya sudah “jadi”.

Kiranya tadi, penyaluran napas Thian-leng telah berhasil menormalkan darahnya pula. Cepat-cepat ia bangun. Ketika hendak menyelidiki di mana ia berada saat itu, tiba-tiba ia melihat Ni jin-hiong dan Ma Hong-ing tengah melancarkan pukulan maut kepada Ki Gwat-wan. Tanpa berayal lagi segera ia loncat menerjang. Dan hasil dari pada pukulannya membuatnya heran sendiri. Ia dapatkan pukulannya sepuluh kali lipat dari semula.

Tentu diketahui jelas bahwa yang dihadapinya itu ialah ibu palsunya. Ibu palsu yang pura-pura meninggal dunia dan menyuruhnya membalaskan sakit hati kepada Hun-tiong Sin-mo. Ibu palsu yang menutuk jalan darahnya dan menyerahkannya kepada Ni Jin-hiong untuk dibunuh.

Kejut Te-it Ong-hui Ma Hong-ing tak kalah dengan Thian-leng. Tujuh belas tahun memelihara lalu memberi Pek-to- jong dalam rangka rencananya untuk membunuh Hun-tiong Sin-mo ternyata gagal. Hun-tiong Sin-mo tak terduga- duga telah melepaskan anak itu. Juga hukuman mati yang dijatuhkan Ni jin-hiong ternyata tak membuat pemuda itu mati. Bahkan sebaliknya kini anak itu malah bertambah hebat lwekangnya. Benar-benar Ma Hong-ing tak dapat membayangkan.

“Budak, ternyata umurmu masih panjang!” seru Ni Jin-hiong.

Thian-leng tak menggubrisnya. Ia melangkah maju selangkah ke hadapan Ma Hong-ing, serunya: “Tak tahu aku siapa sebenarnya kau ini? Tetapi biarlah kupanggilmu untuk yang terakhir kalinya dengan sebutan ‘mamah’ …”

Ma Hong-ing menyurut mundur, mukanya merah. “Toh kau sudah tahu bahwa aku bukan ibumu …”

“Lalu siapakah kau ini? Mengapa kau memelihara aku sejak kecil tetapi kemudian menipu aku dengan pura-pura mati? Siapakah ayah-bundaku yang sesungguhnya? Hendak kau apakan diriku …?”

“Aku … aku tak dapat memberitahukan padamu!” Ma Hong-ing melengking, kemudian berseru: “Ni Jin-hiong, mengapa tak lekas-lekas membunuhnya?”

Ni Jin-hiong tertawa hambar: “Mudah sekali untuk membunuhnya, tetapi rupanya dia mempunyai hubungan dengan kedua kongcu. Biarlah kita membikin terang hal ini dulu …” – tiba-tiba ia berhenti berkata lalu gunakan ilmu menyusup suara Coan-im-jip-bi kepada Ma Hong-ing: “Aku mempunyai kecurigaan. Sebelum kau tiba di lembah Hong-lim-koh, budak itu sudah berjumpa dengan Sip U-jong. Buktinya, ada tanda-tanda bahwa dia makan pil Kong- yang-sin-tan dari Sip U-jong. Kemungkinan peta Telaga Zamrud itupun sudah diberikan kepadanya. Paling tidak, dia tentu mengetahui di mana beradanya peta itu …”

Tersirap darah Ma Hong-ing. Sekonyong-konyong ia hendak mencengkeram dada Thian-leng dengan jurus Ngo-hian- ki-poh (lima busur meluncur). Jurus ini merupakan jurus yang paling ganas dalam ilmu jari Hian-im-ci.

Thian-leng rasakan tubuhnya terlanda hawa dingin. Buru-buru ia balas memukul. Terdengar suara letupan dan keduanya sama mundur selangkah.

Ilmu Hian-im-ci bukan saja dapat meleburkan segala macam benda, pun dapat menghapus serangan tanaga lawan. Tetapi ternyata Thian-leng mampu menembus. Tujuh bagian tenaga pukulan Lui-hwe-ciang terhapus, tiga bagian masih dapat mengenai tubuh Ma Hong-ing Hanya tiga bagian tenaga, tetapi cukup membuat darah wanita itu bergolak-golak dan tubuhnya terhuyung-huyung mau rubuh. Pun Than-leng juga menderita serupa, wajahnya pucat lesi!

Kedua taci-beradik Ki terlongong-longong, Berbagai perasaan mencengkam hati mereka: kaget, sangsi, cemas, gelisah. Mereka tak menduga bahwa Ma Hong-ing dan Thian-leng ternyata pernah menjadi ibu dan anak.

Di lain pihak Ma Hong-ing memberi lirikan kepada Ni Jin-hiong supaya menyerang lagi. Kemudian ia sendiri segera mulai bergerak. Tetapi ketika hendak mengangkat tangan, ternyata lemah tak bertenaga.

“Jangan kuatir, silahkan menanyainya!” Ni Jin-hiong tak mau menyerang melainkan tertawa.

Thian-leng tak kenal siapa Ni Jin-hiong, pun karena pingsan ia tak tahu kalau orang she Ni itulah yang memberi pukulan maut ketika di lembah Hong-lim-koh. Sampai di mana kepandaian Ni Jin-hiong, juga tak diketahuinya. Yang penting bagi Thian-leng saat itu, ialah hendak mengorek keterangan dari Ma Hong-ing, siapakah sebenarnya ayah- bundanya itu.

“Mengingat budimu memelihara aku selama 17 tahun, sekalipun jelas kau bukan ibuku dan pernah menipu aku mengantar kematian kepada Hun-tiong Sin-mo, akupun tak mau membunuhmu!” seru Thian-leng.

“Huh, masakan kau mampu!” bentak Ma Hong-ing.

“Lekas beritahukan, siapakah ayah-bundaku? Apakah sudah kau bunuh?” “Ngaco! Kau tak punya orang tua! Kuketemukan kau di tengah hutan …”

“Jangan bohong! Jika kau tetap menolak, terpaksa kuhapus budimu selama 17 tahun itu,” teriak Thian-leng marah. “Perlu apa kau memelihara aku sampai 17 tahun? Mengapa tak kau bunuh saja? Perlu apa kau menipu aku mengantar kematian kepada Hun-tiong Sin-mo? Kau mempunyai permusuhan apa dengan Hun-tiong Sin-mo?”

Hujan pertanyaan itu membuat Ma Hong-ing tergugu tak dapat berkata. Hatinya gelisah menampung berbagai perasaan.

Thian-leng perlahan-lahan ajukan langkah serta siapkan tinjunya. Tiba-tiba Ni Jin-hiong maju: “Bolehkah aku bicara sepatah kata?”

“Siapa kau?” Thian-leng berpaling.

“Aku kepala pengawal Sin-bu-kiong, Ci-chiu-hoan-thian Ni Jin-hiong!” “Besar juga namamu! Apakah yang akan kau katakan?”

“Jika kau mau menjawab beberapa pertanyaanku, kutanggung ‘ibumu’ itu tentu akan menerangkan asal-usul dirimu dan orang tuamu …”

“Ngaco! Aku tak dapat mengatakan hal itu!” tiba-tiba Ma Hong-ing melengking.

Ni Jin-hiong memandangnya tajam, lalu berkata pula kepada Thian-leng: “Kau telah menelan pil Kong-yang-sin-tan dari Sip U-jong, tentulah kau mendapat lain hadiah lagi darinya!”

“Hadiah apa?” Thian-leng tertegun. “Peta Telaga Zamrud!”

“Telaga Zamrud …? Tidak tahu!”

Ni Jin-hiong tertawa sinis: “Penderitaan batin yang paling menyiksa, ialah apabila kita tak tahu asal-usul diri kita. Jika kau mau mengorbankan peta itu segera kau akan jelas akan asal-usul dirimu. Bukankah itu lebih berharga bagimu?”

Diam-diam Thian-leng menimang. Ia tak percaya orang akan menetapi janji. Baiklah ia gunakan siasat untuk melawan siasat.

“Memang benar Sip-locianpwe itu pernah mengatakan hendak memberi aku sebuah peta,” katanya, “tetapi …”

“Tetapi bagaimana?” teriak Ni Jin-hiong dengan tegang. Juga Ma Hong-ing tak kurang kagetnya. “Tetapi beliau belum memberikan padaku dan hanya suruh aku mengambil ke sebuah tempat!”

“Di mana?” Ni Jin-hiong makin bernapsu.

“Untuk sementara tak leluasa kukatakan. Asal kalian lebih dulu mengatakan asal-usul diriku, segera akan kubawa kalian ke sana. Tempat itu tak jauh dari sini!”

“Hm, masakan kau mampu lolos dari tanganku,” gerutu Ni Jin-hiong. Kemudian berpaling kepada Ma Hong-ing: “Kasih tahu padanya!”

Ma Hong-ing gugup, serunya: “Tidak, aku tak dapat mengatakan. Aku tak tahu apa-apa ”

Thian-leng sedih-sedih gusar. Maju selangkah segera ia mencengkeram leher baju Ma Hong-ing. Saat itu Ma Hong-ing sedang limbung pikirannya. Ia diam saja ketika dicengkeram Thian-leng. 

Ni Jin-hiong terkejut dan hendak turun tangan. Tetapi ketika dilihatnya Thian-leng tak melakukan pemukulan, iapun tak jadi menyerang juga.

“Kau bilang atau tidak?” teriak Thian-leng. “Bilang apa?” Ma Hong-ing tergugu. “Siapakah ayah-bundaku?”

Ma Hong-ing tergetar hatinya. Ia deliki mata membentak murka: “Ayah-bundamu ialah musuh besarku! Aku hendak mencincang tubuh mereka …!”

Rasa dendam kemarahan yang menumpah dari sanubari Te-it Ong-hui itu telah memancarkan lwekang-nya keluar. Lwekang Im-han-keng yang bersifat dingin meluncur keluar dari lubang jalan darahnya.

Sama sekali Thian-leng tak menduga akan menderita serangan semacam itu. Seketika ia rasakan tangan kirinya yang mencengkeram leher baju Ma Hong-ing sakit sekali seperti dipatah-patahkan tulangnya.

Ia lepaskan cengkeramannya dan mundur tiga langkah …

“Perempuan siluman, apakah kau benar menyuruh aku membunuhmu?” teriaknya seraya mengangkat tinju kanannya.

Ma Hong-ing kertek gigi: “Sia-sia jerih-payahku selama 17 tahun. Sekarang lebih baik kulenyapkan saja!” Sepasang tangannya dikencangkan. Ia hendak gunakan ilmu pukulan Hian-im-ciang untuk menghancurkan Thian- leng.

“Kurang toleransi akan menggagalkan rencana besar! Janganlah adik Ing…” tiba-tiba Ni Jin-hiong menghadang di tengah dan gunakan ilmu menyusup suara kepada Ma Hong-ing. Setelah itu ia berpaling ke arah Thian-leng: “Telah kujanjikan padamu, harapanmu tentu terlaksana. Apalagi berkumpul selama 17 tahun itu, walaupun bukan ibu dan anak tetapi seharusnya juga mempunyai ikatan rasa. Perlu apa harus saling bunuh-membunuh?”

Thian-leng menghela napas, serunya pula: “Di manakah ayah-bundaku? Apakah sudah kau bunuh?”

Ma Hong-ing tertawa mengekeh: “Sudah 17 tahun lamanya orang tuamu tak ada beritanya. Akupun juga mencari mereka kemana-mana untuk membalaskan sakit hatiku!”

“Kau mempunyai dendam permusuhan apa dengan Hun-tiong Sin-mo?” tanya Thian-leng. “Dia juga musuhku besar!” sahut Ma Hong-ing.

Hati Thian-leng resah tak keruan. Berbagai pertanyaan memenuhi hatinya. Tetapi saat itu tak tahu ia bagaimana harus bertindak untuk mencari keterangan tentang asal-usul dirinya.

“Siapakah namamu yang sesungguhnya?” tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan pula. Sejenak Ma Hong-ing tertegun lalu menyahut: “Ma Hong-ing!”

“Ma Hong-ing …?” Thian-leng mengulang: “Siapakah suamimu?” “Nyo Sam-koan!”

“Eh, bukankah dahulu kau mengatakan namamu Liok Boh-bwe dan suamimu Kang Siang-liong yang telah mati dibunuh Hun-tiong Sin-mo pada 17 tahun yang lalu?”

Ma Hong-ing tertawa nyaring: “Sudah tentu nama itu palsu. Untuk mengelabui musuhku terpaksa kupakai nama palsu

…”

“Suamiku juga belum mati tetapi hilang 17 tahun yang lalu!” tiba-tiba Ma Hong-ing menggeram dengan nada penuh kemurkaan.

Thian-leng makin tenggelam ke dalam lembah kebingungan. Serentak ia teringat akan wanita yang menolongnya di tepi sungai Hong-ho dan kemudian memberinya sebatang pedang, Wanita itu menamakan dirinya sebagai Toan-jong- jin. Agaknya wanita itulah yang mengetahui asal-usul dirinya. Bukankah wanita itu pernah mengatakan bahwa dirinya (Thian-leng) memang seperti orang yang dicurigai, tetapi seharusnya dia (Thian-leng) beribu orang she Ma dan berayah orang she Nyo! Toan-jong-jin yakin bahwa Thian-leng itu adalah putera kandung dari orang she Ma dan orang she Nyo. Dan kini wanita yang merawatnya selama 17 tahun itu juga mengaku sebagai orang she Ma dan mengatakan suaminya orang she Nyo. Ah …

Tetapi … tiba-tiba Thian-leng tersentak. Apakah tidak mungkin Ma Hong-ing itu memang sengaja memakai nama ibu Thian-leng yang sesungguhnya. Karena sukar menerangkan, maka wanita itu selanjutnya terus memakai nama itu sekali. Benak Thian-leng serasa berdenyut-denyut pusing …

“Siapakah nama dan she dari orang tuaku itu?” bentaknya pula.

Ma Hong-ing tergetar dan terhuyung-huyung. “Tak dapat kukatakan, aku …”

Wut, kembali Thian-leng menyambar leher baju wanita itu. Tetapi kali ini Ma Hong-ing sudah berjaga. Secepat kilat ia menyambar siku kiri Thian-leng yang merasakan separoh tubuhnya kesemutan dan serempak jatuhlah ia dalam kekuasaan Ma Hong-ing!

Tetapi Ma Hong-ing salah duga, Thian-leng yang dicekalnya saat ini bukanlah Thian-leng yang dirawatnya selama 17 tahun yang lalu. Lwekang-nya Lui-hwat-ciang sudah mencapai tingkat yang hampir dapat dikuasai semau hatinya. Pada saat Ma Hong-ing mencengkeram, pada saat itu pula Lui-hwe-sin-kang menyalur ke lengan. Ma Hong-ing tersentak mundur tiga langkah!

Kang Thian-leng hendak memburu, tiba-tiba kedua nona Ki meneriaki: “Kang-siangkong, hati-hatilah!”

Thian-leng merasa belakang tubuhnya tersambar angin. Buru-buru ia berputar dan menghantam. Itulah Ni Jin-hiong yang menyerang. Karena melihat Ma Hong-ing tak dapat menguasai ketenangan pikiran, terpaksa Ni Jin-hiong turun tangan. Ia hendak meringkus Thian-leng dulu baru diperiksa lagi.

Ia yakin sekali bergerak tentu mampu menjatuhkan si anak muda. Tak terduga kedua taci-beradik Ki berseru memberi peringatan pada Thian-leng sehingga pemuda itu cepat menyambut. Des … terdengar suara benturan yang aneh, macam api tersiram minyak.

Thian-leng kaget, Ni Jin-hiong pucat. Masing-masing terkejut atas kesaktian lawan. Tetapi secepat itu Thian-leng sudah mengirim pukulan pula: “Aku tak kenal padamu, harap jangan campur tangan!”

Kini Ni Jin-hiong tak berani memandang rendah. Ia kerahkan delapan bagian tenaga dalam menyongsong sebuah pukulan.

Ces, Ces, ces … Thian-leng terhuyung mundur tiga langkah. Ternyata ilmu Lui-hwe-ciang itu berlawanan dengan ilmu Hian-im-ciang Ni Jin-hiong. Yang satu bersifat keras, yang satu lunak. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri. Ketika beradu, maka keduanyapun sama-sama terhapus.

Hanya karena belum mampu menguasai , maka darah Thian-leng bergolak dan tubuhnya terhuyung. Meskipun Ni Jin- hiong juga bergolak darahnya tetapi ia tetap dapat berdiri tegak.

“Budak, lekas katakan di mana peta itu? Kalau berkeras kepala, jiwamu tentu hilang!” serunya.

Thian-leng mendengus tertawa dingin. Sebagai jawaban ia mencabut sebatang pedang pendek. Seketika ruangan terpancar oleh sinar kemilau. Ma Hong-ing terkejut, demikian Ni Jin-hiong.

“Rupanya kau memang tak dapat diberi hidup!” masih Ni Jin-hiong berlaku setenang mungkin.

Thian-leng menyahut dengan tusukan ke dadanya. Bukannya mundur sebaliknya Ni Jin-hiong malah menyongsong maju hendak merebut. Ia yakin sekali gerak, pedang lawan tentu kena dirampas. Tetapi alangkah kejutnya ketika pedang Thian-leng menyambar-nyambar seperti petir memecah angkasa. Sedemikian aneh dan dahsyat sehingga Ni Jin-hiong ketakutan dan loncat mundur.

Ternyata yang dilancarkan Thian-leng itu ialah jurus Hong-ki-hun-yong (angin meniup awan bertebar), salah sebuah jurus dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam ajaran Toan-jong-jin, si wanita misterius.

Thian-leng tak mau memberi hati. Dengan jurus kedua yang disebut Nok-hay-keng-liong atau Laut bergolak mengejutkan naga, ia mengejar. Ni Jin-hiong makin gentar. Kepalanya serasa diselubungi deru sinar pedang sedahsyat ombak mendampar. Betapa sakti dan luas pengalamannya namun kali ini benar-benar ia tercengang kaget. Belum pernah ia menyaksikan permainan pedang yang sedemikian aneh dan dahsyatnya. Kembali ia loncat mundur.

Thian-leng terus memburunya dengan jurus ketiga Liu-hun-cek-thian atau Awan menebar menutup langit!

Ni Jin-hiong benar-benar tak berdaya. Saat itu ia sudah terpojok di sudut ruang, tak dapat loncat mundur lagi, untuk menangkis, ia jeri. Karena permainan pedang si anak muda itu selain aneh sekali juga sambarannya kuat. Di dalam kebingungan akhirnja ia menempuh jalan nekad. Wut, seketika ia lontjat melambung dua tombak tingginya dan lekatkan tubuhnya pada tiang penglari. Bret … mantelnya kena terbabat robek. Untung tak sampai melukai tubuh!

Murka sekali kepala pengawal istana Sin-bu-kiong itu. Sejak keluar dari perguruan, belum pernah ia mengalami hinaan semacam itu. Apalagi dari seorang anak muda yang tak ternama. Namun ia sabarkan hati menunggu sampai si anak muda sudah menyelesaikan jurus permainannya.

Sesaat kemudian Thian-leng berhenti. Tiga jurus permainan pedang Toh-beng-kiam telah habis dimainkan. Tetapi tak berhasil mengenai karena musuh melekat pada tiang penglari. Ia tercengang heran.

Sekonyong-konyong Ni Jin-hiong menggerung keras dan meluncur turun sambil menghantam. Gerakannya cepat dan dahsyat macam burung garuda menukik dari udara. Thian-leng menyongsong dengan pukulan Lui-hwe-ciang. Tetapi saat itu ia rasakan punggungnya disambar angin. Itulah Ma Hong-ing yang melakukan. 

“Awas belakang …” baru kedua taci-beradik Ki berseru, mereka terputus oleh gempuran angin.

Marah sekali Thian-leng akan tindakan ganas dan licik dari Ma Hong-ing. Ia insyaf betapa gawat situasi yang dihadapinya saat itu. Kalau pecah tenaga menghadapi kedua lawan itu, terang ia bakal celaka. Ia nekad. Lebih baik hancur bersama-sama. Maka tanpa menghiraukan ancaman Ma Hong-ing, ia segera kerahkan lwekang-nya untuk menyongsong Ni Jin-hiong, dess … sepercik asap menghambur dari benturan kedua tenaga.

Ni Jin-hiong mencelat ke belakang sampai lima langkah, dadanya berombak dan kedua bahunya bergemetaran. Jelas ia menderita luka dalam yang parah!

Tetapi Thian-leng pun tak kurang menderitanya. Ia terhuyung-huyung sampai beberapa langkah. Darahnya bergolak. Buru-buru ia telan ludah ketika merasa darahnya hendak menyembur dari mulut. Wajahnya pucat, dadanya sesak sekali. Tetapi ada suatu keanehan. Ialah tutukan jari Ma Hong-ing tadi, entah apa sebabnya, tahu-tahu lenyap!

Serentak Thian-leng berputar diri untuk mencari tahu mengapa hal itu bisa terjadi. Tetapi apa yang dilihatnya hanya membuatnya terbelalak kaget sekali. Ya, Ki Seng-wan ngelumpruk jatuh di tanah, wajahnja pucat seperti kertas dan mulutnya mengucurkan darah. Jelas dara itu menderita luka parah.

Memang dara itu tak henti-hentinya memberi pengorbanan. Pertama, ia menyerahkan kesuciannya demi mengobati luka Thian-leng. Dan kini ia loncat menyambuti serangan ganas dari Ma Hong-ing yang diarahkan kepada Thian-leng


Ki Gwat-wan buru-buru menolong adiknya. Ia tekan jalan darah gi-hay-hiat Ki Seng-wan dan salurkan lwekang-nya untuk mengobati.

Tiba-tiba Ma Hong-ing melengking marah: “Budak hina, kau berani …” ucapannya itu diteruskan dengan sebuah hantaman Hian-im-ciang yang ganas. Kedua gadis anak-angkatnya itu hendak dibunuhnya!

Dess … tiba-tiba Thian-leng sadar apa yang telah terjadi. Tanpa ayal segera ia lontarkan pukulan kepada Ma Hong- ing. Ma Hong-ing tersurut mundur tiga langkah …

Jelas bahwa sekarang tenaga Thian-leng sudah berimbang dengan Ni Jin-hiong maupun Ma Hong-ng. Hanya karena tadi ia sudah menderita luka dalam, maka habis memukul ia tak dapat menahan darahnya yang menyembur keluar dari mulut. Tubuhnyapun terhuyung-huyung hendak jatuh!

Ma Hong-ing juga terhuyung-huyung. Darahnya bergolak hebat. Buru-buru ia menyalurkan napasnya. Namun karena melihat Thian-leng juga sempoyongan, cepat ia berseru memerintahkan Ni Jin-hiong supaya turun tangan.

Tetapi kepala penjaga Sin-bu-kiong saat itupun sedang menjalanan peredaran darah. Setelah agak baik, barulah ia tertawa gelak-gelak: “Masakan dia mampu lolos lagi?”

Lima jari yang direntang kencang macam cakar burung garuda, segera diulurkan untuk mencengkeram Thian-leng. Thian-leng masih berusaha untuk menyabet dengan pedangnya. Namun karena tenaganya sudah lemah sekali, gerakan tangan Ni jin-hiong dapat lolos dari tebasan lalu nyelonong mencengkeram bahu Thian-leng yang kiri.

Maksudnya bukan hendak membunuh anak muda itu, melainkan hendak menangkapnya karena perlu menanyai keterangan tentang peta Telaga Zamrud.

Thian-leng tak mampu berbuat apa-apa, tenaganya sudah habis. Tiba-tiba pada saat bahunya tercengkeram tangan Ni Jin-hiong, kepala pengawal Sin-bu-kiong itu menjerit kaget dan loncat mundur. Ia memeriksa mantel yang menggelantung di punggung. Astaga … sebatang passer kecil yang runcing menancap di mantelnya. Tangkai passer itu berukir lukisan seekor burung cendrawasih yang berkilau-kilauan indah sekali!

Ni Jin-hiong terkesima, tetapi secepat itu segera ia berseru kepada Ma Hong-ing dengan ilmu menyusup suara: “Celaka, orang Thiat-hiat-bun …”

Ma Hong-ing pun telah mendapat firasat. Cepat ia menukas dengan ilmu menyusup suara Coan-im-jip-bi: “Bukankah kau mengatakan …”

“Tak ada tempo untuk menerangkan, urusan ini memang di luar dugaan …” Ni Jin-hiong mendesak, mengajak sang kekasih melarikan diri. Te-it Ong-hui terkejut. Melirik pada sebuah jendela yang terbuka, segera ia enjot tubuhnya melayang keluar. Keempat bujangnya segera mengikuti, Ni Jin-hiong menyusul di belakang. Dalam sekejap mata, kelima orang dari Sin-bu-kiong itu sudah lenyap.

Thian-leng mengawasi kesemua itu dengan terkesima. Tak tahu ia mengapa mendadak mereka melarikan diri. Pada hal saat itu ia sudah tak berdaya. Teringat pada pembicaraan dengan Ma Hong-ing tadi, hatinya makin resah. Siapa dirinya dan siapa orang tuanya, tetap masih gelap. 

“Mereka … telah pergi!” sekonyong-konyong Ki Gwat-wan berkata.

Thian-leng terkesiap, sahutnya: “Benar, telah pergi …” – Sesaat teringat ia akan keadaan Ki Seng-wan yang terluka tadi, buru-buru ia bertanya: “Bagaimana dengan luka adikmu?”

Ki Gwat-wan menghela napas: “Ia terluka dalam dan tulang-tulangnya telah tersusup hawa Im-han, mungkin … sukar tertolong!”

“Sukar ditolong? … Akulah yang mencelakainya, aku harus …!” Thiat-leng menggeram. Ia tahu Ki Seng-wan telah menolong jiwanya dengan menyambuti pukulan Te-it Ong-hui Ma Hong-ing, tetapi ia tak tahu bahwa nona itupun telah mengorbankan kehormatannya dalam pengobatan Hian-im-kiu-coan.

“Tetapi kau … kau juga terluka …!” kata Ki Gwat-wan.

“Lukaku tak berapa berat, tetapi adikmu …” wajah Thian-leng mengerut. Tak tahu ia mengapa Ki Seng-wan rela menolongnya. Bukankah kedua nona itu selalu mengejar dan bersikap memusuhinya? Bukankah mereka puteri Song- bun Kui-mo dari Sin-bu-kiong, durjana yang hendak ditumpasnya? Ah, budi dan dendam harus dipisahkan. Yang penting sekarang ini ia harus berdaya untuk membalas budi si nona yang telah menolong jiwanya.

“Mengapa mereka mendadak lari?” tiba-tiba Ki Gwat-wan bertanya pula.

“Ya, aku sendiripun tak tahu …!” jawab si anak muda, “tetapi bukankah nona berdua ini puteri dari Sin-bu-kiong? Mengapa bentrok dengan mereka?”

Ki Gwat-wan menghela napas, memandangnya lekat-lekat: “Apa lagi kalau bukan karena kau? Ah … jika adikku ini sampai meninggal, bagaimana … bagaimana pertanggungan jawabku kepada arwah ibu di alam baka?”

Air mata Ki Gwat-wan berderai turun. Thian-leng tergerak hatinya. Tiba-tiba ia bertanya: “Tahukah nona siapa Ma Hong-ing itu …”

“Ia adalah Te-it Ong-hui (isteri pertama) dari Hu-ong (ayah). Kecuali itu, kita tak tahu apa-apa lagi tentang dirinya … Eh, tetapi pembicaraanmu dengannya tadi juga mengherankan!” baru Ki Gwat-wan berkata begitu, ia dikejutkan oleh tindakan Thian-leng yang tiba-tiba mengangkat tubuh Ki Seng-wan. “Hai … mengapa kau?”

“Dia menolong aku dan akupun hendak berdaya menolongnya!”

Ki Gwat-wan tertawa getir: “Maksudmu mulia, tetapi dia sudah tak dapat ditolong lagi!” “Kudengar di gunung Thay-gak terdapat seorang tabib sakti …”

“Thay-gak-sian-ong …?”

“Ya, aku hendak mencari tabib itu …”

“Ah …” Ki Gwat-wan menghela napas, “dia tak mau sembarangan menolong orang. Malah kabarnya dia sudah pindah ke lain tempat. Apalagi hawa Im-han sudah menyusup ke dalam tulang Seng-wan, paling lama dalam tiga jam lagi darahnya tentu sudah beku. Sekalipun kau berhasil mendapatkan Thay-gak-sian-ong pun sudah terlambat!”

Sekonyong-konyong di luar kuil terdengar suara orang tertawa mengekeh. Thian-leng dan si nona terbeliak. Seorang dara berbaju kuning tampak muncul di ambang pintu. Di belakang bahunya tersembul sebatang pedang pusaka.

Kemunculan seorang dara di tengah malam dalam sebuah kuil tua, sungguh mengherankan sekali. Thian-leng duga dara itu tentu seorang dara persilatan.

Sejenak mengejapkan matanya yang bagus, dara itu menggerutu: “Eh, mana ada pertempuran berdarah di sini. Kedua momok itu sungguh menggelikan …” – Tiba-tiba ia menegur: “Hai, siapakah kalian ini?”

Thian-leng tak mau buang tempo. Ia harus lekas-lekas membawa Ki Seng-wan. Maka acuh tak acuh ia mengatakan bahwa iapun hanya singgah sebentar di kuil itu. Habis berkata terus memanggul Ki Seng-wan keluar kuil.

Dara baju kuning itu kerutkan alis, mendamprat: “Kau benar-benar seorang manusia yang tak tahu budi, tadi jika bukan …”

“Karena ada urusan penting, maaf, aku tak dapat melayani nona!” tukas Thian-leng. “Nyalimu besar sekali …” si dara loncat menghadang.

Thian-leng terkejut. Sungguh tak terduga dara yang masih semuda itu ternyata memiliki gerakan yang sedemikian hebatnya. Namun Thian-leng tak puas dengan tindakan si dara.

“Aku tak kenal padamu, mengapa nona menghadang?” serunya.

Dara itu tertegun. Ia tak dapat menjawab melainkan menatap Thian-leng dengan kemerah-merahan malu. “Kalau nona tak mempunyai urusan apa-apa, maaf aku hendak meneruskan perjalanan!” kata Thian-leng pula seraya terus melangkah pergi.

Dara itu malu dan marah. Sekali melesat ia mencegat lagi: “Berhenti!”

Ki Gwat-wan yang mengikuti di belakang Thian-leng terpaksa tampil ke muka: “Siapakah adik ini? Mengapa …” “Siapa yang kau panggil sebagai adikmu itu? Aku tak kenal padamu …!” bentak dara itu.

Ki Gwat-wan menyeringai malu: “Aku bermaksud baik …”

Dara itu deliki mata: “Aku tak bicara padamu, perlu apa kau banyak mulut!”

Melihat sikap si dara yang begitu ketus, marah juga Ki Gwat-wan: “Jangan keliwat menghina orang …”

“Kalau aku menghina, kau mau apa …?” bentak si dara. Ia kedipkan mata lalu menantangnya, “bukan hanya menghina saja, pun akan kupukul engkau juga …”

Dara itu serempakkan ucapannya dengan mengayun tangan ke pipi Ki Gwat-wan. Plak … karena tak mengira orang akan berbuat segarang itu, Ki Gwat-wan tak bersiap. Pipinya kena tertampar dan tubuhnya terhuung-huyung beberapa langkah ke belakang.

Rupanya dara itu masih belum puas. Ia memburu maju dan hendak menampar lagi. Melihat itu Thian-leng segera letakkan Ki Seng-wan di tanah lalu loncat menghadang si dara: “Jangan terlalu galak!”

“Kalau ia tidak terima, boleh coba-coba dengan aku!” si dara deliki mata kepada Ki Gwat-wan.

Sebenarnya Ki Gwat-wan sudah hendak menerjang tetapi karena dihadang Thian-leng, terpaksa ia berhenti.

Thian-leng menghela napas: “Tiada dendam tiada permusuhan, perlu apa harus berkelahi? Anggap aku bersalah dan harap nona suka maafkan!”

Adalah karena perlu menolong Ki Seng-wan maka Thian-leng berlaku luar biasa sabarnya. Ia memberi hormat lalu hendak memanggul Ki Seng-wan lagi.

Karena mendapat muka terang, nada dara itu berobah lunak: “Ini baru ucapan orang terhormat. Eh, siapakah namamu?”

Thian-leng kerutkan alis, sahutnya: “Aku bernama … Bu-beng-jin!”

“Bu-beng-jin …?” dara itu cebikan bibir, katanya dengan ewah: “Anjing dan kucingpun mempunyai nama, mengapa kau tak punya nama!”

“Sayang, kau bukan seorang lelaki!” bentak Thian-leng dengan kesal. “Kalau lelaki lalu bagaimana?” dengus si dara.

“Kalau lelaki, tentu sudah kutampar mulutmu!”

Dara baju kuning kerutkan kening, mengejek: “Coba lihat saja siapa yang akan ditampar mulutnya!”

Plak … tiba-tiba dara itu sudah menampar pipi Thian-leng. Gerakan dara itu luar biasa aneh dan cepatnya. Sekalipun andaikata Thian-leng sudah mengetahui, juga sukar rasanya untuk menghindar.

Thian-leng tertegun. Tinju dikepal siap hendak diayunkan. Tetapi ia masih menahan kemarahannya sekuat mungkin. Sejenak menatap wajah si dara, segera ia berputar tubuh dan mengangkat Ki Seng-wan. “Mari kita berangkat!” ajaknya kepada Ki Gwat-wan.

Ki Gwat-wan mengiyakan. Tanpa mengacuhkan si dara lagi, ia segera mengikuti langkah Thian-leng. Tetapi belum berapa langkah, terdengar si dara baju kuning melengking: “Bu-beng-jin, kau berani menghina aku … aku hendak mengadu jiwa padamu!”

Thian-leng serahkan Ki Seng-wan pada Ki Gwat-wan: “Tolong pondongkan sebentar, aku hendak menghajar budak liar itu …”

Si dara melesat ke depan mereka, malah sudah mencabut pedang.

“Nona sudah cukup puas memaki dan memukul, mengapa masih menuduh aku menghinamu? jangan terlalu bicara seenakmu saja! Ketahuilah bahwa aku …”

“Mau marah? Hm, jika bukan aku, kau tentu sudah mati!” lengking si dara.

“Kalau begitu kuhaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu …” tiba-tiba dengan nada bengis Thian-leng membentak: “Lalu apakah maksud nona?” “Kau pakai senjata apa?” teriak si dara. “Apakah nona tetap hendak …”

“Kau yang mati atau aku yang mati!”

“Aku tak punya dendam suatu apa …” “Lekas cabut senjatamu!” bentak dara itu.

Karena didesak terus akhirnya Thian-leng mencabut pedang pendek, ujarnya: “Karena nona terus mendesak, baiklah kita main-main barang tiga jurus.”

“Bagaimana kalau kau kalah?” “Aku rela menyatakan kalah …” “Tidak!” si dara menolak.

“Lalu apa kemauanmu?” tanya Thian-leng. “Menyerah dan terima hukuman mati …!”

***

Siapakah dara aneh itu? (Bersambung jilid 4)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar