Panji Tengkorak Darah Jilid 02

Jilid 2

“Kau tahu riwayatku?” Cu Siau-bun tertawa dingin.

“Telah kuduga semula, sekarang hanya untuk membuktikan saja!” sahut si wanita berkerudung.

Cu Siau-bun tertegun sesaat, kembali ia tertawa dingin,”Hun-tiong-sin-mo masih tidak mati, ‘puteramu’pun tak binasa! Hm, sia-sia saja jerih payahmu! Apakah maksudmu yang sebenarnya?”

“Aku hanya lengah sedikit, tak mengira kalau Hun-tiong-sin-mo masih mempunyai pil Tay-hoan-tan. kalau tidak, saat ini dia tentu sudah mampus!” sahut si wanita.

“Bagaimana kau tahu. ?” Cu Siau-bun terbeliak.

Wanita berkerudung itu tertawa hambar, “Sudah tentu tahu. Tiada yang tahu lebih jelas asal-usul Hun-tiong-sin-mo kecuali aku. Dari mana pil Tay-hoan-tan itupun aku juga tahu. Hm, aku lupa bahwa pil itulah satu-satunya obat yang dpat menolak segala macam racun. ”

“Sebuah langkah kecil yang salah, menghancurkan seluruh rencanamu. ‘Puteramu’ yang kau asuh selama tujuh belas tahun itupun telah mengetahui siasatmu. Dia membenci dan hendak menbunuh. Tak mau dia mengakuimu sebagai ibu lagi!” dengus Cu Siau-bun.

“Kalau bukan gara-garamu, tentu dia masih belum tahu. kau seharusnya dilenyapkan. !’ tiba-tiba wanita

berkerudung itu menghentikan kata-katanya sejenak, lalu berkata lagi dengan bengis, “Tetapi tak nanti dia bisa lolos dari cengkeramanku. Setiap saat aku dapat membunuhnya. Hanya saja untuk sementara waktu ini aku masih belum berniat membunuhnya. Hendak kugunakan tenaganya untuk membunuh Hun-tiong-sin-mo!”

Cu Siau-bun tegakkan pedangnya, ia berseru,” Betapapun kau hendak memasang perangkap apa saja, akhirnya tetap akan gagal. Mari kita putuskan siapa yang berhak hidup malam ini!”

Wanita berkerudung tertawa menghina, “ Baiklah tetapi lebih dulu aku hendak mengetahui dengan jelas mengenai suatu hal!”

“Kau ingin mengetahui bagaimana dapat kubuka kedokmu kepada puteramu itu?”

“Bukan! Aku ingin tahu kau ini pria atau wanita?” seru wanita berkerudung. Pertanyaannya itu dibarengi dengan loncatan ke muka.

Cu Siau-bun kibatkan pedangnya dalam jurus Hun-hay-thun-gwat atau Awan laut menelan bulan, untuk menghalangi serangan orang. Tetapi wanita itu luar biasa cepatnya. Ia menerobos ke dalam lingkaran sinar pedang dan menjambret kain ikat kepala Cu Siau-bun. Seuntai rambut hitam legam berhamburan menjurai ke atas bahu Cu Siau- bun. Wahai. kiranya dia seorang nona!

Wanita berkerudung mengerang kaget dan menyurut mundur, “Kau ...memang..... benar ”

Sebelum dapat melanjutkan kata-katanya, Cu Siau-bun sudah menghantamnya. ia menyalurkan kemarahannya ke arah telapak tangan, sehingga berobah merah warnanya.

Namun wanita itu menggelengkan kepala, “Kau bukan tandinganku. Jika mau membunuhmu, itulah semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi , aku.... tak dapat membunuhmu. !”

Nada suara wanita itu berobah rawan, sehingga Cu Siau-bun terkesiap. Pukulannya berhenti setengah jalan! Mengapa wanita itu mengucapkan kata-kata begitu?”

Sekonyong-konyongwanita itu tutukkan sebuah jarinya ke arah sebuah batu besar. Tampaknya batu besar itu tak retak atau berlubang. Tetapi ketika sesudah menutuk itu ia mengebutkan lengan bajunya, maka berhamburanlah batu itu menjadi debu yang beterbangan ke empat penjuru.....

Cu Siau-bun tercengang melihatnya. Itulah ilmu tutukan Hian-im-ci ( Jari hawa negatip) yang telah mencapai tingkat kesempurnaan! Apa yang diucapkan wanita itu memang bukan obrolan kosong. Jika mau, wanita itu mudah sekali membunuhnya, tetapi mengapa tidak mau? Ya, mengapa?

Berbagai kenangan melintas dalam benak Cu Siau-bun, tetapi kesemuanya itu tak ada yang merupakan jawaban dari pertanyaannya. Untuk pertama kali, baru saat inilah Cu Siau-bun merasa seperti orang dungu yang tak mengerti apa- apa!

Namun perangainya yang keras dan suka membawa kemauannya sendiri menuruhnya berlaku garang, “Perempuan siluman, betapa licinpun dirimu tetap akan kubeset kulit rasemu. Akan kuselidiki sampai jelas baru nanti kuhancurkan tubuhmu untuk membalas hinaan yang kuterima malam ini!”

“Tak mungkin kau dapat menyelidiki. Kau tak tahu siapa diriku dan kelak kitapun takkan berjumpa lagi!” sahut wanita itu.

“Hm, kau terlalu memandang rendah padaku, “ Cu Siau-bun tertawa mengejek, “ Sekarangpun sedikit-sedikit telah kuketahui siapa dirimu ini. Bukankah kau ini Te-it-ong-hui ( permaisuri pertama ) dalam istana Sin-bu-kiong !”

Gemetarlah tubuh wanita berkerudung itu demi mendengar ucapan Cu Siau-bun, sehingga sampai mundur selangkah.

“Kau sungguh cerdik,” serunya dengan nada keras. “Tetapi kunasehatkan padamu, lebih baik jangan campur tangan dan jangan menyebut-nyebut hal itu.... ini demi untuk kebaikanmu sendiri, karena. ”

“Tidak! Aku mesti campur tangan !” bentak Cu Siau-bun, “Pertama-tama hendak kuselidiki diri ‘puteramu’ itu. Kemudian akan kubeberkan rahasia ini kepada seluruh kaum persilatan!”

Wanita berkerudung itu menghela napas, ujarnya “Ah, pintarmu keblinger! Sekali lagi kunasehati, jangan ikut campur urusan ini demi untuk kebaikanmu sendiri. Jika tidak, kau tentu akan menyesal di kemudian hari. ”

Habis berkata, wanita itu berputar diri dan melesat pergi. Gerakannya tak ubahnya seperti bayangan melintas, sekejap saja sudah menghilang…

“Hm, aku harus ikut campur tangan . Apapun yang akan terjadi aku tak akan menyesal.” Cu Siau-bun berteriak mengantar kepergian wanita itu. namun orangnya sudah lenyap dari pandangan.

Cu Siau-bun memungut kain kepalanya dan dipakainya lagi. Kemudian ia bergegas kembali ke dalam gubug. Saat itu sudah menjelang fajar. perlahan-lahan ia menghampiri pintu rumah belakang dan berseru memanggil, “Kang-heng! Kang-heng!. ”

Eh, tiada sahutan. Buru-buru ia menerobos masuk dan astaga. kamar belakang itu ternyata kosong melompong.

Yang tampak hanya seonggok rumput kering. Thian-leng sudah lenyap. Tak ada bekas-bekas perkelahian, seolah-olah seperti Thian-leng sendiri yang keluar dari kamar itu.

Cu Siau-bun melesat ke ruang tengah, juaga tak menjumpai suatu apapun, akhirnya ia menghela napas.

“Ah, kembali aku harus menerima kekalahan yang menusuk hati..... Cu Siau-bun , Cu Siau-bun bagaimanakah

keteranganmu pada ibu nanti?” keluhnya.

Sunyi senyap di lembah Pek-hun-koh. Lapat-lapat terdengar isak tangis penuh dendam kecewa....

oo0oo

Di tengah-tengah sungai Huang-ho tampak meluncur sebuah perahu. Tukang perahunya seorang lelaki brewok yang mengenakan pakaian ringkas warna biru. Ia mendayung dengan sebelah tangan, namun karena kemahirannya mendayung dan menurut aliran sungai, maka perahunya meluncur amat laju.

Juragan perahu terdapat seorang dara cantik berbaju ungu yang tengah melepaskan pandangannya ke permukaan sungai yang luas. Tiba-tiba ia berseru, “Ah, dalam sehari saja sudah mencapai lima ratusan li. Mungkin tak sampai seminggu saja kita sudah dapat mencapai lembah Tiang-ceng-koh. ” Ternyata ia bukan seorang diri, melainkan masih mempunyai seorang kawan, seorang nona berbaju hijau yang usianya lebih tua sedikit.

“Eh, mengapa kau menghela napas?” tegur nona baju hijau itu.

“Tak apa-apa. “ sahut si dara baju ungu, “Aku hanya merasa bahwa jagad kita ini sungguh luas sekali. Coba lihatlah, betapa kecil kita apabila dibandingkan dengan gunung-gunung yang menjulang ke langit dan sungai yang begini dahsyat…. “

“Budak tolol, jangan mengoceh yang tidak-tidak, “ nona baju hijau membentak dengan tertawa.

Kabut malam makin menebal. Permukaan sungai makin suram. Seorang budak perempuan muncul membawa lilin, sehingga ruang perahu itu terang. Tiba-tiba terdengar suara orang mengrang . Si nona baju hijau serentak bangkit menghampiri ke sudut ruang perahu dan menyingkap sehelai kain tenda. Seorang pemuda cakap tengah berbaring di atas tempat tidur. Dialah yang mengrang itu.

“Hm, obatnya sudah hampir hilang dayanya…..” dengus nona itu. Ia mengangkat tangan kanannya ke atas.

“Cici, kau hendak…..” si dara baju ungu terkejut mencegahnya., “Onghui pesan supaya jangan dibunuh. Kau… .. “

Nona baju hijau meliriknya dengan heran, “Siapa bilang aku hendak membunuhnya! Bukankah aku akan dimintai pertanggung jawab oleh Onghui? Uh, mengapa kau begitu tegang..?”

Dara baju ungu terkesiap. Pipinya merah. Diam-diam ia malu dalam hati. Betapapun besar nyali tacinya, tetapi mana bernai melanggar perintah Onghui.

“Benar Onghui tak memperbolehkan membunuhnya, tetapi tak melarang membuatnya cacat. hendak kuputuskan urat nadi kedua kakinya agar kepandaiannya punah, menjadi cacad seumur hidup!” tiba-tiba nona baju hijau berkata seraya mengangkat tangannya pula.

Dan lagi-lagi si dara baju ungu tersentak dan cepat menarik tangan tacinya,”Mengapa kau hendak mencelakainya? Apakah kau mempunyai permusuhan padanya ? “

Si nona baju hijau tertawa dingin, “Kau lupa atas hinaan di gunung Hun-tiong-san itu? Seumur hidup aku tak dapat melupakannya!”

“Tetapi itu perbuatan orang she Cu, tak ada sangkut pautnya dengan dengan dia!” bantah si dara. “Tetapi dialah yang menjadi gara-garanya. Masih murah kalau hanya dipotong urat kakinya saja ! “ Si dara makin gelisah dan dipeluknya tangan sang kakak kencang-kencang, ratapnya,” Cici, jangan…”

Dengus si nona baju hijau, “Kalau tiada berada-ada, masakah burung tempua terbang rendah ? Apakah kau mencintainya?”

Pipi si dara makin merah, bantahnya, “Dia memang orang yang tak kenal budi, hanya saja aku tak sampai hati. Jebloskan saja ke penjara Tiang-ceng-koh, kiranya sudah cukup menyiksanya. Perlu apa kita sendiri turun tangan.?”

“Ih, tak nyana kau berobah menjadi manusia yang begitu baik hati!” si nona baju hijau tertawa menyingkir. Tiba-tiba si pemuda mulai mengigau, “Cu-heng…. Cu-heng… “

“Ho, di sini tak ada Cu-heng atau Gu-heng, yang ada hanya kedua taci beradik Ki…..!” nona hijau menertawakan. Kemudian berkata kepada adiknya, “Rupanya pengaruh obat sudah hampir hilang. Dia memiliki ilmu pukulan Lui-hwe- ciang yang berbahaya. Bagaimana tindakan kita? APakah kita tunggu sampai dia sudah sadar baru kita ajak bertempur?”

“Terserah padamu !” sahut si dara.

Secepat kilat jari si nona baju hijau menutuk tangan dan kaki si pemuda. Pemuda itu tersadar. Begitu membuka mata, mulutnya segera berseru memanggil Cu Siau-bun, kemudian bangkit, tetapi…ah…kaki tangannya terasa kaku sekali tak dapat digerakkan. Dan sesaat itu terdengarlah suara tertawa mengikik. Kini pemuda itu yang bukan lain adalah Thian-leng, sadar apa yang dihadapinya. Tetapi ia tak gentar melainkan cemas memikirkan nasib Cu Siau-bun, sang kawan yang berwajah pucat itu.

Tiba-tiba tempat tidurnya bergoncang dan berobahlah wajah kedua kakak beradik Ki seketika. Si nona baju hijau yang ternyata bernama Ki Gwat-wan buru-buru padamkan lilin, terus ajak Ki Seng-wan keluar ke geladak, Kembali terasa goncangan hebat. Lebih mengejutkan hati kedua nona itu ialah kenyataan bahwa perahu itu tengah menuju ke pantai. Si tukang perahu tak berdaya sama sekali. Betapapun ia mendayung sekuat tenaganya, namun perahu tetap berputar menuju ke pantai.

Pucat seketika wajah kedua nona itu. Belum pernah mereka mengalami peristiwa yang mengherankan seperti itu. Tiba-tiba terdengar lengking suara kecil yang menyusup ke telingan kedua nona itu, “Turunkan anak muda she Kang itu dari perahumu, baru kalian tak kuganggu.!”

Kedua nona itu saling berpandangan, mereka sadar berhadapan dengan seorang sakti. Adalah demi menjaga gangguan dari musuh, maka Onghui memerintahkan supaya Thian-leng ‘disimpan’ dalam penjara rahasia di Tiang- ceng-pia-kiong. Siapa tahu kini di tengah perjalanan dicegat orang.

Saat itu kedua nona itupun melihat sesosok bayangan hitam tengah duduk di gerombol semak yang tumbuh di tepi pantai. Kedua tangannya dicakar-cakarkan ke atas seperti orang menarik. Adalah karena gerakan itu maka perahu macet dan menghampiri ke arahnya.

Ki Gwat-wan tertawa rawan, bisiknya kepada sang adik.”Tugas gagal, Onghui tentu memberi hukuman mati. Orang itu hendak menolong budak Kang ini, tentu tak ingin melihatnya mati. Jiwa anak muda ini berada di tangan kita.

Kecuali menggunakan siasat tekanan, kemungkinan kita bisa selamat. Kalau tidak , celakalah kita!”

Ki Seng-wan mengangguk, ia memberi isyarat mata ke pada si tukang perahu. Dengan sekuat tenaga, kakak beradik she Ki itu mendorongkan kedua tangannya ke pesisir. Dan serempak dengan itu si tukang perahu mendayung sekuatnya, Seketika perahu meluncur ke tengah sungai lagi!

Rupanya orang di tepi pesisir itu marah. Ia menggerakkan sebuah tangannya memukul ke tengai sungai. ‘Krak..’ trdengar ledakan dan perahupun pecah berantakan!

Orang berbaju hitam itu mendengus. Kembali ia mencakar-cakar dengan kedua tangannya. Seperti tersedot tenaga yang kuat, tubuh penumpang-penumpang perahu mencelat ke pesisir. Thian-leng tepat jatuh di muka si orang aneh.. Kedua nona Ki, tukang perahu dan bujang perempuan berhamburan tumpang tindih. Tubuh mereka menggigil kedinginan, tetapi aneh, tak ada yang terluka.

Orang berbaju hitam itu tetap duduk di muka semak. Tubuhnya kecil, rambut putih dan muka penuh keriput. Selintas pandang seperti seorang nenek tua. Tetapi kedua saudara Ki segera mengetahui bahwa wajah si nenek itu bukan wajah yang sebenarnya, melainkan memakai topeng.

“Silakan kalian pergi, jangan sampai aku berobah pikiran!” dengus nenek tua itu.

Setelah terengah-engah beberapa saat, barulah Ki Gwat-wan dapat berkata, “Toh serupa bakal mati, silakan lo- cianpwe membunuh kami saja!”

“Kalian sudah jemu hidup dan ingin mati?” nenek itu menjengek.

“Sekalipun tidak ingin mati, tetapi majikan kamipun tentu takkan mengampuni kami. Dicincang pisau atau disiksa sampai mati!”

“Bukalah jalan hidup, lepaskan dirimu dari cengkeraman maut. Masakan kalian tak dapat melarikan diri jauh-jauh dan hanya mandah menjadi budak seumur hidup ! “ nenek aneh itu tertawa.

Ki Gwat-wan menggelengkan kepala tertawa rawan,” Percuma, ke liang semutpun kita tentu akan tertangkap lagi olehnya!”

“Benarkah Sin-bu-kiong mempunyai pengaruh sedemikian hebatnya?” nenek tua itu terkesiap. “Masakah kami berani membohongi lo-cianpwe!” kedua nona itu berseru serempak.

Nenek itu tertawa dingin. Ia mengeluarkan sebuah benda lalu dilemparkan ke muka kedua nona, “Pulang dan tunjukkan benda itu kepada majikanmu. Tak nanti dia berani menghukummu!”

Ketika Ki Seng-wan mengambil benda itu, pucatlah seketika wajahnya, “Kiranya….lo-cianpwe ….. ini….”

“Lekas enyah!” bentak nenek baju hitam. Sekali kebutkan lengan bajunya, Ki Gwat-wan, Ki Seng-wan, tukang perahu dan si bujang terpental sampai dua tombak jauhnya. Hebat benar tenaga yang dipancarkan si nenek. Tetapi yang lebih mengagumkan bahwa keempat orang itu sama sekali tak ada yang terluka.

Saat itu Thian-leng masih menggeletak di hadapan si nenek. Kedua kaki tangannya tertutuk tak dapat berkutik. Ia mendengar pembicaraan tetapi tak dapat melihat apa yang terjadi. Ia juga tak tahu benda apa yang dilemparkan oleh si nenek tadi. Satu-satunya yang diketahui bahwa kepandaian nenek itu sungguh hebat sekali. Mungkin di dunia persilatan tiada yang menandinginya lagi.

‘Wut’ ,tiba-tiba nenek itu kebutkan tangannya. Seketika itu Thian-leng merasakan darahnya lancar kembali. Buru- buru ia bangun. Ternyata kebutan tangan si nenek itu dapat membuka jalan darah thian-leng yang tertutuk.

“ Terima kasih atas pertolongan lo-cianpwe. Entah lo-cianpwe…”

“Kebetulan aku lewat di sini dan melihat dari jendela kau hendak dicelakai kedua budak peremputuan tadi. Maka terpaksa aku turun tangan,” tukas si nenek. Masih tak mengerti THian-leng mengapa si nenek begitu baik hati menolongnya. Hendak menanyakan lebih jauh, ia merasa jeri terhadap sikap si nenek yang begitu angker.

“Siapa namamu?” tiba-tiba nenek itu bertanya.

“Wan-pwe bernama Kang…..” baru berkata sampai di situ, tiba-tiba Thian-leng berhenti dan berganti nada, “Sebenarnya aku bukan orang she Kang.”

“Aneh, setiap orang tentu mempunyai she, siapakah she keturunanmu? Siapa namamu?” nenek itu bertanya heran.

“Mestinya akupun mempunyai nama, tetapi nama itu ternyata nama palsu. Aku benci pada nama itu ! Tak tahu aku ini orang she apa dan namaku…. “ Thian-leng tertegun sejenak, lalu berkata pula, “ Karena sekarang aku tak mempunyai she dan nama, baiklah lo-cianpwe panggil diriku Bu-beng-jin sajalah!”

Bu-beng-jin artinya orang yang tak bernama.

“Baiklah, “ nenek itu tersenyum, “rupanya kau tentu mempunyai riwayat yang menyedihkan, mengapa tak mau menceritakan padaku?”

Thian-leng mempunyai kesan baik terhadap nenek itu. Maka iapun segera menceritakan riwayat dirinya. Hanya pengalamannya bertemu dengan Hun-tiong-sin-mo tak dituturkan.

Si nenek mengerutkan dahi, rupanya ia menaruh perhatian sekali. Selesai penuturan, berkatalah ia,”Apakah ceritamu sudah benar semua?”

“Apa yang wan-pwe ketahui hanya begitu. Selanjutnya sejak saqat ini wan-pwe hendak berusaha untuk menyelidiki rahasia diri wan-pwe,” sahut Thian-leng.

“Ingatkah kau waktu kecilmu mempunyai seorang ayah?” tanya nenek itu.

Thian-leng gelengkan kepala, “Tidak. Yang kuingat hanya sejak kecil aku hidup bersama seorang ‘ibu’ yang mengaku bernama Liok Po-bwe dan tinggal di lembah Pek-hun-koh. Menurut keterangannya, ayahku bernama Kang Siang- liong. Sudah mati sejak 17 tahun yang lalu. tetapi aku percaya keterangannya itu tentu bohong!”

Sejenak Thian-leng memandang si nenek dengan tegang, serunya;”Apakah lo-cianpwe tahu sedikit tentang keadaan diriku….?”

“Ceritamu itu mengingatkan aku pada seorang sahabat lama. tetapi dengan yang kau ceritakan orang itu tidak sesuai….” si nenek sejenak menatap wajah Thian-leng, lalu melanjutkan kata-katanya. “Kalau benar seperti yang kuduga, ‘ibumu’ itu tentulah orang she Ma dan kau masih mempunyai seorang ayah she Nyo. Kau memang benar anak mereka!”

Thian-leng menggeleng kecewa, “Sama sekali tidak cocok!”

Si nenekpun tertawa hambar, “Mungkin kau bukan orang yang kubayangkan itu….” tiba-tiba ia berganti nada, “Tetapi bagaimanapun juga kau berjodoh denganku. Hendak kuberikan kau sebuah bingkisan…”

“Budi pertolongan lo-cianpwe masih belum dapat kubalas, mana aku berani menerima hadiah lo-cianpwe lagi?” buru- buru Thian-leng menolak.

Si nenek tersenyum, “Liku-liku kehidupan dunia persilatan itu penuh bahaya. Jika tak mempunyai kepandaian apa- apa, setiap saat tentu terancam bahaya. Kupikir hendak memberimu tiga jurus ilmu pedang……”

Bukan main girangnya Thian-leng, serunya,” Jika lo-cianpwe tak menampik, wan-pwe mohon supaya diterima menjadi murid….!” Habis berkata Thian-leng terus hendak berlutut memberi hormat.

“Jangan!” nenek itu tertawa, “telah menjadi peraturan kaumku, selain ahli waris, tak boleh menerima murid lagi. Tak usah kita terikat sebagai murid dan guru!”

Heran Thian-leng dibuatnya. Jelas nenek itu tak mengadakan gerakan apa-apa, tetapi maksudnya hendak berlutut itu kandas karena dirinya seperti tertarik oleh tenaga yang tak terlihat.

“Apakah lo-cianpwe sudah mempunyai pewaris?” tanyanya putus asa.

Nenek itu mengangguk, “Masing-masing orang mempunyai rejeki sendiri, tak boleh mengiri. Mungkin kelak kau akan bertemu orang yang lebih sakti dari diriku!”

“Tidak mungkin, “Thian-leng tertawa tawar, “Di kolong langit mana ada orang yang mampu menandingi kesaktian lo- cianpwe lagi?”

“Di atas gunung masih ada langit, di atas langit masih ada langit lagi. Dalam jagad yang begini luasnya, masih banyak orang yang lebih sakti dari diriku. Soalnya mereka itu tak mau diketahui orang !” Tergerak hati Thian-leng atas ucapan nenek itu. Terlintas suatu pertanyaan dalam hati, serunya, “Entah siapa yang lebih sakti antara lo-cianpwe dengan Hun-tiong-sin-mo?”

Nenek itu tertegun, tertawa, “ Sukar dikatakan karena selama ini aku belum pernah bertempur dengannya. Hanya saja….” ia berhenti sejenak baru melanjutkan berkata pula, “Hun-tiong-sin-mo juga bukan jago nomor satu di dunia. Di dunia ini masih ada tokoh yang lebih sakti. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Memang selama 60 tahun ini Hun-tiong-sin-mo tak pernah dikalahkan orang. Tetapi penantang-penantangnya itu bukanlah tokoh-tokoh yang benar-benar sakti.!”

Thian-leng heran. Kalau memang ada orang yang lebih sakti, mengapa selama 60 tahun Hun-tiong-sin-mo dapat sewenang-wenang merajai dunia persilatan?

Nenek itu berkata pula dengan agak rawan, “Ah, pertumpahan darah besar-besaran memang sukar dihindari. Tak lama tentu bakal terjadi suatu peristiwa luar biasa. Dunia persilatan akan mengalami banjir darah besar, tetapi setelah itu akan berganti suasana yang lain… ”

Tiba-tiba ia menghentikan ucapannya. Dari lengan bajunya dikeluarkan sebatang pendang pendek yang amat tajam. Begitu dikibatkan, pedang itu menghamburkan sinar dingin yang meliputi setombak lebih luasnya.

Pada lain saat terdengar bunyi berderak dahsyat disusul oleh tumbangnya sebatang pohon yang besarnya sepelukan orang dewasa.

Thian-leng terbeliak kaget. Hampir ia tak percaya apa yang disaksikan saat itu. Ia Yakin, nenek itu tentu tokoh nomor satu di dunia. Ya, siapa lagi yang mampu menandingi kesaktian sedahsyat itu. Tetapi aneh, mengapa si nenek mengatkan bahwa di dunia masih banyak orang yang lebih sakti daripada dirinya ?

Rupanya si nenek agak riang hatinya, ia bangkit dan berkata, “Tiga jurus ilmu pedang ini penuh dengan perobahan ayng sukar diduga. Terserah pada kecerdasan otakmu, sampai di mana kau mampu menyelaminya ! “

Ia maju ke sebidang tanah lapang di tepi sungai dan mulai mengajarkan ilmu pedang pada Thian-leng.

Di bawah sinar rembulan, pedang itu berobah menjadi hamparan sinar perak yang berhawa dingin. Sepintas mirip dengan ribuan bintang yang berhamburan jatuh dari langit….

Kemudian ia menyuruh Thian-leng menirukan. Thian-lengpun segera memainkan ajaran si nenek.

“Bagus, bagus!” si nenek bertepuk tangan memuji, “bakatmu tak jelek! Meskipun belum sepenuhnya kau selami ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam (Tiga pedang perenggut nyawa), tapi cukuplah memadai!”

Thian-leng hentikan permainan pedangnya, tersipu-sipu ia berlutut menghaturkan terima kasih di hadapan nenek ini, “Entah bagaimana aku dapat membalas budi lo-cianpwe yang sedemikian besarnya?”

Si nenek merenung sejenak, ujarnya ,”Baiklah, aku hendak minta tolong sebuah hal!”

“Silakan lo-cianpwe mengatakan, sekalipun masuk kedalam lautan api, wanpwe tentu akan melaksanakan!”

Agak lama nenek itu berdiam diri, baru setelah itu ia berkata pula, “Aku mempunyai seorang sahabat lama. Karena belasan tahun yang lalu pernah bentrok mengenai suatu hal yang tak menyenangkan hati, maka ia menganggap aku sebagai musuhnya. Sejak saat itu ia memutuskan hubungan…..” ia behenti sejenak untuk menghela napas panjang, lalu ujarnya lebih lanjut, “Tetapi setelah mengasingkan diri selama belasan tahun, aku merasa menyesal dengan peristiwa itu. Tetapi selama ini aku tak mendengar beritanya lagi….”

“Apakah lo-cianpwe hendak suruh wanpwe mencarinya?” Thian-leng menanggapi.

Nenek tua itu tertawa getir, “ Di dunia yang begini luasnya, mana dapat kau mencarinya? Tetapi cobalah kau mencari beritanya di kalangan kaum persilatan. Kalau sifatnya belum berubah, dia memang gemar menimbulkan kegemparan!”

“Siapakah nama orang itu? Tentu seorang tokoh yang ternama bukan?” tanya Thian-leng.

Di luar dugaan nenek itu menggeleng, “Sukar kukatakan padamu. Yang jelas dia sudah menghilang selama 16 tahun lebih. Taruh kata pada masa itu dia seorang tokoh ternama, tetapi lewat waktu yang sedemikian lama, mungkin sudah dilupakan orang… hm,,.., dia bernama Thiat Beng bergelar Pendekar Pedang bebas. Sekarang dia berumur 37 tahun!”

Thian-leng melongo. Menilik pembicaraan si nenek, jelas kalau orang ini mempunyai hubungan baik kepadanya. Thian-leng mengira orang itu tentulah seorang tua yang sebaya umurnya dengan si nenek. Ai, mengapa hanya berumur 37 an tahun? Namun Thian-leng sungkan untuk menanyakan hal itu. Ujarnya, “ Baik, wanpwe akan mengingatnya….Tetapi andaikata dapat menjumpainya, bagaimana harus kukatakan….”

Wajah si nenek agak menegang sesaat, katanya dengan nada agak gemetar, “Kau dapat menjumpainya? …Apaka dia dapat kembali…?”

Cepat si nenek itu menyadari keterlepasan bicara, tertawalah ia dengan rawan,”Bila kau dapat berjumpa dengannya, katakanlah bahwa aku mengundangnya datang ke puncak Giok-lo-hong gunung heng-san….Asal dia mau mebuang sifatnya yang lama, tentu akan datang. Namun, tidakpun tak apalah…!”

Masih Thian-leng menegas, “Sebaiknya ditetapkan waktu pertemuan itu. Dan…. di manakah tempat tinggal lo- cianpwe? Mengapa tak mengundang ke rumah lo-cianpwe saja?”

Si nenek tertawa hambar, “Asal kau menurut apa yang kukatakan tadi, dia tentu sudah mengerti sendiri. Aku suka berkelana, tak punya tempat tinggal tertentu. !“

“Sudikah lo-cianpwe memberitahukan nama lo-cianpwe yang mulia?” Thian-leng makin mendesak.

Kembali keriput di wajah nenek itu menegang, jawabnya,” Namaku sudah lama tak disebut orang. Dan lebih baik begitulah…. .” Tiba-tiba dengan nada rendah setengah berbisik, si nenek berdendang, “Di kala dikau pulang, di saat itulah istreimu patah hati…. Ya, namaku Toan-jong-jin sajalah!”

“Toan…jong….jin,” Thian-leng tersekat-sekat mengulang. Toan-jong-jin artinya Orang yang patah hati.

Thian-leng makin terbenam dalam kabut rahasia. Jelas bahwa pendekar Pedang bebas Thiat Beng itu tentulah kekasih dari si nenek. Tetapi ah, hal itu tak masuk akal. Masakah seorang nenek berumur tujuh delapan puluh tahun mempunyai kekasih seorang pria umur 37 tahun. Apalagi peristiwa asmara itu terjalin pada 17 tahun yang lampau, yaitu waktu Thiat Beng masih berumur 20 tahun dan si nenek sudah 5-6 puluh tahun usianya….

“Bu-beng-jin!” tiba-tiba nenek itu berseru, “Pergilah sekarang. Pedang itu kuberikan padamu!”

Thian-leng seperti orang mimpi. Serta-merta ia berlutut,” Bagaimana wanpwe berani menerima budi lo-cianpwe yang demikian besarnya?”

Ternyata pedang pendek itu sebuah pedang pusaka yang luar biasa tajamnya. Dapat dipakai membelah segala macam logam. Sehabis melakukan ajaran ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam, Thian-leng lupa mengembalikan pedang ini kepada si nenek.

Habis berkata nenek aneh itupun sudah lantas pergi. Ketika tak mendapat jawaban, Thian-leng mengangkat muka, ah… ternyata si nenek sudah lenyap dari hadapannya.

Jadi tadi ia hanya berlutut memberi hormat pada angin saja.

Terlongong-longong Thian-leng memikirkan kesaktian yang dimiliki nenek itu. Muncul perginya seperti angin saja.

Sampai beberapa saat barulah ia tersadar. Telah beberapa hari ini, ia selalu mengalami beberapa peristiwa yang mengherankan. Hampir tak masuk akal namun merupakan kenyataan.

Angin behembus dingin, hari menjelang fajar. Setelah menyelipkan pedang, Thian-leng segera berjalan menyusur tepi sungai. Dia telah menetapkan tujuannya, hendak menyelidiki rahasia asal usul dirinya, mencari kedua ayah bundanya dan menuju ke gunung Thay-heng-san mencari guru. Setelah dapat menguasai ilmu pukulan Lui-hwe-ciang baru membuat perhitungan dengan Song-bun-kui-mo. Dan yang terakhir ia akan melaksanakan pesan si nenek Toan-jong- jin untuk mencari pendekar Pedang bebas Thiat Beng dan tak lupa iapun hendak mencari Liok Po-bwe, wanita yang telah mengaku dan memalsu sebagai ibunya.

Eh, iapun akan mencari Cu Siau-bun!

Banyak nian tugas dan pekerjaan yang membebani benaknya. Sedemikian banyaknya, hingga tak tahu ia bagaimana harus memulainya!

Mengenai asal-usulnya yang begitu misterius, ternyata sukar untuk diusut. Langkah pertama ialah harus mencari si ibu palsu Liok Po-bwe. Tetapi kemanakah perginya wanita itu ? Dan seandainya dapat menemukan wanita itu, belum berarti bahwa ia tentu berhasil mendapat keterangan siapakah ayah bundanya yang asli !

Terbayang pula akan tugas yang diminta oleh si nenek Toan-jong-jin. Ia harus melaksanakan pesan wanita yang telah banyak memberi budi kepadanya itu. Tetapi ke manakah ia harus mencari Pendekar Pedang bebas Thiat Beng?

Satu-satunya cara yang akan ditempuh ialah, dalam perjalanan ke gunung Thay-heng-san itu, ia akan mencoba untuk mencari berita mengenai tokoh itu serta Liok Po-bwe wanita yang memalsu sebagai ibunya.

Tak tahu saat itu ia berada di mana, iapun tak kenal jalan. Yang diketahuinya ialah gunung Thay-heng-san terletak di sebelah timur.

Karena baru pertama kali keluar mengembara di dunia persilatan, maka thian-leng selalu tertarik dan memperhatikan segala yang ditemuinya dalam perjalanan. Tak mau ia berjalan cepat-cepat. Ia selalu mempelajari sesuatu dan mencari berita ketiga orang yang hendak dicarinya itu, yakniThiat Beng, Liok Po-bwe dan Cu Siau-bun.

Hari itu adalah hari yang ke 12 ketika menjelang magrib ia tiba di tepi sebuah sungai Tan Ho. Sebenarnya ia hendak mencari penginapan, tetapi saat itu ia berada di tengah sebuah hutan belantara jauh dari pedesaan. Namun ia tak bingung, paling-paling tidur di udara terbuka, demikian pikirnya sambil mengayunkan langkahnya.

Tiba-tiba angin malam membawa suara gemerincing senjata beradu. Itulah jelas suatu pertempuran. Tapi pertempuran itu berlangsung singkat sekali. Pada lain saat terdengarlah jerit yang menyeramkan. Tak ayal lagi Thian- leng segera mengenjot tubuhnya menerobos ke arah datangnya suara itu. Cepat sekali ia bergerak, namun masih terlambat juga. Melintasi sebuah puncak yang tandus, segera ia menyaksikan sebuah pemandangan yang mengerikan….

Tujuh sosok manusia bergelimpangan menjadi mayat di atas rumput. Dua orang paderi, lima imam. Tubuh mereka hancur lebur akibat hantaman tenaga berat atau Ciong-chiu-hwat!

Pada dahi salah seorang imam yang rebah terlentang, tertancap sebatang panji kecil Tengkorak darah, lambang keganasan Hun-tiong-sin-mo…

Thian-leng cepat menerobos ke seluruh pelosok. Pikirnya, karena peristiwa itu baru saja terjadi tentu ia dapat mengejar iblis ganas itu. Tetapi nyatanya ia tak melihat sesuatupun. Algojo ganas itu sudah lenyap! Terpaksa ia kembali. Dicabutnya panji kecil itu dan diperiksanya dengan teliti.

Teringat ia akan pembicaraan dengan Cu Siau-bun tempo hari. Pemuda Cu itu pernah mengatkan dengan yakin bahwa ada orang yang memalsu menjadi Hun-tiong-sin-mo untuk melakukan pembunuhan ganas dan memakai juga Panji tengkorak darah palsu. Tetapi Thian-leng tak dapat membedakan palsu tidaknya panji yang tengah diperiksa itu.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh derap kaki yang begemuruh. Dan pada lain saat muncullah berpuluh-puluh orang yang mengepungnya. Mereka berjumlah 20 orang lebih, dan terdiri dari bermacam golongan; paderi, imam dan orang biasa. Melihat langkah kaki yang berat dan mata mereka yang berkilat-kilat tajam, terang mereka itu tentu jago-jago silat yang berilmu tinggi. Dan yang lebih mengejutkan lagi, mereka bersikap bengis dan bermusuhan kepada Thian- leng..!

Dengan masih mencekal panji kecil, Thian-leng menyapa heran, “Apakah cuwi….” “Benda apakah yang kau cekal itu?” bentak seorang tua yang tampil ke muka.

“Panji Tengkorak Darah…” belum habis Thian-leng menyahut, seorang berjenggot panjang sudah menukasnya, “Omitohud! Hun-tiong-sin-mo pembunuh ganas tanpa bayangan itu ternyata tak mempunyai 3 kepala 6 lengan…”

Ia behenti sejenak mengerlingkan mata, lalu berkata pula, “Apa kedudukanmu dalam kawanan anak buah Hun-tiong- sin-mo?”

Thian-leng mengkerutkan dahi, sahutnya,” Cuwi (tuan-tuan) salah paham. Aku hanya kebetulan lewat di sini…”

“Bukti sudah jelas, mengapa masih menyangkal!” bentak si orang tua tadi, ”Darah para korban masih belum kering. Kami cepat datang kemari tiada orang lain kecuali engkau. Siapa lagi pembunuhnya kalau bukan kau?”

Sementara beberapa paderi dan imam segera mengerumuni mayat-mayat itu untuk mengenali. Kemudian mereka membaca ayat-ayat doa dan bersembahyang. Terang beberapa korban itu kawan mereka. Mungkin mereka berjalan berpencar sehingga terlambat untuk memberi pertolongan.

Thian-leng heran melihat rombongan orang yang begini banyak. Terang mereka adalah rombongan partai besar. Namun karena sikap mereka yang tak memberi kesempatan membantah, telah menimbulkan reaksi Thian-leng. Katanya, “Jika cuwi tetap tidak percaya, akupun tak dapat berbuat apa-apa…” Tiba-tiba ia mendapat pikiran. Buru- buru ia bergeser ke arah seorang paderi tua, serunya,” Dapatkah lo-siansu memberitahu partai lo-siansu yang terhormat?”

“Lo-hu dari kuil Siau-lim-si,” rupanya paderi itu agak sabar dari kawan-kawannya.

Girang Thian-leng bukan kepalang. Buru-buru ia mengeluarkan Giok-pay dan diserahkan kepada paderi tua itu,” Inilah benda dari Bu Ceng taysu yang diberikan padaku agar diserahkan pada kuil Siau-lim-…..”

Thian-leng yang berhati polos sedikitpun tidak menduga bahwa penyerahan giok-pay itu bahkan akan makin menimbulkan salah paham. Sejak 60 tahun lamanya, tak pernah ada orang yang keluar dari markas Hun-tiong-sin- mo dengan masih hidup. Jelas sudah bahwa Thian-leng tentu anak buah Hun-tiong-sin-mo, apalagi dia dapat membawa giok-pay yang dibawa Bu Ceng.

Dengan gemetar paderi tua itu menyambuti giok-pay , ujarnya, “Ketua dan kedelapan Tiang-lo kami…”

Thian-leng menanggapi dengan helaan napas, “Mereka tak beruntung telah binasa di tangan Hun-tiong-sin-mo!”

Paderi tua itu segera berdoa beberapa kali , lalu berkata, “Memang hal itu telah kami duga. Karena berselang 10 hari ketua dan kedelapan tiang-lo kami tak pulang, maka kami duga tentu binasa di sarang Hun-tiong-sin-mo….. terima kasih atas kebaikanmu mengantar tanda pusaka dari kuil kami ini!”

Thian-leng tertegun, ujarnya, “Secara kebetulan saja aku dapat melarikan diri dari sarang Hun-tiong-sin-mo. Aku menerima permintaan dari lo-siansu…., “ ia tak dapat melanjutkan perkataannya. Ia merasa urusan itu makin dijelaskan makin tak dipercaya. Tak tahu ia bagaimana baiknya.

Paderi itu tertawa dingin, “Tak perlu sicu banyak-banyak memberi penjelasan. Kalau ketua dan ke 8 tiang-lo saja tetap kalah dengan Hun-tiong-sin-mo, apalagi sicu yang masih begitu muda…” “Tak perlu kiranya taysu membuang waktu dengannya, “ tiba-tiba imam tua yang tampil ke depan tadi menukas. “Terang dia itu kaki tangan Sin-mo. Dapat membunuh kelima sute kami dan dua orang paderi Siau-lim-si, jelas kalau dia mempunyai kepandaian sakti. Baiklah kita tak usah menurutkan segala macam peraturan dunia persilatan untuk menghadapi manusia yang seganas ini. Marilah kita beramai-ramai meringkusnya….”

“Benar,” sahut seorang paderi muda, “Andaikata kita mati ditangannya, pun tetap ada saudara kita yang akan membalasnya. Ketiga Cun-cia ( paderi yang berkedudukan tinggi) telah mengirimkan undangan ke berbagai tempat. Tak lama lagi partai-partai persilatan akan mengerahkan orangnya untuk meluruk ke Hun-tiong-san. Betapapun saktinya Sin-mo, jangan harap dapat lolos lagi. Dan kau boleh menerima kematianmu dulu!”, ucapan itu ditutup dengan sebuah serangan kepada Thian-leng. Serempak ke duapuluh orangpun segera turut menyerang.

Thian-leng benar-benar marah sekali. Sia-sia saja semua penjelasannya, toh mereka tetap menuduhnya sebagai kaki tangan Hun-tiong-sin-mo. Ia dengan lincah menghindar, namun serangan pedang dan pukulan yang segencar hujan itu benar-benar membuatnya tak berdaya. Akhirnya karena terpepet, Thian-lengpun terpaksa menyerang sampai tiga kali. Hawa panas meranggas dan terdengar jeritan kaget di sana sini. Seranganpun agak reda.

“Cek-kui-sin-ciang, itulah ilmu keistimewaan Hun-tiong-sin-mo!” teriak beberapa orang.

Thian-leng tersenyum mengkal. Sekalipun ilmu pukulan Lui-hwe-ciangnya itu sejenis dengan ilmu pukulan Cek-kui- sin-ciang (pukulan merah sakti ), namun kedua ilmu pukulan itu berlainan jurusnya. Tetapi celakanya, salah terka itu makin menambah salah paham mereka!.

Kemampuan Lui-hwe-ciang Thian-leng masih belum sempurna, maka tenaga pukulannyapun belum seberapa dahsyat. Apalagi ia sibuk harus menghindari serangan mereka.

Sejenak kemudian para penyerangnya itupun mulai menyerang lagi. Rupanya mereka mengetahui tingkat kepandaian Thian-leng. Asal bersatu, tentu dapat meringkus anak muda itu.

Thian-leng makin terjepit. Keadaannya benar-benar dalam bahaya. Dia sungguh penasaran sekali. Mati dibunuh Hun- tiong-sin-mo ataupun musuh lainnya, ia akan puas. Tetapi mati karena diduga sebagai anak buah Sin-mo sungguh membuatnya penasaran sekali. Tiba-tiba bahu kirinya terasa sakit. Sebuah sambaran pukulan musuh mengenainya.

Dia terkejut dan serentak menyalalah kemarahannya. Selintas teringatlah ia akan pedang pusaka pemberian nenek Toan-jong-jin. Sekali cabut, segera ia mainkan salah satu jurus dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam yang disebut Nok-hay-keng-liong atau Gelombang dahsyat mengejutkan naga.

Seketika berhamburanlah percikan cahaya perak yang menyilaukan mata…..

Sesaat kemudian terdengar jeritan ngeri dan teriakan terkejut. Para pengeroyoknyapun berhamburan menyurut mundur!

Thian-leng menghentikan pedangnya. Iapun tersirap kaget. Enam sosok mayat tampak bergelimpangan di tanah. Tiga orang imam dan dua paderi tewas, serta seorang jago biasa. Kepala mereka pecah berhamburan, perut robek dan darah menggenangi tanah. Hampir Thian-leng tak percaya, namun benar-benar ke enam mayat itu adalah korban dari pedang pusakanya. Ia tahu bahwa ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam memang sakti, tapi tidak menduga sama sekali bahwa hanya dengan sebuah jurus saja, ternyata hasilnya sedemikian dahsyatnya!.

Thian-leng menyesal sekali. Ia tegak termangu seperti patung.

“Sicu terlalu ganas sekali!” terdengar paderi tua dari Siau-lim-si tadi mendampratnya. Thian-leng tak dapat menyahut kecuali hanya menghela napas.

Salah seorang imam berseru, “Mengapa sicu tak melanjutkan keganasan lagi? Ayo , masakah sicu mau memberi ampun kepada kami sekalian!”

Kembali Thian-leng menarik napas. Ia menyelipkan pedang ke pinggang lalu melangkah pergi. Sekalian orang terbeliak heran.

Ya, memang Thian-leng terpaksa berbuat begitu. Ia tak dapat memberi penjelasan, maka dibiarkan saja mereka menyangka begitu. Adalah karena tak tega menyaksikan korban-korban tadi, maka ia segera angkat kaki.

Tiada seorangpun yang berani menghadang. Tiba-tiba salah seorang paderi muda berseru, “Harap sicu tinggalkan nama dulu sebelum pergi!”

Thian-leng hentikan langkah, sahutnya, “Aku bernama….. Bu-beng-jin!”

“Bu….beng …. jin…” terdengar beberapa suara mengulang terputus-putus nama aneh itu.

“Baik, Bu-beng-jin! Ingatlah hutang darah hari ini.Tak lama kau harus membayarnya!” seru paderi muda itu.

Thian-leng tak menyahut. Cepat ia ayunkan langkah lagi. Tak berapa lama kembali ia berada seorang diri di tengah kepekatan kabut malam yang menyelubungi tepi sungai.

Sepuluh hari kemudian tibalah ia di lembah Sing-sim-kiap di wilayah gunung Thay-heng-san. Sebuah lembah yang mamat berbahaya. Karang dan tebing curam menjulang ke langit. Dengan menurutkan peta pemberian Oh-se-gong- mo, ia menyusup ke dalam lembah itu.

Teringat ia akan kata-kata paderi muda yang turut dalam pengeroyokan tempo hari, bahwa para Cun-cia dari kuil Siau-lim-si telah mengirimkan undangan kepada seluruh partai persilatan agar datang dalam pertemuan di gunung Thay-heng-san. Kalau tujuan pertama itu ialah diperuntukkan menyatukan langkah menghadapi Hun-tiong-sin-mo, itu sih tak mengapa. Tapi anehnya mengapa tempat pertemuan di pilih di gunung Thay-heng-san? Dan di daerah pegunungan Thay-heng-san yang beratus-ratus li luasnya itu, tak tahu ia dimana pertemuan kaum persilatan itu diadakan….

Ada sebuah hal yang menggelorakan perasaannya. Yakni selama dalam perjalanan itu, ia tak menemui rintangan apa- apa. Namun hatinya tetap memikirkan pada dirinya yang belum ketahuan asal-usulnya serta bermacam-macam peristiwa aneh yang dialami selama ini.

Setelah menyusur tikunan dan kelokan yang berliku-liku, akhirnya tibalah ia di muka sebuah sungai yang deras airnya. Menurut peta, sungai itu disebut Pek-long-ho (sungai arus putih ). Terjadi dari kumpulan aliran-aliran air yang terdapat di atas gunung. Karena saat itu sedang musim hujan, maka arus sungaipun kencang sekali.

Setelah melintasi sungai itu dan menikung di sebuah barisan karang curam, hatinyapun berdebar keras. Ya, menurut keterangan peta, tempat yang ditandai dengan lingkaran merah itu merupakan tempat tinggal dari si orang sakti Sip- Uh-jong, tokoh yang hendak dicarinya itu. Apakah tokoh itu masih berada di situ? Demikian pertanyaan yang timbul di hati Thian-leng.

Oh-se-gong-mo mengadakan perjanjian dengan tokoh itu pada 30 tahun berselang. Ya, 30 tahun bukanlah waktu yang singkat. Apakah dalam waktu yang sedemikian lama tokoh itu masih hidup?

Masih ada sebuah pertanyaan lagi. Apakah tokoh itu mau menerimanya sebagai wakil dari Oh-se-gong-mo, kemudian mau memberikan pil Kong-yang-sin-tan kepadanya? Thian-leng berjalan dengan seribu satu kegelisahan.

Tak berapa lama tampaklah sebuah goa dari batu karang yang menjulang tinggi. Timbullah kegirangan pada Thian- leng karena goa itu mungkin goa kediaman Sip-Uh-jong. Tetapi dalam sekejap api kegirangan itupun padam kembali. Karena di muka goa itu penuh ditumbuhi rumput liar setinggi dada orang. Suatu tanda bahwa goa itu tentu sudah lama tak dihuni orang.

Melangkah ke dalam goa, didapatinya goa itu penuh dengan sarang laba-laba. Suatu hal yang membuatnya kecewa. Ia menghibur hatinya sendiri, sekalipun tak berhasil memperdalam ilmu Lui-hwe-ciang, namun ia masih mempunyai ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam yang sakti. Kiranya ilmu pedang itu cukup untuk menghadapi Song-bun-kui-mo nanti.

Ketika ia memutar tubuh hendak meninggalkan goa itu, tiba-tiba matanya tertumbuk akan segunduk benda yang mirip dengan tubuh manusia melingkar di sudut ruang. Ia tertegun, pikirnya,”Hm, Sip lo-cianpwe itu memang seorang manusia luar biasa yang berwatak aneh. Mungkin dia masih tinggal di goa yang tak pernah dibersihkan ini!”

Makin diperhatikan, makin jelaslah bahwa benda itu memang seorang manusia yang tengah melingkar tidur di sebuah bale-bale batu. Karena mukanya ditutupi dengan kedua lengan baju, maka tak jelaslah bagaimana wajahnya.

Ya, siapa lagi kalau bukan Sip-Uh-jong. Dengan pemikiran itu, segera Thian-leng melangkah maju kemudian berlutut di depan bale-bale batu, ujarnya, “Sip lo-cianpwe… ”

Orang itu menggeliat balikkan tubuh dan… Thian-leng melonjak kaget seperti dipagut ular demi melihat siapa

yang tidur di tempat yang sejorok itu, “Cu-heng…… kau….!”

Ya, memang yang tidur melingkar itu bukan tokoh sakti Sip Uh-jong, tetapi Cu Siau-bun si pemuda berwajah pucat. Cu Siau-bun tertawa hambar, “Menantikan kau….”

“Menantikan aku ?” kembali Thian-leng tercengang, “Bagaimana kau tahu aku akan datang ke sini?”

Cu Siau-bun hendak membuka mulut tetapi tiba-tiba ia mengerutkan dahi dan batuk-batuk. Napasnya memburu keras, tangan dan kakinya dingin, keringat dinginpun mengucur membasahi mukanya. Diam-diam Thian-leng kasihan padanya. Masih semuda itu, mengapa Cu Siau-bun sudah menderita penyakit paru-paru yang berat.

Masih Cu Siau-bun batuk-batuk dan beberapa kali mengeluarkan darah, tubuhnyapun menggigil. Buru-buru Thian- leng mencekalnya, “Cu-heng, sakitmu cukup berat, tak seharusnya kau tinggal di goa sekotor ini… ! “

Cu Siau-bun menyandarkan kepalanya ke bahu Thian-leng, sahutnya “Penyakitku ini boleh dikata suatu penyakit, boleh dikata bukan!”

Thian-leng terharu sehingga hidungnya mulai lembab menahan air mata. “Apa yang kau derita Cu-heng?” katanya dengan terharu.

Cu Siau-bun menghela napas: “Sudah setengah bulan aku tinggal di goa ini. Bermula kurasakan badanku kurang enak, kemudian baru kuketahui kalau aku terkena kabut beracun …” 

“Kalau begitu seharusnya Cu-heng lekas-lekas tinggalkan goa ini mencari obat!”

Cu Siau-bun makin rapatkan kepalanya ke dada Thian-leng. Ia tertawa tawar: “Karena kuperhitungkan kau segera akan datang, maka kutangguhkan sehari lagi di sini …”

Sejenak dipandangnya redup-redup Thian-leng, ujarnya: “Tak usah heran. Sewaktu berada di lembah Pek-hun-koh, kulihat kau menyembunyikan sebuah peta. Tetapi malang, aku kena dipancing keluar oleh musuh sehingga kau kena diculik …”

Diam-diam Thian-leng mengagumi kecerdasan pemuda itu. Hanya dalam waktu yang singkat saja Cu Siau-bun sudah dapat mengingat di luar kepala isi peta itu.

Setelah sesaat menghela napas, kembali Cu Siau-bun berkata: “Karena kemana-mana tak dapat kutemukan kau, maka kuduga kau tentu datang kemari. Lalu aku bergegas2 menunggumu di sini!”

Ketika baru berjumpa, Thian-leng mengira Cu Siau-bun itu seorang penjahat, maka ia tak mau berkawan dengannya. Ternyata dia seorang sahabat yang setia. Adalah karena hendak menunggu kedatangannya, Cu Siau-bun tinggal di goa itu sampai setengah bulan sehingga akibatnya terkena hawa beracun.

Dijabatnya kedua tangan pemuda itu dengan rasa syukur yang tak terhingga: “Cuheng, entah bagaimana aku harus menghaturkan terima kasih kepadamu …”

Cu Siau-bun menarik tangannya dari dekapan Thian-leng. Tapi pada lain saat tiba-tiba ia merangkul leher Thian-leng, ujarnya: “Apakah kau mau meluluskan sebuah permintaanku?”

“Silahkan, aku tentu melaksanakan perintahmu!”

“Kelak apabila segala urusan sudah selesai, kita mencari tempat yang sepi dan jauh dari masyarakat ramai. Kita dirikan gubuk, menanam ladang. Tiap sore kita duduk minum arak, malam kita ngobrol di dekat perapian. Kita nikmati kehidupan yang tenteram bahagia, jangan campur urusan dunia persilatan yang kotor lagi. Maukah kau?”

Thian-leng terpesona, ujarnya: “Itulah kehidupan yang kuidam-idamkan, tetapi entah bilakah hari itu akan tiba?” Cu Siau-bun tertawa sedap: “Asal kau mau, hari itu pasti akan tiba. Harap kau jangan ingkar janji!”

“Asal Cu-heng tak menampik, tentu aku takkan berkhianat.”

Cu Siau-bun tertawa riang: “Baik, tempat ini tiada orang saktinya, pun peta itu tak ada gunanya. Mari kita tinggalkan tempat ini. Makin lekas kita menyingkap tabir rahasia riwayatmu dan menuntaskan dendam sakit hati, makin lekas kita melaksanakan cita-cita kehidupan bahagia yang kita ikrarkan tadi!”

“Benar, lebih dulu kita pergi ke kota yang terdekat dari sini untuk mengobati lukamu!” sahut Thian-leng.

“Itu tak penting,” sahut Cu Siau-bun, “asal aku nanti beristirahat dua hari saja, penyakitku itu tentu sembuh sendiri.”

Thian-leng segera memapahnya keluar dari goa. Tetapi ia terkejut karena Cu Siau-bun berjalan dengan sempoyongan seperti mau jatuh. Ah, tak kira hawa dalam goa itu sedemikian jahatnya. Terpaksa ia panggul pemuda itu. Cu Siau- bun tak menolak, bahkan semesra anak domba, ia susupkan kepalanya ke dada Thian-leng. Tak lama tibalah mereka di tepi sungai Pek-long-ho. Sekonyong-konyong Thian-leng tersirap kaget dan menghentikan langkah. Dari balik jajaran batu-batu besar yang berserakan di tepi sungai, bermunculan belasan orang. Paderi, imam dan orang-orang biasa.

“Bu-beng-jin, apa katamu sekarang?” seru salah seorang paderi muda.

Thian-leng gelisah. Tak mau ia bentrok lebih lanjut dengan partai-partai persilatan dan memperdalam jurang kesalah pahaman. Apalagi Cu Siau-bun sedang sakit. Kalau sampai terjadi pertempuran dan mengakibatkan Cu Siau-bun menderita lebih parah, Thian-leng benar-benar penasaran sekali.

Rombongan penghadang yang muncul itu bukan saja terdiri dari orang-orang yang pernah bertempur dengannya di hutan tempo hari, bahkan bertambah lagi dengan belasan paderi dan imam. Terang mereka itu masih penasaran dengan kekalahannya dulu dan mengundang bala-bantuan untuk mencari Thian-leng.

Situasi itu menyadarkan Thian-leng bahwa suatu kesulitan sukar dihindarkan lagi. Segera ia letakkan Cu Siau-bun di atas tanah: “Biar kuhadapi mereka dulu!” katanya dengan tenang sekalipun hatinya berdebar keras.

Cu-Siau-bun hendak bicara tetapi tiba-tiba ia muntah darah lagi. Ia sandarkan kepalanya ke batu. Dengan geram Thian-leng bangkit menghadapi rombongan penghadangnya itu.

Yang melangkah maju lebih dulu ialah 3 orang paderi tubuh kurus. Mata mereka berkilat-kilat tajam, langkah berat dan kuat.

“Tentulah cuwi bertiga ini ko-jin dari partai persilatan ternama. Apakah cuwi ijinkan aku berbicara?” seru Thian-leng. Salah seorang paderi itu menyahut dengan suara nyaring: “Lohu tak ingin mendengar bantahan dari orang yang tangannya berlumuran darah manusia!”

“Lalu maksudmu?” seru Thian-leng.

“Menyempurnakan dirimu?” sahut paderi itu dalam nada berat.

“Simpan golok pembantai dan segera bersujud di hadapan Buddha? Andaikata aku benar seperti yang kau tuduh menjadi anak buah Hun-tiong Sin-mo, bukankah pintu sudah tertutup bagi aku untuk kembali ke jalan terang?” seru Thian-leng dengan sinis.

“Lain orang diperbolehkan, kecuali kau!” bentak paderi itu, “keputusan dari rapat para kaum persilatan memutuskan untuk melenyapkan Hun-tiong Sin-mo dan antek-anteknya. Di dunia tak boleh terdapat kutu busuk yang merusak ketenteraman rakyat!”

Ucapan itu ditutup dengan sebuah pukulan. Thian-leng terpaksa menangkis. Benturan itu membuat keduanya sama- sama tersurut mundur selangkah.

Pada lain saat kedua paderi dan keempat imam bertubuh kurus itu berseru dan serempak menyerang berbareng.

Thian-leng cukup menyadari kesaktian ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam. Maka ia enggan untuk mengeluarkan permainan itu, apalagi ia tak mempunyai kesempatan mencabut pedangnya. Serangan ketiga paderi dan empat imam itu segencar badai, sehingga dalam 10 jurus kemudian Thian-leng rubuh ke tanah muntah darah!

Melihat itu Cu Siau-bun, paksakan diri berseru: “Mohon kalian …ja … ngan … membunuhnya …”

Tetapi tak seorangpun yang menghiraukannya. Seorang paderi tua tampil dengan sebuah hantaman, Thian-leng mencelat sampai dua tombak jauhnya, tubuhnya mandi darah! Seorang imam menyusuli lagi dengan sebuah hantaman sehingga untuk yang kedua kalinya tubuh Thian-leng mencelat ke udara dan blung … ia tercebur ke dalam sungai. Pada lain kejap, tubuhnyapun hilang ditelan arus yang deras …

Cu Siau-bun pingsan seketika!

Entah berapa lamanya, ketika ia tersadar di hadapannja tampak seorang paderi tua. Kata paderi tua: “Kaupun tentu anak buah Hun-tiong Sin-mo. Sekali-kali bukan karena kau sedang menderita sakit lantas dibebaskan dari kematian. Tetapi karena kami hendak menyuruhmu menyampaikan berita pada Hun-tiong Sin-mo. Katakan padanya bahwa sembilan partai besar mengundangnya supaya datang ke puncak Sin-li-hong gunung Bu-san pada bulan satu tanggal

15. Diminta dia datang memenuhi undangan kami itu. Kalau tidak ia akan dihina oleh kaum persilatan sebagai manusia pengecut!”

Hati Cu Siau-bun seperti disayat sembilu, namun ia masih paksakan diri berseru keras: “Tak perlu tunggu sampai bulan satu tanggal 15, sekarang juga aku hendak membalas dendam pada kalian. Semua orang dari sembilan partai besar itu akan kuhancurkan … aku hendak … membalaskan dendam … untuknya …”

Lengking jeritan itu penuh dengan bara dendam yang merintih-rintih. Namun hanya gemuruh arus sungai yang menyambutnya, karena sekalian jago-jago itupun sudah angkat kaki. Mereka tak mempedulikan lagi kepada pemuda yang tengah memaki-maki dengan suara yang makin lemah …

Suasana di tepi sungai Pek-long-ho tenang kembali. Arusnyapun kembali bersuka-ria berkejar-kejaran di tengah sungai.

Cu Siau-bun tersadar dari pingsannya. Dengan langkah terhuyung-huyung ia menyusur tepi sungai menuju ke hulu. Ternyata hawa beracun dalam goha, telah meracuni tubuhnya sedemikian rupa hingga tenaganya hampir lenyap.

Peristiwa pengeroyokan terhadap Thian-leng yang begitu ngeri sehingga anak muda itu tercebur ke dalam sungai, makin menggoncangkan batinnya. Andaikata bukan seorang yang keras hati, tentu seketika itu juga Cu Siau-bun sudah buang diri mencebur ke sungai!

Mungkin kalau tidak seperti saat itu, tentu ia dapat melompati sungai yang lebarnya hanya setombak lebih. Tetapi dalam keadaan separah itu, ia hanja dapat menghela napas saja.

Duduklah ia bersandar pada sebuah batu besar. Sambil beristirahat, ia merenungkan apa yang telah dialami selama beberapa hari ini. Sebenarnya ia seorang yang berhati tinggi. Biasanya ia suka tak memandang mata pada orang lain. Tapi kali ini benar-benar ia mendapat pelajaran yang pahit!

Suatu perasaan aneh mengetuk hatinya. Mengapa, ya mengapa ia begitu mudah mencurahkan kasihnya kepada seorang pemuda macam Kang Thian-leng? Di manakah letak kelebihan Thian-leng? Ah, tak tahulah ia. Ia hanya merasa, Kang Thian-leng ialah Kang Thian-leng. Kasihnya terhadap pemuda itu adalah suatu perasaan kasih yang timbul dari nuraninya …

Dipandangnya arus air yang berkecamuk di tengah sungai. Tak terasa mengalirlah air matanja … Ah, Thian-leng sudah mati, mati tanpa meninggalkan bekas. Bahkan mayat pemuda itupun tak tertinggal lagi untuk dikenangkan!

Serentak timbullah suatu pertanyaan dalam sanubarinya. Dapatkah ia melupakan pemuda Thian-leng itu? Dapatkah kelak ia mencurahkan kasihnya kepada pemuda lain? Sang batin menyahut serentak: tidak!

Thian-leng telah mencuri segenap isi hatinya. Pemuda itu mati dengan membawa kasih hatinya juga. Tidak, ia tak dapat hidup lagi. Seluruh impiannya, cita-citanya dan kebahagiaan hidupnya telah terbawa hanyut oleh Thian-leng.

Lalu-lalang kenangan itu bertemu dalam suatu titik, kemudian meletus menjadi suatu tekad yang bulat: “Balaslah! Ya, ia harus membalaskan sakit hati Kang Thian-leng!”

Diam-diam ia bersumpah dalam hati. Selama hayat masih dikandung badan, ia bersumpah hendak membunuh semua jago-jago dari sembilan partai. Setelah hal itu terlaksana, ia lalu hendak bunuh diri menyusul arwah Thian-leng!

Sekonyong-konyong sesosok tubuh melesat tiba di hadapannya. Seorang wanita tua yang berambut putih mengenakan pakaian warna biru tiba-tiba muncul tanpa mengeluarkan suara sedikitpun jua.

“Mah …!” serentak menjeritlah Cu Siau-bun dengan girang-girang rawan. Ia merangkak lalu menubruk ke dada wanita itu.

Wanita tua perlahan-lahan membelai kepala Cu Siau-bun, sepasang alisnya mengerut: “Nak, mengapa kau berobah begini rupa?”

Cu Siau-bun paksakan diri mengangkat kepala. Air matanya membasahi muka. “Berobah? Berobah bagaimana, mah?”

Wanita itu tertawa mesra: “Nak, sering kukatakan bahwa kau ini adalah orang yang paling keras kepala dan tinggi hati. Tetapi apa sebab sekarang kau menangis begitu sedih …?”

Cu Siau-bun terkesiap. Mengusap air mata, ia menjerit: “Mah, dia … dia sudah mati!” Si wanita tuapun terkejut, serunya: “Dia mati?”

Cu Siau-bun mengerutkan gigi, sahutnya: “Mah, kau harus membantu aku untuk membalaskan sakit hatinya!”

Sejenak wanita tua itu mengerutkan kening, kemudian tertawa hambar: “Ceritakan dulu bagaimana ia sampai mati itu!”

“Rombongan sembilan partai telah membunuhnya. Mayatnya terlempar ke dalam sungai. Yang paling menjengkelkan adalah ketiga Cuncia dari Siau-lim-si …”

"Mengapa sembilan partai membunuhnya?" tanya si wanita.

“Mereka salah duga, menyangka dia itu anak buah Hun-tiong Sin-mo!” Wanita tua itu mengeluh ujarnya: “O, akulah yang mencelakainya …!”

Kemudian ia menggumam seakan-akan bicara pada dirinya sendiri: “Ah, kalau anak itu sampai meninggal, persoalan yang menjadi kecurigaanku itu tentu tak dapat kuselidiki lagi … Mengapa ditengkuk anak itu terdapat sebuah tahi lalat? Mengapa hatiku tak sampai hati membunuhnya …?”

Dikala ia terbenam dalam renungan itu tiba-tiba angin berhembus dan leher bajunyapun tersikap sedikit. Ah, walaupun wajahnya tampak seperti seorang nenek yang sudah berumur 80-an tahun tapi kulit lehernya putih segar seperti yang dimiliki oleh wanita di antara 30 tahun lebih umurnya. Dan yang paling mengesankan adalah terdapatnya sebuah tahi lalat merah pada lehernya itu.

“Mah, apa yang kau katakan?” tiba-tiba Cu Siau-bun menyela.

Wanita itu tersirap, tertawa: “Tidak apa-apa, mari kita pergi!” – ia mengeluarkan sebutir pil diberikan pada Cu Siau- bun: “Makanlah, hawa racun dalam tubuhmu tentu hilang …”

Setelah menelan pil itu, Cu Siau-bun tetap enggan pergi: “Aku tak ikut!” “Mengapa?” wanita tua terbeliak heran.

“Selesaikan dulu pembicaraan baru kita pergi.”

“Anak itu sudah mati, apa boleh buat. Apalagi yang harus dibicarakan?”

“Tidak! Aku tetap hendak membalaskan sakit hatinya!” seru Cu Siau-bun.

Wanita itu tersirap kaget: “Eh, apakah kau … jatuh cinta padanya? … Bukan begitu maksudku menyuruhmu rnengikuti jejaknya!”

Wajah Cu Siau-bun yang kepucat-pucatan tampak merah, bibirnya mencibir: “Mah, kaulah yang bertanggung-jawab! Jika kau tak suruh aku mengikutinya tentu takkan terjadi peristiwa ini. Sekarang sesal tiada gunanya …”

“Kau … apakah sudah …!” makin getas suara wanita itu.

“Tidak! Sampai matinya dia belum mengetahui aku ini seorang perempuan!” Cu Siau-bun tersipu merah. Wanita itu menghembus napas longgar, ujarnya: “Jangan kau resahkan hal itu. Lewat beberapa waktu, kau tentu melupakannya.”

Cu Siau-bun membelalakkan matanya: “Tidak mungkin! Seumur hidup tak nanti aku dapat melupakannya. Dalam hidupku aku hanya dapat mencintai dia seorang. Kematiannya telah membuatku sengsara. Aku hendak melakukan pembalasan, baru nanti menyusulnya ke alam baka!”

Mata wanita itu berkaca-kacaa. “Ah, Siau-bun,” ia menghela napas. “Mengapa kau begitu tolol. Sedangkan dia belum tahu kau ini seorang gadis, mengapa kau hendak bela-mati untuknya?”

“Kuminta kau membantuku menghancurkan orang-orang dari 9 partai itu!” Cu Siau-bun tetap kukuh. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, serunya: “Mereka minta aku menyampaikan undangan padamu, supaya hadir menerima tantangan mereka di gunung Bu-san pada nanti bulan 1 tanggal 15!”

Wanita itu menggeleng: “Aku masih mempunyai urusan yang lebih penting lagi. Tak usah hiraukan ocehan mereka!” “Aku telah bersumpah dalam hati, sebelum tanggal itu akan menghancurkan mereka.”

Wanita itu mengerutkan dahi, ujarnya: “Dewasa ini di dunia persilatan timbul kekacauan. Tiap hari terjadi pembunuhan keji. Dan setiap pembunuhan tentu meninggalkan tanda Panji Tengkorak Darah palsu. Sedangkan peristiwa ini belum dibikin terang, lalu sekarang akan membasmi 9 partai lagi. Bukankah hal itu akan menambah berat beban penderitaanku? Selama yang tulen dan yang palsu itu belum dibikin terang, bukankah mamahmu ini tetap akan dihina oleh kaum persilatan sebagai manusia berdosa?”

“Telah kuselidiki hal itu,” buru-buru Cu Siau-bun berkata, “hasilnya telah kuketemukan. Yang memalsukan Panji Tengkorak Darah bukan lain ialah orang Sin-bu-kiong …”

“Sin-bu-kiong …?” wanita itu merenung beberapa jenak, katanya heran, “tetapi aku merasa tak mengikat permusuhan dengan pihak Sin-bu-kiong!”

“Bukan sadja telah kuperoleh bukti bahwa pembunuh ganas dan pemalsu Panji Tengkorak Darah itu orang Sin-bu- kiong, pun telah kuketahui juga bahwa yang memalsu jadi ibunya Kang Thian-leng itu ialah Te-it Ong-hui dari Sin-bu- kiong …!”

“Ai …!”

“Ibu dari Thian-leng itu bukan saja tidak meninggal, pun ternyata bukan ibunya yang sejati!” Cu Siau-bun lanjutkan keterangannya.

“Bukan ibunya?” si wanita menegas. “Benar!”

Makin dalam kerut dahi ibu Cu Siau-bun, sengaunya: “Ini makin aneh …!” tiba-tiba ia tertegun lalu gunakan ilmu menyusup suara Coan-im-jip-bi membisiki Cu Siau-bun: “Jangan bicara, ada orang!”

“Berapa jauhnya dari sini?” Cu Siau-bun gunakan Coan-im jip-bi.

“Paling tidak 3 li jauhnya. Jumlahnya lebih dari 20 orang, di antaranya …” – ia tak melanjutkan kata-katanya.

“Bagaimana?” desak Cu Siau-bun.

“Di antaranya terdapat seorang yang berilmu tinggi,” kata ibunya. “Masakan dia mampu menandingimu, mah!”

Ibunya menggeleng. “Sekalipun begitu, tetapi kita harus ingat bahwa di atas langit masih ada langit. Orang yang sakti masih ada yang lebih sakti lagi. Mamahmu ini bukanlah tokoh nomor satu di dunia!” cepat ia tarik puterinya dibawa melesat pergi. Mereka lenyap di antara gundukan batu yang menyela di semak pepohonan.

Tak lama rombongan yang dikatakan wanita itupun tiba. Mereka bukan lain ialah rombongan 9 partai tadi. Entah apa sebabnya mereka kembali lagi. Malah sekarang ditambah dengan seorang tua berjenggot putih, berjubah ungu.

Tubuhnya tinggi besar, sepasang matanya berkilat-kilat tajam. Sikapnya congkak. Ia berjalan dengan langkah lebar, mengikuti ketiga Cuncia dari Siau-lim-si yang menjadi penunjuk jalan.

Tampaknya biasa saja ia berjalan dengan rombongan jago-jago 9 partai. Tetapi apabila orang memperhatikan, tentu akan terbelalak kaget. Rumput-rumput yang bekas dilaluinya, tak ada sebatangpun yang rebah terpijak. Jadi orang itu seolah-olah berjalan melayang di atas tanah rumput.

Tiba di tepi sungai rombonganpun berhenti. Salah seorang cuncia yang bergelar Hang Liong cuncia berseru nyaring: “Melintasi sungai itu kita mencapai ujung terakhir dari lembah ini. Tetapi tak menemukan apa-apa. Kemungkinan si orangtua Sip Lojin itu tentu sudah meninggal dunia …”

Tertawalah orang tua bertubuh tinggi besar. Nadanya gemerontang macam lonceng bertalu: “Aku si orang tua ini telah memahami ilmu pengobatan dan menguasai ilmu meramal. Aneh, mengapa dia sudah mati lebih dulu? Tentulah karena memperhitungkan kita sekalian bakal datang kemari maka diam-diam ia tentu lari bersembunyi …”

Ia berhenti sejenak, lalu berkata pula: “Tetapi hal itu tak berapa penting. Memang aku telah mendapat tugas dari Te- kun untuk mencari jejak Sip Lojin itu. Tetapi yang lebih penting lagi ialah untuk mengajak saudara-saudara sekalian merundingkan rencana menghancurkan Hun-tiong Sin-mo!”

Hang Liong bukan saja menjadi tetua dari ketiga Cuncia kuil Siau-lim-si, pun dia juga merupakan pemimpin dari rombongan jago-jago 9 partai. Ia memberi sambutan atas pernyataan orang tua gagah itu: “Sungguh suatu rejeki besar bisa memperoleh bantuan dari pihak Sin-bu-kiong. Harap Ni Cong-hou-hoat suka bantu membicarakan perserikatan ini di hadapan Te-kun.”

Kiranya orang tua bertubuh tinggi besar itu menjabat sebagai cong-hou-hoat (kepala pengawal) dari istana Sin-bu- kiong. Namanya Ni Jin-hiong bergelar Ci-chiu-hoan-thian (tangan mengaduk langit).

Ni Jin-hiong tertawa sinis: “Hun-tiong Sin-mo sudah 60 tahun merajai duna persilatan. Dia mempunyai banyak anak buah yang sakti. Tak dapat diremehkan. Dengan memberi bantuan pada ke 9 partai ini, sudah tentu pihak kami akan memberi pengorbanan yang tak sedikit. Bahkan mungkin juga pihak Sin-bu-kiong akan mengalami kekalahan dan kehancuran. Tetapi andaikata bisa berhasil, entah bagaimanakah saudara-saudara sekalian hendak menghaturkan terima kasih kepada pihak Sin-bu-kiong?”

Sejenak mata Hang Liong Cuncia menyapu ke arah rombongannya, katanya kemudian: “Jika Hun-tiong Sin-mo dapat dihancurkan dan dunia persilatan terbebas dari cengkeraman momok ganas, 9 partai akan menggerakkan seluruh orang gagah di kolong dunia untuk menobatkan Sin-bu-kiong sebagai partai pemimpin dunia persilatan dan Sin-bu Te-kun sebagai kepala tokoh persilatan!”

Sekalian orang tak ada yang menyanggah dan mengangguk setuju, Ni Jin-hiong tertawa puas, serunya: “Kalau demikian dapatlah kulaporkan pada Te-kun, hanya saja …”

“Lohu telah menurutkan rencana Ni Cong-hou-hoat, mengundang Hun-tiong Sin-mo supaya datang kepuncak Sin-li- hong besok pertengahan bulan satu tahun depan!” tukas Hang Liong Cuncia.

Ni Jin-hiong mengelus-elus jenggot tertawa: “Bagus, selekas aku pulang tentu akan segera kukirim orang, untuk mengadakan persiapan. Kalau Hun-tiong Sin-mo berani datang dapat dipastikan dia bakal hancur …” sejenak ia kerlingkan mata, katanya pula: “Tetapi ingat, kecuali tokoh-tokoh penting di kalangan kalian 9 partai, jangan sampai rahasia Sin-bu-kiong akan ikut hadir dalam pertemuan di Bu-san itu bocor keluar! Atau … kemungkinan Hun-tioug Sin-mo takkan datang!”

Hang Liong Cuncia mengiyakan. Kembali orang she Ni utusan Sin-bu-kiong itu tertawa congkak kemudian ia minta diri.

“Bagaimana pendapat saudara-saudara tentang tindakanku tadi?” tanya Hang Liong Cuncia kepada rombongan 9 partai.

Tak seorangpun yang menyahut kecuali seorang setengah tua yang mengenakan dandanan sebagai pelajar. Ia menyelinap ke muka, serunya: “Menurut hematku, tindakan siansu tadi kurang bijaksana!”

Hang Liong Cuncia terkesiap. Ketika mengetahui bahwa yang bicara itu Poh-ih-siu-su (pelajar baju katun) Li Cu-liong, ketua partai Tiam-jong-pay, Hang Liong Cuncia mengerutkan alis.

“Bagaimana menurut pendapat Li Ciangbun?” tanyanya.

Kiranya di dalam persekutuan 9 partai itu, partai Tiam-jong-pay termasuk partai yang paling lemah sendiri. Sekalipun namanya sejajar dengan 8 partai besar, namun pada hakekatnya kekuatan partai Tiam-jong-pay itu kalah dengan sebuah Pang (cabang) saja. Bahkan dengan Kau (perkumpulan agama) saja tak menang.

Ketiga cuncia itu adalah golongan paderi yang paling tinggi kedudukannya dalam partai Siau-lim-si, maka di dunia persilatan mereka mendapat penghormatan yang tinggi. Sudah tentu mereka tak memandang mata kepada Li Cu- liong. Itulah sebabnya maka Hang Liong Cuncia mengunjuk sikap kurang senang kepada ketua Tiam-jong-pay.

Poh-ih-siu-su Li Cu-liong tertawa tawar: “Meskipun Hun-tiong Sin-mo itu seorang algojo buas, tetapi kaum Sin-bu- kiong itu juga bukan golongan baik. Tindakan losiansu tadi berarti ‘lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya’. Sekali Sin-bun Te-kun menjadi kepala dunia persilatan …” ia menghela napas tak melanjutkan kata-katanya pula.

Semula memang Hang Liong Cuncia tak senang, tetapi dia seorang paderi yang telah berpuluh-puluh tahun menghisap sari pelajaran agama. Peribadinya kuat, toleransinya penuh. Ia mengangguk perlahan. “Lohu-pun sudah tahu. Adalah karena tak tega mendengar tiap hari Hun-tiong Sin-mo melakukan pembunuhan ganas, maka kecuali dengan jalan itu rasanya tiada lain daya lagi …” ia berhenti sejenak, katanya pula: “Supaya cuwi sekalian mengetahui bahwa tindakan lohu sekali-kali bukan karena hendak menuntut balas atas kematian ketua dan kedelapan tianglo kami. Tetapi yang penting ialah demi memikirkan keselamatan dunia persilatan!”

Li Cu-liong menjura, serunya:”Sungguh mulia cita-cita losiansu itu, tetapi …” ia berganti nada setengah berbisik: “Maafkan, Tiam-jong-pay hendak mengundurkan diri dari persekutuan ini!” Sekalian tokoh terkejut mendengar keputusan ketua Tiam-jong-pay itu. Hang Liong Cuncia menatap tajam-tajam pada diri ketua Tiam-jong-pay itu, kemudian tertawa hina: “Silahkan kalau Li Ciangbun mau mengundurkan diri. Tetapi kaum persilatan di Tionggoan takkan merobah haluannya karena penarikan diri dari Tiam-jong-pay!”

Li Cu-liong tak mau banyak bicara. Setelah memberi hormat segera ia angkat kaki diikuti oleh kedua pengawalnya. Pada lain kejap mereka sudah lenyap dari pandangan.

Sekalian tokoh terlongong-longong mengantar kepergian ketua Tiam-jong-pay itu. Baru setahun yang lalu Li Cu-liong mendjabat ketua Tiam-jong-pay. Sebagai sebuah partai lemah, mengapa dia berani menarik diri dari persekutuan 9 partai? Dan berani menentang kehendak golongan Siau-lim-pay? Apakah dia mempunyai rencana sendiri. Demikian pertanyaan yang timbul di hati setiap orang.

Akhirnya Hang Liong Cuncia-lah yang membuka pembicaraan: “Keputusan telah ditetapkan, harap cuwi sekalian pulang ke tempat cuwi masing-masing. Sebelum akhir tahun ini harap sudah mengirim wakil ke puntjak Sin-li-hong di gunung Bu-san …”

Sekalian tokoh mengiyakan. Demikianlah mereka segera bubar dan pulang ke daerahnya masing-masing.

Keheningan kembali menyelubungi tepi Pek-long-ho. Beberapa waktu kemudian terdengar suara bicara bisik-bisik dari balik sebuah batu besar. Itulah Cu Siau-bun dan ibunya, yang sejak tadi ternyata masih bersembunyi mendengarkan pembicaraan rombongan 9 partai.

“Mah, jika tadi tak kau halangi, di sini tentu sudah timbul tumpukan bangkai … mereka toh hendak merencanakan mencelakai kau, mengapa kau diam saja?” Cu Siau-bun menggeram.

Setelah menelan pil dari ibunya, maka racun dalam tubuh Cu Siau-bun pun sudah lenyap. Kini tenaganya sudah pulih. Wanita tua itu tertawa hambar: “Jika tak tahan menderita soal kecil, tentu akan membikin terlantar urusan besar.

Apalagi ke 9 partai itu sebenarnya tak berdosa. Mereka telah masuk dalam perangkap orang. Si kepala gedung Sin-

bu-kiong yang menamakan dirinya sebagai Te-kun (raja) itulah biang-keladi yang sebenarnya …”

Cu Siau-bun tertegun sejenak. Katanya: “Mah, mengapa mendadak kau berobah begini welas-asih?” Wanita itupun terkesiap juga: “Apakah mamahmu ini seorang ganas?”

Cu Siau-bun tertawa:”Sekaligus membunuh ketua Siau-lim-si dan 8 tianglo …”

“Kau tak tahu …!” kata wanita itu. Setelah merenung sesaat, ia berkata pula: “Pertama, aku hendak menjaga peraturan mendiang guruku. Yakni tak membiarkan orang yang menantang, keluar dari Mo-hu (sarang hantu) dengan masih hidup! Kedua, ke 9 paderi itu memang cari mati sendiri …”

Cu Siau-bun melengking: “Masakan mereka …”

Tiba-tiba wajah wanita itu berobah bengis: “Jangan banyak bicara, ayo lekas berangkat!” “Mah, apakah kita langsung menggempur Sin-bu-kiong?” seru si nona dengan bersemangat. “Tidak! Akan kuajak kau ke gunung Tiam-jong-san dulu!”

Cu Siau-bun terbeliak heran: “Tiam-jong-san? Perlu apa kita ke gunung yang tandus itu?”

“Ketua Tiam-jong-pay, Poh-ih-siu-su Li Cu-liong seorang yang aneh wataknya. Aku hendak menjumpainya!” sahut sang ibu.

Cu Siau-bun tak berani membantah. Segera mengikuti sang ibu melintasi sungai terus keluar dari lembah. Namun mulut nona itu masih menyumpah-nyumpah: “9 partai adalah musuh besarku, termasuk Tiam-jong-pay pun hendak kubasmi!”

Wanita itu entah dengar entah memang tak mau menghiraukan gerutu puterinya, tetap berjalan terus … oo00oo

Bagaimana dengan Kang Thian-leng yang kecebur di dalam sungai? Apakah dia binasa? Tidak, ternyata dia memang belum ditakdirkan mati, masih harus melanjutkan perdjalanan hidupnya yang penuh cerita petualangan.

Begitu kecemplung ke dalam sungai, iapun sudah pingsan sehingga dibawa hanyut oleh arus. Pukulan yang dilancarkan oleh paderi dan imam dari 9 partai itu hebatnya bukan kepalang. Tapi untunglah sebelumnya Thian-leng sudah mendapat saluran lwekang dari Oh-se Gong-mo sehingga tenaga dalamnya kuat sekali. Benar ia terluka parah tetapi tak sampai binasa.

Malah ketika terendam dalam air, iapun agak tersadar dari pingsannya. Lapat-lapat ia merasa seperti membentur sebuah benda dan tahu-tahu tubuhnya terlempar ke tepi pesisir. Lemparan itu kuat sekali sehingga tulang persendiannya serasa remuk, kepala pening, mata berkunang-kunang. Sedemikian nyerinya sakit yang diderita saat itu sampai-sampai ia hampir pingsan lagi! Untung tempat jatuhnya itu di atas pasir, andaikata di atas batu karang tentulah tubuhnya sudah hancur.

Sesaat ia berusaha untuk menyalurkan darah dan membuka matanya pelahan-lahan. Apa yang dilihatnya saat itu, membuat semangatnya serasa terbang. Seorang manusia aneh yang menyerupai mayat hidup tengah memandangnya dengan tertawa mengikik … Kedua matanya sebesar kelinting, pipinya kempot dan mukanya berwarna pucat kebiru-biruan. Sekalipun panca-inderanya lengkap tapi tak mirip dengan seorang manusia!

Dia mencekal sebatang kail, batang kail terbuat dari bambu sebesar lengan bayi. Kini orang aneh itu tengah melepaskan kait yang menyantol di baju Thian-leng.

Astaga … serentak tersiraplah darah Thian-leng ketika mengetahui apa yang terjadi. Ternyata tadi dia dipancing orang aneh itu! Ia hendak membuka mulut, tetapi napasnya terengah sehingga terpaksa tak bisa bicara.

Orang aneh itu tertawa mengikik dan berkata seorang diri: “Besar nian rejeki hari ini, dapat memancing seekor manusia-ikan …” – ia menjilat-jilat lidah, katanja: “Eh, mana lebih lezat, dimasak atau dibakar …?”

Sudah tentu Thian-leng berjingkat kaget. Terhindar dari mati tenggelam, jatuh ke tangan seorang manusia aneh. Bukan mustahil orang aneh itu suka makan daging orang!

Ia paksakan diri berteriak: “Aku bukan ikan tetapi bangsa manusia seperti kau. Jangan kau …” karena lukanya parah sekali, sekalipun sudah menggunakan sekuat tenaga tetapi teriakannya itu lemah sekali dan akhirnya malah tak kedengaran lagi.

“Kau bukan ikan? Mengapa kau berada dalam air?” orang aneh itu tetap cekikikan.

Setelah memulangkan napas, Thian-leng menyahut dalam suara lemah: “Aku dianiaya orang dan dipukul jatuh ke dalam sungai!”

“O, jadi kalau tidak kupancing, kau tentu sudah mati, bukan?” orang aneh itu mengikik. “Terima kasih atas budi pertolongan locianpwe. Kelak wanpwe tentu akan membalasnya.”

“Selama hidup aku tak pernah berminat menolong orang. Ransumku sudah habis 3 hari yang lalu, terpaksa kujadikan kau sebagai ikan. Anggap saja kau tadi sudah mati tenggelam dalam sungai itu!” sambil masih tertawa mengikik sekonyong-konyong orang aneh itu menampar.

“Mati aku!” keluh Thian-leng yang tak berdaya menyingkir karena tenaganya lumpuh. Terpaksa ia meramkan mata menunggu kematian.

Plak, keajaiban terjadi! Berat kedengaran tangan orang aneh itu. menampar tubuh Thian-leng tetapi ternyata jatuhnya lunak sekali dan yang ditampar ialah bagian bawah perut. Seketika itu Thian-leng rasakan tubuhnya dialiri arus hawa yang hangat. Thian-leng memberi reaksi spontan (serentak). Ia segera pusatkan seluruh lwekangnya untuk menyambut hawa hangat itu …

Kira-kira sepeminum teh lamanya, orang aneh itupun perlahan-lahan melepaskan tangannya. Girang Thian-leng tak terkata. Ternyata orang aneh itu memberinya saluran lwekang sehingga saat itu lukanya sudah hampir sembuh. Buru- buru ia merangkak dan berlutut di hadapan si orang aneh.

Tetapi orang aneh itu menolak dan menyingkir, serunya: “Aku paling benci dengan segala macam peradatan. Tak usahlah!”

Thian-leng bangkit, ujarnya: “Oh, kiranya locianpwe seorang sakti terpendam, wanpwe tadi …”

“Apa itu orang sakti terpendam! Adanya aku mengasingkan diri di tempat ini karena aku masih senang hidup dan takut mati. Aku tak keluar ke dunia persilatan karena kepandaianku tak memadai …”

Tampak wajah orang aneh itu tegang. Rupanya ada sesuatu perasaan dalam hatinya yang tersinggung oleh kata-kata Thian-leng tadi sehingga meledak.

Thian-leng terbeliak. Orang yang mampu menyalurkan 1wekang untuk mengobati luka dalam, terang tentu seorang sakti. Sekalipun bukan hal yang jarang terdapat di dunia persilatan, tetapi tokoh semacam itu dapat digolongkan sebagai jago kelas satu. Heran Thian-leng mendengar kata-kata orang aneh itu.

“Kalau begitu, apakah locianpwe juga seorang yang menderita kekecewaan …” – ia tak mau lanjutkan kata-katanya karena kuatir menyinggung perasaan orang lagi dan mengalihkan dengan pertanyaan: “Sukalah locianpwe memberitahukan nama locianpwe yang mulia?”

Orang aneh itu tertegun, tiba-tiba ia tertawa: “Buyung, mungkin karena sudah berpuluh-puluh tahun tak ketemu orang maka aku senang bicara padamu. Ya, terus terang saja aku ini ialah salah seorang dari Su-mo (4 momok) yang dahulu mengangkangi dunia persilatan …!” – ia tertawa mengikik: “Pernahkah kau mendengar nama keempat momok itu?”

Thian-leng terbeliak. Teringat ia akan pesan Oh-se Gong-mo untuk menumpas si Song-bun Kui-mo yang jahat. Adakah orang aneh yang dihadapinya saat itu Song-bun Kui-mo?!

Untuk menghadapi segala kemungkinan diam-diam Thian-leng kerahkan tenaga dalam. Ah, ia menghela napas longgar karena lwekangnya sebagian besar sudah pulih.

“Apakah cianpwe Song-bun Kui-mo?” serunya. Tiba-tiba orang aneh itu menggeram: “Song-bun Kui-mo? Uh, aku membencinya setengah mati. Ingin benar kumakan dagingnya …”

Thian-leng menghela napas longgar: “Kalau begitu tentulah Tui-hun Hui-mo!” “Hm, benarlah!” sahut orang aneh itu.

Tanpa diberi keterangan, Thian-leng telah mengetahui apa sebab tokoh Tui-hun Hui-mo (Iblis pengejar maut) sampai sedemikian mengenaskan keadaannya. Di dalam apa yang disebut Su-mo (4 iblis), Hun-tiong Sin-molah yang paling tinggi kepandaiannya. Kemudian setelah Song-bun Kui-mo berhasil merebut kitab pusaka Im-hu-po-kip, kesaktiannyapun bertambah hebat. Dengan begitu hanja Oh-se Gong-mo dan Tui-hun Hui-mo yang terbelakang sehingga mereka lari menyembunjikan diri.

“Dan kau, siapa namamu?” tegur Tui-hun Hui-mo.

Thian-leng tertegun, sahutnya: “Wanpwe … bernama Bu-beng-jin!”

“Bu-beng-jin?” Tui-hun Hui-mo terkejut. “Kau tak mau mengatakan namamu yang sebenarnya?”

“Sekalipun semula wanpwe mempunyai nama, tetapi ternyata nama itu palsu, karena …” dengan terus terang Thian- leng segera tuturkan riwayatnya. Tetapi peristiwa masuk ke sarang Hun-tiong-san tidak diceritakannya.

Terpikat perhatian Tui-hun Hui-mo. Ketika mendengar tentang kematian Oh-se Gong-mo, tokoh aneh itupun mengucurkan air mata dan menghela napas berulang-ulang. Sampai beberapa saat Tui-hun Hui-mo termenung. Tiba- tiba ia bertepuk tangan tertawa: “Buyung, kita harus kerja sama. Sip-loji itu …”

“Apakah locianpwe mengetahui jejaknya? Apakah beliau masih hidup?” tukas Thian-leng.

Tui-hun Huimo tertawa aneh: “Ketahuilah, sudah hampir 3 tahun aku mengejar jejaknya, tetapi setiap kali ia tentu dapat lolos. Dia benar-benar seorang manusia aneh, dapat meramal …”

“Mengapa locianpwe hendak mengejarnya?”

“Aku … juga untuk pil Kong-yang-sin-tan itu. Pil itu bukan saja akan membuatmu mencapai kesempurnaan ilmu Lui- hwe-ciang, pun setiap orang yang minum tentu akan bertambah dahsyat lwekang-nya.”

Thian-leng termenung sejenak, ujarnya: “Karena locianpwe sudah lebih dulu 3 tahun, maka pil itu locianpwe saja yang minum, wanpwe …”

“Tidak!” bentak Tui-hun Hui-mo, “kalau Oh-se Gong-mo rela memberikan lwekang peryakinannya selama 80 tahun kepadamu, masakan aku sudi mengangkangi pil itu? Minumlah pil itu, buyung, agar kau dapat membasmi Hun-tiong Sin-mo dan Song-bun Kui-mo kedua keparat itu!”

Thian-leng terlongong. Memang Song-bun Kui-mo harus ia basmi. Tetapi Hun-tiong Sin-mo? Bukankah Hun-tiong Sin- mo itu jelas bukan musuhnya? Bukankah momok itu telah melepas budi kepadanya? Ah …

“Hai, buyung, tahukah kau siapa Song-bun Kui-mo itu?” tiba-tiba Tui-hun Hui-mo berseru. “Justru wanpwe bingung mencari tempat tinggalnya …”

Tui-hun Hui-mo tertawa: “Tempat tinggal? Saat ini dia ibarat matahari yang muncul di langit, sinarnya memenuhi jagad. Dia hendak menguasai dunia persilatan, menundukkan tokoh-tokoh silat. Masakan kau tak tahu tempat tinggalnya …”

“Dia … ?!”

“Dia ialah manusia yang mengangkat diri sebagai raja Sin-bu Te-kun dalam sarang istananya Sin-bu-kiong!”

“Sin-bu Te-kun?” Thian-leng tergagap. Sungguh tak diduganya sama sekali. Segera ia teringat akan dua taci-adik Ki, si orang tua baju biru. Dan Cu Siau-bun yang entah berada di mana sekarang!

Tui-hun Hui-mo heran memandang anak muda yang tampak termenung itu, tegurnya: “Hai, apa-apaan kau ini?” “Tak apa-apa,” Thian-leng gelagapan, “kita …”

“Ya, kita cari tempat persembunyian Sip-loji …” tukas Tui-hun Hui-mo. Ia menerangkan bahwa tokoh aneh itu memang suka berpindah-pindah tempat. Tetapi untungnya hanya di sekitar gunung Thay-heng-san saja. “Tiga hari yang lalu dia pindah di lembah Hong-lim-koh … berapa kali setiap aku hampir berhasil menyergapnya, apabila terpisah 10 li, ia tentu sudah mengetahui dan lari!”

“Kalau begitu selamanya tentu tak dapat dipergoki!” seru Thian-leng.

“Tidak! Dengan bantuanmu, tentu lain halnya,” Tui-hun Hui-mo tertawa. Segera ia mencari sebatang dahan kayu kering dan menggambar di tanah: “Ia di lembah Hong lim-koh. Di tengah lembah terdapat sebuah jalanan, satu di sebelah timur dan satu di selatan. Kau mengambil jalan yang timur dan aku dari selatan. Kali ini masakan dia mau lari ke langit!”

Setelah selesai memberi petunjuk, Tui-hun Hu-mo segera ajak Thian-leng berangkat. Dengan menurutkan peta guratan Tui-hun Hui-mo tadi, tak lama kemudian tibalah ia di muka mulut jalanan lembah Hong-lim-koh yang sebelah timur. Lembah itu merupakan sebuah tempat yang terpencil sekali. Penuh batu-batu yang curam dan hutan lebat.

Setelah beberapa saat memandang keadaan lembah itu, barulah Thian-leng mulai memasukinya. Tiba-tiba ia berhenti terlongong-longong …

*** Berhasilkah Thian-leng mencari si orang sakti Sip U-jong yang misterius …? (Bersambung jilid 3)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar