Panji Tengkorak Darah Jilid 01

Jilid 1

Di bawah sinar rembulan yang menyinari lembah gunung Hun-tiong-san, sesosok tubuh terhuyung-huyung mendaki tebing jurang. Ia sudah kehabisan tenaga, tetapi tetap paksakan diri merayap ke puncak gunung. Mukanya berlumuran debu, pakaian compang-camping terkait karang tajam. Kaki dan tangannyapun penuh gurat-gurat darah dari duri semak-semak yang jahil.

Namun pemuda yang usianya ditaksir baru 17 tahun itu rupanya seorang yang berhati keras. Dan agaknya ia tengah melaksanakan suatu tugas penting sehingga mengharuskannya berkejar-kejaran dengan waktu.

Sekalipun dalam keadaan yang tak keruan, kepribadian pemuda itu tetap menonjol. Wajahnya cakap berseri, lengkung alis lebat yang menaungi sepasang bola matanya menambah kesemarakan yang sedap dipandang. Sinar matanya tajam jernih, mencerminkan perangai hatinya yang polos jujur.

Entah apa yang tengah dikerjakannya itu!

Jerih payah pemuda itu akhirnya berhasil membuatnya tiba di hutan kuburan tak berapa jauh dari puncak gunung. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika tertumbuk pada sehelai panji merah yang berkibar-kibar di atas puncak gunung Hun-tiong-san itu. Mata pemuda itu berkilat-kilat memancarkan api. Musuh besarnya sudah di depan mata.

Menuntut balas!

Serasa bergolaklah darah pemuda itu, semangatnya menyala kembali. Dengan membusungkan dada segera ia memaksakan diri menerobos ke dalam hutan. Tiba-tiba ia berhenti, termangu- mangu….

Di muka hutan itu tampak cahaya lampu berkilauan. Semula merupakan berpuluh-puluh sinar lentera sebesar tinju. Tetapi lama kelamaan berubah merupakan sebuah pintu gerbang berbentuk tengkorak. Di atas pintu gerbang itu memancar sederet lampu merah yang merupakan huruf Kui-bun-kwan atau pintu akhirat !

Pemuda itu menenangkan kegoncangan hatinya. Geramnya disertai tertawa hambar, "Setiap orang berkunjung ke pintu akhirat, di akhirat tentu tambah penghuni baru ! "

“ Hm, “ ia mendengus seraya mencabut pedang yang terselip di belakang punggung, lalu melangkah lebar ke pintu gerbang itu.

Pintu gerbang lentera itu ternyata berisi dua baris lentera hijau yang memanjnag ke dalam hutan. Rupanya diperuntukkan sebagai petunjuk jalan bagi para tamu.

Dari gundukan kuburan yang menghias seluruh hutan tiu, samar-samar seperti tertutup kabut tebal sehingga makin menambah kerawanan hutan. Hanya bayang-bayang pohon yang tampak dan makin ke dalam makin suram tampaknya deretan lentera hijau itu.

Pemuda itu sudah membulatkan tekad. Dengan membusungkan dada ia melangkah maju. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara jeritan ngeri dari seorang yang tertusuk dadanya….. Betapapun ia tabahkan nyali, namun pada saat dan suasana seperti itu, mau tak mau berdirilah seluruh bulu kuduknya.

Sesaat suara ngeri itu sirap, maka terdengarlah pula suara merintih seperti suasana penyiksaan dalam neraka.

Dikobarkan lagi semangatnya. Sambil memanggul pedang, pemuda itu melangkah maju. Tetapi langkah kakinya sudah terhuyung-huyung, darah bergolak-golak dan pikirannyapun makin kusut. Pada saat ia tak kuat lagi mempertahankan diri, tiba-tiba ia mendengar suara nyanyian ayat suci menggema. Nyanyian yang seola-olah berkumandang segar dalam telinganya. Semangatnya kembali segar pula. Beberapa saat kemudian suara rintihan iblis itupun sirap….

Ia mendongak memandang ke muka. Di antara selimut kabut, tampak 9 orang paderi berjubah merah tengah berdiri berjajar kira-kira bebrapa tombak jaraknya. Paderi tua yang memimpin rombongan tampak melantangkan komando untuk menghentikan nyanyian rombongannya.

“O, kiranya sudah ada orang yang mendahului aku. Entah siapakah mereka itu?” pikir si pemuda.

Tiba-tiba terdengar suara retak yang dahsyat dan sebuah makam besar tiba-tiba terbuka. Segulung asap memyembur keluar, menyusul muncullah sesosok rangka manusia yang menyerupai mayat hidup. Rambutnya terurai ke bahu, wajahnya seram, mengenakan pakaian longgar warna putih. Ia tertawa meringkik seperti burung hantu berbunyi di tengah malam, kemudian berseru dalam nada tinggi, “ Ah, tak kecewalah lo-siansu menjadi paderi suci dari kuil Siau- lim-si sehingga dapat bertahan menerima ilmu Mo-in-kiu-coan ( Sembilan suara iblis )!”

Ia mengangkat kedua tangan memberi hormat, katanya lebih lanjut, “Kami memang siap menanti kedatangan para tetamu. Silakan ikut!”

Pemuda tadi terkejut. Benarkah di dalam rombongan paderi itu terdapat ketua Siau-lim-si? Kalau benar, iblis pemilik panji tengkorak darah yang tersohor dengan julukan Hun-tiong-sin-mo ( Iblis sakti dari Hun-tiong-san) itu pasti hancur lebur!

Tak ragu lagi, iapun segera mengikuti rombongan paderi itu melangkah masuk. Kira-kira sepuluhan tombak jauhnya, mereka tiba di sebuah lapangan kosong yang luas. Lapangan ini tertutup oleh rumput halus dan diterangi oleh lampu yang terang-benderang. Jauh sekali bedanya dengan suasana makam di hutan tadi, apa yang merka hadapi ialah sebuah lapangan perayaan pesta!

Sekalipun begitu, tempat ini yang sekeliling empat penjuru ditumbuhi pohon-pohon tinggi itu tetap memberi kesan yang seram, karena seolah-olah seperti berada di sebuah daerah iblis dan hantu.

Di sudut lapangan muncullah dua rombongan orang yang wujudnya seperti orang yang menjadi penunuk jalan tadi. Rambutnya terurai ke bahu, berpakaian serba putih dan berwajah seram.

Di belakang rombongan manusia-manusia seram itu muncullah seoprang dalam pakaian warna hitam, mengenakan kerudung muka warna biru. Perawakannya langsing kecil. Perlahan-lahan ia ayunkan langkah dan berhenti di tengah lapangan. Di luar dugaan, di belakang orang berbaju hitam itu ikut seorang dara berbaju merah darah. Sikapnya lincah, parasnya secantik bidadari, wajah berseri sesegar bunga mekar di pagi hari…

Namun pemuda tadi tidak terpengaruh oleh paras si dara. Darahnya tetap mendidih oleh api dendam kesumat. Diam- diam ia memaki, “Hun-tiong-sin-mo, malam ini adalah hari terakhirmu!”

Sekalipun begitu tak urung timbul juga rasa herannya. Konon kabarnya Hun-tiong-sin-mo itu seorang iblis ganas, seorang tua yang tiada sanak saudara. Mengapa ia membawa seorang dara? Siapakah dara itu?

Sesaat kemudian terdengar paderi tua yang rupanya menjdai pemimpin rombongannya mengucap salam keagamaan, ujarnya,”Aku paderi Bu Ceng, bersama 8 tianglo (paderi tua) dari kuil Siau-lim-si mohon bertemu dengan Jun Ih sicu!”

Orang berbaju hitam itu tertawa kecil, serunya, “Sungguh besar sekali peruntungan hari ini dapat menerima kunjungan para paderi suci dari Siau-limsi!”

“Apakah sicu ini Jun Ih-hui yang bergelar Hun-tiong-sin-mo?” penuh keheranan paderi Bu Ceng bertanya. “Begitulah, “ orang berbaju hitam tertawa.

Pemuda tadipun terbeliak heran. Mengapa yang begitu kondang sebagai momok ganas, ternyata bertubuh demikian kecil dan mempunyai nada suara seperti wanita?

Hun-tiong-sin-mo tertawa berderai-derai, ujarnya, “Berbahagialah aku malam ini karena bakal dapat menerima pelajaran dari ajaran guru agung Tat Mo yang mendirikan Siau-limsi. taysu adalah tetamuku, maka kupersilakan taysu mengatakan cara pertandingan yang taysu kehendaki!”

Bu Ceng merangkapkan kedua tangan, berseru nyaring, “Kedatangan kami kemari bukan bermaksud hendak mebgikat permusuhan dengan sicu. Melainkan hanya sekedar hendak memberi nasehat agar sicu kembali ke jalan yang suci, jangan tersesat dalam penghidupan yang berlumur darah. Ketahuilah bahwa hukum karma itu selalu menuntut….”

Hun-tiong-sin-mo menukas dengan tertawa-tawa, “Kata-kata emas dari taysu akan kuukir dalam hati sanubari…” tiba- tiba ia merubah nadanya menjadi garang, “Tetapi sudah menjadi tradisi berpuluh tahun bahwa barang siapa yang masuk ke Gerbang Neraka sini tentu takkan keluar lagi. Karena taysu segan bertempur, maka silakan saja segera bunuh diri. Tentang jenazah taysu sekalian, nanti akan kusuruh orangku mengantarkan ke kuil Siau-lim-si!”

Selesai berkata, ia perlahan-lahan mengacungkan tangan ke atas. Dari lapisan kabut, muncullah rombongan orang berpakaian putih. Setiap dua orang memanggul sebuah peti mati. Semua berjumlah 9 buah peti mati. Peti-peti itu ditaruh di tengah lapangan.

Berubahlah seketika wajah paderi Bu Ceng dan rombongannya. Hampir tak dapat Bu Ceng mengusai amarahnya, seketika ia berseru, “Jangan sicu terlalu mendesak padaku. Camkanlah, aku datang dengan itikad baik.!”

Hun-tiong-sin-mo melangkah maju tiga tindak, bentaknya,” Taysu segan turun tangan, enggan pula membunuh diri. Terpaksa aku harus bertindak!” Diangkatnya tinju perlahan-lahan, siap hendak dipukulkan.

Bu Ceng mengucap doa, kemudian menghela napas, “Karena sicu tetap tidak mau sadar, terpaksa aku hendak minta pengajaran barang 8 jurus.”

Sin-mo menurunkan tinjunya dan tertawa, “Dalam 3 jurus jika tak dapat mengambil jiwamu, aku akan bunuh diri.!”

Bu Ceng terkesiap. Di dunia persilatan, yang mampu bertahan 9 jurus serangannya hanya berjumlah sedikit. Tetapi kini Sin-mo telah membuka mulut akan mengammbil jiwanya dalam 3 jurus. Benar-benar ia tak habis mengerti…

Ketua Siau-lim-si itu tersenyum lalu gerakkan tangan mendorong perlahan-lahan. Memang tampaknya tak bertenaga pukulan itu dilancarkan, tetapi hebatnya tiada tara.

Itulah jurus Ngo-lui gui-san ( 5 petir membelah gunung) dari ilmu pukulan Tat-mo-ciang yang sakti. Angin bergemuruh laksana petir menyambar. Segulung tenaga dahsyat melanda .

Iblis sakti itu tetap tegak berdiri di tempat, menyambut badai serangan. Heran, jangankan tubuhnya, bahkan pakaiannyapun tak berkibar oleh badai pukulan lawan. Seolah-olah gelombang tenaga lawan terbelah dua dan lalu di sampingnya…

Serasa terbanglah semangat Bu Ceng menyaksikan keanehan itu. Tubuhnyapun menggigil. Hun-tiong-sin-mo tertawa mengejek. Tiba-tiba ia ulurkan tangan meutuk dengan sebuah jari. Cepat dan tepat sekali tutukan jari mengenai dada si paderi. Dan tergempurlah kuda-kuda Bu Ceng sehingga ia menyurut selangkah mundur. Segumpal darah segar menyembur dari mulutnya….

Kedelapan paderi tianglo tak keburu memberi pertolongan lagi. Tiba-tiba Bu Ceng apungkan tubuhnya, ia merentangkan kelima jari dan mencengkeram dada lawan.

Itulah yang disebut Tat-mo-ci atau Jari Tat-mo. Kelima jari itu dapat menembus batu yang bagaimanapun kerasnya.

Karena dalam gebrakan pertama menderita luka dalam yang berat, maka Bu Ceng segera mengeluarkan ilmu simpanan, ia berusaha menebus kekalahannya.

Tetapi momok dari gunung Hun-tiong itu memang luar biasa. Hanya dengan mengebutkan lengan bajunya saja, maka tekanan jari Bu Ceng dapat ditahan. Serempak dengan itu, suatu tenaga membal melontar keras dan terpentallah Bu Ceng sampai dua tombak jauhnya!

Ketua Siau-lim-si itu merasakan bumi di sekelilingnya menjadi gelap gulita dan sesaat kemudian ia tak dapat berkutik lagi….

Melihat ketuanya menderita luka parah, serempak ke delapan tianglo dari Siau-lim-si segera loncat menerjang Sin- mo.

“Berhenti! Aku paling benci main keroyokan. Kalian tentu takkan terkubur tanah lagi!” bentak Hun-tiong-sin-mo seraya mendorongkan kedua tangannya. Sinar merah berkilat dari kedua telapak tangannya. Jangan memandang dia bertubuh kecil, tetapi tenaga pukulannya amatlah hebat laksana petir menyambar.

Sebelum kedelapan tianglo itu sempat membuka serangan, mereka serasa tersambar petir sehingga kocar-kacir terkapar malang-melintang di tanah. Sungguh mengerikan sekali, tubuh kedelapan tianglo itu hancur lebur di bawah pukulan Cek-kui-sin-ciang atau Pukulan sakti membunuh hantu.

Hun-tiong-sin-mo menghampiri perlahan-lahan ke tempat Bu Ceng tergeletak, ujarnya, “ Telah kukatakan bahwa dalam tiga jurus tentu akan kucabut jiwamu. Nah, terimalah pukulan pengantar ke akhirat ini! “ Tangannya pun segera diulur untuk menutuk.

Bu Ceng tak berdaya lagi, ia memeramkan matanya menunggu ajal. Sekonyong-konyong si pemuda baju biru tadi lompat menerjang Sin-mo. “ Jangan mengganas, setan tua ! “

Hun-tiong-sin-mo menarik tubuhnya dan mendengus,”Hm, kaupun hendak menantang aku?”

Karena tidak ditangkis, pemuda itu lipat gandakan tenaga tusukan pedangnya. Tetapi ketika hampir menyentuh tubuh Sin-mo, tiba-tiba pedangnya terpental balik. Sedemikian keras tenaga membalik yang keluar dari tubuh Sin-mo sehingga si pemuda terpental sampai setombak jauhnya, pedangnyapun melayang terlepas dari tangannya.

Namun pemuda itu tetap ngotot, ia melompat bangun dan menyerang lagi. “Jawab dulu pertanyaanku tadi!” bentak Hun-tiong-sin-mo.

“Membalas sakit hati!” teriak si pemuda.

“Apa aku bermusuhan denganmu?” tegur Hun-tiong-sin-mo.

“Musuh besar!” si pemuda menggeram penuh dendam.” Tiga turunan keluarga yang terdiri dari 40 orang lebih telah kau binasakan sampai ludas….” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tersekat oleh isakan harunya.

Di luar dugaan, Hun-tiong-sin-mo bukannya marah, malah tertarik, tanyanya, “Kapan?” “70 tahun yang lalu!”

Hun-tiong-sin-mo terkesiap,serunya,” 70 tahun yang lalu…… Ah, aku tak ingat lagi!”

“Kau yang biasa membunuh jiwa manusia mungkin sudah lupa. Tetapi hanya 3 hari yang lalu kau bunuh ibuku lagi!” “Ngaco!” bentak Sin-mo, “sudah 3 bulan tak keluar gunung, bagaimana aku dapat membunuh ibumu?”

Si pemuda tertawa menghina, “Setan tua, begitu saja kau tak berani mengakui ? “ 

Marah sekali iblis itu, “Berpuluh tahun ini, entah sudah berapa banyak tokoh-tokoh silat yang binasa di tanganku. Mengapa aku tak berani mengakui pembunuhan ibumu?”

Ia berhenti sejenak, serunya pula,”Hai, siapakah namamu?”

“Kang Thian-leng!” sahut si pemuda seraya mengeluarkan sehelai bendera kecil terus dilontarkan ke muka Sin-mo,” Itu milikmu bukan?”

Bendera itu berbentuk segi tiga, bentuknya seperti bendera besar yang berkibar di puncak gunung. Itulah bendera lencana yang ditinggalkan Hun-tiong-sin-mo sebelum atau sesudah membunuh orang.

“Dari mana kau peroleh bendera itu?” Hun-tiong-sin-mo keheranan.

“Pada tiga hari yang lalu, berada di samping jenazah ibuku!” geram pemuda itu. “Aneh! Aneh sekali! Harus kuselidiki… “ Sin-mo berhenti sejenak, lalu ia berseru tajam, “Kali ini akan kubuat pengecualian. Mengingat kau masih begini muda, kurang pengertian, maka akan kuberi engkau kedudukan sebagai salah seorang penjagaku!”

“Aku Kang Thian-leng ingin sekali mengunyah dagingmu, membeset kulitmu. Siapa sudi menjadi hambamu!” teriak Kang Thian-leng kalap.

“Budak , apakah kau ingin mati?” Sin-mo murka sekali.

Kang Thian-leng tertawa geram, “Kang Thian-leng sudah sedia mati, tetapi kaupun jangan harap hidup sampai besok pagi!”

“Hun-tiong-sin-mo terkesiap. Sambil menuding mayat-mayat paderi Siau-limsi yang bergelimpangan di tanah, ia berseru,”Apakah kau lebih lihay daripada mereka?”

Kang Thian-leng melangkahkan kaki ke muka, serunya, “Dalam ilmu kepandaian, mungkin aku bukan tandinganmu. Tetapi saat ini aku membawa hadiah yang akan membuat kita berdua mati bersama!”

Kata-kata itu ditutup dengan sebuah gerakan mengebut lengan bajunya yang kiri. Seketika berhamburanlah asap hitam memenuhi lapangan.

“Kutu beracun..!” Hun-tiong-sin-mo menjerit kaget. Cepat ia menampar dengan tangan kiri, “Bangasat, kau berani membokong aku?”

Memang Thian-leng diam-diam telah membekal sebotol Pek-tok-jong ( kutu beracun). Ia sudah siap mati bersama musuhnya. Ia lontarkan botol itu kepada musuhnya, tapi iapun tak mau menghindar dari tamparan Sin-mo. Mulutnya terasa manis-manis amis, hidungnya menghisap suatu hawa apek yang menyerang ke ulu hati.

Betapa girangnya tadi ketika melihat timpukan botolnya telah mengenai sasarannya. Baru ia hendak tertawa merayakan kemenangannya, tiba-tiba tamparan Sin-mo telah membuatnya terlempar ke udara….

Begitu marahnya Sin-mo saat itu, sehingga ia loncat hendak menyongsong jatuhnya tubuh anak muda itu dengan pukulan maut yang akan mencerai-beraikan tubuh si anak muda.

Sekonyong-konyong darah Sin-mo tersirap kaget. Tangan yang sudah siap diluncurkan itu tidak dilanjutkan, melainkan dibuat menyambuti tubuh Thian-leng, terus dipondong dan dibawa lari… Aneh. aneh.!.

Ternyata iblis itu melihat sesuatu yang mengejutkan hatinya. Ketika mendongak hendak menghancurkan Thian-leng, tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah tahi lalat merah sebesar kedele. Itulah yang membuat dada Sin-mo berdebar keras, hatinya memukul sehingga ia merobah rencananya.

Pada saat Hun-tiong-sin-mo sedang menghancurkan Bu Ceng dan rombongan paderi Siau-lim-si tadi, dara berbaju merah tertawa mengikik dan beberapa kali bicara bisik-bisik dengan bujang wanitanya yang berbaju kuning. Apa yang terjadi di tengah lapangan itu baginya merupakan sebuah pertunjukan yang menggembirakan. Barulah ia terkejut ketika Kang Thian-leng menimpuk botol kutu beracun dan Hun-tiong-sin-mo menghantam pemuda itu, tetapi tiba-tiba membawanya lari. Buru-buru dara itu bergegas mengikuti langkah Hun-tiong-sin-mo…

Hun-tiong-sin-mo membawa Thian-leng ke dalam sebuah ruangan batu yang terletak di bawah tanah istananya. Thian-leng diletakkan di sebuah ranjang yang beralaskan kasur empuk. Kemudian ia menyuruh si dara baju merah dan bujang baju kuning mengambil obat Tay-hoan-tan.

Dara baju merah terkejut melihat tubuh Thian-leng berlumuran dara, namun ia tak berani banyak mulut. Dari dinding tembok ia mengeluarkan sebuah botol kecil terbuat dari batu kumala hijau. Hati-hati sekali ia berikan botol itu kepada Sin-mo.

Botol kumala itu berisi hanya 5 butir pil warna merah. Hun-tiong-sin-mo mengambil sebutir lalu disisipkan ke mulut Thian-leng, setelah itu iapun menelan sebutir.

Kedengaran ia menghela napas, “Jika tak ada pil Tay-hoan-tan ini, entah bagaimana jadinya diriku malam ini. Pek- tok-jong merupakan benda mukjijat di dunia persilatan. Eh, entah mengapa budak ini bisa memperolehnya…?” Dar baju merah menyeletuk, “Dia jahat sekali, lebih baik dilenyapkan saja. Mengapa kau malah memberinya pil mukjijat itu?”

Hun-tiong-sin-mo menggelengkan kepalanya, “Nak, kau tak mengerti… aku hendak menyelidiki dirinya..” kembali ia menghela napas seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Suatu hal yang baru pertama kali keluar dari mulut iblis ganas yang telah merajai dunia persilatan selama 60 tahun.

Setelah minum pil Tay-hoan-tan, tak berapa lama kemudian Thian-leng pun sadar. Cepat-cepat ia meloncat bangun. Apa yang disaksikannya saat itu membuatnya terlongong-longong terkesima.

“Kau…kau mengapa menolong aku?” serunya setelah teringat apa yang telah terjadi tadi.

Hun-tiong-sin-mo tak menyahut. Diambilnya sebutir pil lagi, ujarnya ”Pek-tok-jong yang kau bawa itu ganas sekali. Kalau masih merasa sakit, minumlah pil ini lagi tentu selamat.!”

Nada ucapannya mengandung pengaruh yang besar, sehingga Thian-leng tak kuasa menolak. Benaknya penuh diliputi oleh berbagai pertanyaan yang tak dapat dijawabnya. Siapakah sebenarnya Hun-tiong-sin-mo ini?

“Kau hendak melepaskan aku atau akan menjadikanku penjaga kuburan?” tanyanya.

Sahut Hun-tiong-sin-mo dengan nada tegas,”Kali ini hendak kubuat pengecualian pada peraturan yang telah kujalankan selama 60 tahun. Ya, kau boleh tinggalkan gunung ini!”

Thian-leng, bahkan si dara baju merah terbeliak kaget. Malah si bujang baju kuning merintih perlahan. Mereka menatap ke arah wajah Sin-mo yang tertutup kerudung sutera hijau.

Entah girang, entah sedih, tak tahulah Thian-leng perasaan yang berkecamuk dalam hatinya saat itu. Meluncurlah pertanyaan heran dari mulutnya, “Kau tak kuatir aku akan melakukan pembalasan lagi?”

Hun-tiong-sin-mo ganda tertawa, “Silakan saja kalau kau mempunyai kepandaian!”

Thian-leng membanting kakinya, “Kang Thian-leng seorang manusia yang dapat membedakan budi dengan dendam. Pertama kali, tentu akankubalas budimu memberi obat padaku ini. Kemudian barulah kulaksanakan tujuanku melakukan pembalasan padamu, demi untuk melampiaskan sakit hati keluarga Kang.”

Tiba-tiba Hun-tiong-sin-mo melambaikan tangan, “Bwe Hiang, antar dia keluar!”

Si bujang baju kuning mengiyakan, lalu mengajak Thian-leng pergi. Belum lama berjalan, tiba-tiba Hun-tiong-sin-mo berseru,” Berhenti!”

“Setan tua, kau menyesal?” Thian-leng tertawa mengejek.

“Tak pernah kusesali apa yang telah kulakukan,” agak kurang senang Sin-mo menyahut, “Aku tak mengharap balas atas pertolonganku tadi. Yang kuminta hanyalah, janganlah kau katakan sepatahpun juga apa yang kau lihat di sini kepada orang lain!”

“Baik, kuberikan janjiku,” sahut Thian-leng.

“Pergilah!” seru Hun-tiong-sin-mo dengan nada garang kerontang, lalu ditutup dengan sebuah helaan napas panjang. Lama nian ia tegak mematung di ruangan itu. Sekalipun tidak dapat melihat perobahan kerut wajahnya yang terbungkus kain kerudung, namun dapat dipastikan bahwa iblis itu sedang dilanda oleh renungan hatinya….

Si dara baju merah memberanikan diri menghampiri dan menempelkan diri ke bahu Sin-mo, ujarnya,”Mengapa hari ini aneh sekali sikapmu?”

Sin-mo menghela napas perlahan. Tiba-tiba ia berbisik-bisik ke dekat telinga si dara. Tampak wajah dara itu membesit kerut kemarahan, keheranan dan kegelisahan. Akhirnya ia mengangguk-anggukkan kepala, mulut menyungging senyuman…

Sementara itu Thian-leng yang mengikuti si bujang baju kuningpun keluar dari sebuah kuburan besar. Ternyata ia berada di lapangan tadi pula. Lapangan itu sunyi senyap, melainkan hanya terdapat 9 buah peti mati tadi yang berjajar di tengah-tengah lapangan. Ketika lewat di hadapan peti-peti mati itu, timbullah rasa duka di hati thian-leng.

Peti-peti itu belum ditutup. Dalam setiap peti membujur sesosok mayat. Sekonyong-konyong mayat yang berada pada peti mati terakhir menggeliat-geliat berusaha duduk. Serasa terbanglah semangat Thian-leng melihat kejadian itu. Tapi demi dilihatnya mayat hidup itu ialah Bu Ceng Taysu, tenanglah hatinya.

Bu Ceng memang menggeliat duduk. Wajahnya menghitam, sepasang matanya redup. Ia berusaha mengeluarkan sebelah tangannya, “Tolong…sicu sampaikan… berita …pada ……..Siau- lim-si….”

Melihat tangan paderi itu seperti menggenggam sebuah benda yang seperti hendak diberikan kepadanya, tergeraklah hati Thian-leng. Buru-buru ia menyambuti terus dimasukkan ke dalam baju. 

Bluk, rupanya setelah menyampaikan pesan terakhir Bu Ceng jatuh ke dalam peti mati lagi.

Tiba-tiba Thian-leng tercekam oleh suatu perasaan ngeri. Nyata kematian paderi Siau-lim-si itu bukan dikarenakan pukulan Hun-tiong-sin-mo, tetapi oleh karena taburan Pek-tok-jong.

“Tolol, mengapa tak lekas jalan!” melihat Thian-leng berhenti, si bujang baju kuning segera menariknya.

Thian-leng seperti ditarik oleh suatu tenaga yang kuat, sehingga di luar kehendaknya ia terseret ke muka… Saat itu terdengar kentongan malam sayup-sayup bertalu 4 kali. Malam kelam, bintang-bintang bersembunyi,

rembulan malu-malu mengintip di balik awan. Tiba di gerbang tengkorak, bujang baju kuning itu segera kibaskan

tangannya, “Silakan pergi sendiri, aku akan kembali!”

Bujang itu segera berputar tubuh dan lari . Thian-leng terlongong-longong. Sebenarnya ia hendak mengorek ketrangan dari mulut bujang itu, tapi kecele. Ia hanya dapat menghela napas dan ayunkan langkah.

Sekalipun terkena Pek-tok-jong dan pukulan Hun-tiong-sin-mo, tapi karena sudah minum pil Tay-hoan-tan yang mukjijat, bukan saja tak merasa sakit, iapun merasa bertambah segar dan bersemangat. Gerak langkah kakinya tak dihiraukan karena pikirannya tengah melayang kembali pada peristiwa di dalam sarang Hun-tiong-sin-mo tadi. Bu Ceng adalah ketua kuil Siau-lim-si yang memiliki kesaktian tkuil termasyur. Namun hanya dalam 3 jurus saja sudah binasa di bawah pukulan Hun-tiong-sin-mo. Ah, apalagi dirinya… dan bukankah ia berhutang budi pada iblis itu?

Tiba-tiba ia ingat akan benda pemberian Bu Ceng. Segera dikeluarkannya benda itu, ah, sebuah giok-pay (lencana kumala) sedikit lebih kecil dari kepalan tinju. Permukaan lencana berukirkan sebuah gambar Buddha yang indah. Kumala itu bersih dan berkilauan.

“Jika pihak Siau-lim-si menerima giok-pay ini, mereka tentu akan menyerang Sin-mo. Ya, hanya dengan mengharapkan turun tangannya pihak Siau-lim-si, dapatlah Hun-tiong-sin-mo tertumpas. Kalau hanya mengandalkan kepandaianku, mungkin seumur hidup tak nanti dapat kulampiaskan sakit hatiku, “ pikir Thian-leng.

Setelah menetapkan rencana, Thian-lengpun segera melanjutkan perjalanan menuju ke gunung Ko-san. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang batuk-batuk, buru-buru ia berpaling.

Kira-kira 2 – 3 meter jauhnya, tegak seorang tua berjubah biru. Rambut dan jenggotnya sudah putih semua, tubuhnya tinggi besar. Dia tengah memandang lekat-lekat pada Thian-leng dengan tersenyum. Teringat bahwa kedatangan orang tua itu sama sekali tidak menimbulkan suara, tergetarlah nyali Thian-leng. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh. Namun karena sudah terlanjur beradu pandang, terpaksa Thian-lengpun mengamat-amati orang tua itu dengan tajam.

Sepasang mata orang tua itu berkilat-kilat tajam. Kedua pelipisnya menonjol keluar, pertanda dari seorang ahli yang memiliki lwekang tinggi.

Segera Thian-leng memberi hormat dan berseru, “Lo-cianpwe…” “Eh, siapakah namamu anak muda?” orang tua itu tertawa sinis. Thian-leng tertegun, sahutnya, “Aku Kang Thian-leng,

mohon tanya lo-cianpwe…?”

Orang tua itu mengerutkan dahi, mengulang,” Kang …..Thian… leng…!” kemudian ia tertawa sinis, ujarnya,” Belum

pernah terdengar nama semacam ini di dunia persilatan.!”

“Memang aku seorang kerucuk yang tiada ternama,” Thian-leng merendah.

Tiba-tiba kedua mata orang tua itu memancarkan sinar ganas. Ditatapnya wajah Thian-leng dengan seram, serunya bengis,”Di hadapan seorang tua jangan suka berbohong! Mengapa kau tak brani menyebutkan namamu yang asli?”

Serentak timbullah reaksi pada Kang Thian-leng, sahutnya dengan garang, ”Seorang lelaki jalan dengan menengadah, duduk dengan tegak. Putih kukatakan putih, hitam kubilang hitam. Aku memang Kang Thian-leng!”

“Mengapa kau keluar dari sarang Hun-tiong-sin-mo!?” bentak si orang tua dengan marah. Thian-leng terkesiap, ia balas bertanya, “Mengapa lo-cianpwe tahu?”

Orang tua itu tertawa hina, “Sudah sehari semalam aku menunggu di sini!” “Siapakah yang menyuruh lo-cianpwe ? “ kembali Thian-leng terbeliak.

Wajah si orang tua mengerut gelap, “Ini…. aku tak bisa menerangkan !“, setelah berhenti sejenak ia berkata pula, “ Kau tentu kaki tangan Hun-tiong-sin-mo!” Thian-leng tertawa kecut, “Kau salah paham. Benar aku dapat keluar dari sarang iblis itu, tetapi aku tak mempunyai kepandaian apa-apa dan sama sekali bukan kaki tangan iblis itu!”

Tiba-tiba Thian-leng teringat akan janjinya kepada Hun-tiong-sin-mo, cepat-cepat dia diam. “Ceritakan pengalamanmu masuk ke sarang Hun-tiong-sin-mo!” kembali orang tua itu mendesak. Thian-leng menggelengkan kepala, “Maaf, aku tak dapat menceritakan hal itu.”

Mata orang tua itu memancarkan api keganasan, serunya dengan nada bengis, “Tahukah kau siapa aku ini?”

Thian-leng sudah mempunyai kesan buruk terhadap orang tua liar itu, maka menyahutlah ia dengan tawar, “Pengalamanku kurang, tidak…..”

“Pernahkah kau mendengar tentang istana Sin-bu-kiong dan raja Sin-bu-te-kun yang termasyur itu?” tukas si orang tua.

“Belum!”

Marah sekali orang tua itu. Tangan kanan diangkat ke atas dengan kelima jarinya terpentang. Lalu dicengkeramkan ke dada Thian-leng.

Pucat wajah Thian-leng seketika. Pada saat ia masih terlongong-longong menghadapi ancaman maut, tiba-tiba terdengar derap langkah mendatangi. Dari balik gerombol pohon, muncullah beberapa sosok bayangan.

Orang tua tadi terkejut dan menarik pulang pukulannya. Cepat sekali orang-orang itu muncul. Semuanya berjumlah 5 orang, dipimpin oleh seorang dara berbaju ungu. Usianya sekitar 20 tahun. Seorang dara jelita yang memikat hati.

Pengiringnya terdiri dari 4 orang tua yang dandanannya serupa dengan orang tua yang menghadang Thian-leng itu.

Orang tua yang pertama tadi segera maju memberi hormat kepada si dara jelita, serunya, “Memberitahukan kepada ji-kongcu (tuan puteri kedua), orang ini menyebut dirinya kang Thian-leng. Sepatah katapun ia tak mau bicara sejujurnya…. hanya mengaku memang telah keluar dari sarang Hun-tiong-sin-mo….”

“Aku sudah tahu!” si dara tertawa, lalu kisarkan pandangannya ke arah Kang Thian-leng, serunya dengan ramah,” Kang tayhiap, berapakah usiamu sekarang?”

“Delapan belas,” sahut Thian-leng tawar.

Dara itu kedipkan mata kepada Thian-leng dan tertawa, “O, terpaut 2 tahun dengan aku. Panggillah taci padaku!” “Mana aku berani,” dengus Thian-leng.

“Jangan sungkan..aku…. “ si dara maju dua langkah, “Namaku Ki Seng-wan, panggil saja namaku begitu.” Thian-leng tertawa dingin dan menyurut mundur dua langkah,” Aku masih mempunyai urusan penting, maaf!”

Thian-leng terus hendak berlalu, tapi tiba-tiba dara itu menghadangnya. Wajahnya berobah masam, “Kau mau pergi?” “Aku masih ada lain urusan, harap nona suka memaafkan!”

“Mau ke mana? Urusan apa itu!”

“Ini… tak dapat kuterangkan,” sahut Thian-leng seraya berputar tubuh.

“Orang she Kang, apakah kau sungguh tak memandang muka padaku?” Ki Seng-wan melengking marah dan kemarahannya itu ditumpahkan dengan sebuah cengkeraman ke dada Thian-leng. Pemuda itu terkejut sekali, cengkeraman itu luar biasa cepat dan hebatnya, sehingga sebelum ia sempat menghindar, dadanya sudah kena. Thian-leng rasakan dadanya seperti dihantam palu godam. Dadanya bergolak seketika, kakinya goyah dan tubuhpun terhuyung-huyung mundur 3 langkah…

Tetapi di luar dugaan, Ki Seng-wan pun kaget dan tersurut mundur sampai 3 – 4 langkah. Ia berseru tertahan, “Kim- wi-sin-kang!”

Mendengar disebutnya Kim-wi-sin-kang atau ilmu lwekang sakti perut emas itu, kelima orang tua pengawal Ki Seng- wan pun mundur selangkah.

Orang tua yang pertama kali mencegat Thian-leng segera berkata kepada Ki Seng-wan, “Memang sejak tadi hamba sudah menduga dia tentu memiliki ilmu Bu-siang-sin-kang!”

Bu-siang-sin-kang ialah ilmu lwekang tanpa bayangan. Wajah Ki Seng-wan berobah dan serunya, “Lekas pulang ke istana melapor kepada ayah baginda, bahwa Hun-tiong-sin-mo telah mengirim anak buahnya …..” kata-kata selanjutnya diucapkan begitu perlahan sehingga Thian-leng tak dapat menangkapnya.

Pengawal tua itupun segera memberi hormat dan melesat pergi. Thian-leng termangu-mangu. Tak tahu ia apa yang disebut istana Sin-bu-kiong itu. Dan siapakah orang yang menamakan dirinya baginda Sin-bu-te-kun. Namun melihat si dara Ki Seng-wan dan para pengawalnya itu memiliki kepandaian sakti, Sin-bu-te-kun tentulah seorang tokoh lihay. Mungkin tak di bawah kepandaian Hun-tiong-sin-mo.

Suatu titik harapan melintas dalam hati Thian-leng tetapi secepat itupun lenyaplah. Gerak-gerik Ki Seng-wan yang genit dan sikap para pengawalnya yang bengis, memberi kesan buruk pada Thian-leng. Ia duga Ki Seng-wan dan pengawalnya itu tentu sebangsa gerombolan liar.

Habis membuat penilaian, diam-diam Thian-leng geli sendiri. Cengkeraman Ki Seng-wan tadi tepat mengenai giok-pay yang ditaruh di dada. Tak heran kalau si gadis menjadi kelabakan setengah mati. Namun Thian-leng tak mau memecahkan rahasianya, tanpa berkata apa-apa segera ia berputar dan angkat kaki.

“Kecuali kau kembali ke dalam sarangmu Hun-tiong-san, jangan harap kau dapat melarikan diri malam ini!” terdengar Ki Seng-wan berseru memberi ancaman.

Thian-leng berpaling, dilihatnya Ki Seng-wan bersama keempat pengawalnya tengah mengejar. Mau tak mau gelisah juga Thian-leng. Sebenarnya ia tak mempunyai kepandaian yang berarti. Dalam ginkang ia kalah jauh dari mereka, ilmu silatpun sama saja. Adalah berkat giok-pay di dadanya itu maka ia beruntung dapat menyelamatkan diri dari cengkeraman si nona. Tetapi hal kebetulan ini tak mungkin terjadi lagi. Manakala Ki Seng-wan menyerangnya pula, ia pasti tertangkap.

Tambahan pula pengawal tua yang disuruh melapor pada pemimpin mereka, tentu akan segera membawa bala bantuan. Apabila mereka datang, tak mungkin lagi ia dapat meloloskan diri!

Sekilas ia mempunyai rencana. Sebelum bala bantuan datang, si nona dan ke empat pengawalnya itu tak berani turun tangan, karena mereka mengira ia memiliki ilmu sakti Kim-wi-sin-kang dan Bu-siang-sin-kang. Ah, mengapa ia tak mau mempercepat larinya saja? Mungkin ia masih mempunyai harapan untuk lolos dari kejaran mereka.

Keputusan itu segera dilaksanakan. Ia mengerahkan seluruh tenaga, berlari seperti orang diburu setan. Tetapi bagaimanapun juga, si nona dan keempat pengawalnya itu tetap membuntuti dalam jarak tertentu. Mereka tetap berada sekitar dua tombak di belakangnya.

Mungkin sudah setengah jam lebih ia berlari mati-matian, sampai tulangnya seperti copot dari persendian. Paling sedikit ia sudah menempuh jarak dua –tiga puluh li. Namun hatinya tetap kesal karena KiSeng-wan dan pengawalnya tetap mengikuti seperti bayangan.

Saking jengkelnya, ia segera berlari menyusur sepanjang karang curam. Kala itu hampir menjelang fajar, namun kabut masih mengembang tebal. Thian-leng seperti orang kalap, ia berlari asal berlari. Tak dihiraukan pula arah tujuannya, tak dikenalnya lagi jalan-jalan yang harus ditempuh. Setelah berputar-putar beberapa kali di lereng gunung, akhirnya ia limbung. Tak dapat diketahuinya lagi mana timur barat, mana selatan utara. Matanya semakin remang memandang kabut tebal. Terpaksa ia kendorkan larinya dan dengan begitu jarak Ki Seng-wan serta pengawalnya makin mendekat. Dari dua tombak kini hanya tinggal terpisah satu tombak saja.

Thian-leng sudah mandi keringat. Napasnyapun sudah senin kemis. Hanya karena kekerasan hatinya maka ia masih nekad terus berlari…

Karena jaraknya semakin dekat dan kabutpun makin menipis, akhirnya rahasia diri anak muda itupun ketahuan oleh para pengejarnya.

“Hah, lihatlah dia! Apakah orang semacam ini sesuai dikatakan mempunyai ilmu Bu-siang-sin-kang?” dengus Ki Seng- wan.

“Hambapun berpendapat demikian,” sahut keempat pengawalnya.

Ki Seng-wan tertawa mengikik, “Hi,hi,hi , kita telah mempermainkannya. Lekas ringkus!”

Keempat pengawal itupun segera menyerbu. Thian-leng kaget sekali , perasaan ingin menyelamatkan diri telah membuat darahnya bergolak keras. Serasa timbul suatu tenaga yang luar biasa… dan loncatlah ia ke samping… Loncatan itu berhasil meloloskan dirinya dari sergapan keempat orang tua itu, tapi saat itu ia rasakan tubuhnya seperti terapung di udara dan makin lama makin meluncur ke bawah…..

Ternyata ia telah terjerumus jatuh ke suatu jurang yang beratus-ratus meter dalamnya.

“Habislah riwayatku…….!” keluhnya. Namun sebelum ajal berpantang maut, ia meronta-ronta dan bergeliat-geliat.

Tiba-tiba usahanya itu berhasil. Ia seperti mencengkeram sebuah karang menonjol dan dengan mengerahkan seluruh tenaganya ia menekan tonjolan karang itu dan mengayunkan tubuhnya ke atas. Itulah satu-satunya harapan baginya.

Di atas batu menonjol itu ternyata merupakan sebuah pintu goa. Ayunan tubuh Thian-leng itu tepat jatuh ke dalam mulut goa. ‘Blek ..’ kembali ia tersirap kaget. Ia merasa tidak jatuh pada karang keras, tetapi menjatuhi segumpal daging manusia yang lunak.

Rasa terkejutnya meledak ketika matanya tertumbuk pada sesosok tubuh manusia yang berdiri dengan berjungkir balik, kepala di bawah , kaki di atas.

Ternyata di dalam doa itu terdapat seorang manusia aneh yang tengah ebrtapa. Rambut terurai kusut masai, muka penuh ditumbuhi brewok lebat dan pakaian compang-camping tak keruan.

Benturan tadi membuat Thian-leng terkapar jatuh, sedang orang tua aneh itupun terjungkir balik. Sepasang mata orang aneh itu berapi-api penuh dendam kebencian, seolah-olah hendak menelan Thian-leng. 

Thian-leng merasa bersalah, buru-buru ia bangkit hendak memberi penjelasan. Tiba-tiba orang aneh itu bergeliat loncat berdiri dan menghantamnya. Sudah tentu Thian-leng tak kepalang terkejutnya, buru-buru ia menggelinding menyingkir beberapa langkah.

‘Buum…’ hantaman orang aneh itu menghancurkan dinding goa, sehingga menimbulkan suara gemuruh dan hamburan keping-keping karang. Goa terasa bergoncang keras. Dan yang lebih mengejutkan lagi, terasa suatu hawa panas yang meranggas memenuhi ruang goa….

Sebelum Thian-leng sempat bangun, orang aneh itu sudah menyusuli lagi pukulan kedua. Tetapi ketika tinjunya hendak dilayangkan, sekonyong-konyong tubuhnya tergetar dan mulutnya menyemburkan darah segar dan ‘bluk..’ iapun jatuh terduduk.!

Thian-leng makin terkejut,” Lo-cianpwe….. apa…kah kau terluka olehku?”

Kini barulah ia melihat jelas wajah orang aneh itu. Mukanya penuh tertutup rambut dan jenggot, tubuhnya kate, tetapi kedua lengannya amat panjang hingga dapat menyentuh tanah. Ia hanya mengenakan cawat, sehingga mirip orang hutan.

Dengan napas terengah-engah, orang aneh itu memaki, “ Binatang, kau telah mencelakai aku. Sayang tak dapat kuganyang dagingmu!” Suaranya gemerontang bagai geledek.

“Aku tergelincir jatuh ke dalam jurang ini dan sekali-kali tak sengaja…”

“Jerih payahku selama 30 tahun meyakinkan ilmu sakti yang hampir selesai itu, telah kau rusak berantakan. Organ dalam tubuhkupun morat marit, bahkan jiwaku turut kaurenggut!”

Orang kate itu terengah-engah hendak bangun dan memukul lagi. Melihat itu, Thian-leng buru-buru mencegah, “Jangan bergerak lo-cianpwe, kau sudah ‘Cau-hwe-jip-mo’…”

‘Cau-hwe-jip-mo’ ialah istilah dalam ilmu silat yang berarti sesat napas dan salah jalan. Seorang yang meyakinkan ilmu lwekang sakti, apabila sampai terganggu atau keliru, akan terjerumus dalam keadaan begitu. Organ tubuh bagian dalamnya akan terguncang tak keruan, aliran darahnya akan simpang siur dan dapat menyebabkan kelumpuhan.

“Aku hendak mengadu jiwa denganmu….huak!” si orang kate berseru, tetapi mulutnya kembali menyemburkan darah dan jatuhlah ia ke tanah pula.

Thian-leng cemas sekali, tiba-tiba ia teringat akan sebutir pil Tay-hoan-tan pemberian Hun-tiong-sin-mo. Tanpa sangsi lagi segera ia mengambil pil mukjijat itu dan diberikan kepada si orang kate, “Harap lo-cianpwe minum pil Tay- hoan-tan ini !”

Orang aneh itu terbelalak kaget. ‘ Wut’, cepat ia menyambar pil itu dari tangan si anak muda,”Tay-…hoan….-tan..” Sejenak ia mengamat-amati pil itu, lalu berpaling menatap Thian-leng pula, “Kau berikan pil ini padaku?”

“Ya, harap lo-cianpwe lekas minum. Pil ini luar biasa khasiatnya!” sahut Thian-leng. Orang kate itu tertawa mengikik, “Hi,hi,hi, …tapi setelah sembuh ..kau tentu kubunuh!”

Thian-leng tertawa hambar, “Aku telah mencelakai

Hal 33 – 36 sobek kata yang scan ( bubengsiaucut@yahoo.com ) kalau ada yang punya tolong diinformasikan atau ke

sukantas009@yahoo.co.uk atau ke webmaster Tungning

gunung Hun-tiong-san ini. Bangsat Song-hun Kui-mo itu jeri terhadap Hun-tiong-sin-mo, dia tentu tak berani datang kemari. Dengan begitu dapatlah aku meyakinkan ilmu sakti Lui-hwe-ciang dengan aman….” tiba-tiba ia berhenti dan menghela napas.

Sekalipun tak dinyatakan, tetapi Thian-leng sudah dapat menangkap ke mana arah tujuan kata-kata Oh-se Gong-mo itu. Tentulah tak lain dari suatu penyesalan tentang gagalnya meyakinkan ilmu Lui-hwe-ciang yang dijalankan selama 30 tahun ini. Thian-lengpun menyesal sekali.

“Sayang kepandaianku tak berguna, kalau tidak aku tentu dapat mewakili lo-cianpwe membasmi durjana itu dan merebut kembali kitab pusaka lo-cianpwe!” ia menghela napas.

Tercengang Gong-mo mendengar pernyataan anak muda itu. Dipandangnya anak muda itu sampai sekian lamanya, tiba-tiba ia bertepuk tangan dan tertawa tergelak-gelak.

Thian-leng kaget!

“Ah, mengapa aku tak memikir sampai di sini…. Buyung, jika kau sungguh-sungguh mau membalaskan sakit hatiku, tentu akan kugembleng kau menjadi manusia sakti!”

“Aku bukan seorang kerdil, asal aku memperoleh kesaktian, tentu akan kulaksanakan pesan lo-cianpwe!” sahut Thian- leng dengan tegas.

Sekali lagi Gong-mo memandang Thian-leng dengan seksama, katanya dengan nada puas, “Sebuah bahan yang bagus, sukar ditemukan. Ilmu pukulan Lui-hwe-ciang yang kuyakinkan selama 30 tahun ini hendak kuberikan padamu dalam sehari….”

Thian-leng girang-girang kaget, ia menyangsikan pernyataan Oh-se Gong-mo, tetapi tak mau ia banyak memikir lagi, segera ia berlutut menghaturkan sembah hormatnya, “ Guru…!” 

Buru-buru Gong-mo menariknya bangun, “Tak usah., sekalipun kuajarkan ilmu kepandaian padamu, tetapi tak dapat kuterima engkau sebagai murid. Karena…. meskipun kau sudah mendapat ilmu pukulan Lui-hwe-ciang tetapi belum tentu kau dapat mengalahkan Song-bun Kui-mo. Selama 30 tahun ini, diapun tentu meyakinkan isi pelajaran dalam kitab pusaka itu. Maka hendak kupersiapkan kau dengan cara lain lagi… ”

Ia berhenti sejenak, katanya pula, “Ilmu pukulan Lui-hwe-ciang kuterima dari seorang tokoh aneh. Tiga puluh tahun yang lalu, beliau tinggal di dalam lembah Sing-sim-kiap di gunung Thay-heng-san. Beliau berpesan jika aku sudah menyelesaikan pelajaran Lui-hwe-caing supaya datang ke Thay-heng-san lagi. Bila dapat memperoleh pemberiannya sebutir pil mKong-yang-sin-tan, barulah ilmu pukulan Lui-hwe-ciang itu menjadi sebuah ilmu sakti yang tiada tandingannya di dunia!”

Agak kecewa Thian-leng, “Entah siapa nama tokoh sakti itu. Aku belum mengenalnya….”

Oh-se Gong-mo tertawa, “Beliau she Sip bernama Uh-jong. Jarang muncul di dunia persilatan, maka namanyapun tak terkenal. Asal kau katakan tentang pertemuanmu denganku, serta memohon supaya kau diterima menjadi murid, berkat bahan tulangmu yang bagus, tentulah besar harapan akan diterima!”

Begitu yakin Oh-se Gong-mo dengan ucapannya sehingga asal Thian-leng dapat menjumpaitokoh Sip Uh-jong, tentu akan memperoleh ilmu kesaktian yang dapat melaksanakan cita-cita untuk melakukan pembalasan kepada Song-bun Kui-mo.

“Bagaimana kepandaian Sip lo-cianpwe itu jika dibandingkan dengan Hun-tiong-sin-mo….” rupanya Thian-leng masih meragu.

“Bahkan sakit hatimu tentu dapat terbalas juga…” tukas Oh-se Gong-mo,”tetapi aku hendak meminta kesanggupanmu. Setelah kau memahami ilmu sakti itu, pertama kau harus melakukan pembalasan untuku, kemudian barulah kau melakukan urusanmu yang lain-lain.!”

“Baik locinpwe. Akan kubunuh Song-bun Kui-mo dulu, baru nanti Hun-tiong-sin-mo!” cepat Thian-leng memberi pernyataan. Tiba-tiba terkilas sesuatu dalam pikirannya, tanyanya,” Tentulah lo-cianpwe pernah bertemu muka dengan Hun-tiong-sin-mo?”

“Ya…”

“Bagaimanakah orang itu?”

“Seorang tinggi besar yang mempunyai suara seperti geledek..”

“Ah, salah…..” di luar kesadaran Thian-leng berseru. Tetapi tiba-tiba ia teringat akan janjinya kepada Hun-tiongSin- mo. Maka tak mau ia melanjutkan kata-katanya lagi.

“Mengapa salah?” tegur Oh-se Gong-mo. “Ah, tak apa-apa..” Thian-leng tergugu.

Untung Oh-se Gong-mo tak mau mendesak. Ia merogoh ke sebuah lubang pada dinding goa dan mengeluarkan secarik kain warna kuning. Hati-hati sekali ia menyerahkannya pada Thian-leng, “Inilah peta letak lembah Sing-sip- kiap. Tempat tinggal tokoh aneh itu adalah yang kutandai dengan lingkaran merah.!”

Buru-buru Thian-leng menyimpannya dalam baju.

“Buyung, sekarang aku hendak mulai mengajarkan ilmu pukulan Lui-hwe-ciang secara lisan. Dengarkanlah baik-baik!”

Oh-se Gong-mo , si kate yang pernah menggemparkan dunia persilatan saat itu mulai menerangkan tentanag gerakan ilmu pukulan Lui-hwe-ciang. Thian-leng mendengarkan dengan penuh perhatian. Diam-diam ia membatin,” Sekalipun aku sudah dapat mengerti jelas ilmu itu, tetapi tanpa peryakinan berpuluh tahun, tentu takkan berarti apa- apa!”

‘Apakah juga harus mengasingkan diri selama 30 tahun seperti Oh-se Gong-mo ? Demikian pertanyaan yang meresahkan pikiran Thian-leng.

Karena kuatir Thian-leng tak dapat menerima jelas, maka Oh-se Gong-mo mengulang sekali lagi keterangannya. Sebenarnya Thian-leng yang berotak cerdas sudah dapat menerima seluruhnya. Begitulah kira-kira tiga jam lamanya, barulah Oh-se Gong-mo hentikan uraiannya.

“Untuk menyempurnakan latihan Lui-hwe-ciang tentu akan menggunakan waktu tahunan…”

“Tak perlu, dalam sekejap mata akan kujadikan kau seperti tingkatanku!” tukas Oh-se Gong-mo. Tiba-tiba ia membentak, “Lekas pusatkan napasmu, hendak kuturunkan lwekangku selama 80 tahun..!”

Thian-leng terkejut, “Tidak lo-cianpwe, jangan kau….!”

Tapi Gong-mo tak menghiraukan lagi. Segera ia mencengkeram jalan darah Khi-hay-hiat di perut Thian-leng yang tak dapat berkutik lagi.! Serangkum arus tenaga dalam segera mengalir ke tubuh Thian-leng dengan derasnya. Terpaksa Thian-lengpun pusatkan tenaganya untuk menyambut. Ia harus mengerutkan giginya kencang-kencang untuk menahan rasa nyeri dari rasa panas yang merangsang hebat di tubuhnya. Ia seperti digodog dalam kuali, seluruh ruas-ruas tulang persendiannya seperti berantakan dan akhirnya seperti terjadi ledakan hawa panas yang hebat sehingga membuatnya pingsan.

Entah berselang berapa lama, barulah ia tersadar kembali. Ketika teringat apa yang telah terjadi tadi, serentak ia meloncat bangun. Ah, betapa hancur hatinya manakala tampak Oh-se Gong-mo meringkuk di tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Dia telah kehabisan tenaga dalam. Di sampingnya terdapat beberapa guratan huruf, “Jangan bersedih, lekas pergi ke Thay-heng-san…”

Rupanya karena kehabisan tenaga, tak dapat lagi Oh-se Gong-mo melanjutkan tulisannya. Menangislah Thian-leng tersedu-sedan….. Setelah puas mengalirkan air mata, ia berlutut di hadapan jenazah jago tua itu dan bersumpah, “Setelah selesai menuntut ilmu kesaktian dan membalaskan dendam, tentulah aku datang lagi kemari untuk menguburkan jenazah lo-cianpwe.!”

Melongok keluar, kira-kira beberapa tombak dari goa itu terdapat sebuah batu yang menonjol. Terkilas suatu rencana untuk melompat ke arah batu itu, kemudian baru mengenjot tubuhnya melambung ke atas. Tetapi ia lupa bahwa setelah menerima saluran lwekang dari Oh-se Gong-mo, kini dirinya sudah jauh berlainan dari yang tadi. Maka lompatannya itu bukan saja dapat mencapai, bahkan melampaui batu itu beberapa meter jauhnya, sehingga tubuhnya meluncur turun ke bawah jurang. Ia menjerit, tapi secepat itu pula ia tenangkan dirinya. Ada sesuatu yang dirasanya aneh, tubuhnya terasa ringan sekali. Ia coba menjejakkan ujung kakinya ke dinding karang dan serentak menggeliatkan tubuh, ah…. ia berhasil melambung ke atas tepi jurang. Bukan main lega hatinya.

Saat itu matahari sudah terbenam, bergegas ia turun gunung. Thay-heng-san terpisah beberapa ratus li dari Hun- tiong-san, tapi dengan kepandaian yang dimiliki sekarang, dapatlah ia mencapai tempat itu dalam dua hari.

Hari makin malam, tak tahu sudah berapa jauh ia berjalan, saat itu ia tiba di sebuah hutan lebat.

Sekonyong-konyong ia mencium angin berbau amis. Ia berhenti dan menghampiri arah bau amis itu. Di ujung hutan ia menyaksikan suatu pemandangan yang mengerikan. DI atas sebuah jalan kecil yang berada di luar hutan, terkapar malang-melintang belasan mayat. Tubuh mereka hancur, tulang berserakan. Sebuah bendera kecil berbentuk segi tiga menancap di batang pohon di dekatnya. Astaga……. itulah Panji tengkorak darah, lambang kebesaran Hun-tiong- sin-mo.!

Melihat dandanan mayat-mayat yang mengenakan pakaian ringkas dan membawa pedang, mereka tentu kaum persilatan. Dan dari mayat mereka yang masih segar, mungkin mereka baru saja dibunuh setengah jam yang lalu. Meluap darah Thian-leng menyaksikan kebuasan Hun-tiong-sin-mo, segera ia menerobos ke dalam hutan.Jika iblis itu masih berada di dalam hutan ia bertekad hendak mengadu jiwa. Tetapi hutan sepi senyap, betapapun ia menjelajahi seluruh pelosok, tetap tidak menemukan seeorang.

Untuk melampiaskan kemarahan, berserulah ia sekuat-kuatnya, “Setan tua Hun-tiong, ganas sekali kau! Pada suatu hari kaupun bakal menjadi seperti korban-korbanmu ini. Mayatmu akan hancur berkeping-keping!”

Ia terkejut sekali ketika mendapatkan suara jeritannya itu sekeras geledek, sehingga pohon-pohon tergetar dan burung-burung terbang berhamburan. Benarkah sekarang ia mempunyai lwekang yang hebat? Dicobanya sekali lagi untuk menghantam sebatang pohon sebesar lengan. ‘Brak..’.. pohon itupun berderak-derak tumbang dan bekas kutungannya hangus seperti habis dibakar! Suatu hal yang benar-beanr membuatnya terkejut dan girang.!

Tetapi kegirangannya itu berobah menjadi kesedihan lagi manakala ia kembali ke tempat mayat-mayat tadi. Betapa sedih hati keluarga mereka. Ah, teringat akan keluarga, iapun terkenang akan seluruh keluarganya yang dibasmi oleh Hun-tiong-sin-mo. Kematian ibunya pada 3 hari yang lalu hampir membuatnya menangis lagi…

Karena tak tahan, cepat ia hendak berlalu. Tetapi sekonyong-konyong ia kasihan akan mayat-mayat itu. Segera ia kembali untuk membuat liang. Pada saat hendak mengubur mayat-mayat itu, tiba-tiba terdengar derap langkah orang mendatangi. Berpaling ke arah datangnya suara, ia terkejut bukan kepalang. Belasan orang muncul dari balik hutan. Thian-leng batalkan penguburan dan bersiap sedia.

Ternyata yang datang itu ialah si nona baju ungu Ki Seng-wan dan seorang baju hijau. Mereka membawa pengiring 8 orang tua berjubah biru.

“O, Kang Tayhiap, sungguh tak nyana kita berjumpa pula!” Ki Seng-wan tertawa genit. Thian-leng hanya mendengus dingin.

“Apakah ini orangnya yang kaukatakan itu?” tanya si nona baju biru.

“Ya,” Ki Seng-wan mengiyakan, “dia luar biasa anehnya. Sebentar bisa ilmu Kim-wi-sin-kang, sebentar bisa ilmu Bu- siang-sin-kang dan sebentar berobah seperti seekor kerbau gila. Pendek kata segala apa dia bisa.Semalam dia jatuh ke dalam jurang, tetapi tak meninggal dan sekarang hendak menghilangkan jejak perbuatannya membunuh sekian banyak jiwa manusia!”

“Jangan menghambur fitnah! Siapa yang membunuh korban-korban itu?” bentak Thian-leng. “Siapa lagi kalau bukan kau!” Ki Seng-wan tertawa mengikik.

“Bagaimana kau tahu kalau aku yang membunuh?” tanya Thian-leng.

“Kalau bukan kau yang membunuh, mengapa kau hendak menguburnya?”

“Aku tak kenal padamu, jangan terus menerus mengganggu! Urusan semalampun takkan kutarik panjang lagi!”

Makin Thian-leng marah, makin keras Ki Seng-wan tertawa, “Enak saja kau omong. Kemarin malam kau sudah mendapat kemurahan, tetapi jangan harap sekarang kau bisa lolos lagi!”

“Ji-moay, perlu apa berbantah dengan dia? Ringkus saja nanti kita periksa!” nona baju hijau berseru. Ia mengangkat tangan dan 8 pengawal segera mengurung Thian-leng.

Dua orang pengawal membuka serangan dari kanan-kiri. Thian-leng marah dan balas memukul. Kedua orang itu terpental beberapa langkah ke belakang. Yang seorang menjerit ngeri karena sebelah lengannya putus. Pakaian keduanya berlubang seperti terbakar.

“Hai, dia bisa ilmu pukulan Lui-hwe-ciang, awas ….!” Ki Seng-wan berseru kaget. tetapi Thian-leng tak mau menyerang lagi karena ia tak bermaksud melukai orang.

“Kau benar-benar bukan orang sembarangan, tetapi tetap jangan harap bisa lolos!” seru Ki Seng-wan seraya maju menutuk.

Thian-leng jengkel dan balas menghantam. Tetapi tutukan Ki Seng-wan itu hanya sebuah siasat, sambil menyelinap ke samping ia melepaskan sebuah pukulan. Tetapi Thian-leng juga tak mau kalah, begitu pukulannya luput, ia segera berkisar dan menangkis. Kali ini adu pukulan tak dapat dihindari lagi. Aneh, tiada terdengar suara apa-apa, tetapi kedua-duanya sama-sama tersurut mundur selangkah.

Ki Seng-wan mendengus, “ Hm, sifat lunak menundukkan sifat keras.Lwekang lunakku ternyata dapat menindas lwekang kerasmu!”

Thian-leng tersirap kaget. Ia menggunakan 8 bagian tenaganya dlam pukulan tadi, tetapi dapat ditindas lawan, bahkan lwekang si nona dapat juga mebuatnya terpental. Thian-leng merasakan darahnya mendebur keras.

“Sifat keras yang sempurna tentu dapat menundukkan sifat lunak. Betapapun kau gunakan lwekang lunak, tetap akan hancur ! “ dengusnya.

“Sifat lunak yang sempurna tentu dapat mengatasi sifat keras. Betapa hebat lwekang kerasmu, aku tetap dapat menundukkan. Apalagi ….” Ki Seng-wan berkata dengan tekanan nada keras, “Kau tak sempat mempelajari lwekang keas yang sempurna!”

Ki Seng-wan menutup kata-katanya dengan sebuah serangan. Si nona baju hijau tak sabar lagi, bersama ke 8 pengawalnya ia segera menyerbu Thian-leng.

Pertempuran berlangsung seru. Ki Seng-wan dan si nona baju hijau melancarkan ilmu lwekang Im-ji-kang yang bersifat lunak. Pukulannya tak mengeluarkan suara tetapi mengandung tekanan hebat. Mereka berdua menyerang dengan kompak, sebentar dari kanan kiri, lain saat dari muka belakang.

Thian-leng benar-benar tak berdaya. Kedua nona itu menyerang secara rapat, sehingga ia tak dapat mengembangkan kedahsyatan ilmu pukulan Lui-hwe-ciangnya.

Kedelapan pengawal membentuk lingkaran untuk mengepung rapat. Mereka bersorak-sorak memberi semangat kepada kedua nona, bahkan sekali dua kali mereka ikut menyerang. Thian-leng makin terdesak, permainannya mulai kacau. Beberapa kali hampir saja ia terancam bahaya.

“Orang she Kang, sebaiknya kau menyerah saja. Jika kau suka menyerah, maka aku dan taciku takkan membunuhmu!” tiba-tiba Ki Seng-wan berseru.

“Hm, karena tak mempunyai dendam apa-apa, maka aku tak mau menyerang kalian sungguh-sungguh…”sambil menjawab Thian-leng dorongkan kedua tangannya. Ki Seng-wan terdesak mundur beberapa langkah karena tertekan hawa panas dari pukulan Thian-leng.

Melihat itu si nona baju hijau segera memberi perintah, “Selesaikan dia hidup atau mati.” Ia sendiri segera menyerang dengan gencar. Amukan si nona itu dapat menggagalkan kedudukan Thian-leng yang hampir saja di atas angin. Pada saat ke 8 pengawal itu ikut maju menyerang, kembali Thian-leng di pihak yang terdesak lagi.

Pada detik-detik berbahaya, sesosok bayangan biru menerobos ke dalam lingkaran pertempuran. Dengan pedang pendek semacam badik, orang itu menyerang Ki Seng-wan dan si nona baju hijau.

Thian-leng terkesiap heran. Gerakan pendatang itu luar biasa cepatnya, sesaat kemudian terdengar Ki Seng-wan menjerit tajam. Orang itupun menghentikan serangannya dan berdiri tegak.

Tampak wajah kedua nona itu berobah. Ki Seng-wan mendekap lengan kanan, darah bercucuran dari lengan itu. Ternyata lengannya kena dilukai. Sedangkan si nona baju hijaupun mengalami malu yang hebat, baju di bagian dadanya kena tergurat robek, sehingga para pengawalnya melongo.

Thian-leng saat itu baru melihat jelas. Pendatang tak dikenal itu berumur kurang lebih 20 tahun, memakai kain ikat kepala dan jubah warna biru muda. Tubuhnya langsing, wajahnya kuning pucat macam orang sakit. Hanya sepasang matanya yang berkilat-kilat memancarkan sinar tajam.

Orang itu sejenak berpaling ke arah Thian-leng dan memberi senyuman tawar. Setelah itu berpaling lagi ke muka. Tersirap darah Thian-leng ketika beradu pandang, Ah, ia ingat-ingat lupa , seperti pernah mengenalnya. Ia memandang pula dengan seksama. Ah, rasanya ia belum pernah kenal. Akhirnya ia memberi hormat menghaturkan terima kasih, “Banyak terima kasih atas bantuan saudara. Aku….”

“Nanti kita bicara lagi setelah kuhalau mereka!“ orang itu cepat menukas.

Si nona baju hijau sambil mendekap dadanya, berseru,”Mengapa kau menyerang ? Apakah hendak memusuhi kami berdua ? “

“Aku paling benci pada orang yang main keroyokan. Setiap melihat perbuatan yang tak adil, aku tentu campur tangan, “ sahut pemuda itu. “Siapakah namamu?” tanya si nona.

Pemuda itu sejenak meragu, lalu menyahut, “Cu Siau-bun, setiap saat kalian boleh mencari balas padaku ! “ “Cu Siau-bun…. ah seorang tak ternama! “ si nona baju hijau mendengus hina.

Cu Siau-bun tertawa keras, “Memang aku tak ternama. Sebenarnya mudah untuk mengangkat nama. Asal kubunuhi tokoh-tokoh persilatan, tentu namaku cepat termasyhur….” sekonyong-konyong ia mengebutkan lengan bajunya.

Serangkum sinar kemilau meluncur ke arah 4 orang pengawal. Mereka mengerang dan rubuh!

Tenang sekali si nona baju hijau memandang keempat pengawalnya yang rubuh itu, ujarnya,” Ah, selain ilmu pedang, Cu tayhiap juga mahir menimpukkan senjata rahasia!”

Kembali Cu Siau-bun tertawa, “Jangan kuatir, senjata rahasia Tui-hong-kiong (passer pengejar angin) itu tak beracun. Tetapi dapat menembus jantung orang. Jauh lebih ganas dari segala racun. ! “

Habis berkata kembali Cu Siau-hun mengangkat tangan hendak menabur lagi, tetapi cepat-cepat dicegah oleh Thian- leng, “Saudar Cu, jangan !"

Tetapi sudah terlambat. Salah seorang pengawal menjerit rubuh.! Dan Cu Siau-bun tertawa kepada Thian-leng. Rupanya pemuda itu menganggap membunuh jiwa orang seperti suatu permainan yang menggembirakan.

“Agaknya Cu tayhiap juga tak mau melepaskan kami berdua kakak beradik?” tegur nona baju hijau. Cu Siau-bun tertawa, “Kebalikannya, silakan nona pergi agar aku tak merobah keputusanku!”

Kata nona baju hijau itu lagi, “Sekalipun kami bukan tandinganmu, tetapi pihakku tentu akan membuat perhitungan

padamu!” ia terus ajak Ki Seng-wan angkat kaki.

Thian-leng menanyakan apakah pemuda Cu itu juga mempunyai dendam permusuhan dengan kedua nona. “Aneh,” Cu Siau-bun tertawa dingin, “aku tak kenal siapa mereka dan hanya semata-mata membantumu saja!”

“Terima kasih atas bantuan saudara, “Thian-leng menghela napas, “tetapi caramu melakukan pembunuhan itu sungguh keterlaluan sekali!”

Sambil memungut kayu, kembali ia teruskan membuat liang kuburan lagi. “Hei, mau bikin apa kau?” tegur Cu Siau-bun.

Ketika Thian-leng menyatakan hendak mengubur mayat-mayat itu, Cu Siau-bun menertawakannya, “Ah, sifat seorang wanita… bukan seperti orang jago persilatan ! “

Thian-leng tidak menghiraukan dan tetap meneruskan galiannya. Selesai mengubur semua mayat, ia segera melangkah pergi. Tiba-tiba dilihatnya Cu Siau-bun masih enak-enak duduk di bawah pohon. Ia menghampiri anak muda itu, “Cu-heng, mengapa kau tak pergi?”

“Menunggumu!” Cu Siau-bun tertawa tawar.

“Aku… ” Thian-leng tergugu. Ia tak senang dengan keganasan pemuda itu dan juga ia tak mau mengajak kawan

dalam perjalanan ke gunung Thay-heng-san.

“Eh, apakah kau tak suka bersahabat dengan aku?” teriak Cu Siau-bun. “Aku hendak berkelana tanpa tujuan, bagaimana saudara hendak ikut?”

“Itu bagus, memang akupun sedang mengembara. Senang sekali aku dapat mengawanimu kemana saja ! “ Thian-leng mati kutu. Tak dapat ia menolak. Cu Siau-bun segan-seganan bangkit. Tiba-tiba ia mencabut panji tengkorak darah yang tertancap di pohon.

“Hm, pintar sekali orang yang membuat ini sehingga menyerupai yang tulen ! “ dengusnya. “Tetapi itu terang panji dari Hun-tiong-sin-mo…. ! teriak Thian-leng.

“Palsu!” bentak Cu Siau-hun.

Thian-leng tersentak mundur, serunya,”Bagaimana kau tahu kalau palsu?”

Cu Siau-hun terkesiap, serunya,”Sudah beberapa hari aku mondar mandir di kaki gunung Hun-tiong-san. Selama itu tak kupergoki dia pergi kemana-mana. Terang ada orang yang memalsunya!”

“Iblis itu sakti sekali, gerak-geriknya sukar diduga. Dia pergi atau tidak, bagaimana kau tahu? Hanya… akupun

mempunyai dugaan, bahkan Hun-tiong-sin-mo itu sendiri juga palsu… ! tiba-tiba Thian-leng menghentikan kata-

katanya, karena teringat akan janjinya kepada Hun-tiong-sin-mo.

“Bagaimana kau tahu kalau iblis Hun-tiong-sin-mo itu palsu?” sekarang giliran Cu Siau-bun yang menegur tajam. Thian-leng tersentak mundur dan berkata dengan tergagap, “Aku…aku hanya menduga saja…” Dengan cepat iapun mengalihkan pembicaraan, “Aku masih mempunyai urusan penting, maaf saudara Cu… silakan kau pergi sendiri!” Ia memberi hormat lalu melangkah pergi.

Tetapi Cu Siau-bun tertawa dingin dan membuntutinya! Terpaksa Thian-leng berhenti.

“Aku hendak pulang ke pondokku dulu. Sayang karena pondokku itu kecil tak dapat menerima tetamu, Cu-heng…” “Tak usah kau usir aku, karena sebenarnya akupun tak berniat mengikutimu, melainkan….,”Cu Siau-bun sejenak memandang Thian-leng, ujarnya pula,”Akupun tiada jalan lain!” “Maksud saudara?” Thian-leng heran.

“Aku berasal dari Lamciang, asing dengan daerah ini. Kulihat Kang-heng seorang yang baik hati dan juga sendirian, maka ingin kumengikat persahabatan. Tapi ah, mengapa Kang-heng begitu getas menolak diriku!”

Thian-leng kehabisan alasan, terpaksa ia menerima. Apalagi jika pemuda itu tak membantunya, mungkin ia sudah tertangkap rombongan Ki Seng-wan.

“Siapa lagi yang berada di rumah Kang-heng?” tanya Cu Siau-bun setelah mengetahui orang tak menolak.

Thian-leng menghela napas, “Sejak kecil aku bernasib malang. Hidup bersama sorang ibu di lembah Pek-hun-koh yang terpencil di gunung Lu-liang-san…”

“Apakah ibu Kang-heng sudah menutup mata?”

“Ya, baru tiga hari yang lalu, dibunuh Hun-tiong-sin-mo!” Thian-leng menggeram. “O, kiranya Kang-heng hendak melakukan pembalasan !? “

“Bagaimana saudara mengetahui ? “ Thian-leng heran.

“Bukankah beberapa hari yang lalu Hun-tiong-sin-mo membuka pertandingan terbuka untuk kaum persilatan? Jika tak berniat melakukan pembalasan, bagaimana kau menuju ke sana?” sahut Cu Siau-bun.Tanpa menanyakan pengalaman Thian-leng selama hadir di pertandingan itu, Cu Siau-bun melanjutkan pertanyaannya, “Sudah terlanjur mengembara jauh, mengapa sekarang Kang-heng terburu-buru pulag?”

“Mendiang ibuku telah meninggal dengan dada tertusuk pedang. Sebelum menutup mata, beliau pesan supaya jenazahnya jangan dikubur, tetapi ditaruh dalam sebuah goa tertutup!”

“Aneh!” Cu Siau-bun menggerutu heran.

“Tetapi kurasa lebih aman kalau kutanam saja. Setelah itu baru kuberdaya melakukan pembalasan pada Hun-tiong- sin-mo!”

Cu Siau-bun menyetujui dan memuji Thian-leng seorang anak berbakti. Demikianlah keduanya segera melanjutkan perjalanan.

Dua hari kemudian, tibalah mereka di muka lembah Pek-hun-koh yang terletak di daerah pedalaman gunung Lu-liang- san. Mulut lembah ditimbuni batu oleh Thian-leng. Sudah hampir 10 tahun lamanya Thian-leng dan ibunya tinggal di situ.

Ketika memasuki lembah, pemandangan yang pertama menumbuk mata Cu Siau-bun adalah sebuah lapangan kuburan yang dihuni oleh empat puluhan makam. Wajah Thian-leng berobah pucat, matanya berkaca-kaca. Ia cepat berlari menuju ke sebuah gubug yang berada di tengah kuburan itu. Gubug itu pendek sekali, pintunya ditutup dengan rantai.

Senja di kuburan dalam lembah yang sunyi, menimbulkan suatu pemandangan yang menyeramkan. Tenggoret mulai berbunyi nyaring, angin menghembus dingin, mau tak mau Cu Siau-bun merasa seram juga.

Setelah membuka kunci, Thian-leng segera menerobos masuk. Tetapi seketika itu dia lantas tegak seperti patung, darahnya serasa berhenti. Sampai sekian lama barulah mulutnya berseru terputus-putus, “Jenazah ….. ibuku…. lenyap…. !”

Matanya berkunang-kunang, bumi yang dipijaknya serasa berputar dan robohlah pemuda itu. Untung Cu Siau-bun cepat menyambutnya, ia mengulum senyum sinis.

Setelah ketenangannya pulih, Thian-leng membanting-banting kaki, mengeluh, “Sudah belasan tahun tempat ini tak pernah kedatangan tamu. Mulut lembah kututup dan gubug kukunci, mengapa jenazah ibuku….” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tersekat isak tangis.

Cu Siau-bun mondar-mandir dalam gubug untuk memeriksa. Wajahnya tetap memancarkan senyuman tawar. Beberapa saat kemudian baru ia menghampiri Thian-leng.

“Semasa hidupnya, ibumu itu tentu berwatak aneh, keras dan ganas. Tentu tak mempunyai kasih sayang sebagai ibu kepadamu…”

Pada saat itu Thian-leng duduk di atas sebuah kursi bambu. Hatinya sudah agak tenang, tetapi demi mendengar ucapan Cu Siau-bun, bangkitlah ia serentak, bentaknya,”Kau… kau tak layak menghina ibuku!”

Cu Siau-bun tersurut mundur selangkah, ia tertawa dingin, “Yang menjalani memang bingung, tetapi yang melihat akan lebih jelas. Aku kan hanya bermaksud membantumu mencari kebenaran, mengapa sedemikian bengis sikapmu? “ tiba-tiba ia berhenti sejenak, katanya pula,” Aku hanya ingin tahu, apakah keadaanmu benar seperti yang kutanyakan itu?”

Pemuda itu memandang wajah Thian-leng dengan ramah. Seri wajahnya seolah-olah mengunjukkan rasa mesra dan simpati kepada Thian-leng.

Thian-leng menghela napas,” Tujuh belas tahun yang lampau, tak lama setelah aku dilahirkan, Hun-tiong-sin-mo mengganas di keluargaku. Empat puluh orang keluargaku dibunuh semua. Mungkin penderitaan batin itu merobah perangai ibuku…”

“Apakah gundukan tanah di luar itu kuburan dari keluargamu?” tanya Cu Siau-bun.

Thian-leng mengangguk dengan mata berllinang. Tiba-tiba Siau-bun tertawa terkekeh, serunya,”Ah, saudara Kang, kau telah masuk dalam perangkap yang lihay. Kasihan kau tak mengetahui. Jika tak berjumpa denganku, mungkin sampai matipun kau tak sadar….” Kemudian ia berkata seorang diri, “Hebat betul tipu siasat orang ini. Sedemikian halus dan licin, sehingga orang tak menyadari…”

“Aku tak mengerti maksudmu….”

“Memang kau tak mengerti,” tukas Cu Siau-bun, “hatimu polos dan jujur, maka mudah ditipu orang. Ya, aku berani mengatakan, bahwa selama ini kau tentu tak pernah mencurigai ibumu itu….. “

Thian-leng serentak bangun dan menjerit geram, “Cu-heng…”

Cu Siau-bun memandangnya dengan rasa simpati dan ditepuknya bahu pemuda itu, ujarnya,”Memang soal ini berbelit-belit, tetapi apakah sedikitpun kau tak menaruh kecurigaan? Misalnya kematian ibumu yang begitu aneh dan pesannya yang tak wajar. Apakah kau terima begitu saja?”

Tergerak pikiran Thian-leng. Ya, memang kata-kata Cu Siau-bun itu masuk akal. Tetapi ia tak tahu bahwa di balik diri ibunya itu tersembunyi sesuatu rahasia.

“Kau mengatakan bahwa seluruh keluargamu telah dibasmi oleh Hun-tiong-sin-mo. Tetapi mengapa hanya ibumu dan kau yang selamat?”

“Karena dengan memondong aku, beliau bersembunyi dalam sebuah sumur mati!” “Kau masih bayi, tentunya ibumu yang menceritakan hal itu bukan?”

“Beliau bukan seorang ibu yang suka berbohong!” Thian-leng berseru geram.

Cu Siau-bun tertawa sinis,”Baik, taruh kata hal itu benar, tetapi masih ada lagi hal yang menyangsikan. Kau mengatakan ibumu dibunuh oleh Hun-tiong-sin-mo, tetapi mengapa dia tak membunuhmu sekalian…?”

“Karena waktu itu aku tidur di rumah belakang, mungkin iblis itu tak mengetahui.”

“Tujuan Hun-tiong-sin-mo ke lembah terpencil ini, adalah semata-mata hendak membunuh kalian ibu dan anak. Masakan dia tak mencarimu ke rumah belakang….!”

Kali ini Thian-leng tergagap tak dapat menjawab.

“Apabila penilaianku tak salah, pembunuhan itu tentu dilakukan pada malam hari. Jeritan ngeri dari ibumu telah membangunkan kau. Kau segera bergegas lari menghampiri dan mendapatkan ibumu rebah dengan dada tertancap pedang, di samping tempat tidurnya terdapat panji tengkorak. Saat itu ibumu masih dapat berkata-kata memberi pesan terakhir, setelah itu baru menutup mata…. “

Thian-leng terlongong memandang pemuda itu. Ia heran mengapa Cu Siau-bun dapat menceritakan peristiwa itu dengan tepat, seperti menyaksikan sendiri. Cu Siau-bun tersenyum ewa.

“Tetapi dia tidak mati, dia pergi!” tiba-tiba pemuda itu berseru nyaring.

Seketika mengigillah tubuh Thian-leng mendengar ucapan yang seperti halilintar pecah di tengah hari itu. Wajahnya berobah pucat, mulutnya tergugu, “Bagaimana mungkin, itu….”

“Di atas tempat tidur maupun di bawahnya tentu tak terdapat bekas-bekas darah. Dia menggunakan ilmu menutuk tubuh dengan senjata. Orang lain mungkin kena dikelabui, tetapi prmainan anak kecil semacam itu mana dapat menipu aku… “

Cu Siau-bun berhenti sejenak, katanya pula, “Dia telah mengatur siasat sedemikian indah Dipilihnya 3 hari sebelum Hun-tiong-sin-mo menerima tantangan kaum persilatan. Tempo 3 hari itu cukup untuk menyuruhmu ke Hun-tiong- san…..”

“Tetapi beliau pesan agar aku menyingkir pergi sejauh mungkin, jangan melakukan pembalasan. Beliau tahu bahwa aku bukan tandingan iblis itu…” bantah Thian-leng.

Kembali Cu Siau-bun tertawa sinis,”Tiada seorangpun yang lebih mengenal puteranya daripada seorang ibu. Entah apakah dia itu sungguh ibumu atau bukan, tetapi dia sudah tinggal bersamamu selama belasan tahun. Masakah dia tak kenal tabiatmu. Melarang kau melakukan pembalasan, berarti mendesak batinmu supaya melakukan pembalasan. Waktu 3 hari dari pertempuran di Hun-tiong-san itu tak memberimu kesempatan untuk berpikir lagi. Kau tentu nekad akan melakukan pembalasan.”

Menunjuk pada sebuah peti kayu yang terbuka di atas meja, berkatalah Cu Siau-bun, “Diam-diam ia menyembunyikan sebotol Pek-tok-jong, tetapi sengaja ia perlihatkan. Di dalam peti itu terdapat keterangan tentang penggunaan racun yang luar biasa ganasnya itu. Telah diperhitungkannya bahwa kau tentu membawanya untuk menempur Hun-tiong-sin-mo. Syukur Hun-tiong-sin-mo dapat dibinasakan dengan racun itu. Apabila dia tidak mati, sekurang-kurangnya kaulah yang akan dibunuh iblis itu. Karena selama 60 tahun ini, tak pernah ada orang yang keluar dari Hun-tiong-san dengan hidup!”

Cu Siau-bun tertawa geli, “Ha, ha, hebat sekali dia mengatur rencananya, tetapi masih ada kelemahannya. Ia tak menyangka akan timbul hal-hal di luar perhitungannya!”

Saat itu Thian-leng seperti jago yang sudah keok. Ia menundukkan kepala dan mengeluh sedih, “Tetapi mengapa ibuku berbuat begitu, apakah alasannya…”

“Ho, kau tetap belum menyadari bahwa dia itu bukan ibumu!” teriak Cu Siau-bun. 

Merahlah sepasang mata Thian-leng. Ia memandang Cu Siau-bun dengan terlongong-longong. Kasihan juga Cu Siau- bun melihat diri anak muda itu, katanya dengan berbisik, “Mungkin kau masih belum yakin. Baiklah, hendak kuberikan lagi sebuah bukti yang kuat!” Ia melangkah keluar pondok. Thian-leng segera mengikutinya.

“Apabila kuburan-kuburan itu sungguh berisi jenazah keluargamu,” Cu Siau-bun menunjuk ke arah gundukan kuburan, “anggaplah bahwa keteranganku semua tadi bogong belaka. Silakan gali kuburan itu!”

Kembali Thian-leng terbelalak. Namun hal itu penting sekali baginya. Segera ia mencari cangkul dan mulai menggali sebuah kuburan. Menurut batu nisan yang terpancang di muka kuburan, yang digali itu adalah kuburan pamannya. Cepat sekali ia sudah menggali sampai 2 meter lebih dalamnya. Darahnya serasa berhenti ketika tak didapatinya barang satu peti mati dalam liang kubur itu. Masih dia penasaran, digalinya 5 buah kuburan lagi… ah… kosong melompong semua !

Thian-leng terhuyung-huyung jatuh terduduk akibat pukulan yang mendera batinnya. Apa yang dikatakan Cu Siau- bun itu nyata semua. Wanita itu bukan ibunya dan ternyata tidak mati.Tetapi siapakah gerangan dia itu? Dan siapakah ibunya yang sejati? Mati atau masih hidupkah ? Mengapa sejak kecil ia dipelihara wanita itu?

Hanya dalam beberapa detik saja, Thian-leng merasa dirinya tercebur ke dalam lembah teka-teki yang penuh rahasia. Apa yang dirasa benar selama ini ternyata salah semua. Ia kehilangan paham paham akan keadaan dirinya sendiri.

Ah, kalau begitu Hun-tiong-sin-mo itu bukanlah musuhnya! Kemungkinan wanita yang mengaku jadi ibunya selama 17 tahun itulah yang menjadi musuh sebenarnya.

Tetapi mustahil, aneh, tak masuk akal…. demikian benak thian-leng berbantah sendiri. Perlu apa wanita itu memeliharanya sampai besar? Bukankah kalau mau, dapat membunuhnya dengan mudah? Tetapi mengapa tidak? Kalau wanita itu mempunyai dendam pada Hun-tiong-sin-mo, bukankah dapat mencari rencana lain dan tak perlu memelihara dirinya sampai 17 tahun lamanya! Mengapa , ya , mengapa….?

Tiba-tiba thian-leng teringat pada Hun-tiong-sin-mo. Iblis itu jelas tak sesuai seperti yang dikatakan Oh-se Gong-mo. Kalau begitu Hun-tiong-sin-mo yang menguasai gunung Hun-tiong-san itu bukanlah iblis Hun-tiong-sin-mo yang asli. Benar suatu teka-teki yang luar biasa…. Nyata bahwa dunia persilatan itu merupakan panggung sandiwara yang besar. Dan nasib telah menbuat Thian-leng dilahirkan dalam kancah pergolakan dunia persilatan yang penuh keanehan!

“Mengapa? Mengapa? Mengapa….? karena terhimpit oleh rasa sesak, mulut Thian-leng menjerit-jerit kalap.

Tiba-tiba sebuah tangan yang halus telah menjamah bahunya dan terdengarlah suara yang lemah lembut di telinganya, “Mengapa? Itulah yang harus kita pecahkan…..”

Thian-leng mengangkat kepala. Matanyapun segera tertumbuk pada sepasang mata halus dari wajah Cu Siau-bun yang mengandung rasa simpati.

Tiba-tiba Thian-leng mendekap sepasang tangan Cu Siau-bun, serunya, ”Terima kasih saudara Cu! Jika bukan kau yang membuka rahasia ini, aku tentu masih terbenam dalam kegelapan!”

Wajah Cu Siau-bun yang pucat kekuning-kuningan tampak memerah. Tersipu-sipu ia menarik tangannya, “Aku tak suka campur tangan urusan orang lain. Tetapi sekali sudah campur tangan, tentu akan kubantu engkau menyelesaikan urusan ini sampai jelas !”

Thian-leng berterima kasih dan mengagumi kecerdikan Cu Siau-bun. Sayang ia tak pandai bicara, sehingga sukar untuk mengucapkan rasa terima kasihnya.

“Ah, sudah lewat tengah malam, marilah kita beristirahat, “kata Cu Siau-bun, “Besok pagi kita lanjutkan lagi penyelidikan kita.”

Thian-leng tidur di rumah belakang. Karena lelah, cepat ia tertidur pulas. Tetapi Cu Siau-bun tak dapat tidur, ia mondar-mandir dalam gubug itu, pikirannya melayang-layang. Ia merasa aneh kepada dirinya sendiri/ Mengapa ia paksakan diri untuk membantu urusan Thian-leng? Mengapa ia rela memomong pemuda itu? Thian-leng seorang yang polos hatinya sehingga tampaknya seperti ketolol-toloan. Semula ia tak ambil pusing tetapi, lama kelamaan timbullah rasa sukanya kepada pemuda itu. Aneh, aneh…..

Setelah letih dalam lamunan, akhirnya dapat juga ia tertidur beberapa jam. Tetapi tiba-tiba ia tersentak bangun. Lapat-lapat di luar jendela terdengar suara angin berhembus perlahan. Sekalipun hampir tak kedengaran, namun telinganya yang tajam dapat juga menangkap suar yang mencurigakan itu. Diam-diam ia siapkan tiga batang jarum Tui-hong-jiong di tangan. Setelah memperhatikan arahnya, segera ia taburkan keluar jendela….

Jarum Tui-hong-kiong (pengejar angin) itu sehalus siong-ciam (jarum daun cemara). Sedikitpun tidak mengeluarkan suara, kecuali warnanya yang mengkilap di dalam kegelapan malam!

Tring, tring, tring….. terdengar kerincing halus dari 3 batang jarum yang berhamburan jatuh. Menyusul sebuah ketawa mengejek berkumandang perlahan. Cu Siau-bun terkejut, pikirnya, “ Ah, wanita yang mengaku ibu Thian-leng itu ternyata lihay sekali, taburan jarumku dapat dikebutnya!”

Sekali bergerak ia melesat keluar jendela. Rembulan bersinar, langit berhias bintang-bintang. Di antara gundukan kuburan itu, tampak tegak seorang wanita pertengahan umur, mukanya ditutupi selubung kain sutera tipis.

Dengan gusar Cu Siau-bun segera lompat menyerangnya. Tetapi wanita berkerudung itu memutar tubuh dan loncat lari ke mulut lembah. Cu Siau-bun mengejarnya. Kira-kira berlari dua puluhan tombak, tiba-tiba wanita itu tertawa terus berputar dan menghantamnya. 

Cu Siau-bun berhenti tegak. Dia tak menghindar maupun menangkis. Tetapi anehnya pukulan wanita itu terbelah menghambur di kedua samping tubuhnya. Tanah muncrat berhamburan, namun kecuali pakaiannya yang berkibar- kibar, sama sekali Cu Siau-bun tak terluka apa-apa. Ia tertawa menghina !

Wanita berkerudung itu terkesiap kaget, serunya, “Kau bisa ilmu melicinkan tubuh?”

“Matamu tajam juga!” Cu Siau-bun tertawa mengejek. Tiba-tiba ia mencabut sebilah pedang pendek yang panjangnya hanya setengah meter. Begitu dikibatkan segera ia menyerang. Pedang yang begitu pendek ternyata dapat berobah menjadi lingkaran cahaya pedang sepanjang dua meter. Tubuh wanita itu seolah-olah terbungkus oleh sinar pedang.

Wanita itu semakin kaget, namun iapun dapat mengelak dengan gesit sekali. Tiga buah serangan Cu Siau-bun tak mampu mengenainya. Pemuda itupun terkejut. Ia tarik pedangnya dan tegak berdiri di muka wanita itu.

Sepasang mata si wanita berkilat-kilat tajam memandang wajah Cu Siau-bun, tiba-tiba ia berseru dengan nada agak bergetar,

“Ilmu pedang Hui-hun-kiam! Apakah kau….?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar