Panji Sakti Bab 33 : Hancurnya Kong-Tong-Kau (Tamat)

33. Hancurnya Kong-Tong-Kau (Tamat)

Empat hari lamanya Ceng Ih dan Coa Leng terkurung dalam karang cekung. Keadaan mereka seperti berada dalam kuali yang dibakar dari bawah. Pada hari kelima, api pun mulai reda. Kini Ceng Ih dapat melihat ke sekeliling tempat situ.

Ternyata lubang besar itu, adalah bagian pusat yang paling dalam dari sebuah garis tanah bengkah yang membentang dari puncak gunung sampai ke bawah. Entah berapa tombak jauhnya.

Tiba-tiba hati Ceng Ih berdebar keras. Kira-kira tiga tombak pada tanah bengkah yang terbentang dihadapannya, tampak terhampar tiga sosok tubuh. „Lo-cianpwe, aku dapat melihat adik Peng!" teriaknya dengan gugup.

„Dimana?" Coa Leng pun tergetar hatinya.

„Kira-kira tiga tombak disebelah kiri kita, ya, benar mereka bertiga.”

„Hidup atau sudah mati?”

Ceng Ih seperti disadarkan, buru-buru dia menyahut:

„Entahlah Lo-cianpwe, apakah kau tak dapat bergerak?"

„Aku tak kurang suatu apa, bawalah aku kesana!"

Dengan hati-hati Ceng Ih segera memimpin wanita yang buta itu. Sekali ayun tubuhnya, mereka loncat ke tempat ketiga nona itu. Ya, benar itulah Tan He, Peng-ji dan Wan-ji. Mereka pingsan, Peng-ji terlentang ditengah sambil merangkul Tan He dan Wan-ji.

Untuk kegirangannya, Ceng Ih dapatkan pernapasan ketiga nona itu masih berdetak. Dia memberitahukan hal itu kepada Coa Leng.

„Nak, berapakah jaraknya api dibawah kita itu?"

„Kira-kira tiga-empat meter!"

„Coba tengok keatas, berapa tingginya dari sini?"

„Hampir dua tombak!"

„Baik, nak. Sekarang kita harus lekas-lekas tinggalkan tempat ini. Jangan kira kita aman bersembunyi dikarang cekung sini, karena sewaktu-waktu tanah akan dapat bergerak dengan cepat. Kalau bumi sampai bergerak menutup, kita pasti terkubur hidup-hidupan disini. Kita bawa dulu mereka ke atas, baru nanti kita berusaha menyadarkan!" kata Coa Leng. Dia membagi tugas. Ceng Ih bergiliran membawa Tan He dan Wan-ji, sedang ia sendiri yang akan mengangkat puterinya.

„Nak, berapa tingginya kau dapat bergerak dengan it-ho- jong-thian?" tanyanya pula.

„Kira-kira empat tombak!"

„Bagus! Tapi ingat, karena sudah lima hari tak makan, jadi kekuatan kita tentu berkurang. Kau harus kerahkan seluruh tenagamu dan awas jangan sekali-sekali menginjak tepi tanah bengkah karena masih lunak."

„Dan bagaimana dengan lo-cianpwe sendiri nanti?"

„Sudah belasan tahun, aku kehilangan mata. Lekas kerjakan dan aku segera menyusul!"

Ceng Ih tak mau buang tempo. Pertama dia mengangkat Wan-ji. Dengan sebuah gerakan it-ho-jong-thian, dia melesat naik sampai tiga tombak, kemudian dia susuli pula dengan gerak hui-yan-tho-lin untuk melayang ke samping kira-kira tiga tombak jauhnya dari tepi tanah bengkah. Baru dia meletakkan Wan-ji ditanah. Coa Lengpun sudah menyusul tiba dengan memondong Peng-ji. Gerakan wanita buta itu, luar biasa gesitnya. Ceng Ih turun lagi untuk membawa Tan He. Setelah semua berhasil naik ke atas, barulah Ceng Ih memberi pil

siok-beng-tan.

Pertama yang tersadar, ialah Peng-ji. Demi dilihatnya Ceng Ih bersenyum, nona itu cepat berbangkit duduk. Ceng Ih memberi penjelasan siapakah wanita rambut kusut yang buta itu. Serta merta Peng-ji menubruk keharibaan Coa Leng, tangisnya terisak-isak. Tan He dan Wan-ji yang berturut-turut sadarkan diri, juga ikut menangis. Sampaipun Ceng Ih juga mengucurkan air mata. Pertemuan antara ibu dan anak itu, amat mengharukan sekali .......

Selang berapa saat kemudian, Ceng Ih menyatakan hendak berangkat ke Hay-go dulu. Pertama untuk menyiapkan segala keperluan dan kedua memberitahukan pada Swat-san Lojin dan Thian-lam-ping-siu. Coa Leng mengerti akan maksud anak muda itu, ia menyatakan akan berangkat bersama-sama saja.

Tiba di hotel, ternyata rombongan Swat-san Lojin sudah dua hari yang lalu datang disitu. Mereka membawa kuda say- cu-hoa dan barang-barang kepunyaan Ceng Ih. Menurut keterangan jongos, kedua tokoh itu hendak menuju ke Lu-ciu.

„Setelah markasnya hancur, kedua Ji-lo itu tentu menggabungkan diri dengan Kong-tong-pay. Swat-san Lojin dan supehmu tentu kesana. Yang dikuatirkan bukan Lam-hay Ji-lo, tapi Lian Hoa Kaucu dan Peh-i-siu-su yang licin dan ganas itu. Nanti setelah beristirahat, kita harus lekas-lekas menyusul, mungkin belum terlambat," kata Coa Leng.

Ceng Ih teringat akan sampul merah yang diambilnya dari kamar Lam-hay Ji-lo. Tapi waktu dikeluarkan, ternyata sudah luntur kena air dan lecu terbakar. Tulisannya tak dapat dibaca lagi.

Ah, sayang kita tak dapat mengetahui tanggal upacara sembahyangan bendera dari Kong-tong-kau," kata Ceng Ih.

„Perlu apa susah-susah begitu. Kita kesana, gempur mereka, habis perkara", menyelutuk Wan-ji.

"Lo-cianpwe " serµ Ceng Ih kepada Coa Leng. „Ya, nak!"

„Kapan kau akan dahar?"

„Setengah jam lagi, kemudian kita terus berangkat!" sahut Coa Leng.

„Apa-apaan itu? Yang satu menyebut 'lo-cianpwe', yang satu memanggil 'nak', huh, janggal benar. Ayuh ," seru

Peng-ji seraya menyeret Ceng Ih kehadapan Coa Leng.

„Panggil saja 'mama'!“

Tan He dan Wan-ji pun ikut memaksanya. Apa boleh buat, dengan kikuk-kikuk akhirnya Ceng Ih menyebut 'mama’ pada Coa Leng.

„Lalu aku memanggil bagaimana?" tanya Coa Leng. Diluar dugaan, ketiga nona itu tak dapat menyahut.

„Swat-san Lojin memanggil aku 'buyung', supeh memanggil 'Ih-ji', terserah sajalah!” akhirnya Ceng Ih lah yang memberi jalan.

„Memanggil 'buyung' terlalu menganggap diri sendiri keliwat tinggi. Memanggil 'Ih-ji', juga keliwat manya. Ah, lebih baik kutetap menggunakan panggilan ‘anak, nak' saja.

Bagaimana pendapat kalian, hai?" tanya Coa Leng pada ketiga nona itu.

Peng-ji bertiga hanya mengikik, saling meleletkan lidah.

Kemudian Peng-ji pimpin mamanya kekamar mandi. Kira-kira setengah jam kemudian, masing-masing sudah sama bersihkan diri. Coa Leng, kecuali sepasang matanya yang cekung, tampaknya tetap cantik dan berwibawa. Tan He laksana sekuntum bunga bo-tan yang cantik ayu, Peng-ji seperti bunga teratai yang suci berseri dan Wan-ji bagaikan bunga seruni yang sedap dipandang.

Lima hari tak mengecap nasi, telah membuat mereka seperti harimau lapar. Setelah beristirahat sebentar, malam itu juga mereka berangkat ke Holam.

Pada hari keempat, tibalah mereka di desa Sip-li-poh yang terletak di pinggir kota Lu-ciu. Di desa itulah dulu Ceng Ih telah mengunjukkan demonstrasi kepandaian pada seorang wanita desa, tapi toh tetap gagal juga untuk mempengaruhinya.

Tiba-tiba dari arah belakang ada sesosok bayangan kelabu lari mendatangi dengan cepat. Begitu pesat gerakan orang itu, hingga dalam beberapa kejap saja sudah jauh melampaui rombongan Ceng Ih. Peng-ji mendongkol dan ajak Ceng Ih mengejarnya.

Ilmu gin-kang dari Swat-san-pay, memang hebat. Dalam tiga-empat enjotan saja, Peng-ji sudah melampaui Ceng Ih dan segera akan mencandak orang itu. Ceng Ih hendak tancap gas, tapi tiba-tiba orang itu berhenti dan berpaling.

„Hai, lo-koko, kiranya kaulah!" seru Ceng Ih sambil berlari menghampiri.

Sambil menepuk-nepuk pundak Ceng Ih, orang itu tertawa girang: "Ha, ha, lote, girang sekali dapat bertemu pula dengan kau. Tapi ai, kau harus perkenalkan aku dulu pada kawan- kawanmu itu. Kecuali nona Peng, aku belum kenal semua!"

„Kau kenal padaku? Heran!" seru Peng-ji dengan menyengir. Ceng Ih buru-buru memberi isyarat ekor mata kepada si nona, lalu dia perkenalkan orang itu kepada kawan-kawannya. Kiranya orang itu ialah Swat-nia-koay-siu tokoh yang menggunakan samaran Tian-to-kian-gun tempo hari.

„Lo-koko, untuk apa kau datang ke Lu-ciu lagi?" tanya Ceng

Ih.

„Apa kau tahu aku datang bersama siapa?" koay-siu balas

bertanya.

Ceng Ih mengangkat bahu tak tahu.

„Dengan supehmu, Swat-san Lojin, Bo-ang Sancu dan Chit- Cincu!"

Ceng Ih, Coa Leng dan ketiga nona sama berseru kaget.

„Lo-cianpwe, ayahku sekarang berada dimana? Apakah lo- cianpwe sekalian sudah bertemu dengan pihak Kong-tong- pay?" cepat Tan He sudah mengajukan pertanyaan.

Swat-nia-koay-siu melirik kepada nona itu. Bukannya menjawab, sebaliknya dia berkata kepada Ceng Ih: „Tan He Kongcu benar-benar laksana kuntum bunga. Lote, kiranya tak sia-sia kau menempuh bahaya ke Lam-hay itu Ai, lote,

apa kau mengetahui mengapa aku si tua bangka ini datang ke Sip-li-poh sini?"

„Aku kan bukan cacing dalam perutmu, mana bisa tahu?" sahut Ceng Ih.

„Apa lagi kalau bukan membayar hutangmu!"

Ceng Ih makin heran, tanyanya: „Aku berhutang pada siapa?" 

„Ai, bukankah kau menyanggupi orang, untuk mengantarkan pulang si Siao-kui?"

„Oh jadi koko sengaja datang untuk hal itu? Apa kata

orang tuanya?"

„Apalagi kalau bukan terima kasih. Ibunya mengatakan, dari sekarang dia percaya penuh pada ilmu kepandaianmu. Dan sewaktu mendengar berita partai Kong-tong-kau berantakan, seluruh rakyat desa sini sama bersuka ria. Mereka hendak mendirikan batu peringatan untuk mengenangkan jasamu!"

„Kong-tong-kau sudah hancur?!" kembali Ceng Ih dan kawan-kawan berseru kaget.

Swat-nia-koay-siu tertawa, ujarnya: „Setua ini umurku, baru sekali itu aku mengalami pertempuran yang teramat dahsyat. Swat-san Lojin dan supehmu bertanding lawan Lam- hay Ji-lo. Bo-ang Sancu berhadapan dengan Peh-i-siu-su Jui Cu-eng. Tapi coba kaukatakan, siapa yang mengganyang si iblis tua Lian Hoa Kaucu itu?"

Dengan tertawa empuk Ceng Ih menyahut: „Sudah tentu kaulah lo-koko "

„Jangan terlampau menjunjung diriku. Lian Hoa Kaucu lebih sakti dari Lam-hay Ji-lo. Sedang Swat-san Lojin saja tak dapat menandingi, apalagi si tua tukang makan nasi seperti aku!”

Swat-nia-koay-siu tetap minta Ceng Ih supaya menerkanya.

„Chit-Cincu!" kata Ceng Ih.

„Ngaco! Chit-Cincu masih setingkat lebih rendah dari ayahku!" kali ini Peng-ji lah yang mewakili koay-siu selaku juri. 

Wan-ji yang sejak tadi diam saja, kini tergopoh-gopoh minta Swat-nia-koay-siu supaya mempertemukannya dengan ayahnya. Semua orang menyetujui pikiran Wan-ji itu.

Sebaliknya, melirik ke arah nona itu, koay-siu tertawa terloroh-loroh: „Nona Wan, biarpun aku limbung, tapi tetap mengetahui apa yang terkandung dalam hati kalian semua ini. Tapi tentunya kau tak mengetahui bagaimana kedahsyatannya pertempuran itu. Kawan-kawan kita telah bertempur mati- matian selama nonstop dua hari dua malam. Kini mereka tengah beristirahat memulangkan tenaga. Kalau dengan, tiba- tiba kalian muncul, mereka tentu akan terpengaruh perasaannya. Sedikit tak berhati-hati, bisa menyebabkan mereka tersesat peredaran lweekangnya. Kalau sampai terjadi bencana begitu, siapakah yang akan bertanggung jawab?"

Ceng Ih dan keempat nona menjadi kemekmek. Apa yang dikatakan Swat-nia-koay-siu itu memang benar.

„Ayuh, kita berjalan pelahan-lahan saja. Dalam sepeminuh teh, tentu akan tiba disana. Tapi ingat, sebelum kuberi isyarat, jangan sekali-kali kalian bertindak sendiri!" kata Swat-nia- koay-siu.

Coa Leng dan keempat anak muda itu mengangguk.

Sembari berjalan kembali Swat-nia-koay-siu mengingatkan Ceng Ih akan pertanyaannya yang belum tertebak itu.

„Sungguh aku tak dapat menerka, siapakah yang memiliki kepandaian sesakti itu," akhirnya Ceng Ih menyerah.

„Tolol! Bu-san Hi-cu !" „Bu-san Hi-cu?" Ceng Ih menegas dengan terbeliak, "bukankah tempo hari lo-koko mengatakan bahwa kepandaian ayah dan anaknya itu biasa saja?"

„Memang telah kukatakan begitu!"

„Habis bagaimana dia dapat mengalahkan Lian Hoa Kaucu?"

„Ai, tunggu dulu, kata-katamu itu salah. Bukan 'mengalahkan', tapi „membinasakan" lho!"

Ceng Ih melangkah maju kehadapan koay-siu. Katanya dengan tertawa dingin: „Ai, lo-koko! Kau menyebut dirimu kenyang pengalaman, pandai berputar lidah. Tapi kali ini aku terpaksa harus mengoreksi kata-katamu tadi!"

„Apa yang hendak kau koreksi?" kali ini Swat-nia-koay-siu yang merasa heran.

„Hem, lo-koko! Kau pernah mengatakan Bu-san Hi-cu itu biasa saja kepandaian silatnya. Hanya pada beberapa tahun yang lalu, dia beruntung menemukan kitab pelajaran lweekang Bu-siang-sin-kang, benar tidak?"

„Ya.”

„Kau bilang, bu-siang-sin-kang itu hanya dapat membuyarkan segala serangan lweekang, tapi tidak dapat dipergunakan melukai lawan. Mengapa pemimpin Kong-tong- pay ternyata dapat dipukul binasa? Apa ini bukan menjual petai hampa (omong besar) namanya?"

„Oh, begitu!" Swat-nia-koay-siu menghela napas, lalu berkata pula: „apakah aku boleh menambahi sedikit?" „Yang mana?"

„Kepandaian silat Bu-san Hi-cu kalah dengan kau, itu memang kenyataan. Kalau menganggap aku keliru, kekeliruan itu semata-mata terletak pada bu-siang-sin-kang!"

„Bagaimana jelasnya?"

„Bu-siang-sin-kang tak dapat digunakan melukai orang, juga kenyataan. Untuk membuyarkan serangan lawan, sebenarnya harus menggunakan gaya gerakkan in (menyedot). Karena Bu-san Hi-cu menggunakan gaya 'tin' (menggetar), maka binasalah Lian Hoa Kaucu. Jadi kesalahanku itu, terletak karena aku, belum paham seluruhnya akan ilmu sakti bu-siang-sin-kang!"

Kini baru Ceng Ih jelas persoalannya.

„Lo-te, kali ini perjalananku benar-benar berhasil. Kalau tidak, masakan secara kebetulan dapat bertemu dengan Bu- san Hi-cu yang suka kita jagokan melawan Lian Hoa Kaucu?"

„Koay-siu, bagaimana halnya dengan kedua Ji-lo?" tanya Coa Leng.

„Sewaktu menampak Lian Hoa Kaucu binasa, akhirnya kedua Ji-lo itu minta damai pada Swat-san Lojin supaya mereka diberi hidup untuk melewati sisa hidupnya yang sudah tak berapa lama itu. Swat-san Lojin meluluskan!"

Wan-ji menyengir, serunya geram: „Terlalu murah bagi kedua setan tua itu. Mereka belum membayar hutang pada kita!"

„Nona Wan, sudahlah. Sakit hati mudah diikat, sukar dihabiskan. Hinaan yang kuderita, lebih besar dari kau!" kata Coa Leng yang masih ingat, biar bagaimana kedua Ji-lo itu adalah suhunya.

„Koay-siu, lalu bagaimana Jui Cu-eng?" kata Coa Leng pula.

„Oh, Swat-san Lojin menganggap Peh-i-siu-su sebagai biang keladi utama, maka dia hendak membawa orang itu ke Swat-san untuk dijadikan sesaji sembahyangan pada roh kalian ibu dan anak!"

Coa Leng dan Peng-ji terharu, mendengar keadaan Swat- san Lojin yang patah hati itu. Saat itu mereka tiba dimuka sebuah hutan. Swat-nia-koay-siu minta mereka menunggu dulu disitu, dia hendak masuk sendiri.

Hanya beberapa kejap tokoh itu menyusup masuk ke dalam hutan, atau dia sudah kelihatan muncul keluar lagi memberi isyarat supaya Coa Leng berlima menghampiri. Sebelumnya, kelima orang itu sudah berunding akan membuat tokoh-tokoh yang berada dalam hutan itu, terkejut besar. Setelah itu, baru mereka menghampiri.

Ditengah hutan ternyata ada sebuah tanah lapang. Disitu tampak duduk beberapa orang, Swat-san Lojin, Thian-lam- ping-siu, Bo-ang Sancu, ketujuh Cincu dan selain itu masih ada dua orang lagi yang tak dikenal. Yang satu seorang yang dandanannya seperti seorang pelajar tapi tangan kakinya diikat tali.

Ceng Ih menduga, tentulah dianya si wakil pemimpin Kong- tong-kau Peh-i-siu-su Jui Cu-eng. Sedang satunya lagi juga duduk bersila ditanah, sikapnya amat garang. Itu tentulah Bu- san Hi-cu, tokoh yang telah dapat menghancurkan Lian Hoa Kaucu! Rupanya tokoh-tokoh itu tengah menunggu kedatangan Swat-nia-koay-siu. Ceng Ih cepat memberi isyarat tangan dan berbareng dengan teriakan nyaring, mereka berlima segera berpencaran menyerbu kesasarannya.

Tokoh-tokoh tua yang tengah duduk samedhi itu terkesiap. Belum lagi mereka tahu apa yang terjadi, tahu-tahu dadanya telah ditubruk orang. Tan He menubruk Bo-ang Sancu, Wan-ji mendekap Thian-lam-ping-siu dan Peng-ji merangkul Swat-san Lojin! Saking kejutnya, ketiga tokoh itu sampai melongo ……..

Kasihan Coa Leng. Dia malu untuk meniru tingkah puterinya dan kedua kalinya, karena Swat-san Lojin tak bersuara, jadi diapun tak mengetahui arah tempat suaminya itu. Pun Swat-san Lojin mimpipun tidak kalau wanita buta yang berpakaian hitam itu, adalah isteri yang dikasihinya.

Ceng Ih cepat memimpin Coa Leng untuk dipertemukan pada Swat-san Lojin. Dia sendiri lalu menghampiri kesamping supehnya.

lsteri yang belasan tahun berpisah kini dapat bertemu pula.

Anak yang disangka meninggal, ternyata segar bugar. Air mata kegirangan, turun membanjir dari mata ketiga orang itu.

Sembari membiarkan Wan-ji terisak-isak dipangkuannya, Thian-lam-ping-siu menyuruh Ceng Ih supaya lekas-lekas haturkan maaf pada Bu-san Hi-cu.

„Sudilah lo-cianpwe memberi maaf pada Ceng Ih!" Ceng Ih berjongkok memberi hormat.

Bu-san Hi-cu tertawa lalu mengangkat bangun Ceng Ih, ujarnya: „Jangan Ceng-siaohiap begitu merendah. Kesalahan terletak pada anakku sendiri. Lohu telah dapat menyembuhkan lukanya, harap siaohiap jangan mengungkat lagi hal itu."

„Kalau Pian se-heng tak kurang suatu, barulah hati Ceng Ih dapat tenteram. Sekalipun begitu, tetap Ceng Ih merasa salah dan harap lo-cianpwe menjatuhi hukuman!" kata Ceng Ih.

„Lote, kau amat merendah. Pian-heng dan puteranya sering memuji kau bersifat kesatria!" tukas Swat-nia-koay-siu.

Adalah selagi mereka masih asyik berbicara itu, tiba-tiba terdengar Coa Leng berseru memanggilnya. Cepat sekali Ceng Ih sudah menghampirinya.

„Bawa Jui ….Cu …. eng kemari!" sambil mengertak gigi karena marahnya, Coa Leng memberi perintah.

Sekali dua gerakan, Ceng Ih dengan tangkasnya sudah menyelesaikan perintah itu.

„Ma, inilah dianya!"

„Putuskan tali ikatannya, supaya tulang-tulangnya lemas dulu!"

Ceng Ihpun mengiakan dengan sigapnya. Hal itu telah membuat kejut sekalian orang. Mereka segera berkerumun mengepung Coa Leng dan Jui Cu-eng. Malah Chit-Cincu sudah menghunus senjata dan berjajar-jajar dalam formasi chit-sing- tin, untuk menjaga supaya Jui Cu-eng jangan sampai lolos.

Tampak Coa Leng memandang kearah Peh-i-siu-su dan berseru nyaring: „Jui Cu-eng! Sepantasnya untuk menghimpas dendam hinaan kehilangan mata selama empat belas tahun itu, aku harus membeset kulitmu dan meminum darahmu.

Tapi aku masih menjunjung nurani kemanusiaan. Beginilah, aku hendak mengajukan beberapa pertanyaan. Kalau kau menjawab dengan terus terang, kubebaskan jiwamu dari hukuman cacah. Bagaimana?"

Peh-i-siu-su adalah wakil pemimpin dari Kong-tong-kau. Biasanya dia selalu memerintah tak pernah diperintah. Tapi menghadapi kematian, dia terpaksa telan hinaan. Dengan kemalu-maluan dia mengiakan.

Coa Leng menengadah keatas, seolah-olah hendak memohon restu. Kemudian mulailah dia ajukan pertanyaan:

„Apakah kau yang menyuruh mengorek biji mataku ini?"

„Ya.”

„Yang menyuruh jebloskan aku dalam penjara di bawah tanah, apa kau juga?"

„Be nar!"

„Pembuatan penjara di bawah tanah itu, juga kau yang merencanakan?"

„Ya.”

Coa Leng tertawa panjang, nadanya rawan-rawan seram.

„Bagus, bagus, kau telah menyawab dengan baik! Sebagai wakil pemimpin Kong-tong-kau, kepandaianmu tentu luar biasa. Beginilah, coba saja lihat bagaimana nasibmu. Kalau kau dapat melayani tiga jurus seranganku, aku takkan mengganggu selembar ujung rambutmupun juga. Tapi kalau kau sampai membuat kesalahan, jangan sesalkan aku keliwat ganas. Jangan kuatir, berhasil atau gagal, aku tetap menjamin jiwa-anjingmu itu. Nah, bagaimana?" Jui Cu-eng sendiri maupun Swat-san Lojin, Thian-lam-ping- siu dan Swat-nia-koay-siu, menganggap tindakan Coa Leng itu terlalu gegabah. Mereka tak percaya jika Coa Leng mampu mengalahkan wakil pemimpin Kong-tong-kau itu dalam tiga jurus.

Yang paling muring-muring adalah Bo-ang Sancu. Setelah bertempur mati-matian satu hari satu malam, baru dia dapat membekuk Peh-i-siu-su, kini wanita buta itu menepuk dada dalam tiga jurus saja sudah dapat menjatuhkan lawan itu.

„Bukankah ini suatu tamparan keras bagi muka pemimpin Siao-ngo-tay-san itu?"

Peh-i-siu-su Jui Cu-eng sendiripun tak percaya kalau Coa Leng mampu melakukan hal itu. Jangankan tiga jurus, sekalipun tiga puluh jurus, tak nanti dia kalah. Selarik harapan, terkilas dalam kalbunya.

Untuk mendapat kepastian, dia menegas: „Coa-lihiap, apakah ucapanmu itu sungguh-sungguh?"

„Pentang matamu lebar-lebar, begini banyak orang yang menjadi saksi. Jangan menilai orang dengan ukuran jiwamu yang rendah. Nah, berhati-hatilah menyambut seranganku!" sahut Coa Leng dengan dingin.

,,Nanti dulu! Hendak kuminta penjelasan yang terang. Aku boleh balas menyerang atau hanya menangkis saja?"

„Kau bebas menangkis dan menyerang. Nah, sambutlah seranganku ini!"

Coa Leng menutup ucapannya dengan sebuah serangan yang luar biasa. Dua buah tangannya ditusukkan menyilang kearah mata Jui Cu-eng, kaki menggelincir kebelakang tubuh orang, tangannya yang satu menutuk jalan darah dibelakang telinga. Tangkas dan cepatnya Coa Leng bergerak itu, membuat semua orang kesima.

Mendapat kesempatan hidup, Peh-i-siu-su berlaku luar biasa waspadanya. Waktu Coa Leng merangsang menutuk matanya, dia tahu kalau itu hanya serangan menggertak, maka dengan perdengarkan tertawa dingin dia malah maju menyongsong kemuka sampai tiga tindak.

„Hem, betapa gesitmu, jurus pertama tetap gagal!" pikirnya sembari putar tubuh ke belakang.

Tapi ternyata Coa Leng sekarang, jauh bedanya dengan Coa Leng pada empat belas tahun berselang. Waktu Peh-i-siu- su maju tiga tindak ke muka tadi, siang-siang Coa Leng sudah membayangi dibelakangnya. Begitu gembong Kong-tong-kau itu berputar tubuh, dua buah jari Coa Leng sudah menjongsong kematanya.

Kejut Peh-i-siu-su bukan kepalang. Baru dia merencanakan hendak gunakan gerak li-hi-to-hoan atau ikan lehi menjungkir balik, untuk buang tubuhnya kebelakang, jari tangan lawan sudah lebih cepat datangnya.

Gerak ji-liong-jio-cu atau dua naga merebut mustika yang dipertunjukkan Coa Leng itu bukan olah-olah cepatnya. Waktu tangan ditarik, dua buah biji mata yang berlumuran darah sudah bergelantungan di kedua belah pipi Peh-i-siu-su. Saking sakitnya, tokoh itu ber-jingkrak-jingkrak seperti orang gila.

Adegan itu sungguh mengerikan sekali ……..

„Jui Cu-eng, rasakanlah sendiri bagaimana rasanya orang yang kehilangan mata!" Coa Leng tertawa dingin.

Sesaat kemudian dia panggil Ceng Ih. „Jui Cu-eng tadi sanggup menerima tiga buah seranganku. Masih ada satu jurus, hendak kuserahkan padamu. Punahkan ilmu kepandaiannya saja, tak usah dibunuh. Nah, bawalah dia ke hutan sana!"

Ceng Ih cepat lakukan perintah mama mertuanya itu.

Sesaat kemudian terdengarlah lolong jerit kesakitan dari arah hutan dan Ceng Ih pun sudah kembali lagi.

Bu-san Hi-cu dan Swat-nia-koay-siu pamitan pulang. Swat- san Lojin saling bertanya dengan Thian-lam-ping-siu. Thian- lam-ping-siu menerangkan, karena tugasnya menyelamatkan Panji Sakti sudah selesai, dia hendak kembali ke Leng-san.

„Lahir sebagai orang Swat-san, matipun aku hendak menjadi setan Swat-san," Swat-san Lojin menerangkan rencananya, „Peng-ji, ayuh, kita pulang!”

Peng-ji menghampiri kehadapan ayahnya. Dengan berlinang-linang ia berkata: „Yah, aku pulang ke mana?"

Swat-san Lojin kerutkan kening, tapi pada lain kilas dia tersadar. „Ha, ha, mempunyai anak perempuan itu rugi. Kalau sudah besar tentu enggan turut orang tua, baiklah!"

Lojin itu segera memanggil Ceng Ih dan Wan-ji. Sambil mencekal lengan si nona, dia bertanya: „Wan-ji, apa kau suka ikut ayah pulang ke Swat-san."

Wan-ji melirik kearah Ceng Ih dan Peng-ji, lalu menyahut:

„Yah, aku ”

„Yah, kau jangan keliwat pusingkan ini itu. Pulanglah ke Swat-san bersama mama, setengah tahun sekali kami akan datang menjenguk!" tukas Peng-ji. Swat-san Lojin berlagak pilon, tanyanya: „Kami …… siapa- siapa yang kau maksudkan dengan kami itu?"

„Aku ……!" kata Peng-ji sembari menunjuk dirinya, lalu Ceng Ih, Tan He Kongcu dan Wan-ji.

„Amboi! Begitu banyak? Biar bagaimana, aku masih perlu mengurus sebuah hal lagi " sahut Swat-san Lojin seraya

menggandeng Peng-ji dan Wan-ji, lalu memberi isyarat pada Ceng Ih supaya ikut padanya menghampiri Bo-ang.

„Ayuh, kalian bertiga harus menyalankan peradatan, kemudian menyebut ayah pada Sancu, baru aku bebaskan kalian!"

Serta merta ketiga anak muda itu melakukan perintah Swat-san Lojin. Bo-ang Sancu tersipu-sipu mengangkat bangun mereka, lalu memberi isyarat mata pada puterinya. Tan He Kongcu segera melangkah kehadapan Swat-san Lojin dan Coa Leng, berlutut memberi hormat seraya memanggil ayah dan mama juga.

Karena cita-cita sudah terlaksana, Swat-san Lojin segera menggandeng isterinya tinggalkan tempat itu. Tiba-tiba ketujuh Cincu itu pun menyatakan maksudnya hendak kembali ke kandangnya di biara Sam-ceng-kiong gunung Bu-tong.

„Ji-Sian-ong, Su-Cuncia tentu sudah gugur dalam gempa bumi di Lam-hay. Kini totiang bertujuhpun hendak tinggalkan aku, ah, bagaimana aku nanti ……" demikian kata Bo-ang dengan hampa.

„Tiada perjamuan yang tak berakhir, mengapa Sancu berat seperti ditinggal kekasih. Kalau ada waktu luang, ketujuh totiang itu tentu menjenguk kita, bukan?" Thian-lam-ping-siu menghiburnya. 

Chit-Cincu bersorak memuji. Selaku hormat pengantar selamat tinggal, mereka segera mengacungkan pedang, lalu berbaris mengepung Bo-ang Sancu, Thian-lam-ping-siu dan Ceng Ih berempat.

Seru ketujuh Cincu itu dengan pekik nyaring:

„Tujuh adalah tujuh kesempurnaan, lambang kebahagiaan.

Pinto memuji sicu sekalian selamat sejahtera. Semoga Panji Sakti berwihawa kekal abadi!"

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar