Panji Sakti Bab 28 : Ah, Malu ...........

28. Ah, Malu ...........

Tan He tertawa geli, sahutnya: „Tolol kau ini! Kuda memang tak dapat bicara, tapi say-cu-hoa itu seekor kuda sakti. Cici Peng penuju sekali kepada say-cu-hoa, pernah dia berkata padaku 'alam menciptakan makhluk semesta dan manusia adalah makhluk yang tertinggi, dapat menguasai seluruh makhluk lainnya’. Bagaimana pendapatmu tentang hal itu?"

Ceng Ih tak ketarik dengan pertanyaan si nona yang tak berujung pangkal itu, jawabnya: „Anggap saja kalau ucapannya itu benar! Tapi bagaimana dia dapat menguasai say-ca-hoa?"

Tan He sengaja hendak mengili hati si anak muda. Enak saja dia melanjutkan kata-katanya: „Aku setuju penuh dengan ucapan cici Peng itu. Kau tentu tak dapat membayangkan bagaimana cici Peng dapat menguasai kuda itu?” Ceng Ih makin kelabakan, serunya setengah meratap:

„Harap kau lekas menuturkan yang jelas, jangan main ulur waktu membuat orang setengah mati menunggu!"

„Bukankah aku ini juga sudah mulai menutur? Ah, kau memang tak sabaran! Cici Peng mengatakan cici Peng

mengatakan ..... dia berada di ai, disebuah tempat

berpisah dengan kau. Ah, mengapa ingatanku begini ”

„Tang-kwan, itu waktu Tang-kwan!" Ceng Ih menceletuk dengan tak sabaran.

„Oh, ya di Tang-kwan! Setelah berpisah dengan kau, dia segera mencongklang ke barat dan malamnya tiba di Hong- tong. Kau tahu tidak tempat itu, Hong-tong ialah ibu kota keresidenan Hong-tong-hian. Soh Sam pernah mengatakan bahwa didalam keresidenan Hong-tong-koan itu, tiada seorang yang baik "

Dipermainkan begitu oleh Tan He, Ceng Ih tampak meringis. Sebat sekali, dia hendak menyambar lengan si nona untuk dipijatnya lagi, tapi rupanya Tan He sudah siap sedia, jadi tak kena.

„Memang kera, itu beradat terburu-buru. Baiklah, sekarang hendak kuceritakan dengan ringkas. Di Hong-tong situ, cici Peng menginap disebuah hotel. Dia mengatakan, hatinya mendongkol sekali padamu. Dengan menyuruhnya singgah ke Swat-san, berarti kau menyiksanya ”

„Menyiksa? Sungguh seram kata-kata itu!" seru Ceng Ih.

„Dia mengatakan, kau menyiksa moril! Akhirnya setelah dipikir bolak balik, dia memutuskan akan ke Lam-hay menolong aku, begitu baru dia terlepas dari ganjelan hatinya, maka ” 

„Maka dia lantas menuju ke Lam-hay sini!" tukas Ceng Ih.

„Jangan terburu napsu! Dia teringat akan say-cu-hoa. Kuda sakti itu dapat diajak berunding ”

„Kuda dapat berunding, ai, seperti dongeng saja!" menyeletuk Ceng Ih.

„Kau seperti orang desa yang masuk kota, selalu ribut keheranan saja. Cici Peng segera menemui say-cu-hoa dan menanyai apa kuda itu dapat menuju ke Swat-san. Coba kau terka, bagaimana kuda itu menyawab?"

Ceng Ih mengatakan tak dapat menerka.

„Say-cu-hoa mengangguk-anggukkan kepalanya. Masih cici Peng belum puas dan menanyakan lagi namun kuda itu tetap mengangguk. Heran tidak kau?"

„Uh aneh! Lalu bagaimana?"

„Cici Peng girang sekali, cepat dia menulis sepucuk surat lalu menyuruh say-cu-hoa mengantarkan ke Swat-san. Kuda itu kembali mengangguk tiga kali. Untuk mendapat kepastian, cici Peng menanyai pula sekali. Kecuali mengangguk lagi tiga kali, kuda itu membuat lain pertandaan. Coba kau tebak!”

„Ai, minta ampun, aku tak dapat menebak!" seru Ceng Ih.

„Kuda itu mendengus pelahan, untuk itu cici Peng dapat menangkap artinya!"

„Apa artinya sih?" tanya Ceng Ih. „Kuda itu seakan-akan mengatakan pada cici Peng, bahwa cici Peng itu keliwat cerewet. Saking gelinya cici Peng sampai menekan perut " sampai disini Tan He coba menirukan

gaya Peng-ji terpingkal-pingkal. Ceng Ih turut geli juga.

Habis melucu, Tan He menyambung ceritanya lagi. Dia mengatakan kalau Peng-ji menyuruh say-cu-hoa malam itu juga berangkat. Dipesan harus hati-hati jangan sampai kena ditangkap orang.

Setelah kuda itu mengangguk dan mendengus, Peng-ji lalu membawanya kepintu kota Hong-tong sebelah barat. Begitu dilepas, kuda itu segera mencongklang dengan pesatnya ”

„Habis itu barulah cici Peng menyusulmu!" kata Tan He.

„Ho, makanya dia dapat menyusul dengan cepat," kata Ceng Ih.

„Cici Peng mengatakan pula, sewaktu di kota Peh-sat-tin kesamplokan dengan kau, lalu kau coba menguntitnya. Saking jengkel, cici Peng tancap gas dan tinggalkan kau jauh dibelakang. Kemarin sore setibanya di Hay-go sini, dia terus langsung ke Ngo-ci-san membebaskan aku. Orang-orang Lam- hay tak menyangka sama sekali, jadi dengan mudahnya dia dapat menolongku!"

Demikian Tan He mengakhiri penuturannya. Saat itupun sudah tengah malam. Ceng Ih menyatakan kekuatirannya mengapa Peng-ji belum nampak pulang.

„Ai, kau ini bagaimana? Tengah malam justeru saat yang paling baik untuk bergerak. Apa kau kira Ngo-ci-san itu dekat? Cici Peng mengatakan, kau tak perlu kuatir, lebih baik ngeloyor ke pelabuhan saja kalau-kalau rombongan Swat-san sudah datang!" 

Ceng Ih kewalahan, katanya: „Ya, ya, nanti sehabis beristirahat, aku segera menjenguk ke pelabuhan. Berhadapan dengan kalian berdua, yang satu memberi komando yang satu selalu cici Peng mengatakan, aku tak dapat berbuat apa-apa!"

Tan He merah kedua belah pipinya. Dengan tundukkan kepala, tangannya memain ujung baju.

„Mereka (rombongan Swat-san) datang atau tidak, itu bukan soal. Justeru karena menunggu kedatangan mereka, kita tak dapat lekas-lekas masuk ke Lam-hay. Tapi ah, mengapa mereka datang begitu cepat?" kata Ceng Ih.

Tan He tertawa menyahut: „Memang Swat-san lebih jauh dari perjalanan yang kau tempuh. Tapi say-cu-hoa menempuh perjalanan siang malam, sebaliknya kau hanya berjalan diwaktu malam saja. Kebalikannya, aku heran mengapa mereka terlambat datangnya?"

Kini baru Ceng Ih jelas. Dia menaruh harapan penuh, semoga say-cu-hoa dapat melakukan tugasnya hingga nanti Swat-san Lojin dapat menyelesaikan perhitungannya dengan kedua pemimpin pihak Lam-hay yakni Lam-hay Ji-lo. Oleh karena sudah larut malam, Tan He segera berbangkit minta diri.

„Hai, kau hendak kemana? Apa tidak menginap disini saja?" tanpa disadari Ceng Ih bertanya.

„Kau gila barangkali, nah aku pergi!” Tan He

mendamprat dengan kemalu-maluan seraya terus melangkah keluar.

Kini baru Ceng Ih tersadar. Kuatir Tan He salah paham, buru-buru dia mengikuti dan memberi penjelasan bahwa dia tak tahu kalau si nona sudah menyewa lain kamar. Melalui sebuah gang panjang, tibalah mereka disebuah kamar besar.

Disitulah Tan He dan Peng-ji menyewa. Karena masih gelap, Tan He hendak menyulut lampu, tapi tahu-tahu dipeluk oleh Ceng Ih. Rupanya pemuda itu masih belum puas rindu dendamnya.

„Ai, engkoh Ih, mengapa kau mencubit pipiku sampai begini sakit?" tiba-tiba Tan He melengking.

„Siapa mencubitmu, tanganku kan masih memeluk, masakan dapat mencubit?" Ceng Ih tertawa.

Tan He terkejut. Sekilas dia tersadar bahwa di dalam kamar situ, masih ada seseorang lain lagi. Hem, siapa lagi dia kalau bukan Peng-ji. Kurangajar, dia hendak membikin malu aku, biar kubalasnya.

Demikian Tan He membuat rencana. Karena pikirannya tertuju pada si orang ketiga, jadi dia mandah saja dirinya dirayu Ceng Ih.

„Engkoh Ih, si budak Peng sudah berada disini. Dia sembunyi ditempat gelap menonton kita. Ni, telah kutangkap tangannya yang jail, lekas kau tundukkan dia!"

Seperti babi buta, Ceng Ih menyerbu ke sudut sana.

Betapapun sosok tubuh yang bersembunyi disudut itu coba hendak meronta, namun tetap tak kuasa melepaskan diri dari pelukan Ceng Ih.

Tan He hendak membalas malu, Ceng Ih pun tertekad hendak mempersunting juga gadis dari Swat-san itu, maka tak usah diceritakan lagi apa yang terjadi ........ Tiba-tiba Tan He menyalakan lampu. Ia kaget demi dilihat nona yang dipeluk Ceng Ih itu bukan Peng-ji.

„Engkoh Ih, lepaskan lekas!" teriaknya.

Sudah tentu Ceng Ih menjadi gelagapan dan buru-buru lepaskan. Nona yang terisak napasnya itu, bukan lain ialah Wan-ji adanya. Kejut Tan He dan Ceng Ih bukan kepalang.

„Astaga, kau adik Wan? Ayahmu tentu sudah datang juga?" tegur Tan He.

„Memang ayah yang menyuruh aku kemari kalian telah

berserikat untuk menghina aku ... hu ... hu hu", Wan-ji

menangis sesenggukan.

Karena barang sudah terlanjur tanpa disengaja, maka Tan He menghiburi dan minta maaf.

„Ayah dan Swat-san Lojin sudah menunggu dari tadi, ayuh, kita lekas menemuinya!" akhirnya Wan-ji mengajak kedua pemuda itu.

Betapa terkejut Tan He dan Ceng Ih demi Wan-ji berjalan menuju ke kamar pertama kali Ceng Ih datang dan hendak menyulut korek tapi tertiup padam oleh siuran angin tadi.

Diam-diam Ceng Ih mengeluh karena merasa gerak geriknya tentu sudah diketahui oleh kedua cianpwe dari Swat-san itu.

"Ih-ji, mengapa berdiri termangu di luar pintu tak mau lekas masuk kedalam ,” seru sebuah nada yang tak asing

baginya yakni Thian-lam-ping-siu.

Menyusul terdengar sebuah tertawa keras dari Swat-san Lojin, serunya: "Lohu jauh-jauh datang ke Lam-hay, tidak tahunya buyung itu enak-enak bercumbuan, hem, menjengkelkan bukan? Ha, ha, ha!"

Dengan tundukkan kepala Ceng Ih dan Tan He melangkah masuk. Duduk di sebelah atas adalah Swat-san Lojin, tokoh yang selalu berpakaian warna putih. Sedang disebelah bawah adalah Thian-lam-ping-siu.

Serta merta Ceng Ih dan Tan He memberi hormat kepada kedua cianpwe itu. Kalau Swat-san Lojin hanya melekatkan matanya kearah Ceng Ih dan Tan He, adalah Thian-lam-ping- siu dapat mengetahui ketidak-wajaran sikap kedua pemuda itu.

„Ih-ji, mengapa kau diam saja? Tan He Kongcu sudah tertolong, seharusnya kau bergembira?" tegurnya.

Ceng Ih, Tan He dan Wan-ji tampak kemalu-maluan.

„Mana si Peng-ji, mengapa dia tak tampak kemari?" tanya Swat-san Lojin.

Tan He tersipu-sipu menjurah dan menuturkan bagaimana Peng-ji telah menolong dirinya itu. Ini waktu, Peng-ji kembali menyusup ke Ngo-ci-san untuk menyelidiki tempat beradanya mamanya.

„Ai, budak itu besar sekali nyalinya. Dia tak tahu bagaimana kelihayan Lam-hay Ji-lo. Kemungkinan dia tak memandang mata pada kedua Ji-lo itu!" ujar Swat-san Lojin.

Kemudian dia menegur pada Ceng Ih: „Buyung, sewaktu turun gunung, bagaimana lohu memesan padamu? Mengapa kini Peng-ji seorang diri masuk ke sarang harimau sedangkan kau enak-enak bercumbuan disini?" Sudah tentu Ceng Ih menjadi sibuk. Buru-buru dia menceritakan pengalamannya dengan Peng-ji, dari berpisah di Tang-kwan di hotel situ.

Swat-san Lojin mendengar dengan mengelus-elus jenggot.

Selesai Ceng Ih bercerita, baru tokoh itu kedengaran menghela napas panjang, ujarnya: „Budak itu memang suka membawa maunya sendiri. Dia berhasil menolong Tan He Kongcu itu, karena mungkin orang-orang Lam-hay sedang sibuk menghadapi tantangan Bo-ang Sancu. Ku yakin budak itu tentu tak mengetahui sampai dimana kesaktian kedua Ji-lo itu. Setelah belasan tahun, tentulah kedua Ji-lo itu makin sempurna kepandaiannya. Kalau Peng-ji berani mencabut kumis harimau, dia tentu bakal menderita sendiri!"

Mendengar itu, Thian-lam-ping-siu menyanggah: „Rasanya tak perlu Lojin begitu kuatir. Karena pihak Lam-hay sedang mencurahkan perhatian kepada rombongan Bo-ang, kemungkinan besar nona Peng akan berhasil menemukan mamanya!”

„Siapa berani memastikan kalau mamanya itu berada di Lam-hay? Ah, kedatangan kita ke Lam-hay ini rasanya tidak sia-sia. Empat belas tahun menyekap diri di gunung Swat-san yang terpencil dari dunia luar, rasanya kini sudah tiba saatnya untuk menyelesaikan urusan itu!" kata Swat-san Lojin.

Saat itu haripun hampir menjelang terang tanah.

Walaupun mulut menghibur, namun sebenarnya Thian-lam- ping-siu sendiri juga gelisah memikirkan kepergian Peng-ji itu. Diperhatikannya ketiga anak muda yang biasanya amat lincah itu, saat itu tak mau buka suara. „Ketiga anak itu menghina aku si orang tua buta. Tapi mereka tak nanti dapat mengelabuhi perasaanku. Mereka biasanya lincah, lebih-lebih Wan-ji yang selalu ringan mulut itu, kenapa kini membisu saja?" katanya kepada Swat-san Lojin.

Mata Thian-lam-ping-siu yang lebih banyak bagian putihnya itu, membelalak mengawasi ke arah Ceng Ih bertiga. Sudah tentu, ketiga anak muda itu berdebar-debar. Agar jangan sampai ketahuan Swat-san Lojin, buru-buru mereka tundukkan kepala.

Swat-san Lojin mulai curiga, serunya dengan tertawa:

„Wan-ji, kemarilah. Beritahukan ayah, kenapa kau tadi? Ayuh, bilanglah!"

Memang Wan-ji mempunyai alasan mengapa dia berdiam diri itu. Tapi bagaimana dia ada muka untuk menceritakan hal itu kepada orang? Dilihatnya Ceng Ih dan Tan He Kongcu memandang ke arahnya dengan pandangan minta belas kasihan.

Terpaksa dia menghias bibirnya dengan senyum tawa, serunya: „Dengan mempunyai dua orang ayah sakti, siapa yang berani menghina Wan-ji? Karena jengkel dengan hidangan malam tadi, aku merasa kurang senang!"

Wan-ji melirik kearah kedua kawannya. Ceng Ih dan Tan He berseri girang seperti terlepas dari tindihan batu besar. Keduanya amat berterima kasih kepada Wan-ji.

Ceng Ih menghampiri ke dekat supehnya dan menceritakan perihal Tan He Kongcu yang enggan pulang kembali ke Siao- ngo-tay-san. „Urusan kalian orang muda, kami orang tua tak kuasa campur tangan. Kalau memang tak mau pulang, menurut kepantasan juga harus bilang pada yang jadi ayah,” kata Thian-lam-ping-siu.

„Kukuatir ayah akan memaksa aku ”

„Orang muda memang suka berbelit-belit. Begitu urusan Lam-hay selesai, biar nanti aku yang membilangkan, setuju tidak?" tukas Swat-san Lojin dengan tertawa lepas.

Tan He tak mengira kalau tokoh semacam Swat-san Lojin itu ternyata begitu baik budi. Serta merta dia haturkan terima kasih.

„Terima kasih, yah!”, serunya menirukan panggilan yang digunakan Wan-ji tadi.

Mendengar itu, Swat-san Lojin makin keras terbahak- bahak, serunya: „Ai, masakan aku mempunyai rejeki begitu besar, sehingga kalian sama memanggil aku ayah. Tak kunyana Bo-ang Sancu mempunyai seorang puteri yang cantik laksana bunga. Ceng Ih buyung itu, sungguh besar rejekinya!"

„Tan He Kongcu telah banyak memberi bantuan pada Panji Keramat. Turut pendapatku, lebih baik untuk sementara ini Kongcu jangan keluar dari hotel ini dulu. Menyertai gerakan Bo-ang Sancu, nanti kami akan ajak Lam-hay Ji-lo bertempur. Bagaimana pendapat Lojin?" kata Thian-lam-ping-siu.

Swat-san Lojin mengangguk setuju, ujarnya: „Walaupun kekuatan Bo-ang Sancu belum memadai, tapi rasanya cukup untuk menghadapi keempat Toa-thian-ong dari pihak Lam- hay. Untuk kedua Ji-lo, rasanya kita bertiga takkan kewalahan!" Sampai saat itu Peng-ji tetap belum pulang.

Kata Swat-san Lojin: „Rupanya Peng-ji tentu tertimpa bahaya. Ayuh, kita sama beristirahat dulu sebentar. Jika sampai jam tiga nanti dia belum datang, kita beramai-ramai menuju ke Lam-hay!"

Thian-lam-ping-siu perintahkan supaya Wan-ji mengawani Tan He Kongcu tinggal dihotel, tak usah ikut ke Ngo-ci-san.

„Kalau kau tak dengar kata, akupun tak mau mengurusmu lagi!” dia peringati puterinya.

Sebenarnya Wan-ji sudah membayangkan bakal menyaksikan pertempuran besar di Ngo-ci-san. Demi mendengar perintah ayahnya itu, dia menjadi meringis.

Setelah kedua cianpwe itu duduk bersemadhi, Ceng Ih segera memberi isyarat kepada kedua nona untuk diajak keluar.

Waktu berjalan keluar, Tan He Kongcu mencubit lagi pipi Wan-ji. Wan-ji cepat menghindar, serunya dengan sengit:

„Masih mau main cubit lagi? Kalau aku tak hendak melakukan pembalasan cubitanmu di Leng-san tempo hari, tak nanti aku jatuh kedalam perangkapmu. Ah, bagaimana nanti ”

Tan He tertawa saja, katanya: „Apanya yang bagaimana itu, tolol? Begitu cici Peng pulang, segera kubilangkan, kita bertiga rela menikah dengan ”

Belum selesai mengucap, Wan-ji sudah mencubit pipi Tan He, tegurnya: „Jangan ngelantur, huh, tak malu ”

Sekali loncat, Wan-ji sudah lantas menerobos masuk ke dalam kamarnya. Melihat sikap si nona yang masih merasa malu itu, Ceng Ih meminta bantuan kepada Tan He. Pertama untuk menghibur Wan-ji dan kedua untuk menjelaskan duduk perkaranya pada Peng-ji nanti.

Sahut Tan He: „Tentu kubantu, tapi berhasil tidaknya, tergantung pada peruntunganmu. Tapi dihadapan kedua cianpwe nanti, bagaimana aku dapat membuka mulut?"

Ceng Ih seperti diguyur air dingin. Apa yang dikatakan Tan He itu memang benar. Swat-san Lojin, si orang tua itu angkuhnya bukan kepalang ........

Tan He menyuruh Ceng Ih lekas-lekas beristirahat untuk memulang tenaga karena ditilik gelagatnya, Peng-ji tentu mengalami bencana di Lam-hay. Sesaat keadaan menjadi sunyi, masing-masing mengasoh dikamarnya.

> ∞ <

Gunung Ngo-ci-san terletak ditengah-tengah pulau Lam- hay-to (Hai-nan). Disebut ngo-ci-san atau gunung lima jari, karena gunting itu mempunyai lima buah puncak yang menjulang sampai ribuan meter tingginya.

Turut ceritanya, digunung situlah Ji-lay-hud menjepit Sun Go-kong alias si Raja Monyet dalam cerita Se Yu. Itulah sebabnya maka dinamakan gunung Ngo-ci-san.

Empat belas tahun yang lalu, Swat-san Lojin bersama Peng-ji pernah datang ke Lam-hay, jadi cukup paham akan keadaan gunung itu.

Pagi sekali Swat-san Lojin, Thian-lam-ping-siu bersama Ceng Ih segera berangkat dan kira-kira tiga-empat jam, mereka sudah tiba di Ngo-ci-san. Langsung Swat-san Lojin menuju ke sebuah perkampungan. 

Baru melintasi sebuah anak sungai, mereka segera mendengar suara hiruk pikuk. Sembari masih berjalan, Swat- san Lojin berkata: „Rupanya Bo-ang Sancu sudah bertempur. Kita menyusup ke dalam hutan dulu untuk melihat perkembangannya!"

Thian-lam-ping-siu mengangguk dan Swat-san Lojin segera mempelopori menyusup kedalam hutan yang terletak dipinggir sebuah lapangan. Lapangan itu berada disebuah pos yang terletak ditempat tinggi.

Perlu diterangkan, bahwa markas besar partai Lam-hay-pay itu, terletak disebuah karang rendah dari puncak gunung bagian tengah dari Ngo-ci-san.

Perkampungan-perkampungan yang merupakan pos-pos, bersusun-susun setingkat demi setingkat keatas. Dihias dengan kebun-kebun bunga, markas besar itu tampaknya indah sekali.

Di depan pintu gerbang markas, terdapat sebuah lapangan seluas sepuluhan bahu. Lapangan itu dikeraskan dengan semacam batu marmer berkembang keluaran istimewa dari pulau tersebut.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar