Panji Sakti Bab 24 : Penganut Agama Ko-tong-kau

24. Penganut Agama Ko-tong-kau

Usia Hoa-hoa Kongcu itu hampir sebaya dengannya, tapi segala gerak geriknya telah diperhitungkan dengan tepat oleh orang muda itu. Kalau tiada si orang gaib Tian-to-kian-gun, tentu pada saat ini dia akan sudah tak bernyawa lagi. Karena bukankah menurut pesan supehnya, Panji masih, orangnya hidup, Panji hilang, orangnyapun binasa! Menilai kepandaian Hoa-hoa Kongcu, diam-diam Ceng Ih merasa kagum. Semuda itu usianya, namun pemuda itu sudah dapat memiliki ilmu kepandaian yang sakti. Ketika sam-ciau- sin-kun pelindung Panji Sakti yang diagungkan tiada lawannya didunia persilatan itu, ternyata dapat dilumpuhkan oleh Hoa- hoa Kongcu tadi. Heran, ilmu apakah yang dimiliki pemuda itu?

Turut katanya tadi, pemuda itu hendak pulang ke gunung Bu-san. Partai atau cabang persilatan atau agama apa saja yang bermarkas digunung itu? Mungkinkah mereka akan datang mencari balas lagi? Kalau ketiga sam-ciau tak mampu mengalahkan mereka, habis apa yang dia (Ceng Ih) hendak andalkan lagi!

Hari depan dari Panji Sakti, benar-benar ditebing bahaya!

Memikir sampai disini, tiba-tiba dia teringat akan tokoh aneh Tian-to-kian-gun. Karena dia yang mengajari bagaimana untuk menjatuhkan Hoa-hoa Kongcu, tentulah tokoh itu tahu jelas akan asal usul si Hoa-hoa Kongcu itu. Kalau berhasil menemuinya, segala tentu beres.

Tapi ah, kemana gerangan dia hendak mencarinya? Hai, bukantah tokoh itu tadi mengatakan ‘kita berjodoh, kita bertemu lagi diperjalanan'? Dimana dan berapa jauhnyakah tempat itu?

Tapi yang dimaksud perjalanan tentunya perjalanan disebelah muka, jadi terang bukan disini. Kalau dia terus menerus menjublek disitu, masakan dia dapat berjumpa dengan tokoh itu!

Setelah sejenak menatap ke arah kuburan yang meninggalkan kesan tak terlupakan itu, Ceng Ih segera ayunkan langkah lari menuju ke arah selatan. Kecuali si Tian- to-kian-gun, pun disebelah muka masih ada Bo-ang Sancu, kedua Sian-ong, keempat Cuncia dan ketujuh Cincu .......

Untuk melaksanakan rencananya, dia harus, mendahului mereka tiba di Lam-hay. Dalam malam nan gelap pekat sampai tak dapat melihat jari-jarinya sendiri, Ceng Ih tancap gas penuh.

Tiba dikota Li-ciu, haripun sudah terang tanah. Dimulai dengan sinar fajar yang gilang gemilang, orang bakal menikmati sebuah hari yang cerah terang. Menurut perhitungan semalam dia hanya berlari sampai dua ratusan li.

Kalau setiap malam diganggu dengan pencegat-pencegat macam Hoa-hoa kongcu, mungkin dua bulan baru dia dapat tiba di Lam-hay. Dengan begitu, terang dia bakal kalah dulu dengan Peng-ji.

Kerjaan pertama yang dilakukan, ialah mencari sebuah hotel untuk beristirahat. Begitulah setelah makan, dia lantas buang dirinya diatas ranjang. Teringat akan peristiwa semalam, dia tak berani lengah.

Daun pintu dan jendela ditutupnya rapat-rapat, pikirnya:

„Kalau tidurpun tak boleh terulang seperti kemaren malam. Masakan si Tian-to-kian-gun mencak-mencak didalam kamar, aku sama sekali tak merasa. Kalau sampai diketahui orang, aku sebagai pewaris Panji Sakti, pasti akan dicemoohkan!"

Tapi sekilas dia merenung lagi, alangkah bagusnya kalau saat itu dia dapat berjumpa dengan tokoh Tian-to-kian-gun dan pasang omong dengannya. Walaupun dia berlaku hati-hati sekali, namun karena semalam suntuk tak tidur, dalam beberapa jenak kemudian dia sudah jatuh pulas. Lewat beberapa waktu, tiba-tiba dia dikejutkan dari mimpinya. „Plak,” demikian terdengar sebuah suara dari kamar disebelahnya. Terang itulah sebuah tamparan keras ke arah muka seseorang. Dan pada lain saat, terdengarlah suara ratapan tangis.

Dari nadanya mengunjuk bahwa yang menangis itu seorang wanita setengah umur! Dipersen tamparan sekeras itu, si wanita tak berani menangis keras, terang disitu tentu terselip sesuatu ..........

Secepat bangun, Ceng Ih segera membuka jendela.

Serangkum hawa udara segar, menyejukkan perasaannya. Oleh karena saat itu masih siang, jadi dia terpaksa menanti lagi beberapa jam, baru melanjutkan perjalanan. Suara tangis si wanita tadi masih terdengar, diseling dengan suara bentakan dari seorang lelaki kasar.

„Kau tahu tidak tempat apa ini? Masakan kau berani berbuat sesukamu, hem, sungguh berani mati kau!" hardik lelaki itu dengan gusarnya.

Mendengar itu, heran Ceng Ih dibuatnya. Tempat apakah daerah ini? Bukankah ini sebuah kota kabupaten dalam wilayah Holam? Apakah disini tiada undang-undang negeri hingga orang berhak mengekang kebebasan orang lain?

Timbul keinginan Ceng Ih untuk menyelidiki lebih jauh.

Dalam suara tangisan itu, kembali si lelaki kasar melolong:

„Hem, apa katamu tadi? Undang-undang raja? Dengarlah yang terang, disini tiada undang-undang raja lagi, mengerti!"

Kembali Ceng Ih terkesiap. Nyata benar dugaannya tadi, didaerah Li-ciu situ memang tiada berlaku undang negeri lagi. Habis kekuasaan apa yang mengatur kehidupan kota itu? Belum lagi dia menemukan jawaban, atau disana si wanita berhenti menangis dan berkata: „Tuan, aku dilahirkan dikota Li-ciu sini sudah tentu aku paham akan keadaan disini. Hu- ciangkau (wakil pemimpin) telah penuju pada anakku perempuan. Orang-orang sama bilang, rejekiku besar, tapi usia hu-ciangkau itu dua kali lipat dari gadisku, pula tak memakai comblang (orang perantara) untuk meminang secara resmi. Dalam keadaan begitu, mana aku masih mempunyai muka bertemu dengan orang lagi?

„Ho, karena itulah makanya kau lantas berani membangkang, ya?" damprat lelaki itu. „Kau tahu tidak, apa pesan hu-ciangkau padaku?"

Dengan nada mau menangis, wanita itu menyahut tidak tahu. Si lelaki itu makin galak.

„Hu-ciangkau memesan, suruh aku mengurusimu. Kalau kau keras kepala, boleh lantas dikubur hidup-hidup saja!

Adalah karena kasihan, maka hanya kuberi persen sedikit kepahitan padamu. Baik kau tahankan sakit untuk mengantar jiwamu yang sudah loyo itu pulang keasalnya!" gembornya.

Bagaimana gusar Ceng Ih, dapat dibayangkan.

„Dibawah langit yang terang benderang, masakan ada macam hu-ciangkau hutan, berani merampas anak gadis orang dan akan membunuh orang tuanya. Masakan aku dapat membiarkan perbuatan biadab begitu?" kata Ceng Ih seorang diri.

Tapi pada lain kilas, dia teringat akan urusannya sendiri yang amat penting itu. Kalau mengurusi mereka, tentu akan menelantarkan urusannya sendiri. Bo-ang Sancu sudah berangkat dan masih ada lagi si tokoh Tian-to-kian-gun yang sudah berjanji akan menunggu diperjalanan. 

Tengah dia maju mundur belum dapat mengambil putusan, wanita yang menangis itu kembali bersuara: „Hem, kiranya Kong-tong-pay begini biadabnya, bagaimana aku dapat menahan luapan hatiku?"

„Dibawah payon orang, bagaimana orang berani mengangkat kepala. Kalau memakai Kong-tong-pay, harus pelahan saja. Kepala sudah akan copot, masih tak sadar. Terhitung nasibmu baik juga, karena bertemu dengan aku. Coba lain orang, he, he, mungkin jiwamu sudah amblas tadi- tadi"

Mendengar nama partai Kong-tong itu, Ceng Ih seperti dipukul martil rasanya. Inilah yang dibilang, dicari kemana- mana tak dapat, kiranya datang sendiri. Diam-diam dia bersyukur kepada Hoa-hoa kong-cu. Kalau tokoh itu tak menghadangnya, tentu dia takkan kesamplokan dengan anak buah Kong-tong.

Perbuatan anak buahnya itu sudah cukup membuktikan bagaimana ganas sepak terjang partai Kong-tong-pay itu. Peh- i-siu-su, hu-ciangkau dari Kong-tong-pay itu nyata seorang yang gemar akan paras cantik. Tapi apakah benar begitu?

Mama dari Peng-ji, bukankah bekas tunangan dari Peh-i- siu-su? Sudah empat belas tahun lamanya, Coa Leng tinggalkan Swat-san Lojin, kalau tak kembali pada tunangannya pertama itu, kemanakah gerangan perginya ibu Peng-ji itu? Tapi setelah mendapat Coa Leng, mengapa Peh-i- siu-su masih begitu ugal-ugalan?

Memikirkan hal ini, pikiran Ceng Ih tertumbuk akan keraguan, campur tangan atau tidak? Membantu seorang wanita lemah, adalah sesuatu perbuatan mulia. Mengingat itu, terbangunlah semangat Ceng Ih. 

Tapi dia seorang diri, bagaimana dapat menerjang kedalam sarang harimau? Bahwa seorang tokoh lihay macam Lam-hay Ji-lo dapat digertak oleh Kong-tong, terbukti sampai dimana pengaruh partai itu.

Kalau dia sampai terlibat kedalam sarang mereka, siapakah yang akan mengetahuinya? Apalagi dia hendak buru-buru menuju ke Lam-hay untuk menolong Tan He Kongcu.

Memikir sampai disini, pikirannya cenderung untuk lepas tangan saja. Namun, bagaimana nuraninya dapat mengantapkan perbuatan biadab begitu? Apakah dunia ini sudah tiada perikeadilan lagi?

Ketika dahulu Hoa-he Hi-hu menciptakan Panji Sakti, azas tujuan beliau adalah hendak menegakkan keadilan, membasmi kelaliman. Akhirnya setelah memikir bolak balik, Ceng Ih mengambil sebuah keputusan.

Membasmi kejahatan untuk kepentingan rakyat adalah suatu tugas yang tak boleh dielakkan. Biar bagaimana dia harus campur tangan. Tapi tindakan itu, akan dipertangguhkan sampai sesudahnya dia menyelesaikan urusannya di Lam-hay.

Pertimbangan ini didasarkan, pertama, Swat-san Lojin dengan Peh-i-siu-su mungkin masih terlibat dalam penyelesaian dendam, kedua, untuk menghindari diri dari terlibat dalam sarang harimau, ketiga, bagaimana keadaan partai Kong-tong yang sebenarnya, dia masih belum jelas dan perlu menyelidikinya lagi, agar jangan salah urus. Kini yang perlu dikerjakan, ialah harus lekas-lekas mengejar perjalanan rombongan Bo-ang dan tokoh Tian-to-kian-gun. Pengalaman adalah guru yang terbaik. Demikian dengan Ceng Ih. Dia yang biasanya beradat tinggi, tapi setelah terbentur pengalaman dengan Hoa-hoa Kongcu, kini dapat memecahkan setiap soal dengan kepala dingin.

Berbareng dengan itu, wanita yang berada di sebelah kamarnya itupun berhenti bicara. Dengan masih sesenggukan, kini ia berjalan keluar melalui kamar Ceng Ih.

Ketika melihat Ceng Ih tegak termangu-mangu dipintu, lelaki itu sejenak mengerling mata ke arahnya, lalu berpaling ke arah si wanita lagi, katanya: „Apakah sekarang kau sudah menurut dan pulang ke Sip-li-poh lagi?"

Dengan wajah duka dan suara rawan, wanita itu menyahut:

„Apa dayaku kalau tak pulang? Terima kasih atas kebaikanmu. Kelak kuharap kau sering berkunjung ketempatku minum- minum teh dan memberi kabar tentang keadaan Siao-kui. Aku dan ayah Siao-kui tentu akan berterima kasih sekali padamu!"

Habis berkata, wanita itu sudah lantas mau mewek lagi, tapi karena si lelaki buru-buru memberi isyarat mata, maka karena ketakutan terpaksa wanita itu menelan isaknya.

„Nyonya Thio, aku tak dapat mengantarmu lebih jauh, sampai ketemu lagi!" kata si lelaki ketika berada diluar hotel. Dengan menghaturkan terima kasih wanita itu minta diri.

Tergerak akan kata-kata Sip-li-poh tadi, Ceng Ih suruh jongos menghitung rekeningnya, lalu buru-buru tinggalkan hotel itu menuju keselatan. Dengan mencampurkan diri dalam kesibukan orang-orang yang berjual beli memenuhi jalanan, diam-diam dia mengikuti wanita tadi. Nyata wanita itu menuju kepintu kota sebelah selatan. Disepanjang jalan itu ternyata terdapat banyak orang-orang lelaki yang berpakaian serupa dengan lelaki kasar yang berada dihotel tadi. Warna pakaiannya hijau, memakai ikat pinggang dan kain kepala warna merah. Dalam pakaian seaneh itu, mereka tampak lucu. Tentulah mereka itu orang-orang Kong- tong-pay. Menilik sikapnya yang tengik, nyata mereka itu bukan bangsa baik-baik.

Sekeluarnya dari pintu kota, ketika berada ditempat yang agak sepi orang, Ceng Ih segera cepatkan langkah menjajari wanita itu. Untuk tak membuatnya kaget, Ceng Ih memperkenalkan diri dengan ramah. „Nyonya Thio, kutahu kau hendak menuju ke Sip-li-poh. Kebetulan akupun hendak melewati tempat itu. bolehkan aku mengawanimu?"

Walaupun sikap anak muda itu cukup ramah, namun tak urung wanita itu curiga juga. Tapi demi mengawasi pemuda itu seorang yang berwajah ramah dan sama sekali tak mirip dengan orang Kong-tong atau pemuda bangor, kecurigaannya berkurang.

„Siang ...... kong, kau adalah ?” tanyanya terbata-

bata.

Ceng Ih yang sudah mengetahui kandungan hati orang, cepat menghiburnya: „Harap nyonya jangan kuatir, aku bukan orang Kong-tong-pay, hanya kebetulan melalui Holam sini.

Secara kebetulan aku telah mendengar percakapanmu dihotel tadi. Aku turut perihatin atas penderitaanmu. Harap jangan curiga padaku!"

„Oh " wanita itu menghela napas longgar.

„Aku tak mengira bahwa orang-orang Kong-tong sedemikian jahatnya, merampas puterimu dan mengancammu!" kata Ceng Ih pula. 

Wanita itu kembali menghela napas, baru menyahut:

„Setelah anakku Siao-kui diculik, sebenarnya aku hendak mengadu jiwa pada mereka. Syukur orang tadi telah menyeret aku pulang dan menasehati macam-macam padaku. Ini sungguh ”

„Turut pembicaraanmu tadi, yang menculik gadismu itu ialah hu-ciangkau dari Kong-tong. Tapi entah untuk apa saja dia melakukan itu?" tukas Ceng Ih.

Lagi-lagi wanita itu menghela napas, ujarnya: „Lahirnya saja mereka mengatakan hendak menjadikan Siao-kui isteri hu-ciangkau, tapi bagaimana kenyataannya, entahlah.

Didaerah sini, setiap setengah tahun sekali, tentu terjadi perampasan anak gadis. Tapi boleh dikata, hampir korban- korban yang diculik itu, tiada satu yang pulang kerumahnya lagi. Kuyakin kali ini, Siao-kuipun tentu mengalami nasib yang sama!"

Ceng Ih terkesiap mendengar hal itu. Masakan setiap setengah tahun sekali, mencari korban baru. Benar-benar iblis laknat Peh-i-siu-su itu.

„Masakan pembesar daerah tak mengetahui hal itu?" tanyanya.

„Ai, mereka itu. Bukan saja butakan mata tulikan kuping, bahkan setiap kali Kong-tong-kau mengadakan upacara sembahyangan bendera, mereka mengirim wakil untuk menghadiri dan bahkan memerintahkan penduduk datang menyaksikan juga. Entah undang-undang macam apa itu?"

„Menyembahyangi bendera? Bendera apa itu?" tanya Ceng

Ih. „Sudah tentu bendera partai agama mereka!"

„Setiap berapa waktu diadakan upacara itu?"

„Setengah tahun!"

Ceng Ih menanyakan pula apakah boleh menyaksikan upacara itu.

„Hanya orang-orang yang berkedudukan dan terkemuka, diberi undangan. Tanpa surat undangan, mungkin tak boleh datang!"

Upacara yang akan datang ini bilamana akan diadakan?"

Wanita itu menerangkan bahwa tentang tanggalnya yang persis, orang tak dapat mengetahui. Kira-kira saja sebelum tahun baru. Dan pada waktu itu, rakyat diwajibkan potong babi, kambing dan ayam untuk menjamu anak buah Kong- tong-pay itu.

„Apakah diharuskan memberi sedekah itu?" tanya Ceng Ih.

Wanita itu menghela napas pula, lalu menyahut dengan tertawa getir: „Kau adalah seorang tamu dari jauh, jadi tentu tak mengetahui akan pengaruh Kong-tong-pay itu. Kalau pembesar negeri saja tak berani cari urusan dengan mereka, masakan rakyat biasa mau cari sakit ai, tadi aku lupa

mengatakan, yang paling kita takuti ialah kalau mereka menggunakan ilmu gaib ”

„Ilmu gaib? Mereka dapat menggunakan ilmu gaib apa?" tanya Ceng Ih dengan terkejut.

Wanita itu menerangkan bahwa orang Kong-tong-pay itu dapat menggunakan ilmu gaib memanggil angin, mendatangkan hujan, menebarkan biji kedele yang dapat berobah menjadi serdadu dan lain-lain.

„Oooo, masakan begitu sakti? Siapa saja kiranya yang pernah menyaksikan?" Ceng Ih yang tak habis herannya, mendesak tanya.

„Aku sih belum melihatnya, tapi memang benar-benar ada orang yang pernah menyaksikannya sendiri. Kita percaya hal itu tentu sungguh ”

„Amboi! Mengapa yang sering dipercakapkan itu hanya hu- ciangkaunya saja? Siapakah ciangkaunya dan apakah sudah ada orang yang pernah melihatnya?"

„Sudah, sudah," seru si wanita, „kata orang yang pernah melihatnya, ciangkau itu hanya menampakkan diri diwaktu upacara sembahyangan bendera itu saja. Dia memiliki ilmu gaib yang hebat sekali ”

Berhadapan dengan seorang wanita dusun yang masih percaya akan ketakhayulan, Ceng Ih merasa sukar untuk mengemukakan logikanya (nalarnya). Sembari mendengarkan ocehan wanita itu, diam-diam dia berpikir: „Bagaimanakah organisasi yang sebenarnya dari Kong-tong-pay itu, aku belum mengetahui jelas. Biarlah kelak kuselidikinya!"

Setelah orang bercerita habis, barulah Ceng Ih menanyakan lagi, apakah selama itu pernah terdapat orang yang berani melawan pada Kong-tong-kau itu.

„Yang kumaksudkan, ialah apakah ada orang-orang persilatan yang pernah menempur mereka?" Ceng Ih menjelaskan.

„Mengapa tidak?” sahut si wanita. 

„Wah, kalau begitu tentu terjadi pertempuran yang gempar!” kata Ceng Ih.

„Bukankah tadi telah kukatakan bahwa ilmu gaib dari ciangkau mereka itu teramat Saktinya," sahut si wanita.

„Jadi nyonya hendak mengatakan bahwa setiap orang yang berani menentang mereka itu akan dikalahkan. Bukan?” tanya Ceng Ih.

Begitulah si wanita she Sun itu, dengan adanya percakapan dijalan itu rupanya agak melupakan kedudukannya. Sejenak lupa sudah akan persoalan anak gadisnya yang diculik orang Kong-tong.

Sembari berjalan, dia menyahut: „Karena ciangkau sangat sakti, mana musuh-musuhnya itu dapat menang? Setelah kalah, merekapun tak mudah angkat kaki. Konon kabarnya setelah dibunuh, musuh-musuhnya itu lalu dibalsem dijadikan semacam mummy (mayat hidup). Setiap tahun dalam upacara semhahyangan, mayat-mayat hidup itu disuruh menari tarian tengkorak untuk attraksi (hiburan) tamu-tamu yang hadir."

Sebenarnya Ceng Ih sudah tak kuat menahan gelinya, namun dia kuatir hal itu membuat si wanita kurang senang nanti. Buru-buru dia simpangkan gelinya dengan mengajukan sebuah pertanyaan lagi: „Nyonya, siapakah nama dari kepala Kong-tong-kau itu?"

„Uh, kudengar dia bernama ..... namanya ai. Lian Hoa

kaucu!"

„Lian Hoa kaucu?" menegas Ceng Ih. Wanita itu mengiakan. Pada saat itu Sip-li-poh sudah kelihatan di sebelah muka. Diam-diam Ceng Ih membatin bahwa wanita dusun dan rakyat disitu, sudah kena ditipu dengan propaganda kosong oleh orang-orang Kong-tong-pay yang mengatakan sang kaucu dapat menggunakan ilmu gaib, memanggil hujan mendatangkan angin, dan segala macam dongengan nonsense.

Nyatanya kini mereka sudah keracunan dengan tipu muslihat itu.

Merenung sejenak, Ceng Ih mendapat pikiran untuk melancarkan anti propaganda. Setelah sengaja batuk-batuk sebentar, dengan wajah bersungguh, berkatalah dia: „Nyonya, aku hendak mengatakan beberapa patah perkataan, entah kau percaya tidak?"

„Apa saja, ya?"

„Begini, bukankah puterimu si Siao-kui telah diculik orang Kong-tong-kau? Aku sanggup mencari daya untuk merebutnya kembali!

Mendengar nama Siao-kui, wanita itu teringat pula akan sang gadis. Dengan berlinang-linang dia berkata: „Siangkong, segala apa itu sudah suratan nasib. Terhadap nasib Siao-kui, kami kedua orang tuanya dapat berbuat apa ”

Walaupu Ceng Ih bohwat (tobat) dengan wanita yang sukar diberi penjelasan itu, namun dia tak putus asa, ujarnya:

„Apakah kalian benar rela Siao-kui diculik itu?"

„Hai, siangkong ini! Bukankah tadi telah kukatakan. Kami hanya dapat menerima nasib. Habis kalau tidak begitu, mau apa lagi?" „Aku sanggup membantumu untuk menolong Siao-kui!" tiba-tiba-tiba Ceng Ih unjuk kegarangan.

Hanya sejenak alis wanita itu tampak menjungkat, kemudian pada lain saat, dia melengking kecewa: „Kau ......

kau hendak menolong Siao-kui? Jadi kau akan menyerbu Kong-tong-kau?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar