Panji Sakti Bab 23 : Air Tuba Dibalas Air Susu

23. Air Tuba Dibalas Air Susu

Ada sebuah pepatah Tionghoa mengatakan „lay cia put san, san cia put lay" artinya: yang datang tentu tidak baik, yang baik tentu tidak datang. Pepatah itu bermakna, biasanya apa yang kita harapkan itu tidak datang, sebaliknya yang tidak diharap, malah datang. Pepatah itu ada hubungannya dengan Ceng Ih yang telah dipegat oleh seorang tak dikenal macam Hoa-hoa Kongcu. Dari propinsi Shanse, ke propinsi Holam, Hoa-hoa Kongcu itu terus menerus menguntit perjalanan Ceng Ih. Siapa Ceng Ih dan bagaimana kepandaian anak muda itu, dia cukup mengetahui jelas. Kalau tidak masakan dia begitu bernyali besar mandah menerima tiga buah pukulan Ceng Ih!

Dan memang semua telah berjalan menurut yang diperhitungkannya. Dari tiga buah pukulan, yang dua buah yakni pukulan dan tinju, telah dapat diterimanya dengan lulus. Kini masih tinggal satu saja, yakni it-ci-ting-kian-gun atau sebuah jari menyusun dunia. Asal yang ini selesai, Panji Sakti pasti akan jatuh ketangannya.

Dengan berhias senyum mengejek dan wajah berserikan keyakinan menang, dia menantikan pukulan yang ketiga itu. Namun ditunggu sampai sekian saat, tetap pukulan itu tak kunjung tiba. Kini giliran dia yang menjadi sibuk seperti semut diatas kuali panas. Untuk membuat propokasi, sengaja dia keluarkan kata-kata yang mengili agar Ceng Ih menjadi marah dan lekas-lekas melancarkan pukulannya. Lebih lekas selesai, lebih baik.

Memang Hoa-hoa Kongcu itu seorang yang dapat memperhitungkan lawan dengan tepat. Setitikpun dia tak mengira, bahwa disana masih ada si „invsible man" (orang yang tak kelihatan), ialah tokoh yang menamakan dirinya sebagai si Tian-to-kian-gun itu.

Ada sebuah tamsil dongeng yang mengatakan begini

„belalang menangkap tenggoret, tak tahu kalau dibelakangnya masih ada si burung pipit". Artinya: seorang yang hendak menghancurkan lawan, tanpa setahunya diapun diincar oleh seorang lain yang hendak menghancurkannya. Adalah si burung pipit „tian-to-kian-gun" itulah yang bakal menghancurkan rencana si belalang „Hoa-hoa Kongcu" yang tengah menerkam si tenggoret Ceng Ih itu. 

Sesaat mendengar Ceng Ih berseru hendak melancarkan pukulannya, dengan penuh keyakinan Hoa-hoa Kongcu bersiap seperti tadi, sepasang tangan disilangkan pada pusar. Begitu pukulan lawan tiba, asal dia gerak-gerakan kedua jempol tangannya ke atas, it-ci-ting-kian-gun pasti akan mengalami nasib serupa dengan kay-cu-na-si-mi dan beng- kun-han-san-ho!

Sungguh diluar dugaannya, bahwa gerakan Ceng Ih bukannya membalik lengan untuk membuat guratan setengah lingkar, tetapi mengangkat tinggi-tinggi lengan kanannya.

Dalam kejutnya, diam-diam Hoa-hoa Kongcu membatin:

„Hem, gila barangkali bocah itu. Gerakan „ting" yang dahsyat tiada taranya itu, dia tak mau menggunakan, sebaliknya malah memakai gerak pukulan "na” lagi. Tadi kay-cu-na-si-mi telah kusirnakan dayanya, masakan dia setolol itu!"

Benar juga, saat itu segera Hoa-hoa Kongcu rasakan ada serangkum angin kuat bergulung-gulung menyerang padanya. Tanpa banyak pikir lagi, segera dia goyang-goyangkan kedua jampol tangannya kekanan kiri. Tapi apa yang terjadi?

Karena gerak kay-cu-na-si-mi itu tidak bergaya menghantam kemuka, biar sampai lelah dia (Hoa-hoa Kongcu) goyang-goyangkan jempol tangannya, tetap sambaran angin itu tak mau terbelah menjadi dua. Malah kebalikannya, dia rasakan tubuhnya tersedot oleh angin kuat itu. Ya, begitu kuat tenaga sedotan itu, hingga tubuhnya terhuyung hendak menjorok kemuka ........

Namun tak kecewa kiranya kalau dia menganggap dirinya itu sudah cukup paham isi kulitnya ketiga sam-ciau pelindung Panji Sakti. Sekilas pikirannya bekerja: „Ho, kiranya kau hendak mengganti gerakan kay-cu-na-si-mi dari mendorong menjadi menarik, agar supaya aku bingung dan mudah kau atasi. Sungguh seperti laku seorang gila yang menceritakan impiannya. Jangan mimpi, bung!"

Secepat berpikir itu, secepat dia hentikan gerakan goyang jempol tangannya. Tiba-tiba kedua jempol jarinya itu dirapatkan satu sama lain, terus digoyang-goyangkan kemuka dan kebelakang. Berbareng itu, dia gunakan gerak cian-kin-tui atau tindihan seribu kati, untuk menahan tubuhnya yang hendak menjorok kemuka itu.

Tadi karena tak menduga sama sekali, tubuhnya kena disedot kemuka sampai setengah langkah. Untung dia cepat- cepat bertindak, kalau tidak wah, apabila sampai tersedot turun dari atas kuburan, bukankah dia akan mengalami kegagalan total? Memikir sampai disini, diam-diam dia bersorak girang dalam hati.

Adalah pada saat dia kegirangan itu, mendadak lawan mengadakan gerakan mendorong kemuka. Bahkan tenaga yang digunakan Ceng Ih kali ini, jauh lebih hebat dari gerakannya menyedot tadi. Angin dorongan itu, menerbitkan tenaga dahsyat yang mengancam ke arah Hoa-hoa Kongcu. Kay-cu-na-si-mi kali ini selain bergaya istimewa -menarik dulu, kemudian mendorong -, pun perbawanya bukan olah-olah hebatnya.

Bukan tak mengetahui Hoa-hoa Kongcu bahwa dalam kay- cu-na-si-mi itu terdapat dua buah gerakan: menarik dan mendorong. Tapi saking heran memikirkan mengapa lawan tak mau menggunakan pukulan tersakti it-ci-ting-kian-gun, dia sampai hampir kena tersedot oleh tenaga lawan. Dan baru saja dia dapat menolak sedotan itu, atau kini dadanya disambar oleh dorongan tenaga dahsyat. Syukur dia itu seorang yang sudah biasa memperhitungkan kekuatan lawan. Secepat kilat segera dia robahkan gerakan jempol tangannya menjadi kekanan-kiri lagi.

Sekalipun begitu, namun tak urung dia menderita juga.

Benar angin pukulan dapat disiakkan, tetapi ujungnya mengenai juga dadanya. Buru-buru dia empos semangatnya untuk menahan darah yang bergolak pada dada dan menenangkan matanya yang berkunang-kunang.

Tapi dalam penderitaannya itu, tahu pasti bahwa pemuda lawannya itu ibarat lampu sudah kehabisan minyak, jadi tak mungkin akan melancarkan sesuatu pukulan yang mengejutkan lagi.

„Ah, biar bagaimana, aku harus bertahan jangan sampai roboh. Biarpun menderita luka dalam yang berat, tetapi akan kutahan sekuat kuasa. Nanti setelah Panji sudah berada ditanganku, barulah kuobati Ha, pukulan terakhir telah

dapat kutolak. Asal aku dapat membuka mulut menagih, Panji tentu diberikan. Bukankah Ceng Ih tadi mengatakan sendiri, bahwa ucapan seorang lelaki itu, tentu boleh dipercaya!"

Demikian pikirnya dan sejenak dia tahankan darahnya yang bergolak-golak itu, diapun segera membuka mata, menghentikan gerakan, jempol tangan dan berseru: „Saudara Ceng, sekarang kau harus ”

Belum lagi dia dapat melanjutkan kata-katanya, atau sesaat itu tiba-tiba terasa ada serangkum aliran tenaga menerjang ke arah mukanya. Begitu cepat datangnya aliran tenaga itu, hingga dia tak sempat untuk mengerahkan jempol jarinya lagi.

Dadanya terasa dihantam dengan sebuah martil, darah yang sudah dipertahankan tadi, kali ini tak kuasa dicegahnya lagi. „Huak,” mulut menyembur darah sampai setengah meter jauhnya, sedang tubuh laksana sebuah layang-layang putus, telah terlempar sampai setombak lebih jauhnya.

Terkapar ditanah, knock-outlah si Hoa-hoa kongcu tak kabarkan diri lagi ...........

Bahwa pukulan terakhir yang diajarkan si Tian-to-kian-gun itu memperoleh hasil yang gilang gemilang, telah membuat Ceng Ih girang setengah mati. Bagaimana rasa terima kasih dan perindahannya terhadap tokoh aneh Tian-to-kian-gun, sukar dilukiskan.

Dia menghela napas untuk melonggarkan kesesakan napasnya, tapi berbareng itupun tubuhnya terasa lemah lunglai kehabisan tenaga. Turun dari atas kuburan, dia kepingin sekali untuk duduk bersemadhi diatas rumput memulangkan semangat.

Waktu bertempur sengit dengan Bo-ang Sancu di Siao-ngo- tay-san dan berkelahi mati-matian dengan Swat-san Lojin, benar telah menghabiskan tenaga dan semangatnya, namun tak sepayah seperti bertempur dengan Hoa-hoa Kongcu kali ini. Rasanya sehabis bertempur ini. dia seperti orang yang bangun dari mati, seluruh urat nadinya seperti lumpuh tak berbaju lagi.

Baru dia hendak duduk diatas rumput, tiba-tiba matanya tertumbuk dengan secarik kertas kecil. Tersipu-sipu dipungutnya dan ketika dibacanya ternyata berisi tiga butir pil berwarna merah. Sejenak memikir, Ceng Ih segera tahu apa yang dimaksudkan tokoh aneh itu. Buru-buru dia menghampiri ketempat pecundangnya tadi.

Orang yang tadi bercita-cita tinggi hendak mengangkangi Panji Sakti, kini rebah tak ingat diri ditanah. Wajah Hoa-hoa Kongcu itu pucat lesi, napasnya lemah. Kalau mengingat perbuatan yang mengenakan pakaian mewah itu, sebenarnya Ceng Ih merasa muak benci.

Tapi mengingat tugas seorang kelana persilatan itu menolong yang menderita dan membasmi si angkara, tak tegah juga dia membiarkan Hoa-hoa Kongcu dalam keadaan begitu. Bukankah si Tan-to-kian-gun sengaja meninggalkan tiga butir pil karena supaya dia memberi pertolongan pada Hoa-hoa Kongcu?

Ketika diraba, nyata pernapasan Hoa-hoa Kongcu itu sangat lemah. Terang pukulannya tadi telah mengenainya dengan tepat. Kalau dia (Hoa-hoa Kongcu) tak meninggal seketika, itulah sudah beruntung sekali.

Taruh kata ketiga butir pil merah itu khasiatnya lebih hebat dari kim-tan, tapi untuk menyembuhkan kembali Hoa-hoa Kongcu seperti sediakala. rasanya tipislah harapannya. Namun bagaimanapun juga, biarlah dicobanya.

Diangkatnya tubuh orang itu untuk dibawanya masuk kedalam hutan. Setelah memilih tempat yang teduh dan membaringkannya, barulah Ceng Ih mulai memasukkan pil itu kedalam mulut Hoa-hoa Kongcu.

Setelah itu, didudukkannya bersila, kemudian dengan tangan kanan menyanggah jalan darah beng-bun di pinggang belakang orang. Ceng Ih kerjakan tangannya kiri untuk menyalurkan hawa murni, agar obat itu dapat bekerja cepat.

Kira-kira sepeminum teh lamanya, pernapasan Hoa-hoa Kongcu mulai beredar. Sewaktu dengan lemahnya dia membuka mata dan mengetahui pertolongan Ceng Ih, dengan bersenyum getir dia anggukkan kepalanya dua kali. Juga Ceng Ih sendiri terkediut girang, demi menyaksikan kemujijadan pil merah dari Tian-to-kian-gun itu. 

Sembari menarik tangannya kanan, berkatalah dia dengan bisik: „Saudara Pian kini sudah terlepas dari bahaya, tapi untuk sementara janganlah berbicara dulu. Salurkan lwekang dan periksalah apakah bagian tiong-goan masih berjalan baik, barulah kita bicara lagi.”

Hoa-hoa Kongcu menurut saja.

Kata Ceng Ih pula: „Harap saudara Pian tenang-tenang menyalurkan lwekang. Ceng Ih akan menunggui disini."

Dengan anggukkan kepala, Hoa-hoa Kongcu meramkan mata dan mulai melakukan penyaluran hawa dalam. Dengan berindap-indap Ceng Ih tinggalkan tempat itu.

Ketika memandang ke arah kuburan tempat dia mengukur kepandaian dengan Hoa-hoa Kongcu tadi, suasana disitu terasa amat menyeramkan sekali. Memang kala itu sudah lewat tengah malam dan rembulanpun hanya menyinarkan cahajanya yang remang-remang saja.

Tadi karena hendak menolong Hoa-hoa Kongcu, dia sampai lupakan keletihannya. Kini setelah selesai apalagi tadi dia masih harus gunakan lwekang untuk memberi pertolongan, rasa letihnya itu merangsang dengan keras. Empat kerat tulangnya (kaki dan tangan) serasa lunglai.

Kalau dia tak menyanggupi pada Hoa-hoa Kongcu untuk menjaganya, siang-siang dia tentu akan sudah duduk bersemadhi memulangkan tenaga sendiri. Apa boleh buat, terpaksa dia ayun tubuhnya duduk diatas sebuah dahan pohon.

Dengan duduk disini, aku dapat melihat jelas segala apa yang terjadi diempat penjuru. Dengan begitu selain dapat menjaga keamanan Hoa-hoa Kongcu pun aku dapat juga beristirahat," pikirnya. Dipilih sebelah dahan besar yang datar dan disitulah dia duduk bersila memulangkan semangatnya.

Memang sejak makan ulat mustika, lwekang Ceng Ih maju berlipat ganda. Walaupun menempuh perjalanan seribu li sehari, namun dengan beristirahat sepeminum teh lamanya, dapatlah dia memulihkan kesegaran lagi. Sebenarnya ingin sekali dia bersemadhi agak lama, tapi mengingat tugasnya menjaga orang, jadi terpaksa dia hentikan sampai disitu saja.

Sekalipun begitu, kini dia merasa tubuhnya sudah segar kembali. Meneliti kesekeliling penjuru, didapatinya tiada sesuatu yang mencurigakan.

Dengan legah hati, dia mulai menjalankan persemadhiannya lagi. Tapi ketika dia mulai membuka mata, didapatinya ada sesuatu yang aneh. Jauh disebelah muka sana, samar-samar dilihatnya ada tiga larik asap yang bergulung-gulung mendatangi. Dengan cepatnya, gulungan asap itu lalu dibawah pohon yang didudukinya situ, terus meluncur kemuka pesat sekali.

Ceng Ih terkesiap melihat kelihayan ilmu gin-kang dari ketiga orang itu. Cepat sekalipun mereka, namun mata Ceng Ih yang tajam segera dapat mengenal bahwa ketiga orang itu bukan lain ialah Bo-ang Sancu sendiri bersama, kedua Sian- ong. Dalam beberapa kejap ketiga tokoh itu sudah lenyap dari pemandangan.

„Ha, memang tepat dugaan adik Peng itu. Benar juga Bo- ang Sancu mau turun gunung menuju ke Lam-hay. Tapi mengapa yang diajak hanya kedua Sian-ong saja, mana itu keempat Cuncia dan ketujuh Cincu?" pikirnya. Namun pada lain kilas dia merasa girang juga, karena dengan kepergian Bo-ang Sancu bertiga ke Lam-hay itu, berarti pihaknya (Ceng Ih) bertambah kuat. Benar dengan Bo- ang Sancu dia tak sepaham, namun kali ini dalam menghadapi pihak Lam-hay-pay, mereka dapat bersatu haluan.

Baru dia memikir hendak tinggalkan Hoa-hoa Kongcu untuk menyusul Bo-ang Sancu, tiba-tiba sayup-sayup didengarnya ada angin menderu.

Mendongak kemuka, dilihatnya keempat Cuncia dari Siao- ngo-tay-san pun muncul berlari-larian dengan pesatnya. Diam- diam dia menduga, bahwa tak lama lagi ketujuh Cincu tentu akan menyusul juga.

„Adik Peng selalu mengejek padaku karena dari terhadap permainan pedang gabungan dari ketujuh Cincu. Tapi memang mereka bertujuh itu tak boleh dibuat main-main.

Kalau adik Peng selalu menepuk dada tak gentar terhadap ketujuh Cincu itu, adalah karena ia (Peng-ji) mengandalkan kelihayan ilmunya gin-kang. Tapi coba saja, tokoh lihay mana dalam dunia persilatan yang mampu memecahkan permainan gabungan pedang mereka itu? Kalau mengatakan aku jeri terhadap mereka, memang benar. Tapi Ceng Ih sekarang, sudah tak kenal akan kata-kata 'takut' lagi. Dengan ketiga sam-ciam-sin-kun, aku pasti dapat memukul kocar kacir barisan pedang mereka itu. Tapi ah, bagaimanapun juga, ketujuh Cincu itu tak boleh dipandang remeh ”

Demikian selagi Ceng Ih menimang-nimang dalam hati, pada saat itu susul menyusullah ketujuh Cincu itu ber-lari- larian dibawah pohon yang didudukinya itu. Dari ilmu ginkang saja, nyata ketujuh Cincu itu lebih lihay dari kedua Sian-ong dan keempat Cuncia tadi. Sekonyong-konyong terdengar ringkikan kuda, suatu ringkikan yang luar biasa nyaringnya. Apalagi ditengah malam yang sunyi senyap, ringkikan itu terdengar berkumandang sampai jauh sekali. Kuda mana yang dapat meringkik seperti itu kalau bukan kuda sakti macam say-cu-hoa. Karena terlalu lama disekap dalam hutan lebat yang keliwat sunyi, binatang itu tak tahan.

Diam-diam Ceng Ih mengeluh. Kawanan Chit-Cincu yang belum berapa jauh itu, tentu dapat menangkap suara ringkikan itu dan pasti akan kembali menyelidiki.

Baru saja dia berpikir begitu, atau berturut-turut tujuh sosok tubuh melesat datang. Ceng Ih terkejut sekali. Hoa-hoa Kongcu masih bersemadhi menyalurkan lwekang, kalau sampai terganggu dengan kedatangan ketujuh Cincu itu, wah celaka. Sedikit saja pemusatan pikirannya terpecah, maka lwekang itu tentu akan tersesat merusak diri Hoa-hoa Kongcu.

Sesaat ketujuh imam itu tiba dibawah pohon, Ceng Ih tak mau berbanyak pikir lagi. Dengan bersuit kecil, dia ayun tubuhnya melayang kebawah. Bukan kepalang kejut ketujuh Cincu itu demi dihadapannya muncul seseorang. Dan lebih kaget pula mereka itu, sewaktu diketahui bahwa orang itu bukan lain ialah Ceng Ih.

Sudah beberapa kali, mereka bertempur dengan anak muda itu dan setiap kali tentu menderita kekalahan karena anak muda itu, semakin hari semakin maju pesat kepandaiannya. Seperti dalam pertempuran yang terakhir itu, dengan permainan ilmu pedang gabungan, mereka tetap tak dapat berbuat apa-apa terhadap anak muda itu.

Dan yang paling memusingkan mereka, adalah kocokan si nona baju putih. Kalau Peng-ji atau puteri Swat-san Lojin yang gemar berpakaian serba putih itu tak bermurah hati, ketujuh imam itu tentu sudah tak bernyawa lagi.

Tampak Ceng Ih muncul, semangat ketujuh Cincu itu sudah kalang kabut. Pikir mereka, Ceng Ih dengan si nona baju putih itu, adalah ibarat sepasang merpati. Ceng Ih muncul, si nona lihay itupun tentu ada. Ringkikan kuda 'say-cu-hoa' itu suatu bukti.

Setelah saling memberi isyarat mata, kepala dari rombongan Cincu yakni si Cincu baju merah, segera membuka mulut: „Ceng sicu rupanya berjodoh dengan kami. Belum lama berpisah di Siao-ngo-tay-san, kini kembali sudah berjumpa di Holam sini. Adakah Peh-i-li sicu baik-baik saja?"

Dengan menanyakan Peh-i-li atau si gadis baju putih itu, Ceng Ih pun sudah mengetahui isi pikiran mereka. Apalagi mereka tak lantas memasang barisan kiam-tin, ini menandakan bahwa mereka tak bersikap bermusuhan. Ceng Ih cukup cerdik, tak mau dia mengatakan dimana sebenarnya Peng-ji berada.

„Dia baik-baik saja! Apakah kalian hendak ”

Baru dia mengatakan begitu, Cincu baju merah sudah lantas memotongnya: „Pinto hanya kebetulan lalu disini saja. Tolong tanya, apakah Ceng sicu juga hendak menuju ke Lam- hay untuk menolong Tan He Kongcu?"

Sebenarnya Ceng Ih sudah lantas hendak menyahut. tapi pada lain kilas dia batalkan niatnya. Benar kini dia dengan kawanan Cincu itu bersatu haluan, seharusnya dia mengatakan terus terang, tapi ah, lebih baik jangan. Tujuan sama, tapi caranya tetap berlainan. Kalau memberitahukan mereka, rencananya untuk menggunakan siasat menyelundup kedalam, tentu akan bocor. 

„Tidur seranjang, lain mimpinya." Tamsil ini mengatakan bahwa benar tujuannya sama, tapi jalan pikirannya berbeda. Dikuatirkan Bo-ang Sancu mengandung pikiran yang jahat terhadap dirinya, maka Ceng Ih tak mau mengatakan hal yang sebenarnya kepada rombongan Chit-Cincu itu.

Tapi sebagai orang yang sudah banyak makan asam garam, ketujuh Cincu itupun segera melihat apa yang terkandung dalam perobahan wajah si anak muda itu. Sebenarnya maksud Cincu baju merah menanyakan hal itu, bukan lain hanyalah untuk mendapat keterangan saja. Apabila sepasang anak muda itu benar-benar hendak ke Lam-hay, mereka akan merasa girang sekali karena mendapat tambahan dua tenaga yang tangguh.

Sikap Ceng Ih yang ragu-ragu membuka mulut itu, sudah cukup membuat mereka girang. Tak perlu dijelaskan lagi, terang kedua anak muda itu juga akan menuju ke Lam-hay.

Tanpa menunggu jawaban orang lagi, ketujuh orang itu segera akan angkat kaki membawa wajah berseri. Dengan mengucapkan beberapa patah kata minta diri, ketujuh Cincu itu segera melesat dan pada lain kejap sudah menghilang dalam kegelapan.

Ini adalah untuk yang pertama kali Ceng Ih disuguhi sikap yang manis dari kawanan Cincu itu. Suatu hal yang membuatnya terlongong-longong sampai beberapa jenak.

„Saudara Ceng!" tiba-tiba dari arah belakang terdengar sebuah seruan yang bernada lemah.

Dengan sebat Ceng Ih berputar kebelakang. Dibawah bayang-bayang kegelapan, tampak sesosok tubuh berdiri tegak dipinggir sebuah pohon. Siapa lagi dia kalau bukan si Hoa-hoa Kongcu. Tangan orang itu mencekal sebuah tongkat dari dahan pohon. Dengan wajah sayu, dia tampak masih lemah. Ceng Ih segera tampil menghampiri.

„Darah siaote tak leluasa menyalur, terpaksa tak dapat ......

melanjutkan semadhi. Rupanya .... pekakas dalamku .......

tidak beres .... maka ku harus ...... lekas-lekas kembali ke

Bu-san !" kata Hoa-hoa Kongcu dengan nada gemetar

terputus-putus.

Melihat keadaan anak muda itu, wajah Ceng Ih berobah rawan. Ia merasa menyesal telah membuat orang sampai sedemikian payahnya. Dari tempat situ ke Bu-san, adalah suatu perjalanan yang amat jauh sekali.

Sebenarnya dia tak dapat mencegah maksud Hoa-hoa Kongcu untuk pulang ke Bu-san berobat. Namun dalam keadaan terluka parah begitu, masakan dia (Hoa-hoa Kongcu) dapat menempuh perjalanan sejauh itu! Ingin sekali dia mengantarkan orang itu, tetapi urusannya ke Lam-hay itu, tak boleh ditangguhkan lama-lama. Ai, bagaimana ni!

Tampak Ceng Ih berdiam diri, kembali Hoa-hoa Kongcu menunjuk ke arah kuda yang berada disebelah hutan sana, lalu memaksa tertawa: „Siaote tadi telah memanggil kuda

itu ....... terima kasih atas budi kecintaan saudara Ceng

........ sekarang aku hendak mohon diri!"

„Ai, saudara Pian terlalu sungkan. Masakan Ceng Ih mau memakai kuda. Jika saudara merasa cukup kuat untuk mengadakan perjalanan, harap silahkan naik kuda itulah!"

Habis berkata, Ceng Ih segera menuntun kuda itu kehadapan Hoa-hoa Kongcu, lalu katanya: „Apabila saudara Pian benar-benar yakin kalau terluka dalam, harap lekas-lekas mencari obat yang mujarab, Ceng Ih kalau tidak mempunyai lain urusan penting, tentu dengan senang hati akan mengantar saudara Pian ”

Hoa-hoa Kongcu mengangguk, tukasnya: „Kutahu saudara

...... mempunyai .... urusan ke Lam-hay!"

Mau tak mau terkejut Ceng Ih mendengar orang telah mengetahui rahasianya. Tapi, diam-diam dia bersyukur juga, karena tak perlu menjelaskan lagi.

Setelah bantu orang naik ke atas kuda, Ceng Ih menawarkan bantuan lagi: „Sungguh aku tak tega hatiku melepaskan saudara Pian pergi dengan membawa luka parah. Bolehkah kubantu menyalurkan lwekang sekali lagi agar saudara Pian menjadi lebih enakan?"

Dengan tahankan diri, Hoa-hoa Kongcu mengunjuk sebuah senyum getir, ujarnya: „Tak ..... usahlah! Kalau tiada pil

dari saudara tadi ....... mana siaote masih dapat

bernyawa, ...... budi besar ini ...... asal hayat masih ......

dikandung badan ......, siaote tentu akan datang .....

menghaturkan terima kasih atas budi saudara Ceng itu

...... dan hadiah sebuah ..... pukulan yang kuterima itu!"

Sebenarnya dalam hati kecil Ceng Ih, dia merasa menyesal dan turut bersedih atas cidera yang diderita Hoa-hoa Kongcu itu. Maka mimpipun tidak dia demi mendengar kata-kata yang terakhir dari pemuda itu.

Nyatalah kalau Hoa-hoa Kongcu itu masih tetap tak melupakan dendam hatinya dan berniat hendak menuntut dikelak kemudian hari. Dari simpati, mendadak sontak berobah menjadi rasa benci beberapa derajat.

Turut perangai Ceng Ih, saat itu juga dia sudah hendak mengucapkan beberapa patah kata yang menusuk, tapi demi mendongak kemuka, dilihatnya pemuda yang duduk diatas pelana kuda itu, wajahnya pucat seperti kertas, semangatnya lemas lunglai macam jago yang keok. Kalau benar alat pekakas darahnya rusak seperti yang dikatakannya tadi, sekalipun dapat obat dewapun tak nanti mampu merebut jiwanya. Sesumbarnya untuk menuntut balas itu, sungguh terlalu pagi diucapkan.

Ah, mengapa dia bersitegang leher terhadap orang yang bermain mata dengan maut? Kebanggaan apa dia akan memperoleh? Merenung sampai disini, hatinya menjadi luluh, kemarahannya sirap. Mendongak sambil tertawa panjang, dia segera tepuk pantat kuda.

Bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, kuda mencongklang dengan pesatnya. Hanya beberapa kejap saja, kuda bersama penunggangnya itu sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Demikian akhir cerita Hoa-hoa Kongcu.

Muncul garang, pulang malang .......

Setelah Hoa-hoa Kongcu pergi, sejenak timbullah beberapa perasaan dalam hati Ceng Ih. Memandang ke arah gundukan tanah di padang kuburan yang sunyi senyap itu, dia terkenang akan kejadian beberapa jam yang lalu. Diam-diam dia geli atas ketololannya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar