Panji Sakti Bab 22 : Ujian Berat

22. Ujian Berat

Teringat akan kesemuanya itu, makin membuat Ceng Ih kelabakan marah. Melihat naga-naganya, dalam melakukan tugas melindungi Panji Sakti itu, tentu akan gagal. Saat itu setelah melalui sebuah kota kecil, disebelah muka sana ada sebuah hutan lebat.

Malam kelam ditengah hutan lebat, wah gelapnya bukan main. Oleh karena sudah mendapat peringatan, ketika memasuki hutan itu Ceng Ih amat berhati-hati sekali. Setelah melintasi hutan itu, barulah longgar hatinya.

Kiranya diluar hutan itu, terdapat sebuah pekuburan yang penuh dengan gundukan-gundukan tanah. Tengah malam ditengah kuburan, bulu tengkuk bisa berdiri. Tapi sebagai seorang pemuda yang memiliki ilmu silat tinggi, Ceng Ih tak gentar sama sekali. Maju, maju terus ............

„Saudara. Ceng, lama sekali aku menunggumu" sekonyong- konyong dari tengah tegal kuburan itu terdengar suara seruan dan menyusul seekor kuda loncat menghadang.

Walaupun sudah siap waspada, namun Ceng Ih kaget juga dengan munculnya penghadang itu. Tegak berdiri bersiap, dia memandang ke arah penunggang yang duduk diatas pelana kuda.

Astaga itulah si pemuda pelancongan yang selalu

membuntutinya selama dalam perjalanan. Pemuda itu dengan sombongnya menghadang ditengah jalan.

Reaksi pertama dari Ceng Ih ialah heran mengapa orang telah mengetahui namanya. Kemudian sang mulut segera bertanya: „Tengah malam saudara menghadang aku, entah mempunyai maksud apa. Tolong siapakah nama saudara yang mulia?" Orang itu tertawa memanjang, sahutnya: „Naik perahu menyeberang sungai, ternyata berjodoh juga. Mengapa saudara Ceng begitu mengangkat tinggi diriku? Aku she Pian dan orang-orang biasa memberi gelaran Hoa-hoa Kongcu padaku!"

Hai, kiranya benar si Hoa-hoa Kongcu atau pemuda pelancongan itu.

„Rasanya Ceng Ih belum pernah berkenalan dengan saudara Pian, harap saudara jelaskan maksud saudara menghadang ini,” Ceng Ih menegas pula dengan wajah bersungguh. Oleh karena dia jemu dengan pemuda itu, jadi nadanyapun agak tak senang.

Orang bersikap dingin, pemuda pelancongan itupun balas tertawa dingin ujarnya: „Biasanya saudara Ceng ini ramah tamah dengan orang, tapi mengapa begitu dingin terhadap diriku? Benarlah memang aku bermaksud hendak mohon petunjuk dari saudara!"

Ceng Ihpun perdengarkan tertawa ringan, sahutnya:

„Memberi petunjuk, aku sungguh tak berani. Namun silahkan saudara Pian mengatakan, Ceng Ih bersedia mendengarkannya!"

„Jika saudara Ceng tak menampik, ingin benar siaote mengikat persahabatan dengan saudara,” kata si Hoa-hoa Kongcu sambil tertawa longgar.

Mendengar ternyata hanya begitu saja, Ceng Ih tertawa gelak-gelak: „Ah, saudara Pian keliwat sungkan. Bukankah telah kukatakan kemarin bahwa diempat penjuru lautan ini, semua orang adalah bersaudara. Mengapa saudara mengatakan aku menampik? Tengah malam buta saudara menunggu disini, apakah hanya untuk maksud itu saja?" „Sebenarnya siaote mempunyai sebuah urusan, hanya tak leluasa untuk mengatakan," kata Hoa-hoa Kongcu.

Cepat saja Ceng Ih menyanggapi: „Kita adalah pemuda- pemuda sekaum dan setujuan, kalau ada sesuatu silahkan mengatakan, mengapa ?”

Karena belum mengetahui asal usul pemuda itu, jadi Ceng Ih terpaksa hentikan kata-katanya.

Kembali pemuda pelancongan itu menghambur tawa, ujarnya: „Siaote sungguh tak tahu diri karena hendak mohon pengajaran barang beberapa jurus saja dari saudara Ceng.

Karena tadi saudara sudah menyanggupi, rasanya tentu takkan membikin siaote putus harapan!"

Sebenarnya memang Ceng Ih ingin sekali menjajal kepandaian Hoa-hoa Kongcu itu yang telah menguntitnya dari San-se hingga ke Holam situ. Siapakah gerangan Hoa-hoa Kongcu itu sehingga si Tian-to-kian-gun sampai memerlukan memberi peringatan padanya. Bahwa Hoa-hoa Kongcu itu menyatakan sendiri mau mengukur kepandaian, itulah kebenaran sekali.

„Karena saudara Pian menghendaki demikian, Ceng Ih terpaksa melayani juga. Tapi kaki dan tangan itu tak bermata, jadi kemungkinan akan menyasar tentu tak dapat dihindarkan. Ah, entah bagaimana caranya kita akan bermain-main itu?"

„Siaote hendak usulkan tiga macam pertandingan, silahkan saudara Ceng memilihnya salah satu. Tapi adakah saudara Ceng berani bertaruh padaku?"

Mendengar makin lama pemuda pelancongan itu makin melonjak, Ceng Ih panas juga hatinya. Diapun seorang pemuda yang tak kenal apa artinya takut itu. Namun setelah mengalami beberapa kali peristiwa aneh dalam perjalanan itu, dia tak berani bertepuk dada lagi. Dia mengakui bahwa diatas gunung itu masih ada langit yang lebih tinggi lagi.

Menilik sikapnya, nyata si Hoa-hoa Kongcu itu tak begitu menarik perhatian, tapi bahwa dia sudah berani menantang, terang tentu mempunyai sesuatu yang boleh diandalkan.

„Saudara Pian menghendaki pertaruhan macam apa?" tanyanya.

Hoa-hoa Kongcu tertawa: „Bagaimana kalau kupertaruhkan kudaku cian-li-liong-kiok ini dengan Panji Sakti yang saudara simpan itu?"

Amboi! Kiranya pemuda pelancongan itu juga mengandung maksud jahat. Dengan ucapannya itu, jelaslah sudah mengapa dia selalu membuntuti perjalanan Ceng Ih. Panji Sakti, adalah lambang supermasi (keunggulan) dalam dunia persilatan, dapatkah benda semacam itu dibuat pertaruhan.

Kalau dia (Ceng Ih) sampai kalah, bagaimanakah nanti pertanggungan-jawabnya kepada sang supeh. Apakah dia masih ada muka untuk hidup didunia lagi? Dan jika menang, rasanya diapun sungkan untuk memiliki kuda kepunyaan orang. Tapi sebagai pewaris angkatan kelima dari Panji Sakti, dapatkah dia menolak tantangan orang dimana dia dipersilahkan memilih salah sebuah dari tiga macam pertandingan yang disodorkan itu?

„Tolong saudara Pian jelaskan ketiga macam pertandingan yang Saudara usulkan itu?" beberapa waktu kemudian akhirnya dia berkata. Sedikit mengerut alis, Hoa-hoa Kongcu itu menyahut:

„Siaote hendak main-main dalam ilmu gin-kang, permainan senjata rahasia dan ilmu pukulan. Saudara Ceng boleh memilih salah satu yang mana. Menilik Saudara Ceng ini menjadi pewaris turunan kelima dari Panji Sakti, tentunya memiliki ketiga ilmu pukulan sam-coat-ciau pelindung Panji itu. Nah, kiranya Saudara. Ceng pasti akan memilih yang tersebut belakangan itu, benarkah begitu?"

Rupanya pemuda pelancongan itu mengetahui benar akan diri Ceng Ih, sebaliknya Ceng Ih asing padanya. Musuh tahu keadaan kita, tapi kita tak mengerti mereka. Ini amat berbahaya. Bahwa Hoa-hoa Kongcu itu berani mengemukakan tiga macam cara bertanding, istimewa menandaskan pilihan Ceng Ih tentu jatuh pada pertandingan ilmu pukulan, terang menandakan kalau dia (pemuda pelancongan) itu sudah mempunyai pegangan.

Memang kena benar kata-kata Hoa-hoa Kongcu itu. Tiada lain pilihan lagi bagi Ceng Ih kecuali bertandingan dalam ilmu pukulan. Dalam hal ilmu ginkang, terang tadi dia kena ditelan mentah-mentah oleh pemuda itu

Permainan ilmu melepas senjata rahasia? Ah, baik suhu maupun supehnya, belum pernah dia mendapat pelajaran. Yang dia pelajari hanyalah cara menghindari serangan senjata rahasia. Memang adanya dia tak mau belajar ilmu senjata rahasia, karena menganggap menyerang dengan senjata begitu, adalah perbuatan rendah. Jadi dalam ilmu itupun, dia tak mempunyai harapan untuk menang.

Bahwa Hoa-hoa Kongcu sekalipun sudah mengetahui kesaktian ketiga ilmu sam-coat-ciau namun masih berani menantangnya, terang kalau dia tentu sudah mempunyai kepandaian untuk mengatasi. Ai, bagaimana ni? Demikian Ceng Ih terdiam dalam keraguan untuk beberapa waktu. 

Melihat itu, tertawalah Hoa-hoa Kongcu, ujarnya: „Saudara Ceng, maafkan kelancanganku ini karena mengganggu saudara. Beginilah, siaote usulkan supaya saudara memilih yang nomor tiga saja!"

Mendengar itu naiklah amarah Ceng Ih. Pikirnya, sedangkan Swat-san-Lojin yang dianggap sebagai tokoh nomor satu dalam dunia persilatan tetap tak dapat menahan kesaktian ketiga ilmu sam-coat-ciau itu, masakan Hoa-hoa Kongcu berani begitu congkak.

„Karena saudara Pian begitu 'baik' terhadap Ceng Ih, biarlah kuturut saja kehendak saudara itu!" akhirnya Ceng Ih berkata dengan nada dingin.

Wajah Hoa-hoa Kongcu berseri girang, katanya tertawa:

„Apakah sekiranya saudara Ceng masih ada usul lagi mengenai pertaruhan itu?"

Begitu tenang dia bertanya, seolah-olah sudah yakin tentu akan menang. Suatu hal yang membangkitkan kemarahan Ceng Ih, siapa tanpa banyak pikir lagi serentak menyahut:

„Segalanya aku menurut saja. Nah, bagaimana cara pertandingan akan dilakukan?"

Kembali Hoa-hoa Kongcu itu tertawa sinis beberapa kali, ujarnya: „Walaupun siaote tahu kalau tak dapat melawan ketiga sam-coat-ciau itu, namun terpaksa mengusulkan juga karena yakin bahwa mengandalkan tajamnya lidah saja siaote pasti tak dapat menaklukkan orang. Kita masing-masing berdiri disuatu tempat tertentu kemudian saling melancarkan tiga buah pukulan, bagaimana?"

Kalau nada ucapan Hoa-hoa Kongcu makin lama makin garang, adalah nyali Ceng Ih makin lama makin ciut. Setelah melihat Ceng Ih setuju. Hoa-hoa Kongcu segera berputar tubuh lalu loncat melampaui beberapa gundukan tanah.

Kira-kira terpisah tiga tombak jauhnya, dia berkata: „Dua buah kuburan yang terletak di timur dan barat itu, menjadi tempat kita berdua saling berdiri dan melancarkan tiga kali pukulan!"

Ceng Ih tak mau banyak bicara, terus loncat ke atas kuburan yang terletak disebelah barat. Pikirnya: „Dalam tiga tombak jauhnya, ketiga sam-coat-ciau masih dapat mencapainya. Tapi siapakah yang akan memukul lebih dahulu?"

Selagi Ceng Ih tengah memperhitungkan, disana sudah kedengaran Hoa-hoa Kongcu tertawa: „Hari ini siaote benar- benar hendak menyaksikan kesaktian ilmu pelindung Panji Sakti. Oleh karena siaote yang mengusulkan, jadi wajiblah siaote mengalah lebih dahulu, ini sebagai tanda maksud persahabatan siaote."

Ceng Ih sungguh tak mengerti apa yang sebenarnya bersembunyi dibalik ucapan pemuda itu. Namun mendapat kemurahan, sungguh tak enak.

Selagi dia tengah mencari kata-kata untuk menyatakan terima kasih, Hoa-hoa Kongcu sudah berkata pula: „Janganlah saudara Ceng mengira siaote bakal tercelaka, karena siaotepun hendak mengajukan sedikit usul."

„Usul apa?" tanya Ceng Ih dengan heran.

„Sam-coat-ciau pelindung Panji Sakti, telah berpuluh tahun menggetar dunia persilatan. Sekalipun seorang ko-chiu yang berilmu tinggi, juga tak berani memandangnya sebelah mata. Hari ini siaote benar-benar hendak merasakan pukulan ciptaan mendiang Hoa-he Hi-hu. Karenanya, kuminta saudara Ceng suka melancarkan dengan sepenuh tenaga, agar siaote dapat menikmatinya betul-betul!"

Berhenti sejenak, dia berkata lagi: „Apabila dengan ketiga sam-coat-ciau itu saudara Ceng dapat membuat aku jatuh dari kuburan itu, siaote rela mengaku kalah dan akan mempersembahkan kuda kepada saudara. Kebalikkannya, kalau saudara tak berhasil dengan itu, harap saudara pun menyerahkan Panji Keramat itu. Semoga saudara Ceng jangan ingkar agar jangan merusak persahabatan kita!"

Murah benar syarat itu. Namun Ceng Ih malah keberatan.

Dia tak mau mendapat kemurahan yang begitu besar. Baru dia hendak membantah, Hoa-hoa Kongcu sudah tertawa.

„Telah siaote nyatakan tadi, bahwa hari ini siaote hendak menjajal kesaktian ketiga sam-coat-ciau itu, maka sengaja siaote mengusulkan pertandingan ini. Tapi tampaknya saudara Ceng selalu meragu saja. Apakah saudara sendiri tak yakin akan kesaktian ilmu yang saudara miliki itu?"

Tahu kiranya Ceng Ih bahwa lawan hendak membuat propokasi. Sekalipun begitu, ucapan pemuda itu keliwat tekebur dan menjengkelkan. Adakah dia sebagai pewaris angkatan kelima dari Panji Sakti, tiada mempunyai kepercayaan bulat kepada sam-coat-ciau pelindung Panji Keramat itu? Sungguh menggelikan sekali!

Karena setiap mengucap, pemuda pelancongan itu selalu menyatakan hendak menguji ketiga sam-coat-ciau, nah tak perlulah kiranya dia sungguh-sungguh lagi. Ingin dia melihat sampai dimana kesaktian orang yang bermulut lancang itu. „Karena saudara Pian senantiasa mendesak cayhe mengunjukkan permainan jelek itu, cayhepun menurut saja. Nah, harap saudara bersedia, Ceng Ih segera akan mulai!"

Propokasinya telah berhasil membangkit kemarahan Ceng Ih, Hoa-hoa Kongcu girang bukan kepalang. Tanpa berayal lagi, dia segera loncat ke atas kuburan yang terletak disebelah timur.

„Siao-te sudah siap, harap saudara Ceng segera mulai menyerang!" serunya disertai tertawa panjang.

Sementara mengawasi gerakan lawan, Ceng Ih dapatkan loncatan dengan gerak toa-na-i-sim-hwat dari pemuda pelancongan itu, ternyata tak begitu menakjubkan. Dan ketika berdiri diatas kuburan, nyatanya Hoa-hoa Kongcu itu begitu tenang sekali sikapnya.

Dia membuat penilaian. Andaikata pemuda pelancongan itu sejak kecil sudah belajar silat dan selama itu mendapat penemuan-penemuan yang aneh, paling-paling tentu hanya dapat bertempur seri dengan Swat-san Lojin saja. Pada hal Swat-san Lojin pun tak berani meremehkan ketiga sam-coat- ciau itu. Jadi masakan pemuda itu dapat lebih lihay dari Swat- san Lojin atau Bo-ang Sancu?

Tapi pada lain kilas, penilaiannya itu terganggu sewaktu dia teringat akan surat peringatan dari tokoh tian-to-kian-gun itu. Kalau pemuda itu tak berisi sungguh-sungguh, masakan si Tian-to-kian-gun sampai perlu mengirim surat peringatan itu! Keraguan itu telah membuat Ceng Ih termenung sejenak, pukulannya tak kunjung dimulai.

„Ai, bukankah saudara Ceng ini menjadi pewaris angkatan kelima dari Hoa-he Hi-hu? Mengapa masih meragukan ketiga sam-coat-ciau itu? Siaote tahu bahwa perjalanan saudara ke selatan ini karena suatu urusan penting yang perlu segera diselesaikan. Mengapa tak lekas-lekas menyelesaikan urusan kita ini agar selekasnya saudara dapat melanjutkan perjalanan lagi?" seru Hoa-hoa Kongcu tertawa keras.

Ah, benar-benar keliwat menghina pemuda itu. Lebih lekas menghajarnya lebih baik. Demikian Ceng Ih berpikir, lalu menyahut: „Saudara Pian, hati-hatilah, Ceng Ih segera melancarkan pukulan!"

Mendengar itu wajah berhias senyum tawa dari Hoa-hoa Kongcu itu, segera lenyap berganti dengan kerut muka yang bersungguh. Benar-benar lain sekali sikapnya sekarang. Hal ini menyatakan, hanya dimulut saja dia omong besar pada hal sesungguhnya dia jeri juga terhadap ketiga sam-coat-ciau itu.

„Hem,” Ceng Ih mendengus pelahan, sekali tenaga dalam dipusatkan, tangan kanan diangkat tinggi. Dibarengi dengan hembusan napas, tangannya menghantarn dalam jurus kay- cu-na-si-mi ........

Sejak makan ulat mustika, tenaga Ceng Ih sudah berlipat ganda hebatnya. Ditambah dengan lamanya berlatih, kini sekalipun supehnya Tian-lam-ping-siu dikuatirkan tak dapat menandinginya lagi. Hantamannya itu dilancarkan dengan tenaga penuh. Ditengah kuburan yang gelap gulita dalam malam nan kelam itu, segera terdengar serangkum angin menderu keras ke arah timur.

Hoa-hoa Kongcu cepat bergerak. Tanpa menggerakkan sang tubuh, dia hanya merangkap kedua tangannya kebawah pusar. Kedua buah jempol jarinya digerakkan kekanan kiri.

Aneh sekalipun gerakannya itu, namun nyatanya tenaga dahsyat yang memancarkan dari kay-cu-na-si-mi itu menjadi terbelah dua, terus menghantam ke arah hutan yang berada dibelakangnya. „Krak, krak,” tujuh-delapan batang pohon sebesar paha sama terbongkar roboh. Daun berhamburan, batang menghantam bumi menggelegar bunyinya .........

Wajah Hoa-hoa Kongcu kembali menampil kegirangan.

Diantar oleh sebuah tawa gelak-gelak, dia berseru: „Sungguh hebat jurus kay-cu-na-si-mi itu! Namun siaote merasa, saudara Ceng masih belum menggunakan tenaga sepenuhnya. Semoga dalam jurus kedua nanti, harapan siaote bisa terkabullah!"

Setan atau manusiakah pemuda itu? Terang pukulan kay- cu-na-si-mi itu dia lancarkan dengan tenaga sepenuhnya, tapi mengapa dapat „dibelah" secara begitu aneh oleh pemuda itu. Ilmu Sakti apakah yang digunakan itu? Apa yang disaksikan sesaat tadi, membuat Ceng Ih terlongo-longo keheranan. Dan baru terkejut, demi mendengar Hoa-hoa Kongcu berseru tadi.

„Ah, aku tak percaya dia sedemikian saktinya. Kau sendiri yang minta mati, jangan persalahkan aku ya?" Ceng Ih bersungut-sungut mendongkol.

Tanpa menyahut barang sepatah lagi, Ceng Ih sudah menyedot napas. Tubuh agak diturunkan, tangan kiri ditekuk dan melancarkan beng-kun-han-san-ho dengan dahsyatnya.

Jurus kedua beng-kun-han-san-ho itu lebih hebat dari kay- cu-na-si-mi. Dahulu saja setelah menerima kay-cu-na-si-mi, kedua Sian-ong dari Siao-ngo-tay-san sudah menderita luka parah. Apalagi kalau kena beng-kun-han-san-ho. Sin-kun atau tinju sakti itu membawa badai angin gelegar kilat yang dahsyat menyambar ke arah kuburan disebelah timur.

Masih dalam posisi seperti tadi, kembali kedua jempol jari Hoa-hoa Kongcu bergerak-gerak kekanan kiri, dan lagi-lagi terjadilah pemandangan yang aneh. Beng-kun-han-san-ho yang menggetarkan seluruh dunia persilatan itu, kembali terbelah menjadi dua, lewat dikedua sisi Hoa-hoa Kongcu terus menghantam ke arah hutan yang dibelakangnya. „Bum, bum,” entah berapa batang pohon yang hancur, tapi yang terang suara robohan itu berdentum lebih keras dari yang tadi

......

Dua dari ketiga sam-coat-ciau tiada memperoleh hasil, telah membuat Ceng Ih kaget seperti disambar halilintar. Melihat disana si Hoa-hoa Kongcu masih tegak berdiri diatas kuburan dengan mengulum senyum mengejek, jantung Ceng Ih serasa berdetak keras.

Seluruh tokoh dalam dunia persilatan, tiada yang mampu tahan serangan ketiga pukulan sam-coat-ciau itu. Sungguh mimpipun tidak, kalau seorang pemuda pelancongan yang tak mengunjuk tanda-tanda luar biasa itu, ternyata dapat memusnahkannya dengan begitu mudah. Ya, tanpa menghindar lagi, cukup dengan mengogel-ogelkan ibu jarinya saja, kay-cu-na-si-mi dan beng-kun-han-san-ho telah dapat disirnakan dayanya!

Sampai pada saat itu, Ceng Ih hampir hilang kepercayaan diri sendiri. Benar rnasih ada jurus penghabisan it-ci-ting-kian- gun yang terdahsyat dalam ketiga sam-coat-ciau itu. Namun terhadap diri si pemuda pelancongan itu, Ceng Ih tak yakin bakal dapat berhasil.

Namun bagaimanapun juga halnya, kini dia hanya mengandalkan pada jurus yang terakhir itu. Sekali lagi gagal, ah, Panji Sakti pasti akan berpindah tangan.

Dalam mengerahkan seluruh tenaganya untuk mempersiapkan pukulannya yang terakhir itu, diam-diam Ceng Ih merenung dalam hati: „Aku Ceng Ih, seumur hidup tak percaya akan bangsa setan iblis. Saat ini Panji Sakti menghadapi ujian yang berat sekali. Sewaktu menyerahkan Panji, supeh berpesan: 'Panji ada, orangnya hidup, Panji hilang, orangpun binasa'. Aku Ceng Ih, sungguh tak berguna karena tak dapat melaksanakan tugas besar. Jika Panji Sakti tetap kuserahkan. Panji hilang, aku Ceng Ih pun tak berhak hidup didunia lagi. Hanya gugur bersama Panji, barulah aku dapat menunaikan harapan para cianpwe yang telah melindungi Panji Keramat itu, serta tak menghianati hati nuraniku! Semoga para malaekat dan Hud memberi berkah restu padaku, agar pukulanku yang penghabisan ini dapat berhasil. Kelak apabila bertemu kuil biara, aku Ceng Ih pasti akan berkunjung dan memberi sembah hormat, selaku sujutku sebagai murid!"

Memang begitulah adat manusia. Bila menghadapi kesukaran, baru ingat pada pemujaannya. Dalam pada mendoa itu, Ceng Ih berdiam diri sampai beberapa jenak, hingga membuat si Hoa-hoa Kongcu menjadi tak sabaran.

„Saudara Ceng masih mempunyai sebuah pukulan yang belum dilancarkan. Sekiranya saudara mau mengaku kalah dan membatalkannya, siaote pasti dapat menghargai tali persahabatan itu!" serunya.

Lagi-lagi pemuda pelancongan itu menyiram minyak kedalam api! Dan benar juga, hawa amarah Ceng Ih berkobar- kobar membakar seluruh tubuh.

„Ucapan seorang laki-laki adalah laksana sebuah paku menancap. Perlu apa saudara terburu-buru. Coba lihat saja nanti apakah kau dapat menahan pukulanku yang terakhir ini!" sahut Ceng Ih dengan mata berkilat.

Dirangsang oleh kejangan amarah, habis mendamprat.

Ceng Ih gerakkan dua buah jari tangan untuk membuat setengah lingkaran. It-ci-ting-kian-gun atau sebuah jari menyusun dunia, pukulan maha sakti yang termasyhur tiada lawannya didunia persilatan, segera akan dilancarkan ke arah kuburan timur!

Sekonyong-konyong terdengarlah sebuah suara macam nyamuk me!engking ditelinga Ceng Ih: „Tenteramkan hati pusatkan pikiran! Jangan dipengaruhi oleh rangsangan nafsu amarah!"

Bagaikan angin menghembus dimusim kemarau, wajah Ceng Ihpun serentak menyeri harapan. Itulah coan-seng-jip-bi atau ilmu lwekang menyusupkan suara kedalam lebatan.

Yang terang itulah bukan suara supehnya, Thian-lam ping- siu. Tapi suara itu tak asing lagi baginya, siapa hai, itulah

si Tian-to-kian-gun, ya, ya, orang misterius yang menamakan dirinya sebagai si Tian-to-kian-gun!

Benar, dia terlalu dirangsang oleh api kemarahan. Itu suatu pantangan. Seharusnya menenteramkan hati, memusatkan pikiran.

Seperti disadarkan, Ceng Ih segera lurus memandang keujung hidungnya. menghela napas dalam-dalam dan mengendorkan urat syaraf yang tegang. Sesaat benaknya menjadi jernih gamblang.

Saat itu kembali terdengar suara nyamuk melengking:

„Kerahkan seluruh tenaga, tangan kanan dijulurkan ke atas. Tarik kebelakang dulu baru mendorong kemuka dalam jurus Kay-cu-na-si-mi, jangan alpa! Begitu pukulan kay-cu-na-si-mi itu meluncur setengah jalan, tangan kiri harus lekas-lekas bergerak dalam beng-kun-han-san-ho. Didalam musuh tak menduga, barulah dapat memperoleh kemenangan!" Mendengar itu Ceng Ih tundukkan kepala merenung dalam kesangsian. Kembali suara nyamuk itu mengiang: „Tinju dan pukulan berbareng digunakan, dinamakan it-ciau-sam-si (satu gebrak tiga jurus). Ini tiada melanggar peraturan pertandingan, tak usah terlalu mengukuhi kejujuran. Kira-kira setengah meter dibelakang kwat-he, sengaja kutinggalkan tiga biji pil, cukup untuk memenuhi keperluan saat ini. Kau dan aku mempunyai jodoh, kita berjumpa lagi nanti!"

Ceng Ih berterima kasih tak terhingga kepada tokoh Tian- to-kian-gun itu. Dia amat menghargai budi orang yang telah memikirkan kepentingannya dengan begitu cermatnya.

Mendongak kemuka, tampak si Hoa-hoa kongcu makin tak sabar menunggu lebih lama lagi.

„Saudara Pian, awas, terimalah pukulanku!"

Tangan kanan Ceng Ih menjulur, dia melancarkan kay-cu- na-si-mi. Sampai ditengah jalan, tiba-tiba diganti dengan gerakan menarik. Dua macam samberan angin masih membising, sekonyong-konyong Ceng Ih susuli dengan sebuah tinju menekuk. Bukan dua tapi kini tiga macam angin yang membawa tenaga dahsyat, susul menyusul menyerang Hoa-hoa Kongcu .........
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar