Panji Sakti Bab 21 : Malam Yang Bersih

21. Malam Yang Bersih

Selagi orang she Sun itu melolong-lolong seperti anjing digebuk, Ceng Ih sudah lantas melayang turun kebumi dan terus tancap gas mengejar kedua orang tadi. Melihat sang kawan yang membanggakan diri pernah mengarungi dunia persilatan tahu-tahu mengunyah tangkai berdarah, penjaga muda tadi berhenti tertawa.

Orang itu terlongong-longong kesima. Untuk menghibur, dia takut kesalahan. Namun kalau diam tak mengacuhkan, juga merasa salah. Akhirnya setelah memutar otak, barulah dia berani membuka mulut: „Toa-siok, bagaimana? Tu pa datang lagi!"

Mendengar itu, si orang she Sun itu serentak bertanya dengan terbata-bata: „Di .... mana? Di mana?"

Sambil berkata itu matanya menurutkan ke arah yang ditunjuk oleh kawannya muda itu. Dibawah jalanan sana, kembali tampak segulung asap meluncur datang dengan pesat sekali. Karena asap berwarna putih dan malam gelap, jadi dapatlah dilihat dengan jelas.

Sesaat kemudian asap itu sudah tiba dibawah pos. Kini orang she Sun itu tak berani membual lagi. Buru-buru menarik sang kawan, dia segera bersembunyi ditempat yang gelap untuk mengawasi dengan perdata orang baru kali ini.

Bayangan putih yang datang ini, ternyata umurnya lebih muda dari tiga yang terdahulu. Tapi anehnya, gerakannya pun lebih cepat dari yang tiga tadi. Pun caranya melompat juga berbeda. Sekali enjot, dia melambung sampai dua tombak lebih.

Berlainan dengan ketiga orang dimuka yang setiap kali meloncat ke atas tentu kakinya menginjak wuwungan pos penjagaan, baru turun kesebelah sana. Kali ini si orang berpakaian putih itu, begitu berada diatas wuwungan pos, lantas berganti gerakan dengan jurus kek-cu-hoan-sim (burung dara membalik diri). Laksana kapas melayang turun, begitu sudah melampaui rumah pos penjagaan itu, dengan sekali loncat orang itu sudah menghilang dari pemandangan.

Sungguh indah dan mengagumkan sekali gerakan orang itu!

„Toa-siok, bukan sehari dua aku ikut jaga denganmu, tapi belum pernah mengalami seperti hari ini. Belum sampai sepenanak nasi lamanya, sudah ada empat orang ya-heng-jin (orang persilatan yang berjalan tengah malam). Sebagai orang yang kenyang pengalaman, tentulah kau mengetahui bangsa apa mereka itu. Apakah mereka itu sesama kawan?" tanya si penjaga muda.

„Tolol!" seru orang she Sun itu yang rupanya lupa sakitnya karena hendak membual. „Karena berturut-turut datangnya, terang mereka itu bukan berkawan. Berjalan tengah malam, apalagi kalau bukan ”

Ketika sang mata tertumbuk pada batang pohon yang bergoyang-goyang, buru-buru dia tutup mulut karena kapok kalau disuruh makan tangkai lagi. Adalah setelah beberapa jenak tiada perobahan apa-apa, dia baru lega hati.

Melihat sang kawan diam, si penjaga muda tadi kembali bertanya: „Toa-siok, menurut pengiraanmu, apa dibelakang masih ada ya-heng-jin lagi?"

„Huh, apa kaukira yang tadi belum cukup mendebarkan, hingga kau masih mengharapkan lagi? Bocah tolol!" jawab si orang she Sun.

Karena Sun Toa-siok mengatakan bakal tiada yang datang lagi, penjaga muda itupun tak mau lebih lama bersembunyi ditempat gelap. Melangkah keluar dua tindak, dia membuat sedikit gerakan untuk melemaskan kaki tangannya yang kaku. 

Habis itu dia mengomel sendirian: „Kini sudah hampir jam satu malam, mengapa mereka belum datang mengganti? Toa- siok, jangan-jangan mereka ketiduran ni!"

Si orang she Sun masih mengumpat ditempat gelap, sepatahpun dia tak mau menyahut pertanyaan kawannya, kedua tangannya sibuk menggosok-gosoki pipi dan mulutnya. Si penjaga mudapun tak mau menggerecokinya. Dia berjalan dua putaran diatas pos situ, matanya tak berkesip memandang kesebelah bawah sana, mudah-mudahan ada lagi seorang ya-heng-jin yang datang. Tapi karena cuaca gelap, jadi paling jauh dia hanya dapat melihat sampai jarak beberapa meter saja.

Lihat punya lihat, tiba-tiba dia terbeliak dan berteriak: „Hai, apakah itu?"

Si orang she Sun serentak berdiri terus lari menghampiri kedekat sang kawan. Begitu melongok kebawah, kejutnya bukan kepalang. Secepat kilat dia tarik kawannya untuk menyelundup ketempat gelap lagi.

„Jangan bersuara! Itu datang lagi!" serunya dengan bisik- bisik.

„Toa-siok, jadi ada yang datang lagi?" menegas si penjaga muda.

„Ya, ya, ya! Jangan ribut-ribut!"

„Orangkah? Masakan begitu besar, aup. " dia tak dapat

meneruskan kata-katanya lagi karena mulutnya sudah keburu didekap oleh Sun Toa-siok. Untung si Sun berbuat begitu, karena saat itu sudah ada tiga sosok bayangan terbang ke atas pos penjagaan, dan begitu menginjak wuwungannya lantas melayang turun, kemudian sekali ayun, mereka sudah lenyap dari pemandangan.

Karena mulut ditekap, si penjaga muda sesak bemapas.

Mengetahui ketiga sosok bayangan itu sudah lalu, dia meronta dari tangan si Sun, terus berbangkit. Tapi baru saja tubuhnya tegak, atau mulutnya sudah menjerit kaget lagi: „Aduh mak, celaka duabelas, kali ini lebih besar lagi!"

Seperti tikus melihat kucing, dia terus menyelundup lagi kedekat si Sun. Malah kali ini tanpa di„tangani" si Sun, dia sudah mendekap mulutnya sendiri, pikirnya: „Daripada kau bungkam sampai napasku sesak, lebih baik aku sendiri yang melakukan!"

„Wut, wut, wut, wut,” empat sosok bayangan melayang ke atas wuwungan pos penjagaan, lalu melayang turun. Pada lain kejap sudah lenyap dalam kegelapan.

Apa yang terjadi pada malam itu, benar-benar luar dari biasanya. Berturut-turut enam kali ada orang persilatan loncat melintasi pos penjagaan kesitu. Menurut analisa si orang she Sun mereka itu bukan sekawan, tapi anehnya mengapa kesemuanya datang dari arah San-se dan menuju keselatan. Adakah dibelakangnya masih ada lagi?

Si penjaga muda kini seperti hilang nyalinya, sementara si pembual she Sun itupun tak berani berkutik dari tempat persembunyiannya. Sikapnya yang garang tadi, sudah buyar laksana awan tertiup angin. Malam yang tiada berbulan dan berangin itu, makin senyap keadaannya. Tebaran salju yang menurun, mengantar hawa dingin yang menggigilkan tulang belulang.

Adalah si penjaga muda yang rupanya tak dapat bersabar lebih lama lagi, dengan berbisik-bisik dia bertanya: „Toa-siok, tentunya takkan ada lagi kan? Orang-orang persilatan memang suka bikin susah orang, sedikit-sedikit tentu mengajak berkelahi dan kalau orang kesalahan omong tentu akan dibunuhnya, ah, sungguh keterlaluan!"

Ucapan itu dimaksud untuk menyindir kelakuan si Sun yang galak. Sekarang karena sudah lewat lama dan menduga tentu tiada akan ada ya-heng-jin yang datang lagi, kembali si Sun unjuk kegarangannya.

„Keparat benar hari ini, masakan berturut-turut muncul

.......", belum saja dia kata-kata „iblis", atau „wut, wut, wut, wut, wut,” lima sosok bayangan sudah loncat ke atas wuwungan situ.

Justeru karena si Sun tadi berseru dengan keras, maka begitu berada diatas wuwungan, kelima bayangan itu terkesiap juga dan tak mau lekas-lekas loncat turun.

„Wut, wut,” kembali ada dua sosok bayangan loncat ke atas wuwungan dan tegak berjajar dengan yang lima tadi. Meskipun tak mengerti seluk belum golongan ya-heng-jin, namun tahu jugalah si penjaga menduga bahwa ketujuh orang itu tentu sesama kawan.

Mereka memakai topi dan jubah seragam, hanya potongan mukanya yang berlainan satu sama lain. Tapi karena rembulan remang, jadi tak dapat kelihatan jelas. Tegak berdiri dengan menyelip pedang dibahu, jenggot ketujuh tojin itu bertebaran dihembus angin malam, sikapnya tak ubah seperti para dewa turun dari kahyangan. Si Sun yang tengah mengobral makian tadi, serentak menggigil tubuhnya. Beda dengan sang kawan yang berumur muda itu. Anak domba tak takut harimau, demikian kata sebuah pepatah.

Merasa ada empat belas buah mata memandang ke arahnya, diapun penasaran. Serentak dia lantas balas memandang kepada mereka. Kedengaran salah satu dari ketujuh orang membuka mulut.

„Tak terduga kalau disini terdapat dua orang yang bersembunyi. Kini sudah hampir terang tanah ”

„Ah, tampaknya tidak mencurigakan!" sahut yang seorang.

„Jangan-jangan para penjaga bangsa kantong nasi saja!" kata seorang lagi.

Lalu seorang tojin yang tampaknya paling keren mengebutkan kebut pertapaannya, berkata: „Sute sekalian, ayuh, jalan lagi! Perlu apa mengawasi dua orang kantong nasi macam begitu? Kalau terlambat, tentu tak dapat mencapai Beng-cin, ayuh!"

„Wut, wut,” ketujuh tojin itu sudah lantas loncat turun dan menghilang dalam kegelapan.

„Sungguh berbahaya sekali!" seru si Sun sembari berbangkit. Sembari mengusap-usap pipinya yang copot empat buah giginya itu, dia tertawa meringis: „Aku sedang memaki-maki tadi, kalau saja ketujuh tojin itu naik pitam, sekali gerakkan jarinya, aku si orang she Sun ini tentu sudah menghadap raja akhirat, ai!” Lelah juga penjaga muda itu dikocok pergi datang, namun mulutnya masih mengoceh menirukan kata-kata kawanan tojin tadi: „Ai, jadi kita ini bangsa kantong nasi? Kita tak dipandang mata, ah, memalukan, memalukan!"

Si Sun tak mau menyahut, tangannya masih mengelus-elus pipinya yang panas membara, matanya tak kesiap memandang ke arah jalanan dibawah.

„Datang lagi, datang lagi!" sekonyong-konyong dia berteriak.

Si penjaga mudapun segera menampak ada sesosok bayangan melesat datang. Buru-buru dia menyusup kepojokan gelap, seraya berseru tertahan: „Ada yang datang lagi, mengapa kau tak lekas-lekas sembunyi? Toa-siok, apa kau sudah jemu hidup?"

Karena pipi bengap merah, sakit juga si Sun hendak bicara, apalagi kalau mau tertawa, wah, sakitnya bukan kepalang.

Namun untuk menahan gelinya, setengah mati juga sukarnya. Mengapa tidak?

Sikap si penjaga muda yang begitu ketakutan dan terbirit- birit bersembunyi macam tikus melihat kucing, telah membuat perutnya seperti dikili-kili. Sekian saat setelah berkutetan antara sakit dan geli, akhirnya pecahlah sang mulut

„buahhahaaa".

Si penjaga muda menjadi kaget seperti disambar petir. Dia melongo mengawasi kawannya itu. Adalah karena pecah tertawa itu, gerahamnya yang masih mengeluarkan darah itu, seperti disemburkan keluar. Dia muntahkan semulut penuh darah segar dan berhamburanlah hujan gerimis darah turun kebawah. Karena percaya bualannya, si penjaga muda itu percaya kalau si Sun seorang yang luas pengalamannya. Dia tak mengerti apa maksud sang kawan menyemburkan darah itu.

Tiba-tiba dia teringat, bahwa darah ayam atau anjing itu dapat menjadi penolak bangsa iblis setan. Bila malam hari kesamplokan dengan bangsa iblis setan, cukup menggigit lidah sampai berdarah lalu menyemburkannya, iblis dan setan itu tentu akan lenyap. Ah, mungkin si Sun tengah berbuat begitu. Tapi apakah setannya sudah melarikan diri. Dia menunggu dengan berdebar-debar.

„Sun keparat, kau menuang apa saja ini yang amis sehingga mukaku basah kuyup?" sekonyong-konyong dibawah pos penjagaan situ, terdengar orang berteriak.

„Setan kau, pakaiankupun amis baunya. Ayuh, lekas buka pintunya tidak?" kedengaran lain suara berkaok-kaok.

Mendengar ada orang berseru, timbul lagi nyali si penjaga muda. Sembari rangkapkan kedua tangan, dia mengucapkan doa: „Omitohud! Dewi Koan Im datang menolong kesulitan!"

Sekali loncat, dia lantas lari turun kebawah. Tak berapa lama kemudian dia membawa dua orang lelaki yang muka dan pakaiannya basah kuyup dengan noda darah.

Begitu saling berpandangan, keempat orang itu sama tertawa terbahak-bahak. Si Sun mau tak mau turut ketawa juga, walaupun ketawanya itu macam monyet meringis

............

Tanpa ditanya lebih dahulu, si penjaga muda tadi segera menceritakan semua peristiwa aneh yang terjadi dalam beberapa jam tadi. Dia akhiri ceritanya dengan tertawa keras. Ternyata kedua orang yang baru datang itu, adalah rekannya penjaga. Setelah menyerahkan kewajiban, dengan dada lapang, si Sun dan kawannya muda itu lalu pergi.

Sebelum turun kebawah, dengan mengunjuk muka setan kepada kedua rekannya, si penjaga muda berseru: „Kudoakan kalian mengalami nasib baik!"

Dua sosok tubuh menyusur dalam kegelapan dan pos penjagaan Thian-keng-kwan situ kembali sunyi senyap.

> ∞ <

Siapa gerangan yang berturut-turut melompati pos penjagaan tadi? Yang pertama, terang adalah Ceng Ih. Adalah karena dia hendak menikmati pemandangan dipos penjagaan situ, maka dapat dia mempergoki ada seorang dan seorang penunggang kuda yang membututinya. Menduga bahwa salah seorang dari mereka itu, tentulah yang menyusupkan lwekang coan-seng-jip-bi, tak peduli dia itu kawan atau lawan, Ceng Ih lantas mengejarnya.

Tetapi betapapun dia keluarkan seluruh gin-kangnya, tetap tak dapat mengejar kedua orang itu. Yang berada disebelah muka, yakni si orang tua berjenggot panjang dan berpakaian warna kelabu, sementara dibelakangnya ialah si pemuda pelancongan yang naik kuda.

Terhadap pemuda itu, Ceng Ih tak menaruh banyak perhatian. Yang kepingin diketahui, siapakah orang tua itu. Karena tumpahkan perhatian mengejar, Ceng Ih sampai tak mengetahui bahwa ada lagi empat rombongan yang menyusul dibelakangnya. Menjelang terang tanah, kota Beng-cin sudah tampak didepan mata.

Beng-cin adalah sebuah kota penyeberangan ditepi sungai Hong-ho. Dari situ dapatlah orang menyeberang ketepi sebelah selatan. Ceng Ih sendiri sampai bingung, apakah sebaiknya berhenti ditepi utara atau selatan.

Dilihatnya si pemuda pelancongan dengan menuntun kuda, tengah berdiri disebuah hotel yang terletak ditepi utara.

Rupanya pemuda itu hendak beristirahat disitu. Ceng Ih yang jemu dengan sikap si pemuda itu, segera menuju ketepi selatan.

Untuk menghindari dari perhatian orang, sengaja dia memilih sebuah hotel yang tak begitu ramai. Saking lelahnya, begitu masuk dalam kamar segera dia mengunci pintu dan tidur. Dalam tidurnya dia bertemu dengan ketiga gadis yang berada dalam lingkungan hatinya.

Tan He Kongcu segar berseri wajahnya, mulutnya menjungging senyuman yang menggiurkan. Sikapnya luhur agung. Peng-ji laksana sekuntum bunga teratai yang putih suci. Bibirnya yang menyengir itu menampil suatu kepribadian yang angkuh minta diindahkan.

Sementara Wan-ji dalam kekurusannya itu, tetap memancarkan kecantikan yang mengikat. Sepasang matanya bening sedap, dua buah kuncir menghias rambut kepalanya

.......

Dalam musim dingin, hari terasa pendek malam panjang.

Begitu Ceng Ih terjaga dari impiannya siang, mataharipun sudah condong kebarat. Tatkala sang mata sejenak menyapu kesekeliling kamar, dia terkejut dan serentak lompat bangun.

Jendela yang tadi ditutup, kini terbuka. Secarik kertas ditindihkan dibawah cawan. Kertas itu terdapat dua belas buah huruf yang berbunyi: „Awas, si pemuda pelancongan akan memegatmu ditengah jalan! Tian-to-kian-gun. Tulisannya amat garang, menandakan si penulis itu memiliki lwekang yang dalam. Siapakah gerangan pemuda pelancongan itu? Jangan-jangan si pemuda yang disiriknya itu. Dengan alasan apa dia akan mencegat aku? Apakah dia juga akan merampas Panji Sakti itu?

Teringat akan Panji keramat itu, segera tangannya merogoh kedalam baju. Syukurlah, Panji pusaka itu masih berada disitu. Jika si pemuda pelancongan itu ialah si pemuda yang naik kuda, pengirim surat yang menamakan diri sebagai tian-to-kiam-gun tentulah si orang tua berjenggot panjang itulah. Benar sakti amat orang itu.

Kemarin dengan gunakan coan-seng-jip-bi dan kini mengorek jendela untuk memasukkan surat. Akan kedua hal itu, Ceng Ih sama sekali tak berdaya untuk mengetahuinya.

Lawan atau kawankah dia itu? Tapi menilik orang itu memberi peringatan padanya, terang dia bermaksud baik. Tentang diri si pemuda berkuda, kalau toh dia benar yang dimaksud sebagai si pemuda pelancongan itu, Ceng Ih tak percaya kalau mempunyai kepandaian sakti.

Coba andaikata dia tak lekas buru-buru menuju ke Lam- hay, perbuatan menguntit itu tentu akan diurus. Si pemuda pelancongan tidak akan mencegat, diapun akan mencarinya untuk memberi pengajaran.

Senja malam dimusim dingin, merupakan malam yang indah bagi kaum ya-heng-jin. Begitulah setelah makan malam, Ceng Ih segera tinggalkan hotel itu dan campurkan diri dalam arus manusia yang masih berjalan menuju keluar pintu kota. Setelah berada diluar pintu kota, Ceng Ih segera keluarkan ilmu berjalan cepat menuju ke selatan. Sekonyong-konyong matanya pudar. Sesosok bayangan putih terbang mengejarnya. Saking pesatnya sampai menderu-deru anginnya. Hanya sesaat kemudian, orang itu sudah melampaui Ceng Ih dan pada lain kejap lagi, sudah berada lima tombak jauhnya.

Ceng Ih yakin kepandaiannya gin-kang sudah cukup tinggi, tapi bahwasanya ia tak merasa sama sekali kalau ada orang mengejar dan tahu-tahu orang itu sudah „menyalip" (melampaui), telah membuatnya kaget bukan kepalang.

Menilik gerakannya, orang itu mirip dengan Peng-ji, tapi ah, tak mungkinlah. Bukankah saat itu Peng-ji tengah melakukan perjalanan ke Swat-san?

Kalau dara itu tak jadi ke Swat-san, wah celaka. perjalanan ke Lam-hay kali ini tentu banyak bahayanya. Tapi mengingat perangai Peng-ji yang angkuh itu, kemungkinan memang begitu.

Huh, tentunya bukan, Peng-ji kan naik kuda say-cu-hoa dan nona itu cukup mengetahui bahwa say-cu-hoa itu seekor kuda sakti, masakan ia mau sembarangan melepaskannya?

Namun, bayangan putih yang berada disebelah muka itu, perawakannya begitu mirip dengan Peng-ji, kecil ramping, lincah tangkas. Kecuali gin-kang dari aliran pelajaran Swat- san, mana ada keduanya yang begitu hebat ..............

Memikir sampai disitu, Ceng Ih tertawa sendiri, pikirnya:

„Mengapa aku selalu bermain terka saja? Baik dia wanita atau pria, paling perlu harus kukejar dulu. Didunia ini, ilmu gin- kang sakti dan orang yang gemar berpakaian putih, tentunya bukan melainkan Peng-ji seorang!" Dalam memikir itu, Ceng Ih segera tancap gas penuh.

Justeru karena itu, makin menyoloklah perbedaan kepandaian mereka. Bermula orang itu hanya terpisah lima tombak, lalu enam, delapan dan akhirnya dua belas tombak.

Ceng Ihpun seorang muda yang berdarah panas. Meskipun tahu tak dapat mengejar, namun dia pantang menyerah.

Dengan mengerahkan seluruh tenaga, dia lari dengan sekuat- kuatnya.

Dalam sekejap saja, dia sudah berlari sampai seratusan li. Bukan saja orang itu sudah tak kelihatan bayangannya lagi, pun dia sendiri sudah mandi keringat.

Bertemu dengan Thian-lam-ping-siu dan diberi pelajaran tiga ilmu sakti pelindung Panji keramat, kemudian di Swat-san makan ulat salju, lalu dapat menjatuhkan Swat-san Lojin, telah membuatnya lupa daratan. Kalau toh seorang tokoh macam Swat-san Lojin dapat „dijatuhkan”, masakan dia tak mampu menjagoi dunia persilatan?

Tapi sejak dia melakukan perjalanan keselatan itu, terbukalah matanya dengan berbagai kenyataan. Belum lagi dia dapat menyaksikan kesaktian Lam-hay Ji-lo, pertama kali dia sudah kesamplokan dengan orang yang menamakan diri sebagai Tian-to-kian-gun, siapa telah membuatnya tak dapat berbuat suatu apa.

Kini waktu mengadakan perjalanan malam, itupun telah

„dikepet' (dilampaui) mentah-mentah oleh si orang baju putih. Pula nanti masih ada si pemuda pelancongan itu lagi ..........
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar